Journal of Marine and Aquatic Sciences 7(2), 140-147 (2021)

Skrining Fitokimia dan Uji Toksisitas Ekstrak Daun Lamun Halophila Ovalis di Perairan Pantai Karma dan Pantai Serangan, Bali

Rizky Ramadhan a*, I Gusti Ngurah Putra Dirgayusa a, Elok Faiqoh a

a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Badung, Bali

* Penulis koresponden. Tel.: +62-813-375-46207

Alamat e-mail: [email protected]

Diterima (received) 28 Juli 2019; disetujui (accepted) 1 Agustus 2021; tersedia secara online (available online) 1 Desember 2021

Abstract

Seagrass produced active compounds in a form of secondary metabolites as a survival system from predator attack and extreme environmental conditions. The active ingredient of seagrass extract can be an anticancer and antifungal. This study aimed to determine the content of active compounds and differences of toxicity level in seagrass extracts especially Halophila Ovalis in waters of Karma Beach and Serangan Beach. The method used for cytotoxicity test was Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) using Artemia salina as an experimental animal. The result of phytochemical test showed that the extract of Halophila Ovalis leaf in Karma Beach contained bioactive compounds, such as alkaloids and tannins. Another side, the extract of Halophila Ovalis leaf in Serangan Beach contained 3 types of bioactive compounds, those were alkaloids, tannins and triterpenoids. The toxicity tests by BSLT method showed that the extract of Halophila Ovalis leaf in both research sites was non-toxic. The result was LC50 where the LC50 value of Halophila Ovalis leaf extract at the lowest to highest concentrations ie, (10, 100, and 1000 ug / ml) did not give a 50% mortality effect on Arthemi salina eggs.

Keywords: Halophila Ovalis; phytochemical; BSLT; LC50; Karma Beach; Serangan Beach

Abstrak

Lamun diketahui memproduksi senyawa aktif berupa senyawa metabolit sekunder yang berperan dalam sesi pertahanan hidup baik dari serangan predator maupun kondisi lingkungan ekstrim. Kandungan bahan aktif ekstrak lamun diketahui berpotensi sebagai antikanker dan antifungi. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa aktif dan perbedaan tingkat toksisitas dalam ekstrak lamun Halophila Ovalis di perairan Pantai Karma dan Pantai Serangan. Metode uji toksisitas yang digunakan adalah Brine Shrimp Letal Test (BSLT) dengan menggunakan Arthemia salina sebagai hewan uji. Hasil uji fitokimia yang dilakukan menunjukkan ekstrak daun lamun Halophila Ovalis di Pantai Karma mengandung senyawa bioaktif jenis alkaloid dan tanin, sedangkan ekstrak daun lamun Halophila Ovalis di Pantai Serangan mengandung senyawa bioaktif dari jenis alkaloid, tanin dan triterpenoid. Uji toksisitas dengan metode BSLT yang dilakukan menunjukkan ekstrak daun lamun Halophila Ovalis di Pantai Karma dan Pantai Serangan bersifat tidak toksik, dimana nilai LC50 ekstrak daun Halophila Ovalis pada konsentrasi terendah sampai tertinggi yaitu, (10, 100, dan 1000 ug/ml) tidak memberikan efek kematian 50% terhadap telur Arthemia salina.

Kata Kunci: Halophila Ovalis; fitokimia; BSLT; LC50; Perairan Pantai Karma; Perairan Pantai Serangan

  • 1.    Pendahuluan

Kajian bidang bahan alami laut atau yang sering kita ketahui dengan marine natural product mulai dikembangkan di Indonesia sejak sepuluh tahun

terakhir. Banyak sumber bahan alami laut seperti karang, sponge, alga dan lamun yang sering menjadi bahan penelitian. Dari banyaknya sumber bahan alami dari laut tersebut, lamun masih tergolong baru dalam pengembangannya.

Lamun merupakan tumbuhan berbunga (Angiospermae) dan berkeping tunggal (monokotil) yang dapat tumbuh dengan baik dan permanen di bawah permukaan air laut (Tuapattinaya, 2012). Lamun senantiasa membentuk hamparan permadani di laut yang dapat terdiri dari satu spesies (monospesifik) atau lebih dari satu spesies (multispesifik) (Tangke, 2010). Lamun sebagai organisme yang hidup baik dan permanen didasar perairan memiliki potensi yang lebih besar dalam menghasilkan senyawa aktif dalam tubuhnya (Subhashini et al., 2013).

