Niat Whistleblowing, Penalaran Moral dan Keadilan Organisasional
on
p-ISSN 2302-514X
e-ISSN 2303-1018
Dwiyanti dan Sariani, Efek Penalaran ... 133
EFEK PENALARAN MORAL DAN KEADILAN ORGANISASI PADA NIAT WHISTLEBLOWING
Kadek Trisna Dwiyanti1 Ni Luh Putu Sariani2
1,2Universitas Pendidikan Nasional, Denpasar, Bali, Indonesia email: trisnadwiyanti@undiknas.ac.id
ABSTRAK
Penelitian ini menguji pengaruh penalaran moral dan keadilan organisasi (keadilan distributif, prosedural dan interaksional) terhadap niat whistleblowing. Penelitian menggunakan metode eksperimen laboratorium dengan desain faktorial 3x2x2, dan melibatkan 180 mahasiswa akuntansi. Penalaran moral diukur menggunakan Defining Issues Test (DIT). Penelitian menemukan tingkat penalaran moral mempengaruhi niat whistleblowing. Hasil penelitian juga menunjukkan tingkat keadilan distributif, keadilan prosedural dan keadilan interaksional yang tinggi meningkatkan niat menjadi whistleblowing. Penelitian juga menemukan bukti adanya efek interaksi yang signifikan dari tingkat penalaran moral dan keadilan organisasi pada niat whistleblowing. Penelitian ini menemukan bukti adanya efek interaksi dari tingkat penalaran moral dan keadilan organisasi pada niat whistleblowing. Hasil penelitian membantu para auditor, akuntan dan pembuat kebijakan dalam merancang kebijakan guna mendorong whistleblowing.
Kata Kunci: Penalaran moral, keadilan organisasi, whistleblowing
MORAL REASONING EFFECT AND ORGANIZATIONAL JUSTICE ON WHISTLEBLOWING INTENTIONS
ABSTRACT
This study examines the effect of moral reasoning and organizational justice (distributive, procedural and interactional) on whistleblowing intentions. This study also extends the current literature by examining the interaction effect of moral reasoning and organizational justice on whistleblowing intentions. This study used laboratory experiment with a 3 x 2 x 2 factorial design involving 180 accounting students. Participant’s moral reasoning was measured using Defining Issues Test (DIT). The result found that participant’s moral reasoning level positively affect their propensity to blow the whistle. Furthermore, result of this study also indicate that higher levels of distributive justice, procedural justice and interactional justice increase participant propensity to blow the whistle. This study also found that there is a significant interaction effect of moral reasoning level and organizational justice on whistleblowing intention. This study supports social cognitive theory which states that there is an interaction between individual and situational factors in influencing someone’s behavior. The paper will help auditors, accountants, and policy makers to design policies that encourage whistleblowing.
Keywords: Moral reasoning, organizational justice, whistleblowing.
DOI: https://doi.org/10.24843/JIAB.2018.v13.i02.p07
PENDAHULUAN
Kasus-kasus penipuan pelaporan keuangan menyebabkan menurunnya kepercayaan publik terhadap laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen. Beberapa kasus penipuan ini diungkapkan oleh pihak internal perusahaan dan bukan oleh pihak ekternal perusahaan.Hal ini membuktikan bahwa keefektifan whistleblowing sebagai mekanisme dalam mendeteksi kecurangan
dalam pelaporan keuangan pada awal abad ke dua puluh satu (Dyck et al., 2010). Pentingnya peran whistleblowing dalam mengungkapkan kecurangan pelaporan keuangan tidak hanya diakui oleh akuntan dan regulator di Amerika Serikat (KPMG Forensic 2008), tetapi juga di negara lain (Miceli et al., 2008; Patel 2003). Kasus kecurangan seperti Parmalet di Italia dan OneTel di Australia, telah mendorong para
pembuat kebijakan diberbagai negara mengadopsi kebijakan yang mendorong munculnyawhsitleblowing (Lewis 2008; Schmidt 2009). Di Indonesia, keefektifan whistleblowing untuk mendeteksi kejahatan telah dibuktikan oleh adanya pengungkapan Kasus “Papa Minta Saham” oleh Sudirman Said, ketika menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Meskipun keefektifan whistleblowing dalam mengungkapkan kasus kecurangan telah dibuktikan dalam banyak kasus, namun hingga saat ini masih sedikit yang diketahui mengenai faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk menjadi whistleblower. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan whistleblowing adalah baik secara moral dan diperlukan, akan tetapihanya sedikit yang berniat untuk melakukannya dalam suatu organisasi dan lebih sedikit lagi yang benar-benar bertindak nyata melakukan whistleblowing tersebut (Ponnu et. al., 2008). Miceli and Near (1988) mengatakan bahwa belum ada teori secara komprehensif menjelaskan mengapa karyawan berniat menjadi whistleblowing dengan melaporkan perilaku ilegal atau tidak etis dalam sebuah organisasi, sedangkan sebagaian karyawan lainnya tidak. Oleh karena itu, demi mendorong karyawan untuk melakukanwhistleblowing, penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan karyawan melakukan whistleblowingmasih relevan dan diperlukan.
Penelitian mengenai whistlebowing telah berupaya menguji faktor-faktor yang diduga mempengaruhi keputusan seseorang melakukan whistleblowing. Faktor-faktor tersebut antara lain locus of control, komitmen organisasi, personal cost, keseriusan pelanggaran, status pelanggar, penalaran moral dan keadilan organisasi (Cortina et al., 2003; Winardi, 2013; Kuncaraet al., 2017). Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua faktor-faktor tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keputusan karyawan melakukan whistleblowing. Selanjutnya, Hwang et al.,(2008) menyatakan bahwa diantara sekian banyak faktor tersebut, tingkat moralitas dan diikuti oleh kebijakan organisasi mengenai perilaku whistleblowing merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap keputusan individu dalam melakukan whistleblowing. Oleh karena itu, penelitian ini akan menguji pengaruh dari penalaran moral dan keadilan organisasi terhadap kecenderungan karyawan melakukan whistleblowing.
Penelitian ini mengembangkan penelitian-penelitian terdahulu mengenai whistleblowing dengan cara menguji pengaruh interaksi antara penalaran moral dan keadilanorganisasi yang belum
diuji pada riset terdahulu. Hal ini didasarkan pada argumen teori sosial kognitif yang menyatakan bahwa terdapat interaksi antara variabel individu dan variabel situasional dalam memengaruhi perilaku individu. Pengujian secara bersamaan mengenai interaksi kedua variabel ini lebih menggambarkan kondisi yang sering terjadi di lapangan, dimana kedua kondisi ini sering terjadi secara bersamaan.Selain itu, penelitian ini menggunakan metode eksperimen.Kekuatan dari pendekatan eksperimental adalah peneliti mengamati perilaku di lingkungan yang mereka kontrol (Charness et al., 2012).
Penelitian berkontribusi terhadap penelitian akuntansi dikarenakan penelitian ini berupaya memberikan bukti empiris yang mendukung teori sosial kognitif yang menyatakan adanya interaksi antara variabel individu dan situasional dalam mempengaruhi perilaku individu, khususnya dalam konteks whistleblowing. Dari segi praktis, topik whistleblowing adalah penting karena ia berkontribusi terhadap peningkatan dalam sistem pengendalian internal (Patel, 2003). Selain itu, whistleblowing bisa meningkatkan efektivitas organisasi dalam jangka panjang karena whistleblowing bisa memberikan solusi bagi organisasi. Apalagi, anggota organisasi, investor, kreditor, dan masyarakat umum bisa mengambil manfaat dari penghentian penyimpangan organisasi yang diungkap oleh whistleblower.
Welton et al., (1994) menyatakan bahwa kemampuan individu dalam menyelesaikan dilema etika dipengaruhi oleh level penalaran moralnya. Menjadi seorang whistleblower bukanlah suatu perkara yang mudah. Beberapa orang memandang perilaku whistleblowing adalah baik karena mengungkapkan kecurangan dalam organisasi, namun beberapa orang lainnya memandang perilaku ini sebagai bentuk pengkianatan kepada rekan kerja maupun atasan. Adanya pandangan yang bertentangan tersebut menyebabkan calon whistleblower mengalami dilema dalam menentukan sikap yang dapat mendistorsi minat whistleblowing. Hasil studi menunjukkan bahwa level penalaran moral individu akan mempengaruhi perilaku etis mereka (Liyanarachchi and Newdick, 2009). Orang dengan level penalaran moral yang rendah berperilaku berbeda dengan orang yang memiliki level penalaran moral yang tinggi ketika menghadapi dilema etika. Menurut Rest (1979), semakin tinggi level penalaran moral seseorang, maka semakin tinggi untuk melakukan sesuatu hal yang benar.
