Perbandingan Laju Pertumbuhan Abalon (Haliotis squamata) Menggunakan Metode Co-culture Dan Monoculture di Pantai Geger, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali
on
Journal of Marine and Aquatic Sciences 7(2), 232-242 (2021)
Perbandingan Laju Pertumbuhan Abalon (Haliotis squamata) Menggunakan Metode Co-culture Dan Monoculture di Pantai Geger, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali
I Made Subali Arta a*, I Gusti Ngurah Putra Dirgayusa a, Ni Luh Putu Ria Puspitha a
a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Badung, Bali-Indonesia
* Penulis koresponden. Tel.: +62-82266-186-216
Alamat e-mail: [email protected]
Diterima (received) 30 Juli 2019; disetujui (accepted) 6 Agustus 2021; tersedia secara online (available online) 1 Desember 2021
Abstract
This research was conducted at Geger Beach, Nusa Dua, Bali for 60 days. The purpose of this study was to find out the ratio of abalone growth rate (Haliotis squamata) to co-cultured and monoculture cultivation systems in Geger Beach waters, Nusa Dua, Bali, knowing that abalone stocking densities were more effective in culture systems and knowing more abalone stocking densities effective on monoculture systems. The method used uses the Complete Randomized Design (CRD) method which consists of four treatments with each treatment there are three repetitions. The treatment of Haliotis squamata abalone shells which is integrated with dense stocking differs from planting the same seaweed. The test animals were stocked with each basket with a density of 40 tails and 20 tails. The food given for abalone is cotoni sp. which is where seaweed cotoni sp. obtained from cultivation. Based on the comparison of the growth rate of abalone (Haliotis squamata) in co-culture and monoculture cultivation in terms of abalone length with stocking density 20 of the co-culture cultivation system obtains the highest length value of 2.50%, while the co-culture cultivation system with stocking density 40 gets the value the highest is 4.19%. At the weight of the Haliotis squamata abalone with the coculture cultivation system at 20 stocking densities, the highest value was 0.04% and 40 highest stocking densities on the co-culture system at 1.04%. At the length of the abalone Haliotis squamata with 20 thick stocking monoculture systems got the highest value of 7.63%, while the highest stocking density of 40 was 1.28%. On abalone weight monoculture system with 20 density has the highest value of 2.67%, while 40 density has the highest value of 0.48%.
Keywords: abalon; co-culture; monoculture
Abstrak
Penelitian ini dilakukan di Pantai Geger, Nusa Dua, Bali selama 60 hari. Tujuan penelitian ini adalah Mengetahui perbandingan laju pertumbuhan abalon (Haliotis squamata) dengan sistem budidaya co-culturedan monoculture di perairan Pantai Geger, Nusa Dua, Bali, mengetahui padat tebar abalon yang lebih efektif dilakukan pada sistem coculture dan mengetahui padat tebar abalon yang lebih efektif dilakukan pada sistem monoculture. Metode yang digunakan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari empat perlakuan dengan masing-masing perlakuan terdapat sebanyak tiga kali pengulangan. Perlakuan berupa kerang abalon (Haliotis squamata) yang diintegrasikan dengan padat tebar tanam yang berbeda dengan tanam rumput laut yang sama. Hewan uji ditebar setiap keranjang dengan kepadatan 40 ekor dan 20 ekor. Makanan yang diberikan untuk abalone yaitu cotoni sp. yang dimana rumput laut cotoni sp. didapatkan dari hasil budidaya. Berdasarkan perbandingan laju pertumbuhan abalon (Haliotis squamata) pada budidaya co-culture dan monoculture dari segi panjang abalon dengan padat tebar 20 dari sistem budidaya co-culture mendapatkan nilai panjang tertinggi sebesar 2.50%, sedangkan sistem budidaya co-culture dengan padat tebar 40 mendapatkan nilai tertinggi 4.19%. Pada berat abalon Haliotis squamata dengan sistem budidaya co-culture pada padat tebar 20 nilai tertinggi 0.04% dan padat tebar 40 nilai tertinggi pada sistem co-culture sebesar 1.04%. Pada panjang abalon Haliotis squamata dengan sistem monoculture padat tebar 20 mendapatkan nilai yang tertinggi 7.63%, sedangkan padat tebar 40 nilai tertinggi sebesar 1.28%. Pada berat abalon sistem monoculture dengan padat tebar 20 mendapatkan nilai tertinggi sebesar 2.67%, sedangkan padat tebar 40 mendapatkan nilai tertinggi sebesar 0.48%.
Kata Kunci: abalon; co-culture; monoculture
Abalon (Haliotis sp.) dikenal dengan kerang bermata tujuh merupakan komoditas perikanan dunia yang tergolong dalam kelas Gastropoda dan hewan pemakan tumbuh-tumbuhan atau makroalga. Menurut Susanto et al. (2016), abalon yang ditemukan di Indonesia terdiri dari tujuh spesies yaitu H. squamata, H. ovina, H. glabra, H. asinina, H. varia, H. planata, dan H. crebrisculpta. Dari ketujuh spesies yang ditemukan di Indonesia hanya abalon Haliotis squamata dan abalon Haliotis asinina yang bisa memiliki potensi untuk dikembangkan dalam budidaya (BBL Lombok, 2010). Kerang abalon (Haliotis sp.) merupakan komoditas laut jenis moluska yang mempunyai satu cangkang dan kaki berupa otot yang digunakan untuk melekat pada substrat. Pemanfaatan abalon dapat sebagai hidangan laut (seafood) dan biasanya hanya disajikan di hotel/restoran berbintang dengan harga yang sangat tinggi. Hal ini dikarena abalon mempunyai nilai gizi tinggi, cita rasa yang khas, dipercaya mampu meningkatkan vitalitas dan rendah kolesterol sehingga menjadikan abalon termasuk ke dalam kerang eksklusif dan sangat digemari (BBL Lombok, 2010).
