Journal of Marine and Aquatic Sciences 7(2), 148-157 (2021)

Perbandingan Morfometrik dan Meristik Lamun Cymodoceae serrulata di Perairan Sanur dan Tanjung Benoa, Bali

Ni Putu Ayu Aryanti a*, Elok Faiqoh a, I Dewa Nyoman Nurweda Putra a

a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Badung, Bali, Indonesia

* Penulis koresponden. Tel.: +62-821-462-974-22

Alamat e-mail: [email protected]

Diterima (received) 7 Agustus 2019; disetujui (accepted) 4 Agustus 2021; tersedia secara online (available online) 1 Desember 2021

Abstract

Cymodoceae serrulata is a type of seagrass that has a slender and round-toothed shape on the tips of leaves that can live in a variety of substrates ranging from rocking to muddy sand. Morphometrics and meristic can describe the environmental conditions of living seagrasses which can be seen from leaf morphology, stem morphology, rhizoma morphology and root morphology. Morfometrics is a measurement to determine the quantitative morphology of an organism while meristic is a calculation of the number of parts of an organism. This research was conducted in January-April 2019 using a purposive sampling method at 8 observation stations in the waters of Sanur and Tanjung Benoa. Data were analyzed by sturges criteria and principal componen analysis. Based on the results of the study, leaf length ranged from 13.4-246.6 mm, leaf width ranged from 3-18.5 mm, stem length ranged from 1-130.3 mm, root length ranged from 10.1-134.1 mm, rhizoma length ranged from 10.1-78.8 mm, rhizoma diameter ranged from 1.2-3.73 mm, the diameter of the leaf stalk ranged from 1.11-3.63 mm and the number of leaves ranged from 2-5 strands. The principal component analysis showed that texture of the substrate (sand, dust, and clay) that most influences the morphometric-meristic seagrass Cymodoceae serrulata is the texture of dust and clay texture. Where the dust texture affects morphometrics-meristik such as the length of the leaf, leaf width, stem length, rhizoma length, root length and number of leaves. While of the stem diameter and rhizoma diameter and root length are influenced by clay texture.

Keywords: Cymodoceae serrulata ; morphometric; meristic; Sanur; Tanjung Benoa

Abstrak

Cymodoceae serrulata adalah jenis lamun yang memiliki bentuk daun ramping dan membulat bergerigigi pada ujung daun yang dapat hidup diberbagai substrat mulai dari substrat berkarang hingga substrat pasir berlumpur. Morfometrik dan meristik dapat menggambarkan kondisi lingkungan tempat hidup lamun yang dapat dilihat dari morfologi daun, morfologi tangkai daun, morfologi rhizoma serta morfologi akar. Morfometrik merupakan pengukuran untuk menentukan morfologi secara kuantitatif dari suatu organisme sedangkan meristik merupakan sebuah perhitungan jumlah bagian dari suatu organisme. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari-April 2019 dengan menggunakan metode purposive sampling di 8 stasiun pengamatan di Perairan Sanur dan Tanjung Benoa. Data dianalisis dengan analisis deskriptif, kriteria Sturges dan analisis komponen utama (PCA). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil panjang daun berkisar 13.4-246.6 mm, lebar daun berkisar antara 3-18.5 mm, panjang tangkai berkisar antara 1-130.3 mm, panjang akar berkisar antara 10.1-134.1 mm, panjang rhizoma berkisar antara 10.1-78.8 mm, diameter rhizoma berkisar antara 1.2-3.73 mm, diameter tangkai daun berkisar antara 1.11-3.63 mm dan jumlah daun rata-rata berkisar antara 2-5 helai. Pada analisis komponen utama atas dan bawah substrat menunjukkan bahwa tekstur substrat (pasir, debu, dan liat) yang paling berpengaruh terhadap morfometrik-meristik lamun Cymodoceae serrulata adalah tekstur debu dan tekstur liat. Dimana tekstur debu mempengaruhi morfometrik-meristik seperti pada bagian panjang daun, lebar daun, panjang tangkai, panjang rhizoma, panjang akar serta jumlah daun lamun Cymodoceae serrulata . Sedangkan morfometrik diameter tangkai dan diameter rhizoma serta panjang akar dipengaruhi oleh tekstur liat.

Kata Kunci: Cymodoceae serrulata ; morfometrik; meristik; Sanur; Tanjung Benoa

  • 1.    Pendahuluan

Lamun merupakan tumbuhan angiospermae atau tumbuhan berbunga yang memiliki daun, batang dan akar sejati yang mampu melakukan adaptasi secara penuh terhadap lingkungan yang memiliki salinitas tinggi (Graha dkk., 2016). Ekosistem lamun merupakan salah satu ekosistem kompleks yang memiliki fungsi serta manfaat yang sangat penting bagi wilayah perairan (Tangke, 2010). Fungsi ekologis lamun ialah sebagai produsen primer, perangkap sedimen serta habitat dan tempat mencari makan bagi organisme lainnya (Hartati dkk., 2012).

