Journal of Marine and Aquatic Sciences 7(1), 68-75 (2021)

Penilaian Pencemaran Bahan Organik Perairan di Teluk Benoa Ditinjau dari Tingkat Saprobitas

Angginie Adjeng Ayoe Gigih Pangesthu a, Yulianto Suteja a*, Widiastuti a

a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Badung, Bali, Indonesia

* Penulis koresponden. Tel.: +62-818-036-497-90

Alamat e-mail: [email protected]

Diterima (received) 3 Juli 2019; disetujui (accepted) 26 Oktober 2021; tersedia secara online (available online) 27 Oktober 2021

Abstract

Organic material is one of the pollutants found in marine water, the presence of organic matter can be detected through bioindicators such as plankton by calculating the level of saprobitas waters. Research related to plankton saprobitas in the waters of Benoa Bay has been carried out around the waters of the port of Benoa. The purpose of this study was to determine the community structure and saprobitas level of plankton in the waters of Benoa Bay. The saprobic plankton level was calculated using two equations, namely Saprobic Index (SI) and Trophic Saprobic Index (TSI). Both indexes use the presence of plankton in the water to determine the pollution status of a waters. The results of the study showed that 22 types of phytoplankton from three classes Bacillariophyceae, Cyanophyceae and Dinophyceae and three types of zooplankton from two classes Crustacea and Malacostraca. The Saprobic Index (SI) values range from 1-1.7 and the Trophic Saprobic Index (TSI) ranges between 1.01-1.44. This shows that Benoa Bay waters are in the β-mesosaprobic to oligosaprobic contamination phase. In the β-mesosaprobic phase, the condition of the waters with high DO waters, the number of medium level of bacteria density and the last product produced is the last product of nitrate. The oligosaprobic it has very low bacterial conditions and perfect decomposition of organic matter. The β-mesosaprobic and oligosaprobic phases indicate that the pollution that is taking place in the waters of Benoa Bay was mild to moderate pollution.

Keywords: organic matter; saprobic level; plankton; Benoa Bay

Abstrak

Bahan organik merupakan salah satu pencemar perairan laut, keberadaannya dapat diketahui melalui bioindikator seperti plankton dengan perhitungan tingkat saprobitas perairan. Penelitian terkait saprobitas plankton di perairan Teluk Benoa sudah pernah dilakukan di sekitaran perairan pelabuhan Benoa saja. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur komunitas dan tingkat saprobitas plankton di perairan Teluk Benoa. Tingkat saprobik plankton dihitung menggunakan dua persamaan, yakni Saprobic Index (SI) dan Trophic Saprobic Index (TSI). Kedua indeks tersebut menggunakan keberadaan plankton yang berada di perairn untuk menentukan status pencemaran suatu perairan. Pada hasil penelitian ditemukan 22 jenis fitoplankton dari tiga kelas yakni Bacillariophyceae, Cyanophyceae dan Dinophyceae serta tiga jenis zooplankton dari dua kelas yakni Crustacea dan Malacostraca. Nilai Saprobic Index (SI) berkisar antara 1-1,7 dan Trophic Saprobic Index (TSI) berkisar antara 1,01-1,44. Hal tersebut menunjukkan bahwa perairan Teluk Benoa berada pada fase pencemaran β-mesosaprobik sampai oligosaprobik. Pada fase β-mesosaprobik, kondisi perairan dengan DO perairan yang tinggi, jumlah bakteri sedang serta produk terakhir yang dihasilkan meruakan produk terakhir nitrat. Untuk oligosaprobik memiliki kondisi perairan dengan jumlah bakteri yang sangat rendah serta penguraian bahan organik yang sempurna. Fase β-mesosaprobik dan oligosaprobik menandakan bahwa pencemaran yang sedang terjadi di perairan Teluk Benoa adalah pencemaran ringan sampai dengan pencemaran sedang.

