JURNAL KEPARIWISATAAN DAN HOSPITALITAS

Vol. 1, No. 2, November 2017.

Analisis dampak perkembangan pariwisata terhadap perilaku konsumtif masyarakat wilayah bali selatan

I Nyoman Urbanus1 dan Febianti2

1,2Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional Surel: 1[email protected] 2[email protected]

Abstrak

Perkembangan industri akibat adanya pertubuhan pariwisata yang pesat pada era globalisasi ini membuat penyediaan barang di kawaan pariwisata menjadi berlimpah. Banyak fasilitas komersil mulai terbangun di kawasan pariwisata, mulai dari mall, supermarket sampai pusat oleh-oleh. Dengan begitu masyarakat akan dengan mudah tertarik untuk mengkonsumsi barang karena banyak sekali pilihan yang ada. Kebiasaan dan gaya hidup masyarakat berubah dalam waktu yang relatif singkat menuju ke arah kehidupan mewah dan cenderung berlebihan yang pada akhirnya menimbulkan pola hidup konsumtif. Penelitian ini bertujuan untuk 1) Mengidentifikasi perkembangan pariwisata Bali, 2) Mengidentifikasi dampak perkembangan pariwisata Bali, dan 3) Mengidentifikasi perilaku konsumtif masyarakat. Metodologi penelitian yang digunakan adalah metodelogi penelitian kualitatif. Hal ini dikarenakan objek yang diteliti merupakan suatu realita yang tidak dapat dilihat secara parsial, objek yang bersifat dinamis, hasil konstruksi pemikiran dan interpretasi terhadap gejala yang diamati harus secara utuh dan menyeluruh (holistik), karena semua komponen yang ada dalam rangkaian penelitian tersebut saling terhubung satu sama lain. Teknik pengumpulan data melalui pengamatan secara langsung/observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi/ studi literatur. Hasil dari penelitian ini adalah memperlihatkan 1) Deskripsi perkembangan pariwisata Bali dilihat dari Pengembangan ODTW, Pengembangan Sarana dan Prasarana Wisata, Pengembangan Pasar dan Promosi Wisata, Kesejahteraan Masyarakat, 2) Dampak yang ditimbulkan akibat perkembangan pariwisata terhadap aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan masyarakt Bali, dan 3) Faktor penyebab dan dampak yang ditimbulkan akibat dari perilaku konsumtif masyarakat. Rekomendasi dari penelitian ini memberikan masukan kepada Pemerintah dalam mengantisipasi perkembangan sarana akomodasi yang sangat dinamis, sehingga bermanfaat di dalam mensejahterakan masyarakat dan membantu pemerintah dalam mengkaji ulang rencana tata ruang untuk mengatasi permasalahan pembangunan akomodasi serta memperbaiki pola prilaku masyarakat.

Kata Kunci: dampak, perkembangan pariwisata, perilaku konsumtif

Abstract

Industrial development due to the rapid growth of tourism in globalization era forces abundant supply of goods. Massive commercial facilities built in the area of tourism, ranging from malls, supermarkets to souvenir shops. Societies becoming easily interested to consume the goods since there are many options available. Social habits and lifestyles changed in a relatively short time toward the luxurious and excessive life that ultimately leads to consumptive lifestyle. This study aimed to 1) Identify the development of Bali tourism, 2) Identify the impact of tourism development in Bali, and 3) Identify the consumer's consumptive behavior, based on a qualitative research methodology. The object under study is a reality that cannot be seen partially. Results and interpretations should be gained from the whole picture and holistic comprehensions, since all the components in the series of research are interconnected one another. Data collected through direct observation, in-depth interviews and documentation / literature study. Results of this study showed 1) Description of Bali tourism development, 2) Impacts caused by the development of tourism on the economic, socio-cultural and environmental aspects of Balinese society, and 3) Causes and impacts resulting from the consumptive behavior of the community. The recommendations of this study provides suggestions to government in anticipating the development of a highly dynamic accommodation facility, which is useful in the

prosperity of the community and assist the government in reviewing the spatial plan to address the problem of accommodation development and improves pattern of community behavior.

Keywords: Impact, Tourism Development, Consumptive Behavior

  • 1.    PENDAHULUAN

Pariwisata merupakan salah satu sektor prioritas yang memiliki peran penting dalam perekonomian di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Asisten Deputi Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Pariwisata Kementrian Pariwisata, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada Januari-Agustus 2015 sebanyak 6.322.592 orang atau tumbuh 2,71 persen dibandingkan periode yang sama Januari-Agustus 2014 sebanyak 6.155.553 orang. Hal ini memperlihatkan adanya perkembangan pariwisata Indonesia yang menunjukan peningkatan kunjungan wisatawan yang cukup tajam. Adanya pertumbuhan kunjungan ini dikarenakan pariwisata Indonesia dinilai memiliki keunggulan dari sisi destinasi dan harga.

Pariwisata pada umumnya adalah sebuah industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan dan sangat peka dalam kerusakan (Soemarwoto, 2001). Tanpa lingkungan yang baik tidak mungkin pariwisata berkembang. Oleh karena itu pengembangan pariwisata haruslah memperhatikan terjaganya mutu lingkungan, sebab dalam indutri pariwisata lingkungan itulah yang sebenarnya di jual.

Pembangunan pariwisata merupakan salah satu pembangunan yang perlu dikembangkan karena dari sektor ini dapat meningkatkan penerimaan devisa negara, menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam menyediakan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hdup serta menstimulasikan faktor-faktor produksi yang lainnya. Tujuan pembangunan pariwisata di Indonesia tertuang dalam instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1969, khususnya Bab II Pasal 3, yang menyebutkan ”Usaha-usaha pengembangan pariwisata di Indonesia bersifat suatu pengembangan serta kesejahteraan masyarakat dan Negara”. Berdasarkan instruksi Presiden tersebut, dikatakan bahwa tujuan pembangunan pariwisata di Indonesia adalah untuk meningkatkan pendapatan devisa pada khususnya dan pendapatan negara dan masyarakat pada umumnya, perluasan kesempatan serta lapangan kerja, dan mendorong kegiatan-kegiatan industri penunjang dan industri-industri sampingan lainnya. Pembangunan pariwisata memunculkan berbagai kegiatan-kegiatan ekonomi dalam suatu daerah pariwisata seperti hotel, penginapan, biro perjalanan, restoran, indutri kerajinan, art shop, serta berbagai fasilitas pendukung lainnya.

Namun di era ini terjadi peradigma baru dalam bidang pariwisata yang dulunya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peluang kerja di semua lini ternyata terbukti dapat menyebabkan malapetaka terhadap kehidupan sosial, budaya dan lingkungan. Masalah-masalah sosial banyak ditemui di masyarakat setelah mengembangkan kepariwisataan. Pengembangan pariwisata berdampak pada perubahan tata nilai hidup manusia. Yang pertama adalah sifat individualisme, yaitu sifat yang mementingkan diri sendiri. Hal ini sangat bertentangan dengan budaya Indonesia yang lebih mengutamakan kebersamaan. Sifat individualisme mengingkari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Yang kedua adalah hedonisme, yaitu gemar hura-hura. Kehidupan hanya digambarkan sebagai kesenangan belaka dan tidak ada kerja keras. Ketiga sekularisme, yaitu sikap yang memisahkan antara agama dan urusan dunia. Agama hanya di pandang sebagai proses ritual yang kadang-kadang bertentangan dengan kesenangan dunia. Dan yang terakhir adalah konsumerisme, yaitu sifat menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak perlu yang ditentukan oleh gaya bukan fungsinya (Sutardi, 2007).

Perkembangan industri akibat adanya pertubuhan pariwisata yang pesat pada era globalisasi ini membuat penyediaan barang di kawaan pariwisata menjadi berlimpah. Banyak fasilitas komersil mulai terbangun di kawasan pariwisata, mulai dari mall, supermarket sampai pusat oleh-oleh. Dengan begitu masyarakat akan dengan mudah tertarik untuk mengkonsumsi barang karena banyak sekali

pilihan yang ada. Barang-barang yang dahulu dianggap kebutuhan sekunder, berubah menjadi kebutuhan primer. Sama halnya dengan barang-barang kebutuhan tersier, pada saat ini juga telah banyak yang menjadi kebutuhan utama, yang biasanya berupa fasilitas-fasilitas yang membuat kesenangan semata seperti tempat karaoke, tempat hiburan malam dan lain sebagainya (Chatijah dan Purwadi, 2007). Lina dan Rosyid (Wahyudi, 2013) menyatakan bahwa kebiasaan dan gaya hidup masyarakat berubah dalam waktu yang relatif singkat menuju ke arah kehidupan mewah dan cenderung berlebihan yang pada akhirnya menimbulkan pola hidup konsumtif.

Pola hidup yang konsumtif sangat terlihat dari perilaku pembelian masyarakat. Konsumen membeli barang-barang ataupun jasa yang kurang atau tidak diperlukan sehingga sifatnya menjadi berlebihan. Artinya, seseorang menjadi lebih mementingkan faktor keinginan (want) daripada kebutuhan (need) dan cenderung dikuasai oleh hasrat keduniawian dan kesenangan material semata (Sumartono, 2002).