Abalon memiliki pertumbuhan yang sangat lambat sementara kebutuhan pada abalon semakin meningkat, sehingga dapat mendorong usaha penangkapan abalon di alam secara intensif (Cenni et al., 2009). Tingkat kelulushidupan kerang abalon relatif masih rendah yaitu antara 0,6-1,0% (Soelastyowati at al., 2013). Hal ini berhubungan dengan efisiensi dan kemudahan predator/hama yang merupakan faktor utama penyebab rendahnya tingkat kelulushidupan selain dari faktor perubahan kondisi lingkungan (Kuncoro dan Sudaryono, 2013). Permasalahan tersebut merupakan kendala yang perlu diselesaikan dengan menerapkan sistem budidaya co-culture dan monoculture. Konsep budidaya dengan menggunakan penerapan co-culture dan monoculture merupakan suatu konsep yang dapat dikembangkan untuk menumbuhkan dua organisme yang berbeda atau lebih dan satu organisme yang dapat dijadikan perbandingan untuk bisa mengetahui pertumbuhan abalon. Selain itu, sistem co-culture merupakan sistem budidaya yang menggabungkan spesies dari trofik yang berbeda dalam sistem yang sama serta memperhatikan kelestarian lingkungan (Barrington et al., 2009), sedangkan Sistem monoculture
merupakan sistem budidaya dengan cara menanam satu jenis tanaman pada satu area (lucas et al., 2019). Salah satu bentuk budidaya laut yang menggunakan komoditas dari organisme laut yang berbeda seperti kerang, rumput laut dan ikan, untuk mengurangi permasalahaan lingkungan yang dikeluarkan dari limbah sisa makanan dalam budidaya (Kinanti dkk., 2019).
Menurut Fang et al. (2016), menyatakan bahwa penerapan sistem co-culture dalam lingkungan salah satunya melalui konsep yang disebut IMTA. IMTA (Integrated Multi Trophic Aquaculture) adalah suatu konsep untuk mengoptimalkan hasil sumberdaya laut melalui pemanfaatan sistem budidaya dengan pendekatan terhadap ekosistem laut sehingga mengoptimalkan dalam hal hasil, efesiensi pakan, dan diversifikasi produk (Ren et al., 2012). IMTA merupakan bentuk dari budidaya laut yang memanfaatkan organisme trofik rendah (kerang dan rumput laut) yang disesuaikan sebagai mitigasi terhadap limbah dari organisme tingkat trofik tinggi (seperti ikan). IMTA diterapkan sebagai solusi terhadap mitigasi limbah yang dikeluarkan dalam marikultur dan peningkatan efisiensi pakan sehingga pakan yang tidak digunakan oleh organisme laut tidak mencemari lingkungan perairan (Guo et al., 2017). Menurut Barrington et al. (2009), selain membantu mengurangi dampak lingkungan dan menciptakan produk ekonomi lainnya dalam waktu bersamaan, konsep IMTA juga merupakan konsep budidaya yang tidak rentan terhadap penyakit karena adanya diversifikasi produk dalam konsep IMTA.
Penerapan budidaya abalon melalui konsep coculture yang diintegrasikan bersama rumput laut Eucheuma cottonii bertujuan untuk meningkatkan mutu dari abalon dan mereduksi limbah hasil budidaya. Sebagai contoh dengan mengintegrsikan dua spesies yaitu abalon Haliotis squamata dan rumput laut Eucheuma cottonii yang memiliki potensi nilai ekonomis yang tinggi. Dalam kerangka sistem co-culture abalon berperan sebagai filter feeder yang dapat menyaring sisa makanan atau memanfaatkan partikel tersuspensi berupa zat-zat organik, sedangkan rumput laut Eucheuma cottonii memiliki peranan sebagai biofilter dan akan memanfaatkan perairan yang kaya akan dengan nutrien untuk pertumbuhannya (Troell et al., 2009), sehingga penerapan sistem budidaya dapat termanfaatkan dan terjadinya keseimbangan di dalam ekosistem perairan.
Pada penelitian mengenai perbandingan laju pertumbuhan abalon (Haliotis squamata) menggunakan metode co-culture dan monoculture di pantai geger, nusa dua, kabupaten badung, Bali. Kawasan Pantai Geger merupakan daerah pariwisata yang sangat berkembang. Kondisi perairan di Pantai Geger dapat ditinjau dari tipe habitatnya yang disukai oleh abalon, seperti perairan pantai yang landai, perairan yang cukup tenang, memiliki tipe substrat berupa karang berpasir dan berbatu yang ditumbuhi makroalga. Dari kondisi tersebut, pantai geger sangat cocok dilakukan penelitian mengenai perbandingan laju pertumbuhan abalon (Haliotis squamata) menggunakan metode co-culture dan monoculture tersebut (Hayati dkk., 2018). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai perbandingan laju pertumbuhan abalon (Haliotis squamata) dengan sistem budidaya co-culture dan monoculture diperairan pantai geger.
Penelitian dilaksanakan selama 60 hari dengan pengambilan data dilakukan setiap 15 hari sekali di perairan Pantai Geger yang berada di Desa Adat Paminge, Sawangan, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Berikut disajikan peta daerah lokasi penelitian pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian budidaya abalon Haliotis squamata dengan sistem co-culture dan monoculture di perairan pantai geger, nusa dua, bali.
-
2.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah keranjang plastik, jangka sorong, spatula,
timbangan digital, kamera, alat tulis, GPS, Tal iris dan raffia, kabel tis, besi dan coolbox. Kemudian bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Abalon Haliotis squamata dan cottoni sp.
-
2.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari empat perlakuan dengan masing-masing perlakuan terdapat sebanyak tiga kali pengulangan. Perlakuan berupa kerang abalon Haliotis squamata yang diintegrasikan dengan padat tebar tanam yang berbeda dengan tanam rumput laut yang sama. Hewan uji ditebar setiap keranjang dengan kepadatan 40 ekor dan 20 ekor. Makanan yang diberikan untuk abalon yaitu cotoni sp. yang dimana rumput laut cottoni sp. di dapatkan dari hasil budidaya. Berikut deskripsi perlakuan dan rancangan yang digunakan dalam penelitian ini (Tabel 1).