Kata Kunci: bahan organik; saprobitas; plankton; Teluk Benoa

  • 1.    Pendahuluan

Pencemaran yang terjadi di perairan merupakan proses penurunan kualitas air, hal tersebut diakibatkan oleh masukan komponen maupun organisme sehingga wilayah perairan yang tercemar tersebut sudah tidak berfungsi sesuai dengan kegunaan awalnya (Damaianto dan Masduqi, 2014). Menurut Hamuna dkk. (2018), pencemaran yang terjadi di perairan dapat disebabkan oleh masukan limbah langsung ke laut atau berasal dari darat, seperti dari aliran sungai. Selain itu, air yang mengandung limbah berbahaya jika tidak diolah dengan petunjuk pengolahan limbah yang telah ditetapkan dengan benar sangat berpotensi menimbulkan pencemaran wilayah perairan laut dan pesisir, sehingga akan menimbulkan dampak buruk pada lingkungan perairan (Damaianto dan Masduqi., 2014).

Menurut Yusuf (2011), masuknya substansi atau bahan pencemar ke dalam perairan dapat meningkatkan konsentrasi bahan organik. Peningkatan jumlah bahan organik dapat memberikan informasi mengenai kondisi suatu perairan dikarenakan fungsinya sebagai indikator kualitas perairan (Yusuf, 2011). Salah satu organisme indikator perairan yang dapat digunakan sebagai tolak ukur pencemaran perairan akibat penambahan bahan organik adalah plankton (Anggraini dan Nuraeni, 2016). Beberapa dari organisme plankton yang terdapat di perairan mempunya sifat toleran serta memiliki tanggapan atau respon yang tidak sama antar jenis terhadap perubahan kualitas perairan akibat penambahan suatu substansi (Ardi, 2002).

Menurut Junqueira et al. (2010), perubahan parameter lingkungan dapat diketahui melalui kelimpahan jumlah jenis plankton yang hidup pada perairan tersebut, karena plankton dapat dijadikan sebagai biomonitoring untuk kualitas perairan. Menurut Amengual-Morro et al. (2012), maraknya kegiatan manusia yang menghasilkan limbah dalam jumlah yang besar dapat mengakibatkan perubahan parameter pada suatu lingkungan perairan yang dicemarinya. Daerah perairan yang memiliki potensi untuk tercemar adalah Teluk Benoa sebagai daerah bermuaranya beberapa sungai yang membawa masukan dari berbagai aktivitas daratan (Rachman, 2016). Salah satu metode yang dapat dijadikan untuk mengetahui tingkat pencemaran bahan organik di perairan berdasarkan kelimpahan plankton adalah

tingkat saprobitas perairan (Persoone and De Pauw, 1979).

Tingkat saprobitas perairan dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat hubungan atau ketergantungan suatu organisme terhadap senyawa yang menjadi sumber nutrisi organisme tersebut, sehingga hubungan antara keanekaragaman, keseragaman dan kelimpahan plankton dapat diketahui. Penelitian tingkat pencemaran perairan dengan menggunakan pendekatan biologi berdasarkan indeks saprobitas plankton telah dilakukan di wilayah tertentu perairan Pelabuhan Benoa (Damayanti dkk., 2017), akan tetapi informasi di keseluruhan perairan Teluk Benoa belum ada. Sehingga, diakukanlah penelitian mengenai tingkat saprobitas di Teluk Benoa guna menilai tingkat pencemaran di perairan Teluk Benoa berdasarkan masukan bahan organik.

  • 2.    Metode Penelitian

    • 2.1    Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan data sampel dilakukan pada tanggal 15 sampai 18 Mei 2018, yang berlokasi di perairan Teluk Benoa. Lokasi penelitian terdiri dari 30 titik dengan 24 titik di perairan Teluk Benoa dan 6 titik lainnya berada di sungai yang bermuara ke Teluk Benoa. Identifikasi sampel plankton dilakukan di Laboratorium Ilmu Kelautan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

  • 2.2    Pengambilan Sampel di Lapangan

Pengambilan sampel zooplankton dilakukan pada setiap titik penelitian yang mengacu pada Mulyani dkk. (2012). Sampel plankton diambil pada saat kondisi puncak pasang menuju surut dengan menggunakan plankton net yang berbentuk kerucut dengan ukuran mata jaring 30 µm dan diameter 50 cm. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara menurunkan plankton net pada perairan kemudian ditarik secara horizontal dengan menggunakan kapal selama 5 menit mengelilingi titik penelitian dengan kecepatan kapal yang rendah. Untuk mengetahui volume air yang tersaring dilakukan dengan membaca flowmeter sebelum dan sesudah penyaringan sampel. Sampel fitoplankton yang diperoleh disimpan dalam botol ukuran 100 ml dan diberi larutan lugol dan formalin 4%, kemudian dibawa

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian



1 O      1      2km

I-----------------1-----------------I-----------------------------------I-----------------------------------1


Keterangan

  • • Titik Sampling Jalan Tol

Sungai

Daratan

M Pelabuhan

M Mangrove____

Sumber Data

  • 1.    Katalog Buku Surtanal

  • 2.    Suteja dan Dirgayusa 2018

    Acuan Datum 1. WGS 84


ke laboratorium Ilmu Kelautan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana untuk dihitung dan identifikasi.