Di Indonesia, hingga saat ini diketahui terdapat 13 spesies lamun dari tujuh marga, salah satunya adalah suku Cymodoceae (Syukur, 2015). Menurut Sudiarta dan Sudiarta (2011), terdapat 10 jenis lamun yang ada di perairan Bali salah satunya adalah Cymodocea serrulata. Lamun jenis Cymodoceae serrulata memiliki bentuk daun ramping seperti pita yang lurus dan melengkung bergerigi pada bagian ujungnya (Sakey dkk., 2015). Cymodoceae serrulata merupakan jenis lamun yang paling peka terhadap kekeruhan dan merupakan salah satu jenis lamun yang menjadi makanan favorit dari dugong setelah Halophila sp. (Juraij dkk., 2014).

Morfologi dari lamun sangat ditentukan oleh kondisi lingkungannya, sehingga akan mempengaruhi fungsi serta peranan lamun (Wangkanusa dkk., 2017). Herkul and Kotta (2009), menyatakan bahwa pertumbuhan dan persebaran dari suatu lamun bergantung pada kondisi lingkungan tempat lamun tumbuh. Menurut Caboco et al. (2009), lamun memiliki kemampuan memodifikasi morfologi dalam merespon kondisi lingkungan. Perbedaan karakteristik jenis substrat pada habitat lamun dapat mempengaruhi morfometrik dan meristik dari suatu lamun (Amale dkk., 2016). Morfometrik merupakan suatu pengukuran untuk mengetahui bentuk (morfologi) kuantitatif dari suatu struktur organisme dan meristik merupakan suatu perhitungan untuk mengetahui jumlah dari suatu struktur organisme (Caboco et al., 2009).

Daerah Selatan Bali merupakan salah satu wilayah padang lamun yang sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar (Faiqoh dkk., 2017). Menurut Graha dkk. (2016); Gustavina dkk. (2018),

salah satu wilayah perairan tempat tumbuhnya lamun jenis Cymodoceae serrulata yaitu di Perairan Sanur dan Perairan Tanjung Benoa Sebagian besar Perairan Sanur memiliki substrat berpasir hingga pecahan karang (Sari dkk., 2017). Berbeda dengan Perairan Tanjung Benoa yang memiliki perbedaan substrat yakni pasir berlumpur (As-syakur dan Wiyanto. 2016).

Penelitian mengenai morfometrik dan meristik pada lamun sudah pernah dilakukan di Perairan Tanjung Benoa dengan judul Perbandingan Morfometrik dan Meristik Lamun Halophila ovalis di Perairan Pulau serangan dan Tanjung Benoa, Bali oleh Putri dkk., (2017). Namun penelitian tentang morfometrik dan meristik jenis lamun Cymodoceae serrulata di Perairan Sanur dan Perairan Tanjung Benoa belum pernah dilakukan. Namun penelitian tentang morfometrik dan meristik jenis lamun Cymodoceae serrulata di Perairan Sanur dan Tanjung Benoa masih minim, terutama mengenai informasi tentang komposisi subtrat lamun yang ada di kawasan perairan Sanur dan Tanjung Benoa tersebut. Adanya perbedaan karakteristik substrat pada kedua perairan pantai tersebut diduga akan memberikan pengaruh morfometrik dan meristik lamun jenis Cymodoceae serrulata hidup disana. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai morfometrik lamun jenis Cymodoceae serrulata di Perairan Sanur dan Tanjung Benoa.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-April 2019 yang dilaksanakan di Perairan Sanur dan Tanjung Benoa. Lokasi penelitian tersebar pada 8 stasiun penelitian yakni 4 titik di Perairan Sanur dan 4 titik di Perairan Tanjung Benoa. Stasiun penelitian A, B, C, dan D terdapat pada Perairan Sanur memiliki hamparan habitat lamun yang terhampar luas. Kondisi habitat lamun Cymodoceae serrulata yang ditemukan vegetasi tunggal (monospesific vegetation). Sedangkan pada stasiun E, F, G dan H yang terletak di perairan Tanjung Benoa memiliki Kondisi habitat lamun Cymodoceae serrulata yang ditemukan vegetasi campuran (mixed vegetation). Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Lokasi penelitian.


  • 2.2    Metodologi Penelitian

    • 2.2.1.    Tahap persiapan

Tahap ini meliputi studi literatur dan pengumpulan informasi mengenai kondisi umum lokasi penelitian, penentuan metode penelitian, survey awal lapangan, mempersiapkan alat dan bahan yang digunakan selama penelitian dan pelaksanaan penelitian dilapangan maupun di Laboratorium Ilmu Kelautan.

  • 2.2.2.    Penentuan stasiun pengamatan

Penentuan stasiun pengamatan dengan berdasar kan pada data-data hasil observasi awal yang telah dilakukan.    Penentuan    lokasi    penelitian

menggunakan metode purposive sampling yang dilakukan dengan memilih keterwakilan dari lokasi penelitian secara keseluruhan berdasarkan pada kondisi lingkungan dasar perairan yang ditumbuhi lamun Cymodoceae serrulata dengan substrat yang berbeda.

  • 2.2.3.    Pengambilan morfometrik-meristik lamun Cymodoceae serrulata

Pengambilan sampel lamun Cymodoceae serrulata dilakukan pada waktu surut terendah dengan

menggali substrat dari jenis lamun Cymodoceae serrulata sampai pada akarnya hingga 20 tegakan pada setiap stasiun penelitian. Setiap bagian tegakan terdiri atas akar, rhizoma, tangkai daun dan daun. Sampel dibersihkan dari sedimen yang melekat pada bagian daun, tangkai daun, rhizoma serta akar dan dimasukan dalam kantong plastik berlabel yang berisi air laut untuk mempertahankan kondisi lamun agar tidak layu.