Bahan alami laut yang dihasilkan oleh lamun adalah berupa senyawa metabolit primer dan senyawa metabolit sekunder (Ravikumar et al., 2010). Senyawa metabolit primer yang dihasilkan oleh lamun merupakan senyawa organik yang biasa terdapat dalam kuantitas yang relatif besar dan keberadaan senyawa ini berperan langsung dalam proses metabolisme sedangkan senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh lamun merupakan senyawa organik yang terkandung dalam jumlah yang sedikit dan biasanya bersifat renik (trace) yang berperan dalam sesi pertahanan hidup baik dari serangan predator maupun kondisi lingkungan yang ekstrim (Marhaeni et al., 2010).

Uji toksisitas diperuntukkan dalam dua hal yaitu untuk evaluasi keamanan senyawa dan untuk mendeteksi aktivitas antikanker suatu senyawa (Sangi dkk., 2012). Uji ini merupakan uji pendahuluan untuk mengamati aktivitas farmakologi suatu senyawa. Prinsip uji toksistas adalah bahwa komponen bioaktif selalu bersifat toksik jika diberikan dengan dosis tinggi dan menjadi obat pada dosis rendah (Marlinda dkk., 2012).

Perairan Pantai Karma, Bali merupakan salah satu kawasan yang tidak banyak aktivitas atau kegiatan di wilayah perairannya sedangkan perairan Pantai Serangan, Bali merupakan salah satu kawasan yang memilki aktivitas tinggi diperairannya dimana kawasan tersebut berdekatan dengan pelabuhan (tempat keluar masuknya kapal), tempat pembuangan akhir (TPA) terpadu dan aktivitas olahraga air. Adanya perbedaan pada kondisi perairan di kedua kawasan tersebut diduga menyebabkan terjadinya perbedaan senyawa aktif yang dihasilkan oleh biota laut di dalamnya salah satunya lamun yang sangat rentan terhadap perubahan kondisi lingkungan.

Pengamatan tentang lamun di Pantai Karma dan Pantai Serangan Bali sampai saat ini hanya

mengkaji tentang sebaran, keanekaragaman, dan aspek ekologi lamun saja, sedangkan kajian dan penelitian mengenai kandungan senyawa aktif dan uji toksisitas belum pernah dilakukan sebelumnya khususnya untuk jenis lamun Halophila Ovalis. Lamun jenis Halophila Ovalis di alam merupakan tumbuhan pionir dan dari segi morfologi daun lamun Halophila Ovalis memiliki karateristik yang lebih kecil dan sangat rapuh dari jenis lamun lainnya.

Masih kurangnya data - data ilmiah yang mendukung pemanfaatan lamun khususnya untuk jenis lamun Halophila Ovalis di Pantai Karma dan Pantai Serangan Bali mendorong untuk dilakukannya penelitian yang bertujuan untuk mengamati perbedaan kandungan senyawa aktif dan aktivitas toksisitas pada daun lamun Halophila Ovalis di kedua tempat tersebut dengan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) yang digunakan pada skrining senyawa bioaktif bahan alam laut karena menunjukkan adanya korelasi dengan metode sitotoksik dan terhadap suatu uji spesifik antikanker (Ahmed et al., 2015 ).

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Tempat dan Bahan

Penelitian ini dilakukan pada Bulan April -Desember 2016. Lokasi pengambilan sampel daun lamun Halophila Ovalis dilakukan di perairan

Pantai Karma dan Pantai Serangan Bali (Gambar 1). Proses ekstraksi daun lamun dilakukan di Laboraturium Sumberdaya Genetika dan Biologi Molekuler, Universitas   Udayana.   Skrining

Fitokimia dan Uji Toksisitas daun lamun dilakukan di  Laboraturium  Kimia Analitik

Universitas Udayana Bali.

Gambar 1. Peta Lokasi Pengambilan Sampel Lamun Halophila Ovalis pada perairan Pantai Karma dan Pantai Serangan Bali

Spesifikasi bahan yang digunakan dalam

penelitian ini dijelaskan secara rinci pada Tabel 1.

