Pemetaan Tingkat Kerawanan Bencana Tsunami di Pesisir Barat Daya Provinsi Banten
on
Journal of Marine and Aquatic Sciences 8(1), 85-92 (2022)
Pemetaan Tingkat Kerawanan Bencana Tsunami di Pesisir Barat Daya Provinsi Banten
Elizabeth Anastasya a*, I Dewa Nyoman Nurweda Putra a, IGB Sila Dharma a
a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Kabupaten Badung, Provinsi Bali-Indonesia
* Penulis koresponden. Tel.: +62-822-109-11324
Alamat e-mail: [email protected]
Diterima (received) 11 September 2020; disetujui (accepted) 25 Juni 2022; tersedia secara online (available online) 1 Juni 2022
Abstract
Indonesia is one of the countries that has a high level of natural disasters in the world because of Indonesia's location and geographical position in the rings of fire. One of the most vulnerable disasters in Indonesia is earthquakes, volcanic eruptions to tsunami waves (Mukhtasor , 2007). Based on data from the BNPB on December 22 2018, there was a tsunami disaster in the southwest coast of Banten to the coast of Lampung caused by the eruption of Mount Anak Krakatau. The purpose of this study are to create tsunami hazard map on the southwest coast of Banten Province by using a Geographic Information System (GIS) and then identify which areas are in a very vulnerable class. This research was conducted in February 2020 until May 2020. The analytical method used was descriptive analysis, map overlay analysis, and qualitative analysis. The stages include the preparation of maps and supporting data using the help of Global Mapper 8.0 software, the determination of influential parameters, analysis of tsunami prone areas based on the parameters that affect, and determination of tsunami prone areas. The process of determining tsunami-prone areas is done through a process of weighting and scoring of influential parameters, then overlapping with the help of ArcGis 10.7 software to get a map of the level of tsunami hazard. The factors in this study that affect tsunami hazard are land height, land protection, distance from the tsunami source, coastline shape, and the presence of barrier islands. The total area classified as very vulnerable is around 19,94 km2 on the southwest coast of Banten Province. This indicates the need for disaster management through crisis management and risk management based on more valid research.
Keywords: disaster hazard; tsunami; GIS; Pandeglang
Abstrak
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat terjadinya bencama alam yang cukup tinggi di dunia karena terletak pada posisi geografis Indonesia yang berada pada daerah the rings of fire salah satu bencana yang paling rentan terjadi di Indonesia merupakan gempa bumi, letusan gunung berapi hingga bencana tsunami (Mukhtasor,2007). Berdasarkan data dari BNPB pada 22 Desember 2018 lalu, telah terjadi bencana tsunami pada daerah pesisir barat daya Banten hingga pesisir Lampung yang diakibatkan letusan Gunung Anak Krakatau. Tujuan penelitian ini adalah membuat peta kerawanan bencana tsunami pada wilayah pesisir barat daya Provinsi Banten memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG) yang kemudian mengidentifikasi pada wilayah atau daerah mana yang termasuk pada kategori sangat rentan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2020 sampai dengan bulan Mei 2020. Metode analisis yang digunakan pada peneleitian ini adalah analisis deskriptif, analisis ovelay peta, dan analisis kualitatif. Tahapan -tahapan tersebut meliputi persiapan peta dan data pendukungnya dengan menggunakan bantuan software Global Mapper versi 8.0, dalam penentuan tiap kategori yang memiliki pengaruh, analisis wil ayah yang rentan terhadap bencana tsunami yang berdasarkan beberapa kategori yang memiliki pengaruh, hingga proses menentukan wilayah yang termasuk rawan tsunami. Proses penentuan daerah rawan tsunami dilakukan dengan proses pemberian bobot dan pemberian skor dari parameter yang berpengaruh, kemudian di tumpangsusunkan de ngan menggunakan software ArcGis versi 10.7 untuk menghasilkan peta tingkat kerawanan bencana tsunami. Faktor-faktor dalam penelitian kali ini yang memiliki pengaruh pada kerawanan bencana tsunami adalah ketinggian daratan, keterlindungan daratan, jarak dari sumber tsunami, bentuk garis pantai, dan keberadaan pulau penghalang. Total luas daerah yang tergolong sangat rawan adalah sebesar 19,94 km2 pada pesisir barat daya Provinsi Banten. Ini merupakan hal yang menandakan
bahwa sangat perlu dilakukan kegiatan mengurasi dampak dari bencana melalui kegiatan manejemen krisis dan kegiatan manejemen resiko yang berdasarkan pada penelitian yang bersifat lebih valid.
