Journal of Marine and Aquatic Sciences 9(1), 18-28 (2023)

Pemetaan Sebaran Habitat Dasar Perairan Laut Dangkal Menggunakan Citra Sentinel-2A di Teluk Gilimanuk

I Gusti Putu Bayu Arri Putra a*, I Dewa Nyoman Nurweda Putra a, I Nyoman Giri Putra a

a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Kampus UNUD Bukit Jimbaran, Bali 80361, Indonesia

* Penulis koresponden. Tel.: +62-8176-5555-33

Alamat e-mail: arriputra@outlook.com

Diterima (received) 3 Desember 2020; disetujui (accepted) 3 Februari 2023; tersedia secara online (available online) 1 Juni 2023

Abstract

West Bali National Park is a conservation area with such a high biodiversity. That includes mangrove forest, coastal, and shallow water ecosystem. As a conservation area, a distribution map of the shallow water habitat is necessary for decision making in the conservation’s benthic habitat developing program. One of the mapping method is remote sensing and requires Sentinel-2A Level 1C satelitte image. Sentinel-2A Level 1C is used due to its high resolution which is 10x10 meters for a single pixel. The aim for this research is for mapping the distribution of the shallow water habitat in Gilimanuk Bay while also assesses the accuracy of Sentinel-2A image. This research uses the Quantum GIS and SAGA GIS software to analyze the Sentinel-2A image. The image is transformed using Depth Invariant Index to reduce the scattering effect on the reflectance. After the image is being transformed by the Depth Invariant Index, it is classified using maximum likelihood method. The classification showed, the area of each classes are 56.59 hectares of corals, 18.01 hectares of seagrass, 128.97 hectares of waters, 45.76 hectares of mud sediment, 78.95 hectares of macro algae, and 26.67 hectares of sands. Overall accuracy assessment for this research calculated using confusion matrix and the result is 65.1% and considered good enough due to Coral Ecosystem Remote Sensing Data Analysis Guide by National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN), in which the tolerance of the accuracy is 60%. Accuracy levels are influenced by number of classes, image resolution, class resemblance, turbidity, and seafloor material.

Keywords: distribution map; sentinel-2a image; maximum likelihood; benthic habitat

Abstrak

Ekosistem perairan dangkal di Taman Nasional Bali Barat yang berperan sebagai wilayah konservasi memiliki diversitas tinggi. Dimana terdapat ekosistem hutan mangrove, pesisir, dan ekosistem perairan dangkal. Sebagai kawasan konservasi, peta sebaran habitat dasar laut dangkal di Teluk Gilimanuk yang berada dalam lingkup kawasan Taman Nasional Bali Barat perlu dibuat sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan program pengelolaan area habitat bentik di wilayah konservasi. Salah satu metodenya adalah dengan remote sensing dan menggunakan citra satelit Sentinel-2A Level 1C. Satelit tersebut digunakan karena tingginya resolusi yang dimiliki, yaitu 10x10 Meter untuk 1 pixel. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan keadaan sebaran habitat dasar perairan laut dangkal di Teluk Gilimanuk serta ketelitian dari citra Sentinel-2A. Penelitian ini menggunakan aplikasi Quantum GIS dan SAGA GIS untuk mengolah citra Sentinel-2A. Citra tersebut terlebih dahulu dilakukan koreksi kolom perairan untuk menghilangkan scattering pada reflektan. Setelah dilakukan koreksi kolom perairan, citra tersebut diklasiikasi menggunakan metode maximum likelihood. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luasan masing masing kelas perairan diantaranya kelas karang seluas 56.59 ha, kelas lamun seluas 18.01 ha, kelas perairan seluas 128.97 ha, kelas lumpur seluas 45.76 ha, macro algae seluas 78.95 ha, dan kelas pasir seluas 26.87 ha. Penghitungan ketelitian menggunakan matriks kesalahan dan menghasilkan tingkat ketelitian keseluruhan dari penelitian ini yaitu 65.1% dan tergolong baik menurut Pedoman Pengolahan Data Penginderaan Jauh Untuk Ekosistem Terumbu Karang oleh LAPAN, dimana standar minimumnya adalah

60%. Tingkat akurasi dipengaruhi oleh banyaknya kelas, kemiripan objek antar kelas, resolusi citra, tingkat kekeruhan, intensitas cahaya, dan material dasar perairan.