Tabel 1

Spesifikasi bahan penelitian

Bahan

Spesi fikasi

Kegunaan

Daun lamun

50 g

Sebagai spesimen

Halophila 0valis

penelitian

Larutan Meyer

-

Untuk menguji kandungan alkaloid

Larutan HCL

-

Untuk menguji kandungan flavonoid

Kloroform

2 ml

Untuk menguji kandungan triterpenoid

Larutan H2SO4

-

Untuk menguji kandungan saponin

Larutan HCL

2N

Untuk menguji kandungan saponin

Untuk menguji

Larutan FeCL

0,1 %

kandungan tanin dan

flavonoid

Aquades

-

Sebagai media uji toksisitas

Telur Arthemia

Sebagai media untuk uji

salina

50 g

toksisitas

Air laut steril

Sebagai media penetasan

telur Arthemia salina

400

Untuk melarutkan

Methanol

ml

senyawa pada proses

ekstraksi


  • 2.2    Pengambilan Sampel

Sampel lamun diambil di 4 titik masing – masing berjarak 50-meter untuk mewakili wilayah tempat pengambilan sampel. Sampel lamun segar diambil langsung dari habitatnya, selanjutnya dipisahkan dan diambil bagian daunnya saja, kemudian dibersihkan dari sisa kotoran yang menempel terutama hewan epifit setelah itu dimasukkan kedalam plastik dan dibawa ke Laboraturium Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana. Selanjutnya daun lamun dikeringkan secara alami sampai berat daun lamun menjadi kering, ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan (Juniarti dkk., 2009).

  • 2.3    Ekstraksi

Proses ekstraksi menggunakan metode maserasi yaitu perendaman daun lamun dengan pelarut metanol sesuai dengan penelitian sebelumnya

yang dilakukan oleh (Arifuddin, 2013). Daun lamun kering Halophila Ovalis di dihaluskan menggunakan alat blender sampai menjadi serbuk. Serbuk lamun kemudian ditimbang sebanyak 50 g lalu direndam (maserasi) di dalam larutan metanol Pa 400 ml (1:8) selama 2 x 24 jam untuk mendapatkan filtrat. Setelah dimaserasi selama 2 x 24 jam, sampel disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman no.1 agar diperoleh filtrat dan residu sesuai penelitian (Dewi dkk., 2012).

Filtrat yang diperoleh kemudian dievaporasi menggunakan Rotary Vacum Evaporation pada suhu 400 C sampai diperoleh ekstrak kasar daun lamun berupa pasta kemudian dimaksukkan kedalam botol vial dan diberi label. Ekstrak daun lamun kasar yang telah diperoleh dari hasil rendemen kemudian dihitung dengan menggunakan rumus dibawah ini:

berat akhir

Re ndemen =---------× 100%

berat awal

(1)


dimana rendemen merupakan hasil ekstraksi, berat akhir merupakan hasil evaporasi dan berat awal merupakan berat awal sampel.

  • 2.4    Skrining Ftitokimia

Skrining fitokimia dilakukan untuk mengidentifikasi kandungan senyawa bioaktif pada ekstrak lamun Halophila Ovalis menggunakan metode Harbone (1987) sebagai berikut:

  • 1.    Uji Alkaloid

Sebanyak 0,05 gr ekstrak sampel daun lamun dimasukkan ke dalam tabung reaksi lalu dilakukan penambahan H2SO4 dan larutkan hingga benar - benar tercampur. Kemudian disaring dan dilakukan penambahan pereaksi Meyer, jika terbentuk endapan berwarna putih maka sampel dikatakan positif.

  • 2.    Uji Flavonoid

Sebanyak 0,05 gr ekstrak sampel ditambahkan FeCl3 dan HCL kedalam tabung reaksi hingga benar - benar tercampur. Jika hasil pencampuran menunjukkan endapan berwarna berwarna merah pekat, kuning atau jingga maka sampel dikatakan positif.

  • 3.    Uji Saponin

Sebanyak 0.05 gr ekstrak sampel diletakkan dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan air panas kemudian tabung reaksi dilarutkan hingga

tercampur sempurna. Setelah itu dibiarkan selama 30 menit dan ditambahkan HCl 2N sebanyak 1 tetes. Hasil positif uji saponin ditunjukkan dengan adanya busa yang stabil

  • 4.    Uji Tanin

Sebanyak 0,05 gr ekstrak sampel diseduh dengan air panas yang telah dididihkan selama 3 menit. Sampel tersebut disaring setelah itu ditetesi dengan larutan FeCl. Hasil uji positif ditunjukkan dengan terbentuknya larutan berwarna biru tua atau hijau kehitaman.

  • 5.    Uji Triterpenoid

Sebenyak 0,5 g ekstrak sampel ditambahkan dengan 2 ml kloroform. kemudian 3 ml asam sulfat ditambahkan secara perlahan sampai terbentuk lapisan berwarna. Hasil positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah kecoklatan.