  • 2.2.4.    Pengambilan parameter lingkungan

Parameter lingkungan yang diambil meliputi suhu, salinitas, pH, nutrient (nitrat dan fosfat), substrat. Pengambilan suhu, salinitas, pH dilakukan 1 kali secara in situ. Analisis jenis substrat dan C-organik dilakukan dilaboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. Untuk analisis nutrient dalam perairan dan substrat dilakukan di Laboratorium Analitik, Universitas Udayana.

  • 2.3    Pengukuran morfometrik-meristik lamun Cymodoceae serrulata

Pengukuran morfometrik dan meristik lamun Cymodoceae serrulata dilakukan di Laboratorium Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana yang meliputi pengukuran panjang dan lebar daun, panjang dan diameter

Tabel 1

Kondisi Parameter Lingkungan di Perairan Sanur dan Tanjung Benoa

Stasiun

Parameter Lingkungan                    Sanur                      Tanjung Benoa

A

B

C

D

E

F

G

H

Suhu

(º C)

27.5

28

28

30

29

28

28

28

Salinitas

(‰)

30

34

34

32

33

34

30

30

Perairan

pH

7

7

7

7

7

7

7

7

Nitrat

(mg/l)

0.039

0.153

0.127

0.139

0.105

0.115

0.479

0.530

Fospat

0.021

<0.001

0.093

0.107

0.009

<0.001

<0.001

0.037

Nitrat

(mg/kg)

6.655

6.456

5.269

10.25

0.423

5.235

0.769

0.298

Fospat

1.879

1.047

2.212

2.265

1.964

0.623

1.960

1.914

Substrat

C-organik

(%)

0.79

0.75

0.81

0.39

0.54

0.56

0.36

0.39

Debu

4.53

8.33

3.07

4.16

6.3

0.7

0.94

0.94

Tekstur (%)

Pasir

89.58

89.36

90.78

90.06

88.34

91.78

91.3

91.31

Liat

5.89

2.31

6.15

5.78

5.36

7.51

7.76

7.75

Tabel 2

Morfometrik-meristik lamun Cymodoceae serrulata

Morfologi

Satuan

Jumlah

Min

Max

Rata-rata

Panjang Daun

mm

160

11.4

246.6

84.1

Lebar Daun

mm

160

3

18.5

7.8

Panjang Tangkai

mm

160

1

130.3

22.7

Panjang Akar

mm

160

10.1

147.1

47.9

Panjang Rhizome

mm

160

10.1

78.8

32.5

Diameter Rhizome

mm

160

1.2

3.73

2.4

Diameter Tangkai

mm

160

1.11

3.63

2.0

Jumlah Daun

buah

160

2

5

3.4

Tabel 3

Pengkelasan morfometrik-meristik lamun Cymodoceae serrulata

Karakteristik

Stasiun

Sanur                 Tanjung Benoa

A    B    C    D    E    F    G    H

Panjang Daun Lebar Daun Panjang Tangkai Panjang Akar Panjang Rhizome Diameter Rhizome Diameter Tangkai Jumlah Daun

2      5      3      2      3      4      3       2

2      4      3      2      3      4      2       2

1       6       1        1       2       3       1        1

3      3      3      2      3      3      3       2

3      5      3      2      4      4      2       2

5      3      4      4      4     4      5      5

5      3      3      3      3      4      4       3

4      7      4      4      4     5      4      4

tangkai daun, panjang dan diameter rhizoma, panjang akar serta jumlah daun dengan mengunakan jangka sorong dan mikrometer sekrup.

  • 2.4    Analisis data

    • 2.4.1.    Penentuan stasiun pengamatan

Data hasil pengukuran morfometrik ditabulasi dan selanjutnya dianalisis menggunakan statistik

deskriptif untuk mendapatkan ukuran minimum-maksimum, dan rerata. Menurut Sugiyono (2012), Sebaran data yang dikelompokkan dalam bentuk interval menggunakan kriteria Sturges:

  •    Rata-rata

X1 + X 2 + X 3 + Xn

Rata - rata =-------------------- n

(1)


dimana Xn adalah jumlah data; dan n adalah

banyak data.

  •    Jumlah kelas

K =3.3logN

dimana K adalah banyaknya kelas yang sedang dicari; dan N adalah jumlah data.

  •    Range

Range = nilaitertinggi - nilaiterendah

  •    Panjang interval

    Ci =


    R K


    (4)


dimana Ci adalah interval kelas; R adalah range; dan K adalah banyaknya kelas yang dibuat.

  • 2.4.2.    Analisis komponen utama

Penggunaan analisis komponen utama (PCA) bertujuan untuk mendapatkan pengaruh dari tekstur substrat terhadap morfometrik-meristik lamun Cymodoceae serrulata. Dimana pengkategorian tekstur serta nilai dari masing-masing tekstur substrat didapatkan dari hasil pengujian tekstur sedimen di laboratorium. Analisis komponen utama (PCA) bertujuan untuk mengekstraksi informasi esensial yang terdapat dalam suatu matriks data, menghasilkan suatu representasi grafik yang memudahkan dalam interpretasi dan mengkaji suatu matrik data dari sudut pandang kemiripan antar individu atau hubungan antar variabel (Yunitha, 2014).