Kata Kunci: peta sebaran; citra sentinel-2a; maximum likelihood; habitat bentik

  • 1.    Pendahuluan

Perairan pesisir memiliki tiga ekosistem yang khas, yaitu mangrove, lamun dan terumbu karang. Pada perairan pesisir, terdapat habitat dasar perairan laut dangkal yang kedalamannya kurang dari 30 meter (Hoang et al., 2016). Habitat bentik atau habitat dasar perairan dangkal dari aspek biologis berfungsi sebagai tempat bertelur, mencari makan, dan tempat pemijahan biota laut. Dilihat dari aspek fisik dan kimia, habitat bentik berfungsi sebagai pelindung pantai dari gelombang, menstabilkan sedimen, penjernihan air, serta penyerap karbon (Garcia et al., 2015).

Lamun dan terumbu karang merupakan komponen penyusun ekosistem perairan dangkal. Keberadaan ekosistem perairan dangkal pada perairan pantai perlu dilakukan pendataan. Salah satu kegiatan pendataan yang dapat digunakan untuk memetakan keberadaan suatu ekosistem perairan yaitu dengan menggunakan penginderaan jauh (Semedi dkk., 2019).

Penerapan teknologi penginderaan jauh pada bidang kelautan umumnya digunakan untuk mengidentifikasi dan mencari informasi sumberdaya alam khususnya didaerah pesisir. Kelebihan dari teknologi penginderaan jauh yaitu informasi yang direkam berulang, cakupannya luas, lebih rinci dalam mendeteksi objek secara efektif dan efisien (Helmi dkk., 2011).

Teknik penginderaan jauh dalam analisis suatu kawasan lebih menghemat waktu, biaya, dan tenaga. Saat ini sudah banyak tersedia sensor satelit penginderaan jauh yang berkemampuan baik dalam mendeteksi berbagai fitur pada ekosistem perairan dangkal diantaranya citra SPOT, Landsat, Worldview-2, Quick Bird dan Sentinel (Selamat dkk., 2012).

Prinsip penggunaan penginderaan jauh dalam pemetaan ekosistem perairan dangkal yaitu dengan menggunakan radiasi sinar elektromagnetik di daerah spektrum sinar tampak. Adapun untuk menghilangkan efek scattering pada reflektan dan meningkatkan akurasi citra, perlu digunakan depth invariant index. Depth invariant index digunakan karena citra yang hendak diamati berada di ekosistem perairan dangkal (Karang dkk., 2019).

Ekosistem perairan dangkal di Taman Nasional Bali Barat yang merupakan wilayah konservasi memiliki diversitas tinggi. Sebagai kawasan konservasi, perlu adanya pendataan sebaran habitat dasar laut dangkal. Habitat dasar laut dangkal ini terdiri dari tiga kelas habitat, yaitu terumbu karang, lamun, dan substrat dasar (Dekker et al., 2011).

Peta sebaran habitat dasar laut dangkal di Teluk Gilimanuk Taman Nasional Bali Barat perlu dibuat sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan pengembangan wilayah konservasi. Penelitian ini perlu dilakukan karena hasil pemanfaatan teknologi penginderaan jauh berupa peta habitat bentik, dapat dimanfaatkan secara langsung oleh pemangku kepentingan (stakeholder) terkait dalam membuat program pengelolaan area habitat bentik. Salah satunya dengan menggunakan citra satelit Sentinel-2A karena resolusi spasial yang dapat mencapai 10 m. (Lasquites et al., 2019). Selain itu juga perlu diketahui seberapa persen keakuratan data Sentinel-2A jika menggunakan Depth Invariant Index.

  • 2.    Metode Penelitian
    • 2.1.    Waktu dan Lokasi Penelitian

Lokasi peneltian ini bertempat di Teluk Gilimanuk yang masih dalam lingkup Taman Nasional Bali Barat, Gilimanuk, Kabupaten Jembrana (Gambar 1). Pengambilan data lapangan berupa titik koordinat dan training area dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Februari 2020.

Gambar 1. Lokasi Penelitian.

  • 2.2.    Alat dan Bahan

Penggunaan alat dan bahan pada penelitian ini diantaranya laptop, action camera, GPS (Global Positioning System), software QGIS, software SAGA GIS, citra Sentinel-2A Level 1C, serta lamun, karang, pasir, dan lumpur sebagai bahan pengamatan.

