JURNAL KEPARIWISATAAN DAN HOSPITALITAS

Vol. 2, No. 3, November 2018.

Kajian dampak keberadaan usaha akomodasi pariwisata terhadap aspek lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi di kawasan pariwisata amed kabupaten karangasem, bali

Ni Wayan Sumiati 1), I Gst Ngurah Widyatmaja2), Irma Rahyuda3),

Program Studi Diploma IV Pariwisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana Jl. DR. R Gorris 7, Denpasar, 80232, Email : wayansumiati26@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini dilatar belakangi atas peningkatan pesat jumlah usaha akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed, sehingga memicu perubahan pada seluruh aspek bagian. Variabel yang digunakan yaitu dampak lingkungan, dampak sosial budaya dan dampak ekonomi. Data penelitian yaitu diperoleh melalui observasi, wawancara, studi pustaka dan dokumentasi. Penentuan informan yaitu menggunakan purposive sampling. Kemudian data yang terkumpul dianalisis menggunakan deskriptif kualitatif mengikuti konsep dari Miles dan Huberman. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa keberadaan usaha akomodasi pariwisata di Kawasan Pariwisata Amed, memberikan dampak positif dan negatif terhadap lingkungan, sosial budaya dan ekonomi masyarakat. Sejauh ini dampak yang ditimbulkan lebih kepada dampak positif terutama pada aspek ekonomi. Namun tidak dipungkiri keberadaannya banyak memberikan dampak negatif pada aspek lingkungan, walaupun intensitasnya tergolong ringan. Dampak yang dimaksud yaitu: 1) Aspek lingkungan, keberadaannya secara positif merubah lingkungan sekitar akomodasi menjadi lebih tertata, bersih dan hijau. Namun disisi lain keberadaannya memberikan dampak negatif seperti memberikan tekanan pada lingkungan, Alih fungsi lahan, dan pencemaran lingkungan sekala kecil. 2) Aspek sosial budaya, secara positif berdampak pada perubahan sumber mata pencaharian masyarakat, peningkatan kualitas SDM, serta peningkatan kecintaan terhadap budaya lokal. Namun juga memberikan dampak negatif seperti terjadinya perubahan etos kerja, rendahnya penggunaan arsitektur khas daerah dan memicu kemacetan. 3) Aspek ekonomi, secara positif berdampak pada peningkatan penghasilan masyarakat, membuka lapangan kerja, memacu pengembangan lokasi kurang produktif dan meningkatkan permintaan produk lokal. Namun keberadaannya juga memberikan dampak negatif seperti ketergantungan pada sektor akomodasi, dan memicu tingginya harga produk. Selain itu, kesejahteraan pekerja pada sektor akomodasi disana kurang diperhatikan.

Kata kunci : Dampak Lingkungan, Dampak Sosial Budaya, Dampak Ekonomi, Akomodasi Pariwisata,

Abstract

This research motivated by the increasing number of tourist accommodation in Amed tourism area, thus causing changes to all aspects. The variables used are environmental impacts, socio-cultural impacts and economic impacts. The data obtained through observation, interview, literature study and documentation. The determination of informant is purposive sampling. Then, the collected data was analyzed by qualitative descriptive from Miles and Huberman concept. The results is the existence of the tourist accommodation in Amed tourism area, giving positive and negative impacts for environment, socio-cultural and economic aspect. So far, the impact is more to positive impact primarily on the economic aspects. But can not denied its existence gives a negative impact to environment aspects, although the intensity is small. The impact are as follows: 1) In environment aspect, its existence positively changed of accommodation surroundings become more orderly, clean and green. But in the other side, its existence has a negative impact as environment pressure, overland function, and environmental pollution with small intensity. 2) In Socio-cultural aspects, positively changed the source of people’s livelihoods, improved the quality of human resources, as well as increased love of the local culture. But also has negative effects such as changed the work ethic of the society, decreased of the local architecture and traffic congestion. 3) Economic aspects, has positively increased the society income, open job opportunities, spurred the development of less productive locations and increased the demand for local products. But its existence also has negative effects such as dependence on the accommodation sector, and increased the product prices. In addition, the workers’ welfare of in the accommodation sector in Amed tourism area is lacking.

Keywords : Environmental Impacts, Socio Cultural Impacts, Economic Impacts, Tourism Accommodation.

  • 1.    PENDAHULUAN

Pengembangan pariwisata memicu pengembangan ekonomi serta sarana-prasarana pendukung pariwisata lainnya. Oleh karenanya kegiatan pariwisata dianggap juga sebagai “multiplier effeccts”, yaitu efek ekonomi yang mampu mempengaruhi serta mendorong kegiatan ekonomi secara keseluruhan pada suatu wilayah tertentu. Bali adalah salah satu provinsi di Indonesia yang menggantungkan sendi perekonomiannya pada sektor pariwisata. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Dinas Pariwisata Provinsi Bali, selama lima tahun terakhir mengindikasikan bahwa jumlah kunjungan wisatawan ke Pulau Bali cendrung meningkat tiap tahunnya. Berdasarkan data tersebut, tahun 2016 merupakan tahun dengan jumlah kunjungan wisatawan terbanyak jika dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya, yaitu mencapai 13.571.617 orang, dimana wisatawan nusantara berjumlah 8.643.680 orang dan wisatawan mancanegara 4.927.937 orang.

Tingginya jumlah kunjungan wisatawan baik wisatawan nusantara maupun mancanegara ke Bali mengindikasikan bahwa peluang bagi pelaku industri pariwisata di Bali masih besar. Salah satu perkembangan industri pariwisata yang terlihat pesat di Bali yaitu perkembangan pembangunan usaha akomodasi. Berdasarkan Buku Direktori 2016 yang dikeluarkan oleh Dinas Pariwisata Provinsi Bali dijelaskan bahwa jumlah akomodasi di Bali baik hotel bintang maupun non bintang pada tahun 2016 mencapai 4.883 akomodasi, dengan jumlah kamar sebanyak 78.638 kamar yang tersebar di seluruh kabupaten di Bali. Data tersebut juga menjelaskan bahwa akomodasi terbanyak di Bali terdapat di Kabupaten Gianyar yaitu 1289 akomodasi atau sebesar 26,40 persen. Sedangkan kedua, Kabupaten Badung yaitu 1279 akomodasi atau sebesar 26,19 persen, kemudian disusul Kabupaten Karangasem yaitu 992 akomodasi dengan persentase sebesar 20,32 persen. Sedangkan Kabupaten yang mempunyai jumlah akomodasi paling sedikit adalah Kabupaten Bangli yaitu 18 akomodasi atau sebesar 0,37 persen.

Sebagai salah satu kabupaten dengan jumlah akomodasi terbanyak ketiga, Karangasem kini sedang fokus dalam pengembangan potensi pariwisata daerahnya. Karangasem sendiri memiliki potensi beragam, namun belum sepenuhnya dikembangkan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sukma Arida, dkk (2016) dijelaskan bahwa Kabupaten Karangasem memiliki beragam yang terbagi menjadi tiga kluster kewilayahan yaitu kluster pesisir (segara), kluster gunung, dan terakhir kluster desa tua (https://www.posbali.id/ diakses pada 16/07/2017). Potensi tersebut tersebar di seluruh bentangan wilayah Karangasem, demi memaksimalkan potensi tersebut, sarana dan prasarana pariwisata di tiap daerah tujuan wisata juga ikut ditingkatkan. Hal tersebut guna menarik serta meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Berikut merupakan gambaran mengenai jumlah kunjungan wisatawan ke Kabupaten Karangasem selama lima tahun terahir.

Tabel 1. Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Kabupaten Karangasem Tahun 2012-2016

Tahun

Jumlah Wisatawan

Total Wisatawan (Orang)

Pertum buhan %

Nusantara (Orang)

Pertumb uhan %

Mancanegara (Orang)

Pertum buhan %

2012

158.430

-

303.803

-

462.233

-

2013

159.709

0,81

301.806

-0,66

461.515

-0,16

2014

162.069

1,48

301.985

0,06

464.054

0,55

2015

137.601

-15,10

317.201

5,04

454.802

-1,99

2016

164.522

19,56

343.274

8,22

507.796

11,65

Total

782.331

7

1.568.069

13

2.350.400

10,05

Rata-rata pertumbuhan Kunjungan Wisatawan ke Karangasem

2,01

Sumber : BPS Kabupaten Karangasem, 2017

Berdasarkan data pada Tabel 1 di atas, jumlah kunjungan wisatawan ke Kabupaten Karangasem mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Tahun 2016 merupakan tahun kunjungan dengan jumlah kunjungan wisatawan terbanyak dibandingkan tahun sebelumnya yaitu mencapai 507.792 orang dengan persentase pertumbuhan yang signifikan sebesar 11,65 persen. Dimana wisatawan nusantara yaitu sebanyak 164.522 orang dan wisatawan mancanegara sebanyak 343.274 orang.

Tingginya pertumbuhan ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu terkait dengan

penyelenggaraan beberapa event besar bersekala internasional di Bali, perubahan regulasi yang berlaku di Bali dan juga semakin gencarnya promosi pariwisata yang dilakukan oleh pemerintahan. Menurut Cok Ace, Ketua PHRI Bali penurunan kunjungan wisatawan pada tahun-tahun sebelumnya disebabkan karena beberapa hal. Pertama, karena kondisi ekonomi di berbagai negara di dunia yang belum pulih benar, sehingga menyebabkan nilai tukar uang jatuh, naiknya harga kebutuhan pokok serta pengangguran. Kedua, terjadi akibat persaingan pasar wisata di beberapa negara berkembang, seperti Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, dan juga Kamboja (Metrotvnews.com).

Berdasarkan data kunjungan wisatawan tersebut, dapat dilihat juga bahwa wisatawan yang datang ke Karangasem hingga tahun terakhir didominasi oleh wisatawan mancanegara. Pada tahun 2016 kunjungannya mencapai lebih dari 67 persen dari keseluruhan wisatawan. Jumlah ini meningkat sebesar 8,22 persen dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan wisatawan nusantara, walaupun tidak sebesar wisatawan mancanegara persentase pertumbuhannya meningkat sebesar 19,56 persen. Perbedaan jumlah kunjungan tersebut dipengaruhi oleh perbedaan motivasi wisatawan yang berkunjung ke Kabupaten Karangasem. Selain itu, potensi-potensi wisata yang dimiliki oleh Kabupaten Karangasem sendiri memang lebih digemari oleh wisatawan mancanegara dibanding wisatawan nusantara. Mayoritas dari mereka adalah wisatawan yang memang menggemari aktivitas budaya dan alam khusunya wisata adventure.

