70 Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis, Vol. 14, No. 1, Januari 2019, hal 70-85

Akuntabilitas Akuntan Perempuan-Karir Bali: Sebuah Studi Fenomenologi

Yeyen Komalasari1

I Gde Ary Wirajaya2
Maria Mediatrix Ratna Sari3

  • 1    Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Dyana Pura, Indonesia

  • 2,3Fakultas Ekonomi dan Bisnis,Universitas Udayana, Indonesia

e-mail: [email protected]

DOI: https://doi.org/10.24843/JIAB.2019.v14.i01.p07

ABSTRAK

Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis

(JIAB)

https://ojs.unud.ac.id/index.php/jiab/ user/profile

Volume 14

Nomor 1

Januari 2019

Halaman 70-85

p-ISSN 2302-514X e-ISSN 2303-1018

INFORMASI ARTIKEL


Tanggal masuk:

15 Nopember 2018

Tanggal revisi:

28 Nopember 2018 Tanggal diterima: 16 Desember 2018


Penelitian bertujuan mengungkap dan memahami secara mendalam tentang bagaimana akuntan perempuan-karier Bali menjalankan harmonisasi praktik akuntabilitas. Peneliti menggunakan paradigma interpretif dan fenomenologi sebagai pijakan untuk memperoleh suatu deskripsi tentang ucapan dan perilaku individu secara komprehensif, sehingga diharapkan mampu mengetahui harmonisasi praktik-praktik akuntabilitas perempuan-karier Bali. Informan kunci dalam penelitian adalah perempuan yang berada dalam fase pragmatic endurance model atau perempuan yang berada pada pertengahan karier, yang mulai menghadapi komitmen untuk menjaga keseimbangan professional pekerjaan, kehidupan masyarakat dan kehidupan pribadi/rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, multi peran perempuan karier Bali bersumber pada akuntabilitas diri (self accountability) yang dimilikinya.

Kata kunci: Akuntan perempuan-karir bali, praktik akuntabilitas, dan akuntabilitas diri

Accountability of Bali Female-Career Accountants: A Phenomenology Study

ABSTRACT

This study aims to understand how Balinese career women harmonize accountability practices. The study uses the interpretive paradigm and phenomenological approach to obtain a description of individual meaning and behavior comprehensively. The key informants in this study were women who were in the pragmatic endurance phase, i.e., the middle of their career in which they face a commitment to maintain a balance between their professional, community and personal or domestic life. The results showed that the multiple roles of Balinese career women were sourced from their self-owned accountability.

Keywords: Balinese career women, accountability practices, selfaccountability

PENDAHULUAN

Bali merupakan wilayah yang sangat kuat dalam budaya dan adat istiadatnya. Menurut pendapat Gorda (1999) dari perspektif hukum adat, Bali memiliki hukum adat yang dapat dikatakan tekun. Karena itulah, hukum adat sebagai batasan-batasan atau aturan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali.

Masyarakat Bali sangat taat dan patuh terhadap aturan dan kebiasaan para leluhurnya. Namun, dengan masyarakat yang taat pada budaya tersebut bukan berarti tidak muncul permasalahan. Gerak dan dinamika dari masyarakat membawa kecenderungan untuk mengemukakan banyaknya permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat Bali. Salah satu permasalahan yang masuk didalamnya adalah

perempuan. Tirtayani (2007) mengungkapkan bahwa masalah perempuan merupakan masalah integral dari masyarakat dan masalah ini telah banyak mendapat sorotan serta penanganan dari pemerintah. Dengan penanganan yang ada, telah menunjukkan adanya kesadaran akan peran dan andil perempuan dalam pembangunan budaya dan tradisi. Peranan yang cukup tinggi bagi kaum perempuan di Bali, secara normatif pada hukum Hindu telah mendapatkan kedudukan yang tinggi dan diistimewakan. Meski begitu, dalam kenyataannya masih sering ditemui ketimpangan.

Salah satu ketimpangan dan permasalahan mengenai peran perempuan adalah pada profesi akuntansi. Puspitaningtyas (2013) mengungkapkan bahwa Profesi akuntansi yang dalam waktu lama didominasi oleh laki-laki tidak luput dari kritikan feminism. Para perempuan berusaha mendobrak pembatas “glass ceiling” yang mereka anggap membatasi ruang gerak perempuan dalam berkarir di profesi akuntan. Fenomena “glass ceiling” dapat dijelaskan sebagai suatu hambatan yang tidak terlihat nyata keberadaannya bahwa banyak di antara profesional perempuan memiliki motivasi untuk maju dan mencapai puncak karir tertinggi akan tetapi mereka tidak mampu mewujudkannya karena adanya tantangan tersebut (Weyer, 2007). Secara umum ada dua faktor yang melatarbelakangi keterbatasan ruang gerak perempuan dalam berkarir di bidang profesi akuntansi, yaitu kecenderungan profesi akuntansi yang masih didominasi laki-laki dan peranan perempuan dalam tanggungjawab keluarga.

Banyaknya permasalahan dan ketimpangan mengenai peran perempuan menjadi penting untuk membahas mengenai akuntabilitas perempuan. Untuk membahas akuntabilitas perempuan perlu diketahui mengenai pola sikap dan tingkah laku dari keluaraga inti dalam suatu organisasi sosial di tempat perempuan itu berada. Organisasi ini didasarkan atas hubungan suami dan istri serta anak-anak mereka. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa peranan perempuan tidak dapat lepas dari sistem kekerabatan masyarakat setempat. Menurut Tirtayani (2007), hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua dan sebaliknya kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya dan masalah perwalian anak. Jelasnya hukum adat kekerabatan mengatur tentang pertalian sanak, berdasarkan pertalian darah (sekuturunan) pertalian perkawinan dan perkawinan adat. Berubahnya pola lingkungan masyarakat, tentu jelas bahwa kehidupan masyarakat

juga akan mengalami perubahan dan pergeseran pada nilai-nilai kemasyarakatan yang ada, termasuk pergeseran peran perempuan, khususnya di Bali (Surpha, 2004). Peran perempuan Bali yang memiliki kompleksitas tinggi menjadi sangat menarik untuk media pembelajaran bagi perempuan, khususnya dalam memerankan diri dalam lingkup rumah tangga maupun publik. Tidak dipungkiri bahwa peran ganda selalu menyertakan konflik, maka sebagai perempuan Bali yang terikat pada adat tentunya dituntut lagi keseimbangan, karena harus menjalankan tiga peran (triple-roles) sekaligus, yakni: (1) peran rumah tangga, (2) peran ekonomi, dan (3) peran adat baik di keluarga, banjar maupun di desa adat (Nakatami, 2004; Tirtayani, 2007).

Usaha untuk meneliti hubungan akuntansi dengan lingkungan riilnya sebenarnya sudah muncul pada tahun 1970an, di mana peneliti menggunakan metode riset seperti, studi kasus dan studi lapangan. Sayangnya, hasil dari pembahasannya masih difokuskan pada bagaimana membuat generalisasi, padahal studi kasus dan studi lapangan justru dilakukan untuk mengeksplorasi keunikan-keunikan yang dimiliki obyek penelitian (Rasyid, 1998). Penelitian yang menekankan hasilnya pada generalisasi merupakan ciri penelitian yang menggunakan paradigma positivis (Abdel Khalik dan Anjinkya, 1983; Hagg dan Hedlund, 1979). Paradigma ini memiliki pandangan bahwa realitas sosial sebagai sesuatu yang obyektif, berdiri di luar diri manusia dan realitas sosial itu sebagai sesuatu yang sudah given (Burell dan Morgan, 1979; Chua, 1986). Penelitian-penelitian dalam paradigma positivis selalu bertumpu pada asumsi adanya fakta yang obyektif dan diyakini memiliki keteraturan yang universal. Penjelasan dalam paradigma positivis yang cenderung membuat generalisasi dan kurang kontekstual tersebut, pada akhirnya memunculkan dorongan terhadap beberapa peneliti akuntansi untuk melihat hubungan akuntansi dengan lingkungan riilnya secara lebih mendalam dengan menerapkan paradigma non-positivis (Rasyid, 1998). Hal ini dilakukan untuk menjelaskan bagaimana sebenarnya implikasi akuntansi dalam proses pembentukan realitas sosial maupun budaya di mana akuntansi tersebut dipraktikkan (Burchell et al., 1980; Arrington dan Francis, 1993; Laughlin, 1987). Usaha ini memunculkan motivasi untuk tidak melihat akuntansi dari aspek teknis dan klerikal saja, walaupun praktik akuntansi adalah praktik teknis. Aktivitas teknis dan makna yang diberikan dalam proses akuntansi, bergantung kepada konteks sosial dan budaya di mana akuntansi dipraktikkan (Hopwood, 1983).

