Journal of Marine and Aquatic Sciences 7(2), 184-195 (2021)

Pemetaan Habitat Dasar Perairan Dangkal Menggunakan Citra Satelit SPOT-7 di Pulau Nusa Lembongan, Bali

I Dewa Made Krisna Putra Astaman a, I Wayan Gede Astawa Karang a*, I Gede Hendrawan a, Kuncoro Teguh Setiawan b

a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Badung, Bali-Indonesia b Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Jakarta Timur, Jakarta-Indonesia

* Penulis koresponden. Tel.: +6281-236-877-681

Alamat e-mail: [email protected]

Diterima (received) 21 Agustus 2019; disetujui (accepted) 26 Agustus 2021; tersedia secara online (available online) 1 Desember 2021

Abstract

Shallow water habitat is one of the regions that has high dynamics and has an important role are ecologically and economically. The high dynamics of the ideal shallow water habitat is always followed by updating information so that an overview of the area is obtained in accordance with reality. Remote sensing technology is one of the technologies that can be used for mapping natural resource studies such as mapping of shallow water habitats with the satellite imagery. This study aims to map the distribution of shallow water habitats using SPOT-7 satellite imagery on Nusa Lembongan Island, Bali and test the level of accuracy. The method used true color composite and DII (Depth Invariant Index) transformation and uses the maximum likelihood classification. The classification scheme used 6 classes, namely sand, seagrass, macro algae, rubble, live coral, and dead coral. The results of this study indicate the distribution of shallow water habitat on Nusa Lembongan Island, Bali spread equally based on the level of water depth with a total area of shallow water habitat of 453.41 ha. The results of mapping accuracy test showed the overall accuracy of the DII transformation classification results is better than the composite image classification results with an overall accuracy of 75.43% and a kappa coefficient is 0.71. So from these results can be said that used of a water column correction with the DII method can improve image accuracy in mapping shallow water habitats.

Keywords: shallow water habitat; SPOT-7; depth invariant index; accuracy; Nusa Lembongan

Abstrak

Habitat dasar perairan dangkal merupakan salah satu wilayah yang mempunyai dinamika yang tinggi dan memiliki peranan penting baik secara ekologi maupun ekonomi. Dinamika yang tinggi pada habitat dasar perairan dangkal idealnya selalu diikuti dengan pembaharuan informasi, sehingga didapatkan gambaran wilayah yang sesuai dengan kenyataan. Teknologi penginderaan jauh merupakan salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk studi pemetaan sumberdaya alam seperti pemetaan habitat dasar perairan dangkal dengan bantuan citra satelit. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan sebaran habitat dasar perairan dangkal mennggunakan citra satelit SPOT-7 di Pulau Nusa Lembongan, Bali dan menguji tingkat akurasinya. Metode yang digunakan adalah komposit warna asli (true color composite) dan transformasi Depth Invariant Index (DII) serta menggunakan klasifikasi maximum likelihood. Skema klasifikasi yang digunakan sebanyak 6 kelas, yaitu kelas pasir, lamun, makro alga, pecahan karang, karang hidup, dan karang mati. Hasil dari penelitian ini menunjukkan persebaran habitat dasar perairan dangkal di Pulau Nusa Lembongan, Bali tersebar secara sejajar berdasarkan pada tingkat kedalaman air dengan total luasan keseluruhan habitat dasar perairan dangkal sebesar 453,41 ha. Hasil uji akurasi pemetaan menunjukkan akurasi keseluruhan hasil klasifikasi transformasi DII lebih baik dibanding hasil klasifikasi citra komposit dengan akurasi keseluruhan sebesar 75,43% dan koefisien kappa sebesar 0,71. Sehingga dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa penggunaan koreksi kolom air dengan metode DII dapat meningkatkan akurasi citra dalam pemetaan habitat dasar perairan dangkal.

Kata Kunci: habitat dasar perairan dangkal; SPOT-7; depth invariant index; akurasi; Nusa Lembongan

  • 1.    Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dimana tiga perempat wilayahnya adalah laut (5,9 juta km2) dan terletak di daerah beriklim tropis (Lasabuda, 2013). Luasnya wilayah laut tersebut menjadikan Indonesia mempunyai kekayaan dan keanekaragaman hayati laut terbesar didunia dengan komponen ekosistem pesisir, yaitu terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove (Arief, 2012).

Ekosistem padang lamun dan terumbu karang berada pada lingkungan perairan dangkal yang merupakan habitat dari beraneka ragam biota laut tropis yang sangat produktif, dimana ekosistem tersebut memiliki berbagai macam fungsi, baik fungsi secara ekologis maupun fungsi secara ekonomis bagi kehidupan di wilayah pesisir. Diantara fungsi tersebut adalah sebagai habitat ikan, pengadukan material tersuspensi, pelindung pantai dari hantaman gelombang, dan pariwisata (Arief dkk., 2017). Wilayah ekosistem tersebut dapat dijumpai salah satunya di Pulau Nusa Lembongan.

Pulau Nusa Lembongan merupakan pulau terbesar kedua dari tiga pulau yang terdapat di Kecamatan Nusa Penida. Letak Pulau Nusa Lembongan sendiri bersebelahan dengan Pulau Nusa Ceningan yang dipisahkan oleh Selat Ceningan dan di Tenggaranya bersebelahan dengan Pulau Nusa Penida yang dipisahkan oleh Selat Toyapakeh. Secara geografis, Pulau Nusa Lembongan terletak antara 08°30'43'' – 08°41'43'' LS dan 115°25'36'' – 115°28'20'' BT. Pulau Nusa

Lembongan terdiri dari dua desa, yaitu Desa Jungut Batu dan Desa Lembongan yang secara administratif termasuk kedalam wilayah Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali (Ramadhan dkk., 2016).