Pertumbuhan kunjungan wisatawan yang signifikan, secara langsung mempengaruhi pertumbuhan usaha akomodasi yang ada di Kabupaten Karangasem. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistika Kabupaten Karangasem, jumlah usaha akomodasi di Kabupaten Karangasem mengalami fluktuasi namun untuk jumlah kamarnya selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tercatat tahun 2015 merupakan angka pertumbuhan kamar yang paling tinggi. Dimana pada tahun tersebut terdapat 8 hotel berbintang, 203 hotel non bintang, dengan total kamar yaitu sebanyak 2594 kamar yang tersebar di seluruh wilayah Karangasem. Berikut merupakan grafik pertumbuhan akomodasi di Kabupaten Karangasem.

Grafik 1 Jumlah Usaha Akomodasi dan Kamar di Kabupaten Karangasem Tahun 2011-2015

— Jumlah Kamar ■ Hotel Non Bintang ■ Hotel Berbintang

Sumber : BPS Kabupaten Karangasem 2017

Pertumbuhan yang cepat pada sektor industri pariwisata di Kabupaten Karangasem, memberikan dampak yang besar pada seluruh aspek kehidupan masyarakat daerah terutama yaitu pada sektor ekonomi. Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh BPS Kabupaten Karangasem, selama tahun 2016 perekonomian Karangasem mampu tumbuh sebesar 5,92 persen. Pariwisata merupakan sektor terbesar ketiga yang memberikan konstribusi pada pendapatan daerah yaitu sebesar 10,83 persen selain 19 sektor lainnya. Sektor pariwisata yang dimaksud yaitu bersumber dari penyediaan akomodasi, makanan dan minuman.

Salah satu kawasan pariwisata di Karangasem sebagai penyumbang pendapatan asli daerah melalui sektor pariwisatanya, yaitu Kawasan Amed (Disparda Kab. Karangasem, 2017). Kawasan Amed merupakan satu dari 88 kawasan yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional. Penetapan kawasan Amed sebagai KSPN tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 yaitu tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025. Kemudian didukung dengan Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem Nomor 17 Tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah Kabupaten Karangasem Tahun 2012-2032 dan juga pada Peraturan Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali yaitu pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009.

Kawasan Amed sendiri merupakan kawasan wisata bahari dan menjadi primadona terutama bagi wisatawan mancanegara. Tingginya animo kunjungan wisatawan dalam melakukan kegiatan bahari, menyebabkan Kawasan Pariwisata Amed kini mengalami perkembangan yang pesat, termasuk pada peningkatan usaha akomodasi pariwisatanya. Peningkatan jumlah kunjungan secara langsung memberikan peluang bagi para pebisnis untuk membuka usaha terutama di bidang properti (usaha akomodasi). Berikut merupakan gambaran peningkatan jumlah akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed:

Tabel 2. Jumlah Akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed

Tahun

Jumlah Akomodasi

Pertumbuhan %

2015

159

-

2016- Juli 2017

164

3,05

September 2017

189

13,23

Sumber : Polsek Abang, 2017

Berdasarkan tabel 2 di atas, jumlah akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2016 hingga Juli 2017 tercatat pertumbuhannya mencapai 3,05 persen. Pertumbuhannya terus meningkat yaitu mencapai 13,23 persen hingga September 2017, kondisi tersebut tidak lain karena semakin ramainya kunjungan wisatawan ke Amed yang secarang langsung berdampak pada peningkatan permintaan kamar.

Keberadaan akomodasi-akomodasi tersebut tidak saja memberikan dampak positif namun juga secara langsung mulai berdampak negatif. Dampak negatif yang terjadi merupakan masalah yang selama ini cenderung dibiarkan begitu saja dan bahkan ada yang belum mendapatkan penanganan dari pihak-pihak terkait. Jika kondisi tersebut dibiarkan begitu lama hal tersebut akan mengganggu jalannya pariwisata di Kawasan Amed.

Berdasarkan studi awal, beberapa perubahan yang terjadi di Kawasan Pariwisata Amed yaitu: a) Pertama dari aspek lingkungan, peningkatan jumlah akomodasi yang signifikan dalam rentang waktu yang cukup singkat berdampak pada peningkatan jumlah volume sampah dan juga limbah-limbah cair dari tiap akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed yang belum ditangani secara maksimal. b) Kedua dari aspek sosial-budaya, peningkatan usaha akomodasi di kawasan tersebut mulai mengakibatkan terjadinya transformasi tatanan hidup masyarakat. Dahulu, sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani (petani garam) dan nelayan. Namun, seiring berkembangnya usaha akomodasi disekitar Pantai Amed, pekerjaan penduduk mulai beralih ke sektor tersebut. Bahkan untuk saat ini, pekerjaan bertani seperti demikian hanya mau dilakukan oleh beberapa orang tua saja, tidak ada generasi penerusnya. Hal tersebut artinya, jika dibiarkan maka beberapa tahun kedepan “pertanian garam Amed” kemungkinan akan mati. Padahal pertanian garam Amed merupakan salah satu produk nusantara yang mendapatkan sertifikasi Indikasi Geografis, artinya mendapat perlindungan sebagai produk khas daerah. c) Ketiga yaitu dari aspek ekonomi, walaupun masyarakat mengalami peningkatan taraf hidup, namun dengan terjadinya transformasi tatanan hidup mengakibatkan masyarakat setempat mulai berada dalam dilema waktu. Mereka terbentur untuk membagi waktu dengan keluarga, menyama braya dan bekerja.

Sehubungan dengan beberapa perubahan-perubahan yang ditemukan ketika studi awal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lebih dalam mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan dari adanya usaha akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat setempat. Mengingat Amed saat ini merupakan salah satu kawasan pariwisata andalan Kabupaten Karangasem yang sedang berkembang pesat dan juga merupakan salah satu KSPN Indonesia yang ramai dikunjungi oleh wisatawan terutama wisatawan mancanegara. Sehingga hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat menjadi masukkan untuk perbaikan ataupun pengembangan Kawasan Pariwisata Amed selanjutnya.

Beberapa penelitian terdahulu terkait dengan dampak antara lain: Rujukan pertama yaitu penelitian oleh Kuriniawa (2015) dengan judul “Dampak Sosial Ekonomi Pembangunan Pariwisata Umbul Sidomukti Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang”. Teknik analisis yang digunakan adalah uji validasi, realibitas dan deskriptif porsentase. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

menunjukkan peluang usaha di sekitar Objek Pariwisata Umbul Sidomukti termasuk dalam kategori tinggi. Warga sekitar memanfaatkan momen ini untuk berdagang, jasa tour leader hingga menjadi karyawan Objek Pariwisata Umbul Sidomukti. Peningkatan pengunjung pasca renovasi Objek Pariwisata Umbul Sidomukti benar-benar mampu meningkatkan pengunjung. Selain berimbas pada meningkatnya pendapatan masyarakat yang bekerja disekitar Umbul Sidomukti, peningkatan pengunjung ini juga berefek positif pada pendapatan daerah Kabupaten Jawa Tengah di sektor pariwisata. Rata-rata pendapatan penjual disekitar Umbul Sidomukti mencapai 200%. Pembangunan Umbul Sidomukti berhasil menyerap banyak tenaga kerja mengingat banyak. Rujukan kedua yaitu penelitian oleh Martina (2014) yang berjudul “Dampak Pengelolaan Taman Wisata Alam Kawah Putih Terhadap Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat”. Penelitian tersebut menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa kegiatan pariwisata di Taman Wisata Kawah Putih berpengaruh positif dilihat dari segi ekonomi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat setempat, sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan dalam segi sosial adalah masalah lunturnya nilai – nilai norma masyarakat setempat yang cenderung meniru perilaku wisatawan yang berkunjung dari luar daerah bahkan dari luar negeri

Penelitian oleh Sakawati (2015) dengan judul “Dampak Perkembangan City Hotel Terhadap Usaha Hotel Melati di Kota Denpasar”. Dalam penelitian ini digunakan tiga teori sebagai tuntunan dalam memecahkan permasalahan, selain itu juga digunakan sebagai kerangka acuan untuk mengarahkan penelitian. Landasan teori yang digunakan adalah teori penawaran dan permintaan, teori dampak pariwisata, dan teori kebijakan kepariwisataan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa perkembangan city hotel memberikan dampak positif dan negatif pada usaha hotel melati di Denpasar. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang dilakukan dalam penelitian tersebut, maka diberikan saran yaitu perlunya menyusun sebuah kajian tentang kebutuhan kamar hotel yang dibutuhkan di Kota Denpasar, serta penyusunan beberapa kebijakan mengenai sarana akomodasi. Rujukan keempat yaitu penelitian oleh Paramitasari (2010) dengan judul “Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan Masyarakat Lokal, Studi Kasus: Kawasan Wisata Dieng Kabupaten Wonosobo. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian diskriptif. Penelitian ini menggunakan indikator yang meliputi aspek fisik, sosial budaya, dan ekonomi. Hasil dari penelitian ini yaitu bahwa pengembangan pariwisata Desa Dieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo ternyata memberikan dampak positif dan negatif terhadap masyarakat lokal baik dari aspek fisik, sosial, budaya, dan ekonomi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar dampak yang terjadi merupakan dampak positif sehingga dapat menjadikan kehidupan masyarakat setempat menjadi lebih baik.

  • 2.    METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, studi pustaka dan dokumentasi. Penentuan informan pada penelitian ini yaitu menggunakan purposive sampling. Kemudian teknik analisa data yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif mengikuti konsep dari Miles dan Huberman (data reduction, data display, consclusions drawing/varivication).

  • 3.    HASIL DAN PEMBAHASAN

Kawasan Pariwisata Amed merupakan kawasan pariwisata yang berada di ujung timur Pulau Bali, berhadapan dengan perairan Selat Lombok dan Laut Bali. Secara administratif, Kawasan Pariwisata Amed termasuk wilayah Desa Purwakerti, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali. Desa Purwakerti memiliki luas yaitu 449 ha dengan kepadatan penduduknya yaitu mencapai 1.491 jiwa/km2. Jumlah total penduduk desa ini yaitu mencapai 6694 jiwa yang terbagi atas 3370 jiwa laki-laki dan 3324 jiwa perempuan, dengan total 1761 kepala keluarga.

Amed merupakan salah satu kawasan pariwisata nasional yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Provinsi Bali. Berdasarkan RTRW Provinsi Bali dan RTRW Kabupaten Karangasem, Amed merupakan bagian dari Kawasan Strategis Pariwisata Tulamben. Kawasannya yaitu membentang dari ujung Dusun Amed hingga Dusun Jemeluk. Posisi geografis Amed yaitu berada diantara 8°20'6,73"S dan 115°38'55,89"T dan Jemeluk yaitu diantara 8°20'19,58"S dan 115°39'36,61"T. Iklim untuk wilayah tersebut yaitu iklim tropis dengan suhu rata-rata 28,250 C dan curah hujan yaitu rata-rata 98,19 mili meter per tahun.

Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Amed (KSPN Amed)

Berdasarkan PP RI No. 50 Tahun 2011, ditetapkan bahwa Indonesia memiliki 50 Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) yang tersebar di 33 provinsi dan 88 titik Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Salah satu diantaranya yaitu Kawasan Amed, KSPN ini menempati urutan ke-80 dengan nama KSPN Tulamben-Amed dan sekitarnya. Kawasan ini yaitu membentang dari pesisir Tulamben hingga Amed dengan potensi utama yaitu wisata bahari. Oleh karenanya pengembangan Kawasan Pariwisata Amed masuk kedalam pengembangan pariwisata Tulamben, karena wilayahnya sendiri merupakan satu kesatuan sebagai KSPN.

Penetapan kawasan Amed sebagai KSPN tercantum dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 yaitu tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025. Kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem Nomor 17 Tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah Kabupaten Karangasem Tahun 2012-2032 dan juga pada Peraturan Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali yaitu pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009. Untuk lebih jelasnya, berikut gambar 1 yang merupakan peta wilayah KSPN Tulamben -Amed dan sekitarnya.

Gambar 1. Peta Wilayah KSPN Tulamben-Amed dan Sekitarnya

Sumber : Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 50 Tahun 2011

Kajian Dampak Keberadaan Usaha Akomodasi Pariwisata

Kemajuan yang signifikan pada Kawasan Pariwisata Amed, salah satunya dapat dilihat dari pesatnya pembangunan sarana prasarana penunjang pariwisata seperti beragamnya pilihan penginapan atau akomodasi. Akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed dari tahun ketahun selalu mengalami peningkatan baik secara kuantitas maupun kualitas. Jenis akomodasi yang banyak tersedia merupakan jenis homestay, namun ada juga beberapa jenis lainnya Berikut merupakan jumlah usaha jasa akomodasi atau penginapan yang ada di Kawasan Pariwisata Amed.

Tabel 3. Jumlah Usaha Jasa Penginapan di Kawasan Pariwisata Amed

No

Usaha Jasa Penginapan /Akomodasi

Jumlah

1

Persewaan kamar

20

2

Kontrakan rumah

10

3

Hotel

5

4

Home stay

150

5

Villa

4

Jumlah                                  189

Sumber : Profil Desa Purwa Kerthi, 2017

Tabel 3 di atas menjelaskan bahwa terdapat 189 akomodasi dengan beragam tipe beroperasi di Kawasan Pariwisata Amed. Akomodasi-akomodasi tersebut tersebar di disepanjang pantai Amed hingga Jemeluk dan sekitarnya. Pertumbuhannya yang begitu pesat memberikan berbagai dampak terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat. Dari hasil penelitian lapangan, berikut merupakan dampak-dampak yang dirasakan masyarakat Amed dengan adanya usaha akomodasi ditinjau dari aspek lingkungan, sosial budaya dan ekonomi masyarakat.

Aspek Lingkungan

Berdasarkan dari hasil penelitian di lapangan, berikut merupakan dampak keberadaan usaha akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed terhadap lingkungan.

  • 1.    Dampak dari penggunaan fasilitas dan pengoperasian akomodasi

  • a.    Ekosistem atau lingkungan alam sekitar

Kawasan Amed dahulunya merupakan kawasan kering, banyak lahan-lahan yang terkesan kurang terurus, dipenuhi semak belukar, serta bangunan-bangunannya pun masih sederhana. Dulunya kebanyakan lahan-lahan akomodasi tersebut difungsikan sebagai lahan tegalan atau pertanian garam terutama yang posisinya dekat dengan pantai. Namun semenjak sektor akomodasi berkembang seperti saat ini Kawasan Amed berkembang menjadi lebih ramai, lebih tertata dengan bentuk-bentuk bangunan yang lebih modern dan rapi, serta lebih hijau dengan taman-taman yang terawat. Menurut salah seorang informan kunci yang sekaligus pemilik salah satu Homestay di Amed dalam wawancaranya menjelaskan:

“Menjaga areal penginapan agar tetap bersih, indah dan nyaman sudah merupakan salah satu strategi marketing untuk kepuasan tamu yang menginap disini, sehingga harapannya para tamu-tamu tersebut puas dan bisa datang kembali” (W. M, wawancara 13 September 2017).

Berdasarkan kutipan wawancara di atas, menata lingkungan sesuai dengan standar kebersihan dan kenyamanan wisatawan merupakan bagian dari produk yang akan mereka jual ke wisatawan. Sehingga hal tersebut merupakan satu kesatuan yang harus dipenuhi sebagai penyedia jasa akomodasi yaitu demi kepuasan dan kenyamanan wisatawan yang menginap.

Hal serupa juga disampaikan oleh seorang informan pangkal ketika diwawancarai, bahwa peningkatan jumlah hotel di Kawasan Pariwisata Amed sejauh ini dapat memberikan dampak positif terhadap keindahan lingkungan sekitar. Seperti yang diketahui, bahwa sebelumnya wilayah Amed dan sekitarnya merupakan daerah kering yang masih mengandalkan air hujan sebagai pengairan, tanaman yang bisa hidup hanya jenis-jenis tertentu. Namun sebaliknya, berkembangnya akomodasi yang sedemikian pesat di Kawasan Pariwisata Amed membawa atmosfer baru, seperti tersedianya lahan hijau yang terawat di tiap-tiap penginapan atau akomodasi serta suasana lingkungan yang indah dan tertata (N.K, wawancara 12 September 2017).

  • b.    Tekanan terhadap lingkungan

Tekanan lingkungan yang terjadi tidak lain merupakan efek dari peningkatan pemakaian kamar oleh wisatawan, beberapa diantaranya seperti (a) masalah peningkatan limbah dan pembuangan limbah yang masih sembarangan sehingga berdampak pada lingkungan sekitar akomodasi, (b) peningkatan volume kendaraan sehingga berdampak pada polusi dan kemacetan, serta (c) alih fungsi lahan untuk pembangunan akomodasi.

Hasil wawancara dengan beberapa informan kunci menunjukkan bahwa lingkungan Amed mulai mengalami tekanan, namun dampak tekanan yang dirasakan secara langsung masih dalam intensitas kecil yaitu masih bisa diterima dan dapat dipulihkan kembali oleh alam. Walaupun dampak tekanan yang ditimbulkan dirasa belum signifikan, namun jika dibiarkan lambat laun hal tersebut akan mengganggu. Kecilnya dampak tekanan yang dirasakan oleh masyarakat dipengaruhi juga oleh jenis akomodasi yang ada di Kawasan Pariwisata Amed mayoritas merupakan jenis akomodasi nonhotel, dimana kapasitasnya masih kecil dan bisa dikelola secara sederhana.

Tidak dipungkiri semakin meningkatnya pembangunan usaha akomodasi di Kawasan Amed, perlahan mempengaruhi sumber daya alam dan lingkungan disekelilingnya. Suatu akomodasi ketika

beroperasi memerlukan beragam sumber daya untuk keberlangsungannya, sehingga tekanan yang diberikan pun beragam baik terhadap lingkungan tanah, air maupun udara kedepannya. Apalagi Kawasan Amed yang hingga saat ini sebagian masyarakatnya masih memanfaatkan sumur, sehingga jika limbah-limbah tersebut tidak terkelola dengan baik, tentu akan memberikan dampak negatif untuk kedepannya.

  • c.    Alih fungsi lahan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dijelaskan bahwa sektor akomodasi dikembangkan sebagai sektor yang menjanjikan untuk perekonomian masyarakat Amed dan daerah. Tempat-tempat strategis bahkan hingga pelosok-plosok Amed kini mulai diincar dan dijadikan sebagai lahan untuk akomodasi pariwisata, tidak saja oleh para pebisnis lokal namun orang asingpun juga ikut. Ramainya wisatawan adalah pemicu semakin banyaknya terjadi alih fungsi lahan di Kawasan Pariwisata Amed.

Kunjungan wisatawan yang semakin ramai, secara langsung berdampak pada peningkatan keperluan akan akomodasi pariwisata di Kawasan Amed. Peningkatan keperluan akan akomodasi menyebabkan para pebisnis termasuk masyarakat lokal semakin ramai berinvestasi pada bidang properti, sehingga secara langsung berimbas pada peningkatan jual beli properti dikawasan tersebut. Menurut seorang informan pangkal ketika diwawancarai menyampaikan.

“Penginapan disini cukup banyak dan tiap tahunnya selalu mengalami peningkatan jumlah. Tahun ini jumlahnya ada sekitar 180-an bahkan mungkin lebih, kebanyakan ada disepanjang pantai Amed-Jemeluk. Dulunya disana adalah tempat pembuatan garam tapi sekarang sudah berubah salah satunya jadi penginapan. Tempat pembuatan garam masih ada tapi sekarang tinggal sedikit” (N.K, wawancara 12 September 2017).

Berdasarkan dari kutipan wawancara di atas, dapat diartikan bahwa perkembangan usaha akomodasi sangat pesat. Kebanyakan tanah yang dialih fungsikan yaitu yang berada disekitaran garis pantai Amed hingga Jemeluk. Tanah-tanah pesisir pantai tersebut dahulunya digunakan sebagai tempat pembuatan garam tradisional serta beberapa merupakan tanah tegalan. Namun karena perkembangan pariwisata yang begitu signifikan, serta tuntutan kebutuhan hidup yang semakin tinggi membuat penduduk setempat menjual tanahnya atau mengalih fungsikan lahannya sebagai akomodasi pariwisata. Sedikitnya lahan pembuatan garam saat ini juga disampaikan oleh seorang informan kunci ketika diwawancarai.

“Dulunya sepanjang kawasan pesisir ini (Amed-Jemeluk) berfungsi sebagai tempat pembuatan garam tradisional, namun saat ini sudah banyak yang dijual yang masih tersisa sangat sedikit sekali. Kebanyakan dimanfaatkan sebagai penginapan” (N.P, wawancara 12 September 2017).

Berdasarkan hasil studi pustaka, pada tahun 2016 tercatat luas lahan pertanian garam sebelumnya mencapai dua hektar, namun saat ini luas yang tersisa yaitu kurang dari 1,2 hektar dengan jumlah petani garam yaitu ± 20 KK (www.diskominfo.karangasemkab.go.id/index.php/baca-berita/17). Selain hal tersebut, ditemukan pula bahwa beberapa bangunan penginapan yang ada di kawasan pesisir cenderung tidak menghiraukan keselamatan misalnya yaitu pendirian bangunan pada garis sempadan pantai. Pada Peraturan Bupati Karangasem Nomor 30 Tahun 2016 tentang Penetapan Batas Sempadan Pantai, dijelaskan bahwa batas sempadan pantai yang berlaku yaitu berjarak 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Terkait dengan pembangunan fasilitas akomodasi pariwisata yang diijinkan pada kawasan tersebut maksimal yaitu 40% dengan struktur bangunan yang wajib menerapkan pedoman bangunan bencana. Penetapan zonasi ini memiliki tujuan untuk a) perlindungan terhadap gempa atau tsunami, b) perlindungan pantai dari erosi atau abrasi, c) perlindungan sumber daya buatan di pesisir dari badai, banjir rob, dan bencana alam lainnya, d) perlindungan terhadap ekosistem pesisir, e) pengaturan ekses akses publik, f) pengaturan untuk infrastruktur dan g) perlindungan kesucian pantai dan laut.

