JURNAL KEPARIWISATAAN DAN HOSPITALITAS

Vol. 1, No. 2, November 2017.

Proses pembentukan identitas budaya nasional Dan promosi pariwisata indonesia di eropa (studi kasus diaspora bali di perancis)

Nararya Narottama1, A.A. Ayu Arun Suwi Arianty2

Program Studi Manajemen Kepariwisataan Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional

Jl. Tari Kecak 12 Gatot Subroto Timur, Denpasar, Bali [email protected]

ABSTRAK

Para diaspora Bali yang tersebar di Eropa, memiliki peran ganda sebagai perantara/agen budaya, sekaligus agen pariwisata Bali dan Indonesia pada umumnya. Istilah diaspora merujuk pada suatu bangsa atau etnis yang terpaksa maupun dengan sukarela meninggalkan tanah air kelahiran atau etnis mereka, termasuk penyebaran mereka di berbagai belahan bumi, serta mencakup hasil sampingan dari penyebaran tersebut, yakni penyebaran, perkembangan kebudayaan, serta perubahan genetis. Dalam arti sempit, istilah diaspora adalah para perantau yang meninggalkan tanah kelahirannya untuk pergi ke daerah (atau negara) lain, untuk mencari kehidupan yang lebih baik daripada di tempat asalnya. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa dan mengungkap bagaimana proses para dispora Bali tersebut membentuk identitas budaya Indonesia melalui pemertahanan serta implementasi nilai-nilai, tradisi dan budaya Bali di Eropa, serta sejauh mana peran mereka dalam promosi pariwisata Bali dan Indonesia secara umum. Fokus utama penelitian ini adalah para diaspora Bali di Eropa, khususnya di Paris, Prancis, sebuah destinasi pariwisata kelas dunia yang populer dan ternama. Metode yang dipakai dalam penelitian ini berbasis kualitatif. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara mendalam dengan para informan terpilih dan observasi partisipatif di lapangan, serta data sekunder yang dikumpulkan melalui berbagai referensi pustaka. Secara sadar, diaspora Indonesia menikmati peran mereka untuk turut berkontribusi positif memperomosikan pariwisata Indonesia di negara-negara Eropa melalui berbagai kegiatan seni dan budaya Indonesia. Kekhawatiran mengenai lunturnya identitas budaya pada generasi turunan diaspora Indonesia, dapat diminimalisir melalui berbagai kegiatan yang memerlukan keterlibatan aktif para diaspora beserta keluarganya. Pada berbagai kegiatan yang diadakan, sekat-sekat budaya, etnis maupun geografis dihilangkan menjadi sebuah identitas budaya Indonesia. Kebudayaan dan kesenian Indonesia telah menjadi simbol identitas nasional, yang kemudian dikenal oleh publik Eropa, hal ini juga memperkuat rasa nasionalisme di kalangan diaspora Indonesia di Eropa.

Kata kunci: diaspora, identitas, budaya, pariwisata, Bali, Eropa

ABSTRACT

The Balinese diaspora has spread across Europe, they have a dual role: as intermediaries / cultural agents, as well as tourism agents Bali and Indonesia in general. The term diaspora refers to a compulsory nation or ethnicity leaving their native or ethnic homeland, including their distribution in various parts of the world, and includes the byproducts of the spreading, namely the spreading itself, the development of culture, and the genetic change. In a narrower sense, the term diaspora is the nomads leaving their homeland to go to other regions (or countries), to seek a better life than in their place of origin. The purpose of this study is to analyze and reveal how the process of the Balinese dispora establishes the cultural identity of Indonesia through the defense and implementation of Balinese values, traditions and culture in Europe, and the extent of their role in promoting tourism in Bali and Indonesia in general. The main focus of this research is the Balinese diaspora in Europe, particularly in Paris, France, a popular and well-known world-class tourism destination. The method used in this study based on qualitative. Primary data collection was conducted with in-depth interviews with selected informants and participant observation in the field, as well as secondary data collected through various reference libraries. Consciously, the Indonesian diaspora enjoys their role to contribute positively to promote Indonesian tourism in European countries through various arts and cultural activities of Indonesia. Concerns about the decline of cultural identity in Indonesia's diaspora derived generation can be minimized through activities requiring active involvement of diaspora and their families. In the various activities that have been held, cultural, ethnic and geographical barriers are eliminated,

becoming one in an Indonesian cultural identity. Indonesian culture and art has become a symbol of national identity, which became known to the European public, it also strengthens the sense of nationalism among the Indonesian diaspora in Europe.

Keywords: diaspora, identity, culture, tourism, Bali, Europe

  • 1.    PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk yang sangat padat dan multi etnis. Indonesia terdiri dari ratusan ragam suku, agama, dan ras yang menyebar di berbagai pelosok tanah air. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2016 jumlah penduduk Indonesia mencapai 258 juta jiwa (BPS, 2016). Selain di dalam negeri, penduduk Indonesia juga tersebar ke berbagai penjuru dunia. Mereka disebut sebagai diaspora Indonesia. Mohamad Al-Arief, Presiden IDN (Indonesian Diaspora Network) menyatakan bahwa pada tahun 2015, jumlah diaspora Indonesia yang tercatat sebanyak 7 juta jiwa di seluruh dunia (Ramadhan, 2015). Angka tersebut belum termasuk jumlah para diaspora Indonesia di luar negeri yang yang tidak tercatat, sehingga dapat diperkirakan jumlah totalnya sebesar 8 juta jiwa yang tersebar di berbagai benua, seperti Eropa, Amerika, Afrika, Asia dan Australia. Selain itu, pada tahun 2014 lalu, jumlah remitansi yang masuk ke Indonesia dari para diaspora sekitar US$ 8,4 atau sekitar Rp 115 triliun (Detik, 2015). Dengan demikian, diaspora Indonesia memiliki potensi ekonomi dan sosial yang luar biasa untuk turut membangun bangsa dari perantauan.

Para diaspora Indonesia tersebar di lebih dari 90 negara (Tempo, 2015). Secara kuantitas global, jumlah diaspora Indonesia cukup kecil jika dibandingkan dengan jumlah diaspora Cina/Tiongkok (sekitar 70 juta orang) dan India (sekitar 60 juta orang) yang berbanding lurus dengan jumlah populasi di kedua negara tersebut. Jusuf Kalla, Wakil Presiden Republik Indonesia, dalam pembukaan Congress of Indonesian Diaspora III menyatakan bahwa dilihat dari jumlah populasinya, Indonesia sebenarnya memiliki peluang menempati posisi ketiga sebagai penyumbang diaspora di dunia, walaupun saat ini masih kalah jumlah dengan Filipina (The Marketeers, 2015). Meskipun terbilang kecil dari segi kuantitas, para diaspora Indonesia tetap merupakan aset berharga bagi pembangunan negara. Hal senada sebelumnya pernah disampaikan oleh mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yodhoyono, dalam Congress of Indonesian Dispora II di Jakarta. Beliau menyatakan bahwa diaspora Indonesia yang tersebar di seluruh dunia merupakan mitra pemerintah dan masyarakat yang sangat strategis dan tidak bisa diabaikan keberadaannya (Kompas, 2013).