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Hasil

      • 3.1.1.    Karakteristik morfometrik-meristik lamun

Adapun parameter lingkungan yang diukur pada stasiun penelitian adalah suhu, salinitas, pH, nitrat dan fosfat pada perairan, nitrat dan fosfat pada pada substrat, C-organik serta tekstur sedimen. Hasil pengukuran dikedua stasiun pengamatan didapatkan hasil suhu berkisar 27.5–30º Celcius. Pada pengukuran salinitas didapatkan hasil berkisar 30–34 ‰. Pada pengukuran pH rata-rata bernilai 7. Pada pengukuran nitrat di perairan didapatkan hasil berkisar antara 0.04-0.53 mg/l. Pada pengukuran fosfat di perairan didapatkan hasil berkisar antara <0.01–0.11 mg/l. Pada pengukuran nitrat didapatkan hasil berkisar

antara 0.30-10.25 mg/l. Pada pengukuran fosfat di substrat didapatkan hasil berkisar antara 1.05–2.27 mg/l. Pada pengukuran c-organik didapatkan hasil berkisar 0.36–0.81 %. Pada pengukuran tekstur sedimen didapatkan hasil tekstur debu berkisar antara 0.7–8.33 %, tekstur pasir berkisar antara 89.4-91.8 % serta pada tekstur liat berkisar antara 2.31-5.89 %. Kondisi parameter lingkungan perairan Sanur dan Tanjung Benoa dapat dilihat pada Tabel 1.

Morfometrik-meristik hasil pengukuran dan pengkelasan lamun Cymodoceae serrulata dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Berikut ini merupakan morfometrik-meristik lamun Cymodoceae serrulata yang ditemukan:

  •    Daun lamun Cymodoceae serrulata

Panjang daun lamun Cymodoceae serrulata pada stasiun A-H memiliki ukuran morfometrik tertinggi pada stasiun B dengan nilai 135.9 mm dan terendah pada stasiun A dengan nilai 55.3 mm. Morfometrik daun lamun Cymodoceae serrulata dapat dilihat dalam (Gambar 2). Pada ukuran Morfometrik lebar daun memiliki nilai tertinggi pada stasiun B dengan nilai 10.6 mm dan terendah pada stasiun D dengan nilai 5.2 mm. Morfometrik daun lamun Cymodoceae serrulata dapat dilihat dalam Gambar 2.

Gambar 2. Morfometrik rata-rata panjang dan lebar daun lamun Cymodoceae serrulata pada stasiun A-H

  •    Panjang tangkai daun, akar dan rhizoma lamun Cymodoceae serrulata

Panjang tangkai lamun Cymodoceae serrulata pada stasiun A–H memiliki ukuran tertinggi pada stasiun B dengan nilai 83.1 mm dan terendah pada stasiun D dengan nilai 3.6 mm. Akar lamun Cymodoceae serrulata pada stasiun A–H memiliki ukuran morfometrik tertinggi pada stasiun A dengan nilai 53.8 mm sedangkan ukuran

morfometrik terendah pada stasiun B dengan nilai 43.1 mm. Panjang rhizoma lamun Cymodoceae serrulata pada stasiun A–H memiliki ukuran morfometrik tertinggi pada stasiun B dengan nilai 47.4 mm sedangkan ukuran morfometrik terendah pada stasiun G dengan nilai 23.8 mm. Morfometrik tangkai, akar dan rhizoma lamun Cymodoceae serrulata dapat dilihat dalam Gambar 3.

  •    Meristik lamun Cymodoceae serrulata

Ukuran meristik daun lamun Cymodoceae serrulata pada stasiun A–H memiliki ukuran meristik tertinggi pada stasiun B dengan nilai rata-rata 4 helai sedangkan ukuran meristik terendah pada stasiun D dengan rata-rata nilai 3 helai. Meristik daun lamun Cymodoceae serrulata dapat dilihat dalam Gambar 5.

Gambar 3. Morfometrik rata-rata panjang tangkai, akar dan rhizoma lamun Cymodoceae serrulata pada stasiun AH


Gambar 5. Rata-rata jumlah daun lamun Cymodoceae serrulata pada stasiun A-H


  •    Diameter tangkai daun dan rhizoma lamun Cymodoceae serrulata

Diameter rhizoma lamun Cymodoceae serrulata pada stasiun A–H memiliki ukuran morfometrik tertinggi pada stasiun H dengan nilai 2.7 mm sedangkan ukuran morfometrik terendah pada stasiun B dengan nilai 1.9 mm. Morfometrik rhizoma lamun Cymodoceae serrulata dapat dilihat dalam gambar 11. Diameter tangkai daun lamun Cymodoceae serrulata pada stasiun A–H memiliki ukuran morfometrik tertinggi pada stasiun A dengan nilai 2.3 mm sedangkan ukuran morfometrik terendah pada stasiun B dengan nilai 1.6 mm. Morfometrik rhizoma lamun Cymodoceae serrulata dapat dilihat dalam Gambar 4.

