Identifikasi Hiu yang Diperdagangkan di Bali Menggunakan Metode DNA Barcoding dan Analisis Filogenetik
on
Journal of Marine and Aquatic Sciences 7(1), 84-93 (2021)
Identifikasi Hiu yang Diperdagangkan di Bali Menggunakan Metode DNA Barcoding dan Analisis Filogenetik
Rizaldi Cahya Bramasta a*, Elok Faiqoh a, I Gede Hendrawan a, Andrianus Sembiring b, Ni Luh Astria Yusmalinda b
a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Kampus Unud Jimbaran, Badung, Bali, Indonesia b Laboratorium Biodiversitas Indonesia, Jl. Tukad Balian, Denpasar, Bali, Indonesia
* Penulis koresponden. Tel.: +6287856751225 Alamat e-mail: jaldimahmud@gmail.com
Diterima (received) 16 Mei 2019; disetujui (accepted) 1 November 2021; tersedia secara online (available online) 2 November 2021
Abstract
Sharks are one of the keys for ecosystems balance in the ocean. Sharks as top predators have an important role to maintain the stability of the food chain in the ocean. The loss of sharks will have a major impact on the marine ecosystem, so the presence of sharks in the ocean must be protected from extinction. However, there are some activities such as sharks hunting and trading going on because of the high demand of sharks processed products. Bali is one of the locations of shark fishing and trading activities. The problem is the trade-in sharks have gone through the finning process, leaving only the body parts or fins which resulted in the difficulty of morphological identification process. An alternative method that can be used if molecular identification cannot be done is DNA Barcoding. DNA Barcoding means identifying all the animal species with an effective molecular approach applied to identify species. The identification results of DNA Barcoding of shark’s trade in Bali shows that there are four species of sharks have been sold, which is hammerhead sharks (Sphyrna lewini), thresher sharks (Alopias pelagicus), big eye thresher shark (Alopias superliciosus), silky sharks (Carcharinus falciformis). These sharks registered in the IUCN red list, Sphyrna lewini classified as threatened species, while the others (Alopias pelagicus, Alopias superciliosus and Carcharinus falciformis) classified as vulnerable species. In the international trade regulations on CITES, these four species come under the Appendix II. In national regulations, Alopias pelagicus, Alopias superciliosus, Sphyrna lewini have been regulated by the Ministerial regulations, while for Carcharinus falciformis, there are no national regulations yet.
Keywords: shark; DNA barcoding; Bali
Abstrak
Hiu merupakan salah satu penyeimbang ekosistem di lautan. Hiu sebagai top predator memiliki peranan penting untuk menjaga kestabilan rantai makanan di lautan. Hilangnya hiu akan berdampak besar terhadap ekosistem laut, maka dari itu keberadaan hiu di lautan harus dijaga dan jangan sampai punah. Akan tetapi aktivitas penangkapan dan perdagangan hiu masih sering dilakukan karena tingginya minat konsumen terhadap hasil olahan hiu. Bali merupakan salah satu lokasi aktivitas penangkapan dan perdagangan hiu. Permasalahan yang ada adalah perdagangan hiu telah melewati proses finning sehingga hanya menyisakan bagian tubuh atau siripnya saja yang mengakibatkan identifikasi secara morfologi tidak dapat dilakukan. Metode alternatif yang dapat digunakan apabila identifikasi secara molekuler tidak dapat dilakukan adalah DNA Barcoding. DNA Barcoding sebagai sarana untuk mengidentifikasi semua spesies hewan dengan pendekatan molekuler yang efektif diaplikasikan dalam upaya identifikasi spesies. Hasil identifikasi hiu yang diperdagangkan di Bali menggunakan metode DNA Barcoding mendapatkan empat jenis spesies hiu yang dijual, yaitu hiu martil (Sphyrna lewini), hiu tikus (Alopias pelagicus), hiu tikus mata besar (Alopias superciliosus), hiu sutra (Carcharinus falciformis). Hiu yang diperdagangkan tergolong dalam daftar merah IUCN, satu spesies Sphyrna lewini tergolong terancam, sedangkan spesies lainnya masuk dalam kategori rawan, yaitu Alopias pelagicus, Alopias superciliosus dan Carcharinus falciformis. Dalam peraturan perdagangan internasional pada CITES, seluruh spesies yang didapatkan termasuk dalam Appendiks II. Pada peraturan nasional, spesies Alopias pelagicus, Alopias superciliosus, Sphyrna lewini diatur oleh peraturan Menteri, sedangkan untuk Carcharinus falciformis, belum ada peraturan nasional yang mengatur.
Kata Kunci: hiu; DNA barcoding; Bali
Aktivitas penangkapan sumberdaya perikanan yang bersifat eksploitatif saat ini semakin pesat, salah satu hewan yang sangat rentan terhadap tingginya aktivitas penangkapan berlebih yaitu hiu (Bangun dan Pahlawan, 2014). Tingginya permintaan pasar untuk sirip hiu, menjadikan angka perburuan hiu semakin meningkat (Yates et al., 2012). Di ekosistem laut, hiu sebagai predator teratas dalam rantai makanan berperan untuk mengontrol berbagai populasi hewan laut dalam rantai makanan (Pratiwi, 2016). Terdapat 116 spesies dari 25 famili hiu tercatat ditemukan di Indonesia dan satu jenis hiu masuk ke dalam status Kondisi Kritis Punah (Critically Endangered), lima spesies berstatus Terancam Punah (Endangered), 23 Rentan (Vulnarable), sedangkan 35 spesies lainnya pada status hampir terancam (Near Threatened) menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature) (Fahmi dkk., 2013).