Namun mesti demikian, hasil penelitian menunjukkan bahwa masih ada bangunan akomodasi yang melanggar peraturan tersebut. Kondisi demikian tentu sangat mengkhawatirkan terkait dengan kemungkinan bahaya yang mungkin terjadi dan juga secara langsung maupun tidak langsung dapat mengganggu ekosistem alam. Hasil wawancara dengan para informan kunci menunjukkan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut didasari atas beberapa kondisi atau alasan (Hasil wawancara 12 September 2017), yakni : a) Tidak ada tanda ataupun pembatas yang permanen disepanjang bibir

pantai yang dapat digunakan sebagai tanda untuk memudahkan masyarakat Amed mengukur jarak larangan. b) Susahnya mengurus IMB (Izin Mendirikan Bangunan), karena dianggap terlalu memakan waktu. c) Kebanyakan masyarakat setempat mendirikan bangunan terlebih dahulu baru mengurus izin bangunan, sehingga ketika terjadi pelanggaran sulit untuk ditertibkan. d) Pemerintah belum dapat memberikan solusi bagi mereka yang hanya memiliki tanah di daerah terlarang. Mengingat besarnya keuntungan usaha, serta tuntutan kebutuhan hidup yang semakin tinggi membuat masyarakat yang ingin membuka bisnis mengabaikan peraturan yang berlaku. e) Bangunan-bangunan tersebut ada sebelum peraturan yang dimaksud berlaku, sehingga saat ini masuk katagori melanggar sempadan pantai atau RTRW Daerah. f) Kurang tegasnya pihak-pihak terkait dalam menindak para pelanggar-pelanggar tersebut.

Menurut salah seorang informan kunci ketika diwawancarai menjelaskan bahwa, pelanggaran bangunan yang terjadi di Kawasan Pariwisata Amed, selama ini sudah ditindak lanjuti oleh pihak-pihak terkait. Pemberian sanksi sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku pun sudah diberikan, namun masih ada yang nekat melanggar (K.S, wawancara 04 November 2017). d. Pencemaran limbah cair

Dampak limbah cair akibat keberadaan akomodasi Kawasan Pariwisata Amed masih tergolong kecil. Hal tersebut terkait dengan jenis akomodasi yang ada kebanyakan merupakan jenis non-hotel dimana kapasitas penginapannya masih kecil dan dapat dikelola secara sederhana. Berdasarkan hasil penelitian, akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed memanfaatkan spic tank untuk menampung limbah-limbahnya, namun ditemukan juga beberapa industri akomodasi nakal yang berlokasi di sekitaran jalan utama menuju Pantai Amed, yang membuang limbah cairnya secara sembarangan. Limbah yang dibuang merupakan limbah sabun hasil cucian, walaupun masih dalam jumlah kecil akan tetapi tetap menyebabkan kerusakan lingkungan tingkat rendah terutama organisme kecil yang hidup di air dan tanah sekitaran.

Terkait dengan pembuangan limbah yang terjadi di Kawasan Pariwisata Amed, pihak-pihak terkait secara perlahan sudah menindak para pelanggar dengan pemberian sanksi berupa teguran langsung dan juga pengecekan secara berkala bagi akomodasi yang sudah memiliki izin. Namun belum bisa mengena keseluruh industri, masih saja ada pihak-pihak yang nakal. Menurut salah seorang informan kunci dalam wawancaranya menjelaskan secara terperinci, bahwa sistem pengelolaan limbah untuk akomodasi jenis non-hotel seperti yang ada di wilayah Amed yang kapasitsnya kecil dapat menggunakan sistem pengelolaan limbah sederhana yaitu dengan membuatkan septic tank (GL.S, wawancara 20 September 2017).

Pembuatan septic tank di Kawasan Pariwisata Amed sangat penting, apalagi wilayah Amed dan sekitarnya mayoritas masih memanfaatkan air sumur. Sehingga bahaya sekali jika air limbah dibuang sembarangan, hal tersebut akan menyebabkan air di sekitar rumah dan tanah menjadi tercemar. Limbah cair untuk jenis akomodasi kecil atau setara dengan rumah tangga terbagi menjadi tiga yaitu, grey water yaitu limbah cair yang bukan berasal dari kotoran manusia, black water yaitu limbah yang berasal dari kotoran manusia, dan clear water yaitu limbah hasil tetesan AC maupun kulkas masih tergolong bersih. Setiap limbah tersebut memerlukan cara pengolahan yang berbeda-beda, yang selama ini ditemukan dilapangan terbuang secara sembarangan yaitu limbah cair jenis grey water.

Limbah jenis grey water merupakan limbah cair yang harus diberlakukan berbeda dengan limbah yang berasal dari kotoran manusia. Sehingga limbah ini tidak bisa di buang di septic tank atau jadi satu dengan limbah black water. Kandungan sabun yang ada di limbah ini dapat membunuh mikroorganisme atau bakteri pengurai limbah kotoran manusia. Oleh karena itu, sering kali limbah grey water dibiarkan dialirkan secara sembarang ke selokan atau got yang pada akhirnya bermuara ke sungai atau laut di Amed.

  • e. Peningkatan volume sampah

Meningkatnya jumlah akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed berpengaruh pada peningkatan produksi sampah. Seorang informan pangkal ketika diwawancarai menyampaiakan bahwa “produksi sampah diwilayahnya sudah mulai meningkat. Sebelumnya sampah diwilayah Amed dan sekitarnya diangkut setiap dua hari sekali dengan truk isian 5 m3 namun sekarang sampah-sampah tersebut harus diangkut setiap hari dengan kondisi sampah yang melebihi dari sebelumnya (N.K, wawancara 12 September 2017)”.

Sampah-sampah tersebut bersumber dari berbagai jenis industri pariwisata yang ada di Kawasan Pariwisata Amed salah satunya yaitu dari usaha akomodasi. Pengangkutan sampah-sampah tersebut dilakukan setiap hari kemudian dibawa ke TPA Linggasana. Untuk penggunaan jasa pengangkutan sampah dikenakan biaya sebersar 5.000/hari hingga 10.000/hari, tergantung banyaknya volume sampah yang dihasilkan oleh masing-masing industri. Sehingga sampai saat ini, terkait dengan sampah, industri akomodasi di kawasan tersebut belum ada kendala. Hal ini disampaikan oleh seorang informan kunci saat diwawancarai.

“Untuk sampah padat, kami tidak ada kendala. Oleh pemerintah desa, semua sampah-sampah tersebut diangkut dibawa ke TPA Linggasana (K.S, wawancara 04 November 2017)”.

Selama ini untuk menangani sampah-sampah tersebut pihak industri akomodasi bekerjasama dengan pemerintah desa. Hal tersebut dikarenakan tiap akomodasi di kawasan tersebut hingga kini belum bisa mengolah sampah yang dihasilkan secara mandiri, terkait dengan keterbatasan SDM serta teknologi. Minimnya kesadaran juga merupakan salah satu faktor penghambat, misalnya yaitu kurangnya kesadaran mereka untuk membuang sampah pada tempatnya dan memisahkan sampah yang mereka hasilkan sesuai dengan jenisnya.

Aspek Sosial Budaya

Amed sebagai salah satu daerah tujuan pariwisata, yang kini akomodasinya semakin ramai harus siap dengan segala kemungkinan perubahan sosial budaya yang akan terjadi. Hasil wawancara dengan beberapa masyarakat di Kawasan Pariwisata Amed, menyatakan bahwa perubahan sosial-budaya yang mereka rasakan belum signifikan, namun pelan-pelan mereka sudah mengalami perubahan. Hal serupa juga disampaikan oleh seorang informan kunci ketika diwawancarai.

“Perubahan sosial budaya tentu ada tapi tidak signifikan. Perubahannya yang terjadi masih dapat diterima dalam arti tidak merugikan pihak lain. Malah cenderung ke arah yang positif selama ini (K.S, wawancara 04 November 2017)”.

Berdasarkan kutipan wawancara di atas, perubahan sosial budaya masyarakat Amed masih tergolong kecil, perubahan yang terjadi masih dapat diterima dalam lingkungan masyarakat Amed. Hal tersebut dilatar belakangi oleh berbagai alasan, salah satunya yaitu budaya lokal yang masih terjaga. Salah seorang informan kunci, ketika diwawancarai menanggapi bahwa “perubahan yang belum signifikan dipengaruhi oleh lokasi Amed yang masih cenderung pedesaan dimana kearifan lokalnya masih terjaga hingga sekarang, dan juga sifat penduduk yang masih cenderung homogen (N.S, wawancara 15 September 2017)”.

Berikut merupakan dampak sosial budaya yang dirasakan oleh masyarakat Amed dan sekitarnya dengan adanya usaha akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed yaitu:

  • 1.    Transformasi struktur mata pencaharian

  • a.    Perubahan pekerjaan atau sumber mata pencaharian masyarakat lokal

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber mata pencaharian masyarakat di Kawasan Pariwisata Amed mulai beralih, salah satunya yaitu keindustri akomodasi pariwisata. Sehingga hal tersebut berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat di Kawasan Pariwisata Amed. Seorang informan pangkal menyampaikan bahwa “sebelumnya mayoritas masyarakat di Kawasan Pariwisata Amed bekerja sebagai petani dan nelayan, namun semenjak industri akomodasi berkembang pesat, sumber mata pencaharian mereka mulai beralih ke sektor industri akomodasi (N.K, wawancara 12 September 2017)”. Hal serupa juga dijelaskan oleh seorang informan kunci, bahwa “sekitar 70 % kepemilikan akomodasi dikawasan tersebut yaitu merupakan milik penduduk lokal (K.S, wawancara 04 November 2017)”.

Kondisi perubahan sumber mata pencarian masyarakat lokal selama ini, didasari atas beberapa hal. Berdasarkan hasil penelitian lapangan di Kawasan Pariwisata Amed, perkembangan tersebut didasari atas: a) Perkembangan sektor industri pariwisata termasuk industri akomodasi didalamnya yang begitu pesat di Kawasan Pariwisata Amed. b) Semakin banyaknya usia kerja, dan tidak dipungkiri perkembangan industri akomodasi di kawasan ini mampu membuka peluang kerja serta merangkul para generasi muda setempat. c) Penghasilan pada sektor sebelumnya dianggap masih kurang bahkan tidak menutupi kebutuhan hidup mereka. Ditambah lagi pekerjaan pada sektor

sebelumnya memberikan penghasilan yang tidak tetap atau musiman. Sehingga saat ini, pekerjaan sebagai petani ataupun nelayan hanya digeluti oleh beberapa masyarakat usia tua saja.