Kata Kunci: mitigasi bencana; tsunami; SIG; Pandeglang
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan sebuah daerah perhalihan antara kehidupan ekosistem darat dan ekosisten laut yang dipengaruhi dengan perubahan yang terjadi didarat dan dilaut. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu menyebutkan bahwa sumberdaya pesisir memiliki peran penting guna mendukung pembangunan ekonomi nasional untuk meningkatkan penerimaan devisa, adanya lapangan kerjda dan pendapatan penduduk di wilayah pesisir yang sangat kaya akan sumberdaya dan jasa lingkungan yang dapat disebut sebagai sumberdaya pesisir (Probosiwi, 2012).
Selain berbagai potensi dari kewilayahan dan dari kekayaan sumber daya tersebut, wilayah pesisir laut, dan pulau – pulau kecil di Indonesia ternyata sangat rentan terhadap adanya perubahan lingkungan dan rentan terhadap bencana, karena letak posisi geografis Indonesia berada pada wilayah the rings of fire, sehingga Indonesia rentan terkena bencana alam terutama bencana gempa bumi, longsor, banjir, hingga tsunami. (Mukhtasor, 2007)
Gelombang tsunami dapat juga disebabkan oleh sejumlah faktor yaitu, gempa bumi, letusan gunung api dibawah laut, longsoran yang terjadi di dasar laut (yang juga dapat diakibatkan oleh benturan benda langit atau meteor) (Sugito, 2008; Sugianto dkk., 2017). Kejadian bencana tsunami 26 Desember 2004 di Aceh menyebabkan kerugian dengan korban jiwa sekitar 180.000 orang (Tarigan, 2005).
Bencana besar yang terjadi di Indonesia salah satunya pada tahun 2018 adalah bencana tsunami Selat Sunda. Bencana tsunami ini berkontribusi terhadap tingginya jumlah korban meninggal dan hilang di tahun 2018. Menurut data terakhir BNPB, jumlah korban meninggal sebanyak 437 jiwa, 14.059 orang mengalami luka-luka, 16 orang dinyatakan
hilang, dan 33.179 orang mengungsi. Jumlah jiwa terdampak tersebut berasal dari lima kabupaten yang salah satunya adalah Kabupaten Pandeglang di Provinsi Banten.
Pada Informasi tersebut dapat kita tingkat kerusakan dan jumlah korban dari tsunami tersebut. Tingkat kerusakan tertinggi dan jumlah korban terbanyak yaitu terdapat pada daerah Pesisir Barat Daya Provinsi Banten. Salah satu keterbatasan dalam aplikasi metode pengurangan risiko bencana adalah fokus penyelesaian yang hanya berorientasi pada penyelamatan korban bencana, bukan pada tataran pencegahan (Chandramohan et al., 2017). Korban bencana pada umumnya digambarkan sebagai komunitas marginal yang belum mampu menghadapi bencana yang berpotensi merugikan (Gaillard, 2010). Tsunami dengan ketinggian tersebut tentu saja langsung menghancurkan seluruh daerah yang dilewatinya. Maka diperlukan adanya tindakan guna mengurangi atau mungkin meminimalkan potensi atau dampak negatif dari adanya bencana tersebut (mitigasi) (Jokowinarno, 2011).
Menurut Mistova dan Esnard (2012); Oslan (2013) menyatakan bahwa kegiatan penataan yang mengutamakan faktor kebencanaan yang berfokus untuk mengurangi dampak dari sebuah kerusakan dan adanya resiko yang disebabkan oleh sebuah bencana dan mampu guna mewujudkan ekosistem yang berkelanjutan. Misalnya didapati jumlah kerugian dan korban yang sangat tinggi akibat dari dampak terjadinya bencana, upaya mitigasi yang sangat dasar haruslah segera dilaksanakan pada daerah yang memiliki ancaman bencana yang tinggi.