Berbagai kebijakan tentang konservasi hiu dalam tingkatan internasional dan nasional dibuat untuk mengendalikan kegiatan perburuan hiu (Mopay dkk., 2017). Di tingkat nasional beberapa peraturan pemerintah telah dibuat untuk mengatur perlindungan terhadap spesies hiu, seperti Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.18 Tahun 2013 tentang status Hiu Paus yang dilindungi penuh, dan yang terbaru Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.5 Tahun 2018 tentang larangan ekspor hiu koboi (Carcharinus longimanus) dan hiu martil (Sphyrna lewini, Sphyrna mokarran, Sphyrna zygaena).
Peraturan tentang perdagangan internasional juga telah diatur oleh CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna). Pada tahun 2013 beberapa spesies telah masuk ke dalam Appendix II CITES, yaitu: 3 jenis hiu martil (Sphyrna lewini, Sphyrna Mokarran, Sphyrna zygaena), satu jenis hiu koboi (Carcharinus longimanus), dua jenis hiu tikus (Alopias pelagicus, Alopias
superciliosus), dan satu jenis hiu sutra (Carcharinus falciformis). Selain larangan penuh terhadap hiu paus, di Indonesia belum ada peraturan yang mengatur penuh tentang masalah perdagangan hiu, hiu yang termasuk pada Appendix II CITES hanya diatur pelarangan ekspornya, namun perdagangan di dalam negeri tidak diatur. Hal ini membuat aktivitas penangkapan dan perdagangan hiu di Indonesia masih bebas untuk dilakukan.
Bali merupakan salah satu lokasi perdagangan hiu yang ada di Indonesia. Berdasarkan keadaan di lapangan, hiu yang didaratkan dan diperdagangkan dalam keadaan telah dipotong dan melewati proses finning, sehingga hanya menyisakan anggota tubuh dan siripnya saja. Hal tersebut mengakibatkan susahnya identifikasi jenis spesies hiu yang ditangkap dan mengetahui status konservasi dari spesies hiu tersebut. Hebert et al. (2003), memperkenalkan DNA Barcoding sebagai sarana untuk mengidentifikasi semua spesies hewan. DNA Barcoding adalah salah satu metode pendekatan molekuler yang efektif diaplikasikan dalam upaya pengenalan atau identifikasi spesies, khususnya dari objek berupa potongan organ suatu individu, seperti sirip hiu (Ward et al., 2009). Metode ini menggunakan urutan pendek segmen DNA yang ada di mitokondria, yaitu gen Cytochrome oxidase subunit I (COI) sebagai dasar analisis identifikasi spesies (Hebert et al., 2003).
Penelitian tentang identifikasi potongan tubuh hiu dengan DNA Barcoding sudah sering dilakukan sebelumnya di Indonesia. Kurniasih (2013), melakukan penelitian DNA Barcoding dan analisis filogenetik di Pelabuhan Perikanan Samudera di Cilacap, Prehadi et al. (2015), juga melakukan identifikasi hiu dengan metode DNA Barcoding di Pelabuhan Muncar, selain itu Sembiring et al. (2015), melakukan identifikasi target tangkapan hiu menggunakan DNA Barcoding di seluruh pedagang sirip hiu yang ditemukan di Indonesia. Penelitian tentang identifikasi spesies hiu perlu dilakukan diberbagai tingkatan pedagang hiu di Bali melihat di Bali sendiri aktivitas penangkapan dan perdagangan hiu masih banyak dilakukan. Maka dari itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis spesies hiu apa yang ditangkap dan berpotensi untuk diperjual belikan di Bali, beserta bagaimana status konservasinya dengan mengidentifikasi bagian potongan tubuh hiu yang didapat, melalui metode DNA Barcoding.
Penelitian ini dilakukan pada Juni – September 2018. Proses pengambilan sampel hiu dilakukan di salah satu distributor daging dan sirip hiu di Pelabuhan Benoa, Denpasar Bali dan dari nelayan yang berasal dari Karangasem. Pengolahan data
sampel hiu dilakukan di Laboratorium Bionesia, Denpasar, Bali.
-
2.2 Alat dan Bahan
Pada penelitian ini adapun alat dan bahan yang digunakan. Alat yang akan digunakan dapat dilihat pada tabel 1, sedangkan untuk bahan-bahan yang digunakan dapat dilihat pada tabel 2.
-
2.3 Metode Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan memotong daging hiu kurang lebih sepanjang 4 cm per individu. Sampel yang diambil berupa potongan daging yang terdapat pada tubuh hiu. Sampel yang telah diambil kemudian dimasukan ke dalam
tabung yang terisi etanol 96% sebanyak 1 ml, dan diberi label menurut masing-masing sampel individu.
-
2.4 Tahap Uji Laboratorium
-
2.4.1. Tahap Ekstraksi
-
Pada tahap ekstraksi DNA, metode yang digunakan adalah metode Chelex 10% (Walsh et al., 1991). Jaringan sampel dari potongan tubuh hiu yang sudah didapatkan kemudian diambil menggunakan pinset dan dimasukkan ke dalam tabung yang berisi larutan chelex 10%. Jaringan yang sudah dicampur dengan chelex kemudian melalui fase pencampuran dengan metode getar dengan alat vortex selama 15 detik, dan diaduk
Tabel 1
Alat-alat yang digunakan untuk pengambilan sampel dan identifikasi di laboratorium.