  • 2.5    Uji Toksisitas

    • 2.5.1.    Penetasan Telur Arthemia salina

Penetasan telur Artemia salina dilakukan dengan cara merendam sebanyak 50 mg telur Artemia salina dalam wadah yang berisi air laut yang juga dilengkapi dengan aerator serta cahaya lampu 40-watt untuk membantu dalam proses penetasan, telur Artemia salina akan menetas dan menjadi larva setelah 24 jam sesuai penelitian (Djamil dan Anelia, 2012). Selanjutnya telur yang sudah menetas dipisahkan dalam ke wadah yang akan digunakan dalam pengujian toksisitas.

  • 2.5.2.    Pembuatan Konsentrasi Sampel Uji Brine Shrimp Lethality Test

Pembuatan konsentrasi uji BSLT didasarkan pada metode yang digunakan oleh (Muaja dkk., 2013). Metode tersebut adalah ekstrak daun lamun ditimbang 5 mg kemudian dilarutkan dengan pelarutnya (metanol) sebanyak 5 mL sebagai larutan stok. Dari larutan stok dipipet kedalam vial masing - masing sebanyak 10 µL, 100 µL, dan 1000 µL, kemudian diangin - anginkan agar pelarut di dalam vial menguap. Setelah pelarut menguap dan hanya ekstrak yang tersisa ditambahkan air laut masing-masing 1 ml pada setiap konsentrasi, pada kontrol diberikan pelarut tanpa ekstrak masing - masing sebanyak 10 µL, 100 µL, dan 1000 µL.

  • 2.5.3.    Uji Toksisitas LC-50

Sebanyak 5 ml air laut yang berisi 10 ekor larva Arthemia salina dipipet. Kemudian dimasukkan ke dalam vial yang telah berisi larutan ekstak sampel yang akan diuji dengan konsentrasi 10, 100, dan 1000 µg/ml. Untuk setiap konsentrasi dilakukan 3 kali pengulangan (triplikat) ini menurut. Untuk kontrol dilakukan tanpa penambahan sampel. Larutan dibiarkan selama 24 jam, kemudian dihitung jumlah larva yang mati dan masih hidup dari tiap vial, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan (Atmoko dan Ma’ruf, 2009).

  • 2.6    Analisis Data

Hasil pengamatan fitokimia ditampilkan dalam bentuk tabel dan dibahas secara deskriptif sedangkan untuk uji toksisitas dihitung dengan menentukan nilai LC50. Untuk mendapatkan nilai LC50, sebelumnya terlebih dahulu melakukan perhitungan persentase mortalitas hewan uji (Arthemia salina)   selama 24 jam dengan

menggunakan rumus 2. dibawah ini:

jumlah larva yang mati

% larva = -----------—----× 100% m

jumlah larva uji              (2)

Selanjutnya tingkat toksisitas suatu ekstrak diklasifikasikan berdasarkan nilai LC50 nya sesuai dengan klasifikasi, yaitu kategori sangat tinggi / highly toxic apabila mampu membunuh 50% larva pada konsentrasi 1 - 10 µg/ml, sedang / medium toxic pada konsentrasi 10 - 100 µg/ml, dan rendah / low toxic pada konsentrasi 100 - 1000 µg/ml (Meyer et al., 1982).

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Ekstraksi dan Uji Fitokimia

Dalam pengujian kandungan senyawa aktif pada daun lamun Halophila Ovalis hal pertama yang dilakukan adalah proses ekstraksi. Hasil ekstraksi sampel daun lamun yang diperoleh masing -masing 4,72 g untuk sampel daun lamun Halophila Ovalis Pantai Karma dan 5,43 g untuk sampel daun lamun Halophila Ovalis Pantai Serangan. Hasil rendemen yang diperoleh masing - masing sampel tersebut adalah 9,44 % dan 10,86 %. Perbedaan hasil ekstraksi dan rendemen yang diperoleh pada kedua tempat yang berbeda diduga disebabkan

banyak tidaknya sampel kasar yang ikut terekstrak dalam proses meserasi.

Skrining fitokimia yang dilakukan pada ekstrak daun lamun Halophila Ovalis di Pantai Karma dan Pantai Serangan meliputi alkaloid, flavanoid, saponin, tanin dan triterpenoid. Hasil skrining fitokimia ekstrak sampel daun lamun Halophila Ovalis menunjukkan hasil yang berbeda di kedua tempat dimana pada sampel ekstrak daun Halophila Ovalis di Pantai Karma menunjukkan hasil positif mengandung senyawa jenis alkaloid dan tanin, sedangkan sampel ekstrak daun lamun Halophila Ovalis di Pantai Serangan menunjukkan hasil positif mengandung senyawa jenis alkaloid, tanin dan triterpenoid seperti ditunjukkan pada tabel 2.