  • 3.1.2.    Pengaruh substrat terhadap morfometrik-meristik lamun

Berdasarkan hasil analisis komponen utama (PCA) hubungan morfometrik-meristik lamun Cymodoceae serrulata dengan tekstur substrat pada penelitian ini menunjukkan bahwa faktor komponen utama bawah substrat yang meliputi: panjang rhizoma, diameter rhizoma dan panjang akar. Hasil analisis menunjukan tekstur debu menunjukan adanya pengaruh terhadap panjang rhizoma namun berbanding terbalik terhadap diameter rhizoma dan panjang akar yang menunjukan tidak adanya pengaruh dari tekstur debu melainkan dengan tekstur liat. Analisis komponen utama substrat terhadap morfometrik-meristik bawah substrat dapat dilihat dalam Gambar 6.


ιιιιιιιι


Abcdefgh


■ Diameter Rhizome

■ Diameter Tangkai


Tanjung Benoa


Gambar 4. Morfometrik rata-rata diameter rhizoma dan tangkai lamun Cymodoceae serrulata pada stasiun A-H


Gambar 6. Analisis komponen utama bawah substrat


Berdasarkan hasil analisis komponen utama (PCA) hubungan morfometrik-meristik lamun Cymodoceae serrulata dengan tekstur substrat pada penelitian ini menunjukkan bahwa faktor komponen utama atas substrat yang meliputi: panjang daun, lebar daun, panjang tangkai, dimeter tangkai serta jumlah daun. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa tekstur debu mempengaruhi panjang daun, lebar daun, panjang tangkai dan jumlah daun, namun berbanding terbalik terhadap diameter tangkai yang menunjukan tidak adanya pengaruh dari tekstur debu melainkan dengan tekstur liat. Analisis komponen utama substrat terhadap morfometrik-meristik atas substrat dapat dilihat dalam Gambar 7.

Gambar 7. Analisis komponen utama atas substrat

  • 3.2    Pembahasan

Morfometrik dan meristik lamun Cymodoceae serrulata dapat menjelaskan kondisi lingkungan habitat lamun tersebut berada. Hasil pengkelasan pada Tabel 3. menunjukan bagaimana kondisi perairan di Perairan Sanur dan Tanjung Benoa. Dimana semakin rendah nilai kelas maka semakin tinggi nilai morfometrik-meristik pada setiap stasiunnya. Nilai morfometrik panjang daun lamun Cymodoceae serrulata tertinggi berada pada stasiun B dengan nilai berkisar 22.2-246.6 mm. Tingginya nilai morfometrik panjang daun lamun Cymodoceae serrulata di Stasiun B diduga akibat adanya kompetisi antara jenis lamun yang lain di lokasi stasiun penelitian dalam penyerapan sinar matahari sehingga menyebabkan nilai morfometrik daun lamun Cymodoceae serrulata lebih tinggi. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh Abal et al. (1994), menyatakan bahwa proses

pemanjangan morfologi lamun tejadi apabila kondisi perairan habitat lamun kekurangan cahaya matahari. Morfometrik panjang daun lamun Cymodoceae serrulata terendah terdapat pada stasiun A dengan nilai berkisar 20.5-78.1 mm. Rendahnya nilai morfometrik panjang lamun Cymodoceae serrulata diduga karena rendahnya unsur hara pada kolom perairan, sehingga daun lamun tidak mendapatkan asupan makanan yang cukup untuk pertumbuhan. Secara keseluruhan hasil analisis nilai morfometerik selama peneltian di Perairan Sanur menunjukan nilai yang tinggi bila dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan Sakey dkk. (2015), nilai morfometrik pada panjang daun lamun Cymodoceae serrulata yang ditemukan berkisar 59–141 mm di Perairan Minahasa.

Morfometrik lebar daun Cymodoceae serrulata tertinggi berada pada stasiun B dengan nilai berkisar 3-18.5 mm jika dibandingkan dengan stasiun E dengan nilai berkisar 3-10 mm. Tingginya nilai morfometrik lebar daun lamun Cymodoceae serrulata di Stasiun B diduga akibat rendahnya nutrient di perairan sehingga menyebabkan lamun Cymodoceae serrulata melakukan adaptasi dengan melebarkan daun untuk membantu penyerapan nutrient yang berfungsi untuk pertumbuhan. Hal ini sejalan dengan pendapat Hartati dkk. (2012), yang menyatakan bahwa penyerapan nutrien tidak hanya dilakukan oleh bagian akar tetapi juga dapat diserap oleh bagian daun langsung dari air laut.

Morfometrik panjang tangkai daun lamun Cymodoceae serrulata tertinggi berada pada stasiun B dengan nilai berkisar 77.7–130.3 mm. Sedangkan morfometrik panjang tangkai daun lamun Cymodoceae serrulata terendah terdapat pada stasiun D dengan nilai berkisar 1-8.6 mm. Tingginya nilai morfometrik panjang tangkai daun lamun Cymodoceae serrulata di Stasiun B diduga akibat kurangnya penyerapan sinar matahari, sehingga lamun Cymodoceae serrulata pada stasiun B mengupayakan diri dengan memanjangkan tangkai daun dalam penyerapan sinar matahari sehingga menyebabkan nilai morfometrik tangkai daun lamun Cymodoceae serrulata lebih tinggi. Apabila lamun Cymodoceae serrulata mendapatkan cukup sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesis sehingga tangkai daun tidak mengupayakan dirinya untuk memanjangkan tangkai dalam melangsungkan proses fotosintesis.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Abal et al. (1994), menyatakan bahwa proses pemanjangan morfologi lamun tejadi apabila kondisi perairan habitat lamun kekurangan cahaya matahari. Rendahnya nilai morfometrik panjang tangkai lamun Cymodoceae serrulata diduga pada stasiun A lamun Cymodoceae serrulata mendapatkan cukup sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesis. Hasil analisis nilai morfometerik penelitian pada Stasiun B di Perairan Sanur menunjukan nilai yang tinggi bila dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan Sakey dkk. (2015), nilai morfometrik pada panjang tangkai daun lamun Cymodoceae serrulata yang ditemukan berkisar 3.2–7.7 mm di Perairan Minahasa.