Istilah diaspora berasal dari bahasa Yunani Kuno: ‘speiro’ yang merujuk pada ‘penyebaran atau penaburan benih’. Istilah diaspora juga dekat dengan kata ‘dispersion’ dalam bahasa Inggris yang bermakna ‘penyebaran’ Pada berbagai literature ilmiah, berbagai kajian mengenai diaspora mulai muncul di sekitar akhir abad ke dua puluh. Istilah diaspora dapat juga diartikan para perantau yang meninggalkan tanah kelahirannya untuk pergi ke daerah (tempat, atau negara) lain, untuk mencari pendidikan, penghasilan dan kehidupan yang lebih baik daripada di tempat asalnya (Cohen, 1997; Mudji, 2007; dalam Narottama,2015). Di Eropa, para diaspora Indonesia berasal dari berbagai daerah dan beragam etnis dan agama. Eksistensi diaspora Indonesia dikenal melalui berbagai kegiatan seni dan budaya yang sekaligus menjadi sarana promosi pariwisata. Salah satu bagian dari keluarga besar diaspora Indoensia yang turut mengharumkan nama bangsa melalui kesenian adalah para perantau dari Bali, atau dikenal juga sebagai diaspora Bali

Bali, hanya sebuah pulau kecil diantara ribuan pulau di negara Indonesia. Namun Bali memiliki keunikan budaya dan seni, yang kemudian mampu mengharumkan nama bangsa di mata dunia melalui pariwisata. Berdasarkan pangalaman penulis, di manca negara seringkali nama Bali lebih dikenal dari pada Indonesia. Bahkan dalam berbagai penemuan arkeologis, Bali ternyata sudah dikenal dan telah melakukan interaksi sejak jaman purbakala, hal ini dibuktikan dengan penemuan berbagai gerabah kuno India dan Cina (Ardika,1997:62). Hasil interaksi ini memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan masyarakat Bali, terutama dalam ranah agama, budaya dan kesenian. Semua ini bermuara pada eksistensi Bali sebagai sebuah destinasi wisata populer.

Seiring perkembangan jaman, saat ini banyak orang Bali yang merantau keluar dari tanah kelahirannya. Mereka menyebar di berbagai pelosok wilayah di Indonesia hingga ke luar negeri,

terutama ke negara-negara maju. Di Indonesia, sejak awal tahun 1970-an mereka terkonsentrasi pada daerah-daerah transmigrasi. Hal ini, terutama didorong oleh dampak bencana meletusnya Gunung Agung pada tahun 1963. Selain itu, mengingat latar belakang orang Bali yang sangat menguasai ilmu agrikultur dan peternakan. Sedangkan di luar negeri, orang Bali tersebar pada berbagai jenis bidang pekerjaan, baik di sektor pertanian, industri, pabrik, pendidikan, seni dan lain-lain. Setiap tahunnya, diperkirakan jumlahnya semakin meningkat. Para etnik Bali yang menyebar ke berbagai negara inilah yang kemudian dikenal sebagai diaspora Bali.

Diaspora Bali dikenal memiliki hubungan kekerabatan yang kental dan sangat mencintai tanah kelahiran mereka. Kondisi ini tercipta karena kuatnya pengaruh agama, adat istiadat dan budaya yang tergambar secara jelas pada kehidupan masyarakatnya. Namun seringkali ketika diaspora Bali beranjak dari tanah asalnya, terjadi pergeseran identifikasi antara etnik Bali dengan tanah airnya (Narottama, 2015). Walaupun demikian, di antara orang Bali ada ungkapan “lekad di Bali, pang mati masih di Bali”, yang berarti “lahir di Bali, matipun juga di Bali”. Dengan demikian, tersirat adanya harapan dari para diaspora Bali yang tersebar untuk suatu saat bisa kembali ke tanah kelahirannya dan jika suatu saat meninggal, agar dilakukan upacara sebagaimana layaknya orang Bali.

Hal yang serupa juga dialami diaspora Indonesia etnis lainnya. Seringkali ketika para diaspora Indonesia meninggalkan tanah airnya dalam jangka waktu yang lama, terjadi pergeseran identifikasi antara identitas bawaan dengan tempat yang baru. Kebutuhan agar ‘diterima’ di tempat yang baru dapat mengakibatkan pudarnya rasa kebanggaan pada budaya tanah air atau ‘cultural belonging’. Biasanya hal ini tidak dialami oleh diaspora generasi pertama, namun terjadi pada generasi turunan selanjutnya. Mempertanyakan identitas budaya sebagai bagian dari eksistensi adalah hal yang lumrah dalam perjalanan panjang seorang diaspora. Mereka bertanya, “Who am I? Where do I belong?”, walaupun terkesan sederhana, sebenarnya mencari jawaban atas pertanyaan tersebut sangat rumit dan kompleks.

Gambar 1. Penulis (kiri) berpartisipasi dalam kegiatan seni budaya bersama para diaspora Bali dan Indonesia di Pura Belgia (sumber : koleksi pribadi)

Gambar 2. Atraksi seni yang dipentaskan diaspora Bali selalu menarik minat masyarakat Eropa (lokasi : Pura Belgia)

(sumber : koleksi pribadi)

Dewasa ini, para perantau Bali bukan hanya menyebar di Indonesia saja, namun telah menyebar ke berbagai negara. Penyebab yang dominan adalah pernikahan dengan orang asing, karena alasan pekerjaan, dan pendidikan. Negara-negara yang populer dengan keberadaan diaspora Bali antara lain di Jepang, Australia, Amerika dan berbagai negara-negara di benua Eropa. Dalam hal ini, para diaspora Bali menjadi sebuah ‘jembatan budaya’ (Picard, 2006), sekaligus menjadi agen budaya kreatif dan pariwisata. Agar mereka bisa ‘diterima’ dalam konteks lintas kultural, diperlukan penyesuaian pada psikis dan emosional oleh para pelakunya. Proses ini dapat terjadi tanpa harus mengikis identitas budaya lokal yang mereka bawa dari tempat asalnya.