  • 2.3    Pengukuran Sample di Laboratorium

Botol sampel yang berisi sampel zooplankton dihomogenkan kemudian sampel yang diambil menggunakan pipet tetes dan diteteskan ke dalam Sedgewick-Rafter Counting Cell. Sedgewick-Rafter Counting Cell diletakkan di bawah mikroskop binokuler. Sampel diamati sebanyak tiga kali pengulangan dengan perbesaran lensa objektif 10x. Jenis zooplankton diidentifikasi menggunakan buku identifikasi Marine Plankton dan Coastal Plankton dari G.E Newell dan R.C Newell, untuk menghitung kelimpahan,   keanekaragaman,

keseragaman, indeks dominansi, Saprobic Index (SI), dan Trophic Saprobic Index (TSI) plankton. Identifikasi jenis plankton dilakukan di Laboratorium Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana.

  • 2.4    Analisis Data

    • 2.4.1.    Komposisi Jenis Plankton

Komposisi jenis adalah perbandingan antara jumlah suatu jenis terhadap keseluruhan jenis yang terdapat di suatu ekosistem. Komposisi jenis

dihitung menggunakan persamaan (English et al., 1997):

ni

Ki =  x100%

N

(1)


dimana, Ki merupakan komposisi jenis dalam %, ni merupakan jumlah jenis pada kelas ke-i, lalu N merupakan jumlah keseluruhan jenis pada ekosistem tersebut.

  • 2.4.2.    Tingkat Saprobitas Perairan

Tingkat saprobitas perairan dapat diketahui melalui dua persamaan yakni Saprobic Index (SI) dan Trophic Saprobic Index (TSI). Saprobic Index (SI) adalah indeks yang dipakai guna menghitung penggolongan spesies untuk status pencemaran bahan organik pada perairan. Kemudian Trophic Saprobic Index (TSI) ialah indeks yang dipakai untuk menentukan jumlah individu penyusun kelompok status pencemaran bahan organik pada perairan. Kedua indeks tersebut menggunkan keberadaan plankton yang berada di perairan untuk menentukan status suatu perairan (Ramadhan dkk., 2016). Persamaan yang digunakan untuk menghitung Saprobic Index (SI) adalah sebagai berikut:

1C + 3 D +1B - 3 A

SI =----------------

1A +1B + 1C +1D

(2)


dimana, SI adalah Saprobic Index, A adalah jumlah spesies organisme polysaprobik, B adalah jumlah spesies organisme α-mesosaprobik, C adalah jumlah spesies organisme β-mesosaprobik, D adalah jumlah spesies organisme oligosaprobik.

Untuk menghitung TSI digunakan persamaan sebagai berikut:

1(nC) + 3(nD) +1(nB) - 3(nA) TSI =-------------------------x

1( nA) +1( nB) +1( nC) +1( nD)

(3)

nA + nB + nC + nD + nE

nA + nB + nC + nD

dimana, TSI adalah Trophic Saprobic Index, nA adalah Jumlah individu penyusun kelompok Polysaprobik, nB adalah Jumlah individu penyusun kelompok α-Mesosaprobik, nC adalah Jumlah individu penyusun kelompok β-Mesosaprobik, nD adalah Jumlah individu penyusun kelompok Oligosaprobik, nE adalah Jumlah individu penyusun selain A, B, C dan D.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Komposisi Jenis Plankton di Perairan Teluk Benoa