Penelitian akuntansi tentang akuntabilitas sejauh ini masih didominasi oleh perhatian yang terbatas kepada aspek teknis dan klerikal saja, bahkan jika dilihat dari sisi domain status organisasinya, mayoritas hanya pada organisasi modern saja (Rasyid, 1998). Sementara penelitian akuntansi yang mengambil organisasi tradisional sebagai situs penelitiannya masih sangat langka. Peran perempuan karier Bali sangat menarik untuk menjadi media pembelajaran bagi perempuan, khususnya dalam memerankan diri dalam lingkup rumah tangga maupun publik. Untuk itu peneliti termotivasi untuk mengkaji secara mendalam bagaimana perempuan karier Bali dalam menjalankan harmonisasi praktik-praktik akuntabilitasnya, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun masyarakatnya.

Penelitian menggunakan metode fenomenologi yang bertujuan untuk mendapatkan pemahaman tentang realitas sosial melalui berpikir induktif berdasarkan pengalaman dari akuntan perempuan-karier itu sendiri atas tindakan akuntabilitasnya. Metode ini berusaha mengungkap berbagai keunikan yang terdapat dalam individu, kelompok, masyarakat dan organisasi dalam kehidupan sehari-hari secara menyeluruh, terperinci, dalam dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Pemahaman tersebut tidak ditentukan terlebih dahulu, tetapi diperoleh setelah melakukan analisis terhadap realitas sosial yang menjadi fokus penelitian. Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah penelitian, penelitian ini bertujuan mengungkap dan memahami secara mendalam tentang bagaimana perempuan karier Bali menjalankan harmonisasi praktik akuntabilitas.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini menggunakan paradigma interpretif sebagai pijakan untuk mendapatkan pemaknaan mengenai harmonisasi praktik akuntabilitas atas pemahaman pelaku (aktor). Paradigma interpretif yang digunakan sebagai pijakan dalam penelitian ini berusaha menitik beratkan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman di dalam ilmu sosial. Selain itu, paradigma ini juga memfokuskan pada sifat subjektif dari social world dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas sebagai hal terpenting, melainkan mengakui bahwa demi memperoleh pemahaman mendalam, maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin dan hal ini memungkinkan terjadinya trade off antara

objektivitas dan kedalaman temuan penelitian (Chariri, 2009).

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan fenomenologi sebagai metodologi dan metode penelitian. Fenomenologi dalam penelitian ini merupakan studi lapangan yang ditujukan untuk menggali dan mengungkapkan secara mendalam meaning yang muncul dari interaksi sosial perempuan karier Baliyang mempraktikkan akuntabilitasnya secara harmonis pada kehidupan keluarganya maupun di masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Sudarmanti (2006) yang menyatakan bahwa pendekatan fenomenologi berkaitan dengan pemahaman tentang bagaimana seseorang menjalani kehidupan sehari-hari atau biasa dikenal dengan sebutan dunia intersubyektif. Begitu pula Creswell (1998) menyebutkan bahwa penelitian fenomenologi menggali kesadaran orang-orang berdasarkan persepsi, ingatan dan pengalamannya terhadap suatu peristiwa. Studi fenomenologi diakhiri dengan penarikan esensi dari sebuah makna dari peneliti.

Bertolak dari gagasan tersebut maka fenomenologi sebagai metodologi dan metode penelitian digunakan untuk mencapai tujuan penelitian yang diharapkan, dan menganalisis permasalahan yang diajukan. Pendekatan ini memberikan gambaran bahwa kegiatan penelitian yang dilakukan tidak hanya mengumpulkan data tetapi juga menuliskan pemahaman atas realitas yang diteliti, sehingga pengetahuan yang dihasilkan adalah close to the ground (Rasyid, 1998), artinya pengetahuan tersebut menjadi kontekstual dan lokal. Hal inilah yang membedakannya dengan penelitian positivis yang menghasilkan pengetahuan secara obyektif namun kurang kontekstual.

Penelitian ini mengambil situs pada Provinsi Bali yang selama ini memegang peranan yang sangat penting dalam menata dan membina kehidupan masyarakat, maupun dalam proses pembangunan. Proses penelitian akan menentukan keberhasilan peneliti dalam memperoleh, mendokumentasi, dan mengolah data untuk dianalisis sehigga dapat digunakan untuk mencapai tujuan penelitian (Scapens, 2004). Metode fenomenologi menurut Denny Moeryadi (2009) dimulai dari serangkaian reduksi-reduksi. Reduksi dibutuhkan agar kita dapat menangkap makna dari setiap objek. Reduksi pertama dilakukan dengan menyingkirkan segala sesuatu yang sifatnya subyektif. Sikap kita harus obyektif dan terbuka untuk setiap gejala. Kedua, menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diselidiki dan diperoleh dari sumber lain. Ketiga,

menyingkirkan seluruh reduksi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan oleh orang lain sementara dilupakan. Jika reduksi-reduksi ini berhasil dilakukan, maka realita dari sebuah gejala akan nampak secara alami. Teknik pengumpulan data utama dalam studi fenomenologi adalah wawancara mendalam dengan subjek penelitian. Untuk memeproleh hasil wawancara yang utuh maka wawancara itu harus direkam. Kelengkapan data dapat diperdalam dengan menggunakan teknik lain, seperti observasi partisipan, penelusuran dokumen, dan lain-lain (Hasbianah, 2005).

Informan-informan kunci sangat diperlukan untuk mengungkap dan memaknai di balik suatu fenomena (Scapens, 2004). Informan yang tepat akan mempu memberikan penjelasan secara detail dan mengetahui kejadian yang sesungguhnya terjadi, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang harmonisasi praktik akuntabilitas perempuan karier Bali. Informan kunci dalam penelitian ini adalah perempuan yang berada dalam fase pragmatic endurance model atau perempuan yang berada pada pertengahan karier yang mulai menghadapi komitmen untuk menjaga keseimbangan professional pekerjaan, kehidupan masyarakat dan kehidupan pribadi/ rumah tangga .

Menurut Scapens (2004), kepandaian dan kepekaan peneliti sangat menentukan keberhasilan dalam memasuki dan memperoleh data pada situs penelitian. Dalam hal ini diperlukan pengembangan sikap simpatik, empatik, serta keluwesan dalam berinteraksi dan berkomunikasi untuk langkah awal memasuki lapangan penelitian. Pengembangan sikap demikian memiliki peran penting dalam aksesibilitas penelitian untuk memperoleh kemudahan data dan informasi di lapangan. Black (1981) mengungkapkan aksesibilitas adalah suatu ukuran kenyamanan dan kemudahan berinteraksi di dalam memasuki wilayah tertentu. Kenyaman dan kemudahan yang dimaksud adalah terkait dengan waktu, biaya dan usaha dalam memperoleh data serta informasi di lapangan.

Proses analisis data dilakukan secara simultan dengan tahap pengumpulannya agar dapat menghasilkan interpretasi yang mendalam tentang fenomena yang diteliti. Pada fase ini sangatlah penting diperlukan kematangan dan nilai-nilai diri yang dimilki oleh seorang peneliti dalam mengeksplorasi dan memaknai data, sehingga nantinya dihasilkan interpretasi yang menggambarkan sintesa temuan di lapangan.

Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada metodologi fenomenologi Creswell (1998) sebagai upaya untuk memperoleh

suatu pemahaman yang lebih mendalam dan komprehensif tentang bagaimana perempuan karier Bali ini mengorganisasikan budayanya dalam pikiran mereka, dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari untuk menjaga keseimbangan praktik akuntabilitas. Analisis data pada penelitian ini merupakan hasil adaptasi dari pemikiran Stevick, Colaizzi, dan Keen dalam Hasbiansyah (2005), yang mana analisis dilakukan dalam enam tahap, yaitu (1) menetapkan lingkup fenomena yang akan diteliti; (2) menyusun daftar pertanyaan, (3) mengumpulkan data dari individu yang mengalami fenomena yang diteliti; (4) analisis tahap awal yakni mendeskripsikan fenomena yang dialami subjek penelitian; tahap horizontalization; tahap cluster of meaning; (5) tahap deskripsi esensi, (6) melaporkan hasil penelitian.

Keberhasilan penelitian ini sangat ditentukan oleh data yang diperoleh atas berbagai teknik pengumpulannya dan dapat dibuktikan keterandalannya. Untuk itu data yang dipergunakan dalam penelitian ini haruslah diperoleh dari sumber-sumber yang terkualifikasi dan kompeten. Untuk menentukan informan kunci sebagai sumber data maka, informan yang dipilih harus sesuai kebutuhan informasi dan mengetahui situasi yang sebenarnya terjadi pada saat itu.Ketekunan peneliti dalam melakukan pengamatan terhadap objek penelitian juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas data yang diperoleh. Faktor lain yang juga harus dimiliki oleh peneliti dalam memperoleh dan mengumpulkan data adalah dengan membangun hubungan empatik dan rasa kekeluargaan dengan para informan kunci sehingga, setiap dialog yang terjadi akan benar-benar bersifat naturalis dan mengalir apa adanya. Situasi ini akan sangat membantu dalam proses pencarian informasi dan pengumpulan data.