  • 2.3.    Metode Penelitian

    • 2.3.1.    Survei Lapangan

Penentuan sampel saat survey lapangan dilakukan dengan metode purposive sampling. Pada penelitian ini, penentuan titik sampel tersebut didasari kedalaman perairan, rataan terumbu, aksesibilitas medan, serta efisiensi waktu. Sampel yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk proses klasifikasi citra secara digital dengan menggunakan nilai spektral dari masing-masing kelas yang dibuat. Pada penelitian ini, sampel yang diambil sebanyak 477 titik dimana 230 titik untuk klasifikasi citra, dan 235 titik untuk uji akurasi.

  • 2.3.2.    Pra-Pengolahan Citra

Tahap pra-pengolahan citra Sentinel-2A dimulai dari koreksi atmosferik citra, pemotongan citra, dan sampai ke tahap delineasi batas (masking). Koreksi atmosferik bertujuan untuk memperbaiki mutu tampilan citra akibat terganggu oleh awan atau hamburan haze di atmosfer. Proses koreksi atmosferik citra sentinel pada penelitian ini menggunakan metode Dark Object Substraction (DOS) yang terdapat pada software QGIS untuk mendapatkan nilai reflektan (Karang dkk., 2019). Pemotongan citra dilakukan untuk meringankan kinerja software dengan menggunakan menu clip multiple rasters pada Semi-Automatic Classification Plugin di aplikasi QGIS. Tahap delineasi (masking) dilakukan supaya piksel citra yang berada di wilayah daratan tidak mengganggu nilai pixel yang lain pada proses berikutnya. Masking dilakukan di aplikasi QGIS dengan menggunakan shapefile.

  • 2.3.3.    Pengolahan Citra

Tahap pengolahan citra diantaranya dengan melakukan transformasi citra dengan metode koreksi kolom perairan, penentuan training area, dan klasifikasi citra.

Koreksi kolom perairan menggunakan Algoritma Lyzenga (1981). Prinsipnya adalah menggunakan gabungan kanal sinar tampak citra satelit Sentinel-2A, dapat mengetahui objek dibawah permukaan air yang sudah tidak terlalu dipengaruhi kedalaman air, kekeruhan, dan gerak permukaan air dengan menghasilkan citra yang baru dari hasil perhitungan Depth Invariant Index. Adapun persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Karang dkk., 2019).

DII = (ln Li) +


I ki 1 τΛ T ×ln Lj

Ikj       j


(1)


dimana nilai ki/kj ditentukan dari persamaan (2)

ki           I 2

— = a + a a +1 kj

(2)


dimana nilai a ditentukan dari persamaan (3)

a =


(σa ~σjj) 2 × σlj


(3)


dimana Li adalah nilai reflektan kanal biru (kanal dengan gelombang lebih pendek); Lj adalah nilai reflektan kanal hijau (kanal dengan gelombang lebih panjang); σii adalah ragam nilai kanal biru; σj adalah ragam nilai kanal hijau; σij adalah nilai peragam atau covariance kanal biru dan kanal hijau; dan ki/kj adalah perbandingan koefisien atenuasi kanal biru dan hijau. Kanal biru dan kanal hijau dipilih untuk dihitung rasio koefisien atenuasinya karena kemampuan kedua kanal tersebut dalam penetrasi ke dalam air yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kanal Sentinel yang lain (Jaelani dkk., 2015).

Penentuan Training Area dilakukan untuk menentukan standar deviasi dan sebaran nilai piksel dari masing masing kelas untuk tiap kanal. Sampel yang terpilih harus dapat menjadi perwakilan masing masing kelas karena training sample menjadi rujukan perangkat lunak dalam mengklasifikasi habitat perairan laut dangkal. Semakin banyak sampel yang dipakai, maka peluang perangkat lunak untuk melakukan klasifikasi habitat bentik menjadi lebih baik karena dapat mencakup keberagaman piksel untuk setiap kelas habitat.

Metode klasifikasi nilai piksel reflektan dari tiap objek perairan dangkal ke dalam kelas-kelas tertentu pada penelitian ini menggunakan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification) maximum likelihood. Klasifikasi maximum likelihood melakukan pengelompokkan nilai piksel citra berdasarkan kemungkinan suatu nilai piksel terhadap kelas tertentu dalam sampel piksel. Apabila nilai kemungkinan piksel nilainya berada dibawah ambang batas kesesuaian yang ditentukan, maka piksel tersebut menjadi tidak terkelaskan. Penelitian ini menggunakan 5 kelas habitat bentik dan ikut mengkelaskan kolom perairan yang dasarnya tidak kasat mata. Kelima kelas habitat bentik yang digunakan yaitu karang, lamun, lumpur, macro algae, dan pasir. Uji ketelitian berupa matriks kesalahan kemudian dilakukan untuk mengevaluasi ketepatan klasifikasi.

