Distribusi Spasial Salinitas Laut Dari Citra Satelit Aquarius Di Samudera Hindia dan Hubungannya Dengan IOD
on
Journal of Marine and Aquatic Sciences 9(1), 110-118 (2023)
Distribusi Spasial Salinitas Laut Dari Citra Satelit Aquarius Di Samudera Hindia dan Hubungannya Dengan IOD
I Putu Ranu Fajar Maharta a*, Abd. Rahman As-syakur a
a Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Bali 80361, Indonesia
* Penulis koresponden. Tel.: +62-811-3977-785
Alamat e-mail: ranufajar123@gmail.com
Diterima (received) 27 April 2022; disetujui (accepted) 23 Maret 2023; tersedia secara online (available online) 1 Juni 2023
Abstract
In the Indian Ocean there is a climatological oscillation phenomenon known as the India Ocean Dipole (IOD). IOD is a phenomenon that occurs due to the interaction between the atmosphere and the sea and is indicated by the presence of sea surface temperature anomalies in the western and eastern Indian Ocean. The IOD phenomenon can affect several physical-chemical parameters, one of which is salinity. To obtain salinity data, Aquarius satellite imagery is used, considering that it is very difficult to collect data in-situ. This study aims to conclude the pattern of distribution of the average salinity in the Indian Ocean every month, the rental pattern of the IOD correlation to the salinity in the Indian Ocean, and investigate the salinity anomaly that occurs during positive IOD cases in August 2012 and negative IOD cases in August 2012. June 2013. Salinity in the Indian Ocean differs between the west and east, and changes every month following the seasons that occur in the tropics. The Indian Ocean Dipole (IOD) is very influential on the distribution of salinity in the Indian Ocean because it has a fairly high correlation in almost the entire Indian Ocean. IOD causes salinity anomalies throughout the Indian Ocean, especially in the central part, when positive IOD, the salinity in the middle of the Indian Ocean will decrease, while when negative IOD, the salinity will increase.
Keywords: Samudera Hindia; indian Ocean Dipole; salinitas; Citra Satelit Aquarius
Abstrak
Di samudera Hindia terdapat suatu fenomena osilasi klimatologi yang dikenal dengan nama India Ocean Dipole (IOD). IOD adalah suatu fenomena yang terjadi karena adanya interaksi antara atmosfer dan laut dan ditunjukkan dengan adanya anomali suhu permukaan laut di barat dan timur Samudera Hindia. Fenomena IOD dapat mempengaruhi beberapa parameter fisika kimia yang salah satunya adalah salinitas. Untuk mendapatkan data salinitas di gunakan citra satelit Aquarius mengingat sangat sulit dilakukannya pengambilan data secara in-situ. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pola sebaran rata-rata salinitas di Samudera Hindia pada setiap bulan, memetakan pola korelasi IOD terhadap salinitas di Samudera Hindia, dan memetakan anomali salinitas yang terjadi pada saat kasus IOD positif pada bulan Agustus tahun 2012 dan kasus IOD negatif pada bulan Juni tahun 2013. Salinitas di Samudera Hindia berbeda antara bagian barat dan timur, serta berubah setiap bulannya mengikuti musim yang terjadi di daerah tropis. Indian Ocean Dipole (IOD) sangat berpengaruh terhadap sebaran salinitas di Samudera Hindia karena memiliki korelasi yang cukup tinggi di hampir seluruh Samudera Hindia. IOD menyebabkan anomali salinitas di seluruh Samudera Hindia terutama di bagian tengah, pada saat IOD positif salinitas di tengah samudera hindia akan menurun, sedangkan saat IOD negatif salinitasnya akan meningkat.
Kata Kunci: Samudera Hindia; indian Ocean Dipole; salinitas; Citra Satelit Aquarius
Samudera Hindia merupakan Samudera terluas ketiga setelah samudera Atlantik. Ukurannya hampir sama dengan separuh Samudera Pasifik dan menutupi seperlima lautan di Bumi. Kedalaman
rata-rata Samudera Hindia adalah 3.890 meter. Titik terdalam Samudera Hindia berada di Palung Jawa, Indonesia. Kedalaman Palung Jawa mencapai 7.450 meter. Di Samudera Hindia terdapat tempat terhangat yang dinamakan Teluk Persia dan tempat paling asin yang dinamakan Laut Merah. Di samudera Hindia terdapat suatu fenomena osilasi klimatologi yang dikenal dengan nama India Ocean Dipole (IOD).