Mitigasi bencana tsunami memiliki hakekat yaitu membuat seminimal mungkin risiko dari adanya bencana tsunami. Menurut Dewi dan Fadly (2015), ada tiga variable dari resiko sebuah bencana, yaitu, aspek jenis tsunami, aspek kerentanan, aspek kemampuan untuk menanggulangi bencana.
Dalam proses mitigasi bencana tsunami yang paling dasar adalah peta kerentanan tsunami (Spanu et al., 2015). Sebagai salah satu tindakan
untuk memitigasikan bencana tsunami berupa nonfisik di Pesisir Barat Daya Provinsi Banten ialah dengan membuat sebuah peta daerah rawan bencana tsunami dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG).
Sistem Informasi Geografis (SIG) juga dapat mengerjakan tentang peramalan dari adanya suatu bencana dan adanya pemantauan beberapa titik lokasi (Assilzadeh dan Mansor, 2004). Sebuah studi efektifitas tentang keadaan ketika bencana di India yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi sebagai sumber sebuah informasi guna menangani jika sedang terjadi suatu bencana, hal ini merupakan sebuah upaya guna memenuhi kebutuhan sistem informasi yang efektif dan manajemen bencana. Manajemen informasi yang efektif untuk adanya sebuah bencana adalah sebuah komponen penting dari adanya bencana (Tad dan Janardhanan, 2014). Premis yang didasarkan adalah bahwa informasi yang dihasilkan merupakan informasi yang akurat dan tepat pada waktunya (sudah ada sebelum terjadinya bencana atau dapat disebut peringatan dini), selama dan sesudah terjadinya suatu bencana, adanya manajemen informasi yang
mengikutsertakan atau terlibat dengan penerima, adanya bantuan yang sifatnya darurat, dan evaluasi atau pemantauan (Sharma et al., 2010).
Pada penelitian penulis ini, penulis menggunakan data spasial. Data spasial dapat diperoleh dari data citra satelit dan peta rupa bumi serta menggunakan data dari bermacam-macam sumber yang kemudian akan diintegrasikan dengan bantuan beberapa software pengolahan data penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis guna menghasilkan informasi menganai wilayah atau daerah mana yang termasuk daerah rawan bencana tsunami pada Wilayah Pesisir Barat Daya Provinsi Banten.
Penelitian ini berlokasi di sepanjang wilayah Pesisir Barat Daya Provinsi Banten (Gambar 1). Kegiatan analisis dan pengolahan data dilakukan di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (PUSFATJA-LAPAN)

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
-
2.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian kali ini adalah laptop untuk mengolah data, untuk software yang digunakan untuk membantu proses pengolahan data ada ArcMap 10.3 dan Global Mapper. Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu berupa Peta DEM
-
2.3 Metode Penelitian
-
2.3.1. Metode
-
Adapun metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode skoring dan pembobotan. Skoring dilakukan untuk menentukan parameterparameter yang diukur pada penelitian ini seperti parameter keterlindungan daratan, keberadaan pulau penghalang, bentuk garis pantai, ketinggian daratan dan parameter jarak dari sumber tsunami. Parameter-parameter tersebut akan terlebih dahulu dilakukan pengkelasan dan pemeberian skor pada setiap kriteria.
∑ (BixSi) max - ∑ (BixSi) min
s = 5
(1)
dimana Rs adalah rentang skor; Bi adalah bobot pada setiap kriteria yang ada; dan Si adalah skor pada setiap kriteria yang ada.
Berdasarkan rumus perhitungan di atas, menghasilkan rentangan skor berjumlah enam puluh empat (64) dengan total skor minimum seratus (100) dan total skor maksimum sebesar empat ratus dua puluh (420). Tiap-tiap kategori (kelas) ditentukan dengan penilaian dari rentang skor yang sudah ada. Penjelasan lengkapnya tentang kategori pemberian bobt dan skor untuk
tingkat kerawanan bencana tsunami, dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini:
Tabel 1
Pembagian Kelas Kerawanan
No |
Kategori Kerawanan |
Total Skor |
1 |
Sangat Aman n |
356-420 |
2 |
Aman |
291-355 |
3 |
Agak Rawan |
226-290 |
4 |
Rawan |
161-225 |
5 |
Sangat Rawan |
<160 |
-
3.3.2. Keterlindungan Daratan
Hasil pengolahan parameter keterlindungan daratan seperti hasil dibawah (Gambar 3), didapatkan bahwa wiayah pesisir Barat Daya Provinsi Banten termasuk kategori tidak terlindung. Hal ini dikarenakan daerah yang tergolong sebagai daerah yang terlindung yaitu daerah yang memiliki daerah perbukitan pada wilayah tersebut. Untuk pembagian kelas menggunakan perhitungan Hajar (2006).