No. |
Nama Alat |
Spesifikasi |
Kegunaan |
1 |
Thermocycler PCR |
1 |
Untuk melakukan running PCR |
2 |
Pipet mikro |
100 µL |
Untuk mengambil larutan ddH2O dan larutan master mix |
3 |
Pipet mikro |
10 µL |
Untuk mengambil larutan primer, ddH2O, sampel, larutan PCR |
4 |
tip |
1 pack |
Untuk mengambil larutan primer, ddH2O, sampel, larutan PCR |
5 |
UV transilluminator |
1 |
Untuk menyajikan fragmen DNA setelah loading dan running dalam DNA elektroforesis |
6 |
Neraca analitik |
1 |
Untuk mengukur berat bubuk agarose |
7 |
Gelas beker |
1 |
Untuk mencampur larutan SB Buffer dengan bubuk agarosa |
8 |
Microwave |
1 |
Untuk memanaskan larutan gel |
9 |
Cetakan |
1 |
Untuk mencetak gel |
10 |
Sisir (comb) |
1 |
Untuk membuat sumur (well) pada gel |
11 |
Mesin elektroforesis |
1 |
Untuk mengalirkan listrik (running) pada gel |
12 |
Kamera digital |
1 |
Untuk mendokumentasikan kegiatan penelitian |
13 |
Tabung mikro 10 ml |
8 |
Digunakan sebagai wadah sampel potongan tubuh hiu yang berisi larutan etanol 96% |
14 |
Cool box |
1 |
Digunakan untuk menyimpan sampel |
15 |
Alat tulis |
1 |
Digunakan untuk mencatat data |
Tabel 2
Alat-alat yang digunakan untuk pengambilan sampel dan identifikasi di laboratorium.
No. |
Nama Bahan |
Spesifikasi |
Kegunaan |
1 |
Etanol |
96% |
Untuk preservasi sampel sirip Hiu dan mensterilkan pinset sebelum dipanaskan di api Bunsen |
2 |
Larutan chelex |
10% |
Untuk mengikat molekul lain selain DNA, sehingga DNA yang terdapat dalam larutan adalah DNA murni |
3 |
ddH2O |
Untuk melarutkan DNA | |
4 |
Bubuk agarosa |
0,75 gram |
Bahan membuat larutan gel |
5 |
Cyber Red |
Bahan yang digunakan untuk mengikat DNA dan menyebabkan DNA yang ada pada gel agarosa dapat berpendar saat disinari UV atau LED | |
6 |
Low mass DNA ladder |
Untuk menandakan ukuran fragmen DNA | |
7 |
Potongan tubuh Hiu |
Untuk diambil jaringan |
dengan alat centrifuge selama 15 detik dengan kecepatan 100 rpm, setelah itu diinkubasi di dalam mesin heating block dengan suhu 95oC selama kurang lebih 45 menit. Selama 15 menit sekali proses pencampuran dan pengadukan dengan alat vortex dan centrifuge dilakukan.
-
2.4.2. Tahap PCR (Polymerase Chain Reaction)
Setelah melewati tahap ekstraksi, kemudian dilakukan proses amplifikasi DNA dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Metode PCR yang dilakukan adalah metode hotstart. Proses PCR merupakan pencampuran sampel hasil ekstraksi sebanyak 3 µL dengan master mix. Pada metode hotstart, master mix yang diperlukan sebanyak dua tabung. Pada tabung pertama terdiri dari beberapa reagent yaitu 31,5 ddH2O, 13,5 PCR Buffer, 22,5 deoksiribonukelotida trifosfat (dNTPs), 18 MgCl2, dan 11,25 untuk masing-masing primer. Untuk primer yang digunakan yaitu HCO dan LCO (Stelbrink et al., 2010). Pada tabung kedua terdiri dari beberapa reagen yaitu 81 ddH2O, 9 PCR Buffer, dan 1,125 PE Amplitaq. Komposisi reagent dari masing-masing tabung diisi sesuai dengan nilai yang telah dihitung pada formulir PCR.
PCR dilakukan sebanyak 38 siklus yang mana setiap siklus terdiri atas tiga tahap, yaitu: pemisahan DNA utas ganda (denaturation), penempelan primer (annealing) dan pemanjangan segmen DNA (extention) (Kurniasih, 2013). Proses pre-denaturasi dilakukan pada suhu 94oC selama 15 detik, pada proses ini larutan master mix yang berisi enzim dimasukan ke dalam strip PCR yang sudah dimasukan ke dalam mesin PCR, kemudian proses denaturasi pada suhu 94oC selama 30 detik, masuk ke proses annealing dilakukan pada suhu 50oC selama 30 detik, dan proses extention dilakukan pada suhu 72oC selama 45 detik, dengan perpanjangan akhir 72oC selama 5 menit (Sembiring et al., 2015).
-
2.4.3. Tahap Elektroforesis
DNA hasil amplifikasi pada PCR kemudian dilihat dengan melakukan elektroforesis pada gel agarosa dalam buffer dengan pewarna yang kemudian diberi arus listrik 100V dan 400 mA selama 30 menit. Kemudian DNA diamati dengan UV transilluminator. Hasil elektroforesis menunjukan nilai positif dengan ditandai adanya band yang muncul yang berarti sampel positif mengeluarkan
DNA. Menurut Wardani dkk. (2017), keberhasilan amplifikasi DNA lebih didasarkan pada kesesuaian primer serta efisiensi dan optimalisasi proses PCR.