Saat ini Perairan Nusa Penida termasuk Nusa Lembongan merupakan salah satu kawasan konservasi di Indonesia yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 24 Tahun 2014 tentang Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida Kabupaten Klungkung di Provinsi Bali dengan status kawasan taman wisata perairan. Penetapan kawasan konservasi perairan dilakukan untuk menjaga ekosistem laut agar tetap lestari dan dapat dikelola secara berkelanjutan (Muharara dan Satria, 2018), sehingga jika kebijakan tersebut tidak dijalankan dengan baik, maka akan mengakibatkan kerusakan pada wilayah habitat dasar perairan dangkal dalam

waktu jangka panjang. Upaya yang dapat dilakukan untuk menghindari kerusakan wilayah habitat dasar perairan dangkal tersebut, yaitu dengan memberikan informasi spasial dan temporal mengenai distribusi sumberdaya alam habitat dasar perairan dangkal yang disajikan dalam bentuk peta. Pemetaan habitat dasar perairan dangkal sendiri saat ini akan menjadi hal yang penting dikemudian hari dalam mengelola kawasan pesisir dan laut serta mengawasi perubahan yang mungkin terjadi pada wilayah pesisir di tahun-tahun yang akan mendatang.

Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) merupakan salah satu teknologi yang dapat digunakan untuk studi pemetaan sumberdaya alam seperti pemetaan habitat dasar perairan dangkal dengan menggunakan bantuan citra satelit. Penggunaan teknologi penginderaan jauh untuk studi pemetaan habitat dasar perairan dangkal mempunyai banyak kelebihan jika dibandingkan dengan metode survei lapangan yang memerlukan tenaga, biaya, dan waktu yang lebih besar, serta penggunaan teknologi penginderaan jauh tentunya akan lebih efisien. Selain itu, penggunaan teknologi penginderaan jauh juga memberikan keunggulan dalam hal pembaharuan data yang lebih cepat (Prawoto dan Hartono, 2018).

Penelitian yang memanfaatkan teknologi penginderaan jauh untuk studi pemetaan habitat dasar perairan dangkal telah banyak dilakukan seperti Landsat, Alos, Ikonos, Quicbird, dan Worldview (Setyawan dkk., 2014). Pemetaan habitat dasar peraiaran dangkal di Nusa Lembongan menggunakan citra penginderaan jauh pernah dilakukan dengan citra Landsat 8 (Pramudya dkk., 2014). Penelitian tersebut berhasil memetakan habitat dasar perairan dangkal seluas 4.080.600 m2 yang terdiri dari 3 kelas habitat (terumbu karang, vegetasi, dan subtart dasar) dengan menggunakan kombinasi kanal 1, 2, 3, 4 pada citra Landsat 8. Hasil tersebut diperoleh karena tidak dilakukannya survei langsung kelapangan (ground check) serta resolusi spasial dari citra Landsat 8 yang masih tergolong rendah, sehingga penggunaan citra dengan resolusi tinggi dan ground check diharapkan dapat memperoleh klasifikasi habitat dasar perairan dangkal yang lebih detail. Salah satu citra satelit dengan resolusi spasial yang tinggi adalah citra satelit SPOT-7.

Citra satelit SPOT-7 merupakan generasi terbaru dari SPOT yang memiliki 4 saluran multispektral dengan resolusi spasial sebesar 6-meter dan 1

saluran pankromatik dengan resolusi spasial sebesar 1,5 meter (Prabowo dkk., 2018), sehingga dapat memungkinkan untuk keperluan analisis-analisis spasial sumberdaya alam dan lingkungan, dalam hal ini untuk memetakan habitat dasar perairan dangkal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memetakan sebaran habitat dasar perairan dangkal serta untuk mengetahui akurasi hasil pemetaan habitat dasar perairan dangkal menggunakan citra SPOT-7 di Pulau Nusa Lembongan, Bali.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Waktu dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di pesisir Pulau Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali pada koordinat 8°39’20’’ – 8°42’00’’ LS dan 115°25’20’’ – 115°28’40’’ BT

(Gambar 1). Waktu pengamatan dan pengambilan data lapangan dilaksanakan pada tanggal 13 – 24 Febuari 2019 serta pada tanggal 2 – 3 Juni 2019. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Geographic Information System (GIS) dan Remote Sensing, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana.

  • 2.2    Alat dan Sumber Data

Alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari alat dasar selam (ADS), global positioning system

(GPS) tipe Garmin GPSMAP 78s, dan kamera underwater. Untuk pengolahan citra satelit sendiri menggunakan perangkat keras berupa komputer dan perangkat lunak berupa software SAGA GIS versi 5.0.0 dan software Quantum GIS versi 2.18.2. Sedangkan bahan yang digunakan adalah citra SPOT-7 akuisisi 6 Juni 2019 yang sudah terkoreksi geometri dengan resolusi spasial 6-meter, yang diperoleh dari Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh (Pustekdata), LAPAN serta peta batimetri skala 1:50.000 yang diperoleh dari Pusat Hidro-Oseanografi TNI Angkatan Laut.

  • 2.3    Pengambilan Data Lapangan

Pengambilan data lapangan (data in situ) dilakukan untuk mendapatkan suatu informasi mengenai jenis habitat dasar perairan dangkal yang selanjutnya data tersebut akan digunakan sebagai input training area dalam melakukan klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan algoritma maximum likelihood serta sebagai input dalam uji akurasi hasil pemetaan.

Metode sampling yang digunakan dalam pengambilan data lapangan adalah purposive dan proportional random sampling (BIG, 2014). Pengambilan posisi dari titik pengamatan dicatat menggunakan GPS yang disertai dengan foto objek dasar perairan. Pada penelitian ini didapatkan 700 titik sampel habitat dasar perairan dangkal di perairan Nusa Lembongan, dimana 75% atau 525

Gambar 1. Peta lokasi penelitian.


titik untuk klasifikasi citra dan 25% atau 175 titik untuk uji akurasi hasil pemetaan.