Ketika seseorang memutuskan untuk melakukan whistleblowing, maka keputusan tersebut akan
dipengaruhi oleh kepribadian individu dan lingkungan tempat individu berada dan ketakutan akan pembalasan (Near and Miceli, 2005). Hasil penelitian menemukan individu dengan tingkat penalaran moral tinggi memiliki kecenderungan lebih tinggi melakukan whistleblowing daripada individu dengan tingkat penalaran moral rendah (Liyanarachchi and Newdick, 2009).
Kemampuan seorang individu mengatasi dan menginterpretasikan sebuah dilemma etis dipengaruhi oleh penalaran moralnya (Xu and Ziegenfuss, 2008; Liyanarachchi and Newdick, 2009). Akibatnya, terdapat banyak penelitian yang menguji mengenai tingkat penalaran moral akuntan dan mahasiswa akuntansi serta menguji bagaimana ini mempengaruhi keputusan serta kemampuannya untuk menginterpretasikan masalah etis (Arnold and Ponemon, 1991; Chan and Leung, 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penalaran moral seseorang dan penilaian moral mempengaruhi perilaku etis individu (Arnold and Ponemon, 1991; Chan and Leung, 2006). Oleh karena itu, seseorang dengan penalaran moral tinggi akan berperilaku berbeda dengan seseorang yang memiliki penalaran moral rendah ketika menghadapi suatu permasalahan etis. Penelitian Chan and Leung (2006) menunjukkan semakin tinggi tingkat penalaran moral seseorang, maka orang tersebut memiliki kecenderungan lebih besar melakukan hal yang benar. Berdasarkan hasil penelitian-penelitian itu dapat dikatakan bahwa seseorang yang memiliki tingkat penalaran moral tinggi memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan whistleblowing, dibandingkan seseorang yang memiliki tingkat penalaran moral rendah. H1: Individu dengan tingkat penalaran moral lebih tinggi memiliki niat lebih besar untuk melakukan whistleblowing dibandingkan individu dengan tingkat penalaran moral lebih rendah.
Penelitian yang membahas keadilan organisasi telah memperkenalkan tiga tipe keadilan yaitu keadialan distribusi (distributive justice), keadilan procedural (procedural justice) kemudian Bies and Moag (1986) memperkenalkan keadilan intarksional) interactional justice. Distributive justice, terkait dengan keadilan dalam hasil yang diterima. Adams (1965) menyatakan bahwa orang-orang menentukan apakah mereka diperlakukan adil dengan membandingkan rasio input yang mereka berikan (misalnya, waktu dan sumber daya) dihubungkan dengan apa yang mereka terima (misalnya gaji dan promosi). Selanjutnya, perbandingan rasio ini dibandingkan dengan perbandingan rasio yang sama
pada orang lain. Procedural justice didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai keadilan proses dalam mengalokasikan hasil. Leventhal et al. (1980) mengidentifikasi enam kriteria yang digunakan untuk menilai keadilan prosedural yaitu konsistensi (prosedur dikatakan adil ketika prosedur tersebut diterapkan secara konsisten pada semua orang dan dari waktu ke waktu), bebas dari bias, akurat (mengandalkan informasi yang baik), mengandung mekanisme untuk mengoreksi keputusan yang salah, sesuai dengan konsep moralitas dan mewakili (yaitu mengambil dan mempertimbangkan pendapat dari semua kelompok yang terkena dampak). Interactional justice berhubungan dengan sejauh mana seseorang diperlakukan secara adil dan baik serta diberikan informasi yang relevan. Keadilan interaksional mengacu pada kualitas perlakuan interpersonal yang diterima selama diberlakukannya prosedur organisasi (Bies and Moag, 1986). Ini mencakup berbagai tindakan yang menunjukkan kepekaan sosial, seperti ketika supervisor memperlakukan karyawan dengan hormat dan bermartabat (misalnya, mendengarkan kekhawatiran bawahan, menyediakan penjelasan yang memadai mengenai keputusan, menunjukkan empati terhadap penderitaan orang lain).
Keadilan distributif adalah keadilan organisasi terkait dengan hasil. Keadilan distributif merupakan dimensi dari keadilan organisasi yang pertama ditemukan (Adams, 1965). Dalam kaitannya dengan whistleblowing, Miceli and Near (1992) menyatakan bahwa penghargaan dapat diberikan oleh perusahaan terhadap whistleblower adalah kebersediaan organisasi untuk memperbaiki perilaku salah. Semakin individu merasa whistleblowing adalah mekanisme yang efektif dalam menghentikan perilaku penyimpangan yang terjadi di organisasi maka semakin tinggi motivasi mereka untuk melaporkan kecurangan yang terjadi(Miceli et. al., 2008). Sebaliknya, terjadinya perilaku penyimpangan secara berkelanjutan dalam organisasi menunjukkan bahwa organisasi mentoleransi perilaku penyimpangan yang terjadi dan hal ini dapat menurunkan motivasi karyawan untuk mengungkapkan penyimpangan dalam organisasi.
Beberapa penelitian sebelumnya menemukan bahwa penyelesaian yang adil terkait pengaduan yang dilakukan oleh whistleblower dapat meningkatkan pelaporan kesalahan yang terjadi di perusahaan (Miceli et al., 2008). Seseorang yang melakukan whistleblowing mengharapakan agar perusahaan melakukan investigasi terkait laporan yang diberikan dan menghentikan perilaku yang salah. Selanjutnya,
Seifert et al. (2010) juga menemukan bahwa persepsi keadilan distributif yang tinggi meningkatkan kecenderungan akuntan manajemen dan auditor internal untuk melakukan whistleblowing. Berdasarkan uraian yang dipaparkan, maka dapat dibangun hipotesis penelitian:
H2a: Keadilan distributif berpengaruh positif pada niat seseorang untuk melakukan whistleblowing.
Keadilan prosedural berhubungan dengan keadilan pada proses, dan merupakan dimensi kedua dari keadilan organisasi. Penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa untuk meningkatkan pelaporan terkait perilaku yang salah, maka kebijakan dan prosedur perusahaan mengenai whistleblowing haruslah konsisten dan terbebas dari bias (Miceli et al., 2012; Tangirala and Ramanujam, 2008). Semakin individu merasa bahwa terdapat prosedur yang adil, misalnya terdapat saluran untuk melaporkan kecurangan maka motivasi mereka untuk melakukan whistleblowingjuga akan semkin tinggi (Miceli et al., 2008). (Miceli et al., 2012) menunjukkan bahwa perlakuan adil terhadap karyawan, termasuk adanya kebijakan dan prosedur yang dianggap adil mendukung organizational citizenship. Selain itu, keadilan prosedural tampaknya mendorong komitmen moral terhadap organisasi dan toleransi yang lebih rendah terhadap pelanggaran etika oleh rekan sejawat.
Cohen-Charash and Spector (2001) yang melakukan penelitian mengenai hubungan antara keadilan organisasi dan perilaku pro-sosial menemukan bukti yang mendukung bahwa keadilan prosedural dapat meningkatkan whistleblowing. Lebih lanjut, tingkat keadilan prosedural yang lebih tinggi juga cenderung meningkatkan akuntan manajemen dan auditor internal untuk melakukan whistleblowing (Seifert et al., 2010). Sehingga, dapat dikembangkan hiptesis penelitian: H2b: Keadilan prosedural berpengaruh positif pada niat seseorang melakukan whistleblowing.