Tabel 2

Hasil uji daun lamun Halophila Ovalis

Komponen

Pantai

Pantai

Keterangan

Bioaktif

Karma

Serangan

Alkaloid

+

+

Terbentuknya endapan berwarna putih

Flavonoid

-

-

Larutan berubah menjadi Merah

Saponin

-

-

Tidak terbentuk busa

Tanin

+

+

Terbentuknya larutan biru tua atau hijau kehitaman.

Triterpenoi d

-

+

Tidak terbentuknya warna merah kecoklatan

Keterangan: tanda (+) positif menunjukkan ekstrak daun lamun mengandung senyawa, sedangkan (-) negative menunjukkan ekstrak daun lamun tidak mengandung senyawa


a. Alkaloid

Gambar 2. Hasil Uji Alkaloid

b. Flavonoid

Gambar 3. Hasil Uji Flavonoid


c. Saponin

Gambar 4. Hasil Uji Saponin


d. Tanin

Gambar 5. Hasil Uji Tanin



e. Triterpenoid

Gambar 6. Hasil Uji Triterpenoid



Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam penelitian fitokimia. Secara umum dapat dikatakan bahwa metodenya sebagian besar merupakan reaksi penguji warna dengan suatu pereaksi warna (Rahman dkk., 2016). Perhatian khusus dari fitokimia adalah keanekaragaman struktur senyawa metabolit sekunder yang dibentuk dan ditimbun oleh

tumbuhan dan bagaimana cara mengisolasi, mengidentifikasi serta mengetahui aktivitas biologis seperti toksisitasnya (diganti). Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne, 1987).

Hasil skrining fitokimia ekstrak sampel daun lamun Halophila Ovalis menunjukkan hasil yang berbeda di kedua tempat dimana pada sampel ekstrak daun Halophila Ovalis di Pantai Karma menunjukkan hasil positif mengandung senyawa jenis alkaloid dan tanin, sedangkan sampel ekstrak daun lamun Halophila Ovalis di Pantai Serangan menunjukkan hasil positif mengandung senyawa jenis alkaloid, tanin dan triterpenoid.

Keberadaan senyawa jenis alkaloid hampir ditemukan di semua jenis tumbuhan lamun. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Arifuddin (2013), di perairan Pulau Spermonde Makassar dan (Dewi dkk., 2012), di periaran Pulau Pramuka Jakarta, juga menemukan kandungan senyawa jenis alkaloid Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii.   Hal ini membuktikan

keberadan senyawa jenis alkaloid memiliki peranan penting pada tumbuhan yaitu membantu dalam proses pertumbuhan, memberikan perlindungan dari serangan predator seperti hewan epifit, pencegahan infeksi, dan persaingan ruang (Fitriyani dkk., 2011).

Fungsi senyawa jenis flavonoid dalam suatu organisme menunjukkan aktivitas seperti antifungi, diuretik, antihistamin, antihipertensi, insektisida, bakterisida, antivirus dan menghambat kerja enzim (Nuria dkk., 2009).

Tidak ditemukannya kandungan senyawa jenis saponin dalam ekstrak daun lamun memberikan bukti bahwa daun lamun jenis Halophila Ovalis di perairan Pantai Karma dan Pantai Serangan aman sebagai sumber bahan makanan bagi hewan asosiasi, hal ini dikarenakan senyawa jenis saponin pada konsesntrasi rendah maupun tinggi dalam suatu organisme di alam dapat bersifat toksik (Marlinda dkk., 2012). Penelitian sebelumnya yang dilakukan Arifuddin (2013), di kepulauan Spermonde   Makassar juga   menemukan

kandungan senyawa jenis tanin pada ekstrak lamun Halophila Ovalis.