Di Eropa, keberadaan diaspora Bali cukup dikenal, terutama di negara Perancis, Belanda, Jerman dan Belgia. Diaspora Bali bersama-sama dengan para diaspora Indonesia lainnya senantiasa dengan bangga, berupaya untuk menujukkan identitas budaya nasional yang mereka miliki. Pada proses ini, sekat-sekat budaya kedaerahan dihilangkan untuk menjadi sebuah kesatuan budaya nasional yang utuh, kemudian mereka aplikasikan dalam berbagai kegiatan promosi pariwisata sebagai bentuk kontribusi aktif mereka terhadap pariwisata tanah air.

Permasalahan utama penelitian ini adalah ingin mengungkapkan bagaimana para dispora tersebut berproses dalam upaya mereka membentuk identitas budaya nasional, serta bagaimana mereka berperan dalam promosi pariwisata Indonesia di Eropa? Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menjadi referensi baru dalam perkembangan studi diaspora, memperkuat identitas budaya nasional serta mengetahui peran diaspora Indonesia dalam upaya promosi pariwisata di Eropa, khususnya pada diaspora Bali yang ada di Perancis.

Mengingat demikian luas dan kompleksnya permasalahan dalam meneliti tentang diaspora Bali, budaya dan pariwisata, maka secara rinci dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: (1). Bagaimana eksistensi diaspora orang Bali di Eropa dalam membentuk identitas budaya nasional? (2). Bagaimana upaya para diaspora orang Bali di Eropa untuk mempromosikan pariwisata di Indonesia, dan pariwisata Bali pada khususnya? Demikian perumusan masalah yang diketengahkan dimaksudkan untuk lebih memfokuskan permasalahan yang muncul dalam penelitian ini. Dengan perumusan yang jelas lingkupnya, diharapkan pula penelitian ini dapat memberikan informasi baru dan menghasilkan temuan yang maksimal.

Batasan dalam penelitian ini adalah pada keberadaan diaspora Indonesia, khususnya diaspora Bali di Eropa, terutama yang ada di negara Perancis, dalam aktifitas mereka di bidang seni, budaya dan pariwisata. Selain itu, penelitian ini merupakan pengembangan lanjutan dari penelitian eksploratori sebelumnya yang berjudul: The Existence of Balinese Diaspora in Europe: The Process of Formation of Cultural Identity and Tourism Promotion (Case Study of Sekar Jagat Indonesia in Paris, France) Narottama (2015) dan The Indonesian Diaspora in Europe: Culinary as Cultural Identity and Tourism Promotion in Paris, France (Narottama, 2016) yang telah dipublikasikan.

Konsep Diaspora

Pada berbagai literature ilmiah, konsep mengenai diaspora seringkali dibahas bersama-sama konsep migrasi internasional, perbudakan dan kolonialisme, serta hibridisasi. Agar memperoleh batasan yang jelas, dipergunakan konsep dari Sutrisno, Mudji (2007:259) yang menyatakan bahwa diaspora adalah jejaring yang tersebar dari orang-orang yang secara kultur dan etnis saling terkait. Konsep-konsep yang terkait dengan istilah ini meliputi ide perjalanan, migrasi, ketersebaran, perpindahan (displacement), rumah dan batas. Meskipun tidak selalu demikian, umumnya istilah diaspora mempunyai konotasi makhluk asing (alienation), orang-orang yang tercabut dari tempat asalnya (displaced person), pengembara (wanderers), perpindahan secara paksa (forced migration).

Sedangkan dalam arti sempit, istilah diaspora merujuk pada para perantau yang meninggalkan tanah kelahirannya untuk pergi ke daerah dan/atau ke negara lain demi mencari kehidupan yang lebih baik daripada di tempat asalnya.

Konsep Identitas Budaya Nasional

Umumnya, setiap suku bangsa memiliki karakter serta identitas budaya sesuai dengan wilayah dan kondisi geografisnya masing-masing. Dengan demikian, konsep identitas budaya tidak dapat dilepaskan dari konsep etnisitas atau kedaerahan yang lahir pada masing-masing kelompok etnis (etchnic group) yang kemudian berintegrasi secara sosial dan mampu ko-eksis (co-exist) dengan host di tempat tinggal mereka yang baru. Identitas merupakan kostruksi ideal dari pemikiran kita sendiri, yang dibentuk atas dasar asumsi dan struktur terhadap sesuatu yang kita ketahui serta sejauh mana kita bisa mengenalinya, kemudian kita menanggapinya sebagai realitas.

Identitas budaya merupakan perasaan mengenai rasa memiliki, menjadi bagian pada suatu kelompok tertentu, sebuah konsepsi dan persepsi pribadi, serta terkait dengan kebangsaan, etnisitas, agama, kelas sosial, generasi, lokalisme ataupun kelompok sosial yang memiliki karakteristik budaya masing-masing. Jadi dalam konteks ini, identitas budaya merupakan rincian karakteristik individu sekaligus karakteristik kelompok yang memiliki persamaan secara kultural (Ennaji, 2005), serta dapat secara jelas tampak ketika dibandingkan dengan karakteristik budaya kelompok lain. Sedangkan identitas budaya nasional merupakan campuran berbagai karakteristik budaya yang dimiliki individu maupun kelompok yang dianggap mampu mewakili karakteristik suatu negara (nation) dan seluruh masyarakatnya, serta tampak secara jelas ketika dibandingkan dengan identitas budaya nasional negara lainnya.

Konsep Pariwisata

Dirunut dari asal kata-nya, kata wisata, pariwisata, wisatawan, dan kepariwisataan sesungguhnya berasal dari kata bahasa Sanskerta yang kini telah diserap menjadi kosa kata bahasa Indonesia. Titib (2006) menyatakan bahwa kata ‘wisata’ berasal dari akar kata vis, yang artinya memasuki, menuju, mengelilingi dan sejenis dengan makna kata-kata tersebut. Aktivitas pariwisata seberanarnya sudah dilaksanakan oleh manusia sejak jaman dahulu, namun relatif baru dikenal sebagai sebuah fenomena penting dalam ranah ekonomi dan sosial (WTO, 1995). Pariwisata juga dianggap sebagai aktivitas esensial bagi negara, karena berpengaruh langsung terhadap sosial, budaya, pendidikan dan ekonomi masyarakat secara nasional, dan hubungan negara secara internasional. Mathieson dan Wall (1982) menyatakan bahwa pariwisata sebagai gerakan sementara orang untuk tujuan di luar tempat kerja dan tempat tinggal biasanya, kegiatan yang dilakukan selama mereka tinggal di destinasi tersebut, dan berbagai fasilitas diciptakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kedatangan wisatawan ke suatu negara, berimbas pada peningkatan neraca keuangan dan kesejahteraan masyarakat yang ada di negara tersebut, untuk itu berbagai negara selalu berupaya untuk memperomosikan pariwisata yang mereka miliki kepada khalayak internasional.