-
2.4.4. Tahap Sekuensing DNA
Sekuensing DNA adalah untuk penentuan urutan basa neuklotida yang terdapat pada DNA. Seluruh sampel yang didapatkan berhasil diidentifikasi secara molekuler, ini menunjukan bahwa primer yang digunakan pada saat Polymerasse Chain Reaction (PCR) DNA sesuai target. Sampel yang telah teridentifikasi positif terdapat DNA di dalamnya kemudian dikirim ke UC Berkeley DNA Sequencing Facility untuk dianalisis dan mendapatkan hasil sekuens yang nantinya hasil sekuens tersebut akan dianalisis untuk mengetahui jenis dan spesies dari sampel yang didapatkan. Sekuensing DNA dilakukan dengan cara menata plate yang telah diberi ID. ID ini merupakan identitas sampel yang nantinya digunakan pada saat editing sampel dan memberikan nama pada hasil sekuen.
-
2.5 Analisis Data
-
2.5.1. Editing Sekuen
-
Data hasil sekuensing diselaraskan dengan menggunakan Clustal W untuk menentukan apakah hasil urutan homolog dengan urutan lain (Kumar et al., 2016). Data hasil sekuensing berupa urutan basa neuklotida yang kemudian diedit menggunakan program Molecular Evolutionary Genetic Analysis 7.0 (MEGA 7). Kemudian data yang muncul berupa kromatogram. Kromatogram memiliki peak (puncak) yang menandakan tingkat kepercayaan terhadap basa nukleotidanya.
Satu sampel menghasilkan dua jenis sekuens yang didapatkan dari kedua jenis primer yang digunakan. Kedua primer memberikan perbedaan bentuk urutan basa neuklotida, berupa forward (LCO) dan reverse (HCO), maka dari itu diperlukan proses editing atau pensejajaran (alignment) sekuens untuk menentukan hasil sekuen yang paling bagus. Kemudian seluruh sekuens dari keseluruhan sampel disejajarkan kembali untuk dilakukan proses analisis dengan Basic Local Alignment Search Tool (BLAST). Hasil sekuens yang telah diedit kemudian dianalisis ditentukan identifikasi spesiesnya menggunakan proses (BLAST) yaitu membandingkan dengan database
sekuen DNA pada genbank (http://blast.ncbi.nlm.nih.-gov).
Pohon filogenetik dibuat menggunakan software MEGA, dengan metode Neighbour-Joining Tree, model p-distance, dan bootstrap 1000 replikasi (Saitou dan Nei, 1987). Pohon filogenetik digunakan untuk melihat kekerabatan dan varian genetik suatu spesies. Dari hasil analisis tersebut, diperoleh nilai jarak genetik. Jarak genetik antar spesies dapat diketahui melalui software MEGA menggunakan metode pairwise distances.
-
2.5.2. Identifikasi Status Konservasi
Hasil nama spesies yang diperoleh dari genbank kemudian dianalisis status konservasinya menurut peraturan nasional maupun internasional. Pada peraturan internasional, mengacu pada daftar merah IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) pada situs resmi IUCN www.iucnredlist.org dan status perdagangan pada CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) pada situs resmi CITES www.cites.org.
Status konservasi hiu pada situs resmi IUCN dibagi menjadi beberapa kategori yang termasuk ke dalam daftar IUCN yaitu punah (Extinct), punah di alam (Extinct in the wild), sangat terancam (Critically endangered), terancam (Endangered), rawan (Vulnerable), hampir terancam (Near threatened), tidak mengkhawatirkan (Least concern), minim informasi (Data deficient) dan belum di evaluasi (Not evaluated).
Selain itu, peraturan internasional yang mengacu pada status perdagangan CITES yang terdapat dalam situs resmi CITES terbagi kedalam tiga kelompok, yaitu: Apendiks I, Apendiks II, dan
Apendiks III. Apendiks I adalah daftar seluruh spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilarang dalam segala bentuk perdagangan internasional. Apendiks II adalah daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan. Apendiks III adalah daftar spesies tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di negara tertentu dalam batas-batas kawasan habitatnya, dan suatu saat peringkatnya bisa dinaikkan ke dalam Apendiks II atau Apendiks I.
Untuk peraturan nasional mengacu pada Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri yang mengatur tentang perlindungan dari beberapa jenis dan spesies hiu yang ada.
Penjualan hiu di Bali bersumber dari distributor dan nelayan. Nelayan penangkap hiu di Bali salah satunya terdapat di daerah Karangasem yang kemudian menjual hasil tangkapannya dalam bentuk utuh, sedangkan untuk distributor banyak terdapat di Pelabuhan Benoa yang menjual hiu dalam bentuk potongan. Sample daging hiu yang didapatkan berjumlah 8 potong. Adapun jenis-jenis hiu yang didapatkan dan telah diidentifikasi di lapangan dapat dilihat pada Tabel 3.
Penjualan hiu oleh nelayan dalam bentuk utuh lebih mudah diidentifikasi, namun penyebutan nama jenis hiu yang ditangkap akan membuat perbedaan pendataan dan identifikasi nama spesies tidak bisa dilakukan, contohnya adalah penyebutan hiu lontek pada nelayan di Karangasem dan penyebutan hiu super pada distributor di Pelabuhan Benoa.
Tabel 3
Hasil Identifikasi Lapangan Jenis Hiu yang Didapatkan dari Nelayan Karangasem.