Diameter tangkai lamun Cymodoceae serrulata tertinggi berada pada stasiun A dengan nilai berkisar 1.26-3.63 mm. Tinnginya nilai diameter tangkai diduga akibat lamun Cymodoceae serrulata di stasiun G dikarenakan lamun menyimpan cadangan makannya di bagian batang. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tangke (2010), yang menyatakan bahwa batang lamun memiliki variasi yang sangat tinggi tergantung dari banyaknya setele pada batang yang mengandung xylem dan floem sebelum diedarkan keseluruh bagian tubuh lamun. fungsi dari batang sebagai tempat menyimpan cadangan makanan serta tempat transportasi makanan. Sebaliknya pada stasiun B memiliki diameter tangkai terendah dengan nilai berkisar antara 1.22-2.54 mm. Diduga karena lamun Cymodoceae serrulata di stasiun B mengupayakan diri dengan memanjangkan tangkai sehingga diameter tangkai pertumbuhannya menjadi lambat. Sesuai dengan pendapat Abal et al. (1994), bahwa dengan mengupayakan dirinya dalam mencari cahaya matahari dalam menunjang proses fotosintesisnya, maka tangkai daun Cymodoceae serrulata memanjangkan tangkainya sehingga menyebabkan rendahnya petumbuhan lebar diameter tangkai daun.

Ukuran diameter rhizoma tertinggi pada stasiun A dengan nilai berkisar antara 1.32-3.73 yang lebih lebar dibanding pertumbuhan panjangnya. Dengan membentuk rhizoma yang lebih kuat, maka diduga rhizoma lamun Cymodoceae serrulata pada stasiun tersebut melakukan aklimatisasi terhadap lingkungannya. Lamun akan memodifikasi bentuk morfologi dalam menghadapi kondisi lingkungan sekitarnya

(Cabaco et al., 2009). Diduga pada stasiun A lamun Cymodoceae serrulata  mengalami pertumbuhan

yang lambat hal ini didukung pendapat dari Marba and Duarte (1998), yang menyatakan

morfologi rhizoma lamun   mempengaruhi

pertumbuhannya. Lamun yang memiliki diameter rhizoma lebar memiliki pertumbuhan yang lambat, dibanding dengan lamun yang memiliki rhizoma yang sempit. Nilai diameter rhizoma yang lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan panjang. Dimana pertumbuhan panjang rhizoma tidak diikuti    dengan    pertumbuhan    diameter

rhizomanya. Sebagaimana terlihat dari rendahnya nilai diameter rhizoma dibandingkan dengan panjang rhizomanya. Selain itu, dameter rhizoma lamun juga berfungsi sebagai penahan dari ombat dan arus laut (Sari dan Lubis, 2017). Sedangkan diameter rhizoma terendah berada pada stasiun B dngan nilai berkisar 1.35-2.74 mm diduga akibat sumber makanan sudah dimanfaatkan semua sehingga tidak ada cadangan makanan yang tersimpa di rhizoma sehingga nilai diameter rhizoma menjadi rendah. Pernyataan tersebut membuktikan bahwa kandungan nilai nitrat dan fosfat pada kolom perairan berada pada batas rendah dalam tingkat kesuburan (Mustofa, 2015).

Panjang rhizoma tertinggi berada pada stasiun B dengan nilai berkisar 31.1–77.2 mm. Tingginya nilai morfometrik panjang tangkai rhizoma lamun Cymodoceae serrulata di stasiun B diduga rhizoma lamun mengalami perluasan untuk melakukan penyebaran lamun. Sejalan dengan pendapat Frasiandini (2012), yang menyatakan bahwa rhizoma dan akar bersama tumbuhan menancap kedalam substrat. Dimana tujuan terbenam di dalam substrat yang dapat meluas secara ekstensif dan memiliki peran yang utama pada reproduksi secara vegetatif dan reproduksi yang dilakukan secara vegetatif merupakan hal yang lebih penting dari pada reproduksi dengan pembibitan karena lebih menguntungkan untuk penyebaran lamun. Dibandingkan dengan stasiun G dengan nilai berkisar 10.3-55 mm. Rendahnya nilai panjang rhizoma diduga disebabkan karena pertumbuhan diameter rhizoma lebih cepat dibandingkan pertumbuhan panjangnya rhizomanya sehingga pertumbuhan panjang rhizoma lebih rendah dibandingkan diameternya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Marba and Duarte (1998), yang menyatakan bahwa lamun yang memiliki diameter batang yang lebar biasanya memiliki pertumbuhan panjang yang lambat.