Robbers dan Jones (Naomi dan Mayasari 2008) berpendapat bahwa perilaku konsumtif yang ditunjukkan dengan perilaku berbelanja yang berlebihan telah membawa dampak buruk bagi lingkungan hidup. Pertama, dari segi input dalam memproduksi suatu produk berarti penggunaan sumber daya yang boros, karena melebihi takaran yang seharusnya diperlukan. Dampak kedua adalah tingginya aktifitas, terakhir perilaku konsumsi yaitu disposisi sebuah produk. Artinya pembuangan produk yang dilakukan oleh konsumen telah berlebihan sehingga lingkungan harus menerima buangan pemakaian produk yang cukup tinggi (Naomi dan Mayasari 2008).

Dampak negatif perilaku konsumtif lainnya yaitu terjadinya pemborosan dan infisiensi biaya. Secara psikologis perilaku konsumtif menyebabkan seseorang mengalami kecemasan dan rasa tidak aman. Hal ini disebabkan individu selalu merasa adanya tuntutan untuk membeli barang yang diinginkannya akan tetapi kegiatan pembelian tidak ditunjang dengan finansial yang memadai sehingga timbulnya rasa cemas karena keinginannya tidak terpenuhi (Suyasa dan Fransiska 2005).

Kecenderungan perilaku konsumtif dipengaruhi oleh beberapa faktor yang pada intinya dapat dibedakan menjadi dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal (Engel, Blackwell & Miniard, 1995; Kotler, 2006). Salah satu faktor internal yang mempengaruhi perilaku konsumtif adalah gaya hidup. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Triyaningsih bahwa kebanyakan orang yang melakukan perilaku konsumtif dikarenakan keinginan mengikuti trend gaya hidup. (Triyaningsih, 2011) .

Gaya hidup adalah fungsi dari karakteristik individu yang telah terbentuk melalui interaksi sosial. Secara sederhana, gaya hidup juga dapat diartikan sebagai cara yang ditempuh seseorang dalam menjalani hidupnya, yang meliputi aktivitas, minat, kesukaan/ketidaksukaan, sikap, konsumsi dan harapan. Gaya hidup merupakan pendorong dasar yang mempengaruhi kebutuhan dan sikap individu, juga mempengaruhi aktivitas pembelian dan penggunaan produk. Dengan demikian, gaya hidup adalah aspek utama yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan seseorang dalam membeli produk. Gaya hidup sering dihubungkan dengan kelas sosial ekonomi dan menunjukan citra seseorang. Gaya hidup yang ditunjukkan dalam variasi keputusan citra rasanya. Dalam hal merek, merek bukanlah sekedar nama. Di dalamnya terkandung sifat, makna, arti dan isi produk bersangkutan. Bahkan dalam perkembangannya lebih lanjut merek akan menandai simbol dan status dari produk tersebut (Anggraini, 2012). Gaya hidup adalah pola dimana orang hidup dan menghabiskan waktu serta uang. Seorang yang cenderung berpenghasilan besar akan dengan mudah mengalokasikan uangnya untuk kesenangan dan kemewahan tanpa memikirkan nominal.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan permasalahannya adalah mengenai 1) perkembangan pariwisata Bali, 2) dampak perkembangan pariwisata Bali terhadap aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan masyarakat Bali, dan 3) perilaku konsumtif masyarakat akibat perkembangan pariwisata.

  • 2.    METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan mengunakan pendekatan kualitatif. Menurut Poerwandari (2001), untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam dan khusus atas suatu fenomena serta untuk dapat memahami manusia dalam segala kompleksitasnya sebagai makhluk subjektif, maka pendekatan kualitatif merupakan metode yang paling sesuai untuk digunakan. Penelitian ini menggunakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan dari objek penelitian. Data yang terkumpul dipelajari sebagai satu kesatuan yang tujuannya adalah untuk mengembangkan pengetahuan yang mendalam mengenai objek yang diteliti. Pendataan dan penentuan tingkat perkembangan dilakukan dengan metode pengumpulan data secara observasi, wawancara dan dokumentasi. Observasi adalah pengamatan langsung ke lapangan untuk mengetahui kelayakan suatu permasalahan untuk diteliti. Suatu permasalahan layak diteliti apabila tersedianya data, informasi dan referensi yang memadai. Wawancara merupakan cara yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan keterangan dan data secara lisan dari responden. Wawancara dilakukan dengan bercakap-cakap langsung atau dengan tanya jawab kepada responden. Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam. Wawancara dilakukan terhadap beberapa informan yang dianggap mengetahui data yang mendekati kebenaran dan mempunyai wawasan yang luas terhadap objek penelitian. Studi Dokumen merupakan suatu teknik pengumpulan data melalui arsip-srsip dan buku-buku tentang pendapat, teori dan lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian. Studi dokumen dilakukan untuk menggali teori-teori dasar, konsep-konsep relevan dalam penelitian serta untuk memperoleh orientasi yang lebih luas mengenai topik penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan Deskriptif Kualitatif dengan melalui beberapa proses seperti verifikasi data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Sedangkan untuk penggalian informasi kolektif masyarakat dilakukan dengan Focus Group Discussion (FGD) yang diikuti oleh seluruh stakeholder. Tujuan Focus Group Discussion (FGD) adalah untuk memperoleh masukan maupun informasi mengenai suatu permasalahan yang bersifat lokal dan spesifik. Penyelesaian tentang masalah ini ditentukan oleh pihak lain setelah masukan diperoleh dan dianalisa.

  • 3.    HASIL DAN PEMBAHASAN

  • A.    Perkembangan Pariwisata Bali

    1.    Daya Tarik Wisata

Bali memiliki objek wisata yang sangat beragam, baik wisata alam, wisata budaya, dan wisata bahari. Di Bali terdapat beberapa lokasi objek wisata yang tersebar di delapan kabupaten. Di Kabupaten Badung terdapat Pura Uluwatu, Pura Taman Ayun, Alas Pala Sangeh, Pantai Kuta, Legian, Seminyak, Pantai Suluban, Pantai Nusa Dua, Kota Mangupura, Air terjun Plaga, Atraksi Mekotek di Desa Munggu, dan masih banyak lagi. Bali dianugerahkan memiliki alam yang indah dan bervariatif, dari mulai pantai, laut, sungai, danau, gunung dan hutan. Semua objek alam ini sangat potensial untuk dijadikan objek wisata. Objek wisata alam yang menarik di Bali, yaitu pantai. Bali sangat terkenal dengan keindahan pantainya. Contohnya, pantai Kuta yang merupakan objek wisata sangat terkenal. Pantai ini terletak di paling selatan Pulau Bali yang memliki pantai berpasir putih. Pantai Kuta yang lebar, berpasir putih bersih merupakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Pada sore hari di saat matahari mulai terbenam, Kuta menyajikan pemandangan yang sangat indah. Pantai ini memiliki ombak yang bagus untuk aktivitas selancar.

Kawasan pantai lainnya adalah Tanjung Benoa di sebelah utara kawasan Nusa Dua adalah tempat yang menyenangkan untuk melakukan beraneka olah raga dan rekreasi air, seperti sonorkling, parasailing, daiving, boat, berlayar, berselancar, melihat pemandangan bawah laut dengan glass buttom boat dan berbagai kegiatan olah raga lainnya.

Objek wisata yang tidak kalah menarik, yaitu budaya masyarakatnya. Kehidupan masyarakat Bali sangat erat dengan agama hindunya sehingga setiap upacara keagamaan merupakan objek yang sangat khas. Pura merupakan tempat ibadah umat hindu yang menarik tersebar di seluruh pelosok Bali. Oleh karena itu, Bali juga memeliki julukan Pulau Seribu Pura. Diantara pura yang menarik yaitu Pura Uluwatu. Mengunjungi Pura Uluwatu pada saat diselenggarakannnya suatu acara perayaan

agam Hindu adalah sangat menyenangkan, ratusan pemeluk agama Hindu datang ke pura ini dengan mengenakan pakaian adat yang indah dengan membawa berbagai macam sesajian. Dalam kesehariannya, di lingkungan Pura Uluwatu juga diselenggarakan tari kecak yang disajikan saat mejelang matahari terbenam. Banyak sekali wisatwan yang datang ke tempat ini khususnya pada saat menjelang matahari ternggelam karena suasana dan pemandangannya yang sangat mengesankan. Pura Luhur Uluwatu berdiri persis di atas batu karang yang menjorok kelaut dengan pemadangan yang sangat indahnya, terutama pada sore hari.

Sebagai daerah tujuan wisata yang utama di Indonesia, berbagai desa di Bali juga berkembang menjad desa wisata dengan keunikannya masing-masing. Desa Baha sekitar 4 kilometer sebelah timur Pura Taman Ayun, dikenal denagn sistem pertanian Subak, suatu organisasi yang mangatur pemabagian air untuk irigasi pertanian. Keunikan lain yang dapat dijumpai di desa ini adalah pintu masuk ke rumah dari masing-masing keluarga yang seragam dengan kombinasi arsitektur bangunan tradisional Bali, sehingga dapat memberikan kesan tersendiri bagi wisatawan. Pura desanya dihiasi ukiran kuno.