Pada sektor akomodasi, masyarakat Amed umumnya mengambil pekerjaan yang beragam. Mayoritas dari mereka menempati posisi yang tidak memerlukan keahlian khusus seperti tukang kebun, cleaning service, house keeping, tukang cuci, butler dan sejenisnya. Namun ada pula yang menempati posisi-posisi penting, tergantung pada pengalaman serta pendidikan yang dimiliki. Selain sebagai pekerjaan tetap, beberapa masyarakat juga menjadikannya sebagai pekerjaan sampingan terutama ketika musim high season. Banyak masyarakat dari segala rentangan umur, bekerja di sektor industri pariwisata sembari menunggu waktu panen atau kegiatan lainnya tiba. Pekerjaan tersebut menjadi sangat penting bagi mereka para nelayan ketika hasil lautnya sedang sepi atau tidak ada ikan. Begitu juga ketika hasil pertanian atau hasil buruh tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari, mereka mengambil pekerjaan sampingan tersebut hitung-hitung untuk menambah pemasukan keluarga.

  • b.    Perubahan etos kerja masyarakat

Berdasarkan hasil penelitian menjelaskan bahwa ketika masih pada era dimana sebagian besar masyarakat berstatus petani, atau nelayan etos kerja masyarakat terlihat lamban dan cenderung santai. Hal ini karena aktivitas tersebut tidak bisa dipercepat, semua memakai hitungan masa atau periode. Banyaknya waktu luang inilah yang membuat masyarakat pada saat itu, selalu mempunyai waktu untuk melakukan aktivitas-aktivitas berkesenian dan melestarikan budaya.

Namun dengan adanya perubahan sumber mata pencaharian masyarakat ke sektor akomodasi salah satunya, etos kerja yang demikian sudah mulai bergeser menjadi sibuk, seperti slogan yang lumrah didengar “time is money”. Selain didasari hal tersebut, juga karena terjadinya peningkatan jumlah angkatan kerja sehingga mengakibatkan muncul kompetisi yang sedikit ketat. Ramainya wisatawan yang menginap membuat para pekerja pada sektor akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed untuk berpikir berulang kali mencari waktu libur, karena umumnya jadwal kerja mereka sudah terjadwal termasuk waktu liburnya. Sehingga seringkali kegiatan menyame-beraya yang menjadi sasarannya, bahkan tidak jarang mereka membayar denda karena tidak bisa menghadiri pertemuan adat (tedun). Perubahan etos kerja pada masyarakat setempat juga disampaikan oleh seorang informan pangkal dalam wawancaranya:

“Saat ini perubahaan etos kerja sudah mulai terasa tapi intensitas dampaknya masih kecil. Ideologi time is money ada tapi untuk sebagian kecil orang saja, namun tidak jarang juga sedikit susah untuk cari libur (wawancara 12 September 2017)”.

Hal serupa juga disampaikan oleh seorang informan kunci yang merupakan penduduk Amed ketika diwawancarai.

“Sudah mulai terasa ya, waktu libur tidak selonggar yang dulu. Karena tanggung jawab atas pekerjaan dan juga tuntutan biaya hidup, takut kehilangan pekerjaan (N.Pt, wawancara 04 November 2017)”.

Berdasarkan wawancara dengan beberapa pekerja akomodasi yang merupakan masyarakat Amed, menyatakan bahwa sebagai pekerja mereka memiliki jadwal kerja yang sudah tersusun, sehingga kegiatan-kegiatan penting baik terkait dengan adat, budaya dan lainnya jika memungkinkan diselesaikan pada waktu libur. Hal tersebut, dianggap sebagai salah satu bentuk dari tanggung jawab terhadap pekerjaan yang digeluti atas hak yang akan mereka terima nantinya. Jikapun ada acara yang sifatnya dadakan ketika hari kerja, sebagai pekerja mereka berkewajiban mencari pengganti atau bertukar jaga dengan teman kerja agar akomodasi tersebut tidak sampai tutup. Karena umumnya akomodasi di kawasan tersebut mayoritas merupakan akomodasi non-hotel yang masih dikelola secara sederhana dengan dua sampai tiga orang pekerja. Sehingga menyebabkan etos kerja mereka harus bisa mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi c. Peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia)

Berdasarkan reduksi hasil penelitian, menjelaskan bahwa perkembangan industri akomodasi pariwisata menuntut masyarakat untuk dapat meningkatkan kualitas diri, sehingga mereka dapat bersaing kedepannya. Kodisi tersebut sesungguhnya tidak saja menuntut masyarakat Amed namun juga pemerintah untuk dapat mencetak SDM pariwisata yang profesional, terampil serta siap bekerja.

Salah satunya yaitu dengan mengurangi penduduk yang berpendidikan rendah serta yang tidak bersekolah melalui beasiswa.

Dari hasil penelitian dilapangan dapat dijelaskan bahwa perkembangan akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed sangat berdampak terhadap peningkatan kualitas SDM setempat. Menurut seorang informan kunci dalam wawancaranya menyampaikan :

“Perkembangan industri pariwisata di Kawasan Pariwisata Amed secara langsung dan tidak langsung membuka pemikiran masyarakat menjadi lebih terbuka akan dunia luar. Banyak sekarang anak-anak muda desa bersekolah SMK khusunya yaitu sekolah pariwisata dengan jurusan akomodasi perhotelan salah satunya (K.S, wawancara 04 November 2017)”.

Dari kutipan wawancara di atas dapat dijelaskan bahwa, masyarakat Amed terbuka dengan perkembangan zaman. Adanya peluang serta kesempatan meningkatkan kualitas hidup, menjadikan mereka lebih terpacu untuk meningkatkan kualitas diri termasuk juga meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak mereka, contohnya yakni; (1) Terkhusus untuk anak-anak usia sekolah, oleh orang tuanya kini mereka disekolahkan dari jenjang terkecil (TK) bahkan ada hingga tamat perguruan tinggi. (2) Karena tuntutan profesi, tidak sedikit masyarakat Amed meningkatkan kemampuannya pada bidang tertentu dengan mengikuti kursus atapun belajar secara otodidak terutama para generasi mudanya.

Keberadaan peluang kerja yang modern dan beragam menuntut masyarakat untuk memiliki skill dan profesionalitas tinggi di bidangnya, sehingga hal tersebut secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi keinginan masyarakat Amed untuk meningkatkan kualitas diri demi dapat bertahan dan mampu bersaing. Selain jenis pekerjaan yang lebih modern dan beragam, hal lainnya yaitu berpengaruh pada cara kerja masyarakat Amed kini yang lebih modern, efisien dan efektif yaitu dengan memanfaatkan teknologi modern zaman sekarang. Misalnya yaitu dengan menggunakan peralatan-peralatan modern seperti mesin cuci, vacuum cleaner, dan lain sebagainya yang membuat pekerjaan mereka lebih cepat dari yang sebelumnya dilakukan secara tradisional.

  • 2.    Transformasi tata nilai

  • a.    Penggunaan gaya arsitektur bangunan khas daerah

Gaya arsitektur merupakan salah satu bagian terpenting dari sebuah akomodasi wisata, karena ciri khas dari suatu daerah dapat dilihat dari bentuk serta gaya dari tiap bangunan. Dalam dunia arsitektur dibutuhkan sebuah karakteristik yang menjadikan arsitektur tersebut berbeda dibandingkan arsitektur lainnya. Satu hal yang harus dijadikan pedoman yakni bahwa arsitektur khas Bali sarat akan nilai dan filosofi, sehingga sudah menjadi suatu kewajiban untuk masyarakat termasuk industri akomodasi pariwisata di Kawasan Pariwisata Amed untuk ikut melestarikannya. Bahkan di zaman sekarang, penggunaan arsitektur khas Bali bisa menjadi daya tarik yang bersifat etnik bagi wisatawan agar datang menginap.

Penggunaan arsitektur khas Bali dijelaskan juga dalam peraturan Bupati Karangasem Nomor 30 Tahun 2016 yaitu agar bangunan yang ada termasuk bangunan akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed agar mencerminkan arsitektur tradisional Bali. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan arsitektur khas Bali pada bangunan akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed masih kurang. Kebanyakan dari akomodasi-akomodasi tersebut merupakan penginapan yang menggunakan design arsitektur minimalis modern.

Menurut seorang informan kunci yang merupakan salah satu pemilik homestay di Amed ketika diwawancarai menyampaikan bahwa “biaya untuk membangun bangunan khas Bali sangat mahal (W.M, wawancara 13 September 2013)”. Selain itu, dari hasil wawancara dengan beberapa pemilik akomodasi kebanyakan akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed lebih mengutamakan kenyamanan dan kebersihan sehingga mereka lebih terfokus kepada hal yang berkaitan dengan aspek tersebut. Namun beberapa akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed, design khas Balinya dapat dilihat dari design candi pada pintu masuk rumah (angkul-angkul) dan juga sanggah. Begitu juga akomodasi jenis hotel, mereka menambahkan pernak-pernik khas Bali seperti patung, lukisan dan pernak-pernik lainnya untuk menghiasi bangunan atau ruangannya.

  • b.    Perlindungan kebudayaan lokal masyarakat

Sebagai destinasi yang sedang berkembang, keberadaan akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed memberikan dampak positif terhadap kebudayaan lokal. Mereka yang terlibat di sektor

akomodasi ini, tanpa canggung memperkenalkan budaya Bali kepada wisatawan yang sedang menginap, sehingga dampak yang dirasakan selama ini lebih mengarah pada pelestarian budaya lokal misalnya yaitu: a) Pada beberapa penginapan, mereka secara sengaja memajang produk kerajinan khas Amed dan khas Bali yang tentunya bisa wisatawan beli sebagai souvenir atau oleh-oleh. b) “Mendorong terbentuknya pasraman sanggar tari yang mengajak anak-anak muda untuk trampil membawakan budaya Bali. Anak-anak tersebut setiap minggu diajari menari, mekidung dan kubudayaan lainnya. Salah seorang informan kunci selaku ketua pasraman mengungkapkan bahwa pembentukan pasraman didasari atas hobinya akan seni dan budaya Bali. Sejauh ini pementasan yang anak didiknya ikuti kebanyakan untuk acara yadnya atau ngayah di pura-pura. Namun untuk harapan kedepannya, sanggar tari tersebut dapat ikut terlibat dalam pementasan budaya untuk tujuan pariwisata, seperti pementasan tarian Bali ke hotel-hotel yang ada di wilayah Amed dan sekitarnya. Jika hal tersebut terwujud tentu akan menambah semangat anak-anak muda setempat untuk mencintai, menjaga dan melestarikan budaya yang mereka miliki, ungkapnya (A.R, wawancara 13 September 2017)”. c) Pada beberapa akomodasi, mereka mempunyai program-progam budaya seperti mejejaitan, memasak makanan khas bali dan lain sebagainya sebagai salah satu bentuk guest activities yang wisatawan bisa lakukan ketika mereka menginap di akomodasi tersebut. d) “Dari hasil wawancara dengan salah seorang informan kunci, menyatakan bahwa tidak jarang hotel-hotel di Amed ketika ada acara wedding atau acara lainnya yang memerlukan pementasan budaya mereka mengundang para sekaa gong dan penari bali lokal untuk ikut memeriahkan acara. Selain itu, truna-truni Amed juga paham betul mengenai pentingnya budaya bagi pariwisata Amed, sehingga tiap tahun mereka membuat acara balih-balihan (K.S, wawancara 04 November 2017)”.