  • 2.4    Prosedur Pengolahan Data

Prosedur pengolahan data dalam peneltian ini terdiri atas dua tahap, yaitu (1) pra pengolahan citra yang terdiri atas koreksi radiometri dan pemotongan citra (cropping) serta (2) pengolahan citra yang terdiri atas penyusunan komposit citra, masking citra, transformasi citra, dan interpretasi citra (Gambar 2). Kedua tahapan tersebut dilakukan guna memperoleh sebaran habitat dasar periaran dangkal dari citra SPOT-7 berdasarkan data lapangan.

Gambar 2. Diagram alir prosedur pengolahan data.

  • 2.3.1.    Pra Pengolahan Citra

Tahap awal dalam proses pengolahan citra satelit adalah pra pengolahan citra. Tahap pra pengolahan citra sendiri meliputi koreksi radiometri dan pemotongan citra (cropping). Koreksi radiometri pada penelitian ini menggunakan metode Dark Pixel Substraction (DPS). Koreksi ini dimaksudkan

untuk memperbaiki kualitas citra akibat gangguan di atmosfer, seperti hamburan awan (haze) ataupun hamburan objek yang lainnya. Asumsi dari metode DPS ini adalah apabila tidak ada gangguan dari atmosfer, maka nilai digital (ND) minimum pada liputan suatu citra pasti akan ditemui pixel yang bernilai 0, sehingga apabila nilai ND minimum pada liputan citra tidak sama dengan 0 maka dipastikan citra tersebut mengalami gangguan dari atmosfer (LIPI, 2014). Proses koreksi radiometri sendiri dilakukan menggunkan tool Grid Calculator pada software SAGA GIS dengan cara mengurangi nilai piksel citra pada saluran tertentu dengan nilai piksel minimumnya. Adapun persamaan tersebut dapat dilihat pada persamaan (1) (LIPI, 2014).

NP = NP - NPmin (1)

dimana NP’ adalah nilai piksel hasil koreksi; NP adalah nilai piksel citra pada saluran tertentu; dan NPmin adalah nilai piksel minimum.

Citra hasil koreksi radiometri kemudian di potong (cropping) sesuai dengan wilayah penelitian. Cropping citra merupakan suatu tahapan pra pengolahan citra yang bertujuan untuk membatasi daerah penelitian, sehingga akan memudahkan dalam menganalisis data. Proses pemotongan citra pada penelitian ini dilakukan menggunakan tool Clip Grids [interactive] pada software SAGA GIS.

  • 2.3.1.    Pengolahan Citra

Proses pengolahn citra terdiri atas penyusunan komposit citra, masking citra, transformasi citra dan intrepretasi citra. Penyusunan komposit citra merupakan suatu proses pengolahan citra yang bertujuan untuk mendapatkan visualisasi citra yang bagus sesuai dengan tujuan penelitian, dengan cara menggabungkan beberapa saluran yang berbeda. Komposit citra merujuk kepada komposisi pewarnaan RGB (Red-Green-Blue). Pada penelitian ini komposit citra yang digunakan, yaitu komposit warna asli (true color composite). Komposit RGB warna asli (true color composite) merupakan komposit yang baik digunkan untuk identifikasi kelas habitat dasar perairan dangkal, karena ketiga saluran tersebut memiliki tingkat penetrasi ke dalam air jernih yang cukup bagus, namun juga memiliki gangguang atmosferik yang cukup besar (BIG, 2014). Setelah proses penyusunan komposit citra selesai dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan proses masking citra.

Masking merupakan proses pemisahan antara objek penelitian dengan objek yang tidak termasuk dalam wilayah penelitian. Proses masking dilakukan pada wilayah darat (pulau) dan laut dalam. Hal tersebut dimaksudkan agar menghilangkan pengaruh nilai piksel dari darat dan laut dalam terhadap hasil klasifikasi yang dilakukan oleh komputer. Cakupan wilayah habitat dasar perairan dangkal dalam penelitian ini berada pada daerah laguna pesisir (coastal lagoon). Proses masking citra dilakukan dengan mendigitisasi secara manual batas area laut dalam, perairan laut dangkal, dan daratan dari hasil komposit warna asli (true color composite) karena pada hasil transformasi ini wilayah daratan, perairan laut dangkal dan perairan laut dalam memiliki kenampakan batas wilayah yang tegas, sehingga mudah untuk membedakan batas antar wilayah. Citra hasil masking kemudian dilanjutkan dengan proses transformasi citra.

Transformasi citra merupakan suatu proses untuk mendapatkan citra baru yang akan memberikan informasi yang jelas. Transformasi citra pada penelitian ini menggunakan metode Depth Invariant Index (DII), dimana dalam pengolahannya dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh gangguan yang terjadi di kolom perairan. Pembentukan citra baru dengan metode algoritma ini dilakukan dengan menggabungkan dua band sinar tampak. Pada penelitian ini, penggabunngan dua band sinar tampak yang digunakan pada transformasi DII, yaitu kombinasi band blue dan green, blue dan red, serta green dan red pada citra SPOT-7. Adapun persamaan yang digunakan, yaitu sebagai berikut (Lyzenga 1981).


DII band


= ln (Li )-


j l’’ U v 7


ki              ,       σii- σ jj

— = a + a a 2 +1 ; a =  ------

kj                 2× σj


(2)


(3)


dimana L1 adalah nilai digital pada band i; Lj adalah nilai digital pada band j; — adalah rasio koefisien kj

atenuasi pada pasangan band i dan band j; σu adalah variance band i; σjj adalah variance band j; dan σij adalah covariance band i dan j.

