Pemancangan merek (brand) ‘tanoker’ di desa wisata sumber lesung-ledok ombo-jember sebagai pembeda daya tarik wisata perdesaan
on
JURNAL KEPARIWISATAAN DAN HOSPITALITAS
Vol. 2, No. 2, November 2018.
Pemancangan merek (brand) ‘tanoker’ di desa wisata sumber lesung-ledok ombo-jember sebagai pembeda daya tarik wisata perdesaan
Juhanda
Akademi Pariwisata Muhammadiyah Jember
Email : juhanda156@gmail.com
Abstrak
Tanoker, yang menjadi identitas khas desa Ledok Ombo, Kecamatan Ledok Ombo, Kabupaten Jember saat ini sudah dikenal secara nasional, bahkan di manca negara. Tanoker artinya kepompong. Ia sengaja diberi branding tanoker untuk memberi citra (image) bahwa kepompong akan menjadi kupu-kupu yang indah dan disukai banyak orang. Atraksi wisata (tourist attraction) desa Tanoker Ledok Ombo ini menghidupkan kembali permainan permainan tradisional desa jaman dahulu secara lengkap. Tujuan penelitian ini adalah: 1) menggali urgensi branding desa Tanoker secara utuh (yaitu, kekuatan, kelemahan, peluang, dan hambatannya); 2) memformulasikan branding untuk keperluan pengembangan wisata perdesaan; 3) memberikan rekomendasi kepada stakeholder pengembangan pariwisata daerah. Peneliti mendekati obyek penelitian ini dengan menggunakan alat analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats), yang datanya akan digali dengan menggunakan metode wawancara dengan semua stakeholder (penggagas awal tanoker, masyarakat, wisatawan dan instansi pemerintah, baik Dinas Pariwisata & Kebudayaan Daerah ataupun aparatur desa) dan melalui penyebaran kuesioner. Data yang dikumpulkan lebih bersifat kualitatif. Kegunaan penelitian ini akan bermanfaat bagi banyak pihak karena sebagian besar wilayah perdesaan di Kabupaten Jember, yang terdiri dari 248 desa dan kelurahan, hampir tidak memiliki branding atau merek desa. Hasil dari penelitian ini akan dipublikasikan ke dalam jurnal nasional yang terakreditasi.
Kata kunci: branding (merek), tanoker, desa wisata, SWOT.
Abstract
At present time, Tanoker has been becoming a part of typical identity locally as well as national, locating at Sumber Lesung village, Ledok Ombo Sub-District, Jember Regency, East Java, Indonesia. Tanoker means cocone. Intentionally, giving brand of Tanoker is to convey an image that cocone will be a beautiful butterfly attracting people to enjoy. The tourist site attraction of Tanoker at Ledokombo is to survive and modernize the traditonal and local playing of old times. Firstly, the purpose of the research is to dig up an urgency of village branding comprehensively, that is the strengths, weaknesses, opportunities, and its threats); secondly is to formulate branding for the sake of village tourism development; thirdly is to recommend the urgency of village branding to the tourist stakeholders, particularly for the local government to establish in village tourism policy. The researcher carries out SWOT analysis in order to get sufficient data by means of field observation, interview and questionaire to the whole respondents. This research is more qualitative analysis. The use of the research will be useful for some parties, particularly for village governments, because of every village needs branding based on each spesific characteristics they have. Tge result of this research will be sent to the accredited national journal of tourism.
Keywords: branding, village tourism, SWOT analysis, Tanoker brand.
Pariwisata berbasis masyarakat adalah suatu konsep pengembangan tapak wisata di suatu wilayah perdesaan atau suatu wilayah yang jauh dari perkotaan, yang secara langsung melibatkan dan menyentuh aktifitas penduduk lokal di wilayah tersebut, yaitu mulai dari perencanaan, keterlibatan pengembangan, dan kelangsungan pelestariannya, sampai pada kemanfaatannya. Terdapat enam (6) dimensi dari pariwisata yang berbasis pada masyarakat, antara lain: 1)
keterlibatan masyarakat; 2) pemberdayaan dan kepemimpinan; 3) menguntungkan masyarakat; 4) kolaborasi dan jejaring; 5) pemasaran dan promosi; dan 6) konservasi (H. Goodwin,: 2008). Dengan demikian, salah satu pendekatan pengembangan wisata alternatif yang ramah lingkungan tersebut adalah desa wisata (village tourism). Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti, 1993). Inskeep (1995) menyatakan desa wisata merupakan jenis pariwisata dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam atau dekat dengan suasana tradisional, sering di desa-desa yang terpencil dan belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat.