Berdasarkan aktifitas-aktifitas tersebut dapat diartikan bahwa ada perkembangan cara yang dilakukan oleh industri akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed yaitu untuk menarik wisatawan agar datang serta juga menahan wisatawan untuk menginap lebih lama. Sehingga kemungkinan mereka untuk menjadi repeater guest semakin tinggi. Kegitan-kegitan ini selain sebagai aktifitas budaya yang ditawarkan oleh tiap akomodasi juga sebagai bentuk pelestarian budaya lokal, yang tentunya dilaksanakan tanpa mengurangi nilai-nilai atau makna yang terkadung didalamnya.

  • 3.    Berdampak pada kehidupan sehari-hari terkait dengan kemacetan lalu lintas

Kemacetan merupakan dampak yang paling mudah diamati. Kemacetan dan kesemrawutan lalu lintas menimbulkan beberapa konflik yaitu antara pejalan kaki dengan pemakai kendaraan bermotor, ketidakmampuan suatu kawasan dalam menampung kendaraan, serta kekurangan lahan parkir. Menurut seorang informan pangkal dalam wawancaranya menyampaikan:

“Lumayan sering terjadi kemacetan, terutama ketika ada perayaan atau upacara yadnya. Penyebabnya karena intensitas kendaraannya meningkat, juga akibat kurangnya lahan parkir sehingga mereka pakir di samping-samping jalan. Jalan sudah sempit, kegiatan pariwisata dengan menggunakan kendaraan meningkat, di tambah kanan kiri sudah banyak bangunan penginapan, dagang dan lainnnya. (N.K, wawancara 12 September 2017)”.

Dari kutipan wawancara tersebut dapat diartikan bahwa secara langsung dan tidak langsung peningkatan usaha akomodasi merupakan salah satu pemicu terjadinya kemacetan lalu lintas di Kawasan Pariwisata Amed. Mulai ramainya bangunan industri akomodasi, yang tidak diimbangi dengan peningkatan infrastruktur jalan dan lahan parkir merupakan beberapa penyebabnya.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dijelaskan bahwa ketika perkembangan sektor ini belum seramai sekarang, kondisi lalu lintas masih berjalan lancar. Artinya kapasitas akses yang ada di Kawasan Pariwisata Amed cukup untuk pada saat itu, namun karena perkembangan pembangunan akomodasi serta perubahan yang pesat seperti yang saat ini terjadi, tidak jarang kondisi tersebut sering menimbulkan kemacetan lalu lintas. Untuk mengatasi masalah kemacetan yang terjadi di Kawasan Pariwisata Amed, selama ini masyarakat bekerjasama dengan pecalang setempat dan juga kepolisian.

Seorang informan kunci, ketika diwawancarai menyampaikan bahwa infrastruktur jalan di Amed masih kurang (N.S, wawancara 15 September 2017), misalnya yaitu: a) Kawasan Amed hanya dihubungkan oleh satu jalur provinsi, tidak ada jalan tikus atau jalan penghubung kecil lainnya. Sehingga ketika terjadi kemacetan susah untuk membuat rekayasa lalulintas. b) Ukuran jalan raya yang sempit yaitu sekitar 4 meter, yang hanya mampu memuat 2 mobil berukuran kecil. Sehingga

ketika ada truk atau kendaraan besar masuk, lalu lintas sering terganggu. c) Mulai padatnya bangunan industri pariwisata salah satunya yaitu akomodasi di sepanjang kanan/kiri jalan, namun tidak disertai dengan penyediaan lahan parkir yang cukup luas. Sehingga ketika mereka parkir di pinggir jalan, otomatis menggunakan bahu jalan. d) Tidak ada lampu penerangan jalan. e) Tidak ada trotoar untuk pejalan kaki. f) Kondisi jalan yang masih berlubang dan ditembel-tembel di beberapa titik.

Sebagai destinasi pariwisata infrastruktur jalan merupakan salah satu faktor penting yang harus segera diperbaiki. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa aksessibilitas pariwisata di wilayah Amed masih kurang. Sehingga ketika beberapa masyarakat, para pelaku bisnis serta stakeholder lainnya diwawancarai, banyak yang mengeluhkan kondisi infrastruktur jalan yang sedemikian rupa.

Aspek Ekonomi

Berdasarkan hasil penelitian lapangan, berikut merupakan dampak-dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat di Kawasan Pariwisata Amed dengan adanya usaha akomodasi.

  • 1.    Peningkatan terhadap pendapatan penduduk

  • a.    Peningkatan penghasilan yang diterima masyarakat

Peningkatan jumlah usaha akomodasi pariwisata di Kawasan Pariwisata Amed, sangat membantu perekonomian masyarakat. Beralihnya sumber mata pencaharian masyarakat di Kawasan Pariwisata Amed secara langsung berdampak terhadap peningkatan penghasilan masyarakat. Kondisi perubahan sumber mata pencarian tersebut didasari atas beberapa hal yakni a) Perkembangan sektor industri pariwisata termasuk industri akomodasi didalamnya yang begitu pesat di Kawasan Pariwisata Amed. b) Semakin banyaknya usia kerja, dan tidak dipungkiri perkembangan industri akomodasi di kawasan ini mampu membuka peluang kerja serta merangkul para generasi muda setempat. c) Penghasilan pada sektor sebelumnya dianggap masih kurang bahkan tidak menutupi kebutuhan hidup mereka. Ditambah lagi pekerjaan pada sektor sebelumnya memberikan penghasilan yang tidak tetap atau musiman. Sehingga saat ini, pekerjaan sebagai petani ataupun nelayan hanya digeluti oleh beberapa masyarakat usia tua saja.

Selain itu, menurut masyarakat setempat, ramainya kunjungan wisatawan memberikan peluang ke mereka untuk dapat berwirausaha yaitu salah satunya dengan mendirikan atau menyediakan akomodasi seperti homestay, villa, hotel dan jenis penginapan lainnya. Keberadaan usaha akomodasi ini secara langsung dapat membantu perekonomian masyarakat sekitarnya juga, tidak saja sebagai sumber penghasilan tetap, tetapi dengan pesatnya pertumbuhan usaha akomodasi dapat membantu memberikan penghasilan sampingan atau tambahan juga kepada mereka yang pekerjaan sebelumnya sebagai nelayan dan petani terutama ketika musih high season yaitu melalui kegiatan guest activity yang ditawarkan tiap akomodasi.

Perbaikan ekonomi akibat dari keberadaan usaha akomodasi diungkapkan juga oleh seorang infoman kunci ketika diwawancarai yang menyampaikan:

“Homestay ini merupakan usaha keluarga, semenjak dibuka untuk wisatawan, kami sekeluarga merasa sangat terbantu terutama perekonomian kami. Ya... lumayanlah untuk memenuhi keperluan dapur dan sehari-hari (W.M, wawancara 19 September 2017).

Berdasarkan kutipan wawancara tersebut dapat diartikan bahwa perekonomian masyarakat sangat terbantu. Namun disisi lain, hasil penelitian menunjukkan bahwa sempat terjadi kesenjangan upah atau gajih yang diterima oleh masyarakat. Pasalnya upah minimun yang diterima para pekerja sebelumnya tidak sama rata, bahkan memiliki selisih jauh dengan UMR kabupaten yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Untuk staf hotel mereka sudah mendapatkan upah sesuai dengan UMR atau mendekati UMR. Namun untuk akomodasi non-hotel kebanyakan stafnya masih mendapatkan upah di bawah UMR Kabupaten Karangasem.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan pangkal yang merupakan pemangku kepentingan di kawsan ini, disampaikan bahwa upah yang diterima oleh para pekerja sekarang sudah cukup membaik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang kurang dari UMR kabupaten yaitu sekitar Rp. 2.100.000 dan bahkan kurang dari Rp.1.000.000. Sehingga diharapkan setelah diadakan pembenahan dan rapat dengan pihak-pihak terkait, upah yang masyarakat terima bisa terus membaik atau dibayarkan sesuai dengan beban kerjanya (N.K, wawancara 12 September 2017).

Hasil wawancara dengan pekerja beberapa akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed, menyatakan bahwa saat ini rata-rata penghasilan pokok masyarakat yaitu sekitar Rp.1.000.000-Rp.1.500.000 per bulan untuk akomodasi non-hotel, dan sekitar Rp.1.500.000- UMR untuk akomodasi kelas hotel. Kondisi tersebut dirasa cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di desa saat ini.

  • b.    Penerimaan tunjangan lain diluar upah/gaji

Sebelum sektor akomodasi berkembang seperti saat ini, uang yang mereka terima tidak menetap dalam artian masyarakat tidak memiliki penghasilan tetap. Namun saat ini dapat dijelaskan bahwa selain gaji pokok, para pekerja juga mendapatkan upah atau tunjangan tambahan lainnya akan tetapi tidak semua pekerja industri akomodasi di kawasan ini mendapatkan hal yang sama.

Tunjangan diluar upah/gajih yang diterima pekerja kebanyakan hanya sebatas uang service, yang besarannya beragam yaitu berkisar antara Rp.500.000-Rp.800.000. Terkait tunjangan lain seperti THR (Tunjangan Hari Raya), hanya berlaku di sebagain kecil usaha akomodasi saja. Begitu pula dengan tunjangan kesehatan, sangat jarang kecuali para pekerja di akomodasi jenis hotel. Mereka rata-rata mendapatkan tunjangan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS. Namun untuk akomodasi non-hotel, tidak ada yang memberikan tunjangan kesehatan kepada para pekerjanya. Walaupun keadaan perekonomian masyarakat Amed cukup membaik, namun hal tersebut mengindikasikan bahwa kesejahtraan pekerja belum diperhatikan secara maksimal.

  • 2.    Berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja

Usaha akomodasi yang terus meningkat di Kawasan Pariwisata Amed mampu membuka lapangan kerja serta merangkul semua golongan masyarakat dengan beragam usia, skill serta profesi sebelumnya. Hal demikian disampaikan oleh salah seorang informan kunci pada penelitian ini, ketika diwawancarai.