Teori Identitas

Hall dalam Cultural Identity and Diaspora (1990) menjelaskan bahwa identitas budaya (atau juga disebut sebagai identitas etnis) sedikitnya dapat dilihat dari dua cara pandang, yaitu identitas budaya sebagai sebuah wujud (identity as being) dan identitas budaya sebagai proses menjadi (identity

as becoming). Dalam cara pandang pertama diuraikan bahwa, identitas budaya dilihat sebagai suatu kesatuan yang dimiliki bersama, atau yang merupakan "bentuk dasar/ asli" sesorang dan berada dalam diri banyak orang yang memiliki kesamaan sejarah dan leluhur. Identitas budaya adalah cerminan kesamaan sejarah dan kode-kode budaya yang membentuk sekelompok orang menjadi "satu” walaupun dari “luar” mereka tampak berbeda (Hall, 1990). Terkait dengan hal ini dan juga paradigma cultural studies, maka identitas sendiri dipandang sebagai suatu 'hasil' yang tidak akan pernah selesai, selalu dalam proses dan selalu disusun dalam gambaran atau representasi atas sesuatu. (Prabowo, 2008). Woddward (1997; dalam Ennaji, 2005) menyatakan bahwa identitas sosial dalam dunia kontemporer saat ini berasal dari berbagai sumber seperti kebangsaan, etnisitas, kelas sosial, komunitas, gender, yang memberikan kita tempat di dunia ini, serta menyediakan sarana penghubung antara kita dan masyarakat dimana kita hidup.

Teori Interaksi Simbolis

Teori Interaksi Simbolis (atau Interaksionisme Simbolik) berasal dari pemikiran George Harbert Mead (1863-1931). Beliau adalah seorang profesor kelahiran Massachusetts, AS. Sebagian besar karirnya dihabiskan dengan mengajar di University of Chicago (Rogers. 1994: 166). Interaksi, didefinisikan sebagai proses saling mempengaruhi dalam bentuk perilaku atau kegiatan di antara anggota-anggota masyarakat, sedangkan ‘simbolik’ adalah bersifat melambangkan sesuatu (Effendy, 1989: 184). Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan interaksi sebagai hal yang saling melakukan aksi, berhubungan, mempengaruhi; antar hubungan. Sedangkan simbolis adalah sebagai lambang; menjadi lambang; mengenai lambang (KBBI, 2001). Teori Interaksi Simbolis adalah perspektif teoritis yang memandang masyarakat sebagai lambang-lambang (symbols) yang digunakan untuk membangun makna, mengembangkan pandangan mereka tentang dunia, dan berkomunikasi satu sama lainnya.

Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dengan penelitian ini antara lain: Manganalisis secara mendalam dan mendetail mengenai bagaimana para diaspora Indonesia, khususnya diaspora Bali membentuk identitas budaya nasional Indonesia melalui pariwisata. Mengkaji sejauh mana upaya promosi pariwisata yang dilakukan oleh para diaspora Bali di Eropa. Diharapkan kajian ini mampu menumbuhkan semangat jiwa nasionalisme dan kebanggaan terhadap pariwisata dan budaya nasional, sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya promosi pariwisata Indonesia di luar negeri.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang hendak diperoleh dengan penelitian ini adalah adanya kajian mengenai proses pembentukan identitas budaya nasional Indonesia melalui pariwisata, sekaligus mengetahui sejauh mana upaya promosi pariwisata yang dilakukan oleh para diaspora Bali di Eropa. Diharapkan kajian ini mampu menumbuhkan semangat jiwa nasionalisme dan kebanggaan terhadap pariwisata dan budaya nasional, sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya promosi pariwisata Indonesia di luar negeri.

  • 2.    METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Lokasi utama penelitian ini adalah di Bali, walaupun data-data primer (via internet/on line) diperoleh dari Eropa, tepatnya di Prancis. Adapun yang melatar belakangi alasan dipilihnya Perancis adalah:

  • 1.    Di negara perancis, jumlah diaspora Indonesia cukup banyak dan terdapat komunitas diaspora Bali yang fokus pada seni dan budaya Indonesia

  • 2.    Pada negara tetangga Perancis, yakni di Belgia dan Berlin, terdapat dua Pura Hindu yang besar, dan kedua Pura tersebut mampu mempersatukan diaspora Bali di Eropa.

  • 3.    Diaspora Bali bersama-sama diaspora Indonesia lainnya secara aktif memperomosikan pariwisata Indonesia di Eropa

Jenis dan Sumber Data

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, sehingga data yang diperlukan sebagian besar adalah data kualitatif (hasil wawancara, observasi dll) dengan dukungan dari data kuantitatif (literatur dan data-data statistik).

Metode Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data dan berbagai informasi mengenai diaspora Bali di Eropa, peneliti menggunakan beberapa metode, antara lain: observasi, studi pustaka, wawancara dan dokumentasi.

Analisis Data

Penelitian ini mempergunakan teknik analisis data kualitatif deskriptif. Analisis kualitatif deskriptif adalah suatu analisis terhadap data data yang tidak berbentuk nilai atau data yang tidak berupa angka–angka, melainkan data tersebut bersifat keterangan atau uraian- uraian yang sangat berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian, sehingga diperoleh gambaran jelas mengenai fenomena yang terjadi di lapangan.

  • 3.    HASIL DAN PEMBAHASAN

Eksistensi Diaspora Indonesia dan Bali di Eropa

Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya akan keragaman, baik keragaman bahasa, suku, agama dan adat istiadat. Pada era perjuangan kemerdekaan, para pendiri bangsa menyadari potensi konflik yang bisa muncul jika perbedaan-perbedaan tersebut tidak diakomodasi dengan baik, yang berdampak kemerdekaan yang dicita-citakan akan semakin sulit untuk diraih. Untuk itu, muncul ide-ide untuk menyatukan perbedaan yang terangkum dalam Sumpah Pemuda, sekaligus menjadi titik balik lahirnya rasa nasionalisme dan persatuan bangsa Indonesia. Saat ini, perasaan sebagai bagian dari satu bangsa masih tetap terbawa ketika para diaspora Indonesia merantau ke tempat yang baru. Tidak jarang, para diaspora Indonesia di tempat rantau turut berupaya berkontribusi bagi bangsa melalui wadah perkumpulan diaspora.