-
2.4 Kontruksi Budidaya
Kerang abalon merupakan binatang laut yang mempunyai gerakan sangat lambat dan sangat sensitif. Pembuatan kontruksi untuk kerang abalon harus diperhatikan terutama pada kekuatan kontruksi dan daya tahan kontruksi, agar kontruksi tersebut kokoh. Maka kerangka kontruksi budidaya abalon menggunakan besi. Kontruksi budidaya terintegrasi pada penelitian ini terdapat dua jenis kontruksi, yaitu kontruksi secara monoculture dan co-culture.
Kontruksi secara monoculture di desain secara menyendiri atau tidak secara terintegrasi antara kerang abalon dan rumput laut. Sedangkan untuk kontruksi secara co-culture di desain secara bersamaan dengan kerang abalon dan rumput laut, dimana keranjang abalon diletakan di atas kontruksi dan untuk rumput laut di gantung di atas keranjang abalon. Pada kerangka kontruksi budidaya co-culture menggunakan besi dengan ukuran 157 cm x 110 cm x 80 cm. Tempat pemeliharaan dengan menggunakan keranjang plastik yang berukuran panjang 61 cm x 42 cm x 24.5 cm. Kerang abalon yang digunakan penelitian berukuran 2-4 cm dengan berumur kurang lebih 2 bulan. Sedangkan kontruksi rumput laut diletakkan pada atas keranjang kerang abalon dengan cara dilingkari. Bahan yang digunakan pada penanaman rumput laut yaitu dengan
Tabel 1
Rancangan Percobaan.
Ulangan |
Perlakuan | |||
T1(abalon 40 benih) |
T2 (abalon 20 benih) |
T3 (rumput laut 100g dan abalon 40 benih) |
T4 (rumput laut 100g dan abalone 20 benih) | |
1 |
T11 |
T21 |
T31 |
T41 |
2 |
T12 |
T22 |
T32 |
T42 |
3 |
T13 |
T23 |
T33 |
T43 |
menggunakan tali ris yang berukuran 3 meter dan jaring waring yang berukuran 1,5 cm. Jarak dari keranjang ke tali ris yaitu 20 cm. Gambar 2 merupakan kontruksi yang akan digunakan dalam penelitian ini.
-
2.5 Tahap penelitian
-
2.5.1. Abalon Haliotis squamata
-
Penelitian ini menggunakan hewan uji abalon Haliotis squamata yang berasal dari Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL), Sekotong Barat, Lombok Barat. Abalon yang diuji memiliki ukuran panjang cangkang dengan kisaran ukuran 2-4 cm dan kisaran berumur 60 hari (2 bulan), serta abalon berada dalam kondisi bagus atau tidak ada yang terluka. Jumlah total abalon yang digunakan dalam penelitian adalah 360 ekor. Tahap berikutnya yaitu persiapan media penelitian berupa keranjang plastik. Tahapan ini merupakan salah satu penentu tingkat keberhasilan dalam kegiatan budidaya, langkah selanjutnya yaitu pembuatan kontruksi
budidaya didasar perairan. Pengaturan wadah pemeliharaan hewan uji beserta perlengkapannya diletakkan secara beraturan.
-
2.5.2. E. cottoni
Bibit rumput laut Euchema cottonii berasal dari Pantai Geger, Nusa Dua, Bali. Sebelum bibit di tanam terlebih dahulu dilakukan pengukuran dengan cara menimbang bobot awal pada setiap bibit sebesar 100 gram. Pada penanaman rumput laut, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu pemilihan bibit rumput laut yang baik sesuai ciriciri bibit rumput laut yang baik menurut Susanto et, al. (2016). Bibit Euchema cottoni diperoleh dari hasil budidaya di Pantai Geger, Nusa Dua, Bali. Rumput laut yang pakai sebagai pakan abalon dibersihkan terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam media budidaya untuk menghindari organisme yang dapat mengganggu pertumbuhan abalon. Sebelumnya Pengukuran bobot rumput laut sebelum pemberian pakan untuk mengetahui bobot awal pakan, selain itu pengukuran bobot pakan
Gambar 2. (a) Kontruksi budidaya abalon dengan sistem monoculture dan (b) sistem co-culture
juga dilakukan selama tiga hari sekali untuk mengetahui jumlah pakan yang diperlukan abalon untuk tumbuh.
-
2.5.3. Pengukuran Berat Tubuh dan Panjang Cangkang Abalon pada Co-culture dan Monoculture
Pertambahan berat ditimbang mulai dari awal penelitian dan dilanjutkan timbangan setiap 15 hari selama 2 bulan. Induk abalon ditimbang secara keseluruhan yang ada pada bak pemeliharaan menggunakan timbangan digital. Panjang cangkang induk abalon diukur secara keseluruhan juga yang ada di bak pemeliharaan. Pengambilan sampel abalon untuk pengukuran berat dan panjang cangkang diambil hanya perwakilan karena abalon sensitif jika proses pengambilan dari substratnya tidak hati-hati, maka dapat menyebabkan abalon terluka dan mati.
Parameter utama penelitian ini adalah pertambahan berat tubuh, serta panjang cangkang induk abalon. Pertambahan berat tubuh abalon (H. squamata) diamati dari awal hingga berakhirnya penelitian. Pertumbuhan berat abalon dihitung menggunakanrumus Thanuthong et al. (2011), sebagai berikut:
(W _W\
W(%) = ( t w ~*≡% (1)
W 0
dimana W adalah Pertumbuhan berat (%); Wt adalah Rata-rata berat akhir (gram); dan W0 adalah Rata-rata berat awal (gram).
Pertumbuhan panjang cangkang dihitung menggunakan rumus Bautista-Teruel et al. (2011).
L(%) = (Lt L0) x100%
(2)
L0
dimana L adalah Pertumbuhan panjang cangkang (%); Lt adalah rata-rata panjang cangkang akhir (cm); dan L0 adalah rata-rata panjang cangkang awal (cm).