Nilai koefisien atenuasi pada perhitungan koreksi kolom air diperoleh dengan membuat training area pada daerah yang diasumsikan memiliki subtrat dasar yang bersifat homogen dan


dapat ditemukan di beberapa perbedaan kedalaman. Pada penelitian ini, objek pasir dipakai sebagai objek sampel dalam perhitungan ki/kj.

Citra hasil komposit true color dan transformasi DII, kemudian diinterpretasikan. Proses utama dalam interpretasi adalah klasifikasi citra. Dalam penelitian ini, proses klasifikasi dilakukan secara digital dengan klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) menggunakan algoritma klasifikasi maximum likelihood. Klasifikasi maximum likelihood akan mengkelaskan nilai piksel berdasarkan probabilitas suatu nilai piksel terhadap kelas tertentu dalam sampel piksel (Safitri dkk., 2017). Skema klasifikasi yang digunakan berdsarkan data hasil pengamatan di lapangan, yaitu sebanyak enam kelas. Keenam kelas habitat tersebut terdiri dari, kelas pasir, lamun, makro alga, pecahan karang (rubble), karang hidup, dan karang mati.

2.5 Analisis Ketelitian Data

Analisis ketelitian data dilakukkan untuk mengetahui ketelitian yang diperoleh dari hasil klasifikasi citra komposit maupun citra transformasi DII. Aanaliisis ketelitian data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode matriks kesalahan (confusion matrix). Confussion matrix sendiri merupakan matriks yang disusun untuk menentukan nilai akurasi dari user accuracy (UA), producer accuracy (PA), dan overall accuracy (OA). Berdasarkan pada SNI 7716:2011, batas akurasi yang dapat diterima untuk pemetaan habitat dasar perairan laut dangkal adalah sebesar > 60%

(Rahadiati dkk., 2018). Secara matematis ketiga akurasi tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut (Sampurno dan Thoriq, 2016).

Producer accuracy (PA) = xi- × 100% xi+

User accuracy (UA) = xr × 100% x+ i

k

Overall accuracy (OA) = —1 =1 xil × 100%

Selain menghitung akurasi hasil matriks ini juga akan menghitung


(4)


(5)


(6)


klasifikasi, error atau


kesalahan dari hasil klasifikasi citra. Terdapat dua error atau kesalahan pada matriks ini, yaitu omission error (OE) dan commission error (CE). Secara matematis kedua error tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut (Pamungkas dan Jatmiko, 2016).


Omission error (OE)= 100% - PAx

Commission error (CE) = 100% - UAx

(7)


(8)


dimana N adalah jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan; xii adalah nilai diagonal dari confussion matix baris ke-i dan kolom ke-i; x+i adalah jumlah piksel dalam kolom ke-i; xi+ adalah jumlah piksel dalam baris ke-i; PAx adalah nilai producer accuracy pada suatu kelas; dan UAx adalah nilai user accuracy pada suatu kelas.

Selain menghitung akurasi keseluruhan (overall accuracy) menggunakan confussion matrix, dalam penelitian ini juga akan menghitung akurasi hasil klasifikasi menggunakan analisis kappa (Khat statistik). Analisis kappa dapat digunakan untuk menutup kekurangan overall accuracy dari confussion matrix. Perhitungan koefisien kappa dilakukan dengan persamaan berikut (Djamaluddin dkk., 2019):

N^xii -∑k=1(Xi+ X+i^

Koefisien kappa (K ) =--------—;------—

N2 -i=1(Xi + X+i)

(9)


dimana N adalah total jumlah semua piksel yang digunakan untuk pengamatan; k adalah jumlah baris pada confussion matix (jumlah kelas); xii adalah nilai diagonal dari confussion matix baris ke-i dan kolom ke-i; x+i adalah jumlah piksel dalam kolom ke-i; dan xi+ adalah jumlah piksel dalam baris ke-i.

Jika nilai K ≥ 0,8 menandakan akurasi peta sangat baik, antara 0,4 – 0,8 berkategori sedang, dan jika nilai K ≤ 0,4 maka berkategori buruk (Congalton, 2001).

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Pengolahan Citra SPOT-7

Pemetaan habitat dasar perairan dangkal dalam penelitian ini dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu secara komposit citra dan transformasi citra. Untuk komposit citra menggunakan komposit warna asli (true color composite). Sedangkan untuk transformasi citra dilakukan menggunakan metode Depth Invariant Index (DII).

Komposit citra dilakukan untuk melihat objek yang terekam pada citra agar semakin mudah dibedakan dan dikenali dengan cara mengkombinasikan beberapa saluran citra. Komposit warna asli (true color composite) sendiri menggunakan 3 saluran band yang terdapat pada

citra SPOT-7, yaitu band 3 (red), band 2 (green), dan band 1 (blue). Sedangkan transformasi citra bertujuan untuk menghilangkan efek kedalaman akibat adanya objek air. Objek air pada citra mengakibatkan adanya efek kedalaman yang mana dapat mengganggu akurasi klasifikasi, sehingga transformasi citra menggunakan metode DII ini perlu dilakukan.

Pemilihan titik sampel merupakan hal pertama yang dilakukan untuk melakukan transformasi DII, yang mana nilai yang didapat dari sampel terpilih digunakan sebagai acuan untuk mendapatkan nilai variance, covariance dan nilai rasio koefisien atenuasi. Pemilihan titik sampel atau training area dilakukan dengan memilih objek homogen yang mudah ditemui dan dikenali pada kedalaman yang berbeda. Pada penelitian ini, objek pasir dipakai sebagai objek sampel.