      • 3.1.1.    Komposisi Jenis Fitoplankton

Fitoplankton yang ditemukan di perairan Teluk Benoa terdiri dari 22 genus yang berasal dari tiga kelas. Tiga kelas fitoplankton tersebut adalah Bacillariophyceae, Cyanophyceae, dan Dinophyceae. Sebanyak 19 jenis fitoplankton yang ditemukan merupakan anggota dari kelas Bacillariophyceae, sehingga jenis fitoplankton yang ditemukan dominan berasal dari kelas ini. Pada kelas Cyanophyceae ditemukan sebanyak dua jenis fitoplankton, kemudian untuk kelas Dinophyceae ditemukan hanya satu jenis fitoplankton. Jenis fitoplankton yang paling sering dijumpai pada kelas Bacillariophyceae adalah Stephanodiscus sp. dan yang paling sedikit ditemukan adalah jenis Tabellaria sp. Sedangkan pada anggota kelas Cyanophyceae adalah Oscillatoria sp. dan Scenedesmus sp., serta anggota kelas Dinophyceae adalah Ceratium sp.

Berdasarkan hasil presentase komposisi jenis fitoplankton yang ditemukan, diketahui bahwa jenis fitoplankton yang memiliki komposisi

tertinggi yakni pada kelas Bacillariophyceae dengan presentase komposisi sebesar 86%, berikutnya pada kelas Cyanophyceae dengan presentase komposisi sebesar 9%, kemudian pada kelas Cyanophyceae dan Dinophyceae memiliki presentase komposisi yang sama yakni sebesar 5% (Gambar 2). Menurut Damayanti dkk. (2018), kelas fitoplankton yang banyak ditemukan di perairan sekitar Teluk Benoa yakni pelabuhan Benoa adalah dari kelas Bacillariophyceae. Perbedaan kelas yang diperoleh dengan penelitian sebelumnya dikarenakan pada kelas Cyanophyceae, jenis yang didapatkan adalah Oscillatoria sp. dan Scenedesmus sp. yang dapat ditemukan pada habitat air tawar dengan pH asam sampai dengan netral. Hal tersebut sesuai dngan pernyataan Karseno dkk. (2013), yang menyatakan bahwa jenis tersebut dapat ditemukan pada habitat dngan pH asam hingga netral. Menurut Sabiq dan Budisejati (2017), sungai memiliki pH asam hingga netral yakni 3-7, sehingga Oscillatoria sp. dan Scenedesmus sp. hanya ditemukan di perairan sungai saat pengambilan data.

Gambar 2. Presentase Komposisi Jenis Fitoplankton

Kelas Bacillariophyceae memiliki komposisi tertinggi dikarenakan jenis ini merupakan jenis umum yang penting di perairan payau hingga laut. Menurut Tungka dkk. (2017), jenis fitoplankton anggota kelas Bacillariophyceae memiliki sifat tahan terhadap kondisi yang kurang menguntungkan bahkan keadaan yang ekstrim, tidak sulit atau mudah beradaptasi dengan lingkungan yang ditempatinya, bersifat kosmopolit (tersebar di seluruh wilayah dunia), serta memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi. Tingginya jenis fitoplankton pada kelas Cyanophycea yakni Ocillatoria sp. diduga karena merupakan harmful species yang membahayakan

jika terjadi ledakan atau blooming, hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat masukan bahan tertentu ke perairan yang menyebabkan jenis tersebut mengalami peningkatan jumlah (Thoha dan Rachman, 2013).

  • 3.1.2.    Komposisi Jenis Zooplankton

Zooplankton yang ditemukan di perairan Teluk Benoa terdiri dari 3 jenis dari dua kelas. Dua kelas zooplankton tersebut adalah Malacostraca dan Crustacea. Pada kelas Malacostraca ditemukan satu jenis zooplankton saja, sedangkan untuk kelas Crustacea ditemukan dua jenis zooplankton. Berdasarkan hasil presentase komposisi jenis zooplankton, diketahui bahwa komposisi jenis tertinggi dimiliki oleh kelas Crustacea dengan presentase sebesar 67% sedangkan untuk kelas Malacostraca memiliki presentase komposisi jenis sebesar 33 % (Gambar 3).

Gambar 3. Presentase Komposisi Jenis Zooplankton

Komposisi jenis zooplankton yang ditemukan pada perairan Teluk Benoa lebih sedikit dibandingkan dengan komposisi jenis fitoplankton. Pada saat sampling dilakukan, diduga banyak jenis zooplankton yang tidak terdapat di permukaan air karena menurut Widyarini dkk. (2017), jenis-jenis zooplankton hidup pada kedalaman tertentu saat siang hari dan naik ke permukaan ketika menjelang malam hari. Selain itu, zooplankton memiliki kerapatan yakni massa per satuan volume yang lebih besar dari air yang mengakibatkan zooplankton cenderung tenggelam dan keluar dari wilayah perairan yang terdapat banyak makanannya yaitu fitoplankton (Indriyawati dkk., 2012).