Menurut Kamus Brand (Wiryawan, 2014: 5) bahwa pengertian tentang Destination Branding atau disebut juga Place Branding adalah ‘penerapan konsep dan model branding pada suatu lokasi tertentu (bisa berupa Negara, kota, propinsi atau wilayah)’. Tujuan dari Place Branding adalah memaksimalkan potensi suatu wilayah agar terjadi peningkatan kunjungan (wisata maupun bisnis) yang akhirnya meningkatkan devisa dan nilai ekonomi terhadap wilayah tersebut. Place branding biasanya digagas atas inisiatif pemerintah setempat lewat rangkaian kebijakan publik. Matthew Healey dalam buku What is Branding? menyatakan bahwa semua tempat adalah sebuah merek (brand), baik itu sebuah Negara, wilayah, kota, distrik, jalan, bahkan sebuah shopping mall dan gedung. Menurut Ayip, 2015, pengamat seni dan design grafis dari Bali dalam artikelnya mengatakan bahwa di banyak tempat strategi destination branding setidaknya terdiri dari 6 elemen penting sebagai pembentuk destination branding yang baik, yaitu people, governance, export, investment/ immigration, culure & heritage; dan pariwisata adalah salah satu komponennya. Komponen lainnya, menurut Antonio Marazza, General Manager Landor office, di Milan adalah bahwa “dalam Destination Branding, sebuah tempat harus diperlakukan sebagai sebuah brand (merek). Tujuan dari Merek sebuah destinasi pariwisata adalah untuk menarik dan memenangkan hati kostumer dari seluruh penjuru. Market dari sebuah merek destinasi merupakan target untuk pasar global, yang rumit dan kompetitif. Wisata Tanoker, sebagai branding atau merek desa wisata di Kecamatan Ledokombo adalah destinasi sekaligus tapak wisata baru yang sangat perlu untuk dikunjungi ketika sampai di Kota Jember, tepat berada di kaki Gunung Raung yang sejuk, sepi dan nyaman untuk istirahat bagi keluarga yang ingin suasana kampung pedesaan. Kampung wisata Tanoker ini dikenal dengan daya tarik wisata (tourist attraction) tradisi perdesaan dahulu kala, dengan permainan egrang, outbound, bermain pulo lumpur, mandi di sungai, belajar menanam padi dan aneka permain lain yang bersifat edukasi. Tanoker adalah penggagas dan pendorong sebuah perwujudan Kecamatan Ledokombo sebagai kampung wisata belajar. Ikon egrang sebagai bagian dari brand atraksi wisata merupakan elemen permainan dari kearifan lokal dimana anak- anak desa menjadi sumber kreasi atas gerakannya. Dari permainan egrang tersebut akhirnya juga berkembang gerakan dari ibu-ibu mereka mengawali mengkreasi industri kreatif kerajinan tangan berupa produk souvenir boneka kecil bernuansa egrang. Ayah ayah dari anak-anak yang berlatih serius bermain egrang, juga bereksprimen di bidang pertanian padi organik dengan percobaan menanam padi warna hitam.
Lokasi kampung wisata Tanoker di desa Ledokombo ini berjarak sekitar 30 kilometer sebelah utara Kota Jember. Aktivitas outbound berbasis permainan tradisional egrang digalakkan dengan aneka variasi, diselingi tarian dan gerakan unik lainnya. Bermacam ukuran dan warna alat egrang di Tanoker Ledokombo tersedia untuk ukuran anak-anak sampai dewasa. Paket wisata unik buat anak-anak dan remaja dengan bermain polo lumpur di sawah dan mandi di sungai yang jernih, menanam padi organik dan sayur mayur organik. Dari informasi responden sepintas menyatakan bahwa, “anak-anak kota biasanya tidak mau berhenti mandi kalau sudah bermain bersama teman-temannya mandi di sungai,” ujar ibu Ciciek. Permainan alam dan seni-budaya
dalam bingkai kebersamaan dan persaudaraan ini merupakan proses pemupukan karakter anak anak bangsa di masa depan.
Gambar 1. Belajar di alam, Tanoker, dan souvenir tanoker bagi ibu-ibu.
Dari sudut pandang kepariwisataan, masyarakat desa Ledokombo, masih belum memiliki konsep bahwa diri mereka bisa menjadi SDM pariwisata desa; mampu juga sebagai pemasok kebutuhan wisatawan dengan beraktifitas ekonomi kreatif; dan bahkan mereka tidak tahu akan dibawa kemana potensi desa wisata yang mereka miliki itu di masa mendatang. Dengan demikian perlu sekali dilakukan penelitian awal untuk mengetahui kelebihan, kekurangan, peluang, dan hambatan dari tapak desa wisata Tanoker Ledokombo, yang selanjutnya akan bisa dipetakan langkah langkah pengembangannya di masa yang akan datang. Pariwisata perdesaan berbasis merek (branding) tanoker di desa Sumber Lesung-Ledok Ombo-Jember ini bertujuan untuk: 1). Menggali potensi lebih luas branding terhadap desa wisata Tanoker, untuk selanjutnya dilakukan inventarisasi kebutuhan fasilitas dasar desa wisata di sekitar tapak wisata Tanoker; 2). Mendalami keberadaan pengelolaan organisasi desa wisata Tanoker dalam hal pengelolaan, promosi, dan pelayanan kepada wisatawan; dan 3). Penelitian ini akan mendalami secara seksama keberadaan potensi desa wisata Tanoker dari sisi temuan kekuatan kekuatan (strengths) yang dimiliki oleh tapak wisata tersebut, yang kemudian akan dilakukan inventarisasi berbagai peluang (opportinities) yang ada, sehingga kemunculan berbagai kelemahan (weaknesses) dan hambatan hambatan (threaths) yang ada dapat dikategorisasikan secara jelas dan dapat ditemukan beberapa pemecahan terhadap persoalan persoalannya.
Kepariwisataan, menurut Organisasi Kepariwisataan Dunia (UNWTO, 2007) adalah serangkaian kegiatan orang atau sekelompok orang yang melakukan perjalanan menuju suatu destinasi wisata dan mereka tinggal sementara di daerah tujuan tersebut, yang lama waktunya tidak lebih dari satu tahun secara berturut-turut, untuk mengisi waktu luang, bisnis, dan tujuan tujuan lainnya, dan mereka tidak bermaksud untuk mencari nafkah di tempat mereka berkunjung.