Gambar 3. Diaspora Indonesia dalam oraganisasi Sekar Jagat Indonesia berkumpul bersama untuk mempererat tali persaudaraan di perantauan (lokasi : Paris)

(sumber : koleksi pribadi)

Gambar 4. Kantin KBRI Paris, Perancis yang menyediakan makanan khas Nusantara, tempat berkumpul dan bersantap bagi para diaspora Indonesia

(sumber : KBRI)

Appadurai (1996), seorang antropolog India menyatakan bahwa manusia saat ini hidup di era globalisasi, yakni sebuah era dimana interaksi sosial, budaya dan modernitas berlangsung sangat intens. Sejak era 1990-an, globalisasi ini telah menjadi isu sosial - budaya kontemporer yang sangat populer. Menurutnya, salah satu tatanan dalam globalisasi adalah Ethnoscape, yakni konstruksi perspektif mengenai arus persebaran manusia beserta kebudayaannya ke berbagai penjuru dunia. Salah satu contoh riilnya dapat dilihat pada proses mobilisasi manusia besar-besaran di berbagai belahan dunia dalam beberapa dasawasa terakhir. Pada proses perpindahan ini, diperlukan proses adaptasi pada lingkungan dan tempat yang baru, dan perlahan namun pasti, manusia saling berinteraksi kemudian berupaya menunjukkan eksistensi mereka dengan berbagai cara.

www.pasarhamburg.com

Gambar 7. Poster promosi kegiatan seni dan budaya « Pasar Hamburg » di Jerman (sumber : indonesienmagazin.de)

Gambar 8. Pentas budaya Indonesia, kolaborasi SJI dan PPI Caen, Perancis (sumber : FB Wulan Panyalai Chaniago)

Di Eropa, diaspora Indonesia tersebar ke berbagai negara, terutama di Perancis, Belanda, Jerman, Belgia. Mereka pada umumnya memiliki latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda, contohnya antara lain sebagai ilmuwan, akademisi, pelajar/mahaiswa, tenaga ahli, pekerja profesional, seniman dan usahawan. Di negara-negara tersebut, biasanya diaspora Indonesia berkumpul bersama dalam berbagai komunitas-komunitas kecil. Pada umumnya, terbentuknya komunitas diaspora adalah berdasarkan pada etnis, asal daerah, pekerjaan ataupun hobi. Berbagai komunitas ini dianggap mampu mewadahi, memelihara sekaligus mewakili eksistensi diaspora Indonesia di tempat yang baru. Masing-masing komunitas memiliki kekhasan tersendiri, sebagai bagian dari karakteristik yang mereka coba pertahankan.

Salah satu komunitas diaspora Indonesia yang cukup dikenal di Eropa adalah komunitas Sekar Jagat Indonesia (SJI) yang berbasis di kota Paris, Perancis. Pada awalnya, komunitas ini dibentuk oleh para diaspora Bali sebagai wadah berkumpul dan silaturahmi serta upaya pelestarian seni dan budaya Bali di kota Paris. Seiring waktu, anggota komunitas ini bertambah dan sebtidak saja berasal dari Bali, namun berkembang dan mencakup beragam etnis dari berbagai pelosok Indonesia. Seiring perkembangan organisasi dan heterogentitas anggotanya, SJI semakin fokus pada upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya Indonesia. Komunitas SJI dipimpin oleh Ibu Putu Anggawati Sautelet, seorang diaspora Bali yang telah lama menetap di Perancis. SJI memiliki nama besar dalam diplomasi kesenian dan kebudayaan Indonesia di Eropa. Komunitas SJI seringkali diundang untuk pentas kesenian Nusantara di berbagai kota di berbagai negara Eropa.

Selain komunitas seni budaya SJI, komunitas diaspora lainnya juga memberikan warna baru dalam upaya eksistensi diaspora Indonesia di Perancis, antara lain: PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Perancis sebagai wadah berkumpulnya para pelajar dan mahasiswa Indonesia yang sedang malanjutkan pendidikan mereka di Perancis, mereka bahkan mampu menyatukan diri dengan dengan membentuk wadah PPI Dunia dan menggelar event olimpiade sains internasional serta memberikan beasiswa bagi pelajar Indonesia. PPI lahir tahun 1958 dan saat ini diperkirakan anggotanya berjumlah 450 orang. Di Perancis, terdapat sekitar 20 cabang yang tersebar di di berbagai wilayah PPI secara aktif mengadakan kegiatan dengan tema pendidikan dan kebudayaan, yang bermuara pada promosi pariwisata Indonesia.

Gambar 9. Keterlibatan orang Eropa dalam pentas budaya Indonesia di KBRI Paris (sumber : FB Sekar Jagat Indonesia)

Gambar 10. Susunan acara dalam pentas budaya oleh diaspora Indonesia di Paris (sumber : FB Dhiena Racki)

Selanjutnya adalah Asosiasi Sokasi Banten, sebuah asosiasi Franco-Indonesia (keturunan Indonesia) yang didirikan oleh Cathrene Chouard pada tahun 2009 untuk membantu keluarga-keluarga miskin di Indonesia, Asosiasi Pantcha Indra, komunitas seni tari dan musik tradisional Nusantara, dipimpin oleh Bapak Christophe Moure, Asosiasi Pencak Silat KBRI Paris, sebagai wadah pecinta seni beladiri Pencak Silat khas Indonesia, Association des Indonésiens de Brest (ASSINDOBREST), sebagai wadah diaspora Indonesia di kota Brest, Asosiasi Amicale Franco-Indonésienne de Montpellier (AFIM), Asosiasi Rasa Sayang, dipimpin oleh Ibu Ade Champain, Asosiasi Badminton Nusantara Paris, Asosiasi ANAK (Aide aux Enfants d’Indonésie), Asosiasi Peduli Alam, Asosiasi Bhineka Tunggal Ika, Asosiasi Enfance Sumatra, Asosiasi Danse le Monde, Asosiasi Sourires d’Indonesie, Asosiasi Franco-Indonesia Khatulistiwa dan masih banyak lainnya. Berdasarkan data KBRI Paris, pada bulan Maret 2015, tercatat sekitar 44 komunitas diaspora Indonesia yang tersebar di Perancis saja (KBRI Perancis, 2015).

Melalui berbagai wadah organisasi tersebut, para diaspora Indonesia memiliki peran ganda. Selain sebagai wadah berkumpul, silaturahmi, menyalurkan bakat dan hobi, para diaspora Indonesia juga berupaya untuk memperkenalkan kekayaan seni dan budaya Nusantara kepada masyarakat di Eropa. Selain itu, melalui komunitas yang mereka bangun, mereka turut berkontribusi terhadap upaya pengentasan kemiskinan, pendidikan dan peningkatan kesejahteraan anak-anak dan keluarga miskin di Indonesia.