Selain obyek budaya yang berupa bangunan, di Bali sangat terkenal dengan keseniannya, yaitu seni tari, seni lukis, seni rupa, wayang kulit dan berbagai upacara adat atau upacara keagamaan. Seni tarinya antara lain tari Kecak, tari Barong, tari Legong, tari Topeng, dan tari Arja. Seni lukisnya meliputi seni lukis modern maupun tradisinal. Seni rupanya seperti berbagai jenis patung dan hasil kerajinan, baik dari logam maupun dari bahan bukan logam. Sedangkan upacara adatnya antara lain upacara ngaben (pembakaran mayat), upacara piodala di pura-pura, dan upacara potong gigi (metatah).

Bali dikenal dengan julukan Pulau Dewata dengan pariwisata merupakan salah satu bagian dari motor penggerak ekonominya. Memasuki tahun 2016, jumlah kunjungan wisman ke Bali mencapai 4.927.937 orang atau meningkat sebesar 23,14 persen dari tahun sebelumnya, seperti yang terlihat pada tabel 5.1 berikut:

  • 2.    Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasaran pendukung seperti hotel, restauran, cafe, kolam renang, pusat souvenir dan sarana oleh raga merupakan fasilitas pendukung yang sangat penting dalam kegiatan pariwisata. Pariwisata Bali memiliki sarana dan prasaran yang lengkap. Di kawasan wisata Kuta banyak terdapat hotel berbagai kelas dan hotel-hotel berbintang berfasilitas standar internasional. Kawasan ini dipenuhi dengan berbagai penginapan dari yang sederhana hingga yang mewah, banyak wisatawan memilih kawasan ini untuk menginap sebelum berkeliling ke berbagai destinasi wisata lainnya di Bali.

Sejak 2009 jumlah hotel berbintang di Bali mengalami peningkatan hampir dua kali lipat. Selama periode tahun 2015 jumlah hotel berbintang meningkat dari 249 menjadi 281 hotel. Hanya saja kenaikan jumlah hotel tidak diimbangi dengan kenaikan yang sama pada jumlah kamar. Kamar yang tersedia di kelompok hotel berbintang hanya meningkat sekitar 69 persen dalam rentang waktu yang sama. Penurunan pada jumlah kamar di banyak hotel ini sebagian besar dipicu oleh efisiensi. Pada kelompok non bintang, perkembangan jumlah hotel justru mengalami penurunan meskipun dari sisi jumlah kamar mengalami peningkatan.

Pada tahun 2016, Pariwisata Bali mengalami peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara, hal ini berdapak kepada peningkatan Tingkat Penghunian Kamar (TPK). Pada hotel bintang angka TPK naik dari tahun sebelumnya yaitu dari 60,48 persen menjadi 61,75 persen di tahun 2016, sementara pada hotel non bintang, juga terjadi peningkatan dari 30,87 persen di tahun 2015 menjadi 37,51 persen di tahun 2016.

Akan tetapi meningkatnya jumlah kunjungan wisman tidak diikuti dengan rata-rata lama menginap tamu di hotel berbintang. Untuk hotel berbintang, rata-rata lama menginap wisman mencapai 2,91 hari, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 3,08 hari. Sementara hotel

non bintang, rata-rata lama menginap wisaman mencapai 2,57 hari, turun dari tahun sebelumnya yang telah mencapai 2,90 hari.

Selain adanya Hotel, Bali juga memiliki fasilitas pendukung lainya seperti restauran, bar, dan penyedia jasa lainnya. Dilihat dari jumlah restoran/rumah makan, dari tahun-ketahun mengalami kecenderungan meningkat. Pada tahun 2016, jumlahnya meningkat sebesar 40 buah yaitu dari 2,177 buah di tahun 2015, menjadi 2,217 buah di tahun 2016. Sementara daya tampung/kapasitas tempat duduk yang disediakan, menunjukan fenomena berbeda. Jika pada tahun 2015 jumlah tempat duduk yang tersedia mencapai 114,895 kursi, maka pada tahun 2016 jumlahnya berkurang menjadi 100,658 kursi.

Dilihat prasaran pendukung pariwisata yang disediakan, jalan adalah contoh infrastruktur transportasi yang paling sering dibangun di Bali. Meskipun demikian panjang jalan tidak banyak yang berubah pada tahun 2015. Pembangunan lebih ditekankan pada peningkatan kualitas dan perbaikan kondisi jalan. Dilihat dari statusnya, sekitar 54 persen jalan di Bali atau sekitar 743.34 KM dari total 1,372.73 KM merupakan jalan provinsi. Jumlah ini relatif menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dibandingkan dengan jalan nasional, proporsi jalan provinsi yang mengalami kerusakan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nasional. Panjang jalan provinsi yang dikatagorikan rusak mencapai 128.97 KM (17.35 persen) atau jauh lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi jalan nasional yang mengalami kerusakan. Hal ini memperlihatkan prasaran pendukung pariwisata di Bali masih perlu diperbaiki.

  • 3.    Pasar Wisata

Di tahun 2016 jumlah kedatangan wisman mencapai angka 4,927,937 orang. Dengan jumlah ini berarti jumlah wiaman ke Bali berkontribusi sekitar 42,77 persen terhadap total kunjungan ke Indonseia. Jumlah kunjungan wisman ke Indonesia di tahun 2016 mencapai 11,52 juta kunjungan. Jumlah kunjungan wisman 2016 tumbuh 10,69 pesen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang hanya 10,41 juta. Badan Pusat Statistik Bali mencatat bahwa kunjungan wisatawa mancanegara ke Bali tumbuh sebesar 23,14 persen dari tahun yang lalu yang berjumlah 4,001,835 orang. Menurut Kepala Dinas Pariwisata Bali jumlah kunjungan wisman tersebut melampaui target sebesar 4,2 juta wisatawan. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, setiap tahunya selalu mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan 494,651 orang pertahun. Penigkatan terbesar terjadi pada tahun 2015 ke tahun 2016 yang mencapai 926,102 orang.

Minat wisatawan untuk berkunjung atau berwisata ke Bali terus meningkat, terbukti dengan peningkatan jumlah kunjungan wisaman yang cukup tajam. Pada tahun 2012 ke 2013 pertumbuhan tercatat sebesar 11,16 persen, pada periode 2013 – 2014 pertumbuhan wisman meningkat menjadi 14,89 persen dan mencapai puncaknya wisaman pada periode 2015 ke 2016.

Kunjungan wisman ke Bali sebagaian besar melalui pintu masuk bandara udara Ngurah Rai Tuban yaitu mencapai 4,852,634 orang atau 98,47 persen. Disis lain yang melalui pelabuhan laut hanya sebesar 75,303 orang atau 1,53 persen. Perkembangan jumlah wisman yang masuk melalui bandara udara Ngurah Rai meningkat sebesar 20,04 persen dibandingkan keadaan tahun 2015. Sedangkan kunjungan wisatawan asing yang melalui pelabuhan laut juga naik sebesar 115,75 persen dibandingkan tahun 2015.

Pangsa pasar utama tahun 2016 tidak jauh berbeda dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Terdapat dua Negara yang pada tahun 2015 masuk lima besar harus keluar pada tahun 2016 ini yaitu Singapura dan Malaysia. Untuk posisi lima besar kali ini, ditempati oleh wisatawan yang berasal dari negara Australia, Tiongkok, Jepang, Inggris dan India. Pangsa wisman dari kelima negara tersebut mencapai 2,777,809 orang atau sebesar 56.37 persen dari total wisman yang datang langsung ke Bali.

Australia menempati posisi teratas dengan jumlah kedatangan sebanyak 1,143,157 orang atau 23,20 persn. Pada posisi kedua wisaman Tionkok sebanyak 990,771 orang atau 20.11 persen, kemudian dari Jepang sebanyak 235,009 orang atau 4.77 persen. Inggris menyumbang 221,521

kunjungan atau 4.50 persen berada di peringkat keempat dan pada posisi ke lima dari India sebanyak 187,351 orang atau 3.80 persen. Tahun 2016 ini perkembangan kedatangan wisman kelima negara terbesar masih mengalami pertumbuhan dibandingkan keadaan tahun sebelumnya. Selanjutnya untuk lima pasar utama lainnya (posisi enam sampai sepuluh) di tahun 2016 masing-masing adalah wisman dari Malaysia sebanyak 169,721 orang atau sebesar 3.65 persen, Amerik Serikat sebesar 170,457 orang (3.46%), Perancis 165,291 orang (3.35), Jerman 156,925 orang (3.12%), dan Korea Selatan sebanyak 151,440 (3.07%).