Pariwisata minat khusus, termasuk desa wisata, juga terkait dengan upaya pengkayaan pengalaman atau enriching experience bagi wisatawan yang melaksanakan perjalanan ke daerah-daerah yang masih belum terjamah atau ke daerah yang masih alami. Kriteria dan bentuk wisata minat khusus menurut Fandeli, 2002, antara lain : 1) Learning, pariwisata yang mendasar pada unsur belajar; 2). Rewarding, pariwisata yang memasukkan unsur pemberian penghargaan; 3). Enriching, pariwisata yang memasukkan peluang terjadinya pengkayaan pengetahuan antara wisatawan dengan masyarakat; dan, 4). Adventuring, pariwisata yang dirancang dan dikemas sehingga terbentuk wisata petualangan.
Faulker (dalam Gunawan, 2013) menyatakan bahwa dunia pariwisata telah berkembang pesat, termasuk jenis jenis wisatawan yang melakukan perjalanan wisata. Dengan demikian, tipologi wisatawan modern memiliki sifat sifat antara lain,: (1) jenis wisatawan yang lebih lokal dan berpengalaman; (2) mereka lebih suka merencanakan perjalanannya sendiri; dan (3) ciri lainnya adalah bersifat spontan, luwes dalam mengatur susunan perjalanan. Kecenderungan mereka lebih tertarik mencari objek wisata dengan jenis minat khusus (special intersest), seperti wisata tirta, petualangan, dan perjalanan mereka biasanya singkat menuju ke satu tujuan wisata saja. Bentuk pariwisata ini apabila dilihat dari tipologi wisatawannya merupakan wisatawan dengan kelompok atau rombongan kecil (Fandeli, 2002). Dari sudut pandang keminatan wisatawan, antara lain: a). Minat budaya. Wisatawan jenis ini akan terfokus minat perhatiannya pada bentuk bentuk kesenian, seperti, tarian, musik, kerajinan, pola tradisi masyarakat, aktivitas ekonomi yang spesifik, kearkeologian dan sejarah; b). Minat Alam. Wisatawan jenis ini lebih terfokus pada minat daya tarik terhadap dunia flora, fauna, geologi, taman nasional, hutan, sungai, danau, pantai, laut dan prilaku ekosistem tertentu.
Terdapat banyak istilah tentang ariwisata perdesaan atau desa wisata, pada mana para pakar pariwisata menyebutnya dengan berbagai istilah, antara lain¸rural tourism; village tourism; community tourism; people-base tourism, dan lain-lain. Pada substansinya adalah serupa dimana konsep community-based rural tourism adalah “…tourism based in the community, where the community as a whole or its members have substantial control and participation in planning the development and management of the tourism resources, and a major proportion of the benefits of the tourism remain in the community and benefiting all stakeholders that are fairly distributed, including employment and income-earning opportunities, and contributing to poverty alleviation” (Gunn, 2010).
Woodly, 1993, (dalam Pitana 2006) dengan tegas menyatakan bahwa “local people participation is a prerequisite for sustainable tourism”, antara lain:. 1). Enabling setting, yaitu memperkuat situasi kondisi di tingkat lokal menjadi baik, sehingga masyarakat local bisa berkreativitas. Ibaratnya, membuat panggung yang baik, sehingga masyarakat local bisa menari diatas panggung tersebut. 2). Empowering local community. Setelah ada panggung yang baik untuk menari maka masyarakat setempat harus ditingkatkan kemampuannya menari. Artinya, setelah local setting disiapkan, masyarakat lokal harus ditingkatkan pengetahuan dan ketrampilannya, sehingga mampu memanfaatkan setting dengan baik. Hal ini antara lain dilakukan melalui pendidikan, pelatihan dan berbagai bentuk pengembangan SDM lainnya; 3. Socio-political support. Kalau panggung sudah baik, masyarakat lokal sudah bisa menari, maka diperlukan adanya perangkat pendukung lain, seperti perlengkapan, penonton dan seterusnya, yang tidak lain berupa dukungan sosial, dukungan politik, jejaring, dan sebagainya. Tanpa dukungan sosial politik yang memadai, masyarakat lokal tidak akan bisa “menari” dengan baik di “panggung”, meskipun masyarakat tersebut sesungguhnya pintar “menari” (Pitana, 2004).
Berkembangnya pariwisata berbasis masyarakat diharapkan mampu mengurangi kemiskinan khususnya di wilayah wilayah terpencil yang memiliki potensi besar dijadikan tapak wisata. Secara teori bahwa desa wisata pada prinsipnya memiliki dua komponen dasar, yaitu
komponen akomodasi dan komponen atraksi (Putra: 2008). Dalam segi ketertarikan wisatawaan, khususnya wisatawan mancanegara dewasa ini banyak dari jenis wisatawan minat khusus yang orientasinya tidak lagi terbelenggu pada keindahan alam semata, tetapi lebih pada dinamika interaksi budaya local masyarakat dan keunikan alam setempat. Dengan hidupnya nilai nilai tradisional dalam bentuk bentuk tradisi dan ritual di suatu desa merupakan salah satu daya tarik bagi wisatawan untuk bertahan tinggal dalam jangka waktu yang lebih lama di desa tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini akan menunjang proses take and give dari sisi budaya dan ekonomi (Putra, 2008).