Selanjutnya data yang diperoleh dan terkumpul dari sumbernya baik berupa data hasil wawancara mendalam, dokumentasi, dan observasi pada setiap kegiatan perempuan karier Bali, dijelaskan secara kontekstual agar lebih mudah dalam mengiterpretasikan nya. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat menjawab permasalahan dan tujuan penelitian ini, sehingga hasil dari temuan penelitian ini dapat memberikan pengembangan pengetahuan, sebagai bahan kajian, dan pengambilan kebijakan yang terkait dengan harmonisasi praktik akuntabilitas di lingkungan organisasi sosial.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian bersifat naratif dan disajikan dalam bentuk kutipan langsung dari para informan yang

digunakan. Data yang telah dianalisis secara kembali dalam bentuk uraian atau narasi mengenai mendalam atas interpretasi informan, dituangkan praktik akuntabilitas perempuan karier Bali.

Tabel 1.Data Informan

No.

Informan

Keterangan

1.

Ibu Luh Sri Wahyuni

Karyawan BNI Wilayah Denpasar

2.

Ibu Eka Putri Suryantari

Dosen Kopertis Wilayah VIII dpk Universitas Dhyana Pura Badung Bali

3.

Ni Made Sri Ayu Yuliani

Kepala Bagian Keuangan RSJ PROV. Bali

Sumber: Informan penelitian, 2018

Perempuan dengan peran ibu rumah tangga, yaitu berperan sebagai pengurus dan pelindung rumah tangga sebagai ibu, istri maupun anak atau menantu (Komalasari, 2018). Sejatinya praktik akuntabilitas perempuan yang paling utama dan mulia adalah sebagai seorang Ibu. Pandangan tradisional mengatakan bahwa kaum perempuan ditakdirkan untuk memelihara dan melahirkan anak serta melayani suami. Secara biologis kaum perempuan berperan melahirkan anak, mengasuh dan mendidiknya, di samping melayani kebutuhan suami. Dengan demikian, praktik akuntabilitas perempuan Hindu Bali disini sebagian besar untuk keperluan rumah tangga (domestik).

Praktik akuntabilitas perempuan di dalam keluarga yang memiliki peran sebagai Ibu rumah tangga hampir menyita seluruh waktu yang dimiliki oleh perempuan Bali, karena peran ini berlangsung secara terus-menerus selama 24 jam. Kewajiban mengasuh anak-anak merupakan kewajiban istimewa, karena masa depan maupun keberhasilan sebuah keluarga dapat dilihat dari perilaku dan kesuksesan anak-anaknya. Apabila seorang ibu tidak menjalankan kewajiban ini dengan baik, maka sebuah keluarga menuju kehancuran.

Perempuan Bali juga dituntut melaksanakan kewajiban sebagai istri, melayani suami sehingga menciptakan kedamaian dan kerukunan dalam rumah tangga. Keharmonisan keluarga akan mampu menciptakan kebahagiaan dalam rumah tangga, sehingga seluruh komponen keluarga dapat melakukan aktivitas maupun produktivitas dengan maksimal. Perempuan Bali juga walaupun telah menikah mereka tetap memiliki ikatan emosional dan tanggung jawab yang tinggi terhadap orang tua yaitu Bapak dan Ibu yang melahirkannya, maupun kepada mertua yaitu Bapak atau Ibu dari suami (mertua), sebagai anak harus dapat mengabdi kepada orang tua maupun mertua dengan baik. Wujud bakti perempuan Bali kepada orang tua adalah mampu merawat dan melayani mereka dengan baik.

Hasil perbincangan dengan Ibu Luh Sri Wahyuni, SE., Ak. yang selanjutnya disebut LSW adalah seorang karyawan BNI Wilayah Denpasar, Unit Pengelola Pemantauan Administrasi Kredit, sebagai Manager Administrasi Kredit Wilayah (RCRWDR) mengatakan bahwa :

“Peran ibu adalah peran yang sangat mulia, sosok ibu seakan-akan tidak tergantikan, walaupun saya memiliki asisten rumah tangga tetap saja segala aktivitas rumah tangga saya yang mengatur. Kalo hari Sabtu, Minggu atau hari libur nasional saya sering meluangkan waktu untuk melakukan pekerjaan rumah seperti beres-beres rumah, terutama kamar anak-anak sambil gotong royong dengan mereka menjalin komunikasi yang baik, sekaligus mengajarkan pentingnya kebersihan. Anak-anak merasa lebih nyaman jika ibunya ada di rumah. Lebih semangat belajar kalo ibunya yang menemani, lebih nafsu makan kalo ibunya yang masak. Suami juga begitu lebih senang masakan saya daripada pembantu, padahal saya juga tidak bisa masak yang heboh…yaa…. masak yang sederhana saja. Begitu pula mertua dan orang tua lebih nyaman cerita tentang apapun pada saya. Jadi sepertinya peran ibu luar biasa di keluarga saya”

Tidak jauh berbeda dengan hasil wawancara dengan Ibu Eka Putri Suryantari,SE., MSi.,Ak., yang selanjutnya disebut EPS adalah seorang perempuan Hindu Bali yang bekerja sebagai dosen Kopertis Wilayah VIII dpk Universitas Dhyana Pura Badung Bali, bertugas pada Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Humaniora. Ibu Eka mengatakan bahwa :

“Suami dan keluarga mendukung saya bekerja, dengan syarat saya harus tetap dapat menjalankan peran ibu rumah tangga yang baik. Anak-anak walaupun sudah remaja SMP dan SMU, mereka sangat manja dengan ibunya.

Tabel 2. Pernyataan Penting Dari Informan Mengenai Praktik Akuntabilitas Dalam Keluarga

LSW

Peran ibu adalah peran yang sangat mulia, sosok ibu seakan-akan tidak tergantikan

walaupun saya memiliki asisten rumah tangga tetap saja segala aktivitas rumah tangga saya yang mengatur.

saya sering meluangkan waktu untuk melakukan pekerjaan sambil gotong royong dengan mereka menjalin komunikasi yang baik, sekaligus mengajarkan pentingnya kebersihan.

Anak-anak merasa lebih nyaman jika ibunya ada di rumah.

Suami juga begitu lebih senang masakan saya daripada pembantu,

Begitu pula mertua dan orang tua lebih nyaman cerita tentang apapun pada saya.

EPS

Suami dan keluarga mendukung saya bekerja, dengan syarat saya harus tetap dapat menjalankan peran ibu rumah tangga yang baik.

Anak-anak walaupun sudah remaja SMP dan SMU, mereka sangat manja dengan ibunya.

Saya tidak punya pembantu, saya mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri,

Sewaktu-waktu mereka kadang minta saya masak sederhana saja seperti nasi goreng, mereka lahap makannya,

Kalo suami saya sih gampang…dia tidak menuntut masak yang macam-macam, yang penting makanan anak terjamin.

Orang tua dan mertua masih sehat dan kuat saya sangat bersyukur, mereka tidak tinggal bersama kami karena setelah pensiun memilih tinggal dikampung, kami sangat sering berkomunikasi lewat telpon dan mengunjungi mereka di hari libur.”

SAY

Peran ibu rumah tangga saya jalani seperti air mengalir saja, tentu ada riak-riak kecil.

Saya suka bersih-bersih dan berkebun…sambil olahragalah…dan sampai saat ini saya tetap bangun lebih awal agar dapat masak untuk keluarga sebelum berangkat bekerja.

Suami dan anak-anak saya jarang makan diluar, mereka lebih senang masakan saya, lebih terjamin, sehat dan bergizi.

Orang tua dan Mertua sayapun dulu sangat senang makan masakan saya, namun sekarang beliau sudah tiada, tapi saya bersyukur dapat melayani beliau semasa hidupnya.”

S umber: Wawancara informan, 2018

Apa-apa lebih senang dengan ibunya, mengerjakan PR, belajar kalo ditemani ibunya mereka sangat semangat. Makanpun walau sudah tersedia, akan sangat senang jika diambilkan oleh ibunya. Saya tidak punya pembantu, saya mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri, seperti bersih-bersih nyapu ngepel, mencuci pakaian. Kalo masak sih kadang-kadang…. biasanya hari libur, karena masak banyak menyita waktu belum lagi membersihkan prabotan masak…habis waktu saya. Jadi yang saya masak paling nasi putih saja….lauk beli. Kebetulan anak-anak saya sampe segede ini masih susah makannya jadi saya berusaha membelikan makanan kesukaan mereka dan sudah memiliki langganan makanan. Sewaktu-waktu mereka kadang minta saya masak sederhana saja seperti nasi goreng, mereka lahap makannya, apa karena nasi gorengnya memang enak atau karena mamanya yang masakin…hehehehe. Kalo suami saya sih gampang…dia tidak menuntut masak yang macam-macam, yang penting makanan anak

terjamin. Suami kalo pingin makan sesuatu bisa beli sendiri, terkadang..saya masakin juga pecel kesukaannya, lahap makannya dan dipuji mungkin biar sering-sering masak yaa…hehehe. Orang tua dan mertua masih sehat dan kuat saya sangat bersyukur, mereka tidak tinggal bersama kami karena setelah pensiun memilih tinggal dikampung, kami sangat sering berkomunikasi lewat telpon dan mengunjungi mereka di hari libur.”