No |
Kode Sample |
Identifikasi Local |
Identifikasi ilmiah |
Lokasi |
1 |
Bio.14.001 |
Hiu Monyet |
Alopias pelagicus |
Karangasem |
2 |
Bio.14.002 |
Hiu Monyet |
Alopias pelagicus |
Karangasem |
3 |
Bio.14.003 |
Hiu Lontek |
- |
Karangasem |
4 |
Bio.14.004 |
Hiu Lontek |
- |
Karangasem |
5 |
Bio.14.005 |
Hiu Lontek |
- |
Karangasem |
6 |
Bio.15.001 |
Hiu Martil |
Sphyrna lewini |
Pelabuhan Benoa |
7 |
Bio.15.002 |
Hiu Super |
- |
Pelabuhan Benoa |
8 |
Bio.15.003 |
Hiu Tikus |
Alopias sp. |
Pelabuhan Benoa |
-
3.2 DNA Barcoding dan Analisis Filogenetik
Hasil identifikasi spesies hiu yang diperdagangkan di Bali menggunakan BLAST dapat dilihat pada Tabel 4. Keseluruhan sampel telah teramplifikasi dengan baik dan hasil BLAST menunjukan adanya kecocokan identifikasi dengan tingkat identifikasi spesies 100% terhadap perkiraan jenis dari potongan hiu yang didapatkan.
Pada kode sampel Bio.14.001, Bio.14.002,
Bio.14.003 disebut hiu monyet didapatkan dari nelayan di Karangasem, menurut hasil identifikasinya adalah Alopias pelagicus, yang mempunyai nama nasional hiu monyet atau hiu tikus. Dari sampel hiu yang didapatkan dari nelayan dan distributor memiliki nama sebutan yang berbeda, seperti kode sampel Bio.14.003, Bio.14.004, dan Bio.14.005 yang didapatkan dari nelayan disebut hiu lontek dan Bio.15.003 yang didapatkan dari distributor di Benoa disebut hiu tikus, namun hasil identifikasi molekuler sama yaitu Alopias superciliosus atau hiu tikus mata besar. Pada kode sampel Bio.15.003 menurut distributor adalah hiu tikus, yang mana hiu tikus merupakan Alopias pelagicus, tetapi hasil dari identifikasi merupakan hiu tikus mata besar atau Alopias superciliosus.
Kode sampel Bio.15.002 disebut hiu super oleh distributor, hiu ini tidak dapat teridentifikasi secara morfologi karena penjualan hiu ini hanya berupa potongan tubuh, ternyata setelah diidentifikasi secara molekuler, didapatkan hasil Carcharhinus falciformis yang mempunyai nama nasional hiu sutra. Kode sampel Bio.15.001 disebut hiu martil oleh distributor dan hasil identifikasi secara molekuler benar hiu martil dengan nama ilmiahnya Sphyrna lewini. Menurut hasil BLAST
(Tabel 4) dari sampel yang didapatkan dari nelayan yang ada di Karangasem, dan data yang diberikan dari distributor daging hiu di Pelabuhan Benoa menunjukan bahwa hiu yang teridentifikasi tersebut tergolong dalam tiga family, diantaranya Sphyrnidae, Alopiidae, dan Carcharhinidae. Dari delapan jenis hiu yang didapatkan sampelnya telah teridentifikasi dan mendapatkan kecocokan hasil BLAST dengan data yang diberikan oleh nelayan dan distributor yang ada di lapangan. Hal ini menunujukan bahwa data yang diberikan nelayan dan distributor di lapangan adalah data yang jujur, dan analisis molekuler dengan metode DNA Barcoding sangat akurat.
Hasil dari DNA Barcoding dapat dikaitkan dengan analisis filogenetik. Fungsi dari analisis filogenetik disini dapat digunakan sebagai analisis pendukung DNA Barcoding yaitu untuk menentukan kecocokan dari kode sampel yang didapatkan dengan hasil BLAST dengan pembentukan topologi pohon filogenetik. Analisis filogenetik juga dapat menentukan kekerabatan antar spesies dengan melihat pada percabangan dan clade pada pohon filogenetik. Pohon filogenetik didapatkan dari hasil penghitungan jarak genetik (Lante dkk., 2011).
Hasil pembentukan topologi pohon filogenetik dengan menggunakan metode bootsrapping dapat dilihat pada gambar 1. Hasil pengujian menggunakan metode bootstrapping ditampilakan dalam bentuk diagram kladogram disertai dengan perhitungan bootstrap yang diulang sebanyak 1000 kali untuk mendapatkan hasil dari topologi pohon filogenetiknya, semakin tinggi nilai bootstrap (mencapai nilai 100%), maka nilai akurasi dari percabangan pohon filogenetik yang terbentuk semakin tinggi (Wirdateti dkk., 2016).
Tabel 4
Hasil Identifikasi Spesies Hiu yang Didapatkan dari Nelayan dan Distributor Ikan Hiu di Bali Menggunakan BLAST. | ||||||||
No |
Kode Sample |
Description |
Max score |
Total score |
Query cover |
E value |
Ident |
Accession |
1 |
Bio.14.001 |
Alopias pelagicus |
1022 |
1022 |
100% |
0.0 |
100% |
gi|523500894|KF020876.1 |
2 |
Bio.14.002 |
Alopias pelagicus |
1035 |
1035 |
100% |
0.0 |
100% |
gi|523500894|KF020876.1 |
3 |
Bio.14.003 |
Alopias superciliosus |
1027 |
1027 |
100% |
0.0 |
100% |
gi|1245698058|MF405097.1 |
4 |
Bio.14.004 |
Alopias superciliosus |
1064 |
1064 |
100% |
0.0 |
100% |
gi|1245698058|MF405097.1 |
5 |
Bio.14.005 |
Alopias superciliosus |
1077 |
1077 |
100% |
0.0 |
100% |
gi|1245698058|MF405097.1 |
6 |
Bio.15.001 |
Sphyrna lewini |
1040 |
1040 |
100% |
0.0 |
100% |
gi|1386678628|MF508688.1 |
7 |
Bio.15.002 |
Carcharhinus falciformis |
1098 |
1098 |
100% |
0.0 |
100% |
gi|1385141672|MG837909.1 |
8 |
Bio.15.003 |
Alopias superciliosus |
1072 |
1072 |
100% |
0.0 |
100% |
gi|1245698058|MF405097.1 |
Pada pohon filogenetik (gambar 1) merupakan hasil pembentukan dari kode sampel yang didapatkan di lapangan dan sampel yang didapatkan dari Genbank. Pohon filogenetik membentuk lima cabang (clade) yang berbeda, cabang pertama sampai cabang keempat merupakan cabang ingroup dan cabang kelima merupakan cabang outgroup. Pada cabang ingroup, sampel ini menunjukan terbagi kedalam 3 famili yang berbeda dengan nilai boostrap sebesar 99% -100%.