Keadilan interaksional merupakan aspek sosial yang berfokus pada bagaimana karyawan menilai interaksinya dengan atasannya. Keadilan interaksional berhubungan dengan kualitas perlakuan interpersonal yang diterima oleh seorang karyawan dari atasannya, ketika suatu prosedur organisasi diimplementasikan (Bies and Moag, 1986). Miceli et al. (2008) menemukan bahwa persepsi seorang individu mengenai keadilan interaksional sangat ditentukan oleh hubungan antara atasan dan bawahanya. Meskipun suatu organisasi memiliki prosedur formal
yang adil terkait dengan pelaporan kesalahan, namun ketidakadilan dalam interkasi antara manajer dan whistleblower dapat mengurangi proses formal (Miceli et al., 2008). Sebagai contoh, perlakuan pembalasan dari atasan dapat menjadi perhatian bagi karyawan yang bermaksud melakukan whistleblowing (Miceli et al., 2008; Liyanarachchi and Newdick, 2009). Semakin tinggi keyakinan individu bahwa whistleblowing tidak akan memiliki dampak yang negatif terhadap karir dan kehidupan pribadinya maka individu akan semakin termotivasi untuk melakukan whistleblowing (Miceli et al., 2008) .
Penelitian interaksi yang adil, antara whistleblower dan atasan dapat meningkatkan kecenderungan karyawan melakukan whistleblowing (Miceli et al., 2008; Seifert et al., 2010). Keadilan interaksional terjadi ketika seorang atasan memperlakukan bawahan dengan hormat, serta tidak melakukan pembalasan (Miceli et al., 2008). Selanjutnya, Seifert et al. (2010) juga menemukan bahwa kecenderungan akuntan manajemen dan auditor internal untuk melakukan whistleblowing meningkat ketika terdapat keadilan interaksional yang tinggi dalam organisasi. Berdasarkan penelitian sebelumnya, maka dapat dibangun hipotesis penelitian: H2c: Keadilan interaksional berpengaruh positif padaniat seseorang melakukan whistleblowing.
Teori sosial kognitif menyatakan bahwa terdapat interaksi antara variabel individu dan variabel situasional dalam memengaruhi perilaku individu. Selanjutnya, penelitian sebelumnya juga menyarankan untuk menguji variabel individu dan situasional secara bersama-sama dalam menjelaskan perilaku individu dalam konteks organisasi. Hwang et al.,(2008) menemukan bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap keputusan individu dalam melakukan whistleblowing adalah tingkat moralitas dan diikuti oleh kebijakan organisasi mengenai perilaku whistleblowing.
Keadilan organisasi merupakan salah satu faktor situasional yang dipercaya berpengaruh terhadap keputusan karyawan untuk melakukan whistleblowing (Seifert et al.,2010). Sementara, penalaran moral merupakan faktor individu yang memengaruhi keputusan individu untuk mengungkapkan kecurangan yang terjadi di organisasi. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, maka dapat dikembangkan hipotesis penelitian:
H3: Terdapat interaksi antara tingkat penalaran moral dan tingkat keadilan organisasi dalam memengaruhi keputusan seseorang berniat menjadi whistleblowing.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metoda eksperimen laboratorium dengan pola faktorial 3x2x2 antar subyek (between-subject). Faktor pertama adalah keadilan organisasi (keadilan distributif, keadilan
prosedural dan keadilan interaksional) dengan level tinggi dan rendah dan faktor kedua adalah keadilan organisasi (tinggi dan rendah). Tabel 1 menyajikan kondisi masing-masing grup dalam sel desain eksperimen.
Tabel 1.
Desain Eksperimen 3x2x2 ANOVA
Keadilan Organisasi |
Penalaran Moral | |
Tinggi |
Rendah | |
Tinggi |
Grup 1 |
Grup 2 |
Distributif |
(12 partisipan) |
(15 partisipan) |
Rendah |
Grup 3 |
Grup 4 |
(10 partisipan) |
(15 parisipan) | |
Tinggi |
Grup 5 |
Grup 6 |
Prosedural |
(10 Partisipan) |
(15 partisipan) |
Rendah |
Grup 7 |
Grup 8 |
(11 partisipan) |
(16 partisipan) | |
Tinggi |
Grup 9 |
Grup 10 |
Interaksional |
(12 partisipan) |
(13 partisipan) |
Rendah |
Grup 11 |
Grup 12 |
(11 partisipan) |
(16 partisipan) | |
Sumber: Data diolah, 2018 |
Partisipan pada eksperimen ini adalah mahasiswa sarjana di perguruan tinggi di Bali. Mahasiswa yang menjadi partisipan diharuskan telah mengikuti mata kuliah analisis laporan keuangan dan pengauditan sehingga diharapkan mampu memahami manipulasi yang diberikan. Penggunaan mahasiswa sebagai pengganti praktisi pada eksperimen di bidang akuntansi telah banyak digunakan [Baird and Zelin Li, 2009; Feng et al., 2011; Mayhew and Murphy, 2014)]. Hasil penelitian Peecher and Solomon (2001) menjelaskan penggunaan mahasiswa dalam
penelitian akuntansi tidak mempengaruhi kualitas serta validitas instrument. Jumlah subjek yang bersedia menjadi partisipan penelitian adalah 180 orang. Sebanyak 24 partisipan tidak berhasil menjawab pertanyaan cek manipulasi dan memiliki hasil pengujian penalaran moral yang tidak valid, sehingga jumlah partisipan yang dapat digunakan adalah sebanyak 156 orang. Partisipan ditugaskan pada salah satu group eksperimen secara acak. Tabel dua menyajikan distribusi dan data demografi eksperimen secara detail.
Tabel 2.
Data Demografi Partisipan Eksperimen | |
Keterangan |
Item Jumlah Persentase |
Data partisipan yang |
Jumlah data awal 180 100 |
diolah lebih lanjut |
Data PM yang tidak valid dan Tidak lolos CM 24 13,3 Lolos Validitas PM dan CM 156 86,6 |
Demografi Partisipan Jenis Kelamin |
Laki-laki 53 35 Perempuan 103 65 Total 156 100 |
Kasus yang digunakan dalam penelitian ini diadopsi dari Seifert et al., (2010). Ilustrasi kasus dalam penelitian ini akan disajikan dalam konteks orang ketiga untuk mengurangi self-report bias (Arnold and Ponemon, 1991). Selanjutnya, akan diukur persepsi partisipan eksperimen mengenai kecenderungan orang ketiga akan melaporkan kecurangan yang terjadi. Orang ketiga dalam penelitian ini diberikan nama Agus. Dalam eksperimen, Agus adalah karyawan perusahaan yang menemukan adanya kecurangan yang dilakukan oleh atasannya. Contoh kecurangan yang terjadi di organisasi dalam kasus adalah pencatatan pendapatan palsu dan dilakukan untuk tujuan penipuan. Dimensi keadilan dimanipulasi untuk mencerminkan kebijakan dan prosedurwhistleblowing yang adil dan tidak adil.
Leventhal et al. (1980) menjelaskan bahwa komponen keadilan prosedural sebagai suatu konsistensi prosedur dan terbebas dari bias. Kebijakan organisasi terkait whistleblowing menyatakan bahwa dalam perusahaan tersedia saluran pelaporan anonim, dan perusahaan akan melindungi whistleblower. Oleh karena itu, prosedur yang adil akan digambarkan sebagai perusahaan yang secara konsisten mengikuti kebijakan tersebut, sementara prosedur yang tidak adil digambarkan dengan adanya pelanggaran terhadap kebijakan organisasi tersebut.
Bies and Moag (1986) menggambarkan keadilan interaksional sebagai suatu tindakan yang memperlakukan orang lain dengan hormat, kesopanan, dan bermartabat, serta menyediakan informasi dan penjelasan yang benar. Oleh karena itu interaksi yang adil dalam sketsa kasus yang disajikan sebagai atasan yang menjelaskan kebijakan perusahaan terkait whistleblowing dengan menunjukkan kesopanan, martabat, dan penghormatan kepada whistleblower potensial. Interaksi yang tidak adil digambarkan dengan seorang atasan yang menjelaskan kebijakan organisasi mengenai whistleblowing yang mencerminkan sikap mengancam untuk whistleblower potensial.
Konsisten dengan hasil Trevino and Weaver (2001), hasil yang adil (keadilan distributif) dari proses whistleblowing digambarkan dalam kasus sebagai tindakan perusahaan untuk menghormati upaya whistleblower dengan menyelidiki keluhan dan menghentikan kesalahan yang terjadi. Suatu hasil yang tidak adil disajikan sebagai perusahaan gagal untuk menyelidiki dan menghentikan kesalahan yang dilaporkan.