Penuturan dari sumber lain yang bernama Ni Made Sri Ayu Yuliani, SE., MSi., selanjutnya disebut SAY, yang bertugas di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali, sebagai Kepala Bagian Keuangan, mengatakan bahwa :

“Peran ibu rumah tangga sudah saya jalani selama 32 tahun, anak-anak sekarang sudah besar bahkan saya sudah punya cucu dari anak yang no 2. Selama ini peran ibu rumah tangga saya jalani seperti air mengalir saja, tentu ada riak-riak kecil. Dulu waktu anak-anak masih kecil baru saya merasa kewalahan menjalani

peran ini karena saya bekerja, sekarang lebih santai…. Saya suka bersih-bersih dan berkebun…sambil olah ragalah…dan sampai saat ini saya tetap bangun lebih awal agar dapat masak untuk keluarga sebelum berangkat bekerja. Suami dan anak-anak saya jarang makan diluar, mereka lebih senang masakan saya, lebih terjamin, sehat dan bergizi. Untuk keluarga saya tidak perhitungan saya selalu memilih bahan organik utk masakan saya…jadi sangat sehat…hehehe… Orang tua dan Mertua sayapun dulu sangat senang makan masakan saya, namun sekarang beliau sudah tiada, tapi saya bersyukur dapat melayani beliau semasa hidupnya.”

Tampaknya pandangan tradisional terhadap kaum perempuan yang hanya berperan sebagai ibu rumah tangga saja sudah mulai usang, tergerus oleh derasnya gelombang wacana perubahan, sosial, politik, adat, dan budaya masyarakat di Bali. Mereka ingin bekerja sebagai perempuan karier (Brahma Vadini). Perjuangan kaum perempuan Hindu pada saat ini tidak saja menuntut persamaan hak, tetapi juga menyatakan fungsinya mempunyai arti bagi pembangunan dalam masyarakat.

Perempuan Bali dapat berperan sebagai pencari nafkah, membantu kebutuhan ekonomi keluarga, bahkan pada kondisi tertentu menjadi tulang punggung keluarga. Sejatinya perempuan Bali bekerja bukanlah hal yang baru. Budaya Bali melalui Kitab suci Weda sangat mendukung perempuan bekerja. Peran perempuan Bali Hindu dalam Kitab Weda juga menegaskan hal tersebut Darmayante (2012) bahwa;

“Perempuan adalah pengawas keluarga, dia cemerlang, dia mengatur yang lain-lain dan dia sendiri yang taat kepada aturan-aturan, dia adalah asset keluarga sekaligus menopang (kesejahteraan) keluarga” (Yajurveda XIV.22)

Disini dapat dikatakan secara budaya dan keyakinan Hindu, bahwa keluarga, masyarakat dan lingkungan menerima perempuan Hindu Bali untuk bekerja menopang kesejahteraan keluarga. Peran bekerja sebagai penyangga ekonomi keluarga sejatinya sudah dilakukan oleh generasi perempuan Bali terdahulu, ini dapat dilihat dari sejarah dimana sebagian besar pedagang adalah perempuan. Namun perempuan Bali dahulu hanya bekerja dan bukan berkarier. Bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sedangkan berkarier selain memenuhi kebutuhan keluarga, juga sebagai wujud sebuah aktualisasi diri. Berkarier merupakan proses perkembangan jabatan atau kedudukan secara bertahap sepanjang masa kerjanya, yang dapat diraih dari prestasi maupun kinerja yang mereka hasilkan. Dapat dikatakan makna berkarier lebih luas, karena perempuan memandang karier itu sangat subyektif berdasarkan cara pandang mereka sendiri (Komalasari, 2017). Apabila kemudian peningkatan karier tersebut diikuti oleh peningkatan penghasilan, itu dianggap sebuah bonus dan bukan tujuan utama. Perempuan Bali melihat karier sebagai bentuk eksistensi dan penghargaan diri yang menjadi motivasi mereka tetap bertahan walaupun dalam kondisi pekerjaan seberat apapun.

Tabel 3. Makna-Makna Penting Mengenai Praktik Akuntabilitas Dalam Keluarga

No.                                     Hasil Penarikan Makna

  • 1    Peran ibu adalah peran yang sangat mulia, sosok ibu seakan-akan tidak tergantikan walaupun memiliki asisten rumah tangga

  • 2.    Harus menjalin komunikasi yang baik dengan Mertua dan orang tua sehingga mereka nyaman bercerita tentang apapun melalui lewat telpon dan mengunjungi mereka di hari libur

  • 3.    Perempuan karir Bali wajib meluangkan waktu untuk menjalin komunikasi yang baik dengan keluarg

  • 4.    Penting menjalani peran seperti air mengalir saja, meskipun tetap ada riak-riak kecil

  • 5.    Penting untuk melayani mertua dan orang tua selama masa hidupnya

  • 6.    Anak-anak dan suami sangat membutuhkan sosok ibu/perempuan dalam keluarga.

  • 7.    Suami dan keluarga mendukung bekerja, dengan syarat harus tetap dapat menjalankan peran ibu rumah tangga yang baik.

Sumber: Wawancara informan, 2018

Tabel 4 menyajikan data mengenai pernyataan penting informan mengenai praktik akuntabilitas dalam ekonomi keluarga.

Tabel 4. Pernyataan Penting Informan Mengenai Praktik Akuntabilitas Dalam Ekonomi Keluarga

LSW

EPS

SAY

Saya mengawali karier sebagai seorang teller, kemudian bertahap mencapai jabatan sekarang. Hal ini tidak mudah, melalui banyak perjuangan.

Sungguh tidak mudah berada pada posisi ini, namun tetap saya jalani dengan sepenuh hati, saya merasa dipercaya, saya harus mampu memberikan yang terbaik.

Saya mampu memenuhi kebutuhan anak-anak, di samping suami saya juga bekerja.

Penghasilan saya sejak menjadi PNS, dosendpk cukup untuk bisa menabung bagi anak-anak, bahkan sekolah S2 sayapun dulu dengan biaya sendiri. Apalagi sekarang sudah lolos serdos (sertifikasi dosen), tentunya penghasilan saya semakin meningkat. Suami saya juga bekerja dan mendukung saya bekerja.

Penghasilan suami saya sebenarnya sudah mampu mencukupi seluruh kebutuhan keluarga, sedangkan saya sebagai pendukung saja.

Saya sangat mencintai pekerjaan saya.

Pekerjaan saya mampu menopang kehidupan ekonomi keluarga dan menyekolahkan anak-anak ke jenjang yang lebih tinggi.

Suami saya juga bekerja namun semakin hari dengan meningkatnya kebutuhan, tentunya perlu dukungan.

Saya masih bisa membantu memenuhi kebutuhan keluarga, dan itu merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya.

Dengan jabatan sekarang memperoleh penghasilan yang cukup untuk membantu perekonomian keluarga dan berinvestasi untuk masa depan.

Dengan demikian kami dapat menabung untuk investasi masa depan keluarga

Saya senang dengan bekerja kemampuan saya diakui dan eksistensi saya dihargai, disamping itu dengan bekerja juga saya dapat membantu menambah kesejahteraan masa depan keluarga

Sumber: Wawancara informan, 2018

Tabel 5 menyajikan data mengenai makna-makna penting informan mengenai praktik akuntabilitas dalam ekonomi keluarga

Tabel 5. Makna-Makna Penting Mengenai Praktik Akuntabilitas Dalam Ekonomi Keluarga

No.                            Hasil Penarikan Makna

  • 1    Pekerjaan perempuan dalam menopang ekonomi keluarga dicapai dengan melalui banyak perjuangan.

  • 2.    Meskipun suami juga bekerja namun semakin hari dengan meningkatnya kebutuhan, tentunya perlu dukungan perempuan dalam menopang perekonomian keluarga.

  • 3.    Penghasilan yang diperoleh cukup untuk membantu perekonomian keluarga dan berinvestasi untuk masa depan.

  • 4.    Dengan bekerja, perempuan diakui kemampuan dan eksistensinya dihargai.