Metode observasi adalah pengamatan langsung peneliti di lapang berikut cakupan lingkungan fisiknya dan/atau pengamatan secara langsung suatu kegiatan yang sedang berjalan. Data yang dikumpulkan melalui observasi cenderung mempunyai keandalan yang tinggi. Metode observasi juga dapat menggambarkan lingkungan fisik dari kegiatan-kegiatan, misalnya tata letak fisik peralatan, penerangan, gangguan suara, dan lain-lain. Sedangkan metode wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan jalan mengadakan komunikasi dengan sumber data. Komunikasi tersebut dilakukan dengan dialog (tanya jawab) secara lisan, baik langsung maupun tidak langsung (Djumhur dan Surya, 1985). Peneliti dapat secara luwes mengajukan pertanyaan sesuai dengan situasi yang dihadapi pada saat itu. Jika dia menginginkan informasi yang mendalam maka dapat melakukan probing.
Daftar pertanyaan (kuesioner) adalah suatu daftar yang berisi pertanyaan pertanyaan untuk tujuan khusus yang memungkinkan seorang peneliti untuk mengumpulkan data dari para responden yang telah dipilih. Dengan angket akan memberi kesempatan mudah pada responden untuk mendiskusikan dengan temannya apabila menemui pertanyaan yang sukar dijawab. Dan, dengan angket responden dapat lebih leluasa menjawabnya dimana saja, kapan saja, tanpa terkesan terpaksa. Acuan pengisian adalah sebagai berikut:
Dalam penelitian ini, data dan informasi yang akan dikumpulkan oleh peneliti bersifat kualitatif. Ahmad Said (2005: 51) mengemukakan ada lima ciri-ciri dari sebuah penelitian kualitatif, yaitu: 1). Penelitian kualitatif dilakukan pada latar alamiah (natural setting) sebagai sumber data langsung dan data penelitian ini merupakan instrumen kunci (key instrument); 2). Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan situasi tertentu atau data yang dikumpulkan berbentuk kata-kata dari pada angka-angka; 3). Penelitian ini lebih memperhatikan proses dari pada hasil atau produk semata; 4). Dalam proses menganalisa data cenderung secara induktif ; dan, 5). Makna merupakan hal yang esensial bagi penelitian kualitatif.
Analisis SWOT (SWOT analysis) di sini mencakup upaya-upaya untuk mengenali kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang menentukan kinerja perusahaan. Informasi eksternal mengeni peluang dan ancaman dapat diperoleh dari banyak sumber, termasuk pelanggan, dokumen pemerintah, pemasok, kalangan perbankan, rekan diperusahaan lain. Rangkuti (2004: 18) menjelaskan bahwa analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan.
Tabel. 3.2 Penilaian SWOT
Penelitian kondisi saat ini: o Sangat baik dengan skor : 4 o Baik dengan skor: 3 o Cukup dengan skor: 2 o Kurang dengan skor: 1
Penilaian ugrensi penanganan:
-
□ Angka 1 : tidak urgen
-
□ Angka 2 : kurang urgen
-
□ Angka 3 : urgen
-
□ Angka 4 : sangat ugren
Menurut Fahmi (2013: 260), untuk menganalisis secara lebih dalam tentang SWOT, maka perlu dilihat faktor eksternal dan internal sebagai bagian penting dalam analisis SWOT tersebut, yaitu pertama faktor eksternal. Faktor eksternal ini mempengaruhi terbentuknya opportunities and threats (O dan T), dimana faktor ini meliputi kondisi-kondisi yang terjadi di luar keberadaan pariwisata yang mempengaruhi dalam pembuatan keputusan dan kebijakan pariwisata. Model analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan. Faktor internal dimasukan ke dalam matrik yang disebut matrik faktor strategi internal atau IFAS (Internal Strategic Factor Analisis Summary). Faktor eksternal dimasukkan ke dalam matrik yang disebut matrik faktor strategi eksternal EFAS (External Strategic Factor Analisis Summary). Setelah matrik faktor strategi internal dan eksternal selesai disusun, kemudian hasilnya dimasukkan dalam model kuantitatif, yaitu matrik SWOT, untuk merumuskan strategi kompetitif tapak wisata.
Tabel 3.3 Matrik Faktor Strategi Eksternal (EFAS)
Faktor Strategi Eksternal |
Bobot |
Rating |
Bobot X Rating |
Keterangan |
Peluang |
X |
X |
X | |
Jumlah |
X |
X |
X | |
Ancaman |
X |
X |
X | |
Jumlah |
X |
X |
X | |
Total |
X |
X |
X |
Sumber: Rangkuti, 2004 : 18
Tabel 3.4 Matrik Faktor Strategi Internal (IFAS)
Faktor Strategi Internal |
Bobot |
Rating |
Bobot X Rating |
Keterangan |
Kekuatan |
X |
X |
X | |
Jumlah |
X |
X |
X | |
Kelemahan |
X |
X |
X | |
Jumlah |
X |
X |
X | |
Total |
X |
X |
X |
Sumber: Rangkuti, idem
Alat yang dipakai untuk menyusun faktor-faktor strategis tapak wisata desa Tanoker adalah matrik SWOT. Matrik ini dapat mengambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi desa Tanoker dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matrik ini dapat menghasilkan 4 set kemungkinan alternatif strategis.