Hasil pengujian senyawa jenis tanin pada ekstrak daun lamun Halophila Ovalis menunjukkan perbedaan kepekatan warna pada kedua tempat,

dimana hasil ekstrak daun lamun Halophila Ovalis yang berasal dari Pantai Serangan menunjukkan warna yang lebih pekat dibandingkan dengan ekstrak daun lamun Halophila Ovalis yang berasal dari Pantai Karma gambar 8, hal ini dapat diduga kandungan senyawa jenis tanin yang terdapat pada ekstrak daun lamun Halophila Ovalis dari perairan Pantai Serangan lebih banyak dibandingkan dengan ekstrak daun lamun yang berasal dari perairan Pantai Karma. Keberadaan kandungan senyawa jenis tanin dalam tumbuhan lamun memberikan bukti bahwa fungsi lamun di ekosistem laut berjalan, dimana fungsi senyawa jenis tanin pada tumbuhan lamun membantu dalam penyerapan logam berat, mengikat sediment dan menstabilkan substrat yang lunak di perairan (Nybakken, 1998).

Hasil pengujian yang dilakukan pada ekstrak daun lamun Halophila Ovalis yang berasal dari Pantai Serangan menunjukkan hasil positif mengandung senyawa jenis triterpenoid, sedangkan ekstrak daun lamun Halophila Ovalis yang berasal dari Pantai Karma menunjukkan hasil negatif mengandung senyawa jenis triterpenoid seperti ditunjukkan pada gambar 9. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Arifuddin (2013), di perairan Pulau Spermonde Makassar juga menemukan kandungan senyawa jenis triterpenoid pada jenis lamun Halophila Ovalis.

Perbedaan hasil uji di kedua tempat tersebut wajar terjadi hal ini diduga disebabkan adanya perbedaan kondisi lingkungan tempat tumbuh dan hidup lamun saat pengambilan sampel, hal ini diperkuat dengan pendapat (Nuria dkk., 2009) yang menyatakan kandungan senyawa aktif merupakan hasil adaptasi dari organisme untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya baik karena faktor fisik, kimia maupun biologi. Sampel daun lamun Halophila Ovalis yang berasal dari Pantai Serangan berdekatan dengan kawasan Pelabuhan Benoa yang memiliki berbagai aktivitas di wilayah perairannya, hal ini memungkinkan lamun Halophila Ovalis di Perairan Pantai Serangan memiliki kemampuan yang lebih dalam upaya melakukan perlindungan diri terhadap perubahan kondisi lingkungan yang ekstrim. Fungsi dari senyawa jenis triterpenoid dalam tumbuhan lamun adalah sebagai perlindungan terhadap perubahan kondisi lingkungan dan untuk menolak serangan serangga dan serangan mikroba (Harborne, 1987).

  • 3.2    Uji Toksisitas BSLT dan LC50

Lethal Concentration 50 (LC50) merupakan konsentrasi zat yang menyebabkan terjadinya kematian pada 50% hewan uji. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur Arthemia salina, hal ini dikarenakan Arthemia salina memiliki kemiripan susunan sel seperti sel pada manusia (Myer, 1982). Parameter yang digunakan untuk mengetahui adanya aktivitas biologi pada suatu senyawa terhadap hewan uji ialah dengan menghitung jumlah larva yang mati karena pengaruh pemberian senyawa dengan dosis atau konsentrasi yang telah ditentukan. Hasil Uji toksisitas ditampilkan dalam tabel 3.

Tabel 3

Uji Toksisitas

Sampel

Kons (ug/ml)

% Mortalitas

Keterangan

1000

23,33

Tidak

Pantai

100

20

Karma

toksik

10

6,67

1000

30

Tidak

Pantai

100

10

20

10

Serangan

toksik

Kontrol

0

0

Pada penelitian ini konsentrasi larutan uji yang digunakan dibagi menjadi tiga kelas yaitu, 10 ug/ml, 100 ug/ml dan 1000 ug/ml sedangkan sebagai larutan pengontrolnya digunakan konsentrasi 0 ug/ml. larutan kontrol berfungsi untuk melihat pengaruh lain diluar ekstrak uji yang dapat menyebabkan kematian hewan uji. Pengujian toksisitas ini dilakukan pengulangan / replikasi sebanyak tiga kali. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan keakuratan data sehingga dapat dihitung secara statistik.