  • 3.2    Saprobic Index (SI) dan TrophicSaprobic Index (TSI)

Berdasarkan analisis perhitungan SI menggunakan organisme plankton, diketahui bahwa hasil penilaian pencemaran di perairan Teluk Benoa menunjukkan antara nilai 1 sampai dengan 1.7 yang artinya perairan Teluk Benoa berada pada kondisi tercemar ringan atau belum tercemar oleh bahan organik. Sementara berdasarkan analisis perhitungan TSI menggunakan organisme plankton, diketahui bahwa hasil penilaian pencemaran di perairan Teluk Benoa menunjukkan nilai antara 1.01 sampai dengan 1.44 yang memiliki arti perairan Teluk Benoa berada pada kondisi tercemar ringan sampai tercemar sedang.

Gambar 4. Peta Distribusi Spasial SI Teluk Benoa

Nilai SI pada keseluruhan perairan Teluk Benoaberada pada kategori β-Mesosaprobik yang dapat dilihat pada Gambar 4. Nilai SI menunjukkan angka yang sama untuk beberapa titik pengambilan data, yakni pada titik yang berada di dekat TPA Suwung dan titik yang berada dekat dengan Pelabuhan Benoa, nilai SI adalah 1. Menurut Suryanti (2008), nilai SI 1 merujuk pada kondisi perairan dengan tingkat saprobitas yakni β-Mesosaprobik. Pada tingkat saprobitas β-Mesosaprobik, perairan tidak hanya tercemar oleh bahan organik, namun juga tercemar oleh bahan anorganik. Menurut Suryanti (2008), pada tingkat saprobitas β-Mesosaprobik jumlah organisme produsen, konsumen dan decomposer seimbang. Menurut Maresi et al. (2015), fase β-Mesosaprobik memiliki ciri perairan yang memiliki kadar DO tinggi, jumlah bakteri sedang cenderung menurun serta produk yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik adalah produk

akhir nitrat. Sedangkan, nilai SI tertinggi terletak pada titik 21 dan 23 dengan nilai 1.7. Fase saprobitas pada nilai tersebut adalah Oligosaprobik yang mengindikasi suatu perairan dalam kondisi tercemar ringan atau belum tercemar. Fase oligosaprobik sendiri memiliki ciri kadar DO perairan perairan tinggi, sempurnanya penguraian bahan organik serta jumlah bakteri sangat rendah.

Tingginya bakteri pada fase β-Mesosaprobik dibandingkan fase oligosaprobik dikarenakan perbedaan jumlah masukan bahan organik ke perairan tersebut. Seperti yang dikemukakan oleh Kristiawan dkk. (2014), bahwa proses metabolisme mikroorganisme seperti bakteri memerlukan asupan bahan organik guna sumber energi dalam pertumbuhan dan perkembangan mikroba. Hal tersebut selaras dengan pernyataan Kline et al. (2006), bahwa peningkatan jumlah mikroba diakibatkan oleh tingginya kadar bahan organik pada perairan tersebut. Selain itu, keberadaan bakteri berperan atif sebagai dekomposer pada ekosistem dalam proses mineralisasi bahan organik (Kunarso, 2011). Oleh karena itu, pada fase β-Mesosaprobik dan oligosaprobik memiliki jumlah bakteri yang berbeda karena masukan bahan organik yang berbeda pula, pada fase β-Mesosaprobik kadar bahan organik di perairan tersebut lebih tinggi dibandingkan fase oligosaprobik. Sementara untuk fase β-meso/oligosaprobik berada pada tingkat pencemaran antara β-Mesosaprobik dan oligosaprobik.