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 Klasifikasi Tiap Parameter
-
3.3.1. Ketinggian Daratan
-
Pada parameter ketinggian daratan seperti gambar di bawah (Gambar 2), didapatkan hasil untuk daerah yang berwarna merah tua memiliki nilai ketinggian daratan sebesar 0-5 meter, untuk daerah yang berwarna jingga memiliki nilai ketinggian daratan sebesar 6-10 meter, untuk daerah yang berwarna kuning memiliki nilai ketinggian daratan sebesar 11-15 meter, untuk daerah yang berwarna hijau tua memiliki nilai ketinggian daratan sebesar 16-20 meter, dan untuk daerah yang berwarna hijau muda memiliki nilai ketinggian daratan lebih dari 20 meter.

Gambar 3. Peta Keterlindungan Daratan

Gambar 2. Peta Ketinggian Daratan
-
3.3.3. Jarak dari Sumber Tsunami
Hasil pengolahan data parameter jarak dari sumber tsunami didapatkan hasilnya bahwa jarak dari sumber tsunami yang bersumber pada Gunung Anak Krakatau sampai ke wilayah Pesisir Barat Daya Provinsi Banten adalah sejauh 51 km dimana termasuk termasuk skor 1 sesuai dengan ketentuan yang di buat oleh Diposaptono dan Budiman (2008) (Gambar 4).
-
3.3.4. Bentuk Garis Pantai
Untuk parameter bentuk garis pantai hasil pengolahan data di dapatkan pada daerah Pesisir Barat Daya Provinsi Banten dibagi menjadi dua yaitu ada daerah dengan kategori pantai berteluk dan ada daerah dengan kategori pantai tidak berteluk sesuai dengan perbedaan warna pada peta dibawah ini (Gambar 5).

Gambar 4. Peta Jarak dari Sumber Tsunami

Gambar 6. Peta Keberadaan Pulau Penghalang

Gambar 5. Peta Bentuk Garis Pantai
-
3.2 Pembagian Kelas Hasil Seluruh Parameter
Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 7 dapat dilihat bahwa daerah yang berada paling dekat dengan pantai tentu saja termasuk kedalam daerah yang tingkat kerawanannya paling tinggi dibandingkan dengan daerah yang sudah cukup jauh dari pantai. Kategori tinggi atau rendahnya dari suatu daratan akan memiliki pengaruh yang sangat tinggi pada daerah penggenangan bencana tsunami (tsunami inudation area) (Rahmawati, 2017). Daerah yang terletak pada pesisir pantai yang paling sering dikunjungi dan yang paling diminati dan juga masih dijadikan kawasan pemukiman oleh penduudk setempat. Hal ini terjadi karena daerah pesisir memiliki daya tarik yang cukup tinggi, adanya komunitas-komunitas pesisir yang terus menerus berkembang, fasilitas – fasilitas maritim, hingga semakin banyak pembangunan tempat peristirahatan (Bawole, 2015). Hal ini juga membuat semakin banyak ancaman berupa penduduk dan fasilitas umum karena berada di wilayah rawan bencana tsunami.
-
3.3.5. Keberadaan Pulau Penghalang
Hasil pengolahan data pada parameter keberadaan pulau penghalang, wilayah pesisir Barat Daya Provinsi Banten tidak memiliki keberadaan pulau penghalang pada wilayah pesisirnya yang digambarkan pada peta dibawah ini (Gambar 6).