“Keberadaan industri pariwisata termasuk usaha akomodasi didalamnya sangat membantu perekonomian masyarakat di kawasan ini. Sekitar 80% masyarakat disini sumber pendapatannya berasal dari sektor industri pariwisata. Karena semua pekerjaan pada akhirnya berkaitan dengan pariwisata, misalnya petani buah hasil panennya akan dijual ke hotel dan juga restoran, kemudian buruh yang membantu perbaikan tiap akomodasi yang ada disini. Semuanya berkaitan dengan pariwisata. Ketika musim ramai kunjungan wisatawan, banyak juga yang mencarai uang tambahan di sektor ini (K.S, wawancara 04 November 2017)”.

Berdasarkan kutipan wawancara di atas dapat diartikan bahwa mayoritas pekerjaan masyarakat di Kawasan Pariwisata Amed terserap di industri pariwisata, dan industri akomodasi merupakan salah satunya. Tercatat berdasarkan profil desa tahun 2017, ada sekitar 189 akomodasi yang terdaftar di Kawasan Pariwisata Amed dengan total penyerapan tenaga kerja khusus di sektor akomodasi saja yaitu mencapai sekitar 400 pekerja.

Selain itu, yang paling menarik adalah setelah pekembangan industri pariwisata di Kawasan Pariwisata Amed seperti sekarang, putra-putri daerah yang pada awalnya pergi ke Denpasar atau kedaerah Bali lainnya untuk bekerja kini perlahan mereka mulai kembali ke daerah dan memulai membuka bisnis seperti salah satun yaitu dibidang akomodasi (homestay, kontrakan, dan bungalow). Hal tersebut mengindikasikan bahwa masyarakat sudah mulai melihat peluang-peluang bisnis yang menjanjikan untuk kedepannya.

  • 3.    Berdampak terhadap perubahan harga

Perubahan harga yang selama ini terjadi di Kawasan Pariwisata Amed lebih kepada perubahan makanan jadi atau makanan siap santap ketimbang perubahan harga bahan makanan (mentah) atau produk lainnya. Harga produk lain misalnya harga barang-barang kebutuhan pokok (mentah) masih sama tidak ada perbedaan yang signifikan, harganya masih sama seperti di kawasan Bali lainnya. Namun berbeda jika membeli makanan seperti nasi goreng, nasi campur atau makanan lainnya yang siap santap, perbedaan harga antara makanan yang ada di Amed dengan daerah tetangga akan terasa.

Selain itu, perubahan yang signifikan terjadi pada harga properti yaitu harga tanah. Tingginya kunjungan wisatawan menyebabkan permintaan akan kamar meningkat pesat. Hal tersebut memicu peningkatan pembangunan akomodasi yang secara langsung juga meningkatkan penggunaan lahan-lahan strategis yang ada di Kawasan Pariwisata Amed untuk difungsikan sebagai akomodasi,

sehingga hal tersebut menyebabkan harga tanah saat ini di Kawasan Pariwisata Amed meningkat drastis hingga titik tertinggi. Salah seorang informan kunci ketika diwawancarai menyampaikan:

“Kalau harga kebutuhan pokok masih sama dengan daerah lainnya, jika terjadi pun perbedaannya tidak terlalu signifikan. Namun harga tanah didaerah sini sangat mahal. Dulu, sekitar 10 tahun lalu, harga tanah berkisar 30-50 juta per Are-nya tetapi sekarang per Are-nya berkisar antara 125-150 juta bahkan lebih (K.S, wawancara 04 November 2017)”.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa stakeholder, Peningkatan harga tanah yang terjadi di Kawasan Pariwisata Amed, tidak lain dipicu oleh: a) Potensi wisata Amed yang mampu menarik perhatian dunia, sehingga ramai dikunjungi wisatawan. b) Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mengakibatkan peningkatan jumlah akomodasi yang secara langsung juga memicu peningkatan jumlah kebutuhan lahan untuk pembangunan akomodasi. c) Tingginya permintaan tanah atau lahan menyebabkan harganya melambung tinggi.

  • 2.    Berdampak terhadap pembangunan kawasan

Keberadaan usaha akomodsi yang tersebar di seluruh wilayah Amed dan sekitarnya secara langsung memacu pengembangan lokasi yang sebelumnya kurang produktif menjadi lokasi yang lebih produktif. Seorang informan pangkal ketika diwawancarai menyampaikan bahwa Kawasan Pariwisata Amed merupakan kawasan dengan lahan kering, kebanyakan tanaman yang bisa tumbuh merupakan tanaman lahan kering (N.K, wawancara 12 September 2017).

Kawasan Pariwisata Amed merupakan kawasan kering yang tidak memiliki sumber air, sehingga sebagian besar wilayahnya dimanfaatkan sebagai tegalan kering yang kadang hanya ditumbuhi tanaman rumput ketika musim kemarau. Untuk pengairan, mereka memanfaatkan air hujan atau air sumur, karena air PDAM hingga saat ini belum sepenuhnya bisa dinikmati oleh masyarakat di Kawasan Pariwisata Amed. Kondisi tegalan-tegalan (lahan) kering hingga saat ini pun masih bisa ditemukan terutama ketika musim kemarau.

“Perkembangan pariwisata di daerahnya tidak dipungkiri mampu memberikan atmosfir baru bagi lingkungan sekitar (N.K, wawancara 12 September 2017)”. Daerah yang pada awalnya merupakan daerah kering dengan pemanfaatan utama sebagai lahan tegalan yang kurang memberikan penghasilan, kini mulai berubah lebih produktif dengan dimanfaatkan sebagai akomodasi wisata. Permintaan akan kamar yang semakin tinggi dari wisatawan merupaka pemicu utamanya. Sehingga berdampak terhadap pemanfaatan lahan-lahan yang sebelumnya kurang produktif menjadi lokasi yang lebih berdaya guna.

Berdasarkan hasil penelitian, pengembangan sektor pariwisata di Kawasan Pariwisata Amed belum pada titik final, masih banyak yang akan dikembangkan secara maksimal terkait dengan potensi yang Amed miliki serta status Amed yang masuk sebagai kawasan strategis pariwisata nasional. Hal ini mengindikasikan bahwa pembanguna akomodasipun akan semakin bertambah, jika kawasan tersebut semakin ramai dikunjungi wisatawan. Berbagai master plan pun sudah mulai diajukan oleh pihak investor untuk Amed kedepannya. Harapannya yaitu rencana-rencana yang disusun dapat mendorong pengembangan wilayah Amed secara tepat dan maksimal serta dapat menciptakan kawasan ekonomi baru yang mampu menyerap tenaga kerja lokal serta meningkatkan perekonomian masyarakat dan daerah.

  • 3.    Berdampak terhadap kelangkaan

Kelangkaan yang begitu parah hingga jangka waktu lama belum pernah terjadi di Amed. salah seorang informan pangkal ketika diwawancarai menyampaikan bahwa yang terjadi di daerahnya bukanlah kelangkaan, malah sebaliknya. Masyarakat secara sengaja memperkenalkan makanan-makanan tradisional kepada wisatawan, misalnya babi guling, sate, lawar dan makanan tradisional lainnya (N.K, wawancara 12 September 2017).

Salah satu akomodasi pariwisata yaitu Manis Homestay secara khusus menyediakan menu jajanan tradisional Bali seperti laklak Bali dan Godoh Bali sebagai ciri khas breakfast penginapannya. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang sangat unik dibanding akomodasi-akomodasi lainnya yang rata-rata menyediakan menu breakfast kebarat-baratan.

Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan jumlah akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed, berpengaruh juga terhadap peningkatan permintaan produk lokal misalnnya kebutuhan pokok seperti beras, gula, kopi, sayur-sayuran, buah, daging dan hasil pertanian lainnya

yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan selama mereka menginap. Akomodasi-akomodasi tersebut lebih memilih produk lokal yang dijual oleh masyarakat setempat. Selain karena kondisinya yang lebih segar juga karena harganya lebih murah, cepat, efisien dan kualitasnya tidak kalah bagus dari produk-produk yang dijual di luar. Sehingga secara langsung maupun tidak langsung hal ini membantu para pebisnis lokal termasuk juga petani dan nelayan di Kawasan Pariwisata Amed.

Hal lain yaitu terbantunya petani garam di wilayah Amed. Garam Bali merupakan ciri khas Amed yang saat ini mulai sulit ditemukan. Wujud pelestarian dari pengusaha setempat yaitu dengan menggunakan nama garam sebagai branding usahanya, seperti yang ditunjukkan oleh salah satu hotel bernama “Hotel Uyah Amed”. Mereka menyediakan lahan khusus yang diperuntukan untuk wisatawan mengetahui proses pembuatan garam tradisional khas Amed. Secara langsung hal tersebut juga membantu meningkatkan produksi garam lokal. Banyak wisatawan yang penasaran dengan proses pembuatannya, sehingga memaksa petani yang biasanya bekerja pada hari-hari tertentu, untuk memproduksi garam terus-menerus.

Dampak Positif dan Negatif Keberadaan Akomodasi Pariwisata di Kawasan Pariwisata Amed

Berdasarkan hasil pengolahan data di atas, dapat dijelaskan bahwa perkembangan usaha akomodasi pariwisata di Kawasan Pariwisata Amed, memberikan dampak pada seluruh aspek bagian. Dampak yang dirasakan masyarakat hingga saat ini tidak saja bersifat positif namun juga negatif. Berikut merupakan dampak-dampak yang diterima masyarakat : Berdasarkan Aspek lingkungan

  • 1.    Dampak Positif

  • a) Menyebabkan lingkungan alam sekitar akomodasi menjadi lebih tertata, bersih dan hijau.

  • 2.    Dampak Negatif

  • a)    Memberikan tekanan terhadap lingkungan.

  • b)    Memicu terjadinya alih fungsi lahan serta pelanggaran peraturan daerah.

  • c)    Terjadi pencemaran lingkungan sekala kecil yaitu berasal dari limbah grey water.

  • d)    Peningkatan produksi sampah.

Berdasarkan Aspek sosial budaya

  • 1.    Dampak positif

  • a)    Menyebabkan terjadinya perubahan sumber mata pencaharian masyarakat lokal yang semakin berkembang baik.

  • b)    Terjadinya peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia).

  • c)    Meningkatkan kecintaan terhadap budaya lokal.

  • 2.    Dampak negatif

  • a)    Menyebabkan terjadinya perubahan etos kerja.

  • b)    Rendahnya penggunaan arsitektur bangunan khas daerah.

  • c)    Memicu terjadinya kemacetan lalu lintas, karena kapasitasnya sudah mulai melebihi batas. Berdasarkan Aspek ekonomi

  • 1.    Dampak positif

  • a)    Peningkatan penghasilan/ pendapatan masyarakat.

  • b)    Membuka lapangan kerja bagi masyarakat lokal.

  • c)    Memacu pengembangan lokasi yang kurang produktif menjadi lebih produktif.