Koefisien SI terendah terletak diantaranya pada titik sampling 3 dan 4 perairan Teluk Benoa. Titik 3 dan 4 merupakan titik yang terletak di dekat TPA Suwung, Serangan. Berdasarkan pernyataan Yuspita dkk. (2018), bahwa masukan bahan organik pada titik tersebut tinggi diduga karena ativitas TPA Suwung itu sendiri. Pernyataan tersebut diperkuat oleh penelitian sebelumnya oleh Emrizal dkk. (2008), kadar bahan organik di TPA Suwung memang tinggi. Hal tersebut dikarenakan sampah domestik lebih didominasi oleh bahan organik, sehingga TPA Suwung memberikan masukan bahan organik ke titik 3 dan 4 (Anggraini dkk., 2012). Sebaliknya, titik yang lebih jauh dari TPA Suwung dan muara sungai Buaji seperti pada titik 5 memiliki koefisien SI lebih tinggi daripada titik 3 dan 4 yakni 1,4. Hal tersebut sesuai dengan Yuspita dkk. (2018), bahwa pada titik tersebut memiliki kandungan bahan

organik yang lebih rendah dibandingkan dengan titik yang berdekatana dengan TPA Suwung dan muara sungai Buaji.

Nilai SI pada keseluruhan perairan Teluk Benoa dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Peta Distribusi Spasial TSI Teluk Benoa

Nilai TSI menunjukkan angka yang sama untuk beberapa titik pengambilan data, yakni pada titik 7 dan 16 untuk nilai TSI 1.01. Menurut Persoone and De Pauw (1979), nilai TSI 1.01 merujuk pada kondisi perairan dengan tingkat saprobitas yakni β-Mesosaprobik. Pada tingkat saprobitas β-Mesosaprobik, perairan tidak hanya tercemar oleh bahan organik, namun juga tercemar oleh bahan anorganik. Menurut Persoone and De Pauw (1979), pada tingkat saprobitas β-Mesosaprobik jumlah organisme produsen, konsumen dan decomposer seimbang. Sedangkan, nilai TSI tertinggi terletak pada titik 21 dengan nilai 1.44. Fase saprobitas pada nilai tersebut adalah β-Mesosaprobik yang mengindikasi suatu perairan dalam kondisi tercemar ringan atau belum tercemar. Kondisi perairan Teluk Benoa jika ditinjau dari perhitungan analisis TSI masuk ke dalam fase saprobitas β-Mesosaprobik, berbeda dengan perhitungan analisis SI yang terdapat fase β-meso/oligosaprobik meskipun kebanyakan dari titik pengambilan data termasuk ke dalam fase β-Mesosaprobik.

Pada perhitungan TSI diketahui bahwa titik 7 dan 16 memiliki nilai TSI terendah yang berarti titik tersebut paling tinggi pencemarannya oleh bahan organik. Titik 7 merupakan titik yang paling dekat dengan pelabuhan Benoa serta titik 16 terletak di dekat KJA (Keramba Jaring Apung). Menurut Yuningsih dkk. (2014), budidaya ikan dalam KJA menghasilkan sisa pakan maupun

ekskresi ikan yang dapat meningkatkan kandungan bahan organik. Menurut Suryanto (2011), peningkatan nutrien hasil dekomposisi bahan organik pada perairan akan dimanfaatkan secara langsung oleh fitoplankton untuk pertumbuhannya, sehingga kelimpahannya meningkat. Pada titik 16 merupakan titik dengan indikasi masukan bahan organik yang tinggi, sehingga organisme plankton yang banyak berkembang di titik tersebut meupakan organisme plankton yang toleran terhadap masukan bahan organik yang tinggi. Sesuai yang dikatakan oleh Sudinno dkk. (2015), bahwa setiap organisme renik yang hidup terdiri dari berbagai jenis algae atau plankton memiliki kekhasan sifat sehingga memungkinkan organisme tersebut hidup pada lingkungan dengan kondisi tertentu.

Titik yang memiliki koefisien TSI terendah berikutnya adalah titik 7 yang berdekatan dengan pelabuhan Benoa. Penelitian sebelumnya oleh Damayanti dkk. (2017) diperoleh hasil bahwa titik 7 memang memiliki koefisien TSI terendah jika dibanding titik-titik sampling lainnya. Hal tersebut menunjukka bahwa pada titik 7 tersebut memiliki kandungan bahan organik lebih tinggi dibandingkan titik sekitarnya karena lebih dekat dengan pelabuhan Benoa. Aktivitas pelabuhan seperti yang terjadi di pelabuhan Benoa dapat memberikan masukan bahan organik yang tinggi, hal tersebut dimungkinkan akiat kegiatan bengkel kapal serta air cucian ikan (Sudirman dkk., 2013).