Tabel 1. Matriks Kesalahan (Confusion Matrix)

Hasil Klasifikasi

Data Survei Lapangan

Total

UA (%)

CE (%)

1

2

3

1

X11

X12

X13

X1+

X11/X1+

100-PA1

2

X21

X22

X23

X2+

X22/X2+

100-PA2

3

X31

X32

X33

X3+

X33/X3+

100-PA3

Total

X+1

X+2

X+3

N

PA (%)

X11/X+1

X22/X+2

X33/X+3

OA (%)

(X11+X22+X33)/N

OE (%)

100-UA1

100-UA2

100-UA3

  • 2.3.4.    Uji Ketelitian Data

Evaluasi akurasi digunakan untuk mengukur seberapa besar tingkat kesalahan yang terjadi pada citra hasil klasifikasi. Perhitungan analisis kesesuaian data dilakukan dengan membuat tabel matriks kesalahan atau confusion matrix (Tabel 1). Ada tiga kategori akurasi yang diperoleh dari tabel

matriks kesalahan yaitu akurasi pembuat (producer accuracy), akurasi pengguna (user accuracy), dan akurasi keseluruhan (overall accuracy). Batas akurasi keseluruhan yang dapat ditolerir untuk peta habitat dasar perairan dangkal pada SNI 7716:2011 adalah sebesar ≥ 60% (LAPAN, 2015).

Secara matematis, ketiga uji ketelitian diatas dapat dinyatakan sebagai berikut:


Xii producer accuracy =   × 100%


(4)


Xii

User accuracy = -^- × 100%


(5)


Omission error = 100% - PAjf


(6)


Comission error = 100% - UAjf


(7)


rXii Overall accuracy = —j^— × 100%


(8)


dimana N adalah jumlah seluruh piksel yang digunakan untuk validasi; Xii adalah nilai diagonal dari matriks kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i; X+i adalah jumlah piksel dalam kolom ke-i; Xi+ adalah jumlah piksel dalam baris ke-i; PAx adalah nilai producer accuracy pada kelas x; UAx adalah nilai user accuracy pada kelas x.


  • 3.    Hasil dan Pembahasan


  • 3.1.    Pra-Pengolahan Citra

Tahap pra-pengolahan dimulai dari penerapan koreksi atmosferik. Koreksi atmosferik pada penelitian ini menggunakan metode Dark Object Substraction (DOS) yang bertujuan mengurangi keseluruhan nilai spektral pada saluran asli dengan nilai biasnya masing-masing. Dari hasil koreksi atmosferik pada Gambar 2, terdapat perbedaan dimana nilai piksel citra sebelum dikoreksi nilai minimal dan maksimalnya lebih tinggi daripada nilai piksel yang sudah dikoreksi. Selain itu juga pada metode DOS, nilai piksel minimal setiap kanal diturunkan menjadi 0 untuk mendapatkan nilai reflektan yang sesungguhnya (Nazeer et al., 2014).




(a)


(b)

Gambar 2. Tampilan histogram citra Sentinel-2A, (a) sebelum koreksi , (b) sesudah koreksi atmosferik.

Citra hasil koreksi kemudian dilakukan proses clipping/cropping atau pemotongan citra supaya membatasi daerah penelitian menjadi di kawasan Teluk Gilimanuk saja. Setelah proses cropping, perlu dilakukan masking untuk memisahkan daratan dan lautan. Adapun proses masking dilakukan dengan menggunakan hasil digitasi berupa data shapefile. Digitasi shapefile dilakukan secara visual menggunakan hasil citra komposit kanal merah, hijau, dan biru. Data shapefile yang digunakan hanya berfokus di Teluk Gilimanuk. Hasil cropping dan masking citra dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Citra Sentinel-2A, (a) sebelum cropping, (b) sesudah cropping, (c) sesudah masking.

  • 3.2.    Pengolahan Citra

Citra yang telah melalui tahap pra pengolahan akan dilanjutkan dengan proses transformasi citra dan training area.