Tabel 3.5 Diagram Matrik SWOT
IFAS EFAS |
STRENGTHS (S) Tentukan 5-10 faktor kekuatan internal |
WEAKNESSES (W) Tentukan 5-10 faktor kelemahan internal |
OPPORTUNITIES (O) Tentukan 5-10 faktor peluang eksternal |
STRATEGI (SO) Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang |
STRATEGI (WO) Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang |
THREATS (T) Tentukan 5-10 faktor ancaman/hambatan eksternal |
STRATEGI (ST) Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman/hambatan |
STRATEGI (WT) Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman/hambatan |
Sumber: Rangkuti, 2004: 18
Strategi SO (Strength-Opportunities) ini dibuat berdasarkan realitas tapak wisata Tanoker, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan potensi Tanoker untuk merebut dan memanfaatkan peluang yang sebesar-besarnya. Strategi ST (Strenghts-Threats) adalah strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki tapak wisata desa Tanoker untuk mengatasi ancaman/hambatan. Strategi WO (Weknesses-Opportunities) diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada di Tanoker dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. Sedangkan, strategi WT (Weknesses-Threats) berdasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman/hambatan hambatan yang ada.
Berdasarkan Data Administrasi Pemerintahan Desa Tahun 2017, jumlah penduduk Desa Sumberlesung adalah 7813 jiwa yang terdiri dari 3539 laki - laki , 4274 perempuan dan 2395 Kepala Keluarga. Desa Sumberlesung terbagi atas 5 ( lima ) Dusun / Padukuhan: 1). Dusun Krajan, Kepala Dusunnya adalah Subiakto 2). Dusun Karang Kebun, dengan Kepala Dusunnya bernama Noto Mulyo 3). Dusun Karang Bireh, dengan Kepala Dusunnya Sunyoto HP 4). Dusun Lao', dengan Kepala Dusunnya Lukman Hakim, dan 5). Dusun Onjur Kepala Dusunnya Jasuli. Desa Sumberlesung, dengan Kepala Desa Sumardi, memiliki |luas wilayah 319.515 Ha.
Rona awal (existing conditions) obyek desa wisata Tanoker di Desa Sumber Lesung, Kecamatan Ledok Ombo, Kabupaten Jember ini tergolong unik dan berbeda. Desa yang bertetangga dengan pencetus JFC Dinand Faris itu dihuni oleh masyarakat yang mayoritas Madura, yang mata pencaharian mereka sebagai petani, buruh migran, dan pekerja perkebunan kopi, mampu memunculkan jenis wisata desa yang menghidupkan permainan jaman dahulu, yang sudah langka dan nyaris punah. Kemunculan desa wisata yang memiliki branding Tanoker (kepompong) ini diawali oleh seorang inovator, bapak Dr.Supoharjo dan istrinya Cici, yang rela mengabdikan dirinya menemani anak anak desa, khususnya anak anak buruh migran. Desa wisata edukasi Tanoker di desa Sumber Lesung-Ledokombo merupakan jenis wisata tradisional, yang ingin menghidupkan kembali tradisi perdesaan jaman dahulu. Desa Ledokombo, yang sebelumnya nyaris tidak memiliki daya tarik wisata dan sepi sebagaimana keberadaan desa desa lainnya yang
ada di Kabupaten Jember, saat ini menjadi tapak wisata desa yang diminati oleh wisatawan dari pusat pusat kota dari banyak Kabupaten atau Kota Madya seluruh Indonesia, bahkan wisatawan dari manca negara. Tradisi aktivitas wisatanya lebih ditekankan pada aspek aspek edukasi, membangun kebersamaan dalam permainan, toleransi, cinta desa, dan masih banyak dimensi edukasi lainnya.
Masyarakat desa Sumber Lesung di Kecamatan Ledok Ombo, Kabupaten Jember didiami oleh etnis mayoritas Madura. Perkembangan evolutif yang berjalan pada kondisi fisik materiil di antaranya berupa: a) Sulitnya akses infrastruktur dasar kehidupan ekonomi; b) Masih banyak keluarga miskin dan sangat miskin; c) Kurang memadainya sarana dan prasarana di sekolah formal, termasuk banyak sekolah formal yang masih kekurangan tenaga pendidik. Selanjutnya, kondisi sosial dan budaya yang menyebabkan terjadinya perkembangan secara evolutif tersebut, antara lain: a). Terdapat tradisi berhutang untuk memenuhi kebutuhan sajian dalam pelaksanaan tradisi masyarakat; b) Kurangnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian sumber daya alam terutama sungai; c) Seringnya terjadi konflik dalam masyarakat akibat warisan, pekerjaan, dan ucapan yang berujung pada kebiasaan tidak bertegur sapa (soker); d) Karena masih banyaknya anggota masyarakat yang berpendidikan rendah maka sering terdapat konflik akibat hal hal yang sepele; e) Rantai pernikahan dini yang terjadi di bawah tangan (nikah siri), perceraian, poliandri dan poligami, serta rantai keterpurukan ekonomi keluarga sehingga menjadi TKW. f) Penyimpangan anak seperti mengedarkan dan mengkonsumsi obat-obatan terlarang; g) Anak kurang mendapatkan perhatian dari orang tua di rumah bahkan pengasuhan dialihkan kepada tetangga atau keluarga luas seperti nenek, kakek, paman, dan bibi; h) Tradisi mendidik anak dengan kekerasan; i) Terbengkalainya kegiatan belajar dan mengajar di sekolah formal karena kepentingan guru; j) Menurunnya angka kehadiran guru di sekolah formal; k) Masih minimnya penilaian masyarakat terhadap pendidikan; l) Kurangnya perhatian pemerintah untuk melakukan pembangunan di Kecamatan Ledokombo