-
2.6 Analisis ANOVA
Penelitian ini dilakukan menggunakan tiga perlakuan dan tiga kali ulangan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan berbeda. Data pertumbuhan bobot abalon terlebih dahulu dilakukan uji normalitas, jika data tersebut terdistribusi normalitas maka selanjutnya
dilakukan uji homogenity of variances. Jika data homogen, selanjutnya dilakukan uji statistik One Way ANOVA untuk mengetahui apakah data bobot abalon berpengaruh terhadap perlakuan pertumbuhan, sedangkan jika data tidak terdistribusi normal maka dilakukan uji statistik secara Non Parametrik. Proses perhitungannya dilakukan dengan bantuan software SPSS (Statistical Package for The Social Sciences) versi 23.0. Data yang akan peroleh dari penelitian ini akan dijadikan dalam bentuk grafik.
-
3. Hasil dan Pembahasan
-
3.1 perbandingan laju pertumbuhan abalon (Haliotis squamata) dengan sistem budidaya Co-culture dan Monoculture
-
3.1.1. Perbandingan Pertumbuhan Panjang abalon (Haliotis squamata) dengan Sistem Budidaya Coculture dan Monoculture
-
-
Laju petumbuhan kerang Abalon di Pantai Geger, Nusa Dua, Bali melakukan perhitungan ukuran panjang cangkang dan berat abalon (Haliotis
squamata). Dengan adanya perbedaan perlakuan budidaya abalon yang dilaksanakan di pantai geger, Nusa Dua, Bali. Melakukan perhitungan ukuran panjang cangkang dan berat abalon (Haliotis
squamata) dengan budidaya co-culture dan monoculture. Dari hasil pengukuran panjang
cangkang abalon (Haliotis squamata) yang dilakukan setiap 15 hari sekali selama 60 hari, diperoleh 2 perbandingan hasil pada sistem budidaya co-culture dan monoculture dengan padat tebar yang berbeda yaitu padat tebar 20 dan padat tebar 40.
Hasil dari budidaya dengan menggunakan penerapan co-culture dan monoculture merupakan suatu konsep yang dapat dikembangkan untuk menumbuhkan dua organisme yang berbeda atau lebih dan satu organisme yang dapat dijadikan perbandingan untuk bisa mengetahui
pertumbuhan abalon. Selain itu, sistem co-culture merupakan sistem budidaya yang menggabungkan spesies dari trofik yang berbeda dalam sistem yang sama serta memperhatikan kelestarian lingkungan (Barrington et al., 2009), sedangkan Sistem monoculture merupakan sistem budidaya dengan cara menanam satu jenis tanaman pada satu area (lucas et al., 2019).
Berdasarkan hasil dari perbandingan pertumbuhan panjang cangkang abalon pada
Gambar menunjukkan bahwa pada sistem budidaya co-culture dan monoculture memiliki perbedaan hasil. Dimana pertumbuhan panjang cangkang hasil dari sistem co-culture dengan padat tebar yang berbeda yaitu padat tebar 20 dan 40. Dari perbandingan pertumbuhan abalon Haliotis squamata tersebut mendapatkan hasil, bahwa panjang pada hari ke-15 abalon Haliotis squamata pada padat tebar 20 mendapatkan nilai 0.51%, sedangkan perbandingan petumbuhan panjang pada hari ke-15 dengan padat tebar 40 mendapatkan nilai sebesar 0.08%.
Pada hari selanjutnya dengan padat tebar 20 pada hari ke-30 pertumbuhan abalon sebesar 1.28%, rerata pertumbuhan pada hari ke-45 dengan nilai 2.50%, rerata pertumbuhan pada hari ke-60 dengan nilai sebesar -0.21%, Sedangkan padat tebar 40 setiap pengukuran 15 hari sekali mengalami peningkatan, dimana dari rata-rata pertumbuhan abalon di hari ke-30 mendapatkan nilai sebesar 0.25%, di hari ke-45 mendapatkan nilai 1.88%, di hari ke-60 menghasilkan nilai sebesar 4.18%.
Dari perbandingan panjang abalon Haliotis squamata dengan sistem co-culture pada padat tebar 20 dan 40 lebih signifikan pertumbuhan pada padat tebar 40. Pada padat tebar co-culture 20 sempat mengalami penurunan pada hari ke-60, dikarenakan akibat dari kematian yang didudaga karena lingkungan perairan, pakan, penyakit, dan parasit. Dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Perbandingan Pertumbuhan Panjang Abalon (Haliotis squamata) dengan Sistem Budidaya Co-culture.
Berdasarkan sistem monoculture dengan padat tebar 20 dan padat tebar 40 dengan perbandingan rata-rata pertumbuhan panjang abalon selama 60 hari menunjukan adanya peningkatan ukurun panjang abalon dari sistem monoculture dengan
padat tebar 20 maupun padat tebar 40. Pada sistem monoculture dengan padat tebar 20 pertumbuhan panjang abalon paling tinggi ada pada hari ke-60 dengan nilai 7.64%, sedangkan pertumbuhan panjang cangkang paling rendah berada pada hari ke-30 dengan nilai -0.28%, dimana pada awal penelitian panjang abalon mendapatkan nilai 0%, pada hari ke-15 mendapatkan hasil sebesar 1.25%, dan pada hari ke-45 mendapatkan nilai sebesar 2.67%. Pada padat tebar 40 hasil rata-rata panjang abalon di awal penelitian memiliki nilai sebesar 0%, pada hari ke-15 rata-rata pertumbuhan panjang abalon didapatkan nilai 0.16%, pada hari ke-30 didapatkan nilai 0.07%, hari ke-45 didapatkan sebesar 0.11% dan hari ke-60 didapatkan hasil 1.28%. Hasil tersebut menunjukan pada padat tebar 20 merupakan padat tebar yang lebih signifikan dan dari hasil uji anova tidak ada perbedaan nyata. Dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Perbandingan Pertumbuhan Panjang Abalon (Haliotis squamata) dengan Sistem Budidaya Monoculture.