Setiap sketsa diikuti oleh pertanyaan terkait persepsi responden mengenai kemungkinan orang ketiga (Agus) akan melaporkan kasus pencatatan pendapatan palsu yang dilakukan oleh CFO. Subyek
diminta menunjukkan respon mereka pada sembilan poin skala Likert mulai dari (1) pasti tidak akan dilaporkan, sampai (9) pasti akan melaporkan, dengan titik tengah (5) menunjukkan kemungkinan 50 persen untuk melaporkan. Persepsi partisipan mengenai kecenderungan orang ketiga akan melaporkan kecurangan yang terjadi adalah kecenderungan karyawan untuk melakukan whistleblowing.
Setelah menyelesaikan kasus terkait whistleblowing, partisipan diminta untuk melengkapi tes DIT (Defining Issues Test) yang dikembangkan oleh (Rest, 1979) untuk mengukur penalaran moral mereka. Penelitan ini menggunakan DIT versi pendek yang hanya terdiri dri tiga scenario kasus yaitu, Heinz and the drug, escaped prisoner, dan newspaper. Kemudian skala likert digunakan untuk mengukur sikap dan pendapat setiap individu terhadap scenario tersebut. DIT akan menghasilkan “P”score yang menjadi dasar pengukuran penalaran moral. Peserta diminta untuk mengevaluasi laporan pada lima poin skala dan kemudian diminta untuk mengidentifikasi dan memberikan peringkat dari empat pernyataan yang paling penting untuk setiap skenario dalam urutan kepentingan menurut mereka. Dengan cara ini P-score dihitung untuk setiap peserta untuk menunjukkan tingkat penalaran moral peserta.
Pertanyaan manipulasi terdiri atas satu pertanyaan untuk masing-masing tipe keadilan, yaitudistributif, prosedural dan interaksional. Pada cek keadilan distributif, partisipan diminta untuk menilai sejauh mana mereka yakin bahwa perusahaan akan menangani masalah kecurangan yang terjadi pada organisasi secara adil. Pada cek keadilan prosedural, partisipan diminta untuk menilai sejauh mana mereka yakin bahwa prosedur yang diterapkan oleh perusahaan adalah adil. Sedangkan pada cek keadilan interaksional, partisipan diminta untuk menilai sejauh mana mereka yakin bahwa atasan agus akan memperlakukan bawahan yang melaporkan kecurangan yang terjadi secara adil. Persepsi partisipan mengenai keadilan organisasi tersebut, akan diukur dengan menggunakan skala 7 poin (1=sangat tidak yakin, 7=sangat yakin). Kriteria lolos cek manipulasi adalah partisipan harus menjawab keseluruhan pertanyaan dengan benar yaitu memberikan penilaian 1-3 pada kondisi keadilan rendah dan penilaian 4-7 pada kondisi keadilan tinggi.
Sebelum dilakukan uji hipotesis, dilakukan uji normalitas data yang dilakukan dengan menggunakan one-sample kolmogorov-smirnov dan uji homogenitas varians dilakukan dengan menggunakan levene’s test. Uji ini digunakan melihat keragaman datadan test ini wajib dilakukan pada uji parametris yang menguji perbedaan antara kedua kelompok atau beberapa kelompok yang berbeda subjeknya atau
sumber datanya. Oleh karena itu, levene’s test diperlukan sebagai asumsi dari uji independen t test dan uji Anova (McClaveet al., 2011). Teknik analisis data three-way Anova digunakan untuk menguji hipotesis dengan aplikasi statistika SPSS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Beberapa pengujian dilakukan untuk menjamin kesetaraan antara kelompok eksperimen. Pertama, memastikan bahwa semua partisipan memiiki pengetahuan akuntansi yang setara. Hal ini dilakukan dengan menggunakan partisipan yang telah
memngikuti kuliah pengauditan dan analisis laporan keuangan. Kedua, pengujian kesetaraan nilai keputusan untuk melakukan whistleblowing berdasarkan jenis kelamin. Jenis kelamin partisipan yang berpartisipasi dalam eksperimen ini didominasi oleh wanita, yaitu sebanyak 103 subyek (65 persen) dan sisanya 53 subjek (35 persen) adalah partisipan laik-laki. Hasil uji beda keputusan untuk melakukan whistleblowing berdasar jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 3.
Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata keputusan melakukan whistleblowing pada laki-laki dan wanita. Dengan demikian dapat disimpulkan
Tabel 3.
Pengujian Jenis Kelamin Terhadap Variabel Dependen
Jenis Kelamin |
N |
Mean |
Sig. |
Laki-laki |
53 |
5,34 |
0,06 |
Perempuan |
103 |
5,86 |
Sumber: Data diolah, 2018
bahwa perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap tindakan whistleblowing. Sebelum hipotesis diuji dengan menggunkan Anova-three-way, asumsi homogenity of variance dapat diuji terlebih dahulu dengan menggunakan Levene’s Test.
Hasil Pengujian Levene’s menunjukkan nilai signifikan 0,095 sehingga dinyatakan data respon keputusan menunjukkan varians yang homogeny. Tabel 4, menyajikan statistik deskriptif data respon keputusan setiap group eksperiment.
Tabel 4.
Statistik Deskriptif Respon Keputusan Per Group
Keadilan Organisasi |
Penalaran Moral |
Total | |
Tinggi |
Rendah | ||
Tinggi |
Grup 1 |
Grup 2 |
N=27 |
Distributif |
N=12 Mean=7,92 Std=0,90 |
N=15 Mean=6,93 Std=0,79 |
Mean=7,42 Std=0,84 |
Rendah |
Grup 3 N=10 Mean=4,60 Std=0,69 |
Grup 4 N=15 Mean=3,73 Std=1,09 |
N=25 Mean=4,16 Std=0,89 |
Tinggi |
Grup 5 |
Grup 6 |
N=25 |
Prosedural |
N=10 Mean=8,30 Std= 1,05935 |
N=15 Mean=6,60 Std=0,98 |
Mean=7,45 Std=1,02 |
Rendah |
Grup 7 N=11 Mean=5,09 Std=0,70 |
Grup 8 N=16 Mean=3,87 Std=1,02 |
N=27 Mean=4,48 Std=0,86 |
Tinggi |
Grup 9 |
Grup 10 |
N=25 |
Interaksional |
N=12 Mean=7,83 Std= 0,94 |
N=13 Mean=6,69 Std= 0,48 |
Mean=7,26 Std=0,71 |
Rendah |
Grup 11 N=11 Mean=4,18 Std=0,60 |
Grup 12 N=16 Mean=3,68 Std=1,19 |
N=27 Mean=3,9 Std=0,89 |
Total |
N=66 Mean=6,32 Std=0,82 |
N =90 Mean=5,25 Std=0,93 |
N=156 Mean=5,8 Std=0,87 |
Hipotesis 1 menguji pengaruh tingkat penalaran moral terhadap kecenderungan karyawan melakukan whistleblowing. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai rata-rata kecenderungan karyawan dengan tingkat penalaran moral yang tinggi untuk melakukan whistleblowing adalah 6,32 lebih besar dibandingkan
dengan karyawan dengan tingkat penalaran moral yang rendah yaitu 5,25. Hasil Uji Anova pada Tabel 5, menunjukkan bahwa perbedaan kedua nilai tersebut signifikan (p<0.00), sehingga hipotesis 1 terdukung. Hasil uji ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5.