Eksistensi desa Wisata edukasi Tanoker di Desa Sumber Lesung adalah sebuah kawasan pedesaan yang memiliki beberapa karakteristik khusus untuk menjadi desa tujuan wisata. Di kawasan ini, penduduknya masih memiliki tradisi dan budaya yang relatif masih asli. Selain itu, beberapa faktor pendukung seperti makanan khas, sistem pertanian dan sistem sosial turut mewarnai sebuah kawasan desa wisata. Di luar faktor-faktor tersebut, alam dan lingkungan yang masih asli dan terjaga merupakan salah satu faktor terpenting dari sebuah kawasan tujuan wisata. Selain berbagai keunikan, kawasan desa wisata juga harus memiliki berbagai fasilitas untuk menunjangnya sebagai desa tujuan wisata. Berbagai fasilitas ini akan memudahkan para pengunjung desa wisata dalam melakukan kegiatan wisata. Fasilitas-fasilitas yang sebaiknya dimiliki oleh kawasan desa wisata antara lain adalah sarana transportasi, telekomunikasi, kesehatan, dan akomodasi. Khusus untuk sarana akomodasi, desa wisata menyediakan sarana penginapan berupa pondok-pondok wisata (homestay) sehingga para pengunjung pun turut merasakan suasana pedesaan yang masih asli. Desa Tanoker merupakan tempat dimana pertemuan berbagai golongan dan berbagai latar belakang sosial dikelola untuk saling menguatkan kebersamaan.
Gelaran wisata yang disuguhkan di Kampung Tanoker tersebut mulai dari gelaran seni-budaya, makanan khas, seni lukis, permainan permainan tempo dulu. Jenis jenis gelaran wisata kampung tanoker tersebut antara lain: Outbond berbasis Permainan Tradisional; b) Belajar membuat kerajinan khas; c) Belajar kuliner khas ala Ledokombo; d) wisata Tano-agro; e) Wisata seni tari Egrang & Perkusi; (f) Pertunjukan jalanan Mini-Sound ; g) musik Patrol & Can-Macanan kadhuk; h) memasak nasi hijau & sate jamur; i) mie bahan ketela dan kue lapis pepaya; dan masih banyak lagi yang lainnya.
Menurut Hanna-Maria Ollila, dkk. ( 2013: 50) bahwa “...environmental education plays an important role in learning on nature and environment as well as creating new mindsets and ecological lifestyles. A destination brand represents the core essence and enduring characteristics of a destination” (pendidikan lingkungan memainkan peranan penting di dalam mempelajari alam dan lingkungan, juga menciptakan cara berfikir baru pada gaya hidup ekologis. Dengan demikian, merek suatu destinasi itu mewakili substansi dasar dan kelangsungan daya tahan terhadap ciri suatu destinasi). Dengan demikian, Tanoker sebagai sebuah brand (merek) suatu desa atau lokasi di Sumber Lesung, Ledokombo merupakan karakteristik utama yang sejak awal dimunculkan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan ingatan masyarakat yang melekat. Kapan saja wisatawan menyebut kata Tanoker di Daerah Kabupaten Jember, maka masyarakat akan menunjuk desa Sumber Lesung, Kecamatan Ledokombo.
Sebelum sentuhan kata Tanoker (kepompong) oleh penggagas awal, yakni bapak Dr. Supoharjo dan istrinya Ibu Cicik, M.Si, desa Sumberlesung adalah desa yang tidak dikenal oleh banyak orang kecuali dari desa desa di sekitarnya di Kecamatan Ledok Ombo. Desa Sumber lesung adalah sebuah desa pinggiran kaki bukit dan perkebunan yang secara ekonomi berkategori miskin, berpendidikan rendah, sehingga usia putus sekolah tinggi, perkawinan dini merajalela sekaligus perceraian dini sangat banyak. Desa sumberlesung hari ini telah disulap oleh kedua sarjana alumni UGM tersebut menjadi desa wisata dengan sebutan Tanoker, yang sekaligus nama tersebut sebagai merek (brand) desa, yang melingkupi wilayah kecamatan Ledokombo dan Kabupaten Jember. Dengan kata lain, ketika disebut Tanoker maka wilayah Kecamatan Ledokombo dan wilayah Kabupaten Jember secara keseluruhan tercakup dengan branding Tanoker tersebut.
Ide dasar tentang wisata edukasi berbasis branding Tanoker ini, yang menekankan pada pengembalian filosofi kebersamaan dan perkawanan atas berbagai aktivitas permainan anak anak jaman dahulu, tidak lepas dari rasa keprihatinan penggagas awal bahwa hari ini anak anak di Indonesia telah kehilangan khazanah budaya dan seni yang bernilai filosofis yang pernah hidup di masyarakatnya. Faktanya bahwa permainan tradisional saat ini telah banyak ditinggalkan generasi muda, baik di perkotaan maupun dipedesaan. Zaman telah memaksa anak-anak untuk digiring menuju kecanggihan teknologi, seperti handphone, komputer, dan televisi. Walaupun zaman dan dinamikanya adalah kenyataan yang tidak dapat dielakkan, namun yang tragis adalah proses terabaikannya nilai nilai luhur kebaikan masyarakat yang telah membentuk pranata budaya bangsa yang adiluh. Beberapa jenis permainan tradisional yang digali dan sangat digemari anak-anak sampai orang dewasa adalah kembali ke sawah berlumpur dengan aktivitas yang dinamai Polo Lumpur, bermain Bakiak dan Egrang (batok, bamboo, besi), bermain Gobak Sodor, Petak Umpet, Kelereng, Dakon, Layangan (musiman) dan Kekean (gasing) serta permainan tradisional lainnya yang terus digali dan dikembangkan.