BIO 14 004
100
Alopias Superciliosus 2
Alopias Superciliosus 1
BIO 14 003
BIO 14 005
Clade 1
0.020
100
100
99
Alopias Superciliosus 3
BIO 15 003
Alopias Superciliosus 4
BIO 14 001
Alopias pelagicus 1
BIO 14 002
Alopias pelagicus 2
1W∣BIO 15 001
∣ Sphyrna Iewini 1
BIO 15 002
Clade 2
∣ Clade
1001 Carcharhinus falcrformis 1
∣ Clade 4
Mantabirostrisl I Clade 5
Gambar 1. Topologi Pohon Filogenetik Sampel Hiu.
Pada setiap cabang atau kelompok yang didukung oleh nilai boostrap juga didukung oleh nilai jarak genetik. Jarak genetik digunakan dalam melihat kedekatan hubungan antara spesies hiu yang di dapatkan (Verawati, 2015). Matriks perbedaan jarak genetik dari spesies hiu yang didapatkan dapat dilihat pada Tabel 5.
Nilai jarak genetik terjauh terdapat pada spesies Sphyrna lewini dengan Alopias superciliosus
sebesar 0,176 (17,6%), hal ini diperkuat dengan topologi pohon filogenetik yang menunjukkan bahwa jarak antar kedua spesies tersebut berjauhan. Semakin besar nilai matriksnya, menunjukan bahwa tingkat kekerabatan spesies semakin jauh dan dibuktikan oleh bentuk pohon filogenetik (Verawati, 2015). Menurut Zamroni dkk. (2014), bahwa jarak genetik 0 berarti spesies berasal dari populasi yang sama. Hal ini terdapat pada nilai jarak genetik antar Alopias pelagicus dan Alopias superciliosus sebesar 0,104. Jarak genetik antar cabang pada ingroup yaitu berkisar 0,000 – 0,176.
3.3 Status Konservasi
Status konservasi hiu yang didapatkan dari hasil analisis molekuler pada penelitian ini ditampilkan pada Tabel 6. Dalam status IUCN, satu spesies yaitu Sphyrna lewini atau yang lebih sering dikenal dengan hiu martil dari family Sphyrnidae termasuk dalam status terancam (Endangered). Menurut Fahmi dkk. (2013), menjelaskan spesies hiu yang masuk dalam kategori Endangered adalah spesies hiu yang memiliki resiko kepunahan yang tinggi di alam liar akibat dari besarnya tekanan terhadap populasi spesies dalam kategori ini. Hiu martil juga telah diatur perdagangannya oleh pemerintah. Aturan tersebut ada pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 5 tahun 2018, yang mana adanya larangan pengeluaran terhadap hiu koboi (Carcharinus longimanus) dan hiu martil (Sphyrna lewini, Sphyrna mokarran, Sphyrna zygaena). Sphyrna lewini memiliki ciri morfologi yaitu kepala yang melebar ke samping dengan lekukan dangkal di bagian tengah kepala (Prehadi et al., 2015).
Terdapat dua jenis hiu dari family Alopiidae, yaitu Alopias pelagicus dan Alopias superciliosus.
Tabel 5
Matriks Jarak Genetik Antar Spesies Ikan Hiu yang Didapatkan dari Nelayan dan Distributor Ikan Hiu di Bali.
No |
Kode Sample |
1 |
2 |
3 |
4 |
5 |
6 |
7 |
8 |
1 |
Bio.14.001_Alopias pelagicus |
0,000 | |||||||
2 |
Bio.14.002_Alopias pelagicus |
0,000 |
0,000 | ||||||
3 |
Bio.14.003_Alopias superciliosus |
0,104 |
0,104 |
0,000 | |||||
4 |
Bio.14.004_Alopias superciliosus |
0,104 |
0,104 |
0,000 |
0,000 | ||||
5 |
Bio.14.005_Alopias superciliosus |
0,104 |
0,104 |
0,000 |
0,000 |
0,000 | |||
6 |
Bio.15.001_ Sphyrna lewini |
0,163 |
0,163 |
0,176 |
0,176 |
0,176 |
0,000 | ||
7 |
Bio.15.002_ Carcharhinus falciformis |
0,156 |
0,156 |
0,163 |
0,163 |
0,163 |
0,102 |
0,000 | |
8 |
Bio.15.003_ Alopias superciliosus |
0,104 |
0,104 |
0,000 |
0,000 |
0,000 |
0,176 |
0,163 |
0,000 |
I Terjauh ∣ Terdekat
Alopias pelagicus atau yang biasa dikenal di Indonesia dengan nama hiu monyet atau hiu tikus. Pada tabel 6 dapat dilihat bahwa hiu tikus atau hiu monyet dan hiu tikus mata besar menurut daftar merah IUCN, keduanya memiliki status konservasi yang sudah berada di tingkat rawan (Vulnerable) atau yang dalam artian jika hiu tikus terus menerus ditangkap dan dijual, dikhawatirkan keberadaannya di alam akan semakin sedikit dan rawan punah. Penangkapan untuk hiu tikus juga sudah diatur di dalam negeri pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 30 tahun 2012 yang menegaskan bahwa hiu tikus bycatch harus dilepaskan. Peraturan tentang hiu tikus hanya menegaskan bahwa hiu tikus bycatch harus dilepaskan, hal ini memungkinkan bahwa hiu tikus sebagai target tangkapan masih diperbolehkan di Indonesia.
