Hegemoni orang tua pada pemilihan jurusan pariwisata bagi siswa di smk pgri 3 denpasar
on
JURNAL KEPARIWISATAAN DAN HOSPITALITAS
Vol. 2, No. 2, November 2018.
Hegemoni orang tua pada pemilihan jurusan pariwisata bagi siswa di smk pgri 3 denpasar
Putu Suratin Surya Libhi1), I Nyoman Dhana2), I Wayan Winaja3) Universitas Udayana
Email: putusuratinsuryalibhi@gmail.com
Abstrak
Artikel ini mengkaji tentang keadaan pendidikan pariwisata saat ini yang dipengaruhi oleh keadaan industri pariwisata yang ada di Bali. Perkembangan pariwisata berimplikasi pada berbagai hal dalam kehidupan masyarakat yang berbudaya, tidak terkecuali keadaan struktur keluarga dalam memilih pendidikan untuk anaknya yang menjadi pertimbangan bagi orang tua. Artikel ini bertumpu pada titik yang lebih spesifik mengkaji bagaimana orang tua melakukan tindakan-tindakan yang begitu hegemonik terhadap anaknya sehingga menggiring anak untuk memilih jurusan pariwisata di sekolah menengah kejuruan. Pendekatan kualitatif digunakan dalam menjabarkan maupun memahami suatu permasalahan didukung oleh data kuantitatif. Data digali melalui proses observasi, dokumentasi dan wawancara. Hasil menunjukan jika orang tua memiliki andil yang besar terhadap keputusan dalam memilih pendidikan untuk anaknya, terutama menjurus pada pendidikan pariwisata. hal ini dipengaruhi oleh keadaan perkembangan pariwisata saat ini. Orang tua siswa memiliki ideologi kapitalisme dalam menyekolahkan anaknya pada pendidikan pariwisata sebagai sebuah investasi dengan cara menanamkan modal pada anaknya sehingga nantinya dapat dipetik oleh orang tua disaat anak itu menyelesaikan pendidikan dan mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan rencana orang tua. Namun yang menjadi hal penting adalah, anak itu memiliki minat dan bakat yang lain, tidak pada pendidikan pariwisata contohnya seperti teknik mesin maupun karawitan sehingga pemaksaan secara halus yang disebut hegemoni ada dalam fenomena ini. alhasil yang terjadi adalah disaat anak ini melalui proses belajar mengajar di kelas terjadi ketidak seriusan atau minimnya minat belajar pada siswa sehingga siswa melakukan tindakan-tindakan yang tidak diinginkan oleh orang tua maupun pihak sekolah seperti malas masuk sekolah, malas membuat tugas yang diberikan guru serta hal-hal lain didasari atas ketidak minatannya.
Kata kunci: Hegemoni, Jurusan Pariwisata, Perkembangan Pariwisata, Industri Pariwisata
Abstract
This article examines the current state of tourism education that is influenced by the condition of the tourism industry in Bali. The development of tourism has implications on the various things in the life of a cultured society, not least the state of the family structure in choosing education for their children which is considered for parents. This article relies on a more specific point of examining how parents are acting so hegemonic to their children that it leads the child to choose a course of tourism in a vocational high school. Qualitative approach used in describing and understanding a problem supported by quantitative data. The data were extracted through the process of observation, documentation and interview. The results show if parents have a big share of the decision in choosing education for their children, especially leading to tourism education. this is influenced by the current state of tourism development. Parents of students have the ideology of capitalism in sending their

children to education tourism as an investment by way of investing in their children so that later can be picked by parents when the child completed education and get a decent job in accordance with the plans of parents. But the important thing is, the child has other interests and talents, not on tourism education such as mechanical and musical techniques so that coercive coercion called hegemony exists in this phenomenon. consequently that happens is when this child through the process of teaching and learning in the classroom occurs not seriusan or lack of interest in learning to students so that students perform actions that are not desired by parents and the school such as lazy to go to school, lazy to make tasks given teachers and things - other things are based on the unfavorable.
Keywords: Hegemony, Tourism Department, Tourism Development, Tourism industry
Geriya (1995: 89) menyatakan banyak negara di dunia telah menggunakan industrialisasi sebagai satu strategi untuk mengakselerasi proses pembangunan dalam rangka meningkatkan kemakmuran nasional. Secara global, perkembangan negara-negara industri di dunia dapat diklarifikasikan atas tiga kategori, negara-negara industri maju, negara-negara industri baru dan negara-negara dalam proses industrialisasi. Negara-negara industri pada umumnya mengalami pertumbuhan yang cepat di bidang ekonomi, kemajuan yang pesat dalam bidang teknologi, namun bersamaan dengan itu berkembang pula masalah-masalah ekologi, masalah-masalah kemanusiaan.
Khususnya di Bali industri yang cukup berkembang adalah industri pariwisata, dari pernyataan berikut dapat sebagai acuan dalam melihat perkembangan kepariwisataan yang ada di Bali, hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi begitu berkembang termasuk menjamurnya hotel, restoran serta akomodasi lain dalam industri pariwisata.Sebagai bukti perkembangan keadaan pariwisata di Bali, dapat dilihat pada tabel 1. di bawah ini.
Tabel 1. Data Jumlah Kedatangan Wisatawan Lima Tahun Terakhir ke Bali
Tahun |
Wisatawan Domestik |
Wisatawan Mancanegara |
2013 |
6.976.535 |
3.278.598 |
2014 |
6.394.307 |
3.766.638 |
2015 |
7.147.100 |
4.001.835 |
2016 |
8.643.680 |
4.927.937 |
2017 |
8.735.633 |
4.555.739 |
(Sumber : Diolah dari Data Disparda Bali Tahun 2018)
Data pada tabel 1. menunjukkan berkembangnya keadaan Pariwisata Bali saat ini, jumlah wisatawan yang memberikan angka kunjungan hingga 4 juta pengunjung tiap tahunnya mengalami peningkatan jumlah. Disamping itu, untuk memenuhi kebutuhan wisatawan, dibutuhkkan akomodasi yang mengakomodir kebutuhan wisatawan saat berada di daerah tujuan wisatanya. Untuk melihat perkembangan keadaan industri pariwisata berikutnya dapat dilihat dari perkembangan jumlah hotel yang ada di Bali sebagai berikut dapat dilihat pada Tabel 2. di bawah ini.
Tabel 2 Data Jumlah Perkembangan Jumlah Akomodasi Lima Tahun Terakhir
Tipe Akomodasi |
Jumlah Unit | ||||
2013 |
2014 |
2015 |
2016 |
2017 | |
Hotel Berbintang |
223 |
217 |
217 |
222 |
231 |
Hotel Melati |
1.090 |
1.178 |
1.460 |
1.511 |
1.517 |
Pondok Wisata |
1.259 |
1.644 |
2.401 |
3.150 |
2.542 |
Total |
2.572 |
3.039 |
4.078 |
4.883 |
4.290 |

(Sumber : Diolah dari Data Disparda Bali Tahun 2018)
Tabel 2. menunjukkan jumlah akomodasi pariwisata seperti hotel setiap tahun semakin meningkat, hal ini terlihat jelas pada tabel berikut. Akomodasi dalam dunia pariwisata sangat penting, karena di dalam dunia pariwisata khususnya industri pariwisata, seorang wisatawan membutuhkan jasa akomodasi salah satunya tempat untuk menginap, baik hotel, villa, penginapan dan lain-lain. Untuk melihat keadaan akomodasi pariwisata yang ada di Bali dapat pula dilihat dari tingkat hunian. Maka dari itu berikut ini data tingkat hunian wisatawan seperti pada Tabel 3. sebagai berikut.