Indian Ocean dipole (IOD) adalah suatu fenomena yang terjadi karena adanya interaksi antara atmosfer dan laut (Saji et al., 1999). Fenomena IOD ditunjukkan dengan adanya anomali Suhu permukaan laut (SPL) yang bernilai negatif atau lebih dingin dari normalnya di pantai barat Sumatera atau Samudera Hindia bagian timur (90°BT – 110°BT, 10°LS – 0°) dan anomali positif di Samudera Hindia bagian barat (50°BT – 70°BT, 10°LS – 10°LU). SPL di perairan Samudera Hindia Timur bersuhu lebih dingin di bawah normalnya saat fenomena IOD positif. Untuk fenomena IOD negatif, SPL di perairan Samudera Hindia Timur bersuhu lebih hangat diatas normal. Dipole Mode Index (DMI) digunakan untuk mengidentifikasi fenomena IOD positif atau negatif. Siklus fenomena IOD diawali dengan munculnya anomali SPL negatif di sekitar Selat Lombok hingga perairan selatan Jawa pada sekitar bulan Mei – Juni dan semakin menguat serta meluas hingga perairan pantai barat Sumatera pada bulan Juli - Agustus. Pada saat yang sama di Samudera Hindia barat muncul pola anomali SPL positif. Adanya perbedaan tekanan di antara keduanya, semakin memperkuat angin tenggara di sepanjang ekuator dan pantai barat Sumatera, sehingga akan terjadi persebaran SPL dari selatan Jawa hingga barat Sumatera. Siklus ini mencapai puncaknya pada bulan September – Oktober dan selanjutnya menghilang dengan cepat pada bulan November – Desember (Saji et al., 1999). Dari fenomena ini tentu akan mempengaruhi karakter oseanografi di Samudera Hindia.
Karakter oseanografi fisika kimia di Samudera Hindia pada saat fenomena IOD memiliki karakter yang khas. Fase pembentukan, pematangan dan peluruhan fenomena IOD dapat diidentifikasi dengan melihat perubahan SPL, angin dan arus pada daerah tersebut. Kuat lemahnya fenomena IOD yang terjadi tidak selalu sama, hal ini dapat dilihat dari nilai DMI (Dipo dkk., 2011). Adanya perbedaan kuat lemahnya fenomena IOD yang terjadi, mengakibatkan berubahnya karakter oseanografi fisika kimia pada perairan tersebut seperti suhu, kecepatan arus, kecerahan, total suspended solid (TSS), oksigen terlarut (DO), derajat keasaman (pH), nitrat, fosfat, salinitas, dll. Namun, masih belum banyak yang mengkaji perbedaan karakter oseanografi fisika kimia pada saat fenomena IOD positif dan negatif, serta berapa besar IOD dapat mempengaruhi parameter fisika kimia di samudera Hindia, salah satu parameter fisika kimia yang dapat dikaji adalah salinitas.
Salinitas adalah kadar garam terlarut dalam air. Satuan salinitas adalah Practical Salinity Units (psu), yaitu rasio konduktivitas sampel air laut terhadap larutan KCL standar (Wibisono, 2004). Salinitas dipengaruhi oleh pasang surut, curah hujan, penguapan (evaporasi), presipitasi dan topografi suatu perairan. Akibatnya, salinitas suatu perairan dapat sama atau berbeda dengan perairan lainnya, misalnya perairan darat, laut dan payau. Kisaran salinitas air laut adalah 30-35‰, estuari 5-35‰ dan air tawar 0,5-5‰ (Nybakken, 1998). Salinitas dapat diukur dengan cara in-situ maupun ex-situ, namun untuk mendapatkan data in-situ sangat susah didapatkan, jika lokasi penelitian yang sangat luas dan waktu yang dibutuhkan sangat lama, maka dapat di gunakanlah data ex-situ dari citra satelit.