Hasil uji toksisitas ektrak daun lamun Halophila Ovalis di perairan Pantai Karma dan Pantai Serangan menunjukkan hasil uji toksisitas ekstrak daun Halophila Ovalis pada konsentrasi terendah sampai tertinggi yaitu, (10, 100, dan 1000 ug/ml) tidak memberikan efek kematian 50% terhadap telur Arthemia salina, seperti ditunjukkan Tabel 3. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa ekstrak daun lamun Halophila Ovalis tidak bersifat toksik, hal ini diperkuat oleh pendapat (Meyer et al., 1982) yang mengatakan suatu ekstrak dikatakan toksik bilamana nilai LC50 nya sesuai dengan klasifikasi,

yaitu kategori sangat tinggi / highly toxic apabila mampu membunuh 50% larva pada konsentrasi 1 -10 µg/ml, sedang / medium toxic pada konsentrasi 10 - 100 µg/ml, dan rendah / low toxic pada

konsentrasi 100 - 1000 µg/ml. Hasil Penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh M. Arifudin (2013) juga menunjukkan bahwa ekstrak daun lamun Halophila Ovalis yang berasal dari Kepulauan Spermonde kota Makassar tidak menunjukan efek toksik dimana nilai LC50 yang diperoleh adalah >1000 ppm di tiga zona titik pengambilan sampel lamun.

Tidak ditemukannya aktivitas sitotoksik pada ekstrak daun lamun Halophila Ovalis di Pantai Karma dan Pantai Serangan patut diduga karena kandungan senyawa yang didalam relatif sedikit. Hal ini bisa dikarenakan faktor morfologi Halophila Ovalis yang relatif kecil sehingga kandungan senyawa yang diproduksi juga sedikit, jadi

konsentrasi senyawa yang dibutuhkan untuk

mematikan larva Artemia salina tidak terpenuhi, walaupun   kedua ekstrak daun lamun

menunjukkan    aktivitas    senyawa    yang

menyebabkan kematian terhadap Artemia salina, namun persen kematian yang diperoleh < 50% pada tiap konsentrasinya. Kandungan senyawa aktif yang diduga berpengeruh terhadap aktivitas sitotoksik adalah senyawa saponin dan flavonoid dimana menurut pada konsentrasi rendah, saponin dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah dan dalam bentuk larutan yang sangat encer saponin sangat beracun untuk ikan, sedangkan senyawa flavonoid yang terkandung di dalam suatu organisme memperlihatkan aktivitas seperti anfungi, insektisida, bakterisida, antivirus dan menghambat kerja enzim (Nuria dkk., 2009). Pendapat ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan Arifuddin (2013) menemukan kandungan senyawa saponin dan flavonoid dalam ekstrak daun lamun Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata serta adanya aktivitas toksisitas dengan kisaran nilai LC50 100 - 1000 ppm dimana pada kisaran ini nilai toksistas nya besifat low toxic berdasarkan Meyer et al. (1982).

  • 4.    Simpulan

  • 1.    Ekstrak sampel daun lamun Halophila Ovalis Pantai Karma mengandung senyawa aktif berupa alkaloid dan tanin sedangkan ekstrak sampel Halophila Ovalis Pantai Serangan mengandung senyawa aktif berupa alkaloid, tanin dan triterpenoid

  • 2.    Ekstrak sampel daun lamun Halophila Ovalis dari Pantai Karma dan Pantai Serangan Bali tidak menunjukkan adanya aktivitas sitotoksik karena pada konsentrasi (10,100 dan 1000 ug/ml) tidak menyebabkan 50% kematian terhadap hewan uji.

  • 5.    Saran

Saran yang bisa penulis berikan pada penelitian ini adalah masih perluya jenis penelitian yang sama, dikarenakan minimnya referensi yang penulis dapatkan.

Daftar Pustaka

Ahmed, S., Ahmad, M. S., Yousaf, M., Mothana, R. A., & Al-Rehaily, A. J. (2015). Evaluation of acute toxicity and anti-inflammatory effects of Baccharoides schimperi (DC.) in experimental animals. African Journal of Traditional, Complementary and Alternative Medicines, 12(1), 99-103.

Arifuddin, M. (2013). Sitotoksitas Bahan Aktif Lamun Dari Kepulauan Spermonde Kota Makassar Terhadap Artemia salina (Linnaeus, 1758). Skripsi. Makassar, Indonesia: Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.

Atmoko, T., & Ma’ruf, A. (2009). Uji Toksisitas Dan Skrining Fitokimia Ekstrak Tumbuhan Sumber Pakan Orangutan Terhadap Larva. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 6(1), 37-45.

Dewi, C. S. U., Soedharma, D., & Kawaroe, M. (2012). Komponen Fitokimia dan Toksisitas Senyawa Bioaktif dari Lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dari Pulau Pramuka, DKI Jakarta. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan, 3(2), 23-27.

Djamil, R., & Anelia, T. (2009). Penapisan fitokimia, uji BSLT, dan uji antioksidan ekstrak metanol beberapa spesies Papilionaceae. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, 7(2), 65-71.