Nilai spektral yang didapatkan melalui training area kemudian dicari nilai variance dan covariance pada tiap band yang digunakan. Nilai variance dicari pada masing-masing band blue, green, dan red sedangkan nilai covariance didapatkan dari perbandingan band yang digunakan, yaitu band blue dan green, band blue dan red, serta band green dan red. Setelah nilai variance dan covariane didapatkan, maka nilai rasio kofesien atenuasi dapat dihitung. Adapun hasil perhitungan rasio koefisien atenuasi yang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1

Hasil perhitungan nilai rasio koefisien atenuasi

Band          Rasio Koefisien Atenuasi (ki/kj)

Blue dan Green             0,694773372

Blue dan Red              0,689782153

Green dan Red              1,036745884

Setelah nilai rasio koefisien atenuasi kolom air didapatkan, maka langkah berikutnya adalah menerapkan algoritma DII (Depth Invariant Index). Hasil dari transformasi DII merupakan transformasi yang mana merubah tampilan warna dari citra dengan nilai piksel yang baru. Adapun tampilan citra sebelum dan sesudah transformasi DII yang dapat dilihat pada Gambar 3.

Hasil dari komposit citra dan transformasi citra, kemudian diklasifikasikan secara terbimbing (supervised classification) menggunakan algoritma maximum likelihood berdsarkan data hasil pengamatan di lapangan, yaitu sebanyak enam

Gambar 3. Tampilan perbandingan citra SPOT-7, (a) sebelum transformasi DII (true color composite), (b) sesudah transformasi DII.


kelas. Keenam kelas tersebut diantaranya, 1) pasir, 2) lamun, 3) makro alga, 4) pecahan karang (rubble), 5) karang hidup, dan 6) karang mati.

Tingkat akurasi dari hasil klasifikasi sendiri sangat ditentukan oleh ketelitian dalam pengambilan training area sebagai dasar pengkelasan selanjutnya oleh komputer. Dibutuhkan berbagai informasi seperti pola spektral dari training area habitat dasar dan jumlah sampel yang memadai untuk menghasilkan klasifikasi yang baik. Adapun pola spektral dari training area habitat dasar yang ditampilkan pada Gambar 4 dan 5.

Gambar 4. Pola spektral pada ruang spektral band 1 dan band 2 citra komposit.

Pada Gambar 4 dan 5 terlihat pola spektral kelas pasir (warna kuning) pada citra komposit dan transformasi DII menempati ruang spektral yang terpisah dari kelas lainnya, hal tersebut menandakan training area pada kelas pasir akan mampu terkelaskan dengan baik. Sedangkan pada kelas pecahan karang dan makro alga (warna ungu

dan biru) terlihat pola spektral yang menumpuk pada kelas lainnya, hal tersebut menandakan training area pada kelas pecahan karang dan makro alga akan susah terkelaskan dengan baik.

Gambar 5. Pola spektral pada ruang spektral pasangan band 1 band 2 serta pasangan band 1 band 3 transformasi DII.

  • 3.2    Pemetaan Habitat Dasar Perairan Dangkal

Kelas habitat dasar perairan dangkal di Nusa Lembongan, Bali tersebar secara sejajar sesuai dengan tingkat kedalaman perairannya. Berdasarkan hasil klasifikasi citra yang telah dibuat (Gambar 6) menunjukkan pola sebaran habitat dasar yang sama antara hasil komposit citra dengan citra hasil transformasi Depth Invariant Index (DII), dimana habitat dasar karang hidup tersebar pada daerah reef flat, reef crest/tubir hingga reef slope. Sedangkan habitat dasar karang mati banyak tersebar pada daerah reef flat hingga reef crest. Habitat dasar perairan dangkal yang ditemukan setelah karang hidup dan karang mati, yaitu




(a)

(b)


Gambar 6. Peta tematik 6 kelas habitat dasar perairan dangkal, (a) hasil komposit dengan klasifikasi maximum likelihood, (b) transformasi DII dengan klasifikasi maximum likelihood.

pecahan karang (rubble), makro alga, dan lamun, sedangkan subtrat pasir banyak ditemui di sepanjang garis pantai dan mendominasi di daerah mulut Selat Ceningan.

Perbedaan yang terdapat pada citra hasil komposit band dengan citra hasil transformasi DII, yaitu pada tingkat kedetailan dari informasi yang ditampilan, dimana citra hasil transformasi DII menghasilkan informasi sebaran habitat dasar perairan dangkal yang lebih detail jika dibandingkan dengan citra hasil komposit band, terutama pada daerah reef crest/tubir hingga reef slope. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Siregar (2010) yang menyebutkan bahwa hasil transformasi DII akan memberikan informasi yang lebih detail mengenai karakteristik dasar perairan dangkal dibandingkan dengan citra asli sebelum dilakukkan transformasi. Adapun perbandingan kedetailan informasi tersebut yang dapat dilihat pada Gambar 6.

Dari dua hasil peta tematik enam kelas habitat dasar perairan dangkal, selanjutnya dapat dihitung

luas dari setiap kelas habitat melalui analisi GIS (Geographic Information System). Hasil dari perhitungan luasan setiap kelas habitat dasar perairan dangkal dapat dilihat pada Tabel 2.

Berdasarkan hasil perhitungan luasan habitat dasar perairan dangkal dari peta tematik enam kelas menunjukkan bahwa habitat makro alga merupakan habitat yang memiliki luasan yang paling kecil pada kedua pendekatan yang digunakan, dengan luasan sebesar 40,21 ha (9%) untuk hasil klasifikasi citra komposit dan 46,77 ha (10%) untuk hasil klasifikasi transformasi DII. Sedangkan pada luasan habitat dasar yang paling tinggi mendapatkan hasil yang berbeda. Untuk hasil klasifikasi citra komposit menunjukkan habitat dasar pecahan karang merupakan habitat dasar yang memiliki luasan yang paling tingi, yaitu sebesar 112,45 ha (25%). Sedangkan untuk hasil kalsifikasi transformasi DII mendapatkan habitat dasar karang mati sebagai habitat dasar yang memiliki luasan yang paling tinggi, yaitu sebesar 100,39 ha (22%), dengan luasan total habitat dasar

perairan dangkal di pesisir Nusa Lembongan sebesar 453,41 ha.