Tabel 2
Luas Wilayah dalam Peta Tingkat Kerawanan Tsunami
No |
Kelas Kerentanan |
Luas (km2) |
Persentase(%) |
1. |
Sangat Aman |
884,49 km2 |
30,957% |
2. |
Aman |
715,23 km2 |
25,164% |
3. |
Agak Rawan |
769,89 km2 |
27,073% |
4. |
Rawan |
357,45 km2 |
12,935% |
5. |
Sangat Rawan |
19,94 km2 |
3,871% |
Gambar 7. Tingkat Kerawanan Bencana Tsunami di Pesisir Barat Daya Banten
Menurut Butler et al. (2016), untuk daerah yang tergolong daerah yang sangat dekat dengan sumber tsunami, dan juga tergolong sebagai bencana yang akan berulang, maka haruslah pihak pemerintah dapat membuat ketetapan daerah tersebut sebagai daerah yang disebut “zero” penduduk atau pemukiman. Pada kajian yang telah dilakukan oleh Berke dan Smith (2010); Ge dan Lindell (2016) menyatakan bahwa sebuah kegiatan perancanaan tata ruang mennjadi salah satu alat, strategi atau sebuah kebijakan yang memiliki manfaat guna merealisasikan sebuah daerah atau lingkungan yang bersifat berkelanjutan, sebagai alat yang dapat meminimalisir resiko akan terjadinya sebuah bencana, dan melindungi lingkungan.
Bencana tsunami termasuk bencana yang jarang terjadi, namun jika bencana tsunami ini timbul sifatnya sangatlah merusak. Dapat dijadikan pembelajaran juga yaitu bencana tsunami yang sudah pernah terjadi di Aceh dan di Pangandaran, kejadian tersebut menunjukkan bahwa kita belum siap atau bahkan tidak siap dalam menghadapi bencana yang akan datang (tsunami). Contoh lain pada kasus bencana tsunami yang pernah terjadi di Jepang dan juga di India, disana kawasan dengan kategori bencana yang tinggi tidak akan dijadikan untuk tempat pemukiman (Jha, 2010; Veszteg et al., 2015). Penting untuk dilakukan pemikiran lebih lanjut lagi, guna bersiap menghadapi bencana (tsunami) yang akan datang khususnya pada
wilayah Pesisir Barat Daya Provinsi Banten. Persiapan untuk menghadapi bencana tsunami yang akan datang belumlah menjadi prioritas utama bagi hampir seluruh masyarakat penduduk daerah pesisir (Naryanto, 2012). Namun, perlu adanya usaha yang sederhana untuk menjalankan persiapan tersebut guna meningkatkan keamanan untuk seluruh penduduk lebih lanjut.
Hasil berupa peta tingkat kerawanan dari adanya bencana tsunami pada daerah pesisir barat daya Provinsi Banten ini, diharapkan dapat menjadi penambahan wawasan guna membantu proses pengurangan dampak dari bencana tsunami pada Provinsi Banten. Wilayah yang termasuk dalam kategori kelas aman dari bencana tsunami dan berdekatan dengan kelas rawan dari bencana tsunami terletak sangat dekat dengan pemukiman penduduk, tempat tersebut mempunyai tempat yang lumayan besar dan dapat menampung banyak orang untuk mengungsi serta memiliki jalur yang termasuk mudah untuk digunakan sebagai jalur evakuasi jika terjadinya suatu bencana (tsunami). Wilayah yang masuk kategori aman dari bencana tsunami memiliki tingkat keberhasilan penggunaan daerah yang berhubungan dengan adanya sistem peringatan dini dari bahaya bencana.
Beberapa tindakan langsung dilakukan pihak BPBD setempat guna membantu sejumlah warga yang selamat dari bencana tsunami Selat Sunda tersebut. Diantaranya pembangunan HUNTARA (hunian sementara) di beberapa wilayah yang tergolong aman dari bencana tsunami (Wu dan Lindell, 2004; Imura dan Shaw, 2009). Tindakan untuk melakukan penyelamatan terhadap korban yang ada akan terjadi lebih efektif jika semua masyarakat atau penduduk yang ada sudah paham betul dan mengetahui lebih jauh tentang tanda-tanda datangnya sebuah bencana tsunami (Utami dkk., 2019). Menurut Pratomo dan Rudiarto (2013), diperlukan juga beberapa peralatan yang sifatnya modern untuk mendukung adanya kegiatan sosialisasi serta perlu diadakannya pelatihan dasar untuk evakuasi pada penduduk setempat yang nantinya akan turut serta mendukung keberhasilan pemanfaatan dari daerah yang akan di evakuasi (Ewing, 2015).