Tabel 3. Data Tingkat Hunian Kamar di Bali Selama Lima Tahun Terakhir
Bulan |
2013 |
2014 |
2015 |
2016 |
2017 |
Januari |
57,57% |
57,76% |
46,11% |
49,14% |
59,61% |
Februari |
58,05% |
59,13% |
48,45% |
46,62% |
60,82% |
Maret |
60,12% |
59,87% |
44,68% |
47,80% |
56,58% |
April |
58,21% |
61,28% |
50,30% |
49,37% |
58,54% |
Mei |
60,31% |
61,01% |
56,31% |
55,26% |
61,91% |
Juni |
61,05% |
62,10% |
58,52% |
55,80% |
66,72% |
Juli |
62,44% |
61,40% |
68,54% |
71.72% |
72,32% |
Augustus |
62,64% |
62,07% |
69,61% |
75,19% |
74,86% |
September |
63,76% |
63,87% |
70,30% |
68,15% |
72,64% |
Oktober |
60,57% |
62,83% |
65,45% |
65,65% |
65,93% |
November |
60,94% |
61,36% |
59,09% |
59,42% |
54,08% |
Desember |
62,53% |
51,07% |
60,32% |
60,08% |
50,66% |
Rata-rata |
63,21% |
63,21% |
58,14% |
61,71% |
59,00% |
(Sumber: Diolah dari Data Disparda Bali Tahun 2018)
Data pada tabel 3. menunjukkan angka tingkat hunian yang begitu stabil dari tahun ke tahun di setiap bulannya, tidak ada perbedaan begitu signifikan sehingga dapat diasumsikan bahwa salah satu akomodasi pariwisata ini tidak menunjukkan kemerosotannya selama lima tahun terakhir. Selain itu untuk memperkuat asumsi jika keadaan industri pariwisata semakin berkembang dari tahun ke tahun hal ini dapat dilihat dari data perkembangan jumlah restoran yang ada di Bali. Restoran merupakan salah satu industri pariwisata yang cukup diandalkan selain akomodasi seperti hotel maupun penginapan atau pondok wisata seperti pada Tabel 4. sebagai berikut
Tabel 4. Data Perkembangan Jumlah Restoran Lima Tahun Terakhir
Kabupaten/Kota |
2013 |
2014 |
2015 |
2016 |
2017 |
Denpasar |
75 |
449 |
449 |
438 |
455 |
Badung |
96 |
833 |
825 |
823 |
823 |
Bangli |
17 |
17 |
17 |
22 |
30 |
Buleleng |
53 |
145 |
173 |
173 |
173 |
Gianyar |
378 |
405 |
504 |
504 |
505 |
Jembrana |
136 |
76 |
76 |
76 |
76 |
Klungkung |
31 |
31 |
31 |
31 |
31 |
Karangasem |
246 |
70 |
70 |
118 |
118 |
Tabanan |
40 |
32 |
32 |
32 |
40 |
Total |
1.072 |
2.058 |
2.117 |
2.217 |
2.251 |
(Sumber: Diolah dari Data Disparda Bali Tahun 2018)
Berdasarkan data tersebut, tiap tahunya selalu ada peningkatan dilihat dari hasil penjumlahan di tiap-tiap kabupaten atau kota. Hal ini semakin memperkuat dengan bukti data berikut jika keadaan pariwisata yang ada di Bali begitu berkembang. Para wisatawan yang melakukan kegiatan wisata di Bali sudah pasti tidak melakukan kegiatan yang hanya

sekedar menginap di hotel maupun penginapan, tetapi tujuannya secara umum adalah daya tarik wisata sesuai dengan tujuan wisatanya masing-masing. Maka dari itu, di bawah ini merupakan data tingkat kunjungan wisatawan yang ada di Bali ke daya tarik wisata pada Tabel 5. sebagai berikut.
Tabel 5. Data Kunjungan Daya Tarik Wisata Lima Tahun Terakhir
Kabupaten |
2013 |
2014 |
2015 |
2016 |
2017 |
Denpasar |
443.775 |
376.566 |
455.941 |
440.112 |
- |
Badung |
1.192.129 |
1.551.954 |
2.231.599 |
3.571.867 |
- |
Gianyar |
1.631,879 |
1.921.819 |
1.917.691 |
2.953.581 |
- |
Bangli |
616.637 |
647.607 |
610.349 |
695.123 |
- |
Klungkung |
298.979 |
328.313 |
372.051 |
378.894 |
- |
Karangasem |
461.515 |
423.740 |
264.807 |
365.924 |
- |
Buleleng |
638.147 |
775.486 |
720.921 |
698.494 |
- |
Jembrana |
134.093 |
172.902 |
156.247 |
183.514 |
- |
Tabanan |
4.915.516 |
4.763.558 |
4.764.579 |
5.203.978 |
- |
(Sumber: Diolah dari Data Disparda Bali Tahun 2018)
Tabel 5. memperlihatkan daya tarik wisata yang ada di daerah Bali bagian selatan memang lebih dominan jika dibandingkan dengan daerah Bali bagian utara. Angka kunjungannya dari tahun ke tahun selama lima tahun terakhir relatif stabil atau tidak terjadi penurunan maupun peningkatan secara signifikan. Dapat ditarik kesimpulan mengenai keadaan pariwisata saat ini, mengacu pada tabel 1, 2, 3, 4, dan 5 perlu dilakukan antisipasi dalam mengakomodir banyaknya wisatawan sesuai data tersebut dari segi sumber daya manusianya. Maka dari itu, untuk memenuhi kebutuhan industri pariwisata, dibutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kualitas melalui jalur pendidikan kejuruan. Sekolah pariwisata merupakan salah satu lembaga pendidik sumber daya manusia di bidang pariwisata. Untuk menunjang maupun mengakomodir operasional industri pariwisata itu maka dibutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni di bidang pariwisata, sudah barang tentu siswa-siswa SMK jurusan pariwisata yang menjadi insan-insan pariwisata di masa depan. disamping itu, dengan keadaan industri pariwisata saat ini, maka semakin menjamur pula sekolah-sekolah pariwisata tingkat menengah yang menawarkan jurusan-jurusan diperuntukan bagi yang ingin bekerja di hotel, restoran maupun akomodasi lainnya. Informasi seperti itu terkemas sangat baik dalam media massa, baik iklan berupa baliho maupun brosur yang dibuat oleh beberapa sekolh tidak terkecuali SMK PGRI 3 Denpasar. Bahkan Tilaar (2003: 86-87) menyatakan kini, pada abad informasi, kekuasaan media massa dan teknologi informasi merupakan rebutan dari kekuatan-kekuatan besar di dunia atau super power. Orang berebut menguasai sumber-sumber informasi dunia dewasa ini. Lihat saja betapa besar pengaruh televisi, media massa, penerbitan berbentuk koran, buku-buku ilmu pengetahuan, merupakan rebutan dari super power di dunia. Menurut Sindhunata (2000: 199) dewasa ini masyarakat Indonesia dilingkupi oleh budaya yang hegemonis sifatnya, yang berasal dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Kehegemonisan ini menimbulkan kepositivan dan kenegativan dalam persepsi dan tingkah laku kehidupan warga masyarakat.