Alopias pelagicus merupakan hiu yang memiliki ciri morfologi yang sangat khas di bagian ekornya yaitu mempunyai cuping di bagian atas dari sirip ekor yang sangat panjang, ukuran mata yang yang relatif lebar, tetapi tidak melebar hingga permukaan atas dari kepalanya (Widodo dan Mahulette, 2012). Alopias superciliosus atau bigeye thresher atau yang di Indonesia dikenal dengan nama hiu tikus mata besar memiliki ciri morfologi yang hampir sama dengan hiu tikus Alopias pelagicus, hiu ini juga mempunyai sirip ekor dengan cuping bagian atas sangat panjang. Spesies ini mempunyai mata yang lebar atau besar (hingga ke permukaan atas dari kepalanya). Dibanding spesies lainnya, ukuran mata spesies ini adalah paling besar, sehingga disebut bigeye thresher (Widodo dan Mahulette, 2012).
Pada famili Carcharinidae, hanya ditemukan satu spesies yaitu Carcharinus falciformis (hiu sutra)
sebanyak satu individu. Status konservasi Carcharinus falciformis pada daftar merah IUCN 2019 menunjukan bahwa spesies berstatus rawan (Vulnerable). Status konservasi Carcharinus falciformis mengalami peningkatan yang mana pada tahun 2016 status konservasi pada daftar merah IUCN, masih berada pada status hampir terancam (Near threated). Hal ini diperkirakan karena tingginya eksploitasi terhadap spesies Carcharinus falciformis sehingga keberadaannya di lingkungan semakin tahun semakin berkurang. Tanpa adanya pengelolaan penangkapan yang serius terhadap spesies ini akan mengakibatkan kelangkaan bahkan kepunahan dalam beberapa tahun ke depan. Carcharinus falciformis memiliki ciri morfologi moncong agak panjang dan bulat menyempit, letak pangkal sirip punggung pertama berada di belakang sirip dada, dan tidak ada gurat di antara sirip punggungnya (Prehadi et al., 2015).
Dalam peraturan perdagangan pada Convention on International Trade Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) pada tahun 2017, seluruh spesies yang didapatkan termasuk dalam Appendiks II. Appendiks II adalah daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan.
Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa hasil identifikasi hiu menggunakan metode DNA Barcoding menunjukan hasil identifikasi yang akurat. Hiu yang teridentifikasi tersebut adalah Sphyrna lewini, Alopias pelagicus, Alopias superciliosus dan Carcharinus falciformis.
Tabel 6
Status Konservasi Spesies Ikan Hiu yang Didapatkan dari Nelayan dan Distributor Ikan Hiu di Bali Menurut Daftar Merah IUCN, Pada CITES, dan Peraturan Pemerintah.
No |
Description |
Nama Internasional |
Status Konservasi IUCN |
Status CITES |
Peraturan Pemerintah/ Menteri |
1 |
Alopias pelagicus |
Pelagic Thresher |
Vulnerable / |
Appendix II |
PERMEN KP No: 30 Tahun |
Shark |
Rawan |
2012 | |||
2 |
Alopias superciliosus |
Big Eye Thresher Shark |
Vulnerable / |
Appendix II |
PERMEN KP No: 30 Tahun |
Rawan |
2012 | ||||
3 |
Sphyrna lewini |
Scalloped Hammerhead |
Endangered / Terancam |
Appendix II |
PERMEN KP No: 5 Tahun 2018 |
4 |
Carcharhinus falciformis |
Silky Shark |
Vulnerable / Rawan |
Appendix II |
- |
Selain itu dari seluruh jenis hiu yang didapatkan sudah tergolong dalam daftar merah IUCN, satu spesies tergolong terancam (Endangered) yaitu Sphyrna lewini atau hiu martil, sedangkan tiga spesies lainnya masuk dalam kategori rawan (Vulnerable), yaitu Alopias pelagicus (hiu monyet), dan Alopias superciliosus (hiu monyet mata besar, dan Carcharinus falciformis (hiu sutra). Pada peraturan nasional, spesies Alopias pelagicus dan Alopias superciliosus sudah diatur dalam PERMEN KP No. 30 Tahun 2012, sedangkan Sphyrna lewini PERMEN KP No. 5 Tahun 2018. Untuk spesies Carcharinus falciformis, belum ada peraturan nasional yang mengatur tentang peredaran dan perdagangan spesies tersebut. Dalam peraturan perdagangan internasional pada CITES, seluruh spesies yang didapatkan termasuk dalam Appendiks II.
Saran yang bisa penulis berikan pada penelitian ini antara lain adalah agar proses pengambilan sampel sebaiknya dilakukan pada seluruh pedagang hiu yang ada di Bali dengan intensitas waktu yang lebih sering dan berjangka, serta pengambilan sampel pada setiap masing-masing jenis juga harus lebih banyak jumlahnya.