Merek (brandingi) Tanoker, suatu sebutan masyarakat Madura untuk kepompong dari ulat yang hendak merubah diri menjadi mahluk indah, yakni kupu-kupu, telah melekat di pikiran bawah sadar masyarakat dan membuat rasa penasaran banyak orang, khususnya masyarakat Jember dan Kabupaten sekitarnya, yang memang juga dihuni oleh etnis campuran Madura dan Jawa secara dominan. Berbagai gelaran wisata yang menyuguhkan berbagai macam permainan tradisional anak anak jaman dahulu, yang digelar berdasarkan kalender gelaran (calendar of tourist event) dan tersusun secara rapi tersebut telah mampu mengundang banyak wisatawan, baik lokal, nasional, maupun internasional. Puncak acara gelaran secara rutin diadakan pada bulan Agustus, memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-73, tahun ini saat penelitian ini dilakukan sampai pada bulan September. Demikian acara rutin setiap tahunnya. Namun demikian, apabila ada wisatawan, baik individu maupun rombongan (tour package) dari manapun, suguhan permainan akan dapat disajikan secara lengkap sesuai dengan permintaan wisatawan.
4.5 Analisis SWOT Tanoker
Tabel 4.1 Kriteria Rating Hasil Analisis
Nilai |
Antara (range) |
Hasil |
4 |
3,26 – 4,00 |
Sangat Baik |
3 |
2,51 – 3,25 |
Baik |
2 |
1,76 – 2,50 |
Kurang Baik |
1 |
1,00 – 1,75 |
Sangat Kurang Baik |
Sumber: Rudika, 2004 : 77
Untuk menilai lingkungan internal potensi Desa Wisata berbasis merek (branding) Tanoker digunakan pedoman identifikasi dan definisi variabel seperti disajikan dalam tabel 4.1 Pemeringkatan diberikan dengan menjawab pilihan dari empat alternatif yaitu sangat kurang baik, kurang baik, baik dan sangat baik. Hasil penelitian menunjukkan masing-masing responden memberikan nilai yang bervariasi. Perhitungan nilai peringkat (rating) responden didasarkan pada nilai rata-rata dari seluruh responden. Pemeringkatan yang diberikan oleh responden terlihat pada table 4.2.
Tabel 4.2 Rating Lingkungan Internal (Internal Factors Analysis Summary)
No |
Faktor Internal (Internal Factors) | |
Kekuatan (Strengths) |
Rating | |
1. |
Kekhasan dan ke-langka-an (typicality & scarcity) merek (brand) Tanoker sebagai tapak desa wisata menguatkan Jember sebagai Kota Karnival Nasional |
3,708 |
2. |
Tersedianya berbagai fasilitas permainan tradisional jaman dulu untuk edukasi dalam bentuk GELARAN WISATA (tourist event) yang bersifat massal. |
3,989 |
3. |
Adanya produk masy. perdesaan, baik makanan maupun souvenir untuk wisatawan. |
3,176 |
4. |
Adanya berbagai media edukasi anak-anak migran dan masyarakat lokal |
3,155 |
5. |
Adanya Calendar of Event Tanoker yang terjadwal dari bulan Januari - Desember |
3,704 |
6. |
Sanggar sanggar seni, pasar lumpur, pertanian organik, dan media edukasi lainnya |
3,553 |
7. |
Adanya rumah rumah masyarakat sebagai fasilitas akomodasi bagi wisatawan |
3,192 |
8. |
Masyarakat yang sudah sadar akan manfaat wisata desa dengan berpartisipasi akatif |
3,121 |
9. |
Kukuhnya kreator Tanoker dalam mengembangkan kalender wisata dan atraksinya |
3.731 |
No |
Kelemahan (weaknesses) |
Rating |
1 |
Kondisi riil lokasi di Tanoker belum ada lahan parkir sendiri yang memadai |
2,832 |
2 |
Pengelolaan fasilitas dasar masih sangat perlu dipenuhi secara memadai |
2,791 |
3 |
Mayoritas kendali program berpusat pada keluarga pengelola Tanoker sendiri |
2.775 |
4 |
Sumber daya manusia masih minim dalam pemasaran Tanoker ke konsumen |
2.471 |
Sumber: Hasil Analisis, 2018
Lingkungan eksternal dari kawasan Desa wisata Tanoker sebagai desa wisata berbasis masyarakat yang akan menciptakan peluang dan ancaman dinilai oleh 45 orang responden yang terdiri dari para stakeholder pariwisata, dari unsur pemerintah, tokoh masyarakat, pengusaha pariwisata, wisatawan, dan pihak akademisi yang ada di Kawasan Desa Sumber Lesung. Dalam menilai lingkungan eksternal, responden memakai pedoman identifikasi faktor lingkungan eksternal yang sudah disiapkan. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya variasi nilai yang diberikan responden terhadap masing-masing indikator. Untuk mendapatkan nilai dari semua responden maka dihitung berdasarkan rata-rata (mean) persepsi responden. Adapun hasil

penelitian terhadap pemeringkatan (rating) responden terhadap lingkungan eksternal dapat dilihat pada kolom rating pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Peringkat/Rating Lingkungan Eksternal (External Factor Analysis Summary)