Diaspora Bali Sebagai Katalis Pariwisata Indonesia di Eropa

Komunitas Sekar Jagat Indonesia (SJI) beranggotakan diaspora Bali dan diaspora Indonesia lainnya yang menetap di kota Paris, Perancis. Mereka berasal dari berbagai kalangan dan latar


belakang profesi. Anggota SJI, selain orang asli Indonesia, ada pula keturunan Indonesia, dan orang Eropa asli. Disinilah sekat-sekat etnis maupun kedaerahan dihilangkan, diganti dengan rasa persatuan sebagai bagian dari Indonesia. Walaupun berbeda, mereka dipertemukan melalui rasa cinta terhadap kegiatan seni dan budaya Indonesia. Nama SJI cukup disegani di kalangan pecinta seni dan budaya Asia di Perancis, dan sering diundang mengisi acara pada berbagai tempat di Perancis, SJI bahkan pernah diundang hingga ke Belanda dan Belgia.

Setiap minggu, komunitas SJI secara rutin berkumpul dan berlatih bersama. Sebagian besar anggota SJI membawa keluarga serta anak-anak mereka. Sementara anggota dewasa berlatih tari tingkat lanjuti, anak-anak diajarkan tari tingkat dasar. Walaupun anak-anak mereka merupakan keturunan Perancis, namun tetap mencintai kesenian dan kebudayaan Indonesia. Pada setiap pertemuan, setiap anggota diwajibkan membawa makanan khas Nusantara dan kemudian dinikmati bersama-sama di akhir acara. Tujuan pertemuan rutin ini, agar tali silaturahmi tetap terjaga dan anak-anak mereka tidak kehilangan rasa memiliki “akar budaya” Indonesia.

Gambar 11. Organisasi PPI Perancis, wadah berkumpulnya komunitas pelajar Indonesia (lokasi : Paris) (sumber : koleksi pribadi)


Gambar 12. Kegiatan diaspora Bali diliput media komunitas para diaspora Indonesia di Jerman (sumber : indonesienmagazin.de)

Para anggota SJI memiliki visi misi yang sama, yakni berupaya melestarikan kekayaan seni dan budaya Indonesia yang mereka cintai, sekaligus memperkenalkan kepada masyarakat Eropa. Mereka juga berusaha secara aktif mempromosikan pariwisata Indonesia melalui berbagai kegiatan pentas budaya. SJI memiiki hubungan yang baik dengan KBRI Perancis, sehingga tercipta simbiosis mutualisme dalam upaya promosi pariwisata Indonesia yang diadakan oleh KBRI Perancis.

Di Belgia, terdapat sebuah pura (tempat sembahyang umat Hindu) bernama Pura Agung Santi Bhuwana. Pura ini berlokasi di Taman Pairi Daiza, sebuah taman rekreasi tematik seluas 55 hektar di

Kota Brugelette atau sekitar 85 km dari Brussel. Pura ini dibangun oleh Eric Domb, seorang Belgia yang mencintai kebudayaan Bali, diresmikan tahun 2009 oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Arsitektur khas Bali tampak jelas dan megah, diantaranya: Candi Bentar, Kori Agung, Padmasana, Bale Piyasan, Bale Gong, Bale Kul-kul, Bale Paruman dan Pelinggih. Bahkan, taman yang ada disekelilingnya sengaja dibuat begitu indah menyerupai sawah berterasering (berundag-undag) layaknya di Bali. Bangunannya terbuat dari bahan batu hitam yang didatangkan langsung dari Yogyakarta dan Bali. Pura ini sangat identik dengan pura-pura yang ada di Bali, dan konon merupakan pura Hindu terbesar di luar Indonesia.

Diaspora Bali di Belgia dan Luxemburg memiliki wadah komunitas yang mereka namakan Banjar Shanti Dharma Belgia-Luxembourg. Komunitas ini biasanya mengkoordinir setiap perayaan odalan (festival atau hari suci umat Hindu), seperti Purnama, Galungan, Kuningan, Nyepi, Saraswati dan Tumpek. Setiap ada kegiatan persembahyangan, pura ini selalu dipenuhi diaspora Bali dari Belgia, Perancis, Belanda dan penjuru Eropa lainnya, serta diaspora Indonesia lainnya yang bukan beragama Hindu.

Di Jerman, terdapat dua buah pura Hindu dengan arsitektur khas Bali. Pertama, terletak di kota Berlin, berdiri sebuah pura yang bernama Pura Tri Hita Karana. Pada awalnya, pura ini merupakan bagian kecil dari taman rekreasi tematik bernama Balinesischer Garten atau Taman Bali. Pura ini kemudian direnovasi agar lebih megah dan luas karena tingginya antusiasme pengunjung, serta diubah namanya menjadi Tropenhalle. Uniknya, pura dengan konsep taman tropis ini dibangun di tengah-tengah rumah kaca yang besar, mencapai tinggi bangunan sekitar 12 meter. Sebagai pelengkap, di sekitar taman terdapat sebuah kafe dengan tematik Bali. Pura ini merupakan sumbangsih dari Pemerintah Kota Berlin bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk mempererat hubungan serta bagian dari promosi pariwisata kedua negara. Pura kedua bernama Pura Sangga Bhuana, berlokasi di halaman depan Museum kebudayaan Volkerkunde, kota Hamburg, Jerman. Pura ini merupakan tempat sembahyang diaspora Bali yang bermukim di Jerman.

Gambar 13. Promosi kegiatan seni budaya Couleurs Indonesia di Perancis (sumber : FB Srikandi Ahak)

Gambar 14. Diaspora Indonesia berfoto bersama seusai pawai sekaligus promosi pariwisata di Paris, Perancis (sumber : FB Sekar Jagat Indonesia)

Diaspora Bali di Jerman menyebut komunitas induknya dengan nama Nyama Braya Bali Jerman (berarti ikatan persaudaraan perantau Bali), sedangkan kelompok yang lebih kecil disebut Tempek, berdasarkan nama wilayah tempat tinggal mereka masing-masing. Komunitas ini secara aktif berupaya mempertahankan kesenian dan kebudayaan Bali di tanah rantau, sekaligus memperomosikan pariwisata Indonesia dengan mengundang grup kesenian dari Bali untuk pentas di kota-kota yang ada di Jerman.