Citra satelit yang dapat memetakan salinitas permukaan atau Sea Surface Salinity (SSS) adalah satelit Aquarius. Aquarius adalah microwave remote sensing yang dirancang untuk mendapatkan peta global untuk salinitas permukaan laut dari angkasa. Aquarius adalah kombinasi dari radiometer dan scatterometer (radar) yang beroperasi pada L-band (1,413 GHz untuk radiometer dan 1,26 GHz untuk scatterometer). Instrumen utama untuk mengukur salinitas adalah radiometer yang merespon salinitas karena modulasi salinitas dihasilkan pada emisi termal dari air laut. Respon terhadap salinitas menurun dengan cepat dengan frekuensi dan cukup kecil di C-band. Scatterometer akan memberikan koreksi untuk kekasaran permukaan (gelombang) yang merupakan salah satu yang tidak diketahui dalam pengambilan data tersebut (Le Vine et al., 2008).
Untuk itu paper ini bertujuan untuk memetakan pola sebaran rata-rata salinitas di Samudera Hindia pada setiap bulan, memetakan pola korelasi IOD terhadap salinitas di Samudera Hindia, dan
memetakan anomali salinitas yang terjadi pada saat kasus IOD positif pada Agustus tahun 2012 dan kasus IOD negatif pada bulan Juni tahun 2013.
Lokasi penelitian ini mengambil daerah studi di wilayah perairan Samudera Hindia yang terletak pada koordinat geografis 40°LU - 30°LS dan dari 25°BT - 115°BT. Lokasi penelitian dapat diilustrasikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Lokasi penelitian di Samudera Hindia.
-
2.2. Alat dan bahan
Alat yang digunakan untuk mengolah data citra satelit adalah personal computer (PC) yang telah terinstall perangkat lunak (software) SAGA (System for Automated Geoscientific Analyses) 2.1.4 yang digunakan untuk croping citra dan menampilkan peta, dan Microsoft Visual Basic 2010 Express (VB 2010) yang digunakan untuk membuat program komputer ‘pengolah peta.exe’ untuk proses pengolahan citra. Bahan yang digunakan adalah data citra level 3 Aquarius Sea Surface Salinity (all beams) V3.0 (refined) bulanan dengan resolusi spasial 1° dari tahun 2012 sampai 2014 yang di download dari website oceancolor.gsfc.nasa.gov/legacy dan data bulanan Dipol Mode Index (DMI) dari tahun 2012 sampai 2014 yang di dapat dari website jamstec.go.jp.
-
2.3. Pengolahan Data
Untuk memetakan pola sebaran rata-rata salinitas bulanan di Samudera Hindia, pertama data citra SSS dibuka dengan softwere SAGA untuk melakukan cropping citra agar didapat citra pada daerah Samudera Hindia, kemudian hasil cropping ini disimpan dengan format ASCII. Data ASCII ini kemudian diproses dengan program ‘pengolah peta.exe’ yang di buat menggunakan software VB 2010. Pada program ‘pengolah peta.exe’ dicari rata-rata bulanan dengan cara merata-ratakan setiap bulan dari tahun 2012 sampai 2014 sehingga di dapat rata-rata bulanan dari bulan Januari sampai Desember di Samudera Hindia, dan hasilnya disimpan dengan format ASCII kembali agar dapat diproses menggunakan software SAGA dan dapat dihasilkan peta pola sebaran rata-rata salinitas bulanan di Samudera Hindia. Berikut ini adalah script program dan diagram alir pengolahan data untuk memetakan pola sebaran rata-rata salinitas bulanan di Samudera Hindia.
Gambar 2. Scrip program pengolah peta.exe untuk mencari rata-rata peta.
Gambar 3. Diagram alir pengolahan data untuk memetakan pola sebaran rata-rata salinitas bulanan di Samudera Hindia.
Untuk memetakan pola korelasi IOD terhadap salinitas di Samudera Hindia, pertama data SSS bulanan dari tahun 2012 sampai 2014 yang telah di crop untuk daerah Samudera Hindia dan sudah berformat ASCII dan data DMI bulanan dari tahun 2012 sampai 2014 diolah menggunakan program ‘pengolah peta.exe’. Pada program ‘pengolah peta.exe’ di cari korelasi antara data SSS dengan data DMI pada setiap pixel citra sehingga akan didapatkan peta korelasi antara SSS dan DMI di Samudera Hindia, dan kemudian hasilnya di simpan dalam format ASCII agar dapat di proses di software SAGA dan dapat dihasilkan peta korelasi sehingga akan dapat diketahui di daerah mana saja salinitas dipengaruhi oleh IOD dan akan di dapatkan pola korelasi IOD terhadap salinitas di Samudera Hindia. Script program dan diagram alir pengolahan data untuk memetakan pola korelasi IOD terhadap salinitas di Samudera Hindia dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.