4. Simpulan dan Saran
Wilayah Pesisir Barat Daya Provinsi Banten, Kabupaten Pandeglang adalah daerah yang rawan terhadap bencana tsunami. Dampak dari bencana
tsunami dapat mengakibatkan kerusakan tempat tinggal atau pemukiman dan lingkungan, adanya korban jiwa, hingga menimbulkan kerugian. Membuat susunan rencana tata ruang yang berskala bencana tsunami merupakan hal yang sangat penting, sebagai salah satu upaya mitigasi bencana untuk mengurangi adanya resiko. Hasil dari penelitian ini menunjukkan luas daerah yang termasuk kelas kerawanan sangat rawan yaitu sebesar 19,94 km2 (sebesar 3,871% dari total keseluruhan luas wilayah kabupaten Pandeglang), yang termasuk kelas rawan yaitu sebesar 357,45 km2, kelas agak rawan sebesar 769,89 km2, kelas aman sebesar 715,23 km2, dan kelas sangat aman sebesar 884,49 km2.
Diperlukan penelitan lebih lanjut mengenai beberapa parameter lainnya sehingga
mendapatkan gambaran lebih spesifik mengenai zona kerawanan bencana tsunami pada daerah yang termasuk daerah rawan bencana.
Ucapan terimakasih
Penulis menyampaikan terimakasih banyak kepada instansi LAPAN atas kesempatan yang diberikan sehingga saya bisa dibantu dalam proses pengolahan data.
Daftar Pustaka
Assilzadeh, H., & Mansor, S. B. (2004). Natural Disaster Data And Information Management System. Dalam Prosiding Kongres COMM7 Institute of Advanced Technology (ITMA), University Putra Malaysia 2004. Serdang, Malaysia, 8 April 2009 (pp. 146-148).
Bawole, P. (2015). Program Relokasi Permukiman Berbasis Masyarakat Untuk Korban Bencana Alam Letusan Gunung Merapi Tahun 2010 (Community Based Resettlement Program for the Victims of Natural Disaster of Merapi Volcano Eruption 2010). Jurnal Tesa Arsitektur, 13(2), 114-127.
Berke, P., & Smith, G. (2009). Hazard mitigation, planning, and disaster resiliency: Challenges and strategic choices for the 21st century. In Proceedings of the NATO Advanced Research Workshop on Spatial Planning as a Strategy for Migration and Adaptation to Natural Hazards, Santiago de Compostela 2009. Amsterdam, Netherland, 3 March 2009 (pp. 1-20).
BNPB. (2018). Berkas:Sunda Strait Tsunami affected tentang informasi hasil Tsunami Selat Sunda. Jakarta, Indonesia: Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah.
Butler, W. H., Deyle, R. E., & Mutnansky, C. (2016). Low-regrets incrementalism: Land use planning adaptation
to accelerating sea level rise in Florida’s coastal communities. Journal of Planning Education and Research, 36(3), 319-332.
Chandramohan, P., Anu, A. P., Vaigaiarasi, V., &
Dharmalingam, K. (2017). Environmental
management and emergency preparedness plan for Tsunami disaster along Indian coast. The International Journal of Ocean and Climate Systems, 8(3), 144-152.
Dewi, C., & Fadly, R. (2015). Analisis Pembuatan Peta Zona Rawan Bencana Tsunami Pada Daerah Pesisir (Studi Lokasi: Pesisir Kota Bandar Lampung). Dalam Prosiding Seminar Nasional Bisnis dan Teknologi (SemBisTek) 2014, Institut Informatika dan Bisnis Darmajaya, Bandar Lampung, Indonesia, 15 Desember 2014 (pp. 740-753).
Diposaptono, S., & Budiman. (2008). Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami. Bogor, Indonesia: Buku Ilmiiah Populer.
Ewing, L. C. (2015). Resilience from coastal protection. Philosophical Transactions of the Royal Society A: Mathematical, Physical and Engineering Sciences,
373(2053),1-16.
Gaillard, J. C. (2010). Vulnerability, capacity and resilience: perspectives for climate and development policy. Journal of International Development: The Journal of the Development Studies Association, 22(2), 218-232
Ge, Y., & Lindell, K. M. (2016). Country plannerss’
perceptions of land-use planning tools for environtmental hazard mitigation: A Survey in the U.S. Pacific States. Environtment and Planning B: Planning and Design, 43(4), 716-736.