  • 5.    Merupakan kebanggaan bagi perempuan bisa membantu memenuhi kebutuhan keluarga

Sumber: Wawancara informan, 2018

Perempuan Bali yang mendapat kesempatan berkarier dari organisasi selain mampu menopang kebutuhan ekonomi keluarga, namun yang utama dilihat sebagai sebuah penghargaan dan ingin menunjukkan kemampuannya dengan bekerja maksimal. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber LSW, mengatakan bahwa :

“Saya bekerja di Bank BNI sejak tahun

1995 Berarti sekarang sudah 22 tahun. Banyak hal yang sudah saya lalui dalam pekerjaan ini. Saya mengawali karier sebagai seorang teller,

kemudian bertahap mencapai jabatan sekarang. Hal ini tidak mudah, melalui banyak perjuangan. Tidak banyak perempuan yang berhasil mencapai jabatan seperti saya, hanya 3 orang perempuan saja disini yang menduduki jabatan selevel yakni Manajer Unit. Sungguh tidak mudah berada pada posisi ini, namun tetap saya jalani dengan sepenuh hati, saya merasa dipercaya, saya harus mampu memberikan yang terbaik. Astungkare ……. dengan jabatan sekarang memperoleh penghasilan yang cukup

untuk membantu perekonomian keluarga dan berinvestasi untuk masa depan. Saya mampu memenuhi kebutuhan anak-anak. Suami saya juga bekerja sebagai dosen di Universitas Udayana. Jadi penghasilan kami cukuplah untuk kesejahteraan keluarga. Semuanya penghasilan saya dedikasikan untuk masa depan anak-anak dan keluarga”

Senada dengan LSW, nara sumber yang lain EPS, menuturkan perannya sebagai pendukung ekonomi keluarga sebagai berikut;

“Setelah saya tamat S1 Akuntansi UNUD tahun 1998,saya sempat bekerja di perusahaan swasta, namun dari tahun 2008 saya menjadi PNS, sebagai staf teknisi pada bagian keuangan Universitas Udayana di Bukit Jimbaran. Kemudian tahun 2010-2012 saya melanjutkan kuliah S2 di Magister Akuntansi UNUDsekaligus menjadi dosen honorer di Universitas Dhyana Pura. Tahun 2015saya mengajukan diri menjadi dosen Kopertis Wilayah VIII, melengkapi persyaratan dan prosedur pemindahan tugas dan fungsi….. astungkare..... akhirnya diterima, kemudian ditempatkan di Universitas Dhyana Pura (Undhira) sebagai Dosen PNS dpk.Penghasilan saya yang awalnya dari staf PNS kemudian alih tugas dan fungsi menjadi Dosen dpk lumayanlah…sehingga saya bisa menabung untuk anak-anak, bahkan sekolah S2 sayapun dulu dengan biaya sendiri. Suami saya juga bekerja dan mendukung saya bekerja. Penghasilan suami saya sebenarnya sudah mampu mencukupi seluruh kebutuhan keluarga, sedangkan saya sebagai pendukung saja. Dengan demikian kami dapat menabung untuk investasi masa depan keluarga, karena kita tau biaya pendidikan semakin lama semakin meningkat, mimpi saya ingin melihat anak-anak berhasil dan memiliki masa depan yang lebih baik dengan berinvestasi pada pendidikan mereka. Saya senang…. dengan bekerja kemampuan saya diakui dan eksistensi saya dihargai, disamping itu dengan bekerja juga saya dapat membantu menambah kesejahteraan masa depan keluarga.”

Wawancara dengan nara sumber SAY tidak jauh berbeda dengan nara sumber yang lain, SAY menceritakan kehidupan pekerjaannya yang mampu menopang kehidupan ekonomi keluarga;

“Saya bekerja setelah tamat kuliah S1 dan meraih gelar SE. di instansi pemerintah Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali. Sambil bekerja kembali menempuh pendidikan S2. Sebagai PNS umumnya jenjang kepangkatan memiliki aturan yang berjenjang seperti dilihat dari pendidikan, masa kerja dan juga tak kalah pentingnya adalah kepercayaan pimpinan terhadap kemampuan kita. Saya sangat mencintai pekerjaan saya….. pekerjaan saya mampu menopang kehidupan ekonomi keluarga, mampu menyekolahkan anak-anak ke jenjang yang lebih tinggi. Suami saya juga bekerja namun semakin hari dengan meningkatnya kebutuhan, tentunya perlu dukungan. Astungkare… saya mampu menjadi pendukung tersebut, sampai anak-anak sekarang telah berkeluarga dan memiliki cucu. Saya masih bisa membantu memenuhi kebutuhan keluarga, dan itu merupakan kebanggaan tersendiri bagi saya. Semoga kehidupan ekonomi keluarga kami tenang sampai saya pensiun nanti.”

Bali merupakan salah satu daerah yang sangat menjunjung tinggi nila-nilai budayanya. Nilai-nilai budaya yang terkonstruksi pada daerah Bali sampai saat ini masih berakar kuat di setiap gerak langkah kehidupan masyarakatnya. Hal ini terlihat dari praktik akuntabilitas adat yang dilakukan oleh para perempuan karier Bali dalam kehidupan sehari-hari. Para perempuan Bali memiliki peran penting dalam melestarikan budaya, karena mereka menduduki posisi yang sangat strategis sebagai sosok panutan dalam pelaksanaan budaya. Peran sebagai pelaksana adat dilakukan dengan baik, agar sesuai dengan norma adat dan budaya yang berlaku pada lingkungan keluarga, banjar, maupun desa adat.

Peran adat dalam sebuah komunitas sosial budaya, biasanya dilakukan oleh perempuan Bali pada pelaksanaan kegiatan keagamaan, dengan mengerjakan kebutuhan banten (sarana upacara keagamaan) dari awal proses baik perencanaan, pengarahan, pengkoordinasian, pelaksanaan sampai upacara keagamaan tersebut selesai dilakukan. Semua kegiatan tersebut dilakukan oleh perempuan Bali sebagai sebuah tradisi yang diteruskan secara turun temurun, sehingga dapat membuat budaya Bali menjadi ajeg atau lestari sebagai icon pariwisata budaya dunia.

Perempuan Bali wajib untuk melaksanakan adat sebagai pelestari budaya yang dilakukan secara turun temurun. Seperti yang dituturkan oleh LSW bahwa

dia selalu berusaha mengatur waktunya untuk tetap melaksanakan kegiatan adat, karena selain sebagi pertanggungjawaban kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), juga sebagai pertanggungjawaban kepada sesama dan lingkungan, sebagai berikut:

“Saya perempuan Hindu Bali dan memiliki tanggungjawab yang besar untuk pelaksanaan kegiatan agama, kalo bukan saya (ibu dalam keluarga) yang mengingat dan melaksanakan, siapa lagi?...ini memang kewajiban perempuan…jika ada odalan (upacara keagamaan) kita harus menyiapkan segala banten (sarana upacara) dengan baik agar kita dianugrahi kesehatan dan keselamatan juga rejeki. Bila ada acara nganten, potong gigi, otonan (jenis upacara keagamaan) kita sebagai ibu harus dapat ikut berperan serta dengan baik di keluarga/tetangga karena tanggung jawab kita kepada sesama. Bila ada acara mecaru, meprani di banjar, desa (upacara agama), ibu juga turut bertanggung jawab kepada lingkungan sekitar agar dianugrahi ketentraman dan keharmonisan. “

Sementara itu nara sumber EPS juga sependapat bahwa perempuan bali adalah sosok pelestari adat, sebagai berikut;

“Tidaklah berlebihan jika disebut perempuan Bali itu sebagai sosok pelestari adat dan aktivitas agama yang berkesinambungan, karena bisa

dikatakan jika perempuan tidak ada maka upacara tidak berjalan sempurna, karena perempuan yang biasanya tau secara detail sarana upakara apa yang akan dihaturkan, dimana dan kapan menghaturkannya. Bagaimana rupa dan jenis banten yang dihaturkan biasanya perempuanlah yang memahaminya.”

Nara sumber SAY mengatakan hal serupa, ia sangat setuju jika dikatakan perempuan Bali sosok pelaksana adat yang berkesinambungan sehingga disebut sebagai pelestari budaya, sebagai berikut;

“Dari dulu yang metanding (menyiapkan) banten (sara upacara) adalah perempuan, adapun laki-laki tapi bisa dihitung dengan jari. Rasanya kia sebagai perempuan sudah terpanggil untuk itu, tidak diberitahu lagi, kita yang ngambil kerjaan itu…..entah menyiapkan, melaksanakan sampai muput (menyelesaikan) upacara. Suami ataupun anggota keluarga lainnya mebat (masak) masang penjor (hiasan upacara), namun bebantenan (seluruh sarana upacara untuk persembahyangan) selalu disiapkan oleh perempuan. Sudah turun temurun seperti itu dan kita perempuan dengan penuh keikhlsan dan tanggungjawab menyelesaikannya.”

Tabel 6 menyajikan data mengenai pernyataan penting informan mengenai praktik akuntabilitas dalam adat di Bali.