Mengacu pada pernyataan berikut, maka sudah wajar kehegemonisan orang tua dalam mendorong anaknya untuk memilih jurusan pariwisata pada sekolah menengah kejuruan menjadi hal yang patut dikaji, mengingat setiap manusia memiliki minat dan bakat yang berbeda-beda. jika seorang anak sejatinya memiliki minat dan bakat di pariwisata hal ini tidak harus dipermasalahkan, namun disaat anak merasa terpaksa mengikuti apa yang orang tua gariskan hal ini patut dikaji karena idealnya seorang manusia harus berjalan sesuai dengan apa yang mendasari minat dan bakatnya namun pada kenyataannya fenomena seperti itu terjadi pada saat ini. Kecurigaan itu muncul dikala antara apa yang
diharapkan sangat berbeda dengan kenyataannya, seorang anak yang diharapkan dapat menjadi siswa yang baik dalam mengikuti pembelajaran di sekolah menjadi siswa yang tidak memiliki semangat belajar terjadi pada segelintir siswa yang dijadikan sebagai pusat kajian dalam artikel ini. Begitu besarnya kuasa orang tua atas anaknya, menjadikan fenomena ini akan terjadi dari masa ke masa, mengingat dalam struktur keluarga orang tua berada di atas anaknya. Orang tua memiliki modal ekonomi dan modal sosial dengan berperan sebagai seorang ayah maupun ibu dengan menjalankan kehendaknya terhadap anak.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka masalah yang dibahas yaitu, mengapa terjadi hegemoni orang tua terhadap pemilihan jurusan pariwisata bagi siswa di SMK PGRI 3 Denpasar? Bagimana proses hegemoni orang tua terhadap pemilihan jurusan pariwisata bagi siswa di SMK PGRI 3 Denpasar? Bagimana implikasi hegemoni orang tua terhadap pemilihan jurusan pariwisata bagi siswa di SMK PGRI 3 Denpasar?
Teori yang digunakan untuk mengkaji permasalahan diatas adalah teori hegemoni, teori Teori Wacana, Pengetahuan dan Kekuasaan, dan teori pendidikan kritis. Pertama teori hegemoni, Gramsci menyatakan suatu sistem kekuasaan yang didasarkan pada konsensus yang diciptakan atau diajarkan dalam negara, disebut hegemonik, hegemoni sendiri akan menggabungkan kekuatan dan kesepakatan dengan tergantung pada situasi, yang akhirnya melahirkan warga negara melalui pendisiplinan diri lantas menyesuaikan dirinya pada norma-norma yang telah disediakan negara, sebab warga negara melihat bahwa itulah cara paling aman untuk bertahan hidup dan sejahtera dalam dunia di mana praktik-praktik terstruktur di sekitarnya tercipta oleh campur tangan kekuasaan publik ke dalam wilayah privat (Beilharz, 2003: 203). Gramsci merumuskan bahwa setiap hubungan pedagogis mengandung hubungan hegemonik, hubungan pedagogis melibatkan hubungan kekuasaan dan dominasi, tapi dominasi tidap dipahami secara eksklusif sebagai paksaan, bukan pula sekedar penggunaan kekuasaan eksternal, tapi juga dan pada dasarnya konsensus atau bentuk penaklukan terhadap keinginan kelas atau massa subordinat, (Escobar, dkk, 2000: 30). Persoalan yang menarik minat Gramsci dalam kaitannya dengan proses historis dalam evolusi negara modern adalah caranya mendidik mayoritas masyarakat untuk menyetujui kekuasaannya, yang bagi seorang Marxis hal itu tak lain daripada suatu kekuasaan yang mengendalikan keseluruhan masyarakat dimana kapitalisme mendominasi. Revolusi pasif ini, yang menjadikan masyarakat nasional sebagai sumber kekuatan tanpa membuat masyarakat terbiaskan menuju kapitalisme,memiliki tipe berlainan untuk setiap tipe negara modern berbeda, (Beilharz, 2003: 204). Melihat apa yang dinyatakan oleh Gramsci dapat ditarik suatu pemahaman yang mengacu pada permasalahan ini yaitu, untuk berkuasa tidak mesti menggunakan kekerasan melainkan dengan cara-cara yang lebih halus namun kekuasaan itu tetap ada. Kekuasaan jika dipandang dalam makna yang telah berkembang, identik dengan sesuatu hal yang berbau kekerasan namun hegemoni ini berbeda, menguasai dengan cara menyusupkan pemahaman maupun ideologi terhadap siapa yang ingin dikuasai.
Kedua teori wacana, pengetahuan dan kekuasaan, Foucault berpandangan bahwa wacana yang merupakan kendaraan bagi penindasan dan pembebasan, membawa dan mentransaksikan kekuasaan (Agger, 2007: 127). Wacana sebenarnya sederhana saja yaitu sekumpulan teks atau tuturan yang mempunyai arti. Produksi pengetahuan lewat bahasa memberikan makna pada objek-objek material dan praktik-praktik sosial yang kita sebut sebagai diskursif (Barker, 2014: 79). Foucault (dalam Barker, 2014: 79) berargumen bahwa wacana tidak hanya mengatur apa yang bisa dikatakan dalam kondisi-kondisi sosial serta kultural tertentu, namun juga siapa yang dapat bicara, kapan dan dimana. Foucault (dalam
Barker, 2014: 79) menyatakan lewat bekerjanya kekuasaan dalam praktik sosial, pelbagai makna distabilkan, dijaga, dan diatur untuk sementara. Barker (2014: 80) menyatakan wacana bukanlah medium netral untuk pembentukan dan transfer nilai serta makna dan pengetahuan yang eksis di luar batas-batasnya, namun wacana adalah pembentuk nilai, makna, dan pengetahuan tersebut. Foucault berikhtiar untuk mengidentifikasi kondisi-kondisi historis dan sejumlah aturan yang berkontribusi dalam pembentukan pelbagai wacana sekaligus bekerjanya model kekuasaan/pengetahuan dalam praktik sosial yang salah satu pencapaiannya adalah pengetahuan makna (Barker, 2014: 102). Mengacu pada pernyataan Foucault dan barker dapat ditarik kesimpulan sederhana yaitu wacana adalah sebuah teks yang dibuat atas dasar pengetahuan, dengan adanya pengetahuan dalam sebuah wacana yang diakui oleh sebagian banyak orang maka dari itu kekuasaan secara utuh akan mengalir dengan sendirinya di dalam wacana yang diwacanakan.
Ketiga teori pendidikan kritis, Proses pendidikan yang sebenarnya adalah proses pembebasan dengan jalan memberikan kepada peserta didik suatu kesadaran akan kemampuan kemandirian atau memberikan kekuasaan kepadanya untuk menjadi individu (Tilaar, 2003: 87). Menurut Paulo Freire (dalam Escobar, dkk, 2000: 70) reproduksi pendidikan pembebasan yang dihasilkan oleh kita sendiri. Politik bukan bidang yang terpisah dari pendidikan, tetapi kadungan politik yang ada dalam pendidikan berwatak politik.
Kaitan antara pendidikan dan kekuasaan membawa kita kepada masalah ideologi. Setiap masyarakat modern mempunyai ideologi yang menjadi panutan atau life style yang membimbing arah perkembangan masyarakat (Tilaar, 2003: 67). Teoritisi sosial kritis berbeda dengan sosiologi positivis profesional khususnya dalam pendapatnya bahwa tujuan pengetahuan adalah pencerahan lalu pembebasan, bukan pencapaian ijazah profesional pribadi atau penyempurnaan disiplin seseorang (Agger, 2007: 33). Ada pandangan yang kuat dikalangan para pendidik radikal, bahwa pendidikan ataupun penyelenggaraan proses belajar-mengajar, diantaranya dalam bentuk pelatihan, pada dasarnya tidak pernah terbebas dari kepentingan politik ataupun terbebas demi melanggengkan sistem sosial ekonomi maupun kekuasaan yang ada. Pandangan ini berangkat dari asumsi bahwa pendidikan bagi aparatus dominasi selalu digunakan demi melanggengkan ataupun melegitimasi dominasi mereka. Oleh karena itu hakekat pendidikan bagi mereka tidak lebih dari sebagai sarana untuk mereproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil seperti sistem relasi kelas, relasi gender, relasi rasisme ataupun sistem relasi lainya. Pandangan semacam itu dikenal dengan teori reproduksi dalam pendidikan (Fakih, 2000). Mengacu pada teori yang sudah dijabarkan berikut, teori pendidikan kritis ini digunakan untuk membedah kepentingan yang ada pada dunia pendidikan, khususnya yang ada di SMK PGRI 3 Denpasar, baik kepentingan ekonomi maupun kepentingan kekuasaan yang menjadi tujuan dari orang tua siswa dengan mengaitkan hal-hal lain sebagi bagian-bagian dalam menjelankan setiap kepentingannya termasuk sekolah maupun keadaan industri pariwisata saat ini.