Transformasi citra dilakukan dengan metode Depth Invariant Index (DII) bertujuan untuk mengurangi efek kedalaman pada kolom air. Cara melakukan transformasi DII yaitu kanal hijau dan kanal biru ditransformasi nilai pikselnya dengan menggunakan nilai variance, covariance, dan rasio koefisien atenuasi (ki/kj) untuk mendapatkan nilai piksel yang baru. Hasil penghitungan rasio koefisien atenuasi (Persamaan 2) kemudian dimasukkan ke dalam rumus DII (Persamaan 1). Penghitungan ini dilakukan dengan raster calculator sehingga dapat menghasilkan raster baru hasil penghitungan DII yang kemudian dilanjutkan dengan penentuan training area.

Gambar 4. Pola spektral pada ruang spektral, (a) ruang spektral band 1 dan band 2 pada citra komposit, (b) ruang spektral band 2 dan pasangan band 2 dan band 3 pada transformasi DII.

Pola spektral yang digunakan sebagai training area dalam proses klasifikasi terdapat pada Gambar 4, dimana terlihat pola spektral kelas pasir dan lumpur pada kedua pola spektral terpisah dari kelas lainnya. Hal ini menandakan training area pada kelas pasir dan lumpur akan lebih mudah

terkelaskan dengan baik. Sedangkan pada kelas lamun, perairan, dan karang akan lebih sulit untuk terkelaskan dengan baik.

  • 3.3.    Pemetaan Sebaran Habitat Dasar Perairan Dangkal

Peta sebaran habitat dasar perairan dangkal di Teluk Gilimanuk, Bali dapat diketahui melalui hasil analisis citra terklasifikasi dengan metode maximum likelihood (Gambar 5). Kelas habitat dasar tersebut meliputi 5 kelas yang mendominasi diantara kelas lainnya menurut hasil survey lapangan, ditambah satu kelas perairan yang mewakili laut dengan kedalaman lebih dari 10 meter yang dasarnya kurang terlihat jelas secara visual. Kelima kelas ini meliputi karang, lamun, perairan, lumpur, makro alga, dan pasir (Tabel 2).

Tabel 2. Kelas habitat dasar perairan dangkal

No.     Jenis Kelas

Warna

Keterangan

1       Karang

Segala jenis karang

2      Lamun

3       Perairan

Vegetasi berupa padang lamun

Air laut yang secara visual terlihat seperti slope dan lebih dalam dari 10 meter

4     Lumpur

Substrat berupa lumpur

  • 5    Macro Algae

  • 6         Pasir

Vegetasi berupa rumput laut/seaweed

Substrat berupa pasir

Gambar 5. Peta Hasil Klasifikasi Habitat Dasar Perairan Laut Dangkal.

Dari hasil peta hasil klasifikasi habitat dasar perairan dangkal, selanjutnya dapat dihitung luas dari tiap kelas dengan menghitung jumlah pixel tiap kelasnya. Berdasarkan hasil perhitungan luasan habitat dasar perairan di Teluk Gilimanuk menunjukkan bahwa dari total luasan wilayah penelitian seluas 355.15 ha, kelas yang memiliki luasan yang paling kecil adalah lamun dengan luasan 18.01 ha (5.07%), diikuti oleh pasir dengan luasan 26.87 ha (7.56%), lumpur dengan luasan 45.76 ha (12.88%), karang dengan luasan 56.59 ha (15.93%), dan Macro Algae dengan luasan 78.95 ha (22.23%). Sedangkan kelas yang memiliki luasan paling besar adalah perairan seluas 128.97 ha (36.3%). Hal tersebut dikarenakan terdapat cukup banyak wilayah yang tergolong sebagai slope atau tubir yang terdapat di perairan Teluk Gilimanuk. Luasan kelas karang pada Teluk Gilimanuk ini juga tergolong luas, yakni sebesar 56.59 ha atau 15.93% dari keseluruhan teluk. Terumbu karang tersebut tumbuh secara dominan di wilayah yang relatif sedikit lumpurnya sesuai dengan penelitian Hoang et al. (2016), yakni di bagian utara teluk dan bagian timur pulau burung. Sedangkan untuk kelas lamun

tidak begitu luas karena sebagian ada yang terkelaskan menjadi kelas lainnya. Tabel dari luasan setiap kelas tutupan habitat dasar berdasarkan citra transformasi DII disajikan di Tabel 3.