Pada sistem co-culture dan monoculture dengan padat tebar 20 yang secara perbandingan rata-rata pertumbuhan panjang abalon selama 60hari menunjukan adanya peningkatan ukurun panjang abalon dari kedua perlakuan sistem co-culture maupun monoculture dengan pada tebar 20. Dari perbandingan pertumbuhan abalon Haliotis squamata tersebut mendapatkan hasil, bahwa panjang pada hari ke-15 abalon Haliotis squamata pada padat tebar 20 mendapatkan nilai 0.51%. Pada sistem monoculture dengan padat tebar 20 pertumbuhan panjang abalon paling tinggi ada pada hari ke-60 dengan nilai 7.64%, sedangkan pertumbuhan panjang cangkang paling rendah berada pada hari ke-30 dengan nilai -0.28%. Pada sistem co-culture dengan padat tebar 20 dihari ke-30 mendapatkan nilai sebesar 1.28%. Di hari ke-45
mendapatkan nilai 1.88%, di hari ke-60 menghasilkan nilai sebesar 4.18%. Dari hasil penurunan pada hari ke-45 menuju hari ke-60 diakibatkan oleh adanya kematian abalon di padat tebar 20 yang dimana adanya ke stresan pada abalon tersebut. Melainkan dari sistem monoculture hasil pertumbuhan panjang abalon dengan padat tebar 20, rata-rata pertumbuhan panjang di awal penelitian memiliki nilai sebesar 0%, dimana pada hari ke-15 mendapatkan hasil sebesar 1.25%, dan pada hari ke-45 mendapatkan nilai sebesar 2.67%. Akibat penurunan pertumbuhan panjang abalon di sistem budidaya co-culture dan monoculture dengan padat tebar 20 yaitu dari adanya penurunan pemanfaatan makanan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup. Selain dari itu, abalon juga mengalami peningkatan yang diakibatkan dengan adanya kualitas perairan yang mendukung salah satunya salinitas, suhu, dan pH. Dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Perbandingan pertumbuhan panjang Abalon (Haliotis squamata) dengan Sistem Budidaya Co-culture dan Monoculture 20
Dari perbandingan pertumbuhan panjang abalon dalam sistem co-culture dan monoculture dengan pada padat tebar 40, dimasing-masing perlakuan pada abalon mengalami peningkatan. Pada sistem co-culture dengan padat tebar 40 abalon Haliotis squamata di awal hari penelitian dengan nilai 0%. Padat tebar 40 setiap pengukuran 15 hari sekali mengalami peningkatan, dimana pada hari ke-15 mendapatkan nilai sebesar 0.08%, dari rata-rata pertumbuhan abalon di hari ke-30 mendapatkan nilai sebesar 0.25%, di hari ke-45 mendapatkan nilai 1.88%, di hari ke-60 menghasilkan nilai sebesar 4.18%. Sedangkan pada sistem monoculture rata-rata pertumbuhan panjang abalon mengalami peningkatan yang tidak terlalu drastis. Melainkan padat tebar 40 hasil rata-rata
panjang abalon di awal penelitian memiliki nilai sebesar 0%, pada hari ke-15 rata-rata pertumbuhan panjang abalon didapatkan nilai 0.16%, pada hari ke-30 didapatkan nilai 0.07%, hari ke-45 didapatkan sebesar 0.11% dan hari ke-60 didapatkan hasil 1.28%. Dari peningkatan pada sistem monoculture dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Perbandingan Pertumbuhan Panjang Abalon (Haliotis squamata) dengan Sistem Budidaya Co-culture dan Monocuture 40.
Dari hasil pengukuran kualitas perairan diperoleh hasil pengukuran suhu yaitu 28°C-30°C. Hasil pengukuran suhu tersebut berada pada hasil optimum untuk pertumbuhan abalon Haliotis squmata. Menurut Leighton (2008) bahwa suhu yang cocok untuk keberlangsungan hidup pada budidaya abalon adalah 28-30°C. Selain dari suhu ada beberapa kualitas perairan yang mendukung penelitian abalon Haliotis squamata diikutsertakan dengan hasil yang optimum. Ada salinitas dengan hasil pengukuran 31-35ppt untuk pemeliharaan abalon masih sangat optimal. Susanto et al. (2016), menyatakan bahwa kisaran salinitas yang optimal untuk abalon antara 30-35ppt, sedangkan hasil derajat keasaman (pH) pada pemeliharaan abalon yaitu 8.
Kisaran pH yang diperoleh masih tergolong optimum untuk pertumbuhan abalon. Menurut (Gordon and Cook, 2013), bahwa kisaran pH yang baik untuk pertumbuhan abalon yailah kisaran antara 7,8 - 8,5, sehingga pH yang diperoleh cukup tergolong ideal. Berdasarkan hasil grafik pada sistem co-culture dan monoculture yang dengan padat tebar 20 dan 40. Dapat dikatakan bahwa penelitian yang dilaksanakan di pantai geger sangat baik untuk dilakukan budidaya dengan sistem co-culture maupun sistem monoculture.
-
3.1.2. Perbandingan Pertumbuhan Berat Abalon (Haliotis squamata) dengan Sistem Budidaya Coculture dan Monoculture
Hasil pertumbuhan berat abalon di sistem co-culture yang padat tebar 20 menunjukan awal penelitian menghasilkan nilai 0%, pada hari ke-15 dengan rata-rata pertumbuhan berat abalon sebesar 0.02%, pada hari ke-30 rata-rata pertumbuhan berat abalon sebesar 0.41%, pada hari ke-45 rata-rata pertumbuhan berat abalon 0.21%, dan pada hari ke-60 rata-rata pertumbuhan berat abalone sebesar -0.05%. Dari sistem co-culture dengan padat tebar 40 pada awal penelitian laju pertumbuuhan berat abalon dimulai dari 0%, pada hari ke-15 nilai rata-rata laju pertumbuhan berat abalon 0.01%, pada hari ke-30 nilai rata-rata laju pertumbuhan berat abalon 0.08, pada hari ke 45 nilai rata-rata laju pertumbuhan berat abalon 0.42%, dan pada hari ke-60 dengan rata-rata laju pertumbuhan berat abalon 1.04%. Pada sistem co-culture dari kedua perlakuan yang berbeda, dari padat tebar 20 maupun padat tebar 40 yang lebih siginifikan perkembangan laju pertumbuhan berada padat tebar 40. Dimana padat tebar 20 mengalami peningkatan pada hari ke-30 yang disebabkan adanya pakan yang mempuni dan arus air yang mendukung untuk tidak menyebabkan terjadinya stress pada abalon tersebut. Sesuai dengan hasil rata-rata pertumbuhan dapat dilihat dari Gambar 7.