Fitriyani, A., Winarti, L., Muslichah, S., & Nuri, N.

  • (2011) . Anti-inflammatory Activityy of Piper crocatum Ruiz & Pav. Leaves metanolic extract in rats. Majalah Obat Tradisional (Traditional Medicine Journal), 16(1), 34-42.

Harborne, J. B. (1987). Phytochemical Method: A Guide to Modern Techniques of Plant Analysis (2nd edition). Dalam Padmawinata, K., & Soediro, I. (Terj), Metode Fitokimia:  Penuntun Cara Modern Menganalisis

Tumbuhan. Bandung, Indonesia: Penerbit ITB. (Buku asli diterbitkan 1984).

Juniarti, Osmeli, D., & Yuhernita. (2009). Kandungan senyawa kimia, uji toksisitas (Brine Shrimp Lethality Test) dan antioksidan (1,1-diphenyl-2 pikrilhydrazyl)

dari ekstrak daun saga (Abrus precatorius l.). Makara Journal of Science, 13(1), 50-54.

Marhaeni, B., Radjasa, O. K., Bengen, D. G., & Kaswadji, R. F. (2010). Screening of bacterial symbionts of seagrass Enhalus sp. against biofilm-forming bacteria. Journal of Coastal Development, 13(2), 126-132.

Marlinda, M., Sangi, M. S., & Wuntu, A. D. (2012). Analisis senyawa metabolit sekunder dan uji toksisitas ekstrak etanol biji buah alpukat (Persea americana Mill.). Jurnal MIPA, 1(1), 24-28.

Meyer, B. N., Ferrigni, N. R., Putnam, J. E., Jacobsen, L. B., Nichols, D. J., & McLaughlin, J. L. (1982). Brine shrimp: a convenient general bioassay for active plant constituents. Planta medica, 45(05), 31-34.

Muaja, A. D., Koleangan, H. S., & Runtuwene, M. R. (2013). Uji toksisitas dengan metode BSLT dan analisis kandungan fitokimia ekstrak daun soyogik (Saurauia bracteosa DC) dengan metode soxhletasi. Jurnal MIPA, 2(2), 115-118.

Nuria, M. C., Faizatun, A., & Sumantri. (2009). Uji

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Jarak Pagar  (Jatropha  Curcas  L)  Terhadap Bakteri

Staphylococcus aureus ATCC 25923, Escherichia coli ATCC 25922, dan Salmonella typhi ATCC 1408. Mediagro, 5(2), 26-37.

Nybakken, J. W. (1998). Marine biology: an ecological approach (3rd edition). Dalam Eidman, M., Koesoebiono, K., Bengen, D. G., Hutomo, M., &

Subarjo, S. (Terj.), Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. Jakarta, Indonesia: Gramedia Pustaka Utama. (Buku asli diterbitkan 1992).

Rahman, A., Malik, A., & Ahmad, A. R. (2016). Skrining fitokimia dan uji aktivitas antioksidan ekstrak etanolik buah buni (Antidesma bunius (L.) Spreng). Jurnal Fitofarmaka Indonesia, 3(2), 159-163.

Ravikumar, S., Thajuddin, N., Suganthi, P., Jacob Inbaneson, S., & Vinodkumar, T. (2010). Bioactive potential of seagrass bacteria against human bacterial pathogens. Journal of Environmental Biology, 31(3), 387389.

Sangi, M. S., Momuat, L. I., & Kumaunang, M. (2012). Uji toksisitas dan skrining fitokimia tepung gabah pelepah aren (Arenga pinnata). Jurnal Ilmiah Sains, 12(2), 127-134.

Subhashini, P., Dilipan, E., Thangaradjou, T.,  &

Papenbrock, J. (2013). Bioactive natural products from marine angiosperms: abundance and functions. Natural products and bioprospecting, 3(4), 129-136.

Tangke, U. (2010). Ekosistem padang lamun (manfaat, fungsi dan rehabilitasi). Agrikan: Jurnal Agribisnis Perikanan, 3(1), 9-29.

Tuapattinaya, P. M. J. (2012). Perbedaan keanekaragaman lamun (seagrass) pada zona intertidal dan subtidal di peraian pantai desa suli. BIMAFIKA: Jurnal MIPA, Kependidikan dan Terapan, 4(1), 447-452.

© 2021 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).

J. Mar. Aquat. Sci. 7: 140-147 (2021)