Tabel 6: Pernyataan Penting Informan Mengenai Praktik Akuntabilitas Dalam Adat

LSW

EPS

SAY

Perempuan Hindu Bali memiliki tanggungjawab yang besar untuk pelaksanaan kegiatan agama, baik upacara adat yang ditujukan untuk keharmonisan dengan Tuhan, sesama manusia, maupun lingkungan.

Jika perempuan tidak ada maka upacara tidak berjalan sempurna, karena perempuan yang biasanya tau secara detail sarana upakara apa yang akan dihaturkan, dimana dan kapan menghaturkannya.

Dari dulu seluruh sarana upacara untuk persembahyangan selalu disiapkan oleh perempuan.

Sudah turun temurun seperti itu dan perempuan dengan penuh keikhlsan dan tanggungjawab menyelesaikannya.

Sumber: Wawancara informan, 2018

Sedangkan Tabel 7 menyajikan data mengenai makna-makna penting informan mengenai praktik akuntabilitas dalam adat Bali.

Semakin tingginya tuntutan ekonomi membuat setiap keluarga khususnya di Bali, harus berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Saat ini tidak hanya sosok suami saja yang harus bekerja

untuk memenuhi kehidupan ekonomi keluarganya, tapi banyak istri yang mengambil peran bekerja untuk menopang kebutuhan keluarga, yang sering disebut sebagai perempuan karier. Perempuan Bali yang biasanya hanya berperan sebagai seorang ibu mengurus rumah tangga dan anak-anak saja, kini mempunyai peran kedua yaitu sebagai perempuan

Tabel 7. Makna-Makna Penting Mengenai Praktik Akuntabilitas Dalam Adat

No.                                     Hasil Penarikan Makna

  • 1    Perempuan Hindu Bali memiliki tanggungjawab yang besar untuk pelaksanaan kegiatan agama, baik upacara adat yang ditujukan untuk keharmonisan dengan Tuhan, sesama manusia, maupun lingkungan.

  • 2.    seluruh sarana upacara untuk persembahyangan selalu disiapkan oleh perempuan.

  • 3.    Jika perempuan tidak ada maka upacara tidak berjalan sempurna.

  • 4.    Sudah turun temurun seperti itu dan perempuan dengan penuh keikhlsan dan tanggungjawab menyelesaikannya.

Sumber: Wawancara informan, 2018 bekerja, hal ini berlaku pada kehidupan perempuan karier di Bali.

Selain itu perempuan karier Hindu di Bali juga memiliki peran ketiga yakni, sebagai peran adat, sebagai pelestari budaya dalam menjalankan berbagai kewajiban upacara agama dan sosial umat Hindu di Bali.Perempuan karier Bali dalam kehidupannya sehari-hari berusaha merekontruksi ketiga peran tersebut dalam praktik-praktik akuntabilitasnya. Praktik-praktik akuntabilitasyang dimaksud adalah, praktik akuntabilitas keluarga sebagai ibu rumah tangga, praktik akuntabilitas ekonomi sebagai penyangga ekonomi keluarga dan praktik akuntabilitas adat sebagai pelestari budaya.

Perempuan karier Bali yang berada di daerah dengan adat budaya yang masih berakar kuat memiliki multi peran yang harus mereka jalani. Multi peran yang dimaksud yaitu akuntabilitasnya sebagai ibu rumah tangga, akuntabilitasnya sebagai penyangga ekonomi keluarga dan akuntabilitasnya sebagai pelaksana adat yang bertanggung jawab secara sosial dan budaya pada komunitasnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Moser (1989), Nakatami (2005), Tirtayani (2007), Pendapat tentang multi peran perempuan ini juga terdapat dalam kutipan suci Weda Manawa Dharmasastra III.59 (Darmayante, 2012) berikut,

Tasmadetah Sada Pujya, Busanaccha

Dana Sanaih, Buthi Kamair Narair Mityam,Satkaresutsa Vesu Ca “

Terjemahannya :

Perempuan adalah makhluk Tuhan yang memiliki kompleksitas peran dan kemuliaanya sendiri (religius, estetis, ekonomi, maupun sosial). Sebagai makhluk religius, dia menjadi sempurna di hadapan Tuhan, dia juga sekaligus pengatur detail aspek-aspek kerumah tanggaan, sekaligus sebagai kasir yang jujur untuk keluarga mereka.

Pada sisi keyakinan Agama Hindu dengan tegas mengatakan kebenaran tentang peran perempuan Hindu. Disini nampaknya perempuan karier Hindu di Bali sudah sangat paham akan pelaksanaan ketiga peran ini, baik peran keluarga sebagai ibu rumah tangga, peran penyangga ekonomi keluarga maupun peran pelaksana adat keagamaan. Disini perempuan karier Bali harus mampu mengatur dirinya dengan baik agar ketiga peran tersebut dapat berjalan secara seimbang. Ketiga peran tersebut menuntut waktu, memiliki tekanan dan perilaku yang maksimal pada semua peran. Disini dibutuhkan keahlian dan seni dalam mengatur agar semua peran dapat berjalan dengan baik dan seimbang. Seperti yang dikatakan oleh EPS terkadang ketiga peran menuntut pelaksanaan secara bersamaan;

“Terkadang pada hari yang bersamaan ada undangan menghadiri workshop/seminar, undangan menghadiri pernikahan dan dijam yang hampir bersamaan harus menjemput anak sekolah, disinilah perempuan karier memiliki seni untuk mengatur waktunya, sehingga dapat memilih kegiatan mana yang harus dikerjakan terlebih dahulu atau diprioritaskan. Pernah saya menghadiri seminar satu setengah jam dengan menggunakan pakaian adat..he..he, karena satu jam kemudian saya harus berangkat kondangan ke pernikahan sepupu, ....catat nama di buku undangan kasih angpao sebagai tanda turut berbahagia tanpa makan disana......minta ijin dan langsung cuss... jemput anak sekolah...benar-benar hari yang luar biasa, dan akhirnya ketiga peran yang menuntut waktu dan kinerja bersamaan dapat saya atasi dengan baik.”

Perempuan dalam ajaran Agama Hindu, swadharma-nya atau kewajibannya sebagaimana tercantum dalam kitab Menawa Dharmasastra III.56 (Pramitasari,2017) dinyatakan memiliki

kedudukan yang sangat terhormat. Adapun bunyi selokanya adalah :

“Yatra naryastumpujyante,

Ramante tatra dewatah, Yatraitastu na pujyante, Sarwastalah kriyah” Artinya:

“Di mana perempuan dihormati,

Di sanalah para Dewa-Dewi merasa senang,

tetapi di mana mereka tidak dihormati, tidak ada upacara suci apa pun yang akan berpahala.”

Makna kutipan di atas adalah bahwa perempuan memiliki fungsi sinergis dalam menciptakan hubungan yang harmonis baik dalam hubungannya dengan sesama maupun dalam hubungannya dengan sang pencipta. Disini kebahagiaan dan penghargaan terhadap perempuan dalam rumahtangga maupun lingkungan sekitar menjadi ukuran pahala yang akan diperoleh. Perubahan yang diakselerasi oleh perkembangan pembangunan dan kebutuhan ekonomi, mengubah paham tradisional tentang perempuan Hindu Bali, yang kemudian membebaskan tali ikatan kaum perempuan yang berperan hanya di ranah sektor domestik, sehingga membuka peluang perempuan mengambil bagian di sektor ekonomi, seperti menjadi perempuan karier. Pandangan tradisional tentang kaum perempuan hanya ditakdirkan untuk melahirkan dan memelihara anak serta melayani suami sedangkan hanya pria yang mencari nafkah untuk menunjang kehidupan keluarganya, kini semakin pudar. Wacana gender sebagai bias bentuk perubahan, menggiring perempuan tidak hanya memiliki satu peran namun memiliki multi peran, sehingga semakin memiliki arti dalam kehidupannya. Perempuan dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab bersedia mengemban amanat multi peran ini karena perempuan menganggap ini adalah tugas yang mulia, ini sebuah tantangan, ini sebuah penghargaan keluarga dan masyarakat kepada dirinya.

Melaksanakan multi peran tersebut adalah merupakan pertanggungjawaban diri perempuan karier Bali terhadap keluarga. Hal ini disebutkan dalam sloka yang tercantum dalam Regveda, yakni “Stri hi brahma babhuvitha” (Regveda VII, 33,19), yang berarti perempuan sesungguhnya adalah seorang sarjana dan pengajar. Perempuan yang mampu menempatkan dirinya menjadi guru, akhirnya

akan membawa dirinya menjadi ibu bagi semua orang. Perilaku sebagai seorang guru sekaligus akan menata langkah perilaku seorang perempuan untuk senantiasa setia pada tugas, kewajiban, dan dharmanya untuk mendidik dan memberi arah yang benar kepada keluarga dan lingkungan sekitarnya.