  • 4.    Simpulan

Terdapat tiga kelas fitoplankton yaitu Bacillariophyceae, Cyanophyceae serta Dinophyceae dan dua kelas zooplankton yakni Crustacea dan Malacostraca. Kemudian, berdasarkan perhitungan SI (Saprobic Index) dan TSI (Trophic Saprobic Index) menunjukkan bahwa perairan Teluk Benoa masuk ke dalam fase pencemaran β-Mesosaprobik – Oligosaprobik yang menandakan bahwa perairan Teluk Benoa tercemar ringan hingga sedang berdasarkan kandungan bahan organik

Ucapan terima kasih

Penulis mengucapkan terimakasih kepada penyelenggara pendidikan program Bidikmisi yang sudah memberikan bantuan biaya hidup dan bantuan penyelenggara pendidikan, Laboratorium

Ilmu Kelautan yang sudah memberikan dan menyediakan fasilitas dalam proses menyelesaikan jurnal skripsi saya.

Daftar Pustaka

Amengual-Morro, C., Niell, G. M., & Martínez-Taberner A. (2012). Phytoplankton as bioindicator for waste stabilization ponds. Journal of Environmental Management, 95, S71-S76.

Anggraini, D., Pertiwi, M. B., & Bahrin, D. (2012).

Pengaruh jenis sampah, komposisi masukan dan waktu tinggal terhadap komposisi biogas dari sampah organik. Jurnal Teknik Kimia, 18(1), 17-23

Anggraini, F., & Nuraeni, R. (2016). Evaluasi penetapan tingkat pencemaran efluen instalasi pengolahan lumpur tinja menggunakan metode indeks pencemaran (IP). Jurnal Permukiman, 11(1), 17-28.

Ardi. (2002). Pemanfaatan Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Perairan Pesisir. Tesis. Bogor, Indonesia: Institut Pertanian Bogor.

Damaianto, B.,  & Masduqi, A. (2014). Indeks

pencemaran air laut pantai utara Kabupaten Tuban dengan parameter logam. Jurnal Teknik ITS, 3(1), D1-D4.

Damayanti, N. M. D., Hendrawan, I. G., & Faiqoh, E. (2017). Distribusi spasial dan struktur komunitas plankton di daerah Teluk Penerusan, Kabupaten Buleleng. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 3(2), 191-203.

Emrizal, Ahmad, F., Sirat, H. M., Jamaludin, Mustapha, N. M. M., Ali, R. M., & Arbain, D. (2008). Antiinflammatory activity of Piper magnibaccum (Piperaceae). Natural Product Communications, 3(10), 1719-1721.

English, S., Wilkinson, C., & Baker, V. (1997). Survey Manual for Tropical Marine Resources.  (2nd ed.).

Townsville, Australia: Australian Institute of Marine Science.

Hamuna, B., Tanjung, R. H. R., Suwito, Maury, H. K., & Alianto. (2018). Kajian kualitas air laut dan indeks pencemaran berdasarkan parameter fisika-kimia di Perairan Distrik Depapre, Jayapura. Jurnal Ilmu Lingkungan, 16(1), 35-43.

Indriyawati, N., Abida, I. W., & Triajie, H. (2012).

Hubungan antara kelimpahan fitoplankton dengan zooplankton di Perairan Sekitar Jembatan Suramadu Kecamatan Labang Kabupaten Bangkalan. Jurnal Kelautan: Indonesian Journal of Marine Science and Technology, 5(2), 127-131.

Junqueira, M. V., Friedrich, G., & de Araujo, P. R. P. (2010). A saprobic index for biological assessment of river water quality in Brazil (Minas Gerais and Rio de Janeiro states). Environmental Monitoring and Assessment, 163(1–4), 545–554.

Karseno, Handayani, I., & Setyawati, R. (2013). Aktivitas dan stabilitas antioksidan ekstrak pigmen alga Oscillatoria sp. Agritech, 33(4), 371-376.

Kline, D. I., Kuntz, N. M., Breitbart, M., Knowlton, N., & Rohwer, F. (2006). Role of elevated organic carbon levels and microbial activity in coral mortality. Marine Ecology Progress Series, 314, 119-125.

Kristiawan, D., Widyorini, N., & Haeruddin. (2014).

Hubungan total bakteri dengan kandungan bahan organik total di Muara Kali Wiso, Jepara. Management of Aquatic Resources Journal, 3(4), 24-33.