  • d)    Peningkatan permintaan/penggunaan produk lokal yang secara langsung maupun tidak langsung membantu para petani dan nelayan setempat.

  • 2.    Dampak negatif

  • a)    Kesejahteraan para pekerja masih belum maksimal.

  • b)    Ketergantungan pada sektor akomodasi terutama para pekerja di sektor tersebut.

  • c)    Memicu tingginya harga produk terutama harga properti.

Dari hasil penelitian tersebut ditemukan juga bahwa dampak negatif yang muncul pada tiap aspek bagian disebabkan karena suatu hal seperti:

  • 1.    Aspek Lingkungan

Yaitu disebabkan karena kesadaran masyarakat yang masih kurang untuk memisah atau pun mengolah limbah-limbah yang masih bisa didaur ulang dan kurangnya edukasi serta kesadaran untuk

mendaftarkan usaha yang dimiliki ataupun mematuhi peraturan daerah yang berlaku terkait dengan pendirian bangunan, selain petugas yang dianggap masih kurang tegas untuk menindak para pelanggaran tata ruang.

  • 2.    Aspek Sosial Budaya

Yaitu disebabkan karena peningkatan bangunan akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed tidak disertai dengan peningkatan lahan parkir. Selain itu, sarana infrastruktur dikawasan tersebut memang masih belum bisa dimanfaatkan secara maksimal sehingga perlu segera diperbaiki. Sarana infrastruktur yang dimaksud misalnya yaitu pelebaran jalan utama, perbaikan jalan berlumbang, penambahan lampu penerangan jalan, serta penambahan trotoar untuk para pejalan kaki.

  • 3.    Aspek Ekonomi

Yaitu disebabkan karena mayoritas industri akomodasi yang ada, merupakan industri kecil yang pengelolaannya masih secara sederhana. Selain itu tidak adanya lembaga yang dapat mewadahi seluruh akomodasi-akomodasi tersebut menyebabkan keberadaannya serta kontribusinya cendrung kurang terlihat. Terkait dengan peningkatan harga properti, hal tersebut disebabkan karena peningkatan permintaan akan properti (tanah untuk lahan akomodasi) yang meningkat pesat, sehingga memicu terjadinya permainan harga hingga titik tertinggi.

  • 4.    KESIMPULAN

Keberadaan usaha akomodasi pariwisata di Kawasan Pariwisata Amed, Kabupaten Karangasem Bali, memberikan dampak positif dan negatif terhadap lingkungan, sosial budaya dan ekonomi masyarakat. Berdasarkan dampak yang ditimbulkan terhadap ketiga aspek tersebut, sejauh ini keberadaan usaha akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed memberikan dampak positif terutama pada aspek ekonomi masyarakat. Namun tidak bisa dipungkiri keberadaannya banyak memberikan dampak negatif juga pada aspek lingkungan, walaupun intensitasnya masih tergolong kecil atau ringan. Akan tetapi jika dibiarkan keberadaannya ditakutkan akan mengganggu serta memberikan dampak lebih besar nantinya, mengingat pembangunan di Kawasan Pariwisata Amed yang semakin meningkat pesat. Dampak positif dan negatif yang dimaksud antara lain: Pertama dari aspek Lingkungan, keberadaan usaha akomodasi di Kawasan Pariwisata Amed, secara positif menyebabkan lingkungan alam sekitar akomodasi menjadi lebih tertata, bersih dan hijau. Namun disisi lain keberadaannya memberikan dampak negatif seperti memberikan tekanan terhadap lingkungan, memicu terjadinya alih fungsi lahan serta pelanggaran peraturan daerah, terjadi pencemaran lingkungan sekala kecil dan peningkatan produksi sampah. Kedua dari aspek sosial budaya, secara positif keberadaannya berdampak pada perubahan sumber mata pencaharian masyarakat, terjadinya peningkatan kualitas SDM serta peningkatan kecintaan terhadap budaya lokal. Namun juga memberikan dampak negatif seperti terjadinya perubahan etos kerja, rendahnya penggunaan arsitektur bangunan khas daerah dan memicu kemacetan lalu lintas. Ketiga yaitu aspek ekonomi, secara positif keberadaannya berdampak pada peningkatan penghasilan masyarakat, membuka lapangan kerja, memacu pengembangan lokasi yang kurang produktif dan meningkatkan permintaan akan produk lokal. Namun keberadaannya juga memberikan dampak negatif seperti menyebabkan ketergantungan pada sektor akomodasi, dan memicu tingginya harga produk terutama harga properti. Selain itu perbaikan ekonomi dikawasan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan para pekerja.

UCAPAN TERIMAKASIH

Kami mengucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Pariwisata atas dukungan yang telah diberikan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan. Terima kasih juga kami ucapkan kepada Ketua Program Studi Diploma IV Pariwisata atas segala dukungan, semangat, dan motivasi yang diberikan. Terima kasih pula kami ucapkan kepada seluruh informan yang telah menyempatkan waktunya dan bersedia membantu dalam pengumpulan data, serta semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu hingga terselesaikannya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Karangasem. 2017. Kabupaten Karangasem dalam Angka 2017.

Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Karangasem. 2015. Direktori Jasa Akomodasi Kabupaten Karangasem 2014.

Bungin, Burhan. 2010. “Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.

Deliarnov. 2003. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Dinas Pariwisata Daerah Bali (Disparda). 2017. Direktori 2016 Dinas Pariwisata Provinsi Bali.

Dinas Pariwisata Kabupaten Karangasem. 2015. Jumlah Akomodasi Kabupaten Karangasem.

Dinas Kelautan dan Perikanan. 2015. Profil Wisata Bahari Amed-Jemeluk Kabupaten Karangasem, Bali.

Harian Kompas. “Pariwisata Ditargetkan Sumbang Devisa Terbesar”. Edisi 16 Juni 2015.

Kuriniawa,Wawan. 2015. Dampak Sosial Ekonomi Pembangunan Pariwista Umbul Sidomukti Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. (Laporan Akhir). Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Kusmayadi. 2013. Analisis Dampak Sosial-Ekonomi Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata Tanjung Lesung. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten.

Martina, Sopa. 2014. Dampak Pengelolaan Taman Wisata Alam Kawah Putih Terhadap Kehidupan Sosial dan Ekonomi Masyarakat. Jurnal Pariwiswata. Vol. 1. No.2. ISSN: 2355-6587.

Paramitasari, Isna Dian. 2010. “Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan Masyarakat Lokal, Studi Kasus: Kawasan Wisata Dieng, Kab. Wonosobo. (Laporan Akhir). Universitas Sebelas Maret.

Peraturan Bupati Karangasem Nomor 30 Tahun 2016. Tentang Penetapan batas Sempadan Pantai.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011. Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025.

Pitana, I Gde dan Gayatri, Putu G. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta:C.V Andi Offset

Pitana, I Gde dan Diarta, I Ketut Surya. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta:C.V Andi Offset

Profil Desa Purwa Kerthi. 2017.

Polsek Abang. 2017. Jumlah Akomodasi Wisata di Kecamatan Abang.

Sakawati, Ketut Ngurah Trisni. 2015. Dampak Perkembangan City Hotel Terhadap Usaha Hotel Melati di Kota Denpasar. Jurnal Master Pariwisata. Vol:2. No:1. ISSN 2406-9116.

Salim, A. (2002). Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Setiadi, Elly M. Dkk. 2006. Ilmu Sosial & Budaya Dasar, Edisi Kedua. Jakarta: Kencana.

Simarangkir, Omega Raya. Fredinan, Yulianda dan Mennofatria, Boer. 2015. Pemulihan Komunita karang Keras Pasca Pemutihan Karang di Amed Bali. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia.Vol. 20 (2):158-163. ISSN:0853-4217. EISSN: 2443-3462.

Sihite, Richard. 2000. “Tourism Industry”. Surabaya : SIC

Soemardjan, Selo. 1991. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Soekadijo, R.G. 2000. Anatomi Pariwisata. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Sugiyono. (2010). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung : Alfabeta.

Suwena, I Ketut dan I Gusti Ngurah Widyatmaja. 2010. Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata.

Denpasar: Udayana University Press.

Suratmo, F Gunawan. 2004. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Umar, Husein. 2005 “Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis”. Jakarta:PT. Rajagrafindo Persada.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Wendyputra, I Putu Weka & Wawan, Ardiyan Suryawan. 2013. Arsitektur Modern Di Kawasan Pariwisata Amed. Jurnal Sains dan Seni ITS. Vol. 2, No. 2. ISSN:2337-3539.

SUMBER WEBSITES

Amalia. 2007. CSR dan Triple Bottom Line. (dibaca pada tanggal 22/01/17) Diunduh pada

hhtp://www.diskominfo.karangasemkab.go.id/index.php/baca-berita/17/diskusi-terfokus-mempertahankan-lahan-pertanian-garam-amed

BPS. 2017. Jumlah Akomodasi, Kamar, dan Tempat Tidur yang Tersedia pada Hotel Nonbintang Menurut Provinsi, 2004-2016. https://www.bps.go.id/ (Diakses pada:16/07/2016).

Made Tirtawati. 2009. Potensi Hotel Dalam Memberikan Tekanan Terhadap Lingkungan (dibaca pada tanggal 1/10/2017) Diunduh pada http://tirtawati.blogspot.co.id/2009/potensi-hotel-dalam-memberikan-tekanan.html?m=1

Yasmen Chaniago. 2011. Undang-Undang RI No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan (dibaca pada tanggal 13/10/2014) Diunduh pada http://www.wisatakandi.com/2011/11/undang-undang-ri-no-10-tahun-2009.html.

https://finance.detik.com/properti/2689872/hotel-di-bali-makin-menjamur-picu-perang-harga-kamar, Diakses pada 16/07/2017

https://www.posbali.id/karangasem-berdayakan-desa-jadi-destinasi-wisata-berbasis-konservasi/ , Diakses pada 16/07/2017

http://v2.karangasemkab.go.id/index.php/baca-pariwisata/159/JEMELUK-%E2%80%93-AMED ,

Diakses pada 16/07/2017

https://www.booking.com/city/id/amed.id.html?aid=331508;label=amed- Diakses pada 16/07/2017 http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4b2885a7bc5ad/nprt/22/uu-no-32-tahun-2009-

perlindungan-dan-pengelolaan-lingkungan-hidup, Diakses pada 20/08/2017

http://m.metrotvnews.com/news/daerah/3NOyZ1zk-phri-bali-cemaskan-kunjungan-wisatawan, Diakses pada 20/08/2017

https://www.google.com/search?q=manis+homestay+amed&ie=utf-8&oe=utf-8&client=firefox-b, Diakses pada 20/08/2017

http://pariwisatadanteknologi.blogspot.co.id/2010/05/jenis-jenis-akomodasi-pariwisata.htnl?m=1, Diakses pada 20/08/2017

http://nandaradisty.blogspot.co.id/2013/01/csr-dan-triple-bottom-lines.html

194