Gambar 7. Perbandingan Pertumbuhan Berat Abalon (Haliotis squamata) dengan Sistem Budidaya Co-culture.
Dari sistem budidaya monoculture berdasarkan hasil rata-rata laju pertumbuhan berat abalon terdapat dua perlakuan yaitu padat tebar 20 dan padat tebar 40. Sistem budidaya monoculture terjadi keterbalikannya dengan sistem budidaya co-culture. Dari padat tebar 20 nilai rata-rata laju pertumbuhan diawali dengan 0%, hari ke-15 laju pertumbuhan berat abalon sebesar 0.33%, hari ke-30
menghasilkan nilai laju pertumbuhan berat abalon sebesar 0.01%, hari ke-45 laju pertumbuhan berat abalon sebesar 0.76%, dan dihari ke-60 nilai rata-rata laju pertumbuhan berat abalon adalah 2.67%. Selain dari padat tebar 20, Hasil padat tebar lain yaitu padat tebar 40 nilai rata-rata laju pertumbuhan berat abalon diawal penelitian 0%, pada hari ke-15 sebesar 0.05%, pada hari ke 30 sebesar 0.02%, pada hari ke-45 sebesar -0.002%, dan pada hari ke-60 nilai rata-rata laju pertumbuhan berat abalon sebesar 0.48%. Dari hasil rata-rata laju pertumbuhan berat abalon dengan padat tebar 20 dan padat tebar 40 mengalami peningkatan dan penurunan. Hal ini, banyaknya abalon yang stress yang mengakibatkan matinya abalon serta hilangnya abalon pada keranjang abalon tersebut. Dari rata-rata laju pertumbuhan berat abalon dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Perbandingan Pertumbuhan Berat Abalon (Haliotis squamata) dengan Sistem Budidaya Monoculture.
Dari Gambar 9 terlihat bahwa hasil rata-rata laju pertumbuhan abalon di sistem co-culture yang padat tebar 20 menunjukan dari awal hari penelitian dengan nilai 0%, pada hari ke-15 rata-rata laju pertumbuhan berat abalon 0.02%, pada hari ke-30 rata-rata pertumbuhan berat abalon sebesar 0.41%, pada hari ke-45 rata-rata laju pertumbuhan berat abalon 0.21%, dan pada hari terakhir penelitian (hari ke-60) rata-rata laju pertumbuhan berat abalon sebesar -0.05%. Sedangkan untuk sistem monoculture dengan padat tebar 20 mengalami peningkatan dari sistem coculture 20, nilai rata-rata laju pertumbuhan diawali dengan 0%, hari ke-15 laju pertumbuhan berat abalon sebesar 0.33%, hari ke-30 menghasilkan nilai laju pertumbuhan berat abalon sebesar 0.01%, hari ke 45 laju pertumbuhan berat abalon sebesar 0.76%, dan dihari ke-60 nilai rata-rata laju pertumbuhan berat abalon adalah 2.67%. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa peningkatan laju pertumbuhan
berat abalon pada sistem monoculture dengan padat tebar 20 lebih segnifikan dari sistem co-culture 20. Dari hasil rata-rata perbandingan laju pertumbuhan berat abalon dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Perbandingan Pertumbuhan Berat Abalon (Haliotis squamata) dengan Sistem Budidaya Co-culture dan Monoculture 20.
Pada sistem co-culture dengan padat tebar 40 pada awal penelitian dengan nilai 0%, pada hari ke-15 nilai rata-rata laju pertumbuhan berat abalon 0.01%, pada hari ke-30 nilai rata-rata laju pertumbuhan berat abalon 0.08, pada hari ke 45 nilai rata-rata laju pertumbuhan berat abalon 0.42%, dan pada hari ke-60 dengan rata-rata laju pertumbuhan berat abalon 1.04%. Padat tebar 40 dengan sistem monoculture nilai rata-rata berat abalon pada awal penelitian dengan nilai 0%, pada rata-rata pertumbuhan berat abalon pada hari ke-15 sebesar 0.05%, pada hari ke 30 sebesar 0.02%, pada hari ke-45 mengalami penurunan dengan nilai 0.002%, dan pada hari ke-60 nilai rata-rata laju pertumbuhan berat abalon sebesar 0.48%. Padat tebar yang paling efektif perkembangan laju pertumbuhan berat abalon yaitu pada padat tebar co-culture 40 dengan nilai akhir rata-rata laju pertumbuhan berat abalon sebesar 1.04%, sedangkan padat tebar monoculture 40 yang paling tinggi berada pada akhir penelitian yaitu 0.48% dapat dilihat pada Gambar 10.
Pertumbuhan abalon dapat berpengaruh terhadap lamanya penyinaran karena habitatnya abalon berada di kawasan dasar perairan dengan intensitas cahaya yang rendah, sehingga tidak mudah diketahui oleh predator. Suhu perairan tinggi dapat menyebabkan abalon stres dan mengakibatkan kematian, selain dari itu pakan juga memiliki peran dalam pertumbuhan abalon karena pakan yang cocok untuk abalon adalah memiliki kandungan yang rendah, lemak dan kaya
karbohidrat yang menunjang dalam pertumbuhan abalon. Adapun faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan abalon seperti kualitas perairan. Parameter kualitas perairan yang mempengaruhi yaitu lama penyinaran, suhu perairan, dan pakan berpengaruh hal ini berarti faktor luar juga memiliki peran dalam pertumbuhan abalon (Fitri, 2014).