No. |
Rating Lingkungan Eksternal (External Factor Analysis Summary) |
Rating |
Peluang (Opportinities) | ||
1 |
Liburan Natal & Tahun Baru (foreign tourists) dengan kebijakan pemerintah free visa kunjungan dari 169 negara asing ke Indonesia. |
3.957 |
2 |
Pesan merek Tanoker yang sudah mulai go international sebagai tapak wisata edukasi alam perdesaan. |
3.778 |
3 |
Stabilitas ekonomi makro Indonesia & daya beli masyarakat yang baik |
3.655 |
4 |
Pemanfaatan meningkatnya kebutuhan seseorang dan keluarga untuk berlibur saat ini cukup tinggi |
3.882 |
5 |
Faktor keamanan di Indonesia terjamin dan keindahan wisata alam dan budaya (natural& culturaal attractions) secara makro sangat tinggi |
3.887 |
6 |
Kesan ummat Islam Indonesia sebagai mayoritas mulai berubah menjadi kesan sejuk, damai, dan aman (Faktor Sapta Pesona Pariwisata) |
3.654 |
7 |
Dijalinnya kerjasama G to G dengan Saudi Arabia dan negara negara di Asia merupakan pencitraan bagi dunia internasional terhadap Indonesia. |
3.777 |
No |
Ancaman/Hambatan (threats) |
Rating |
1 |
Munculnya beberapa competitor lain yang kelas dan jenis daya tarik wisatanya sama atau serupa (comparative & competitive advantages) |
2.443 |
2 |
Jika masyarakat lokal mulai surut apresiasinya kepada Tanoker akibat moderenisasi |
2.506 |
3 |
Diberlakukanya travel warning bagi wisatawan manca negara untuk berkunjung ke Indonesia karena faktor keamanan, bencana alam, dll. |
2.655 |
4 |
Terjadinya distabilitas perekonomian nasional & banyaknya pengangguran |
2.622 |
Sumber: Hasil Analisis, 2016
Dari hasil analisis data penelitian mengenai penting tidaknya merek (branding) bagi suatu destinasi wisata, khususnya desa wisata adalah sebagai berikut:
-
1. Merek (brand) suatu destinasi wisata yang memiliki karakter keunikan (uniqueness) dan pembeda (different) merupakan kekuatan tarik besar (huge attracting power) bagi calon wisatawan untuk berkunjung, dengan rating kekuatan 3,989.
-
2. Merek (brand) Tanoker mampu mengenalkan dan mengankat nama Desa Sumber Lesung, Kecamatan Ledokombo, dan Daerah Kabupaten Jember ke tingkat nasional, bahkan internasional.
-
3. Berbagai permainan tradisional anak-anak masa lalu dimoderenisasi dalam bentuk Gelaran Wisata (tourist event) sebagai media edukasi bagi wisatawan dalam upaya membangunkan kembali (re-awakening) memori masa lalu dan melestarikan khazanah seni-budaya Nusantara.
DAFTAR PUSTAKA
Fandeli, C. (2002). Perencanaan Kepariwisataan Alam. . Fakultas Kehutanan Universitas
Gadjah Mada, Bulaksumur, Yogyakarta.
Gunn, A. Clare (2010) Tourism Development Planning. Published and printed by the, Madrid, Spain. ISBN: 978-92-844-1243-3 . First printing, All rights reserved
Gunawan, Imam.2013. Metode Penelitian Kualitatif: Teori & Praktik. Penerbit: Bumi Aksara
Inskeep,1995. Tourism Planning An Integrated and Sustainable Development Approach
Kusmayadi dan Sugiarto. 2002. Metodelogi Penelitian di Bidang Kepariwisataan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Nasir.1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia Jakarta.
Nuryanti, Wiendu. 1993. Concept, Perspective and Challenges, makalah bagian dari Laporan
Pitana, I Gde 2004. Mispersepsi Pemberdayaan Masyarakat dalam Kepariwisaaan Bali. Bali Post, Maret 2004. Hal 7
Pitana, I Gde dan Gayatri Putu G. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset.
Pitana, I Gde. 2006. Kepariwisataan Bali Dalam Wacana Otonomi Daerah. Jakarta: Puslitbang kepariwisataan.
Putra, 2008. Eksotisme Sebagai Modal Dasar Pengembangan Desa Wisata. Diunduh dari http://tourism.padang.go.id/index.php?tourism=news&id=5
Rangkuti, Freddy. 2004. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Santilli R. 2008. “Community-Based Tourism: an Assessment of the Factors for Success”. University of Greenwich unpublished
Umar, H. 2003. Strategic Management in Action. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Wainhill,. Stephen 1993. Tourism Principle and Practice. London : Pitman Publishing.
World Tourism Organization (UNWTO). 2007. A Practical Guide to Tourism Destination Management. Published and printed by the, Madrid, Spain. ISBN: 978-92-844-1243-3 First printing, All rights reserved
49
Discussion and feedback