Apabila dilihat dari tren kunjungan selama lima tahun terakhir dari lima negara kontributor wisaman terbesar, terlihat bahwa kelima negara tersebut menunjukan tren yang meningkat. Tiongkok menunjukan peningkatan absolut yang paling tajam, yaitu sebanyak 212.38 persen selama lima tahun terakhir dengan rata-rata pertumbuhan 33.70 persen pertahun. Kunjungan wisman dari Australia tumbuh rata-rata sebesar 9.76 persen per tahun dalam periode lima tahun dan 42.91 persen dari tahun 2012 ke 2016. Negara lainnya yaitu Jepang, Malaysia, dan Inggris tumbuh rata-rata masing-masing sebesar 5.67 persen, 2.37 persen, dan 18.25 persen setiap tahunnya.

  • 4.    Kesejahteraaan Masyarakat

Pertumbuhan ekonomi Bali di tahun 2015 mencapai angka 6.04 persen. Angka ini memperlihatkan bahwa ekonomi Bali tetap dapat tumbuh stabil ditengah melambatnya ekonomi nasional yang tumbuh di bawah kisaran 5 persen. Ekonomi Bali yang ditopang oleh konsumsi masyarakat memperlihatkan tren peningkatan, meskipun di tahun 2015 mengalami perlambatan. Basis ekonomi Bali yang sebagian besarnya merupakan hasil kreativitas dalam bentuk jasa tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan tahun 2014 yang mampu tumbuh hingga 6.73 persen.

Dilihat dari strukturnya dapat diketahui bahwa lapangan usaha Penyedia Akomodasi dan Makan Minum merupakan kontribusi terbesar ekonomi Bali selama tahun 2015. Lapangan usaha ini menyebutkan sekitar 22.82 persen. Meskipun sangat kuat akan tetapi kontribusi lapangan usaha ini mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2014 yang mencapai 23.1 persen. Sementara itu yang mengejutkan selama tahun 2015 dibandingkan dengan tahun sebelumnya adalah bahwa kontribusi dengan tahun sebelumnya adalah bahwa kontribusi lapangan usaha pertanian justru mengalami kenaikan.

Dari sisi pengeluaran, terlihat bahwa ekonomi Bali lebih banyak bergantung pada kuatnya konsumsi masyarakat yang secara langsung memiliki dependensi dengan suplai yang dipenuhi dari luar Bali. Secara gambling dapat dilihat bahwa sebagian besar ekonomi Bali sangat tegantung pada konsumsi. Dari total PDRB (pendapatan daerah regional bruto), sekitar 86.36 trilyun rupiah merupakan konsumsi rumah tangga. Iklim investasi berjalan yang tidak terlalu bagus membuat perubahan inventori mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Beberapa produsen lebih memilih untuk menghabiskan stok daripada menambah pasokan dengan mendatangkan komoditas baru.

Sementara itu dilihat dari komponen pengeluaran sangat jelas terlihat bahwa distribusi barang baik ekspor maupun impor dari luar negeri mengalami penurunan. Praktis komponen ekspor mapun impor hanya ditopang dari sisi jasa. Bali masih sangat tergantung dari daerah lain, terlihat dari net ekpor yang negatif. Komponen impor antar pulau tercatat lebih tinggi dibandingkan ekspor.

Berdasarkan Klasifikasi Ketimpangan Bank Dunia, maka di tahun 2014 tingkat ketimpangan pendapatan di Kabupaten/Kota yang paling tinggi di Bali terdapat di Kota Denpasar. Persentase ekonomi yang dinikmati kelompok terbawah hanya sekitar 16 persen. Heterogenitas telah membuat Denpasar mengalami kondisi hingga saat ini. Tingginya heterogenitas di suatu wilayah maka peluang terjadinya persaingan akan semakin tinggi. Setiap individu yang terlibat dalam persaingan akan beresiko menjadi seorang pemenang maupun seseorang yang kalah.

Tingginya persaingan membuat banyak orang tersisihkan tidak dapat lagi kembali ke daerah asal dan hanya menikmati tingkat pendapatan yang lebih kecil dari yang seharusnya diterima.

Denpasar juga sangat strategis. Permintaan bisa dengan sangat mudah dipenuhi di kota ini. Bagi seseorang yang memiliki kompetensi, wilayah heterogen adalah peluang yang sangat besar. Bagi para pemilik kapital, Denpasar adalah lokasi tempat break event point paling cepat terjadi. Tingginya demand adalah potensi terbesar. Bagi para pemain kecil, potensi ekonomi yang digarap sangat kecil dan relatif stagnan.

Berbicara mengenai kondisi pendidikan Bali, jika dilihat dari beberapa indikator pendidikan, telah menunjunkan keadaan ke arah yang semakin baik. Saat ini, rata-rata lama sekolah telah mencpai angka 8.26 tahun, meningkat dibandingkan kondisi tahun-tahun sebelumnya. Hal ini berarti secara rata-rata, seorang siswa paling tidak telah menamatkan jenjang sekolah dasar. Indikator lainnya yaitu angka partisipasi sekolah, juga sering digunakan untuk melihat keterjangkauan pendidikan untuk usia sekolah. Pada kelompok umur 7-12 tahun, angka partisipasi sekolah menunjukan angka 99.41 persen pada tahun 2015. Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan angka partisipasi pada tahun 2014 yang mencapai 99.36 persen. Pada kelompok umur 13-15 tahun angka partisipasi sekolah juga telah mencapai angka di atas 90 persen. Pada tahun 2013, angka partisipasi sekolah pada kelompok usia ini berada pada angka 95.90 persen. Pada tahun-tahun berikutnya, angka partisipasi mengalami peningkatan menjadi 97.23 persen pada tahun 2014 dan sebesar 97.41 persen pada tahun 2015. Peningkatan Angka Partisipasi Sekolah yang cukup signifikan tercatat pada kelompok umur 16-18 tahun mencapai 81.59 persen, meningkat dari angka partisipasi pada kelompok umur 16-18 tahun mencapai 81.59 persen, meningkat dari angka partisipasi tahun sebelumnya, yang mencatat 74.03 persen. Sementara itu pada kelompok umur 19-24 tahun, angka partisiasi sekolah tercatat 23.75 persen pada tahun 2015. Dibandingkan dengan kelompok umur lainnya, angka ini terbilang cukup rendah. Hal ini berarti jumlah penduduk yang berada pada jenjang pendidikan tinggi dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 19-24 tahun kurang dar 25 persen. Namun demikian dibandingkan kondisi 2 tahun lalu, angka ini sudah mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Di lain pihak angka putus sekolah mengalami penurunan pada kelompok usia 7-12 tahun, dengan persentase putus sekolah 0 persen selam 2015. Penurunan ini tidak diikuti oleh kelompok usia lainnya yang justru mengalami kenaikan dibandingkan dengan tahun 2015. Secara umum angka putus sekolah laki-laki lebih rendah dibandingkan dengan perempuan. Angka putus sekolah perempuan bahkan hampir dua kali lipat dari laki-laki untuk kelompok usia 16-18 tahun.

Fenomena ketenagakerjaan di Provinnsi Bali dapat dikatakan tidak mengalami dinamika fluktuatif. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja berada pada kisaran 75 persen atau dengan kata lain hanya 25 persen angkatan kerja yang tidak bekerja. Konsentrasi angkatan kerja menurut lapangan usaha masih terpusat di sektor jasa yang menyerap lebih dari 50 persen angkatan kerja di Provinsi Bali. Lebih dari 50 persen angkatan kerja memiliki tingkat pendidikan di bawah SMP dan hampir sepertiganya adalah tamatan SMA padahal sepeti diketahui sebagian besar dari angkatan kerja ini justru bergelut di sektor jasa yang notabene menuntut keahlian dan keterampilan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sektor pertanian maupun industri. Kenaikan upah minimum provinsi sendiri melambat dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya, pada tahun 2015 UMP hanya tumbuh sekitar 5.08 persen, meski angka masih inflasi daerah.

Berdasarkan data tahun 2015 persentase penduduk yang berobat ke fasilitas kesehatan mencapai lebih 80 persen, dan kurang dari 3 persennya memilih berobat ke tempat pengobatan tradisional atau lainnya. Dari sekitar 80 persen tersebut, sebanyak 63.9 persen penduduk memilih berobat ke praktek doktor/bidan. Saat ini angka harapan hidup jauh lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya meskipun percepatannya melambat. Rata-rata angka harapan hidup meningkat tidak lebih dari seperampat tahun. Dibandingkan dengan tahun 2014 angka harpan hidup meningkat sekitar 0.16 tahun dari 71.19 tahun menjadi 71.35 tahun.

Pengeluaran per kapita menurun sekitar 4.79 persen dibandingkan dengan 2014 menjadi hanya 1.04 juta Rupiah di tahun 2015. Penurunan ini di luar tren yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Disisi lain proporsi konsumsi makanan megalami penurunan yang cukup tinggi hingga hanya 38.23 persen. Berdasarkan jenis komoditas, dari kelompok pengeluaran makanan dan minuman jadi merupakan jenis yang mengambil porsi terbesar, diikuti oleh padi-padian. Selama tiga tahun

terakhir, pengeluaran makanan dan minuman jadi menunjukan trend yang terus meningkat. Sebaliknya untuk proporsi pengeluaran padi-padian, terlihat stabil selama beberapa tahun terakhir. Meski tidak sepenuhnya akurat, namun kondisi ini dapat dijadikan cerminan bahwa daya beli masyarakat telah mengalami peningkatan karena semakin banyak mengkonsumsi makanan minuman jadi di luar rumah yang notabene akan mengeluarkan biaya yang lebih besar ketimbang mengkonsumsi makanan di rumah.