Secara garis besar rancangan penelitian adalah bagaimana data dikumpulkan dan dianalisis (Ratna, 2010: 289). Menurut Black dan Champion (dalam Ratna, 2010: 289) rancangan penelitian merupakan penjelasan umum, semacam cetak biru (blue print) dalam kaitannya dengan seorang arsitek membangun rumah. Tujuan rancangan penelitian dengan demikian adalah memberikan penjelasan terhadap keseluruhan proses yang akan dilakukan, baik pada saat pengumpulan dan analisis maupun penyajiannya, termasuk pada saat penelitian belum dilakukan yang disebut sebagai tahap penjajakan.
Penelitian ini dirancang menggunakan metode pustaka dan lapangan dengan membaca literatur bacaan dan mulai mengamati keadaan lapangan dalam proses pencarian fakta dengan teknik observasi serta wawancara menggunakan pedoman observasi, pedoman wawancara, kamera, alat rekam, kertas, dan pensil dalam pengumpulan data
mengacu pada pokok permasalahan yang dibahas. Penelitian ini dirasa paling relevan menggunakan metode kualitatif interpretatif dengan analisis kajian budaya dan peneliti sebagai instrumen kunci pada analisis datanya.
Penelitian ini dilakukan di SMK PGRI 3 Denpasar yang berlokasi di Jl. Drupadi, Dewi Tara XVII, No. 7, Denpasar. Jenis data yang diutamakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yaitu diperoleh melalui observasi, wawancara, dokumentasi sedangkan jenis data kuantitatif berupa angka digunakan sebagai data pendukung yaitu data jumlah siswa, tabel, jumlah guru, jumlah kelas, data statistik yang diperoleh dari lokasi penelitian mengacu ke pokok permasalahan penelitian. Data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara kepada informan, obervasi secara mendalam di lapangan, sedangkan data sekunder adalah Informasi dari media cetak maupun internet, buku-buku dan literatur menyangkut sekolah dengan jurusan pariwisata yang sekiranya dapat menunjang serta menjadi landasan dalam mempertajam hasil penelitian.
Dalam penelitian ini data yang di dapat ditafsirkan dengan pendekatan kajian budaya secara kritis agar bisa menghasilkan temuan dari hasil penelitian, baik data yang didapat dari hasil wawancara mengenai pendidikan pariwisata hingga merujuk ke permasalahan inti dari penelitian. Penelitian pada dasarnya ialah usaha mencari data (sesuatu yang diketahui atau diasumsikan) yang akan digunakan untuk memecahkan suatu masalah, atau untuk menguji suatu hipotesis, atau hanya ingin mengetahui apakah ada permasalahan atau tidak. Data yang sudah dikumpulkan oleh peneliti, perlu diolah terlebih dahulu sebelum dianalisis, dan pada akhirnya diinterpretasikan untuk menjawab masalah dan atau membuktikan kebenaran hipotesisnya. Interpretasi hasil analisis dimaksudkan untuk mencari makna dan implikasi yang lebih luas, baik interpretasi hasil analisis itu sendiri, maupun membandingkan hasil analisisnya dengan kesimpulan peneliti lain dan/atau menghubungkan kembali hasil kesimpulannya dengan teori (Adi, 2010: 47). Metode analisis data dalam penelitian ini adalah metode kualitatif interpretatif. Menurut Ratna (2010: 306) metode kualitatif interpretatif adalah sebagai metode ilmu-ilmu sosial, dalam ilmu-ilmu humaniora, khususnya Kajian Budaya, perlu diperluas dengan cara penafsiran yang secara khas bersifat tekstual. Seperti sudah dibicarakan di depan, kualitatif adalah metode dengan intensitas kualitas, nilai-nilai, dibedakan dengan kuantitatif, metode sebagai pengukuran dalam bentuk angka, jumlah, sedangkan interpretasi adalah penafsiran. Dalam penelitian ini data yang di dapat ditafsirkan dengan pendekatan kajian budaya secara kritis agar bisa menghasilkan temuan dari hasil penelitian, baik data yang didapat dari hasil wawancara mengenai pendidikan pariwisata hingga merujuk ke permasalahan inti dari penelitian.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kajian budaya. Menurut Ratna (2010: 406) dengan adanya banyak teori, metode, dan pendekatan, maka penggunaannya dilakukan secara eklektik, pilihan-pilihan sesaat, bahkan mana suka, tetapi dengan pertimbangan yang masuk akal. Kajian Budaya menaruh minat pada budaya minoritas, budaya-budaya pinggiran yang selama zaman modern tidak memperoleh perhatian sebab dianggap sebagai penyimpangan. Sebagai bagian kelas pekerja, budaya populer, sastra populer, dan berbagai representasi kelompok minoritas lain, maka cara-cara analisisnya adalah posisional, politis. Teknik analisis ini sangat mendukung dalam pemecahan permasalahan mengenai pendidikan pariwisata dimana siswa-siswa yang memiliki minat dan bakat tidak di pariwisata menjadi kaum yang terkorbankan minat bakatnya karena tergiring oleh besarnya pengaruh pariwisata saat ini menjadikan siswa ini harus mengikuti arus memilih jurusan pariwisata.
-
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Latar Belakang Hegemoni Orang Tua Terhadap Pemilihan Jurusan Pariwisata Bagi Siswa Di SMK PGRI 3 Denpasar
Dilihat dari segi pendidikan, keluarga merupakan satu kesatuan hidup dan keluarga menyediakan situasi belajar. Sebagai satu kesatuan hidup bersama, keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ikatan kekeluargaan membantu anak mengembangkan sifat persahabatan, cinta kasih, hubungan antar pribadi, kerja sama, disiplin, tingkah laku yang baik, serta pengakuan akan kewibawaan. Sementara itu, yang berkenaan dengan keluarga menyediakan situasi belajar, dapat dilihat bahwa bayi dan anak-anak sangat tergantung kepada orang tua, baik karena keadaan jasmaniahnya maupun kemampuan intlektual, sosial, dan moral. Bayi dan anak belajar menerima dan meniru apa yang diajarkan orang tua. Sangat wajar dan logis tanggung jawab pendidikan terletak di tangan orang tua dan tidak bisa dipikulkan kepada orang lain karena ia adalah darah dagingnya, kecuali berbagai keterbatasan kedua orang tua ini. Maka sebagian tanggung jawab pendidikan dapat dilimpahkan kepada orang lain yaitu melalui sekolah (Hasbullah, 2005: 87-88).
Orang tua memiliki peranan dalam pemilihan jurusan anaknya, maka dari itu peranan ini merupakan sebuah kekuasaan yang dimiliki oleh orang tua kepada anaknya, maka dari itu ideologi kapitalisme itu lebih mudah menyusup dalam di dalam hubungan antara orang tua dan anak karena orang tua memiliki maksud tertentu yaitu menyekolahkan anaknya pada jurusan yang diinginkan orang tua dengan tujuan finansial seperti hasil wawancara kepada Dwik Pratiwi siswa Kelas X JB 1 sebagai berikut (lihat Foto 1.).