Nilai morfometrik panjang akar lamun Cymodoceae serrulata tertinggi berada pada stasiun A dengan nilai berkisar 13.4–95.4 mm. Tingginya nilai morfometrik panjang akar lamun Cymodoceae serrulata di Stasiun A diduga akibat rendahnya unsur hara pada substrat sehingga lamun Cymodoceae serrulata mengupayakan diri dengan memanjangkan akar untuk mendapatkan unsur hara. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani dkk. (2016), yang menyatakan bahwa lamun akan menancapkan akarnya untuk mendapatkan unsur hara sebagai sumber makanan. Morfometrik panjang akar lamun Cymodoceae serrulata terendah terdapat pada stasiun b dengan nilai berkisar 12.5-86.5 mm. Rendahnya nilai morfometrik panjang akar lamun Cymodoceae serrulata diduga karena unsur hara di stasiun B lebih tinggi dibandingkan stasiun A. Sesuai dengan pendapat dari Putri dkk. (2017), yang   menyatakan   akar   lamun   tidak

mengupayakan diri memanjangkan akarnya karena akar lamun sangat mudah untuk mendapatkan nutrisi yang terdapat dalam substrat.

Meristik rata-rata daun Cymodoceae serrulata tertinggi berada pada stasiun B dengan rata-rata 45 helaian daun. Tingginya nilai meristik rata-rata daun diduga karena rendahnya kandungan unsur hara dalam kolom perairan, sehingga daun lamun Cymodoceae serrulata menyerap nutrisi secara maksimal sehingga jumlah daun lamun tersebut memiliki nilai morfometrik–meristik yang tinggi. Sedangkan nilai meristik rata-rata daun terendah berada pada stasiun D dengan nilai berkisar antara 3-5 helai daun. Rendahnya meristik daun diduga diduga karena pengaruh salinitas perairan yang mengganggu sistem keseimbangan osmotik pada kehidupan lamun yang berdampak pada fisiologi lamun (Handayani dkk., 2016).

Berdasarkan hasil yang didapatkan Gambar 7 menunjukan bahwa morfometrik-mristik panjang daun, lebar daun, panjang tangkai, diameter tangkai, diameter tangkai dan jumlah daun lamun Cymodoceae serrulata tekstur yang paling berpengaruh diantara tekstur substrat (pasir, debu, dan liat) adalah tekstur debu dan liat. Tekstur debu mempengaruhi morfometrik-meristik pada bagian panjang daun, lebar daun, panjang tangkai, panjang rhizoma, panjang akar serta jumlah daun lamun Cymodoceae serrulata. Morfometrik diameter tangkai dipengaruhi oleh tekstur liat. Hasil penelitian pada Gambar 6 menunjukan bahwa morfometrik panjang rhizoma, diameter tangkai

dan panjang akar tekstur yang paling berpengaruh adalah tekstur debu dan liat. Diameter rhizoma dipengaruhi oleh tekstur debu, sedangkan morfometrik panjang akar dan diameter rhizoma dipengaruhi oleh tekstur liat.

Perbedaan komposisi jenis substrat dapat menyebabkan perbedaan kesuburan dan pertumbuhan lamun. Menurut Wangkanusa dkk. (2017),  bahwa perbedaan komposisi ukuran

butiran substrat akan menyebabkan perbedaan nutrisi bagi pertumbuhan lamun dan proses

dekomposisi dan menteralisasi yang terjadi di dalam substrat. Pengaruh substrat pada habitat lamun akan menentukan pertumbuhan lamun. Hal ini diduga berkaitan dengan kondisi perairan dilokasi penelitian yang relatif tenang sehingga menyebabkan partikel nutrien mengendap. sehingga lamun dapat tumbuh dengan baik pada bagian daun lamun yang tidak terkena pengaruh air. Sejalan dengan Riniatsih dan Kushartono

(2009), yang menyatakan bahwa perairan yang lemah akan mengendapkan partikel substrat yang halus, sehingga menyebabkan pertumbuhan lamun akan berpusat pada panjang dan lebar daun.

  • 4.    Simpulan

Morfometrik panjang daun lamun Cymodoceae serrulata berkisar antara 13.4-246.6 mm, lebar daun berkisar 3-18.5mm, panjang tangkai daun berkisar antara 1 - 130.3 mm, panjang akar berkisar antara 10.1-134.1 mm, panjang rhizoma bekisar antara 10.1-78.8 mm, diameter rhizoma berkisar antara 1.2-3.73 mm, diameter tangkai daun bekisar antara 1.11-3.63 mm serta jumlah daun rata-rata berkisar antara 2–5 helai. Tekstur substrat yang paling berpengaruh terhadap panjang daun, lebar daun, panjang tangkai, jumlah daun dan panjang rhizoma adalah debu. Pada morfometrik diameter rhizoma dan panjang akar menunjukan adanya pengaruh dominan dari tekstur liat.

Daftar Pustaka

Abal, E. G., Loneraga, N., Bowen, P., Perry, C. J., Udy, J.

W., & Dennison, W. C. (1994). Physiological and

morphological responses of the seagrass Zostera capricorni Aschers to light intensity. Journal of Experimental Marine Biologi and Ecology, 178(1), 113– 129.

Amale, D., Kondoy, K. I., & Rondonuwu, A. B. (2016). Struktur morfometrik lamun Halophila ovalis di

perairan Pantai Tongkaina Kecamatan Bunaken Kota Manado dan Pantai Mokupa Kecamatan Tombariri Kabupaten Minahasa. Jurnal Ilmiah Platax, 4(2), 67-75.