Di sisi lain, pada pengeluaran non makanan masyarakat, kelompok sewa, kontrak dan perkiraan sewa rumah miliki sendiri memegang porsi tertinggi. Tempat kedua diisi oleh pengeluaran terhadap barang tahan lama, yang boleh dikatakan mengalami lonjakan cukup tinggi jika dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini kembali lagi menunukan suatu indikasi perbaikan daya beli, mengingat barang tahan lama biasanya merupakan dana tidak sedikit. Porsi ketiga ditempati oleh pengeluaran untuk transportasi, bensin, solar dan minyak pelumas. Sedangkan untuk pengeluaran yang terkait dengan peningkatan kualitas SDM yaitu pendidikan dan kesehatan hanya mengambil prosi kurang dari 6 persen terhadap total pengeluaran non makan masyarakat.

  • B.    Dampak Pariwisata

Dampak merupakan pengaruh kuat yang mendatangkan akibat, baik negatif maupun positif. Sedangkan menurut para ahli, dampak merupakan pengaruh suatu kegiatan dan bersifat objektif. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa dampak pariwisata merupakan pengaruh kuat dari kegiatan pariwisata yang dilakukan kemudian mendatangkan akibat baik itu berupa negatif maupun positif. Dampak negatif dan positif dari perkembangan pariwisata di Bali terhadap perekonomian, sosial budaya dan lingkungannya, diuraikan sebagai berikut:

  • 1.    Dampak Terhadap Ekonomi

Dampak ekonomi dapat bersifat positif maupun negatif dalam setiap pengembangan destinasi wisata. Untuk segi positif dampak ekonomi ada yang langsung dan ada juga yang tidak langsung. Dampak positif langsung yang terjadi pada destinasi wisata di Bali adalah membuka lapangan pekerjaan yang baru untuk komunitas lokal disekitaran kawasan wisata, baik itu sebagai pedagang, art maker, pegawai bagian kebersihan, keamananan, pengelola parkir, dan lain sebagainya sesuai dengan kemampuan, skill dari masyarakat sekitar. Ini memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal agar bisa mengambil keuntungan dari adanya pariwisata di wilayahnya baik itu untuk peningkatan taraf hidup maupun yang lainnya. Hal ini dibuktikan juga menurut Statistik Daerah Provinsi Bali 2016 bahwa tingkat pengangguran terbuka di Bali masih di level 1.99 persen, sangat jauh dari persentase pekerja Bali sebesar 98.01 persen. Lapangan usaha penyedia akomodasi dan Makanan Minuman merupakan kontributor terbesar ekonomi Bali yang menyumbang sekitar 22.82 persen lpangan usaha.

Dengan adanya pariwisata di Bali, industri-industri kecil yang mendukung kepariwisataan juga mendapatkan dampak yang positif dan juga memberikan kesempatan untuk berkarya. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi di Bali mencapai angka 6.04 persen yang memperlihatkan bahwa ekonomi Bali tetap dapat tumbuh stabil ditengah melambatnya ekonomi nasional yang hanya tumbuh di bawah kisaran 5 persen. Basis ekonomi Bali yang sebagian besarnya merupakan hasil kreativitas dalam bentuk jasa, mampu tumbuh hingga 6.73 persen. Sehingga mampu membuka banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat di Bali. Ini jelas membuktikan bahwa pariwisata memberikan dampak yang positif bagi kawasan wisata.

Selain untuk masyarakat lokal, dampak ekonomi juga berpengaruh bagi pemerintah Bali yang mendapatkan pendapatan dari pajak. Ini juga berdampak terhadap peningkatan pendapatan daerah dan pendapatan masyarakat. Pada tahun 2015 nilai tambah bruto atau PDRB Provinsi Bali menurut harga berlaku mencapai 177.17 trilyun Rupiah. Angka ini meningkat sekitar 20.79 trilyun Rupiah dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 156.38 trilyun Rupiah. Dan bahkan lapangan usaha yang mengalami kenaikan tertinggi dibandingkan dengan lainnya adalah penyedia akomodasi dan makanan minuman yang meningkat sekitar 4.3 trilyun Rupiah. Tentu saja

pembangunan pariwisata ini yang akan membuat terjadinya pembangunan prekonomian yang semakin ke arah lebih baik.

Sedangkan dampak ekonomi yang tidak langsung yang terjadi pada destinasi wisata adalah kemajuan pemikiran daerah akan pengembangan suatu destinasi wisata, dan pembangunan manusia akibat pariwisata. Ini dibuktikan dari peningkatan indeks pembangunan manusia di Bali mencapai 73.27 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya mencapai 72.48 persen. Percepatan kenaikan indeks pembangunan manusia tentunya merupakan hal positif mengingat sejak tahun 2011 pertumbuhannya selalu mengalami perlambatan. Dan bahkan indeks pertumbuhan manusia Bali tercatat selalu menempati peringkat sepuluh besar dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia.

Suatu pengembangan destinasi wisata apabila diatur, ditata dan dipantau dengan baik tidak akan menghasilkan dampak negatif bagi sektor ekonominya, tetapi apabila tidak dilakukan, diatur, ditata dengan baik maka akan menimbulkan kerugian baik bagi pihak pengembang destinasi itu sendiri maupun pihak komunitas lokal daerah setempat. Hal ini terlihat dari sektor pertanian yang megalami penurunan luas lahan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penurunan pada produksinya. Pembangunan pariwisata mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi lahan yang berdampak buruk pada perekonomian pertanian di Bali.

  • 2.    Dampak Terhadap Sosial Budaya

Pembangunan pariwisata di Bali pada dasarnya berlandaskan kepada pariwisata Budaya. Pariwisata Budaya menurut Griya (1995) dalam Utama (2012) merupakan salah satu jenis pariwisata yang mengandalkan potensi kebudayaan sebagai daya tarik yang paling dominan serta sekaligus memberikan identitas bagi pengembangan pariwisata tersebut. Dalam kegiatan pariwisata budaya menurut Shaw dan William (1997) dalam Utama (2012) terdapat 10 (sepuluh) elemen budaya yang menjadi daya tarik wisata yakni kerjainan, tradisi, sejarah, arsitektur, makanan lokal, seni dan musik, cara hidup masyarakat, agama, bahasa dan pakaian lokal. Oleh karenanya pembangunan pariwisata secara langsung dan tidak langsung akan berdampak terhadap budaya-budaya yang dimiliki Bali. Jadi dapat dijelaskan bahwa dampak positif terhadap sosial budaya akibat pembangunan pariwisata di Bali dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: conservation of cultural heritage, renewel of cultural pride, cross cultural exchange. Conservation of Cultural Heritage merupakan adanya perlindungan untuk benda-benda kuno, bangunan sejarah, seni traditional akibat dari adanya bantuan untuk perawatan bangunan-bangunan bersejarah, dan lain-lainya, baik itu secara langsung maupun tidak langsung, oleh pemerintah maupun oleh wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata. Hal ini bisa dibuktikan dari situasi dan kondisi kawasan wisata yang dimiliki Bali. Seluruh fisik bangunan maupun benda-benda peninggalan sejarah masih tetap utuh walaupun sedikit mengalami kerusakan akibat umur. Ini dikarenakan adanya pemeliharaan yang dilakukan oleh pihak pemerintah daerah secara berkala. Renewal of Cultural Pride merupakan rasa bangga masyarakat terhadap peninggalan-peninggalan bersejarah ataupun budaya akibat dari adanya pengembangan pariwisata budaya menjadi sebuah daya tarik wisata. Hal ini terlihat dari brand yang digunakan Provinsi Bali. Pemerintah Bali selalu menggunakan pariwisata Budaya sebagai branding, baik itu sebagai identitas pariwisata yang dimiliki maupun yang lainnya. Bahkan dikalangan masyarakat banyak industri-industri kecil mengembangkan usahanya memanfaatkan brend pariwisata Bali itu sendiri yaitu dengan menjual prodak-prodak wisata budaya seperti makanan tradisonal, pakaian adat, lukisan, ukiran, dan lain-lain. Cross Cultural Exchange merupakan pertukaran budaya dari wisatawan dengan masyarakat lokal, sehingga membuat para wisatawan mengerti dan mengenal budaya dan nilai-nilai dari tradisi masyarakat. Hal ini dibuktikan dari kebijakan atau aturan adat yang dikeluarkan oleh pihak pengelola wisata dalam mengelola kawasan wisata sehingga kegiatan pariwisata itu dapat terkontrol dengan baik. Seperti mewajibkan wisatawan menggunakan pakaian adat Bali ketika berkativitas di berbagai objek wisata Budaya di Bali.