Foto 1. Wawancara dengan Kadek Dwik Pratiwi siswa Kelas X JB 1, (Sumber: Dok. Putu Suratin Surya Libhi, 2018)
…gaji kerja di hotel besar, walaupun biaya sekolah lumayan besar nantinya setelah kerja semua itu bisa terbayarkan, bahkan orang tua saya juga akan berpikir seperti itu juga, bahasa kasarnya anggap saja bersekolah sebagai upaya untuk menabung hasilnya ya saya punya skill nantinya
untuk mendapatkan pendapatan yang lebih besar lagi (wawancara, 27 Februari 2018).
Dalam perspektif ekonomi, pendidikan akan menghasilkan manusia-manusia yang andal untuk menjadi subyek penggerak pembangunan ekonomi nasional. Oleh karena itu, pendidikan harus mampu melahirkan lulusan-lulusan bermutu yang memiliki pengetahuan, menguasai teknologi, dan mempunyai keterampilan teknis dan kecakapan hidup yang memadai. Pendidikan juga harus dapat menghasilkan tenagatenaga profesional yang memiliki kemampuan kewirausahaan, yang menjadi salah satu pilar utama aktivitas perekonomian nasional. Bahkan peran pendidikan menjadi sangat penting dan strategis untuk meningkatkan daya saing nasional dan membangun kemandirian bangsa, yang menjadi prasyarat mutlak dalam memasuki persaingan antar bangsa di era global (Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 32-33). Mengacu pada hasil wawancara Kadek Dwik Pratiwi siswa Kelas X JB 1, Ni Kadek Sri Murti yang merupakan orang tua dari Kadek Dwik Pratiwi siswa Kelas X JB 1 menyatakan hal serupa, segala sesuatu dalam memilih jurusan pariwisata didasarkan atas maksud untuk mendepatkan penghasilan di masa depan atau berorientasi pada pekerjaan siswa nantinya setelah tamat maupun selesai menempuh pendidikan.sebagai berikut (lihat Gambar 5.3).
Foto 2. Wawancara dengan Ni Kadek Sri Murti, orang tua dari Kadek Dwik Pratiwi siswa Kelas X JB 1 (Sumber: Dok. Putu Suratin Surya Libhi, 2018)
…keadaan industri pariwisata saat ini kan memang sangat berkembang, hotel dan restoran semakin bertambah banyak, kita semua juga tahu gaji bekerja di pariwisata, seperti di hotel atau di restoran kan gede, saya berharap anak saya dapat bekerja di sana dengan skill yang didapatnya di sekolah, kalaupun tidak bekerja di hotel maupun restoran mungkin nanti anak saya dapat membuka usaha sendiri dengan harapan mendapatkan penghasilan yang dirasa lumayan…saya melihat anak saya mau atau
berminat untuk sekolah di sekolah dengan jurusan pariwisata, baguslah, peluang kedepan untuk bekerja di hotel maupun restoran kan cukup menjanjikan melihat keadaan pariwisata saat ini, ya saya dukung selalu saya berikan dorongan anak saya untuk bersekolah di jurusan pariwisata…disamping itu memang biaya pendidikan saat ini lumayan membebani, namun anggap saja itu sebagai cara saya dalam berinvestasi kepada anak yang nantinya suatu saat nanti hasilnya kan dapat dipetik (wawancara, 28 Maret 2018).
Dilandasi oleh pemikiran Karl Marx dari segi output perbedaan kapitalisme dari sistem produksi lain adalah bahwa nilai yang ingin dihasilkan oleh para peserta pasar adalah nilai tukar dan bukan nilai pakai. Maksudnya, orang memproduksi atau membeli sesuatu bukan karena ia mau menggunakannya, melainkan karena ia ingin menjualnya lagi dengan keuntungan setinggi mungkin (Suseno, 2001: 164). Pernyataan tersebut realitanya dapat digambarkan pada hasil wawancara dengan Kadek Dwik Pratiwi siswa kelas X JB 1 Dari pernyataan tersebut dapat ditangkap pendidikan tidak lagi menjadi sesuatu hal yang ingin digunakan dan dinikmati melainkan hasil proses pendidikan berupa skill yang didapatkan natinya akan dijual pada pasar kerja untuk mendapatkan nominal yang lebih besar dari pengeluaran biaya pada saat mengikuti pendidikan. Hal ini sangat mengacu pada pernyataan dari Karl Marx diatas, realita dewasa ini secara umum beranggapan siswa yang memilih SMK adalah siswa yang nantinya siap untuk bekerja dan lebih cepat serta berpeluang besar untuk menghasilkan uang, maka dari itu sebagai manusia untuk saat ini segala sesuatu tertuju pada nominal tertentu, tanpa disadari meraka berada dalam arena kapitalisme yang begitu hegemonik, masalahnya adalah bagaimana jika siswa itu memiliki potensi lain selain di jurusan pariwisata, realitanya minat dan bakatnya sendiri akan menjadi korban apalagi jauh sebelum siswa itu berada pada tahap pemilihan jurusan sudah mulai adanya hegemoni-hegemoni tertentu yang memiliki dasar finansial.
Makna perkerjaan tidak terbatas pada orang yang bekerja itu saja. Melalui pekerjaan, manusia membuktikan diri sebagai makhluk sosial. Tidak mungkin setiap orang menghasilkan sendirian apa saja yang dibutuhkannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita tergantung pada hasil pekerjaan orang lain. Begitu pula orang lain membutuhkan hasil pekerjaan kita (Suseno, 2001: 92). Sama halnya dengan apa yang tertera sebelumnya, siswa membutuhkan pekerjaan dengan bantuan sekolah, sekolah membutuhkan siswa untuk proses kerja, keberlangsungan, keberadaan dan hasil finansial yang ingin dicapai. Industri juga membutuhklan tenaga kerja yang dicetak oleh sekolah. Ketiga komponen ini yaitu siswa, sekolah, dunia kerja saling terkait satu-sama lain yang terjebak oleh sistem masa kini, ibarat adanya pasar yang melakukan kegiatan jual beli barang dan jasa di dalamnya.
Hasil pekerjaan kita memenuhi kebutuhan orang lain, pekerjaan kita ternyata membuat orang lain gembira. Sebaliknya karena dia menerima dan menghargai hasil pekerjaan kita, kita merasa diakui olehnya. Kita merasa berarti karena tahu bahwa kita berarti bagi orang lain. Ternyata kita mampu memenuhi kebutuhan orang lain. Karena itu andaikan struktur masyarakat mengizinkan kita sebenarnya lebih senang menghadiahkan hasil kerja kita kepada orang lain daripada menjualnya. Kita merasa dihormati apabila hasil kerja kita diterima oleh orang lain. Pekerjaan adalah jembatan antar manusia pada hakikatnya bersifat sosial, dan hakikat itu terbukti dalam pekerjaan, karena itu pekerjaan menggembirakan (suseno, 2001: 92-93). Untuk saat ini pengkuan tidak akan bisa menjadi pengakuan yang utuh apabila hanya diberikan berupa predikat nilai yang menggembirakan, bahkan yang dulunya siswa bersekolah untuk mendapatklan nilai atas penghargaan yang dia terima dari proses belajar bisa dikatakan sebagi hasil kerja menjadi suatu hal yang menggembirakan, akan tetapi saat ini tidak berlaku lagi, sangat jarang bahkan tidak ada
manusia di dunia ini melakukan pekerjaan untuk hanya sekedar mendapat pengakuan saja tetapi pengakuan berupa uang yang diharapkan dari hasil kerjanya karena dunia saat ini segala sesuatu terukur dan diukur dengan nominal uang. Informan dari siswa jika ditanya apakah siap nanti setelah bekerja tanpa digaji jawaban mereka tidak akan menyetujui hal itu untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka harus berlandasakan nominal uang.