Kunarso, D. H. (2011). Kajian kesuburan ekosistem perairan Laut Sulawesi Tenggara berdasarkan aspek bakteriologi. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 3(2), 32-47.

Maresi, S. R. P., Priyanti, P., & Yunita, E. (2015).

Fitoplankton sebagai bioindikator saprobitas perairan di situ bulakan Kota Tangerang. Al-Kauniyah: Jurnal Biologi, 8(2), 113-122.

Mulyani, Widiarti, R., & Wisnu, W. (2012). Sebaran

spasial spesies penyebab harmful algae blooms (HABs) di lokasi budidaya kerang hijau Kamal Muara, Jakarta Utara pada bulan Mei 2011. Jurnal Aquatika, 3(1), 28-39.

Persoone, G., & De Pauw, N. (1979). System of Biological Indicators For Water Quality Assesman. New York, USA: Pergamon Press.

Rachman, H. A., Hendrawan, I. G., & Putra, I. D. N. N. (2016). Studi transpor sedimen di Teluk Benoa menggunakan pemodelan numerik. Jurnal Kelautan: Indonesian Journal of Marine Science and Technology, 9(2), 144-154.

Ramadhan, F., Rijaluddin, A. F., & Assuyuti, M. (2016). Studi indeks saprobik dan komposisi fitoplankton pada musim hujan di Situ Gunung, Sukabumi, Jawa Barat. Al-Kauniyah: Journal of Biology, 9(2), 95-102.

Sabiq, A., & Budisejati, P. N. (2017). Sistem pemantauan kadar pH, suhu dan warna pada air sungai melalui web  berbasis wireless sensor network. Jurnal

Teknologi dan Sistem Komputer, 5(3), 94-100.

Sudinno, D., Jubaedah, I., & Anas, P. (2015). Kualitas air dan komunitas plankton pada tambak pesisir

Kabupaten Subang Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan Perikanan dan Kelautan, 9(1), 13-28.

Sudirman, N., Husrin, S., & Ruswahyuni. (2013). Baku mutu air laut untuk kawasan pelabuhan dan indeks pencemaran perairan di pelabuhan perikanan Nusantara Kejawanan, Cirebon. Jurnal Saintek Perikanan, 9(1), 14-22.

Suryanti, S. (2008). Kajian tingkat saprobitas di muara Sungai Morodemak pada saat pasang dan surut. Jurnal Saintek Perikanan, 4(1), 76-83.

Suryanto, A. M. (2011). Kelimpahan dan komposisi fitoplankton di Waduk Selorejo Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang. Jurnal Kelautan: Indonesian Journal of Marine Science and Technology, 4(2), 135-140.

Thoha, H., & Rachman, A. (2013). Kelimpahan dan

distribusi spasial komunitas plankton di perairan Kepulauan Banggai. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 5(1), 145-161.

Tungka, A. W., Haeruddin, & Ain, C. (2017). Konsentrasi nitrat dan ortofosfat di Muara Sungai Banjir Kanal Barat dan kaitannya dengan kelimpahan fitoplankton harmful alga blooms (HABs). Indonesian Journal of Fisheries Science and Technology, 12(1), 40-46.

Widyarini, H., Pratiwi, N. T. M., & Sulistiono. (2017). Struktur komunitas zooplankton di muara Sungai Majakerta dan perairan sekitarnya, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 9(1), 91-103.

Yuningsih, H. D., Soedarsono, P., & Anggoro, S. (2014). Hubungan bahan organik dengan produktivitas perairan pada kawasan tutupan eceng gondok, perairan terbuka dan keramba jaring apung di Rawa Pening Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Management of Aquatic Resources Journal, 3(1), 37-43.

Yuspita, N. L. E., Putra, I. D. N. N., & Suteja, Y. (2018). Bahan organik total dan kelimpahan bakteri di Perairan Teluk Benoa, Bali. Journal of Marine and Aquatic Sciences, 4(1), 129-140.

Yusuf, M. (2011). Kajian dampak pencemaran terhadap kualitas lingkungan perairan dan struktur komunitas organisme makrozoobenthos di muara Sungai Babon, Semarang. Buletin Oseanografi Marina, 1(1), 27-35.

© 2021 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).

J. Mar. Aquat. Sci. 7: 68-75 (2021)