Sedangkan Dampak negatif terhadap sosial budaya di daerah pariwisata Bali dapat dibagi menjadi tiga bagian juga yaitu: overcrowding and loss of aminities for residents, cultural impacts, sosial problems. Overcrowding and loss of Amenities for residents merupakan hilangnya garis batas

antara penduduk lokal di sekitar kawasan wisata dengan wisatawan yang terlalu banyak mengakibatkan hilangnya kenyamanan bagi penduduk. Hal ini akibat dari adanya pihak yang menginginkan adanya peningkatan kunjungan wisatawan sehingga menimbulkan kawasan wisata, ramai dan padat dengan berbagai aktivitas. Cultural impacts merupakan akibat mengkomersialkan budaya yang dimiliki sebagai daya tarik wisata dan menyuguhkannya sesuai dengan keinginan wisatawan, tanpa disadari budaya tersebut dan sekitarnya mengalami perubahan. Hal ini dilihat dari berbagai perubahan dari daya tarik wisata yang dimiliki Bali, seperti gaya arsitektur, bentuk dan bahan material, maupun fungsi bangunannya. Ini mengakibatkan warisan budaya yang dimiliki semakin mengikis keberadaannya, nilai histori pun semakin menghilang. Sosial Problems merupakan adanya budaya negatif yang ditimbulkan akibat adanya pariwisata salah satunya yaitu budaya masyarakat yang berubah cenderung lebih oriented money dan kecendrungan masyarakat berperilaku konsumtif untuk membeli barang-barang apapun.

  • 3.    Dampak Terhadap Lingkungan

Pengembangan pariwisata berhubungan erat dengan pembangunan industri pariwisata yang secara langsung berdampak terhadap lingkungan. Oleh karenanya dalam pengembangan pariwisata harus mangacu dan memperhatikan ketentuan pasal 12, 13 dan 14 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pariwisata Bali dalam pembangunan objek wisata dan daya tarik wisata dilakukan dengan memperhatikan kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup serta kelangsungan usaha pariwisata itu sendiri. Pondasi dasar yang melandasinya adalah kearifan lokal masyarakat yang sering dikenal dengan Tri Hita Karana. Tri Hita Karana merupakan tiga penyebab kesejahteraan bersumber kepada keharmonisan hubungan yang diselaraskan antara manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungannya. Pariwisata Bali juga secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat dalam pengembangannya.

Keterlibatan masyarakat dan berlandaskan kepada Tri Hita Karana, maka dengan sendirinya dampak pariwisata terhadap lingkungan masyarakat Bali adalah berdampak positif. Hal ini dibuktikan dari banyaknya kawasan-kawasan di Bali yang dikonservasi untuk pembangunan pariwisata. Perbaikan lingkungan baik penataan tata ruang kawasan maupun infrastruktur turut serta diperbaiki. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya lingkungan pun mengalami peningkatan. Pemerintah Bali mulai meningkatnya perhatian terhadap restorasi situs dan bangunan bersejarah di Bali dan mengelola manajemen lingkungan daerah pariwisata dengan meningkatkan perhatian terhadap usaha kebersihan lingkungannya.

Sedangkan dampak negatif pembangunan pariwisata Bali terhadap lingkungan yaitu mulai meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di Bali akibat dari pariwisata. Panjang jalan yang relatif stagnan tidak berimbang dengan kenaikan pada jumlah kendaraan. Jumlah kendaraan bermotor terutama sepeda motor mencangkup jumlah yang sangat tinggi, sekitaran 3 juta sepeda motor. Jika seandainya jumlah penduduk Bali lebih dari 4 juta orang dan asumsi 1 rumah tanggga terdiri dari 4 anggota, maka rata-rata ada 3 sepeda motor di setiap rumah tangga. Hal inilah yang mengakibatkan timbulnya polusi baik itu udara maupun suara bagi lingkungan di Bali. Selain itu juga peningkatan jumlah kendaraan menimbulkan tingginya resiko terjadinya kecelakaan. Hal ini dibuktikan pada tahun 2016 di Bali jumlah kecelakaan lalu lintas sangat tinggi yakni sebanyak 1,489 kasus, dengan perincian meninggal dunia 437, luka berat 334, luka ringan 1,938 dengan kerugian material 3,062,250,000 Rupiah.

Pembangunan sarana prasaran pariwisata memberikan dampak secara langsung terhadap sumber daya air Bali. Banyak akomodasi pariwisata di Bali seperti hotel, villa, home stay, lapangan golf, wisata taman air dan lain-lain membutuhkan banyak sumber daya air. Fasilitas pariwisata ini biasanya memanfaatkan sumber daya air tanah. Dengan mengeksploitasi sumber daya air tanah, maka akan secara langsung berpengaruh pada penurunan sumber mata air Bali. Berdasarkan tribun-bali.com (2017) cadangan air tanah Bali telah tercatat berada dibawah 20 persen, dan diprediksi pada tahun 2020 akan mengalami krisis ekologi. Dampak yang lainnya adalah banyak sistem irigasi pertanian di

Bali mengalami kerusakan diakibatkan pembangunan fasilitas pariwisata. Secara langsung berdampak buruk pada produksi pertanian, akibatnya para petani mengalami kerugian. Merubah fungsi lahan pertanian menjadi sarana pendukung pariwisata lebih memberikan keuntungan, sehingga banyak lahan pertanian di Bali beralih fungsi. Menurut antaranews.com (2017) dalam setahun lahan pertanian yang beralih fungsi di Bali bisa mencapai 1,000 hektar.

Kehidupan satwa liar di Bali banyak mengalami permasalahan dikarenakan pembangunan pariwisata. Mulai dari eksploitasi hewan untuk pertunjukan, perubahan insting hewan, dan jumlah hewan liar mulai berkurang. Bahkan situs sejarah, budaya dan keagamaan di Bali sudah banyak yang dikembangkan sebagai daya tarik wisata, dalam proses penggunaannya selalu melebihi kapasitas daya tampung kunjungan wisata yang menyebabkan terjadinya kerusakan. Daya tarik wisata ini juga mengalami alterasi fungsi awal dan komersialisasi, sehingga menghilangkan nilai sepiritual, sejarah dan budaya yang dimilikinya.

  • C.    Perilaku Konsumtif

Dewasa ini, perkembangan pariwisata telah membawa dampak pada berubahnya tata nilai hidup manusia yang salah satunya adalah menjadi bersifat konsumtif. Dimana kebiasaan dan gaya hidup masyarakat telah berubah menuju ke arah kehidupan mewah dan cenderung berlebihan (Pusporiny, 2016). Hal tersebut akan menimbulkan pola hidup masyarakat yang konsumtif yang lebih mementingkan keinginan daripada kebutuhan serta cenderung dikuasai oleh hasrat keduniawian dan kesenangan material semata (Sumartono, 2002). Rostow dalam Arwani (2007) menyatakan bahwa konsumsi tinggi inilah yang telah berjangkit dan hegemoni negara maju terhadap politik dan ekonomi negara berkembang yang terdapat di dunia demi kepentingan sendiri.

Secara umum pola hidup konsumtif dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor dari dalam diri individu, termasuk motivasi, harga diri, observasi, proses belajar, kepribadian, dan konsep diri. Sedangkan, faktor eksternal adalah faktor di luar individu, termasuk kebudayaan, kelas sosial, kelompok-kelompok sosial dan referensi serta keluarga. (Sumartono, 2002).

Pratiwi (2014) menyatakan, nilai-nilai dari pemaknaan dan harga diri menjadikan sesuatu yang dikonsusmsi menjadi semakin penting dalam pengalaman personal dan kehidupan sosial masyarakat. Secara nyata, aktivitas konsumsi pada masyarakat modern dapat dilihat dan dibuktikan melalui bagaimana rasionalitas, konsumsi telah beroprasi pada masyarakat budaya konsumtif. Masyarakat, khususnya yang berada dalam kawasan pariwisata, tidak luput dari pola hidup konsumtif, dilihat dari pertumbuhan ekonomi masyarakat, berbagai pusat perbelanjaan, akomodasi, maupun produk makanan dan minuman yang dibangun di kawasan pariwisata. Salah satu kawasan pariwisata yang memiliki konsentrasi pariwisata tertinggi, khususnya di Pulau Bali, adalah Kabupaten Badung (Patria, 2014).

Patera (2016), menyatakan bahwa dalam perkembangan pariwisata Kabupaten Badung, menyebabkan pergeseran pola hidup masyarakat yang mengikuti pola hidup konsumtif. Masyarakat lokal di beberapa daerah Kabupaten Badung sebagian besar memiliki etos kerja yang rendah dibandingkan dengan masyarakat pendatang yang memiliki etos kerja tinggi, hidup hemat, dan ulet. Dengan etos kerja yang tinggi, memungkinkan masyarakat pendatang memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat lokal. Dengan pola hidup konsumtif yang dimiliki, di masa yang akan datang dapat menyebabkan tersisihnya masyarakat lokal dari tempat kelahirannya dan tidak menjadi tuan di rumahnya sendiri.