Pemberian nama terhadap berjenis-jenis bakat biasanya dilakukan berdasarkan atas dalam lapangan apa bakat tersebut berfungsi, seperti bakat matematika, bakat bahasa, bakat olahraga dan sebagainya. Dengan demikian maka macamnya bakat akan sangat tergantung pada konteks kebudayaan di mana seseorang individu hidup. Mungkin penamaan itu bersangkutan dengan bidang studi, mungkin pula dalam bidang kerja (Suryabrata, 2010: 166). Jika memang pekerjaan dilandasi dengan minat dan bakat harusnya pekerjaan menjadis sesuatu yang menyenangkan, pada kenyataannya tidak seperti itu, orang bekerja di hotel maupun restoran jika itu bukan merupakan minat dan bakatnya sudah barang tentu menjadi sebuah tekanan baru dalam hidupnya, disisi lain harus memenuhi kebutuhan hidup disisi lain harus siap menerima ketidaknyaman dari apa yang dia terima di pekerjaan itu. Misalkan menjadi seorang pelukis, yang akan terpikir di benak seseorang walaupun itu merupakan minat dan bakatnya apakah minat dan bakat itu dapat memenuhi kebutuhan hidupnya belum tentu mengacu pada keadaan saat ini, maka dari itu minat dan bakat itulah yang dikorbankan dan mencari pilihan lain berdasarkan situasi kondisi saat ini. Hal ini sejalan dengan pernyataan Karl Marx (dalam Suseno, 2001: 95) dalam sistem kapitalisme, orang tidak bekerja secara bebas dan universal melainkan semata-mata terpaksa sebagai syarat untuk bisa hidup. Jadi pekerjaan tidak mengembangkan, melainkan mengasingkan manusia baik dari dirinya sendiri maupun dari orang lain.
Proses Hegemoni Orang Tua Kepada Anak Terhadap Pemilihan Jurusan Pariwisata Bagi Siswa Di SMK PGRI 3 Denpasar
Santrock (2007: 57-58) menyatakan beberapa penelitian menemukan bahwa orang tua dan remaja menganggap orang tua hanya memiliki sedikit otoritas terhadap pilihan remaja pada sejumlah bidang tertentu, sementara dalam sejumlah bidang lainnya orang tua memiliki otoritas lebih besar. Sebagai contoh, reiset Judith Smetana menemukan bahwa orang tua dan remaja memandang relasi pada kawan-kawan sebaya merupakan bidang di mana orang tua tidak memiliki banyak banyak otoritas untuk mengatur pilihan remaja, sementara dalam bidang moral, agama dan pendidikan orang tua memiliki otoritas lebih besar.
Jenis lain teori positif yang berkembang saat ini yaitu teori pilihan rasional banyak meminjam dari ilmu ekonomi, khususnya karya ekonom Chicago Gary Becker. James Coleman, sesorang sosiolog Chicago mencoba memperkenalkan prinsip dasar teori ekonomi borjuis ke dalam teori sosiologi. Teoitisi pilihan rasional berpandangan bahwa perilaku sosial dapat dijelaskan lewat perhitungan rasional yang dilakukan oleh individu dalam konteks pilihan yang mereka buat dalam kehidupan sehari-hari. Perhitungan rasional ini meliputi perbandingan biaya dan keuntungan (Agger, 2007: 56-57). Maka dari itu orang tua menggunakan pilihan yang lebih rasional dalam menentukan sekolah anaknya karena dengan kalkulasi biaya dan keuntungannya orang tua dapat mengukur perhitungan biaya sekolah dan hasil yang didapatkan setelah bekerja nanti. Untuk menjalankan kehendak itu orang tua menggunakan otoritas sebagai seseorang di dalam keluarga dalam menentukan pendidikan bagi anaknya.
Hegemoni orang tua terhadap anak berawal dari pandangan-pandangan tertentu berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh orang tua sehingga orang tua memiliki ideologi untuk memastikan anaknya sesuai dengan apa yang diinginkan orang tuanya. Apapun yang digariskan orang tua tidak terlepas dari otoritas sebagai orang tua yang

menentukan arah masa depan ananknya dalam memilih maupun mendorong anak untuk berapa pada jurusan pariwisata. Hal itu dimulai dari komunikasi sederhana seperti pada hubungan antara orang tua beserta anak pada umumnya, karena hegemoni ini dilakukan melalui komunikasi antara anak dan orang tua. Dasar orang tua dalam hal ini mendorong anaknya untuk memilih jurusan pariwisata berorientasi pada pekerjaan di masa mendatang tanpa memikirkan minat serta bakat anaknya sendiri, hal ini semestinya menjadi bahan pertimbangan agar tidak terkesan adanya ekploitasi terhadap anak demi keuntungan finansial. Keuntungan finansial seperti ini mengorbankan minat dan bakat anak yang seharusnya dapat dimanfaatkan sesuai dengan potensi yang dimiliki anak itu, seperti hasil wawancara dengan Riski Ayu Wulandari siswa Kelas X JB 1 SMK PGRI 3 Denpasar sebagai berikut.
Foto 3. Wawancara dengan Muhammad Arief Syahputra dan Riski Ayu Wulandari Siswa Kelas X JB 1, (Sumber: Dok. Putu Suratin Surya Libhi, 2018)
…saya masuk jurusan pariwisata disuruh sama orang tua hal itu terjadi pada dalam komunikasi kita sehari-hari sambil santai-santai iseng-iseng pembahasannya kesana katanya biar bisa ngikutin jejak kakak saya, maksudnya orang tua agar sama semua anak-anaknya masuk ke jurusan pariwisata…orang tua saya punya motivasi agar anaknya lebih leluasa misalkan jika nggak kuliah masih tetep bisa kerja karena di SMK kan sudah mendapatkan skill untuk kerja nantinya…maunya saya ke jurusan IPS di SMA, tapi orang tua tidak mau pastinya menolak keinginan saya (wawancara, 26 Februari 2018).
Hasil wawancara berikut senada dengan apa yang dinyatakan oleh I Made Nada yaitu orang tua dari Riski Ayu Wulandari siswa Kelas X JB 1 dengan beberapa pernyataan serupa sebagai berikut (lihat Gambar 6.2).
Foto 4. Wawancara dengan I Made Nada, orang tua dari Riski Ayu Wulandari siswa Kelas X JB 1 (Sumber: Dok. Putu Suratin Surya Libhi, 2018)
…sempat anak saya mau memilih jurusan IPS di SMA, saya tidak setuju karena melihat keadaan saat ini, tamat sekolah tidak punya skill akhirnya susah cari kerja, kalau di pariwisata itu kan gampang nayri kerja apalagi industri pariwisata saat ini begitu berkembang dan menjamur…obrolan-obrolan itu terjadi tidak secara khusus, mengalir begitu saja pada saat santai di rumah, misalkan pada saat nonton televisi sambil ngobrol masalah itu, seperti ini “ayu, kamu nanti masuk sekolah pariwisata saja ya, biar sama dengan kakak-kakaknya, ngapain juga nyari jurusan IPS, buat apa? tamat mau kerja dimana? lebih baik ikuti kata bapak agar nanti kamu dapat pekerjaan yang bagus dengan gaji yang menjanjikan, kita juga kan tahu pariwisata saat ini bagaimana, menjamur sekali” (wawancara, 5 April 2018).