Melalui berbagai kegiatan seni dan budaya, diaspora Indonesia sebenaranya turut terlibat langsung dalam memperkenalkan dan mempromosikan pariwisata Indonesia di tengah-tengah masyarakat Eropa. Dengan demikian diaspora Indonesia memiliki peran penting dalam upaya diplomasi budaya dan pariwisata Indonesia di ranah internasional. Selain itu, kesadaran sebagai bagian dari bangsa Indonesia, menjadikan para diaspora di tanah rantau bersatu padu untuk menghilangkan sekat-sekat etnis ketika melakukan diplomasi kebudayaan ini. Seluruh proses di atas merupakan bagian dari proses pembentukan identitas budaya nasional yang pada akhirnya bisa memupuk rasa kebanggaan, nasionalisme dan cinta tanah air, yang kemudian diturunkan pada anak-anak mereka.

  • 4.    KESIMPULAN

Eksistensi diaspora Bali yang tersebar ke seluruh dunia seringkali menjadi rujukan bagi pengembangan kesenian dan kebudayaan Indonesia di luar negeri, khususnya di Eropa. Di tempat yang baru, diaspora Bali senantiasa menjaga nilai-nilai kultural yang mereka warisi dari tempat asalnya, yang kemudian mereka rekonstruksi bersama-sama diaspora Indonesia etnis lainnya. Pada proses ini, diaspora menjadi katalis bagi diaspora Indonesia lainnya, dalam upaya pelestarian seni dan budaya Indonesia yang bermuara pada upaya memperomosikan pariwisata Indonesia pada masyarakat Eropa.

Diaspora Indonesia selalu berusaha menjaga identitas kultural mereka dengan berbagai cara, termasuk dalam kegiatan promosi seni, budaya dan pariwisata Indonesia. Secara regular, mereka mengadakan berbagai pertemuan sesuai wilayah geografisnya demi menjaga tali silaturahmi dan rasa persaudaraan di antara sesama mereka. Selain itu, mereka juga berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan publik. Berbagai pertemuan tersebut, biasanya selalu dihadiri oleh orang Eropa dari luar komunitas diaspora Indonesia.

Secara sadar, diaspora Indonesia menikmati peran mereka untuk turut berkontribusi positif memperomosikan pariwisata Indonesia di negara-negara Eropa melalui berbagai kegiatan seni dan budaya Indonesia. Kekhawatiran mengenai lunturnya identitas budaya pada generasi turunan diaspora Indonesia, dapat diminimalisir melalui berbagai kegiatan yang memerlukan keterlibatan aktif para diaspora beserta keluarganya. Pada berbagai kegiatan yang diadakan, sekat-sekat budaya, etnis maupun geografis dihilangkan menjadi sebuah identitas budaya Indonesia. Kebudayaan dan kesenian

Indonesia telah menjadi simbol identitas nasional, yang kemudian dikenal oleh public Eropa, hal ini juga memperkuat rasa nasionalisme di kalangan diaspora Indonesia di Eropa.

  • 5.    DAFTAR PUSTAKA

Appadurai, Arjun. 1996. Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization Public Words1. University of Minnesota Press: Minneapolis. USA

Ardika, I Wayan. 1997. 'Bali Dalam Sentuhan Budaya Global Awal Abad Masehi' dalam Dinamika Kebudayaan Bali. Ardika, I Wayan dan Sutaba, I Made (eds) Denpasar: Upada Sastra.

Boomgaard, Peter. 2004. ‘Human Capital, Slavery and Low Rates of Economic and Population Growth in Indonesia, 1600–1910’. dalam Gwyn Campbell (ed). 2004. Studies In Slave And Post-Slave Societies And Cultures. Frank Cass Publishers: Inggris

Chadwick, Bruce dkk. 1991. Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial. Terjemahan Sulistyo dkk. Semarang: IKIP Semarang Press.

Cohen, Erik. et al. 2008. Youth Tourism to Israel Educational - Experiences of the Diaspora. Great Britain: Cromwell Press

Coles, T. E., dan D. J. Timothy. eds. 2004. Tourism, Diasporas and Space. London: Routledge.

Coles, Tim, David Timothy Duval, dan C. Michael Hall. 2005. ‘Tourism, mobility, and global communities: new approaches to theorizing tourism and tourist spaces’ dalam William. F (ed). 2005. Global Tourism: Third edition. Elsevier

Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: Mandar Maju

Endrayadi, Eko Crys. 2013. ‘Perjuangan Identitas Komunitas Sedulur Sikep Di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah’. Disertasi. Prodi Kajian Budaya. Denpasar: Universitas Udayana

Ennaji, Moha. 2005. Multilingualism, Cultural Identity, and Education in Morocco. Springer Science & Business Media hal.19-23

Esman, Milton J. 2012. ‘Diasporas in the Contemporary World’. Journal of International Sociology. .

2012 27: 240 versi online: http://iss.sagepub.com/content/27/2/240

Hall, Stuart. Cultural Identity and Diaspora. London: 1990. hal 393

KBBI. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3 – Cetakan 1. Jakarta: Balai Pustaka

Kinasih, Ayu Windy. 2007. Identitas Etnis Tionghoa di Kota Solo.Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UGM

Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Radar Jaya Offset

Kompas, 2013. Diaspora Tuntut Dwiwarga Negara: Perubahan Disarankan Diperjuangkan Lewat UU. Senin 19 Agustus 2013 hal 9

Kompas, 2013. Kaji Pertimbangan Sejarah: Naskah Akademis Status Dwiwarga Negara Bisa Diajukan. Selasa 20 Agustus 2013 hal 10

Lewis, Jeff . 2006. ‘Paradise defiled: the Bali bombings and the terror of national identity’. dalam European Journal of Cultural Studies 2006   9:    223 versi online:

http://ecs.sagepub.com/content/9/2/223

Mansyur Amin (Ed), Moralitas Pembangunan Perspetif Agama-Agama, M.LKPSM NU : Yogyakarta Mathieson, A. and Wall, G. (1982) Tourism economic, physical and social impacts, Longman Group Limited

Maulana, Achmad dkk., 2003. Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Yogyakarta :Absolut

McKean, Philip Frick. 1973. ‘Cultural Involution: Tourists, Balinese, and The Process of Modernization in Anthropological Perspective’. Unpublished Ph. D dissertation. Brown University.