Hasil Pengujian Hipotesis ANOVA 3x2x2
Sumber |
Df |
Mean Square |
F |
Sig |
Corrected Model |
12 |
38,11 |
49,38 |
0.00*** |
Intercept |
1 |
256,40 |
332,29 |
0.00*** |
X1 (Tipe Keadilan) |
2 |
1,84 |
2,39 |
0.09 |
X2 (Level Keadilan) |
1 |
387,84 |
502,63 |
0.00*** |
X3 (Penalaran Moral) |
1 |
40,28 |
52,21 |
0.000*** |
X1*X2 |
2 |
0,50 |
0,65 |
0,52 |
X1*X3 |
2 |
0,88 |
1,14 |
0,32 |
X2*X3 |
2 |
2,30 |
2,98 |
0,09* |
Error |
110,34 |
143 |
0,77 | |
Total |
5611,00 |
156 | ||
Corrected Total |
567,61 |
155 |
Sumber: Data diolah, 2018
Hasil pengujian hipotesis 1 menunjukan bahwa partisipan dengan tingkat penalaran moral tinggi memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk melakukan whistleblowing dibandingkan dengan partisipan dengan tingkat penalaran moral rendah. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat dikatakan bahwa tingkat penalaran moral seseorang berpengaruh terhadap keputusannya dalam melakukan whistleblowing. Hasil pengujian ini konsisten dengan penelitian terdahulu mengenai pengaruh penaralan moral terhadap kecenderungan melakukan whistleblowing (Arnold and Ponemon, 1991; Xu and Ziegenfuss, 2008; Liyanarachchi and Newdick, 2009), yang menemukan bahwa individu dengan penalaran moral tinggi memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk mengungkapkan kecurangan daripada individu dengan penalaran moral rendah. Menurut Kohlberg (1969) penalaran moral adalah suatu pemikiran tentang masalah moral. Welton et al., (1994) menyatakan bahwa kemampuan individu dalam menyelesaikan dilema etika dipengaruhi oleh level penalaran moralnya. Hasil dari beberapa studi yang dipaparkan(Liyanarachchi and Newdick, 2009) menunjukkan level penalaran moral individu akan mempengaruhi perilaku etis mereka. Orang dengan level penalaran moral rendah berperilaku berbeda dengan orang yang memiliki level penalaran moral
tinggi ketika menghadapi dilemma etis. Semakin tinggi level penalaran moral seseorang, akan semakin besar kemungkinanmelakukan hal yang benar(Rest, 1979).
Hipotesis 2a menguji pengaruh keadilan distributif terhadap kecenderungan karyawan untuk melakukan whistleblowing. Pada Tabel 4 terlihat bahwa partisipan yang berada pada kondisi keadilan organisasi yang tinggi memiliki nilai rata-rata keputusan untuk melakukan whistleblowing yang lebih tinggi (7,42) dibandingkan dengan partisipan yang berada pada kondisi keadilan distributive yang rendah (4,16). Hasil Uji Anova pada Tabel 5, menunjukkan bahwa perbedaan kedua nilai tersebut signifikan p<0,00, sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis 2a terdukung.
Selanjutnya, hasil pengujian hipotesis 2a juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kecenderungan untuk melakukan whistleblowing pada seseorang dengan tingkat keadilan organisasional tinggi dibandingkan tingkat keadilan organisasional rendah.Konsisten dengan hipotesis H2a, partisipan dengan kondisi keadilan distributif tinggi menunjukkan kecenderungan lebih besar atau tinggi untuk mengungkapkan kecurangan dibandingkan dengan partisipan pada konsidi keadilan distributif rendah. Keadilan distributif adalah keadilan organisasi terkait dengan hasil. Dalam kaitannya
dengan whistleblowing, Seifert et al., (2014) menyatakan bahwa penghargaan yang paling berharga yang dapat diberikan oleh suatu perusahaan terhadap whistleblower adalah kebersediaan organisasi untuk memperbaiki perilaku yang salah. Seseorang yang melakukan whistleblowing mengharapakan agar perusahaan melakukan investigasi terkait laporan yang diberikan dan menghentikan perilaku yang salah.
Selanjutnya, seperti yang telah diprediksikan pada H2b, partisipan pada kondisi keadilan prosedural tinggi juga memiliki kecenderungan lebih besar atau tinggi untuk melakukan whistleblowing dibandingkan dengan partisipan yang berada pada kondisi keadilan prosedural rendah. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata keputusan untuk melakukan whistleblowing pada partisipan yang berada pada kondisi keadilan prosedural tinggi dibandingkan kondisi keadilan procedural rendah (p<0,00). Selanjutnya, seperti yang telah diprediksikan pada H2b,partisipan pada kondisi keadilan prosedural yang tinggi juga memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan whistleblowing dibandingkan dengan partisipan yang berada pada kondisi keadilan prosedural rendah. Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwakebijakan prosedur perusahaan tentang whistleblowing yang konsisten dan terbebas dari bias mampu meningkatkan pelaporan terkait perilaku yang salah dalam suatu organisasi.
Hasil uji statistik menunjukkan hasil signifikan untuk pengujian H2c. Partisipan pada kondisi keadilan interaksional tinggi memiliki kecenderungan lebih besar atau tinggi untuk melakukan whistleblower dibandingkan dengan individu yang berada pada kondisi keadilan interaksional rendah. Hal ini dapat dilihat dari nilai signifikansi pada Tabel 5 sebesar (0,000) yang lebih kecil dari (0,01). Individu pada kondisi keadilan interaksional tinggi memiliki kecenderungan lebih besar atau tinggi untuk melakukan whistleblower dibandingkan dengan individu berada pada kondisi keadilan interaksional rendah. Keadilan interaksional berhubungan dengan kualitas perlakuan interpersonal yang diterima oleh seorang karyawan dari atasannya ketika prosedur organisasi diimplementasikan (Bies and Moag, 1986). Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa ketika seorang atasan memperlakukan bawahan dengan hormat, serta tidak melakukan pembalasan maka hal ini dapat mendorong karyawan untuk menjadi whistleblower.
Hipotesis 3 memprediksi terdapat pengaruh interaksi antara faktor keadilan organisasi (tinggi atau
rendah) dengan faktor penalaran moral. Hasil uji ANOVA pada Tabel 5 menunjukkan hasil uji yang signifikan (F=2,981, p=0,09). Nilai signifikasi adalah 0,09 yaitu lebih kecil dari alpha 10%. Hal ini berarti bahwa H3dapat terdukung atau dengan kata lain, terdapat interaksi antara penalaran moral dan keadilan organisasi terhadap kecenderungan karyawan melakukan whistleblowing. Penelitian ini menduga adanya interaksi antara penalaran moral dan kedilan organisasi dalam memengaruhi keputusan karyawan dalam melakukan whistleblowing. Hal ini dikarenakan menurut teori sosial kognitif, terdapat interaksi antara variabel individu dan variabel situasional dalam memengaruhi perilaku seseorang. Hasil pengujian H3, menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara penalaran moral dan keadilan organisasi terhadap kecenderungan karyawan melakukan whistleblowing. Hasil pengujian yang siginifikan ini mendukung teori sosial kognitif.
SIMPULAN
Hasil pengujian menemukan bahwa individu dengan penalaran moral tinggi memiliki kecenderungan lebih besar atau tinggi untuk mengungkapkan kecurangan daripada individu dengan penalaran moral rendah. Penelitian juga memberikan tambahan bukti empiris mengenai pengaruh tingkat keadilan organisasi terhadap kecenderungan karyawan untuk mengungkapkan kecurangan yang terjadi di organisasi. Penelitian menemukan bahwa partisipan yang berada pada tingkat keadilan organisasi tinggi menunjukkan kecenderungan lebih besar atau tinggi untuk mengungkapkan kecurangan dibandingkan dengan partisipan pada kondisi keadilan rendah. Selain itu, penelitian menemukan bukti ada interaksi antara penalaran moral dan keadilan organisasi terhadap kecenderungan karyawan melakukan whistleblowing.
Selanjutnya, penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu terkait pemakain mahasiswa sebagai subjek penelitian. Meskipun penggunaan mahasiswa sebagai pengganti praktisi pada eksperimen telah banyak digunakan dan beberapa penelitian terdahulu telah menyatakan bahwa penggunaan mahasiswa tidak mempengaruhi kualitas serta validitas instrumen. Akan tetapi, penelitian selanjutnya perlu mempertimbangkan menggunakan praktisi sebagai partisipan eksperimen agar partisipan mampu memahami kompleksitas dari keputusan untuk melakukan whistleblowing. Disamping itu, penelitian selanjutnya yang ingin meneliti mengenai
kecenderungan karyawan untuk melakukan whsitleblowing dapat mempertimbangkan faktor-faktor lain yang memiliki pengaruh terhadap whistleblowing, seperti faktor individu maupun situasional.
REFERENSI
Adams, J. . (1965). Inequity in social exchange. In. Berkowitz (Ed. Addvance in experimental social psychology). New York:Academic Press, 2, 267–299.
Arnold, D. ., & Ponemon, L. A. (1991). Internal Auditors Perception of Whistle Blowing and the Influence of Moral Reasoning: An Experiment. A Journal of Practice and Theory, 10, 1–15.
Baird, J. ., & Zelin li, R. . (2009). An Examination of the Impact of Obedience Pressure on Perception of Fraudulent Acts and the Likelihood of Commiting Occuptional Fraud. Journal of Forensic Studies in Accounting and Business, 1(11–14).