Setelah kita mendiskusikan relasi orang tua dan remaja, kita akan mengetahui bahwa tuntutan yang tinggi untuk patuh ataupun keengganan untuk mengawasi dan terlibat dalam dalam perkembangan remaja, bukanlah suatu strategi pengasuhan orang tua yang efektif. Di samping itu kita akan mengekplorasi kesalahan persepsi yang kadangkala muncul diantara para orang tua. orang tua mungkin berpendapat bahwa semua konflik yang terjadi dengan remaja merupakan suatu hal yang buruk. Kita akan mengetahui bahwa konflik taraf menengah dengan orang tua di masa remaja bukan saja tidak dapat dihindari, namun juga positif bagi fungsi perkembangan remaja. Untuk membantu remaja mencapai potensi seutuhnya, salah satu peran orang tua yang penting adalah menjadi manajer yang efektif, yang menemukan informasi, membuat kontak, membantu menyusun pilihan-pilihannya dan memberikan bimbingan (Santrock, 2007: 13).
Mengacu pada pernyataan berikut, setidaknya orang tua dapat memberi kesempatan anak untuk memilih apapun yang dia inginkan, melihat hasil wawancara seperti itu, sang anak mengetahui jika permintaannya akan ditolak, walaupun dalam hal ini tidak ada kekerasan dalam menentukan pendidikan anak namun disinilah letak proses hegemoni itu terjadi, dengan menyisipkan pemahaman sehingga seorang anak remaja yang diibaratkan layaknya kertas putih, akan dengan mudah terisi doktrin sesuai dengan ideologi yang orang tua miliki, yaitu ideologi kapitalisme dengan menghitung keuntungan serta kerugiannya
pada jurusan-jurusan tertentu beserta resiko tidak mendapatkan pekerjaan di masa depan. Dalam struktur keluarga hal ini sangatlah mudah untuk terjadi, melihat antara orang tua dan anak memiliki hubungan kedekatan layaknya hubungan keluarga pada umumnya, dalam sebuah sebuah relasi selalu akan ada kekuasaan, baik yang menguasai maupun yang dikuasai. Santrock (2007: 57-58) menyatakan beberapa penelitian menemukan bahwa orang tua dan remaja menganggap orang tua hanya memiliki sedikit otoritas terhadap pilihan remaja pada sejumlah bidang tertentu, sementara dalam sejumlah bidang lainnya orang tua memiliki otoritas lebih besar. Sebagai contoh, reiset Judith Smetana menemukan bahwa orang tua dan remaja memandang relasi pada kawan-kawan sebaya merupakan bidang di mana orang tua tidak memiliki banyak banyak otoritas untuk mengatur pilihan remaja, sementara dalam bidang moral, agama dan oendidikan orang tua memiliki otoritas lebih besar.
Jenis lain teori positif yang berkembang saat ini yaitu teori pilihan rasional banyak meminjam dari ilmu ekonomi, khususnya karya ekonom Chicago Gary Becker. James Coleman, sesorang sosiolog Chicago mencoba memperkenalkan prinsip dasar teori ekonomi borjuis ke dalam teori sosiologi. Teoitisi pilihan rasional berpandangan bahwa perilaku sosial dapat dijelaskan lewat perhitungan rasional yang dilakukan oleh individu dalam konteks pilihan yang mereka buat dalam kehidupan sehari-hari. Perhitungan rasional ini meliputi perbandingan biaya dan keuntungan (Agger, 2007: 56-57). Maka dari itu orang tua menggunakan pilihan yang lebih rasional dalam menentukan sekolah anaknya karena kalkulasi biaya dan keuntungannya memiliki tingkat resiko yang lebih rendah, dalam artian untuk menjadi seorang polisi dirasa membutuhkan biaya yang cukup besar dengan hasil kerja yang tidak seberapa setetlah mendapatkan pekerjaan itu dibandingkan dengan biaya untuk mendapatkan pekerjaan itu.
Implikasi Hegemoni Orang Tua Kepada Anak Terhadap Pemilihan Jurusan Pariwisata Bagi Siswa Di SMK PGRI 3 Denpasar
Kelompok yang menguasai mempertahankan kekuasaannya dengan cara menciptakan ideologi dominan dan nilai-nilai serta norma-norma sebagai penjabarannya. Dalam rangka menjaga kelangsungan kekuasaannya, maka penguasa menggunakan dominasi atau memakai kekuasaan secara kasar melalui kekuatan pihak kepolisisan, angkatan bersenjata, preman, dan lain-lain. Selain itu, penguasa menggunakan pula cara-cara hegemonik melalui berbagai lembaga, misalnya agama, sekolah, media, dan lain-lain (Atmadja & Atmadja, 2014: 241). Adler yang juga pendukung pandangan humanistik berpendapat bahwa manusia tidak semata-mata digerakkan oleh dorongan untuk memuaskan kebutuhan dirinya sendiri, tetapi manusia digerakkan dalam hidupnya sebagian oleh rasa tanggung jawab sosial dan sebagian lagi oleh kebutuhan untuk mencapai sesuatu. Manusia sebagai individu selalu melibatkan dirinya dalam bentuk usaha untuk mewujudkan diri sendiri dan menemukan jati dirinya. Dalam hal ini jelas adanya pengakuan terhadap manusia. Sebagai makhluk individu maupun sebagai anggota masyarakat dan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (Sardiman, 2004: 108).
Sikap seseorang merupakan sesuatu yang tidak dibawa sejak lahir, tetapi dibentuk atau dipelajari, seperti dari orangtua, orang-orang sekitarnya, atau dari masyarakat. Sikat dibentuk atau dipelajari terhadap objek tertentu, misalnya sikap terhadap norma yang ada dalam masyarakat, sikap terhadap keluarga berencana, sikap terhadap anak, sikap terhadap orang tua, atau sikap terhadap orang asing. Karena sikap itu dibentuk atau dipelajari maka sikap dapat mengalami perubahan. Bagaimana mengubah sikap? Orang dapat mengubah sikap disesuaikan dengan perilaku, namun sebaliknya orang dapat mengubah perilaku sesuai dengan sikapnya (Walgito, 2010: 180). Dengan terjadinya perubahan sikap pada siswa yang awalnya tidak menginginkan apa yang diinginkan orang tua menjadi sikap
menuruti orang tua akan menjadikan timbulnya budaya afirmatif, yang tidak peduli terhadap sesuatu yal yang harus dilawan atau diperjuangkan walaupun itu menyangkut keinginan masa depannya.
Budaya afirmatif menurut teoritisi Frankfurt berarti budaya yang tidak menantang masyarakat yang ada, baik dengan menyatakan adanya impian dan harapan tentang kebebasan yang tak terpenuhi atau dengan menggemakan ketidaksetujuan, atau kondisi masyarakat kini (Agger, 2007: 257-258). Budaya afirmatif akan berdampak pada diri siswa karena semakin besar dominasi orang tua dalam menentukan pilihan masa depan anaknya. Disamping itu sikap orang tua yang begitu otoriter akan memberikan tekanan tersendiri pada diri siswa sehingga akan memunculkan tindakan-tindakan yang tidak diinginkan bahkan mungkin di luar akal sehat manusia untuk memenuhi apa yang menjadi keinginannya. Semua itu kembali menyinggung seberapa besar doktrin orang tua kepada anak yang begitu hegemonik masuk di dalam benak anaknya, sehingga doktrin orang tua yang begitu mendominasi dalam pola pikir anaknya akan mengalahkan pola pikir yang dimiliki anak itu sendiri, hal ini juga karena orang tua memiliki modal pengetahuan dan modal ekonomi serta modal sosial yaitu sebagai orang tua dalam struktur keluarga.