Mudji, Sutrisno dan Putranto, Hendar (ed). 2007. Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan. Depok: Penerbit Koekoesan

Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia

Narottama, Nararya. 2012. Spiritual Tourism: Case Study Of Foreigners Participation In The Pitrayajña Ceremony In Muncan Pakraman Village, Selat, Karangasem, Bali. Thesis. Master of Tourism Research. Udayana University, Bali and Université Paris 1 – Pantheon Sorbonne, Paris

Narottama, Nararya. 2015. The Existence of Balinese Diaspora in Europe: The Process of Formation of Cultural Identity and Tourism Promotion (Case Study Of Sekar Jagat Indonesia In Paris, France). Proceedings of the Tourism and Hospitality International Conference (THIC 2015)

Narottama, Nararya dan Sudarmawan, Eka. 2016. The Indonesian Diaspora in Europe: Culinary as Cultural Identity. Dalam Advances in Economics, Business and Management Research. doi:10.2991/ictgtd-16.2017.9

and Tourism Promotion in Paris, France

Narwoko J. Dwi & Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm. 350

Natalegawa, Marty. 2013 (dalam Setkab. 2013. "3800 Diaspora Indonesia 'Pulang Kampung' Ikuti Kongres di Jakarta" Press Conference. http://setkab.go.id/berita-9890-3800-diaspora-indonesia-pulang-kampung-ikuti-kongres-di-jakarta.html

Picard, Michel. 2006. Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, Cetakan Pertama, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (Version Originale: 1992. Bali: Tourisme culturel et culturel touristique, Paris: Editions l'Harmettan

Relin, D.E. 2011. Pemertahanan Tradisi Ruwatan dalam Era Modernisasi Dalam Masyarakat Jawa, Di Desa Kumendung, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur. Desertasi. Denpasar : PS. Kajian Budaya Universitas Udayana

Ritzer, George. Barry Smart. 2001. Handbook of Social Theory. London: SAGE Publications Ltd.

Ritzer, George. Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:Kencana Prenada Media Group

Robin Cohen. 1997. Global Diasporas: An introduction. Routledge

Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: A Biographical Approach. New York: The Free Press.

Setiadi, Elly M, dkk. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Kencana.

Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990, hlm. 301

Titib, I Made. 1998. Kebudayaan Bali Sebagai Cerminan Ajaran Agama Hindu: Peranan Sekehe Taruna Untuk Melestarikannya. Makalah.

Titib, I Made. 2006. Persepsi Umat Hindu di Bali tentang Svarga, Naraka, dan Moksa dalam Svargarohanaparva: Perspektif Kajian Budaya. Surabaya: Penerbit Paramita.

Titib, I Made. 2006. Wisata Ritual dan Spiritual: Bagaimana Cara Mengemasnya Paper. Matrikulasi Program Studi Kajian Pariwisata, Universitas Udayana Denpasar.

Vink, Markus. 2003. ’The World’s Oldest Trade”: Dutch Slavery and Slave Trade in the Indian Ocean in the Seventeenth Century’. Journal of World History, Vol. 14, No. 2. University of Hawai‘i Press

VOC 1276, OBP 1671, fls. 684–1007, Notitie [Speelman] . . . tot Naerrichtinge voor den

Ondercoopman Jan van Opijnen, 17.2.1670; J. Noorduijn, “De Handelsrelaties van het Makassaarse Rijk Volgens de Notitie van Cornelis Speelman uit 1670,” Nederlandse Historische Bronnen III (Amsterdam, 1983), pp. 96–123. dalam Vink, 2003 Op. Cit

Wahab, Salah and Cooper, Chris (eds). 2001.Tourism in the Age of Globalization. New York : Routledge

Wallace, Walter L,1990. Metode Logika Ilmu Sosial. Penerjemah Yayasan Solidaritas Gama. Jakarta: Bumi Aksara.

Wesnawa, I B. Suandha. 1994. Aspek Teosofis Ajaran Hindu Dan Pembangunan Dalam Moralitas Pembangunan Perspetif Agama-Agama, M.Mansyur amin (Ed), LKPSM NU : Yogyakarta

Woodward, K. 1997. (Ed.). Identity and Difference. London: Sage.

World Tourism Organization. 1995. Technical Manual: Collection of Tourism Expenditure Statistics. WTO

SUMBER INTERNET:

Detik. 2015. Presiden Indonesian Diaspora Network: Diaspora Tuntut Kewarganegaraan Ganda. dalam     https://news.detik.com/wawancara/2995530/presiden-indonesian-diaspora-network-

diaspora-tuntut-kewarganegaraan-ganda dikunjungi tanggal 16 Juli 2017

Dwipayana, AAGN Ari. 2004. Diaspora Bali. http://balipublika.com/diaspora-bali/#more-138. dikunjungi tanggal 4 Maret 2013

George Ritzer dan Gouglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Jakarta http://library.binus.ac.id/eColls/eThesis/Bab2/2008-1-00130 IG% 20Bab% 202. pdf

Harramain, M. Eric. 2009. Teori Interaksi Simbol (Symbolic Interaction Theory – SI) dalam http://eric-harramain.blogspot.com dikunjungi pada tanggal 2 Februari 2014

Hutasoit,         Ramot.         2013.         Paham         Eksistensialisme.         dalam

http://ramothutasoit.blogspot.com/2013/06/paham-eksistensialisme.html diakses pada tanggal 2 Februari 2014

KBRI Perancis, 2015. Liste Des Associations Franco - Indonesiennes En France dalam https://ambassadeindonesie.fr/blog/2009/09/28/liste-des-associations-franco-indonesiennes-en-france-2/ diakses tanggal 20 Juli 2017

Prabowo, Aditya Ari. 2008. Konstruksi Identitas Budaya Masyarakat Imigran Turki di Jerman Dalam Film « Kebab Connection ». Skripsi. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/127003-RB11P361ki-Konstruksi%20identitas-Literatur.pdf dikunjungi tanggal 25 April 2013

Rahardjo, Mudjia. 2010. Diaspora dalam Pergeseran Budaya dan   Bahasa.

http://mudjiarahardjo.com/artikel/213-diaspora-dalam-pergeseran-budaya-dan-bahasa.html. dikunjungi tanggal 3 April 2013

Ramadhan, Bagus. 2015. Jumlah Diaspora Indonesia Dipercaya yang Terbesar Ketiga di Dunia dalam        https://www.goodnewsfromindonesia.id/2015/08/24/jumlah-diaspora-indonesia-

dipercaya-yang-terbesar-ketiga-di-dunia dikunjungi tanggal 19 Juli 2017

The Marketeers.com. 2005. Harusnya Diaspora Indonesia Terbesar Ketiga di Dunia dalam http://marketeers.com/harusnya-diaspora-indonesia-terbesar-ketiga-di-dunia/ diakses tanggal 20 Juli 2017

Tempo.        2015.        Memanfaatkan        Diaspora        Indonesia.        dalam

http://www.tempo.co/read/opiniKT/2015/08/11/10672/memanfaatkan-diaspora-indonesia, diakses tanggal 11 Agustus 2015

195