Tabel 3. Luasan setiap kelas dari citra hasil transformasi DII

Jenis Kelas

Luasan (ha)

Persentase (%)

Karang

56.59

15.93%

Lamun

18.01

5.07%

Perairan

128.97

36.31%

Lumpur

45.76

12.88%

Macro Algae

78.95

22.23%

Pasir

26.87

7.56%

Total

355.45

100%

  • 3.4.    Uji Ketelitian Data

Perhitungan akurasi hasil citra yang digunakan dalam matriks konfusi diantaranya Overall Accuracy, Users Accuracy, Producers Accuracy, Omission Error, dan Comission Error. Banyaknya koordinat sampel yang dipilih secara purposive sampling adalah 235 titik koordinat. Matriks kesalahan pemetaan sebaran habitat laut dangkal dapat dilihat pada Tabel 4.

User accuracy merupakan ketepatan antara kelas pada training area dengan kelas di lapangan dari sudut pandang pengguna peta. Nilai tertinggi user accuracy pada penelitian ini yaitu 95% pada kelas lumpur, sedangkan nilai terendah yaitu 41% pada kelas lamun. Untuk commision error yang tertinggi ada pada kelas macro algae sebesar 59% yang artinya lebih banyak yang dimasukkan ke kelas lain, diantaranya masuk ke kelas karang sebanyak 3 sampel, kelas perairan sebanyak 25 sampel, kelas lumpur sebanyak 2 sampel, kelas macro algae sebanyak 13 sampel, dan kelas pasir sebanyak 4 sampel. Hal ini disebabkan karena pola spektral yang saling tumpang tindih antara kelas lamun dengan kelas lainnya. selain itu terkelaskannya kelas lamun ke dalam kelas perairan dapat terjadi karena nilai piksel yang dimiliki lamun mirip dengan perairan slope, yaitu memiliki karakter warna yang relatif gelap. Hal ini juga terjadi karena kesalahan algoritma klasifikasi maximum likelihood pada konfusi kelas pohon kelapa dan pohon kelapa sawit (Ahmad and Quegan, 2012), dimana banyak pohon kelapa yang terkelaskan ke kelas pohon kelapa sawit karena kemiripan dari keduanya.

Producer accuracy adalah jangkauan daerah dari training area yang diambil untuk mewakili kelas tertentu dan ketepatan peta dari sudut pandang pembuat peta. Nilai tertinggi producer accuracy pada penelitian ini adalah 97% pada kelas lamun, sedangkan nilai terendah pada kelas perairan dan macro algae dengan persentase 38%. Untuk omission error tertinggi terdapat pada kelas macro algae sebesar 62% yang artinya banyak sampel yang dikeluarkan dari kelas perairan karena tidak berhasil terpetakan dengan benar, diantaranya 6 sampel yang memiliki konfusi dengan kelas karang, 38 sampel yang yang memiliki konfusi dengan kelas lamun, 1 sampel yang yang memiliki konfusi dengan kelas lumpur, dan 2 sampel yang memiliki konfusi dengan kelas pasir. Banyaknya kelas perairan yang memiliki konfusi dengan kelas lamun disebabkan oleh gelapnya pixel lamun yang terdapat pada citra, sehingga menyerupai perairan, terutama pada bagian selatan pulau burung dimana pada lokasi tersebut konturnya bukan merupakan tubir, namun terkelaskan sebagai perairan. Banyaknya kelas macro algae yang memiliki konfusi dengan kelas lamun disebabkan oleh warna lamun yang menyerupai warna macro algae, sedangkan kelas macro algae yang memiliki konfusi dengan kelas karang diakibatkan oleh macro algae yang menempel pada karang. Hal ini sesuai dengan penelitian Schultz et al. (2015), dimana hard structure seperti karang dapat bercampur dengan vegetasi.

Overall Accuracy adalah ketepatan antara hasil klasifikasi maximum likelihood dengan titik ground truth yang ada di lapangan. Berdasarkan hasil perhitungan uji akurasi, didapatkan nilai overall accuracy pada hasil klasifikasi citra dengan transformasi DII sebesar 65.1%. Tingkat ketepatan

pemetaan penelitian ini tergolong cukup karena memiliki nilai overall accuracy diatas 60% menurut SNI 7716:2011 dalam Pedoman Pengolahan Data Penginderaan Jauh Untuk Ekosistem Terumbu Karang oleh LAPAN. Dengan demikian, ketelitian klasifikasi citra Sentinel-2A dapat digunakan untuk melakukan pemetaan habitat bentik.