Implikasi terbesar terlihat pada tingkat keberhasilan hegemoni itu sendiri, karena siswa sudah masuk dalam jurusan pariwisata dan menjadi bagian dalam proses itu sehingga proses hegemoni-hegemoni lain akan selalu berdampingan saling mengikuti sehingga muncul opini baru yang tadinya tidak berminat dan berbakat pada jurusan pariwisata menjadi hal yang sebaliknya. Disamping itu implikasi lain yang ditimbulkan adalah semakin kuatnya kesadaran palsu yang dimiliki siswa dan terkikisnya pola pikir kritis, selalu terbawa arus tanpa memikir apa yang menjadi potensi dirinya sendiri.
Siswa-siswa yang begitu banyak memilih pariwisata tanpa disadari akan menjadi agen-agen hegemoni dari pariwisata itu, hal itu juga terlihat dari pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan sehingga siswa yang tidak memiliki minat dan bakat untuk masuk ke jurusan pariwisata mengikuti apa yang ada dalam pergaulan mereka, hal ini merupakan sesuatu yang tidak disadari dan menjadi sesuatu hal yang biasa tanpa ada masalah yang harus dipermasalahkan dalam hal ini. Namun ini merupakan masalah pelik karena ini sangat berbaya bagi siswa yang tidak memiliki potensi pada jurusan pariwisata akan menjadi siswa yang sekedar ikut-ikutan tanpa memiliki prestasi berarti di lingkungan sekolah maupun nantinya dunia kerja.
Istilah milu-milu tuwung yang dikenal di Bali akan semakin membesar berimplikasi pada siswa. Selain itu hal ini akan menghasilkan paham yang begitu kapitalistik dari siswa jika bersekolah hanya untuk penghasilan yang besar selalu melihat berdasarkan sudut pandang finansial saja, yang harusnya pilihan pendidikan selalu didasarkan atas potensi diri dengan asas kebebasan memilih tanpa adanya tekanan dari manapun karena pada dasarnya pendidikan itu untuk memanusiakan manusia tidak malah sebaliknya membuat manusia sebagai komoditas yang dapat diibaratkan seperti tabungan yang nantinya hasil dari menginvestasikan anaknya atau siswa itu sendiri di bangku sekolah dapat dipetik suatu hari nanti setelah anak itu bekerja di dunia industri pariwisata.
Hal ini juga dapat berimplikasi pada diri siswa berupa semakin besarnya ekploitasi anak demi kepentingan orang tua karena orang tua memiliki paham yang begitu kapitalistik. Dalam pikiran orang tua yang ada adalah tidak akan mau rugi dalam menyekolahkan anaknya karena melihat biaya sekolah untuk saat ini begitu membebani keadaan ekonomi keluarga. Siswa dapat terkena dampak psikologi dalam dirinya, terlebih lagi akibat dari permasalahan ini pada siswa dapat menyebabkan adanya panik moral, siswa melakukan hal-hal negatif di luar kendali dan norma-norma yang ada pada lingkungannya.
Panik moral adalah sebuah proses sosial di mana media menyoroti secara tajam kelompok yang mengidentifikasi dirinya secara kultural dan memberi label perilaku
mereka sebagai perilaku yang bermasalah dan akan muncul kembali. Kelompok-kelompok tersebut diberi julukan perusuh masyarakat. Respon publik terhadap kenalakan yang muncul dan merebak ini adalah panik moral yang diantaranya meliputi penelusuran terhadap mereka dan menghukum budaya yang dianggap menyimpang tersebut (Barker, 2014: 179).
Berdasarkan latar belakang diatas, disimpulkan bahwa kapitalisme orang tua, orang tua memilih menyekolahkan anaknya di jurusan pariwisata agar anaknya mendapatkan pengahasilan yang menjanjikan nantinya. Proses hegemoni orang tua kepada anaknya untuk memilih jurusan pariwisata, melihat posisi orang tua dalam struktur keluarga memiliki kedudukan yang lebih tinggi hal ini akan mempermudah proses hegemoni yang dilakukan orang tua, dengan cara mengiming-imingi anaknya dengan masa depan pekerjaan dan gambaran gaji yang besar. Begitu besarnya kekuatan hegemoni itu dapat menimbulkan budaya afirmatif, serta di beberapa siswa menyebabkan adanya tekanan-tekanan tertentu yang terpaksa dilakukan karena adanya struktur-struktur dalam keluarga sehingga anak menerima apa yang digariskan orang tua.
Dari hasil kesimpulan berikut maka disarankan Kepada para orang tua diharapkan tidak melakukan pemaksaan pemilihan jurusan kepada anaknya, akrena hal ini akan berdampak tidak baik terhadap anaknya sendiri. Orang tua hendaknya mengawasi dan memberikan dorongan mengenai apa yang menjadi minat dan bakat anaknya dengan landasan-landasan yang tepat sehingga minat dan bakat apapun yang dimiliki anaknya akan berguna kelak bagi masa depan anaknya. Kepada para siswa disarankan untuk memilih jurusan tertentu, apapun itu harus berdasarkan minat dan bakat yang dimiliki, karena hal itu dapat memaksimalkan potensi diri. Jurusan apapun itu, jika ditekuni dengan baik dan giat akan memberikan hasil yang baik kedepannya.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala SMK PGRI 3 Denpasar telah berkenan memberikan izin untuk melakukan penelitian. Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada dosen pembimbing dengan sabar telah membimbing penulisan artikel ini. Tidak lupa penulis sampaikan rasa terima kasih kepada para dosen dan beserta staff tata usaha di Program Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana. Selanjutnya Penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada para dosen Diploma IV Pariwisata Fakultas Pariwisata Universitas Udayana karena penulis sebagai alumni telah banyak mendapatkan ilmu terkait pariwisata. Selanjutnya penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada orang tua, saudara, keluarga besar, rekan-rekan mahasiswa dan para sahabat atas dukungannya selama ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Rianto. 2010. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Jakarta: Granit.
Agger, Ben. 2007. Critical Social Theories: An Introduction (terj. Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Anonim. 2017. http://www.disparda.baliprov.go.id/, diakses 26 Mei 2017.
Atmadja, Nengah Bawa & Atmadja, Ananta Wikrama Tungga. 2014. Filsafat Ilmu Pengetahuan Perspektif Proses dan Produk. Denpasar: Pustaka Larasan.
Barker, Chris. 2014. The Sage Dictionary of Cultural Studies (terj. Putranto). Yogyakarta: PT Kanisius.
Beilharz, Peter. 2003. Social Theory: A Guide to Central Thinkers (terj. Jatmiko). Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2005-2009, Menuju Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang 2025. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Escobar, M. dkk, 2000. Dialog Bareng Paulo Freire “Sekolah Kapitalisme Licik” (terj. Rahayu). Yogyakarta: LKis.
Fakih, Mansour dkk. 2000. Pendidikan Popular Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Geriya, Wayan. 1995. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional, Global. Denpasar: PT. Upada Sastra.
Hasbullah. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ratna, Kutha Nyoman. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Sardiman. 2004. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Santrock, John W. 2007. Adolescence, Eleventh Edition (terj. Widyasinta). Jakarta: Erlangga.
Sindhunata. 2000. Menggagas Paradigma Baru Pendidikan “Denokratisasi, otonomi, civil society, globalisasi”. Yogyakarta: Kanisius.
Suryabrata, Sumadi. 2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Suseno, Franz Magnis dkk. 2001. Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan & Pendidikan “Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural”. Magelang: Indonesiatera.
Walgito, Bimo. 2010. Bimbingan dan Konseling (Studi & Karier). Yogyakarta: Andi Offset.
109
Discussion and feedback