Menurut Jumiati (2009), perilaku konsumtif memiliki dampak-dampak negatif, seperti dapat membiasakan seseorang untuk memiliki pola hidup boros, dapat membuat orang menjadi tidak lagi membedakan antara kebutuhan atau sekedar keinginan, dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tidak terpuji seperti mencuri, menodong, menjadi pemeras, membunuh dan melacur, dan apabila perilaku ini berkelanjutan bisa menjadi salah satu pemicu terjadinya Korupsi Kolusi dan Nepotisme yang merugikan negara. Sedangkan, dampak positif perilaku konsumtif menurut Anugrahati (2014), dapat menghilangkan stres dan mengikuti perkembangan jaman. Selain itu,

Hurriyati (2010) menyatakan, bahwa orang seringkali memilih produk yang menunjukkan statusnya dalam masyarakat. Masyarakat menilai, dengan membeli barang dengan harga yang mahal serta dari brand ternama akan memperoleh pengakuan dari lingkungan sosial sehingga menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi. Akan tetapi dengan adanya tindakan-tindakan yang dipicu oleh pola hidup konsumtif masyarakat, cenderung memberikan pengaruh tidak baik, baik bagi lingkungan, ekonomi, maupun sosial budaya termasuk di kawasan pariwisata Kabupaten Badung.

Berikut adalah dampak-dampak dari pola hidup konsumtif masyarakat Kabupaten Badung:

  • a.    Dampak bagi ekonomi

Badung merupakan kabupaten yang memiliki jumlah usaha terbesar di Bali (Sensus Ekonomi, 2016). Kepala Badan Pusat Statistik Badung, Dewa Suambara, menyatakan jumlah usaha yang terdapat di Kabupaten Badung berdasarkan sensus ekonomi 2016, berjumlah sebanyak sebanyak 78.499 usaha yang terdiri atas 73.026 UMK (Usaha Menengah Mikro) atau 93,03 persen dan 5.473 UMB (Usaha Menengah Besar) atau 6,97 persen dari total jumlah usaha di Bali yang mencapai total 482.480 usaha (Antara Bali, 2017). Dimana usaha yang mendominasi adalah usaha dalam bidang pariwisata, seperti hotel, resort, restaurant, pusat perbelanjaan, dan lain sebagainya. Pemaparan tersebut menunjukkan, pertumbuhan ekonomi masyarakat Badung cukup tinggi.

Dengan adanya perkembangan pariwisata di Kabupaten Badung, dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Namun, seiring dengan perkembangan pariwisata yang pesat, masyarakat cenderung mengikuti pola hidup modern yang konsumtif. Menurut Astuti (2013), apabila pola hidup konsumtif terjadi terus menerus maka akan mengakibatkan tidak terkontrolnya kondisi keuangan dan akan menimbulkan tindakan pemborosan yang berakibat pada menumpuknya barang karena pembelian dilakukan secara berlebihan. Menurut Statistik Daerah Provinsi Bali 2016, masyarakat Bali mengeluarkan uang lebih banyak untuk pengeluaran bukan makan dibandingkan pengeluaran untuk kebutuhan makanan. Pada tahun 2015, proporsi pengeluaran bukan makanan sebesar 59.7 persen dari total pengeluaran atau setara dengan Rp623 ribu per kapital per bulan. Sedangkan, pengeluaran makanan hanya Rp421 ribu atau 40.3 persen dri total pengeluaran. Dengan tidak terkontrolnya kondisi keuangan, dapat mendorong individu untuk melakukan tindakan kriminal demi memenuhi keinginan dari sifat konsumtif itu sendiri. Adanya tindakan-tindakan tersebut dapat memberikan dampak buruk bagi kawasan pariwisata, dimana wisatawan menilai bahwa kawasan tersebut tidak aman lagi yang dapat menyebabkan berkurangnya tingkat kunjungan wisatawan.

Menurut Alfitri (2007), dengan adanya pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan tumbuh dan berkembangnya pusat-pusat perbelanjaan modern, hotel, maupun produk makanan minuman, dapat mempengaruhi perilaku konsumtif masyarakat untuk pergi ke pusat perbelanjaan dan membeli barang-barang bukan atas kebutuhun, melainkan keinginan. Masyarakat banyak yang memilih berbelanja di supermarket atau minimarket karena berbagai fasilitas yang memadai, seperti adanya AC atau pendingin ruangan dan ATM. Disisi lain, pasar tradisional masih dalam masalah manajemen yang kurang profesional dan ketidaknyamana bagi pengunjung, yang mengakibatkan turunnya minat pengunjung bahkan pembeli. Sehingga dapat mematikan kegiatan jual beli di pasar tradisonal dan juga ekonomi penjual atau pedagang di pasar tradisonal. Adanya perilaku konsumtif masyarakat yang mengikuti pola hidup pendatang, secara ekonomis dapat menghambat peran masyarakat dalam pariwisata. Hal ini dikarenakan masyarakat cenderung memperhatikan keinginan individu dan fokus untuk memenuhinya, dibandingkan dengan mengembangkan dan meningkatkan kualitas hidupnya. Dampak yang paling signifikan dialami adalah melemahkan usaha mikro masyarakat seperti pedagang kecil, home industry, mematikan usaha dalam negeri karena banyak barang yang dijual pusat-pusat perbelanjaan modern di mall ataupun swalayan adalah barang impor.

  • b.    Dampak bagi sosial dan budaya

Menurut Nugraha, et al (2015), pariwisata dapat menimbulkan berbagai masalah, yang mengakibatkan perubahan sosial di masyarakat seperti perubahan gaya hidup, pergaulan, sikap atau perilaku yang ditunjukan oleh anggota-anggota masyarakat telah keluar dari nilai ataupun norma yang berlaku. Dalam hal ini, masyarakat dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat akibat dari perkembangan pariwisata serta memiliki daya beli yang tinggi memiliki pola hidup yang konsumtif. Dimana masyarakat ingin menunjukkan status sosial yang lebih tinggi, dengan memiliki barang-barang mewah untuk memenuhi keinginan pribadi. Hal ini dapat menumbuhkan rasa individualisme dan mengurangi solidaritas antar makhluk sosial.

Dengan berkembangnya pariwisata saat ini di Bali, masyarakat tergoda untuk bersaing dengan pikiran dan tindakan yang kalut penuh keserakahan, dan kebutaan, mayarakat terlalu berfokus mengejar harta dengan berbagai cara yang sering melanggar tatanan moral, nilai-nilai luhur, dan etika agama. Banyak hasil karya seni yang dijual untuk cinderamata mengalami penurunan kualitas, baik dari bahan maupun detail pengerjaannya. Bahkan nilai seninya sangat berkualitas rendah, seperti cinderamata berbentuk alat kelamin pria yang banyak dijual di pasar-pasar tradisional Bali termasuk kawasan suci. Hal ini menurunkan moral para seniman yang tidak lagi berpikir terhadap nilai seni dan budaya melainkan hanya diperuntukan untuk nilai komersial saja.

Pariwisata juga mengakibatkan pola perilaku pengusaha industri pariwisata menggunakan berbagai cara buruk untuk memasarkan prodak pariwisatanya, dengan tipu muslihat, dengan kecerdikan bahkan melupakan etika dan tata susila. Masyarakat yang tidak jernih, tidak bijak berpikir, yang sudah terpengaruhi pola perilaku konsumtif akan tidak mampu melihat cara-cara kotor yang sering digunakan oleh para pengusaha kotor ini. Sehingga seiring waktu kualitas hidup masyarakat maupun kualitas pariwisata mengalami penurunan.

c.Dampak bagi lingkungan

Degradasi lingkungan merupakan penurunan kualitas lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan pembangunan yang dicirikan oleh tidak berfungsinya secara baik komponen-komponen lingkungan sebagaimana mestinya. Degradasi lingkungan disebabkan oleh adanya campurtangan manusia yang berlebihan terhadap keberadaan lingkungan secara alami. Pembangunan pariwisata mengakibatkan menikatnya kebutuhan akan sumber daya manusia. Meningkatnya sumber daya manusia pada suatu kawasan mengakibatkan pembangunan pemukiman semakin meningkat. Menurut statistik Daerah Provinsi Bali 2016 menyatakan bahwa pengeluaran non makanan masyarakat seperti kelompok sewa, kontrak dan perkiraan sewa rumah milik sendiri memegang porsi tertinggi dibandingkan kelompok pengeluaran lainnya. Ini membuktikan bahwa tingkat kebutuhan akan tempat tinggal sangat tinggi di Bali. Dengan adanya peningkatan pemukiman maka kebutuhan akan air bersih dan listrik. Disisi yang sama pembangunan pariwisata juga membutuhkan air bersih dan listrik, yang menyebabkan penggunaannya semakain banyak dan berdampak menurunnya jumlah sumber daya alam. Ditambah dengan adanya preilaku konsumtif masyarakat akan memperparah kondisi yang bisa menyebabkan degradasi lingkungan. Perubahan alam ke arah yang tidak baik maka dengan sendirinya pariwisata Bali akan terancam keberadaanya.