Untuk memetakan anomali salinitas yang terjadi pada saat IOD, pertama data ASCII rata-rata salinitas pada bulan Agustus dan Juni yang telah didapat sebelumnya dan data ASCII SSS pada bulan Agustus tahun 2012 sebagai kasus untuk IOD positif karena memiliki index positif tertinggi dari tahun 2012 sampai 2014 yaitu 0.953297 dan bulan Juni 2013 sebagai kasus IOD negatif karena memiliki index negatif tertinggi yaitu -0.284998, kemudian data ini di olah menggunakan program ‘pengolah peta.exe’. Pada program ‘pengolah peta.exe’ di cari perbedaan antara data ASCII SSS pada setiap kasus dengan data ASCII rata-rata salinitas dengan cara mengurangi data bulanan dengan
rata-rata bulanan yang dianggap sebagai kondisi normal, sehingga akan didapatkan hasil data anomali di setiap bulannya dan kemudian hasilnya disimpan dalam format ASCII agar dapat di proses dengan softwere SAGA dan didapatkan peta anomali di setiap kasus sehingga akan diketahui seberapa besar anomali yang terjadi di setiap kasus. Script program dan diagram alir pengolahan data untuk memetakan anomali salinitas yang terjadi pada saat IOD dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7.
Gambar 4. Scrip program pengolah peta.exe untuk mencari korelasi peta.
Gambar 5. Diagram alir pengolahan data untuk memetakan pola korelasi IOD terhadap salinitas di Samudera Hindia.
Sub Anoaali()
For x As Integer ∙ 1 To baris
For y As Integer ∙ 1 To kolon
If maps.Iten(O).matrix(x1 y) - HaM And naps.Iten(I) .natrix(xj y) - HaN Then hasil.natrix(x, y) ∙ HaN
ElseIf maps.Iten(O).natrix(x, y) ∙ NaN Or maps,Iten(I).≡atriχ(χ, y) ∙ HaH Then hasil.oatrix(x, y) ∙ 0
Else
hasil.≡atriχ(χ, y) a maps.Iten(I).natriχ(χ, y) ■ maps.Item(O).matriχ(χ, y) End If
Next
Next
End Sub
Gambar 6. Scrip program pengolah peta.exe untuk mencari anomali peta.
Gambar 7. Diagram alir untuk memetakan anomali salinitas yang terjadi pada saat IOD.
Berdasarkan peta sebaran rata-rata salinitas bulanan seperti Gambar 8, dapat terlihat salinitas di Samudera Hindia bagian barat lebih tinggi daripada bagian timur, ini disebabkan karena bagian timur Samudra Hindia dekat dengan Indonesia yang merupakan daerah yang memiliki curah hujan yang cukup tinggi sehingga salinitas di Samudera Hindia bagian timur menjadi lebih kecil dari pada bagian barat. Dapat terlihat juga mulai pada bulan juni salinitas di Samudera Hindia bagian barat dan timur mulai meningkat dan pada bulan Agustus mencapai puncaknya dan akhirnya salinitas mulai kembali menurun di daerah bagian timur pada bulan November dan pada bagian barat mulai menurun pada bulan Desember. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan grafik pada Gambar 9, kejadian ini diakibatkan oleh musim kemarau yang biasanya terjadi mulai bulan april hingga september di daerah tropis sehingga curah hujan menurun yang akan mengakibatkan salinitas mulai meningkat dan musim hujan biasanya mulai pada bulan Oktober sehingga salinitas kembali turun di dekat bulan tersebut.
-
3.2. Pola Korelasi IOD Terhadap Salinitas di Samudera Hindia
Berdasarkan peta korelasi IOD dengan salinitas seperti Gambar 10, dapat terlihat banyak korelasi positif yang terdapat di dalam peta, terutama di bagian barat dan timur samudera hindia, tetapi ada juga korelasi negatif yang terjadi seperti di daerah barat Australia dan daerah dekat teluk Bengala di India. Tetapi tidak ada koefisien korelasi yang sampai melebihi 0.8 atau -0.8, ini menunjukkan hubungan antara IOD dan salinitas tidak memiliki hubungan yang sangat erat, namun IOD memang sangat berpengaruh terhadap salinitas di Samudera Hindia mengingat hampir seluruh titik memiliki korelasi yang cukup tinggi.