Tabel 2

Luasan setiap kelas tutupan habitat dasar berdasarkan hasil citra komposit dengan klasifikasi maximum likelihood dan hasil transformasi DII dengan klasifikasi maximum likelihood

Kelas

Habitat

Komposit RGB

Transformasi DII

Luasan (ha)

Persentase (%)

Luasan (ha)

Persentase (%)

Pasir

49,68

11%

50,56

11%

Lamun

90,82

20%

89,46

20%

Makro Alga Pecahan

40,21

9%

46,77

10%

Karang

112,45

25%

86,11

19%

Karang Hidup

86,29

19%

80,12

18%

Karang Mati

73,96

16%

100,39

22%

Total

453,41

100%

453,41

100%

  • 3.3    Nilai Akurasi Hasil Pemetaan

Perhitungan akurasi hasil citra klasifikasi dengan data lapangan mengguanakan sebanyak 175 titik referensi dalam perhitungan parameter overall accuracy (OA), user accuracy (UA), producer accuracy (PA), omission error (OE), dan commission error (CE) yang dirangkum dalam satu matriks, yaitu matriks kesalahan atau yang disebut juga dengan confussion matrix. Matriks kesalahan ini akan membandingkan kelas per kelas hubungan antara data lapangan dengan data hasil klasifikasi citra. Adapun hasil perhitungan uji akurasi dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3

Confusion matrix habitat dasar perairan dangkal berdasarkan hasil citra komposit dengan klasifikasi maximum likelihood

Kelas Habitat

PA (%)

OE (%)

UA (%)

CE (%)

Karang Hidup

65,52

34,48

70,37

29,63

Makro Alga

51,72

48,28

71,43

28,57

Lamun

66,67

33,33

71,43

28,57

Pasir

86,21

13,79

80,65

19,35

Karang Mati

68,97

31,03

58,82

41,18

Pecahan Karang

62,07

37,93

52,94

47,06

OA (%)

66,86

K

0,60

Berdasarkan hasil perhitungan uji akurasi, didapatkan nilai overall accuracy pada hasil klasifikasi citra komposit sebesar 66,86% dengan nilai koefisien kappa 0,60, sedangkan pada hasil klasifikasi dengan transformasi DII meningkat menjadi 75,43% dengan nilai koefisien kappa sebesar 0,71. Dimana kualitas pemetaan pada kedua klasifikasi ini tergolong dalam katagori baik karena memiliki nilai overall accuracy di atas 60% dan nilai koefisien kappa berada pada kisaran 0,4 – 0,8 yang menandakan termasuk dalam katagori sedang.

Tabel 4

Confusion matrix berdasarkan hasil maximum likelihood

habitat dasar

transformasi DII

perairan dengan k

dangkal lasifikasi

Kelas Habitat

PA (%)

OE (%)

UA (%)

CE (%)

Karang Hidup

72,41

27,59

84,00

16,00

Makro Alga

58,62

41,38

73,91

26,09

Lamun

80,00

20,00

80,00

20,00

Pasir

89,66

10,34

83,87

16,13

Karang Mati

79,31

20,69

71,88

28,13

Pecahan Karang

72,41

27,59

61,76

38,24

OA (%)

75,43

K

0,71

Nilai user accuracy (UA) atau akurasi pengguna merupakan kemungkinan sebuah pixel dalam peta dapat mewakili dengan benar kelas yang terdapat di lapangan. Pada hasil klasifikasi citra komposit menunjukkan nilai UA terbesar terdapat pada kelas pasir dengan nilai 80,65% yang telah terklasifikasi dengan benar. Sedangkan untuk nilai terkecil terdapat pada kelas pecahan karang dengan nilai persentase 52,94% yang telah terpetakan sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan. Sementara 47,06% piksel gagal terpetakan sesuai dengan kelasnya, hal tersebut dikarenakan mamasukkan suatu daerah yang seharusnya dibuang dari suatu kelas tertentu atau disebut commission error (CE).

Nilai producer accuracy (PA) atau akurasi pembuat adalah kemungkinan seberapa besar suatu data lapangan dikelaskan dengan benar. Perhitungan PA pada hasil klasifikasi citra komposit menghasilkan kelas pasir sebagai kelas dengan nilai PA tertinggi, yaitu sebesar 86,21%. Sementara 13,79% pikesel yang seharusnya masuk

ke kelas pasir tidak terpetakan dengan benar (omission error atau membuang daerah yang seharusnya termasuk dalam kelas).

Perhitungan user accuracy (UA) pada hasil klasifikasi transformasi DII memberikan informasi yang berbeda dengan hasil klasifikasi citra komposit, dimana pada hasil klasifikasi transformasi DII menunjukkan bahwa kelas karang hidup memiliki nilai akurasi UA tertinggi, yaitu sebesar 84,00% dengan 16,00% tidak terpetakan sesuai dengan kelasnya (commission error). Kemudian kelas pecahan karang merupakan kelas yang memiliki nilai akurasi UA terkecil, yaitu sebesar 61,76%. Sedangkan pada hasil peritungan producer accuracy (PA) memberikan informasi bahwa kelas pasir merupakan kelas dengan nilai PA terbesar diantara kelas lainnya, yaitu sebesar 89,66%. Sementara 10,34% piksel yang seharusnya termasuk kedalam kelas pasir terpetakan sebagai kelas yang lain (omission error). Untuk nilai PA terkecil terdapat pada kelas makro alga, yaitu 58,62% dengan nilai omission error sebesar 41,38%.