As-Syakur, A. R., & Wiyanto, D. B. (2016). Studi kondisi hidrologis sebagai lokasi penempatan terumbu buatan di Perairan Tanjung Benoa Bali. Jurnal

Kelautan: Indonesian Journal of Marine Science and Technology, 9(1), 85-92.

Cabaco, S., Machas, R., & Santos, R. (2009). Individual and population plasticity of the seagrass zostera noltii along a vertical intertidal gradient. Estuarine Coastal and Shelf Science, 82(2), 301–308.

Faiqoh, E., Wiyanto, D. B., & Astrawan, I. G. B. (2017). Peranan padang lamun Selatan Bali sebagai pendukung kelimpahan ikan di Perairan Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 3(1), 10-18.

Frasiandini, I. (2012). Struktur morfologi dan anatomi Syringodium isoetifolium di Pantai Kondang Merak Malang. Lentera Bio, 1(2), 67-74.

Graha, Y. I., Arthana, I. W., & Karang, I. W. G. A. (2016). Simpanan karbon padang lamun di kawasan Pantai Sanur, Kota Denpasar. ECOTROPHIC: Jurnal Ilmu Lingkungan (Journal of Environmental Science), 10(1), 46-53.

Gustavina, N. L. G. W. B., Dharma, I. G. B. S., & Faiqoh, E. (2018). Identifikasi kandungan senyawa fitokimia pada daun dan akar lamun di Pantai Samuh Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 4(2), 271-277.

Handayani, D. R., Armid, A., & Emiyarti, E. (2016). Hubungan  kandungan nutrien dalam substrat

terhadap kepadatan lamun di Perairan Desa Lalowaru Kecamatan Moramo Utara. Jurnal Sapa Laut (Jurnal Ilmu Kelautan), 1(2), 42-53.

Hartati, R., Junaedi, A., Hariyadi, H., & Mujiyanto, M. (2012). Struktur komunitas padang lamun di Perairan Pulau Kumbang, Kepulauan Karimunjawa. Ilmu Kelautan: Indonesian Journal of Marine Sciences, 17(4), 217-225.

Herkul, K., & Kotta, J. (2009). Effect of eelgrass (Zostera marina) canopy removal and sediment addition on sediment characteristics and benthic communities in the Northern Baltic Sea. Marine Ecology, 30(1), 74–82.

Juraij, J., Bengen, D. G., & Kawaroe, M. (2014).

Keanekaragaman jenis lamun sebagai sumber pakan dugong dugong pada Desa Busung Bintan Utara Kepulauan Riau. Omni-Akuatika, 13(19), 71-76.

Marba, N., & Duarte, C. M. (1998). Rhizome elongation and seagrass clonal growth. Marine Ecology Progress Series, 174, 269-280.

Mustofa, A. (2015). Kandungan nitrat dan pospat sebagai faktor tingkat kesuburan perairan pantai. Jurnal DISPROTEK, 6(1), 13-19.

Putri, I. G. A. R. M., Dirgayusa, I. G. N. P., & Faiqoh, E. (2018). Perbandingan morfometrik dan meristik lamun Halophila ovalis di Perairan Pulau Serangan dan Tanjung Benoa, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 4(2), 213-224.

Riniatsih, I., & Kushartono, E. W. (2009). substrat dasar dan parameter oseanografi sebagai penentu keberadaan gastropoda dan bivalvia di Pantai Sluke Kabupaten Rembang. Indonesian Journal of Marine Sciences, 14(1), 50-59.

Sakey, W. F., Wagey, B. T., & Gerung, G. S. (2015). variasi morfometrik pada beberapa lamun di Perairan Semenanjung Minahasa. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis, 3(1), 1-7.

Sari, D. P., & Lubis, M. Z. (2017). Pemanfaatan citra landsat 8 untuk memetakan persebaran lamun di wilayah pesisir Pulau Batam. Jurnal Enggano, 2(1), 3845.

Sari, T. P., As-syakur, A. R., Suteja, Y., & Wiyanto, D. B. (2017). Hubungan kepadatan bulu babi (Echinoidea) dan tutupan terumbu karang pada kawasan intertidal Pantai Sanur. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 3(2), 134-141.

Sudiarta, I. K., & Sudiarta, I. G. (2011). Status kondisi dan identifikasi permasalahan kerusakan padang lamun di Bali. Jurnal Mitra Bahari, 5(2), 104-126.

Sugiyono. (2015). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R & D. (22th ed.). Bandung, Indonesia: Alfabeta.

Syukur, A. (2015). Distribusi, keragaman jenis lamun (seagrass) dan status konservasinya di Pulau Lombok. Jurnal Biologi Tropis, 15(2), 171-182.

Tangke, U. (2010). Ekosistem padang lamun (manfaat, fungsi dan rehabilitasi). Agrikan: Jurnal Agribisnis Perikanan, 3(1), 9-29.

Wangkanusa, M. S., Komdoy, K. I. F., & Rundonuwu, A. B. (2017). Identifikasi kerapatan dan karakter morfometrik lamun Enhalus acoroides pada substrat yang berbeda di Pantai Tongkeina Kota Manado. Jurnal Ilmiah Platax, 5(2), 210-220.

Yunitha, A. (2014). Diameter substrat dan jenis lamun di Pesisir Bahoi Minahasa Utara: sebuah analisis korelasi. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), 19(3), 130-135.

© 2021 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).

J. Mar. Aquat. Sci. 7: 148-157 (2021)