Gambar 8. Peta Pola Sebaran rata-rata Salinitas bulanan di Samudera Hindia.

Gambar 9. Grafik salinitas (psu) di barat dan timur Samudera Hindia.

Gambar 10. Peta korelasi IOD terhadap salinitas di Samudera Hindia.
-
3.3. Pola Korelasi IOD Terhadap Salinitas di Samudera Hindia
Berdasarkan peta anomali saat IOD positif pada bulan agustus 2012 seperti gambar 11, dapat terlihat salinitas di bagian barat dan tenggara meningkat sekitar 0.2psu dan sangat tinggi di daerah timur India, namun di beberapa titik salinitasnya turun di daerah teluk Bengala, India dan beberapa di tengah-tengah Samudera Hindia, hal ini mungkin terjadi karena evaporasi yang tinggi akibat peningkatan suhu permukaan laut yang terjadi di Samudera Hindia bagian barat mengakibatkan peningkatan curah hujan sehingga pada bagian barat salinitasnya tidak meningkat pesat dan pada bagian tengah terkena dampak curah hujan yang tinggi sehingga salinitasnya menjadi turun drastis.
Sedangkan pada saat IOD negatif pada bulan Juni 2013 seperti Gambar 12, dapat terlihat salinitas di Samudera Hindia bagian timur, bahkan meningkat pesat di bagian tengah, ini tentu berbanding terbalik saat terjadi IOD positif. Dari kedua peta tersebut dapat terlihat perbedaan yang sangat mencolok di daerah Samudera Hindia bagian tengah, pada saat IOD positif salinitas disana menurun drastis sekitar 0.4 sampai 0.5psu, sedangkan saat IOD negatif salinitas disana meningkat sekitar 0.4 sampai 0.5psu, ini menunjukkan perbedaan pola anomali salinitas saat terjadi IOD positif dan IOD negatif.
Gambar 11. Peta anomali salinitas saat IOD positif bulan agustus 2012.
Gambar 12. Peta anomali salinitas saat IOD negatif bulan Juni 2013.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari paper ini adalah:
-
1. Salinitas di Samudera Hindia berbeda antara bagian barat dan timur, serta berubah setiap bulannya mengikuti musim yang terjadi di daerah tropis.
-
2. Indian Ocean Dipole (IOD) sangat berpengaruh terhadap sebaran salinitas di Samudera Hindia karena memiliki korelasi yang cukup tinggi di hampir seluruh Samudera Hindia.
-
3. IOD menyebabkan anomali salinitas di seluruh Samudera Hindia terutama di bagian tengah, pada saat IOD positif salinitas di tengah samudera hindia akan menurun, sedangkan saat IOD negatif salinitasnya akan meningkat.
Daftar Pustaka
Le Vine, D. M., Lagerloef, G. S., Pellerano, F., & Colomb, F. R. (2008). The Aquarius/SAC-D mission and status of the Aquarius instrument. In 2008 Microwave Radiometry and Remote Sensing of the Environment. Florence, Italy, 11-14 March 2008 (pp. 1-4).
Nybakken, J. W. (1998). Marine biology: an ecological approach (3rd edition). Dalam Eidman, M., Koesoebiono, K., Bengen, D. G., Hutomo, M., & Subarjo, S. (Terj.), Biologi laut: suatu pendekatan ekologis. Jakarta, Indonesia: Gramedia Pustaka Utama. (Buku asli diterbitkan 1992).
Dipo, P., Nurjaya, I. W., & Syamsudin, F. (2011). Karakteristik oseanografi fisik di perairan samudera hindia timur pada saat fenomena indian ocean dipole (iod) fase positif tahun 1994/1995, 1997/1998 dan 2006/2007. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 3(2), 71-84.
Saji, N. H., Goswami, B. N., Vinayachandran, P. N., & Yamagata, T. (1999). A dipole mode in the tropical Indian Ocean. Nature, 401(6751), 360-363.
Wibisono, M. S. (2004). Pengantar Ilmu Kelautan. Jakarta, Indonesia: Gramedia Widiasarana Indonesia.

© 2023 by the authors; licensee Udayana University, Indonesia. This article is an open access article distributed under the terms and conditions of the Creative Commons Attribution (CC BY) license (http://creativecommons.org/licenses/by/3.0/).
J. Mar. Aquat. Sci. |Vol. 9, No. 1| 110-118 (2023)
Discussion and feedback