Hajar, M. (2006). Pemetaan tingkat kerawanan bencana tsunami menggunakan data penginderaan jauh dan sistem informasi geografi (sig) studi kasus: kota padang. Skripsi. Bogor, Indonesia: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Imura, M., & Shaw, R. (2009). Challenges and potentials of post-disaster relocation. Asian Journal of Environment and Disaster Management, 1(2), 199-221.
Jha, A. K. (2010). Safer homes, stronger communities: a handbook for reconstructing after natural disasters. Washington, USA: The World Bank.
Jokowinarno, D. (2011). Mitigasi bencana tsunami di wilayah pesisir lampung. Rekayasa: Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik Universitas Lampung, 15(1), 13-20.
Mistova, D., & Esnard, A. (2012). Holding back the sea: and overview of shore zone planning and management. Journal of Planning Literature, 27(4), 446459.
Mukhtasor. (2007). Pencemaran pesisir dan laut. Jakarta, Indonesia: Pradnya Paramita.
Naryanto, H. S. (2012). Analisis Potensi Kegempaan dan Tsunami di Kawasan Pantai Barat Lampung Kaitannya dengan Mitigasi dan Penataan Kawasan. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, 10(2), 71-77.
Oslan, A. C. (2013). Using land Use Planning Tools to Mitigate Hazard: hazardous liquid and natural gas transmission pipelines. Journal of Planning and Research. 33(2), 141-159.
Pratomo, R. A., & Rudiarto, I. (2013). Permodelan
Tsunami dan lmplikasinya Terhadap Mitigasi
Bencana di Kota Palu. Jurnal Pembangunan Wilayah dan Kota. 9(2), 174-182.
Probosiwi, R. (2012). Manajemen Risiko Tsunami untuk penataan ruang di pesisir perkotaan Pacitan Jawa Timur. Jurnal Teknosains, 2(2), 71-158.
Rahmawati, N. I. (2017). Pemodelan Tsunami di Sekitar Laut Banda dan Implikasi Inundasi di Area Terdampak. Jurnal Sains dan Seni Pomits, 6(2), B33-B36.
Republik Indonesia. (2008). Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66. Jakarta, Indonesia: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Sharma, A. K., Joshi, V., & Kumar, K. (2010). Use of remote sensing and GIS in disaster management in Gangtok area, Sikkim. GIS development, 6(16), 1-5.
Spanu, V., Gaprindashvili, G., & McCall, M. K. (2015). Participatory methods in the Georgian Caucasus: understanding vulnerability and response to debrisflow hazards. International Journal of Geosciences, 6(7), 666-674.
Sugianto, D., Nurjaya, I. W., Natih, N. M., & Pandoe, W. W. (2017). Potensi rendaman tsunami di Wilayah Lebak Banten. Jurnal Kelautan Nasional, 12(1), 9-18.
Sugito, N. T. (2008). Tsunami. Bandung, Indonesia: Buana Nusantara.
Tad, S., & Janardhanan, K. A. (2014). The role of
information system in disaster management. International Journal of Management and Social Sciences Research, 3(1), 16-20.
Tarigan, J. (2005). Kerusakan Akibat Tsunami dan Gempa Northen Sumatra 26 Desember 2004 Terhadap Banda Aceh dan Sirombu Nias Barat. Jurnal Sistem Teknik Industri, 6(3), 180-89.
Utami, W., Wibowo, Y. A., & Afiq, M. (2019). Analisis spasial untuk Lokasi relokasi masyarakat terdampak tsunami Selat Banten Tahun 2018. BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan, 5(1), 112-128.
Veszteg, R. F., Funaki, Y., & Tanaka, A. (2015). The impact of the Tohoku earthquake and tsunami on social capital in Japan: Trust before and after the disaster. International Political Science Review, 36(2), 119-138.
Wu, J. Y., & Lindell, M. K. (2004). Housing reconstruction after two major earthquakes: The 1994 Northridge earthquake in the United States and the 1999 Chi‐Chi earthquake in Taiwan. Disasters, 28(1), 63-81.
© 2022 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).
J. Mar. Aquat. Sci. 8: 85-92 (2022)
Discussion and feedback