Secara umum hasil uji akurasi dari dua pendekan yang digunakan menunjukkan citra hasil transformasi DII (Depth Invariant Index) dengan klasifikasi maximum likelihood memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan hasil citra komposit dengan klasifikasi maximum likelihood. Hal ini menujukkan bahwa penggunaan koreksi kolom air dengan metode DII sangat berpengaruh dalam meningkatkan akurasi hasil pemetaan habitat dasar perairan dangkal, dimana berdasarkan hasil perhitungan uji akurasi penggunaan metode DII ini mampu meningkatkan nilai akurasi keseluruhan atau overall accuracy (OA) sebesar 8,57%.

Meningkatnya nilai akurasi tersebut salah satunya disebabkan karena kondisi habitat dasar perairan dangkal pada saat akuisisi citra berada di kolom perairan. Menurut BIG (2014) hasil transformasi DII akan lebih baik digunakan apabila kondisi habiatat dasar perairan dangkal berada di dalam kolom air, namun apabila kondisi habitat dasar perairan dangkal dalam keadaan terpapar (pada kondisi surut), maka tidak perlu dilakukan koreksi kolom air karena akan menghilangkan detail objek tertentu. Selain itu, menurut Siregar (2010) penggunaan metode DII ini mampu mengeliminir faktor kedalaman (koreksi kolom air), sehingga dapat digunakan sebagai indeks karakteristik dasar perairan. Adapun data pasang surut di Nusa Lembongan berdasarkan hasil model

pasang surut yang dikembangkan oleh Ocean Research Institute (ORI), Universitas Tokyo (ORI-Tide) pada saat akuisisi citra SPOT-7 yang dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Grafik pasang surut Nusa Lembongan tanggal 6 juni 2019 berdasarkan hasil model ORI-Tide.

Studi pemetaan habitat dasar perairan dangkal menggunakan citra satelit SPOT-7 sebelumnya pernah dilakukan oleh Desa (2017) mengenai klasifikasi habitat bentik menggunakan citra SPOT-7 di perairan dangkal Pulau Harapan dan Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu. Penelitian tersebut menggunakan skema klasifikasi 11 kelas dengan metode klasifikasi maximum likelihood yang menghasilkan overall accuracy (OA) sebesar 66,66% untuk komposit RGB 321 dan 24,07% untuk transformasi DII. Berkurangnya nilai akurasi pada citra hasil transformasi DII dikarenakan adanya kesalahan dalam penentuan training area yang digunakan dalam penentuan nilai koefisien atenuasi (Desa, 2017). Sedangkan dalam penelitian Putra dan Khakhim (2014) mengenai pemetaan habitat bentik menggunakan citra QuickBird di sebagian Pulau Kemujan, Kepulauan Karimunjawa, mendapatkan hasil overall accuracy (OA) dengan skema klasifikasi 6 kelas sebesar 67,705 untuk citra hasil transformasi DII dan 58,38% untuk citra tanpa koreksi kolom air. Begitu pula dengan hasil penelitian Prawoto dan Hartono (2018) mengenai pemetaan habitat bentik dengan citra multispektral Sentinel-2A di perairan Pulau Menjangan Kecil dan Menjangan Besar, Kepulauan Karimun Jawa. Penelitian tersebut menggunakan skema klasifikasi 4 kelas dan memperoleh nilai overall accuracy (OA) citra hasil transformasi DII lebih besar dibandingkan dengan citra tanpa koreksi kolom air, yaitu sebesar 80,73% untuk hasil transformasi DII dan 71,56% untuk hasil citra tanpa koreksi kolom air.

Selain dipengaruhi oleh koreksi kolom perairan atau DII, tinggi rendahnya nilai akurasi yang diperoleh berkaitan juga dengan jumlah kelas yang digunakan dalam skema klasifikasi. Menurut Selamat dkk. (2012) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah kelas yang ditampilkan maka akan menurunkan daya akurasi dari peta tematik tersebut. Selain itu, faktor lain yang juga dapat mempengaruhi tingkat akurasi hasil pemetaan adalah adanya kesalahan dalam penentuan training area masing-masing kelas habitat dasar perairan dangkal, adanya kesalahan dalam mengidentifikasi objek habitat dasar perairan dangkal berdasarkan definisi yang digunakan, serta terjadinya deplacement (perpindahan) lokasi objek yang diamati akibat adanya selisih posisi antara citra dan GPS (Siregar, 2010).

Simpulan

Berdasarkan hasil yang telah didapatkan dapat disimpulkan bahwa sebaran habitat dasar perairan dangkal di Nusa Lembongan menggunakan citra satelit SPOT-7 tersebar secara sejajar berdasarkan pada tingkat kedalaman air, dimana habitat dasar karang hidup tersebar pada daerah reef flat, reef crest hingga reef slope. Sedangkan habitat dasar karang mati banyak tersebar pada daerah reef flat hingga reef crest. Habitat dasar perairan dangkal yang ditemukan setelah karang hidup dan karang mati, yaitu makro alaga, pecahan karang (rubble), dan lamun, sedangkan subtrat pasir banyak ditemui di sepanjang garis pantai dan mendominasi di daerah mulut Selat Ceningan, dengan total luasan keseluruhan habitat dasar perairan dangkal di Nusa Lembongan sebesar 453,41 ha.

Hasil perhitungan akurasi menunjukkan hasil klasifikasi transformasi DII lebih baik dibandingkan dengan hasil klasifikasi citra komposit dengan overall accuracy (OA) sebesar 75,43% dan koefisien kappa sebesar 0,71, sehingga dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa penggunaan koreksi kolom air dengan metode DII (Depth Invariant Index) dapat meningkatkan akurasi citra dalam pemetaan habitat dasar perairan dangkal.