Ucapan terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu proses pengambilan sampel di lapangan dan kepada Laboratorium Biodiversitas Indonesia (BIONESIA) yang telah membantu dan mengajarkan proses analisis laboratorium serta memfasilitasi penelitian ini.
Daftar Pustaka
Bangun, O. V., & Pahlawan, I. (2014). Efektivitas Cites (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) Dalam Mengatur Perdagangan Hiu Di Kawasan Coral Triangel (Implementasi Di Indonesia). Jurnal Online Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, 1(2), 1-12.
Fahmi, Dharmadi, Suharsono, Dermawan, A., & Sadili, D. (2013). Tinjauan status perikanan hiu dan upaya konservasinya di Indonesia. Jakarta, Indonesia:
Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Hebert, P. D. N., Ratnasingham, S., & de Waard, J. R.
-
(2003) . Barcoding animal life: cytochrome c oxidase
subunit 1 divergences among closely related species. In Proceedings of the Royal Society of London Series B. London, UK, 7 Agustus 2003. (pp. S96-S99).
Kumar, S., Stecher, G., & Tamura, K. (2016). MEGA7: molecular evolutionary genetics analysis version 7.0 for bigger datasets. Molecular Biology and Evolution, 33(7), 1870-1874.
Kurniasih, E. M. (2013). DNA Barcoding dan Analisis Filogenetik Ikan Hiu yang Didaratkan di Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap. Skripsi. Bogor, Indonesia: Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Program Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Lante, S., Tenriulo A., Parenrengi, A., Rachmansyah, & Malina, A. C. (2011). Keragaman genetik populasi ikan beronang (Siganus guttatus) di Selat Makassar dan Teluk Bone menggunakan metode Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD). Jurnal Riset Akuakultur, 6(2), 211-224.
Mopay, M., Wullur, S., & Kaligis, E. (2017). Identifikasi molekuler sirip ikan hiu yang didapat dari pengumpul sirip di Minahasa. Jurnal Pesisir dan Laut Tropis, 1(2), 1-7.
Pratiwi, T. D. (2016). Shark Finning Sebagai Isu Global Penyebab Kepunahan Hiu Dunia. The Journal of Islamic Studies and International Relations, 1(1), 55-73.
Prehadi, Sembiring, A., Kurniasih, E. M., Rahmad., Arafat, D., Subhan, B., & Madduppa, H. H. (2015). DNA barcoding and phylogenetic reconstruction of shark species landed in Muncar fisheries landing site in comparison with Southern Java fishing port. Biodiversitas, 16(1), 55-61.
Saitou, N., & Nei, M. (1987). The neighbor-joining
method: a new method for reconstructing
phylogenetic trees. Molecular biology and evolution, 4(4), 406-425.
Sembiring, A., Pertiwi, N. P. D., Mahardini, A.,
Wulandari, R., Kurniasih, E. M., Kuncoro, A. W., Cahyani, N. K. D., Anggoro, A. W., Ulfa, M., Madduppa, M., Carpenter, K. E., Barber, P. H., & Mahardika, G. N. (2015). DNA Barcoding reveals targeted fisheries for endangered sharks in Indonesia. Fisheries Research, 164. 130-134.
Stelbrink, B., von Rintelen, T., Cliff, G., & Kriwet, J. (2010). Molecular systematics and global phylogeography of angel sharks (genus Squatina). Molecular phylogenetics and evolution, 54(2), 395-404.
Verawati, I. (2015). Identifikasi Molekuler, Keragaman
Genetik dan Karakteristik Habitat Siput Laut (Nudibranchia) Dari Beberapa Populasi di Indonesia. Skripsi. Bogor, Indonesia: Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Program Sarjana Institut
Pertanian Bogor.
Walsh, P. S., Metzger, D. A., & Higuchi, R. (1991). Chelex 100 as a medium for simple extraction of DNA for
PCR-based typing from forensic material. Biotechniques, 10(4), 506-513.
Ward, R. D., Hanner, R., & Hebert, P. D. (2009). The campaign to DNA barcode all fishes, FISH‐BOL. Journal of fish biology, 74(2), 329-356.
Wardani, M. T., Kusdiyantini, E., & Budiharjo, A. (2017). Identifikasi isolat Monoscus sp hasil isolasi angkak berdasarkan gen Internal Transcribed Spacer (ITS) dan pengukuran kandungan pigmen. Jurnal Biologi, 6(2), 34–40.
Widodo, A. A., & Mahulette, R. T. (2012). Jenis, ukuran dan daerah penangkapan hiu thresher (Famili Alopiidae) yang tertangkap rawai tuna di Samudera Hindia. BAWAL Widya Riset Perikanan Tangkap, 4(2), 75-82.
Wirdateti, Indriana, E., & Handayani. (2016). Analisis sekuen DNA mitokondria cytochrome oxidase I (COI) mtDNA pada kukang Indonesia (Nycticebus spp.) sebagai penanda guna pengembangan identifikasi spesies. Jurnal Biologi Indonesia, 12(1), 119128.
Yates, P. M., Heupel, M. R., Tobin, A. J., &
Simpfendorfer, C. A. (2012). Diversity in young shark habitats provides the potential for portfolio effects. Marine Ecology Progress Series, 458, 269-281.
Zamroni, A., Suwarso, & Nugroho, E. (2014). Struktur genetika populasi ikan malalugis biru (Decapterus macarellus Cuvier, 1833) di sekitar Sulawesi berdasarkan Mt-DNA marker. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 20(1), 31-41.
© 2021 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).
J. Mar. Aquat. Sci. 7: 84-93 (2021)
Discussion and feedback