Tingkat ketelitian citra selain dipengaruhi oleh pola spektral tiap kelas juga dipengaruhi oleh sedikit banyaknya kelas yang digunakan. Menurut Dwiputra dkk. (2016), semakin banyak jumlah kelas yang digunakan dalam suatu peta tematik, maka tingkat ketelitiannya juga akan semakin menurun. Selain kelas, jumlah training area juga berpengaruh pada uji akurasi dan dapat ditambah untuk meningkatkan ketelitian. Astaman (2019), juga melakukan uji akurasi terhadap 6 kelas perairan dangkal menggunakan citra SPOT-7 dengan menggunakan komposit true color dan transformasi DII dengan masing masing nilai Overall Accuracy 66.66% dan 75.43%. Selain itu, Karang dkk. (2019), membandingkan kinerja citra Sentinel-2A dan citra Landsat 8 dimana hasilnya overall accuracy Sentinel-2A sebesar 80.00%, dan Landsat 8 sebesar 68.29% terhadap 3 kelas perairan.

Selain banyaknya kelas, tingkat kekeruhan, intensitas cahaya, dan material dasar perairan dapat mempengaruhi akurasi, terutama pada kelas yang substratnya mudah terangkat karena pergerakan air (Kasvi et al., 2019). Penelitian Karang dkk. (2019), dan Astaman (2019), dilakukan di perairan yang terbuka dengan material dasar perairan yang tidak mudah terangkat, sehingga dapat menghasilkan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian ini.

Tabel 4. Matriks kesalahan pemetaan habitat perairan dangkal Teluk Gilimanuk. Keterangan: Karang

(K), Lamun (SG), Perairan (LD), Lumpur (L), Macro Algae (MA), dan Pasir (P)

Hasil Klasifikasi

K

Data Survei Lapangan

P

Total (Producer)

PA (%)

OE (%)

SG

LD

L

MA

K

25

0

1

0

5

0

31

76%

24%

SG

3

32

25

2

13

4

79

97%

3%

LD

3

0

20

0

7

0

30

38%

62%

L

0

1

0

37

1

0

39

77%

23%

MA

2

0

4

0

16

0

22

38%

62%

P

0

0

2

9

0

23

34

85%

15%

Total (User)

33

33

52

48

42

27

235

UA (%)

81%

41%

67%

95%

73%

68%

OA (%)

65.1%

CE (%)

19%

59%

33%

5%

27%

32%

  • 4. Simpulan

Hasil pemetaan sebaran habitat dasar perairan dangkal di Teluk Gilimanuk menggunakan citra satelit Sentinel-2A dari citra yang diakuisisi bulan Februari 2020 tersebar secara merata sesuai kedalaman, dimana populasi karang banyak ditemui daerah reef crest dan reef slope, populasi terbanyaknya ada pada sisi timur pulau burung dan sepanjang utara teluk. Di sekitar Pulau Kalong dan Pulau Burung terdapat banyak lumpur dikarenakan pada pulau tersebut didominasi populasi mangrove sehingga terdapat sedimentasi lumpur. Populasi lamun terbanyak terdapat diantara pulau kalong dan pulau burung. Banyaknya slope atau tubir di Teluk Gilimanuk menyebabkan kelas perairan menjadi kelas terluas dengan luasan 128.97 ha sebesar 36.31% dari total luasan daerah penelitian seluas 355.13 ha. Populasi macro algae banyak terdapat dekat karang karena sifatnya yang melekat pada benda keras. Sementara substrat pasir terdapat di dekat pantai dan dekat sedimentasi lumpur.

Pemetaan sebaran habitat dasar perairan dangkal di Teluk Gilimanuk menggunakan citra satelit Sentinel-2A menghasilkan akurasi keseluruhan (overall accuracy) sebesar 65.11% dan user accuracy terbesar pada kelas lumpur sebesar 95% dan producer accuracy terbesar pada kelas pasir sebesar 97%, yang artinya ketepatan antara training area kelas lumpur dengan kelas lumpur yang ada di lapangan

mencapai 95%, jangkauan daerah dari training area pasir yang terkelaskan sebesar 97%, dan akurasi keseluruhan sebesar 65.11%. Tingkat akurasi dipengaruhi oleh banyaknya kelas, resolusi citra, kemiripan antar kelas, tingkat kekeruhan, intensitas cahaya, dan material dasar perairan.