Gambar 10. Perbandingan Pertumbuhan Berat Abalon (Haliotis squamata) dengan Sistem Budidaya Co-culture dan Monoculture 40.
Pada penelitian mengenai abalon Haliotis squamata, sangat diperlukan pengukuran mengenai kualitas perairan di lokasi budidaya. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi lingkungan perairan dilokasi budidaya abalon Haliotis squamata dalam mempengaruhi pertumbuhannya. Pernyataan tersebut sesuai dengan pernyataan Akib dkk. (2015). Menurut Akib dkk. (2015), menyatakan bahwa faktor biologi, fisika dan kimia dari suatu perairan merupakan penentu keberhasilan dari budidaya abalon Haliotis squamata. Pengukuran kualitas perairan di pantai Geger juga dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya perubahan kualitas perairan pantai Geger dengan membandingkan pada penelitian sebelumnya yaitu penelitian Hayati dkk. (2018), yang dilakukan di pantai Geger. Pada penelitian ini, data kualitas perairan yang diukur merupakan data pendukung. Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air di pantai Geger yang dilakukan pada awal penelitian dan pada akhir penelitian didapatkan hasil yaitu pada awal penelitian suhu sebesar 29ºC dan akhir penelitian suhu sebesar 29ºC. Menurut penelitian Mudeng dkk. (2015), menyatakan bahwa suhu perairan berkisar antara 27,3ºC –31,5ºC mendukung untuk pertumbuhan abalon yang diintegrasikan dengan rumput laut dan hal tersebut menunjukkan bahwa suhu
perairan pantai Geger pada saat awal dan akhir penelitian masih mendukung untuk pertumbuhan abalon yang diintegrasikan dengan rumput laut. Menurut Atika dkk. (2014), menyatakan bahwa suhu suatu perairan sangat spesifik dalam mempengaruhi pertumbuhan abalon. Suhu perairan yang rendah dan tinggi menyebabkan kematian pada abalon Haliotis squamata.
Dari hasil yang sudah didapatkan dari panjang dan berat dapat diketahui bahwa pada laju pertumbuhan abalon Haliotis squamata dengan sistem co-culture dan monoculture padat tebar 20 dan 40. Pada perbandingan perumbuhan panjang abalon dengan sistem co-culture yang lebih bagus pertumbuhan pada padat 40 dengan nilai akhir pertumbuhan panjang abalon sebesar 4.19%, sedangkan pada sistem monoculture nilai akhir laju pertumbuhan panjang abalon yang paling bagus pertumbuhannya adalah padat tebar 20 dengan nilai 7.64%. dari perbandingan pertumbuhan berat pada sistem co-culture yang mengalami pertumbuhan yang bagus adalah padat tebar 40 dengan nilai 1.04%, sedangkan pada pertumbuhan berat abalon dengan sistem monoculture yang mengalami pertumbuhan paling bagus yaitu padat tebar 20 dengan nilai sebesar 2.67%.
Adanya abalon Haliotis squamata dan rumput laut jenis Euchema cottonii pada sistem co-culture, abalon dapat memanfaatkan asupan oksigen dan nitrat hasil proses fotosintensis rumput laut. Pada padat tebar 20 dengan adanya asupan oksigen (O2) yang cukup dan didukung dengan adanya ruang gerak dan kebutuhan pakan pada abalon, tingkat kompetisi terhadap sesama abalon untuk mencari makan tidak terlalu tinggi daripada padat tebar 40 yang menyebabkan abalon dengan padat tebar 20 ekor lebih baik dalam hal pertumbuhannya, tingkat kematian abalon akan lebih sedikit dan hasil metabolisme berupa feses dan sisa makanan dari abalon yang berupa CO2 dan nutrien inorganik yaitu nitrogen dalam bentuk ammonium (NH4) dan fosfat yang akan termanfaatkan dengan baik oleh rumput laut yaitu sebagai biofilter dalam mendukung proses fotosintesis dan pertumbuhan rumput laut semakin cepat. Adanya hal tersebut sesuai dengan pendapat Loekman dkk. (2017), yang menyatakan bahwa jika padat penebaran suatu organisme rendah maka pertumbuhan akan menjadi cepat, sebaliknya jika padat penebaran suatu organisme tinggi maka pertumbuhan akan menjadi lambat.
Selain ruang gerak dan pakan yang cukup, padat tebar 20 juga memiliki laju pertumbuhan rumput laut yang lebih tinggi dibandingkan pada laju pertumbuhan rumput laut pada padat tebar 40 ekor abalon dikarenakan tingkat kebersihan keranjang abalon dari sisa-sisa pakan abalon pada padat tebar 20 ekor abalon tidak terlalu banyak dari pada padat tebar abalon 40 ekor. Adanya sisa pakan yang tidak digunakan dalam jumlah banyak dapat menyebabkan abalon mendapatkan asupan oksigen menjadi lebih sedikit karena tertutupi oleh sisa-sisa pakan yang tidak digunakan. Hal tersebut menyebabkan abalon pada padat tebar 40 menjadi lemas, proses metabolisme abalon terganggu, dan menyebabkan rumput laut sebagai biofilter tidak dapat memanfaatkan limbah produk abalon secara maksimal dalam proses fotosintesis untuk pertumbuhan rumput laut. Hal tersebut juga sesuai menurut Setyowati et al. (2013), yang menyatakan bahwa pemeliharaan benih abalon sangat dipengaruhi oleh lingkungannya, dan hal tersebut dapat berdampak pada pertumbuhan abalon yang berbeda-beda pada setiap pemeliharaannya
Berdasarkan perbandingan laju pertumbuhan abalon (Haliotis squamata) pada budidaya co-culture dan monoculture dari segi panjang abalon dengan padat tebar 20 dari sistem budidaya co-culture mendapatkan nilai panjang tertinggi sebesar 2.50%, sedangkan sistem budidaya co-culture dengan padat tebar 40 mendapatkan nilai tertinggi 4.19%. Pada berat abalon Haliotis squamata dengan sistem budidaya co-culture pada padat tebar 20 nilai tertinggi 0.04% dan padat tebar 40 nilai tertinggi pada sistem co-culture sebesar 1.04%. Pada panjang abalon Haliotis squamata dengan sistem monoculture padat tebar 20 mendapatkan nilai yang tertinggi 7.63%, sedangkan padat tebar 40 nilai tertinggi sebesar 1.28%. Pada berat abalon sistem monoculture dengan padat tebar 20 mendapatkan nilai tertinggi sebesar 2.67%, sedangkan padat tebar 40 mendapatkan nilai tertinggi sebesar 0.48%.