Bies, R. ., & Moag, J. . (1986). Interactional justice communication criteria of fairness. In R. Lewicki, B.H. Sheppard, and M.H Bazerman (Eds). In Research on Negotiation in Organization (Vol. 1, pp. 43–55). Greenwich, CT:JAI Press.
Chan, S. Y. S., & Leung, P. (2006). The effects of accounting students’ ethical reasoning and personal factors on their ethical sensitivity. Managerial Auditing Journal, 21(4), 436–457.
Cohen-Charash, Y., & Spector, P. . (2001). The Role of Justice in Organization: A Meta-analysis. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 86, 278–321.
Cortina, L. M., Magley, & Vicky, J. (2003). Raising Voice, Risking Retalitatio: Events Following Interpersonal Mistreatment in the Workplace. Journal of Occupational Health Psychology, 8(4), 247–265.
Dyck, A., Morse, A., & Zingales, L. (2010). Who blows the whistle on Corporate Fraud? The Journal of Finance, 6(December), 2213–2253.
Feng, M., Ge, W., Luo, S., & Shevlin, T. (2011). Why do CFOs Become Involved in Material Accounting Manipulations? Journal of Accounting and Economics, 51(1), 21–36.
Forensic, K. (2008). Integrity survey 2008-2009. New York: NY: KPMG LLP.
Hwang, D., Staley, B., Te Chen, Y., & Lan, J. (2008). Confucian culture and whistle blowing by professional accountants: an exploratory study.
Managerial Auditing Journal, 23(5), 504– 526.
Kohlberg, L. (1969). Essays on Moral Development. Vol 1: The Philosophy of Moral Development. HarperandRow.
Kuncara W., A., Furqorina, R., & Payamta. (2017). Determinants of Internal Whistleblowing Intentions in Public Sector: Evidence from Indonesia. SHS Web of Conferences, 34, 1002.
Leventhal, G., Karuza, J., & Fry, W. (1980). Beyond fairness: A theory of allocation preferences. In G Mikula (Ed.) Justice and Social Interacion. New York, NY: Springer-Verlag.
Lewis, D. (2008). Ten years of public interest disclosures in the U.K.: Are whistleblowers adequately protected? Journal of Business Ethics, 82, 497–507.
Liyanarachchi, G., & Newdick, C. (2009). The impact of moral reasoning and retaliation on whistleblowing: New Zealand evidence. Journal of Business Ethics, 89(1), 37–57.
Mayhew, B. W., & Murphy, P. R. (2014). The Impact of Authority on Reporting Behavior, Rationalization and Affect. Contemporary Accounting Research, 31(2), 420–443.
McClave, J. T., Benson, P. G., & Sincich, T. (2011). Statistics for Business and Economics (Eleventh E). USA: Pearson.
Miceli, M. ., Near, J. P., & Dworkin, T. M. (2008). Whistle-blowing in Organization. New York: NY: Lea’s Organization and Management Series.
Miceli, M., Near, J., & Dworkin, T. (2008). Whistleblowing in organizations. In New York, NY: Lea’s Organization and Management Series, Routledge, Taylor and Francis Group.
Miceli, M. P., & Near, J. P. (1988). Individual and Situational Correlates of Whistle-Blowing. Personnel Psychology, 41(2), 267–281.
Miceli, M. P., Near, J. P., Rehg, M. T., & Van Scotter, J. R. (2012). Predicting employee reactions to perceived organizational wrong doing: Demoralization, justice, proactive personality, and whistle-blowing. Human Relations, 65(8), 923–954.
Near, J. P., & Miceli, M. P. (2005). Standing Up or Standing By: What Predicts Blowing the Whistle on Organizational Wrongdoing? Research in Personnel and Human Resource Management 24, University of Illinois, USA.
Patel, C. (2003). Some Cross-Cultural Evidence on Whistle-Blowing as an Internal Control Mechanism. Journal of International Accounting Research, 2, 69–96.
Peecher, M. ., & Solomon, I. (2001). Theory and Experimentation in Studies of Audit Judgments and Decisions: Avoiding Common Research Traps. International Journal of Auditing, 5(3), 193–203.
Ponnu, C. ., Naidu, K., & Zamri, W. (2008). Determinants of Whistle Blowing. International Review of Business Research Papers, 4(1), 276–298.
Rest, J. (1979). Development in Judging Moral Issues (University of Minnesota Press, Minneapolis,MN).
Schmidt, M. (2009). “‘Whistle Blowing’” regulation and accounting standards enforcement in Germany and Europe—An economic perspective. International Review of Law and Economics, 25, 143–168.
Seifert, D. L., Stammerjohan, W. W., & Martin, R. B. (2014). Trust, organizational justice, and whistleblowing: A research note. Behavioral Research in Accounting, 26(1), 157–168. https://doi.org/10.2308/bria-50587
Seifert, D. L., Sweeney, J. T., Joireman, J., & Thornton, J. M. (2010). The influence of organizational justice on accountant whistleblowing. Accounting, Organizations and Society, 35(7), 707–717.
Tangirala, S., & Ramanujam, R. (2008). Employee silence on critical work issues: The cross level effects of procedural justice climate. Personnel Psychology, 61(1), 37–68.
Trevino, L. K., & Weaver, G. R. (2001). Organizational justice and ethics program” follow-through”: influences on employees´ harmful and helpful behavior. Business Ethics Quarterly, 11(4), 651–671.
Welton, R. E., Lagrone, R. M., & Davis, J. R. (1994). Promoting the moral development of accounting graduate students: an instructional design and assessment. Accounting Education, 3(1), 35.
Winardi, R. D. (2013). the Influence of Individual and Situational Factors on Lower-Level Civil Servants’ Whistle-Blowing Intention in Indonesia. Journal of Indonesian Economy and Business, 28(3), 361–376.
Xu, Y., & Ziegenfuss, D. E. (2008). Reward Systems, Moral Reasoning, and Internal Auditors’ Reporting Wrongdoing. J Bus Psycho, 22, 323–331.
LAMPIRAN
Kasus Eksperimen
Agus telah bekerja pada PT. ABC sebagai akuntan senior selama hampir 4 tahun. PT. ABC merupakan perusahaan go public yang bergerak dibidang pengembangan, perizinan, dan pengiklanan on-screen television guide technology. Melalui teknologi ini pelanggan bisa memilih berbagai macam program televisi. Perusahaan memperoleh pendapatan dari lisensi atas teknologi yang diberikan kepada pihak ketiga dan penjualan iklan yang ditampilkan di layar panduan. Industri media berkembang dengan pesat dan keuangan perusahaan sangat baik. Agus sangat menikmati pekerjaannya dan telah memperoleh review kinerja tahunandiatas rata-rata. Agus adalah akuntan senior yang bertanggung jawab terhadap manajer akuntansi dan manajer akuntansi bertanggung jawab terhadap CFO. Tanggung jawab utama Agus adalah mencatat pendapatan yang diperoleh dari kontrak lisensi tesebut.
Pada kuartal pertama, Agus menemukan pencatatan di buku besar sebesar Rp 2.000.000.000 atas pendapatan penjualan yang tidak pernah dia catat. Setelah melakukan investigasi, ternyata pencatatan itu dilakukan oleh CFO. Ketika Agus meminta penjelasan, CFO menyatakan bahwa pendapatan tersebut berasal dari kontrak yang masih dalam negosiasi dan pendapatan itu perlu dicatat untuk mencapai target laba kuartal tersebut. CFO juga mengatakan kepada Agus bahwa kontrak akan segera selesai dan akan diakui ke tanggal dimana pendapatan dicatat (backdate). Sampai kuartal ketiga, Agus belum menerima kontrak. CFO menyatakan bahwa kontrak gagal dan dia juga mengatakan bahwa pendapatan akan dibalik pada kuartal selanjutnya saat pendapatan mencapai titik maksimum. Agus sangat peduli terhadap kesalahan pencatatan pendapatan pada laporan keuangan kuartalan perusahaan dan sedang mempertimbangkan untuk melaporkan tindakan CFO tersebut.
High Distributif Justice
PT. ABC telah menemukan beberapa contoh pelanggaran etika baru-baru ini. Beberapa bulan yang lalu, teman Agus melaporkan bahwa terdapat beberapa karyawan yang membebankan biaya perjalanan pribadi pada perusahaan. Sebagai hasil dari laporan tersebut, perusahaan segera menyelidiki dan menghentikan praktek pembebanan biaya perjalanan pribadi pada perusahaan.