Kemampuan dan prestasi perempuan sangat dihargai, seperti dijelaskan dalam seloka Canakya Nitisastra, I.17 di bawah ini:

“Perempuan dibandingkan laki-laki dua kali lebih kuat nafsu makannya, Empat kali lebih malu,

Empat kali lebih berani,

Dan hendaknya diingat bahwa nafsu kelaminnya delapan kali lebih kuat.”

Sloka itu menggambarkan bahwa perempuan mempunyai kekuatan berpikir, bekreatifitas dan mempunyai kelebihan bisa melahirkan dan mempunyai kemajuan untuk mandiri, sehingga sloka ini bertujuan agar laki-laki tidak menganggap rendah perempuan. Inilah yang membuat perempuan ikhlas dan setia mengabdi kepada multi perannya.

Perempuan sesungguhnya adalah dasar kebahagiaan keluarga, seperti sloka yang tercantum dalam Regveda III, 53,4 yang berbunyi :

Jayed astam maghavan sed uyonih.”

Artinya, Ya Sang Hyang Indra, istri sebenarnya adalah wujud rumah. Dia adalah dasar kemakmuran keluarga itu. Ini berarti perempuan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap kemakmuran keluarga yang diwujudkan sebagai rumah, sumber kenyamanan, sumber kedamaian dan tempat berlindung bagi seluruh anggota keluarga ketika sedang mengalami kesulitan.

Terdapat dua sloka lain yang mengatakan swadarma seorang ibu dalam keluarga, yaitu seperti yang terdapat dalam simbol hidup untuk bekerja dalam pustaka suci Bhagawadgita III tentang Karmayoga yang berbunyi sebagai berikut:

“Na karmanam anarambhan naiskarmyam purusosnute na ca samnyasanad eva siddhim samadhigaccha” Artinya:

“Bukan dengan jalan tidak bekerja orang mencapai kebebasan dari perbuatan. Juga tidak dengan melepaskan diri dari pekerjaaan orang akan mencapai kesempurnaan”

“Niyatam kuru karma tvam karma jyayo hy akarmanah sarira yatra pi da te na prasidhyed akarmanah”

Artinya:

’ Lakukanlah pekerjaan yang diberikan padamu, karena melakukan perbuatan itu lebih baik sifatnya daripada tidak melakukan apa apa, sehingga juga untuk memelihara badanmu tidak akan mungkin jika engkau tidak bekerja’

Sloka tersebut di atas menunjukkan bahwa perempuan bekerja jauh lebih mulia daripada tidak melakukan apa-apa. Berdasarkan kedua seloka tersebut, jelaslah bahwa ibu sebagai pembimbing anak seyogianya bisa bekerja sesuai dengan karma dan swadharmanya untuk kepentingan peningkatan ekonomi keluarga. Disini dapat dikatakan bahwa begitu berharganya perempuan dalam mengemban multi peran. Multi peran perempuan menimbulkan tanggung jawab yang besar bagi keluarga. Perempuan dikatakan mampu memikul tanggung jawab tersebut karena sangat didukung oleh agama, adat dan budaya setempat, sehingga tidak ada alasan bagi perempuan tidak melaksakan swadarma-nya ini dengan baik.

Perempuan karier Bali, tidak hanya memiliki pertanggungjawaban diri kepada keluarga, terlebih lagi memiliki pertanggung jawaban terhadap sang pencipta. Karena baik buruk perilaku anak-anak generasi penerus bangsa yang dilahirkannya, merupakan tanggung jawab seorang ibu. Sejahtera ataupun tidak perekonomian keluarga juga tergantung bagaimana seorang ibu mampu mengatur, dan mendukungnya dalam menentukan prioritas mana yang harus dipilih dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Berkesinambungan atau tidak pelaksanaan kegiatan adat keagamaan, akhlak anak dan anggota keluarga merupakan juga tanggung jawab seorang ibu. Multi peran ini harus diimani atau diyakini sebagai tanggungjawab yang mulia, sehingga nantinya kharmayoga (perbuatan) yang baik ini menjadi kharmapala (hasil perbuatan) yang baik , yang akan membawa perempuan menjadi sosok mulia dan terhormat di sisi sang pencipta.

Oleh karena itu ucapan “Sorga berada di telapak kaki Ibu” tidaklah berlebihan, karena perempuan adalah pembawa kemakmuran, kesuburan, dan kesejahteraan, sebagaimana tertera pada Yajurveda, XIV. 21 berikut :

“ Murdha asi rad dhuva asi

Daruna dharti asi dharani

Ayusa twa varcase tva krsyai tva ksemaya twa.”

Artinya.

“Oh perempuan engkau adalah perintis, cemerlang, pendukung yang memberi makan dan menjalankan aturan-aturan seperti bumi. Kami memiliki engkau di dalam keluargan untuk usia panjang, kecemerlangan, kemakmuran, kesuburan pertanian dan kesejahteraan.”

Disini dapat dikatakan bahwa dengan kekuatan besar yang dimiliki oleh seorang perempuan akan melahirkan tanggungjawab yang besar pula. Multi peran yang dijalankan perempuan karier Bali merupakan wujud harmonisasi praktik-praktik akuntabilitasnya. Harmonisasi ini harus dapat dijalankan dengan baik bagi setiap perempuan untuk dapat dipertanggungjawabkan pada Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan yang Maha Esa).

SIMPULAN

Realitas sosial yang terkonstruksi pada perempuan karier Bali secara filosofi terbentuk oleh adanya konfigurasi adat, budaya dan agama yang ada di lingkungannya. Kristalisasi yang terbentuk dari konfigurasi semacam ini secara otomatis mewujudkan suatu tradisi dan budaya pada kehidupan masyarakatnya. Salah satu tradisi dan budaya keluarga yang terbentuk dari konfigurasi nilai-nilai filosofi adat, budaya dan agama pada perempuan karier Bali adalah praktik akuntabilitas keluarga, praktik akuntabilitas ekonomi keluaga dan akuntabilitas adat.

Konsep tentang praktik akuntabilitas keluarga, ekonomi keluarga dan adat yang selama ini dilakukan oleh para perempuan karier Bali didasarkan atas pemahaman dan pengetahuan yang mereka miliki. Pemaknaan terhadap tindakan (praktik akuntabilitas) atas pengetahuan dan pemahaman para perempuan karier Bali berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bersumber dari nilai-nilai filosofi adat, budaya, dan agama yang berada di lingkungannya. Adanya pemahaman inilah kemudian menjelma dalam diri setiap individu perempuan karier Bali sebagai akuntabilitas diri (self-owned accountability).

Self accountability yang tertanam dalam diri setiap individu perempuan karier Bali kemudian secara otomatis menjiwai setiap pikiran, perkataan

dan perbutannya, sehingga terbentuk praktik akuntabilitas yang sehat. Praktik akuntabilitas yang sehat sesungguhnya memilki kontribusi yang besar bagi kesejahteraan masyarakat dan diyakini akan menjadi salah satu komponen utama penyusun tatanan masyarakat (Roeslender, 1992;3).

Peneliti sadar bahwa hasil dari penelitian ini masih banyak memiliki keterbatasan dan jauh dari kesempurnaan. Keterbatasan tersebut adalah pada proses penelitian. Penelitian ini adalah suatu bentuk pemahaman dan pemaknaan atas konsep akuntabilitas pada berbagai realitas sosial. Dalam prosesnya, peneliti menggunakan metodologi fenomenologi untuk mencapai tujuan penelitian yang diharapkan. Namun, penelitian ini dilakukan dalam waktu yang singkat dan hanya dalam batas waktu minimal dari yang direkomendasikan oleh metodologi fenomenologii. Keterbatasan berikutnya adalah dalam proses pendeskripsian, pemahaman, pemaknaan dan rekonstruksi. Dalam proses ini peneliti tidak terlepas dari subyektivitasnya sehingga hasil dari penelitiannya tidak dapat digunakan untuk melakukan generalisasi. Selanjutnya adalahkemampuan peneliti dalam mengeksplorasi, menginteprestasikan dan menuliskan suatu realitas sosial, sehingga menunjukkan hasil dari penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan.

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah wawasan yang lebih luas kepada para mahasiswa tentang keberadaan nilai-nilai budaya lokal yang terbentuk dari konfigurasi adat, budaya dan agama, menjadi spirit dalam akuntansi sosial dan akuntansi keperilakuan. Untuk itu, perlu kiranya memasukkan sebuah materi akuntansi sosial dan akuntansi keperilakuan yang berbasis pada nilai-nilai filosofi adat, budaya dan agama dalam kurikulum jurusan akuntansi di Indonesia, mengingat organisasi publik yang ada di Indonesia memiliki kemiripan latar belakang adat, budaya dan agama.