Ucapan terimakasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Balai Taman Nasional Bali Barat selaku pengawas kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat yang bersedia memberikan bebas akses keluar masuk kawasan konservasi selama penelitian ini berlangsung.

Daftar Pustaka

Ahmad, A., & Quegan, S. (2012). Analysis of maximum likelihood classification on multispectral data. Applied Mathematical Sciences, 6(129), 6425-6436.

Astaman, I. D. M. K. P. (2019). Pemetaan Habitat Dasar Perairan Dangkal Menggunakan Citra Satelit SPOT-7 di Pulau Nusa Lembongan, Bali. Skripsi. Denpasar, Indonesia: Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana.

Dekker, A. G., Phinn, S. R., Anstee, J., Bissett, P., Brando, V. E., Casey, B., Fearns, P., Hedley, J., Klonowski, W., Lee, Z. P., Lynch, M., Lyons, M., Mobley, C., & Roelfsema, C. (2011). Intercomparison of shallow water bathymetry, hydro-optics, and benthos mapping techniques in Australian and Caribbean coastal environments. Limnology and Oceanography: Methods, 9(9), 396–425.

Dwiputra, Jaka A. Suharyadi, R. Danoedoro, Projo. (2016). Pengaruh Jumlah Kelas dan Skema Klasifikasi terhadap Akurasi Informasi Penggunaan Lahan Hasil Klasifikasi Berbasis Objek dengan Teknik Support Vector Machine di Sebagian Kabupaten Kebumen Provinsi Jawa Tengah. Majalah Geografi Indonesia, 30(2), 120-133.

Garcia, R. A., Hedley, J. D., Tin, H. C., & Fearns, P. R. (2015). A method to analyze the potential of optical remote sensing for benthic habitat mapping. Remote Sensing, 7(10), 13157-13189.

Hoang, T. C., O’Leary, M. J., & Fotedar, R. K. (2016). Remote-Sensed Mapping of Sargassum spp. Distribution around Rottnest Island, Western Australia, Using High-Spatial Resolution WorldView-2 Satellite Data. Journal of Coastal Research, 32(6), 1310–1321.

Jaelani, L. M., Laili, N., & Marini, Y. (2015). Pengaruh Algoritma Lyzenga Dalam Pemetaan Terumbu Karang Menggunakan Worldview-2, Studi Kasus: Perairan Pltu Paiton Probolinggo. Jurnal Penginderaan Jauh, 12(2), 123–132.

Karang, I. W. G. A., Nagendra, I. W. M. D., Astaman, I. D. M. K. P., & Hendrawan, I. G. (2019). Pemetaan Habitat Perairan Dangkal Di Kawasan Padat Wisata Tanjung Benoa Bali Menggunakan Data Remote Sensing. Ecotrophic: Jurnal Ilmu Lingkungan (Journal of Environmental Science), 13(2), 227-237.

Kasvi, E., Salmela, J., Lotsari, E., Kumpula, T., & Lane, S. N. (2019). Comparison of Remote Sensing Based Approaches for Mapping Bathymetry of Shallow, Clear Water Rivers. Geomorphology, 333, 180–197.

LAPAN. (2015). Pedoman Pengolahan Data Penginderaan untuk Ekosistem Terumbu Karang. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.

Lasquites, J. J., Blanco, A. C., & Tamondong, A. (2019). Mapping of Sargassum Distribution in The Eastern Coast of Southern Leyte Using Sentinel 2 Satellite Imagery. International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences - ISPRS Archives, 42(4), 289–295.

Nazeer, M., Nichol, J. E., & Yung, Y. K. (2014). Evaluation of atmospheric correction models and Landsat surface reflectance product in an urban coastal environment. International Journal of Remote Sensing, 35(16), 6271-6291.

Schultz, S. T., Kruschel, C., Bakran-Petricioli, T., & Petricioli, D. (2015). Error, Power, and Blind Sentinels: The Statistics of Seagrass Monitoring. PLoS ONE, 10(9), 1–33.

Semedi, B., Syukron, A. Rofiq., Lutfi, O. Muzaky. (2019). Pemanfaatan Data Citra Satelit Sentinel-2 Untuk Asesmen Habitat Dasar Perairan Pantai Selatan Sempu Kabupaten Malang. Journal of Fisheries and Marine Research, 3(2), 273-279.


© 2023 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY) license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).

J. Mar. Aquat. Sci. |Vol. 9, No. 1| 18-28 (2023)