Menurut pendapat anda, seberapa besar kemungkinan bahwa Agus akan melaporkan tindakan CFO kepada orang yang tepat dalam perusahaan (Dewan Direksi)?
1 2 34 5 6 7 8 9
Keterangan
1=Tidak akan melaporkan sama sekali
5=50%kemungkinan akan melaporkan
9= pasti melaporkan
Low Distributif Justice
PT. ABC telah menemukan beberapa contoh pelanggaran etika baru-baru ini. Beberapa bulan yang lalu, teman Agus melaporkan beberapa karyawan yang membebankan pengeluaran perjalanan pribadi pada perusahaan. Namun,perusahaan tidak menyelidiki atau menghentikan karyawan dari pembebanan perjalanan pribadi. Hal ini menyebabkan karyawan ini, masih membebankan biaya perjalanan pribadi ke perusahaan.
Menurut pendapat anda, seberapa besar kemungkinan bahwa Agus akan melaporkan tindakan CFO kepada orang yang tepat dalam perusahaan (Dewan Direksi)?
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Keterangan
1=.Tidak akan melaporkan sama sekali
5=50%kemungkinan akan melaporkan
9= pasti melaporkan
High Prosedural Justice
Kebijakan PT. ABC mendorong karyawan untuk melaporkan pelanggaran etika kepada orang yang tepat yaitu dewan direksi. Karyawan juga dapat secara anonim melaporkan kesalahan dengan menelepon nomor bebas pulsa “alert line”. Kebijakan menyatakan bahwa tidak ada alat perekam yang merekam nomer pelapor. Selain itu, perusahaan juga melarang pembalasan terhadap mereka yang melaporkan pelanggaran etis yang terjadi dalam perusahaan.
Agus menemukan situasi di mana seorang rekan baru-baru ini melaporkan kesalahan menggunakan “alert line “ tersebut.Rekannya puas bahwa anonimitas nya sangat dijaga.
Menurut pendapat anda, seberapa besar kemungkinan bahwa Agus akan melaporkan tindakan CFO kepada orang yang tepat dalam perusahaan (Dewan Direksi)?
Low Prosedural Justice
PT. ABC memiliki kebijakan yang mendorong karyawan untuk melaporkan tindakan pelanggaran kepada orang yang tepat yaitu dewan direksi. Karyawan juga dapat secara anonim melaporkan pelanggaran dengan menelepon ke nomor bebas pulsa “alert line”. Kebijakan perusahaan menyatakan bahwa tidak ada alat perekam yang akan merekam nomer pelapor. Selain itu,perusahaan juga melarang pembalasan terhadap mereka yang melaporkan pelanggaran yang terjadi dalam perusahaan.
Agus menemukan situasidi mana seorang rekan baru-baru ini melaporkan kesalahan melalui “alert line” tersebut. Kemudian rekannya menerima panggilan kembali dari “alert line “ untuk menindaklanjuti laporan tersebut. Seorang perwakilan dari “alert line” menjelaskan bahwa, jika perlu, nomor telepon dapat diambil dari sistem mereka. Rekan Agus tersebut sangat marah mengetahui bahwa nomor teleponnya telah direkam.
Menurut pendapat anda, seberapa besar kemungkinan bahwa Agus akan melaporkan tindakan CFO kepada orang yang tepat dalam perusahaan (Dewan Direksi)?
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Keterangan
1=Tidak akan melaporkan sama sekali
5=50%kemungkinan akan melaporkan
9= pasti melaporkan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Keterangan
1=.Tidak akan melaporkan sama sekali
5=50%kemungkinan akan melaporkan
9= pasti melaporkan
High Interaksional Justice
Atasan Agus, membahas mengenai Kebijakan PT. ABC terkait pelaporan kesalahan dengan Agus dan anggota lain dalam departemen. Atasan Agus sangat mendukung kebijakan tersebut. Bahkan atasan Agus baru-baru ini merekomendasikan seorang karyawan untuk memperoleh penghargaan dari PT. ABC karena karyawan tersebut telah menemukan pencurian persediaan dan melaporkannya.
Menurut pendapat anda, seberapa besar kemungkinan bahwa Agus akan melaporkan tindakan CFO kepada orang yang tepat dalam perusahaan (Dewan Direksi)?
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Keterangan
1=.Tidak akan melaporkan sama sekali
5=50%kemungkinan akan melaporkan
9= pasti melaporkan
Low Interaksional Justice
Atasan Agus, telah membahas mengenai Kebijakan PT. ABC terkait pelaporan pelanggaran dengan Agus dan anggota lain dalam departemen. Atasan Agus, menyatakan bahwa ia tidak setuju dengan kebijakan tersebut karena mendorong karyawan untuk “memata-matai” satu sama lain.
Agus menyadari bahwa, atasannya baru-baru ini memberikan evaluasi kinerja yang rendah kepada seorangkaryawan. Sebelum evaluasi kinerja, karyawan tersebut menemukan pencurian persediaan dan melaporkannya.
Menurut pendapat anda, seberapa besar kemungkinan bahwa Agus akan melaporkan tindakan CFO kepada orang yang tepat dalam perusahaan (Dewan Direksi)?
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Keterangan
1=.Tidak akan melaporkan sama sekali
5=50%kemungkinan akan melaporkan
9= pasti melaporkan
Kasus Untuk Mengukur Penalaran Moral (DIT Versi pendek)
RAMA DAN OBAT
Shinta hampir meninggal karena menderita penyakit kanker langka. Ada satu obat yang baru ditemukan oleh ilmuwan dan menurut dokter dapat menyelamatkan nyawanya yang sepuluh kali lebih manjur daripada obat sebelumnya. Bahan dan biaya pembuatan obat tersebut sangatlah mahal. Rama yang merupakan suami Shinta tidak memiliki cukup uang untuk membeli obat tersebut. Rama berusaha untuk meminjam uang ke semua orang yang ia kenal namun tidak berhasil. Oleh sebab itu, Rama mendatangi ilmuwan tersebut untuk meminta keringanan agar dapat membeli obat tersebut. Namun, ilmuwan tersebut menolak permintaan Rama karena tujuan ilmuwan tersebut menemukan obat kanker ini adalah untuk mendapatkan uang. Hal ini membuat Rama mulai berpikir untuk merusak tempat penyimpanan obat ilmuwan tersebut dan mencuri obat untuk Shinta.
Menurut anda, apakah Rama sebaiknya mencuri obat itu ?
Beri tanda (X) pada jawaban yang paling sesuai dengan pendapat anda.
_______________Seharusnya mencurinya
_______________Tidak dapat memutuskan
_______________Seharusnya tidak mencuri
PENTING :
Silahkan memberikan pendapat anda mengenai apakah ke 12 dilema dibawah ini penting untuk dipertimbangkan Rama sebelum memutuskan mencuri obat. Terdapat 5 pilihan jawaban, yaitu Sangat Tidak Penting (STP), Tidak Penting (TP), Netral (N), Penting (P) dan Sangat Penting (SP).
STP |
TP |
N |
P |
SP | |
1. Apakah hukum di masyarakat akan ditegakkan. | |||||
2. Hal yang biasa bagi suami untuk sangat peduli pada istrinya, oleh karena itu ia mencuri. Bukankah alami bagi seorang suami yang mencintai dan peduli pada istrinya, oleh karena itu ia mencuri | |||||
| |||||
5. Apakah Rama mencuri untuk dirinya sendiri atau semata mata untuk membantu orang lain | |||||
6. Apakah hak apoteker atas penemuannya harus dihormati. | |||||
7. Apakah secara sosial dan individual, esensi kehidupan lebih besar dibandingkan kematian | |||||
8. Nilai-nilai apa yang akan menjadi dasar untuk mengatur bagaimana seseorang bertindak terhadap orang lain | |||||
9. Apakah apoteker akan diperbolehkan untuk bersembunyi di balik hukum yang hanya melindungi orang kaya. | |||||
10. Apakah hukum dalam kasus ini akan menjadi klaim dasar dari setiap anggota masyarakat | |||||
11. Apakah apoteker layak untuk dirampok karena begitu serakah dan kejam. | |||||
12. Apakah mencuri dalam kasus ini mempengaruhi jumlah perbuatan baik yang dilakukan oleh masyarakat atau tidak. |
Berdasarkan 12 pernyataan diatas, tentukan 4 pernyataan yang menurut anda paling penting. Urutkan dari yang paling penting pertama hingga paling penting keempat. Tulis nomor pernyataannya pada tempat yang telah disediakan.