Daftar Pustaka
Akib, A., Litaay, M., Ambeng, & Asnady, M. (2015). Kelayakan kualitas air untuk kawasan budidaya Eucheuma cottoni berdasarkan aspek fisika, kimia dan biologi di Kabupaten Kepulauan Selayar. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis, 1(1), 25-36.
Atika, A., Rusliadi, R., & Mulyadi, M. (2014). Growth and Survival Rate of Abalone (Haliotis squamata) on Different Stocking Density. Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, 1(2), 1-8.
Barrington, K., Chopin, T., & Robinson, S. (2009).
Integrated multi-trophic aquaculture (IMTA) in marine temperate waters. Rome, Italy: Food and Agriculture Organization of the United Nations.
Bautista-Teruel, M. N., Koshio, S. S., & Ishikawa, M. (2011). Diet development and evaluation for juvenile abalone, Haliotis asinina Linne: Lipid and essential fatty acid levels. Aquaculture, 312(1-4), 172-179.
BBL Lombok. (2010). Metode pembenihan abalon (Haliotis spp.). Disampaikan pada acara Pelatihan Budidaya Kerang Abalon Bagi Petugas Teknis Se-Wilayah Kerja (Propinsi NTB, NTT, Bali): Balai Budidaya laut Lombok.
Cenni, F., Parisi, G., & Gherardi, F. (2009). Use of space and costs/benefits of locomotion strategies in the abalone, Haliotis tuberculata. Ethology Ecology &
Evolution, 21(1), 15-26.
Gordon, H. R., & Cook, P. A. (2013). World abalone supply, markets, and pricing. Journal of Shellfish Research, 32(1), 5-7.
Fang, J., Zhang, J., Xiao, T., Huang, D., & Liu, S. (2016). Integrated multi-trophic aquaculture (IMTA) in Sanggou Bay, China. Aquaculture Environment Interactions, 8, 201-205.
Fitri, D. S. (2014). Pengaruh persentase kombinasi gracilaria sp. dan ulva reticulata sebagai pakan alami terhadap tingkat kematangan gonad abalon tropis (Haliotis asinina). Skripsi. Surabaya, Indonesia: Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga.
Guo, Z., Ding, Y., Zhang, X., & Hou, X. (2017). Complete nuclear ribosomal DNA sequence analysis of Pacific abalone Haliotis discus hannai. Fisheries science, 83(5), 777-784.
Hayati, H., Dirgayusa, I. G. N. P., & Puspitha, N. L. P. R. (2018). Laju Pertumbuhan Kerang Abalon Haliotis squamata Melalui Budidaya IMTA (Integrated Multi Trophic Aquaculture) di Pantai Geger, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 4(2), 253-262.
Kinanti, N., Haryono, D., & Nugraha, A. (2019). Analisis pendapatan usahatani sayuran di kecamatan
sumberejo kabupaten tanggamus. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis, 6(4), 437-444.
Loekman, N. A., Manan, A., Arie, M., & Prayoga. (2017). Teknik pendederan kerang abalon (Haliotis squamata) di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Budidaya Laut Gondol-Bali. Journal of Aquaculture and Fish Health, 7(2), 78-83.
Lucas, J. S., Southgate, P. C., & Tucker, C. S.
-
(2019) . Aquaculture: Farming aquatic animals and plants. (2th Eds.). Hoboken, New Jersey, USA: Wiley-
Blackwell.
Mudeng, J. D., Kolopita, M. E. F., & Rahman, A. (2015). Kondisi Lingkungan Perairan Pada Lahan Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii di Desa Jayakarsa, Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal Budidaya Perairan, 3(1), 172-186.
Ren, J. S., Stenton-Dozey, J., Plew, D. R., Fang, J., & Gall, M. (2012). An ecosystem model for optimizing production in integrated multitrophic aquaculture systems. Ecological Modelling, 246, 34-46.
Setyowati, D. N. A., Diniarti, N., & Waspodo, S. (2013). Budidaya Lobster (Panulirus homarus) dan Abalon (Haliotis sp.) Dengan Sistem Integrasi di Perairan Teluk Ekas. Jurnal Kelautan: Indonesian Journal of Marine Science and Technology, 6(2), 137-141.
Soelistyowati, D. T., Kusumawardhani, A., & Junior,
M. Z. (2013). Karakteristik Fenotipe Benih Hibrida Interspesifik Abalon Haliotis asinina dan Haliotis squamata. Jurnal Akuakultur Indonesia, 12(1), 25-30.
Susanto, B., Rusdi, I., Ismi, S., & Rahmawati, R. (2016). Pemeliharaan yuwana abalon (Haliotis squamata)
turunan F-1 secara terkontrol dengan jenis pakan berbeda. Jurnal Riset Akuakultur, 5(2), 199-209.
Thanuthong, T., Francis, D. S., Manickam, E., Senadheera, S. D., Cameron-Smith, D., & Turchini, G. M. (2011). Fish oil replacement in rainbow trout diets and total dietary PUFA content: II) Effects on fatty acid metabolism and in vivo fatty acid
bioconversion. Aquaculture, 322-323, 99-108.
Troell, M., Joyce, A., Chopin, T., Neori, A., Buschmann, A. H., & Fang, J. G. (2009). Ecological engineering in aquaculture—Potential for integrated multi-trophic aquaculture (IMTA) in marine offshore systems. Aquaculture, 297(1-4), 1-9.
© 2021 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).
J. Mar. Aquat. Sci. 7: 232-242 (2021)
Discussion and feedback