Ucapan terima kasih

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh (Pustekdata), LAPAN serta Pusat Hidro-

Oseanografi TNI Angkatan Laut atas data yang telah penulis gunakan.

Daftar Pustaka

Arief, M. (2012). Aplikasi data satelit Spot-4 untuk mendeteksi terumbu karang: studi kasus di Pulau Pari. Majalah Ilmiah Globe, 14(1), 1-6.

Arief, M., Adawiah, S. W., Parwati, E., & Marpaung, S. (2017). Metode dual kanal untuk estimasi kedalaman di perairan dangkal menggunakan data Spot-6 studi kasus: Teluk Lampung. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital, 14(1), 37-50.

BIG. (2014). Pedoman Teknis Pengumpulan dan Pengolahan Data Geospasial Habitat Dasar Perairan Laut Dangkal. Cibinong, Indonesia: Badan Informasi Geospasial.

Congalton, R. G. (2001). Accuracy assessment and validation of remotely sensed and other spatial information. International Journal of Wildland Fire, 10(4), 321-328.

Desa, P. R. (2017). Klasifikasi Habitat Bentik Menggunakan Citra SPOT-7 di Perairan Dangkal Pulau Harapan dan Pulau Kelapa, Kepulauan Seribu. Skripsi. Bogor, Indoensia: Departemen Ilmu Dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Djamaluddin, M., Ramlan, A., & Jayadi, M. (2019).

Monitoring    perubahan    areal    persawahan

menggunakan aplikasi sistem informasi geografis (studi kasus Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa). Jurnal Ecosolum, 2(1), 101-114.

Lasabuda, R. (2013). Pembangunan wilayah pesisir dan lautan dalam perspektif Negara Kepulauan Republik Indonesia. Jurnal Ilmiah Platax, 1(2), 92-101.

LIPI. (2014). Panduan Teknis Pemetaan Habitat Dasar Perairan Laut Dangkal. Jakarta, Indonesia: Pusat

Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Lyzenga, D. R. (1981). Remote sensing of bottom reflectance and water attenuation parameters in shallow water using aircraft and Landsat data. International Journal of Remote Sensing, 2(1), 71-82.

Muharara, C. P., & Satria, A. (2018). Analisis tingkat keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah berbasis masyarakat. Jurnal Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat [JSKPM], 2(2), 255-270.

Pamungkas, B., & Jatmiko, R. H. (2016). Pemanfaatan citra penginderaan jauh dan sistem informasi geografis untuk pemetaan erosi di DAS Serang Kabupaten Kulonprogo. Jurnal Bumi Indonesia, 5(1), 1-10.

Prabowo, N. W., Siregar, V. P., & Agus, S. B. (2018). Klasifikasi habitat bentik berbasis objek dengan algoritma support vector machines dan decision tree menggunakan citra multispektral Spot-7 di Pulau

Harapan dan Pulau Kelapa. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 10(1), 123-134.

Pramudya, F. S., Wikantika, K., & Windupranata, W. (2014). Satellite-based benthic habitat mapping using Landsat 8 in Nusa Lembongan and Nusa Ceningan island. In Proceedings of the 35th Coference on Remote Sensing (ACRS 2014), Nay Pyi Taw, Myanmar, 27-31 October 2014 (pp. 716-721).

Prawoto, C. D., dan Hartono. (2018). Pemetaan habitat bentik dengan citra multispektral Sentinel-2A di perairan Pulau Menjangan Kecil dan Menjangan Besar, Kepulauan Karimunjawa. Jurnal Bumi Indonesia, 7(3), 1-8.

Putra, F. M. G., dan Khakhim, N. (2014). Pemetaan habitat bentik menggunakan citra quickbird di sebagian Pulau Kemujan, Kepulauan Karimunjawa. Jurnal Bumi Indonesia, 3(2), 1-11.

Rahadiati, A., Soewardi, K., Wardiatno, Y., & Sutrisno, D. (2018). Pemetaan sebaran budidaya rumput laut: pendekatan analisis multitemporal. Majalah Ilmiah Globe, 20(1), 13-22.

Ramadhan, T. B., Chrismianto, D., & Rindo, G. (2016). Studi perancangan kapal hydrofoil monohull untuk penyebrangan Pantai Sanur-Nusa Lembongan. Jurnal Teknik Perkapalan, 4(2), 501-511.

Safitri, R., Ghalib, M., & Efriyeldi, E. (2017). Analisis perubahan luasan hutan mangrove menggunakan data citra Landsat di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, 4(2), 1-16.

Sampurno, R. M., & Thoriq, A. (2016). Klasifikasi tutupan lahan menggunakan citra Landsat 8 operational land imager (OLI) di Kabupaten Sumedang. Jurnal Teknotan, 10(2), 61-70.

Selamat, M. B., Jaya, I., Siregar, V. P., & Hestirianoto, T. (2012). Akurasi tematik peta substrat dasar dari citra Quickbird (studi kasus Gusung Karang Lebar, Kepulauan Seribu, Jakarta). Journal of Marine Sciences, 17(3), 132-140.

Setyawan, I. E., Siregar, V. P., Pramono, G. H., & Yuwono, D. M. (2014). Pemetaan profil habitat dasar perairan dangkal berdasarkan bentuk topografi: studi kasus Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Jakarta. Majalah Ilmiah Globe, 16(2), 125-132.

Siregar, V. (2010). Pemetaan substrat dasar perairan dangkal Karang Congkak dan Lebar Kepulauan Seribu menggunakan citra satelit QuickBird. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 2(1), 19-30.

© 2021 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).

J. Mar. Aquat. Sci. 7: 184-195 (2021)