Dari daftar pertanyaan diatas, pilihlah empat yang paling penting:
Paling penting
Paling penting kedua
Paling penting ketiga
Paling penting keempat
PELARIAN DARI PENJARA
Budi telah dijatuhi hukuman penjara selama 10 tahun. Namun setelah satu tahun ia melarikan diri dari tahanan, dan dia pindah ke daerah baru, dan berganti nama menjadi Andi. Selama 8 tahun ia bekerja keras, dan secara bertahap ia menabungkan uangnya cukup banyak untuk mendirikan bisnisnya sendiri. Andi baik kepada para pelanggannya, memberi upah tinggi pada karyawannya, dan memberikan sebagian keuntungannya untuk amal. Kemudian suatu hari, Ibu Puput, tetangganya yang sudah tua mengenalnya sebagai orang yang telah melarikan diri dari penjara 8 tahun lalu, dan ia adalah orang yang dicari-cari polisi.
Haruskah Bu Puput melaporkan Budi a.ka. Andi ke polisi dan minta agar dia dimasukkan kembali ke penjara ?
Beri tanda (X) pada jawaban yang paling sesuai dengan pendapat anda.
____________ harus melaporkannya
____________ tidak dapat memutuskan
____________ tidak melaporkannya
PENTING
Silahkan memberikan pendapat anda mengenai apakah ke 12 dilema dibawah ini penting untuk dipertimbangkan Bu.Puput sebelum memutuskan untuk melaporkan Budi a.ka. Andi ke polisi. Terdapat 5 pilihan jawaban, yaitu Sangat Tidak Penting (STP), Tidak Penting (TP), Netral (N), Penting (P) dan Sangat Penting (SP).
STP |
TP |
N |
P |
SP | |
1. Apakah Budi a.ka. Andi belum cukup baik dalam waktu yang lama untuk membuktikan bahwa dia bukan orang yang jahat ? | |||||
2. Setiap kali seseorang lolos dari hukuman untuk sebuah kejahatan, bukankah hanya akan mendorong lebih banyak kejahatan? | |||||
3. Tidakkah kita akan lebih baik tanpa adanya penjara dan pelanggaran pada sistem hukum? | |||||
4. Sudahkah Budi a.ka. Andi benar-benar telah membayar hutangnya kepada masyarakat? | |||||
5. Akankah masyarakat menghancurkan keadilan yang diharapkan Budi a.ka. Andi? | |||||
6. Apa manfaat penjara bagi orang yang dipenjara terlepas dari posisi mereka sebagai masyarakat, khususnya bagi seorang pria yang banyak beramal? | |||||
7. Bagaimana seseorang bisa begitu kejam dan tidak berperasaan dengan mengirim Budi a.ka. Andi ke penjara? | |||||
8. Apakah itu adil untuk semua tahanan yang menjalani seluruh masa hukumannya jika Budi a.ka. Andi berhasil membebaskan diri? | |||||
9. Apakah Bu. Puput merupakan teman baik Budi a.ka. Andi? | |||||
10. Bukankah menjadi tugas warga negara untuk melaporkan penjahat yang melarikan diri, terlepas dari kondisi yang sebenarnya terjadi ? | |||||
11. Seperti apa kehendak masyarakat dan layanan prima bagi publik ? | |||||
12. Apakah dengan memasukkan ke penjara akan berdampak baik bagi Budi a.ka. Andi dan dapat melindungi banyak orang. |
Berdasarkan 12 pernyataan diatas, tentukan 4 pernyataan yang menurut anda paling penting. Urutkan dari yang paling penting pertama hingga paling penting keempat. Tulis nomor pernyataannya pada tempat yang telah disediakan.
Dari daftar pertanyaan diatas, pilihlah empat yang paling penting:
Paling penting _________________________
Paling penting kedua _________________________
Paling penting ketiga _________________________
Paling penting keempat _________________________
KORAN (NEWSPAPER)
Tedi, seorang anak yang masih sekolah di SMA ingin mempublikasikan sebuah koran untuk siswa agar aspirasinya dapat tersampaikan. Ia ingin berbicara tentang perlawanan terhadap perang di Vietnam, dan beberapa peraturan sekolah, seperti aturan yang melarang anak laki-laki mempunyai rambut panjang. Ketika Fred mulai menerbitkan koran itu, ia meminta izin kepala sekolah. Kepala Sekolah mengatakan dengan baik-baik bahwa sebelum koran Tedi dipublikasikan, Tedi harus menyerahkan seluruh artikelnya untuk mendapatkan persetujuan kepala sekolah. Fred setuju, dan segera memuat dua topik dalam dua minggu kemudian. Namun kepala sekolah tidak yakin jika koran Tedi akan mendapatkan banyak perhatian. Namun ternyata para siswa begitu antusias dengan koran tersebut, dan mulai mengadakan protes terhadap peraturan rambut panjang dan aturan lain yang diterapkan di sekolah. Orang tua siswa marah dan keberatan dengan pendapat Tedi. Orangtua siswa menelepon kepala sekolah dan mengatakan bahwa koran itu tidak patriotik dan seharusnya tidak diterbitkan. Sebagai hasil dari pemberontakan tersebut, Kepala Sekolah memerintahkan Tedi untuk menghentikan penerbitan korannya dengan alasan kegiatan Tedi telah mengganggu operasional sekolah.
Haruskah kepala sekolah menghentikan penerbitan koran tersebut ?
Beri tanda (X) pada jawaban yang paling sesuai dengan pendapat anda.
____________ harus dihentikan
____________ tidak ada keputusan
____________ seharusnya tidak dihentikan
PENTING
Silahkan memberikan pendapat anda mengenai apakah ke 12 dilema dibawah ini penting untuk dipertimbangkan Kepala Sekolah sebelum menghentikan penerbitan koran. Terdapat 5 pilihan jawaban, yaitu Sangat Tidak Penting (STP), Tidak Penting (TP), Netral (N), Penting (P) dan Sangat Penting (SP).
STP |
TP |
N |
P |
SP | |
1. Kepada siapa Kepala Sekolah lebih bertanggung jawab, kepada siswa atau orang tua? | |||||
2. Apakah kepala sekolah memberikan pernyataan bahwa koran dapat dipublikasikan untuk waktu yang lama, ataukah berjanji untuk menyetujui surat kabar berisi satu topik pada satu waktu saja? | |||||
3. Apakah siswa akan memprotes keras jika kepala sekolah menghentikan penerbitan koran tersebut? | |||||
4. Ketika keamanan sekolah terancam, apakah kepala sekolah memiliki hak untuk memberikan perintah kepada siswa? | |||||
5. Apakah kepala sekolah memiliki kebebasan berbicara untuk mengatakan "tidak" dalam kasus ini? | |||||
6. Jika kepala sekolah menghentikan penerbitan koran itu, apakah ia dapat mencegah diskusi penuh dari permasalahan tersebut? | |||||
7. Apakah perintah kepala sekolah akan membuat Tedi kehilangan kepercayaan pada kepala sekolah? | |||||
8. Apakah Tedi benar-benar berbakti kepada sekolah dan mencintai negaranya? | |||||
9. Apakah penghentian penerbitan koran tersebut dapat memperngaruhi pendidikan siswa dalam berfikir kritis danmemberi penilaian yang objektif ? | |||||
10. Apakah Tedi melanggar hak orang lain saat menyampaikan pendapatnya? | |||||
11. Apakah kepala sekolah dipengaruhi oleh kemarahan orang tua ketika kepala sekolah menentukan apa yang terbaik bagi sekolah? | |||||
12. Apakah Tedi menggunakan korannya untuk membangkitkan kebencian dan ketidakpuasan pada siswa lain? |
Berdasarkan 12 pernyataan diatas, tentukan 4 pernyataan yang menurut anda paling penting. Urutkan dari yang paling penting pertama hingga paling penting keempat. Tulis nomor pernyataannya pada tempat yang telah disediakan.
Dari daftar pertanyaan diatas, pilihlah empat yang paling penting:
Paling penting _____________________
Paling penting kedua _____________________
Paling penting ketiga _____________________
Paling penting keempat _____________________
Discussion and feedback