  • 4.    KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan mengenai permasalahan yang diangkat didapatkan hasil bahwa perkembangan pariwisata Bali mengalami tingkat perkembangan yang sangat signifikan. Bali memiliki objek wisata yang sangat beragam, baik wisata alam, wisata budaya, dan wisata bahari. Alam yang indah dan bervariatif, pantai, laut, sungai, danau, gunung dan hutan, seni tari, seni lukis, seni rupa, wayang kulit dan berbagai upacara adat atau upacara keagamaan merupakan objek yang sangat khas. Sarana dan prasaran pendukung seperti hotel, restauran, cafe, kolam renang, pusat souvenir dan sarana oleh raga merupakan fasilitas pendukung sudah sangat lengkap yang dimiliki Bali. Pasar wisata lima besar berasal dari negara Australia, Tiongkok, Jepang, Inggris dan India. Pangsa wisman dari kelima negara tersebut mencapai 2,777,809 orang atau sebesar 56.37 persen dari

total wisman yang datang langsung ke Bali. Jumlah kunjungan wisman ke Bali mencapai 4.927.937 orang atau meningkat sebesar 23,14 persen dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi Bali di tahun 2015 mencapai angka 6.04 persen. Angka ini memperlihatkan bahwa ekonomi Bali tetap dapat tumbuh stabil ditengah melambatnya ekonomi nasional yang tumbuh di bawah kisaran 5 persen.

Dampak perkembangan pariwisata Bali terhadap aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan masyarakat Bali adalah sangat menguntungkan bagi daerah maupun masyarakat Bali. Perkembangan sektor pariwisata meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan serta memberikan manfaat terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dengan perkembangan sektor pariwisata memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pemerintah terutama dari segi pembiayaan. Selain itu, nilai histori dan budaya yang dimiliki akan terjaga dengan sendirinya. Hal itu akan menciptakan kebanggaan serta harga diri sebagai bangsa serta memperkaya wajah lingkungan dan menciptakan identitas yang khas, unik dan berkarakter.

Sedangkan perilaku konsumtif masyarakat akibat perkembangan pariwisata telah membawa dampak pada berubahnya tata nilai hidup manusia. Dimana kebiasaan dan gaya hidup masyarakat telah berubah menuju ke arah kehidupan mewah dan cenderung berlebihan. Pola hidup konsumtif dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor dari dalam diri individu, termasuk motivasi, harga diri, observasi, proses belajar, kepribadian, dan konsep diri. Sedangkan, faktor eksternal adalah faktor di luar individu, termasuk kebudayaan, kelas sosial, kelompok-kelompok sosial dan referensi serta keluarga. Dampak-dampak negative dari perilaku konsumtif, seperti dapat membiasakan seseorang untuk memiliki pola hidup boros, dapat membuat orang menjadi tidak lagi membedakan antara kebutuhan atau sekedar keinginan, dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tidak terpuji seperti mencuri, menodong, menjadi pemeras, membunuh dan melacur, dan apabila perilaku ini berkelanjutan bisa menjadi salah satu pemicu terjadinya Korupsi Kolusi dan Nepotisme yang merugikan negara. Sedangkan, dampak positif perilaku konsumtif, dapat menghilangkan stres dan mengikuti perkembangan jaman.

DAFTAR PUSTAKA

Alfitri. 2007. Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan. Majalah Empirika. 11(1): 1-9 Al-Ghifari, Abu. 2003. Remaja Korban Mode. Bandung: Mujahid.

Anggraini, Elvira. 2012. Pengalaman Komunikasi Konsumen Wanita Dengan Gaya Hidup Brand Minded. Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang.

Anugrahati, R.D.S. 2014. Gaya Hidup Shopaholic Sebagai Bentuk Perilaku Konsumtif Pada Kalangan Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi. Jurusan Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.

Astuti, E.D. 2013. Perilaku Konsumtif dalam Membeli Barang pada Ibu Rumah Tangga di Kota Samarinda. eJournal Psikologi. 1(2): 148-156.

Badudu dan Zain. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Sinar Harapan.

Chaplin, J.P. 1997. Kamus Lengkap Psikologi : Alih Bahasa. Jakarta: PT. Raya Grafindo Persada Chatijah, Siti dan Purwadi. 2007. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Sikap Konsumtif Remaja. Jurnal Humanitas. 4(2): 110-123

Ediwarsyah. 1987. Pengaruh Pengembangan Obyek Pariwisata terhadap Pendapatan Masyarakat di lingkungan Obyek Pariwisata (Suatu Penelitian di Kelurahan Parapat Kecamatan Girsang Sipanganbolon Kabupaten Dati II Simalungun Propinsi Dati I Sumatera Utara), Yogyakarta. Tesis. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Yogyakarta.

Engel, J., R. D. Blackwell and P. W. Miniard. 1995. Perilaku Konsumen. Jakarta: Binarupa Aksara. Engel, J., R. D. Blackwell and P. W. Miniard. 2008. Perilaku Konsumen. Jakarta: Binarupa Aksara. Falk, Pasi. 1994. The consuming body. London: Sage.

Hanafiah, Mohd. 2013. Local Community Attitude and Support towards Tourism Development in Tioman Island, Malaysia. Procedia. Social and Behavioral Sciences 105 :792 – 800.

Hurriyati, Ratih. 2010. Bauran Pemasaran dan Loyalitas Konsumen. Bandung : Alfabeta.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1969, khususnya Bab II Pasal 3

Jumiati. 2009. Perubahan Perilaku Konsumtif Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Akibat Value-Added Telepon Seluler (HP) (Studi Penelitian Mahasiswa Angkatan 2005 -2006 UIN Sunan Kalijaga). Skripsi. Fakultas Ushuliddin, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Lina, & Rosyid. 1997. Perilaku Konsumtif Berdasarkan Locus Locus Of Control Control Pada Remaja Putri. Jurnal psikologika. 4.

Marpaung. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung: Alfabeta

Naomi, Prima. dan Mayasari, Iin. 2008. FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Siswa SMA Dalam Perilaku Pembelian Kompulsif : Perspektif Psikologi. Portal Jurnal UPI Tahun VII Ino. VIII oktober 2008.

Nugroho, Adi. 2016. Statistik Wisatawan Mancanegara ke Bali 2016. Bali: CV. Bhinneka

Nugroho, Adi. 2016. Tingkat Penghunian Kamar Akomodasi Provinsi Bali 2016. Bali: CV. Bhinneka

Nugroho, Adi. 2016. Statistik Daerah Provinsi Bali 2016. Bali: CV. Bhinneka

Nugroho, Adi. 2017. Provinsi Bali Dalam Angka 2017. Bali: CV. Bhinneka

Nugraha, H. at al. 2015. Perubahan Sosial dalam Perkembangan Pariwisata Desa Cibodes Kecamatan Lembang. Jurnal Sosietas. 5(1): 1-7.

Patera, I Made. 2016. www.pps.unud.ac.id/.../i-made-patera-pariwisata-dan-kemiskinan-di-kab. diakses tanggal 9 Agustus 2017 Pukul 19.00 pm

Patria, T.A. 2014. Tinjauan Sistem dan Elemen Pariwisata di Kabupaten Badung, Bali, melalui Sistem

Pariwisata Leiper. Binus Busness Review. 5(1): 66-79

Peter, J. P., Olson. J. C. 1999. Perilaku konsumen dan strategi pemasaran, Edisi keempat (terjemahan). Jakarta: Erlangga.

Poerwandari, E. K. 2001. Pendekatan kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta : Lembaga Pengembanagn Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Pratiwi, G.I. 2014. Perilaku Konsumtif dan Bentuk Gaya Hidup, Studi Fenomenologi pada Anggota Komunitas Motor Bike of Kawasaki R iders Club (BKRC) Chapter Malang. http://jmsos.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jmsos/article/view/71 diakses tanggal 9 Agustus 2017 Pukul 19.00 pm

Pusporiny, V. 2016. Gaya Hidup Pramugari, Gaya Hidup Konsumtif pada Pramugari Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia. Tugas Akhir. Universitas Airlangga.

Sarwono, S. W. 1992. Psikologi Lingkungan, Cetakan Pertama. Jakarta: PT Gramedia Grasindo.

Soekadijo, R. G. 1996. Anatomi Pariwisata. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Soemarwoto, O. 2001. Ekologi Lingkungan dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan

Sumartono. 2002. Terperangkap dalam Iklan: Meneropong Imbas Pesan Iklan. Televisi. Bandung: Alfabeta.

Sutardi, T. 2007. Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung: PT Setia Purna Inves

Suyasa, T.Y.S. dan Fransisca. 2005. Perbandingan Perilaku Konsumtif Berdasarkan Metode Pembayaran. Jurnal Phronesis.

Triyaningsih, SL. 2011.Dampak Online Marketing melalui Facebook terhadap Perilaku Konsumtif

Masyarakat. Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan. 3(2): 172-177

133