Substansi dari hasil penelitian ini sesungguhnya lebih menekankan pada pencerahan dan penyadaran kepada seluruh umat manusia bahwa harmonisasi praktik-praktik akuntabilitas yang dilakukan oleh perempuan karier Bali sesungguhnya memilki kontribusi yang besar bagi kesejahteraan masyarakat dan diyakini akan menjadi salah satu komponen utama penyusun tatanan masyarakat. Oleh sebab itu perempuan yang mampu menempatkan dirinya menjadi guru, akhirnya akan membawa dirinya menjadi ibu bagi semua orang. Perilaku sebagai seorang guru sekaligus akan menata langkah perilaku seorang perempuan untuk senantiasa setia

pada tugas, kewajiban, dan dharmanya untuk mendidik dan memberi arah yang benar kepada keluarga dan lingkungan sekitarnya.

REFERENSI

Abdel-khalik, A.R. and Ajinkya, B.B., 1983. An Evaluation of The Everyday Accountant and Researching His Reality.Accounting, Organizations and Society, Vol. 8, No. 4, 375-384.

Arrington, C.E. and Francis, J.R., 1993. Giving economic accounts: accounting syari’ah cultural practice. Accounting, Organization, and Society, Vol. 14, No. 1, 1-28.

Belkaoui, A.R., 2006. Accounting Theory, Edisi 5. Yulianto, A.A dan Demauli, R. (Penerjemah). Teori Akuntansi. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.

Black, J., 1981. Urban Transport, Planning Theory and Practice. Croom Helm, London.

Blumer, H., 1966. Sosiological implications of The Though of George Herbert Mead. The American Journal of Sosiology. Vol. 71, 535-544.

Burchell, S. Club, C. Hopwood, A.G. and Hughes, J., 1980. The Roles of Accounting in Organization and Society. Accounting, Organization, and Society, Vol. 5, No. 1, 5-27.

Burell, G. and Morgan G., 1979. Sociological Paradigms and Organizational Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life. London : Heinemann

Chariri, A., 2009. Landasan Filsafat dan Metode Penelitian Kualitatif.Paper disajikan pada Workshop Metodologi Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Laboratorium Pengembangan Akuntansi (LPA), Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang, 31 Juli – 1 Agustus 2009

Chua, W. F., 1986. Radical Development in Accounting Thought. The Accounting Review, Vol. 61, N0. 4, 601-632.

Cresswell, 1998. Qualitative Inquiry: Choosing Among Five Traditions. Sage Publications.

Deegan, C., 2004. Financial Accounting Theory. McGraw-Hill Book Company,Sydney.

Dwirandra, AANB., 2011. Rekonstruksi Metoda Penilaian Aset Dengan Filosofi Tri Hita Karana. Disertasi, Program Doktor Ilmu Akuntansi, Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya

Freeman, R.E., Wick, A.C. and Parmar, B., 2004. Stakeholder Theory and the Corporate Objective

Revisited. Organization Science, Vol. 15, No.3, 364-369.

Gaffikin, M.J.R., 1989. Accounting Methodology and The Work of R.J. Chambers, Garland Publishing Company, New York.

Gorda, I Gusti Ngurah. 1999. Manajemen dan Kepemimpinan Desa Adat di Provinsi Bali dalam Perspektif Era Globalisasi. Singaraja: Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Satya Dharma Singaraja.

Guthrie, J. and Parker, L. D., 1989. “Corporate social reporting: a rebuttal of legitimacy theory”, Accounting and Bussiness Research, Vol. 19, No. 7, 343-352.

Gray, R., Owen, and Adams, 1996. Accounting and Accountability: Changes and Challenges in Corporate Social and Environmental Reporting, Prentice-Hall, Europe, London

Hagg, I. and Hedlund, G., 1979. “Case Studies” in Accounting Research. Accounting, Organizations and Society, Vol. 4, No. 1/2, 135143.

Hasbiansyah, O. 2008. Pendekatan Fenomenologi: Pengantar Praktik Penelitian Dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi. Jurnal Mediator (Jurnal Komunikasi), Vol.9, No.1.

Hopper, T. dan Powell, A. 1985. “Making sense of research into the organizational and social aspects of management accounting: A review of its underlying assumptions”. Journal of Management Studies, Vol. 22, No.5, 429-465.

Hopwood, A.G., 1983. On trying to study accounting in the contexts in which it operates. Accounting, Organizations and Society, Vol. 8, No. 2-3, 287-305.

Ives, M. Johnson, L.R, Josep.R.H, Gordon, 2004. Introduction to Governmental and Not-For-Profit Accounting, Six Ed. Pearson, Prentice Hall.

Jensen, M.C. and Meckling, W.H., 1976. Theory of The Firm: Managerial Behavior, Agency Cost and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, Vol. 3, No.4, 305-360.

Komalasari, Y. 2017. Fear Of Success On Women’s Career Development: A Review And Future Agenda. European Journal of Business and Management. Vol.9 No.11.p.55-65.

Komalasari, Y. 2018. Pengembangan Karier Perempuan (Sebuah Konsep Dalam Perspektif Gender). Cetakan Pertama. Ponorogo: Wade Group Publisher.

Komalasari, Y. 201 8. Bali Women’s Career Development: A Psychological Perspective. JAGADITHA: Jurnal Ekonomi & Bisnis. Vol.5, No.1. Pp.64-71.

Laughlin, R.C., 1987. Accounting Systems in Organizational Contexts: A Case for Critical Theory. Accounting, Organizations and Society, Vol. 12, No. 5, 79-502

Marzali, A., 1997. “Kata Pengantar”. Dalam Metodologi Etnografi. James Spradley. Yogyakarta: Tiara Kreasi Wacana. Halaman: xv-xxiii

Mulyana, D., 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT remaja Rosdakarya

Moser, C.O.N. 1989. Gender Planning in The Third World: Meeting Practicial and Strategic Gender Need. World Development, 17(11) Pp. 17991825.

Nakatami, A. 2004. Perempuan Bali dalam Tiga Peran. Majalah Tokoh. No. 298/Tahun VI.

Patton, J.M., 1992. Accountability and Govermental financial Reporting. Financial, Accountability, and Management, Vol. 8, No. 3, 165-180

Puspitaningtyas, Z., 2013. Perempuan Dalam Perspektif Akuntansi Syariah. Jurnal Ilmu Ekonomi dan Sosial. Vol.2, No.2, 206 - 214

Rasyid, R.E., 1998. Saling-Peran (interplay) Antara Akuntansi dan Budaya Perusahaan. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia, Vol.1, No.1, 25-68

Roslender, R., 1992. Sociological Perspective on Modern Accountancy. London and New York. Routledge.

Setiadi, Elly, M., Kama, A., Efendi, 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Kencana, Jakarta.

Soeprapto, R., 2000. Interaksionisme Simbolik, Perspektif Sosiologi Modern. Malang: Averroes Press dan Pustaka Pelajar.

Sinclair, A., 1995. The Chameleon of Accountability: Forms and Discourses. Accounting Organization and Society, Vol.20, No. 2-3, 219-237.

Scapens, R. and Roberts, J., 1985. Accounting Systems and Systems of Accountability – Understanding Accounting practices in their organisational contexts. Accounting, Organisations and Society, Vol. 10, No. 4, 443456.

Stanbury, W.T., 2003. Accountability to Citizens in the Westminster Model of Government:

More Myth Than Reality. Fraser Institute Digital Publication, Canada.

Sudarmanti, Rini. 2006. Memahami Fenomenologi Kesadaran Intersubjectif Aldfred Schutz. Jurnal Universitas Paramadina, Vol.4, No. 2, 144-157.

Sugiarto, 2002. Pengantar Akuntansi. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, Jakarta.

Suputra, D.D.G., 2011. Refleksi Nilai-Nilai Akuntansi Pada Organisasi Subak di Bali. Disertasi, Program Doktor Ilmu Akuntansi, Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.

Sukoharsono, E.G. Novrida, Q., 2008. Accounting in The Golden Age of Singosari Kingdom: A Foucauldian Perspektif. Simposium Nasional Akuntansi XI Kalimantan.

Sukoharsono, E. G. and Gaffikin, M. J. R., 1993. “Power and Knowledge in Accounting: Some

Analysis and Thoughts on the Social, Political, and Economic Forces in Accounting and Profession in Indonesia (1800-1950s)”, Working Paper at University of Wollongong

Surpha, I.W., 2004. Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali. Pustaka Bali Post, Denpasar.

Suwardjono, 2005. Teori Akuntansi. Perekayasaaan Pelaporan Keuangan, Ed.3. BPFE, Yogyakarta.

Tirtayani, L.A. 2007. “Perempuan Bali Dalam Pemaknaan Peran (Studi Fenomenologis terhadap Triple-Roles Perempuan Bali, di Desa Adat Kuta) ” (tesis). Universitas Diponegoro.

Weyer, Birgit (2007). Twenty years later: explaining the persistence of glass ceiling for women leaders. Women in management Review. Vol. 22, No.6, pp 482-496.