Paranoan dan Totanan, Akuntabilitas berbasis .... 161

p-ISSN 2302-514X

e-ISSN 2303-1018

AKUNTABILITAS BERBASIS KARMA

Natalia Paranoan1

Chalarce Totanan2

1UKI Paulus Makassar, Provinsi Indonesia email: [email protected] 2Universitas Tadulako, Provinsi Palu, Indonesia

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengungkap makna akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan pada Pura Giri Natha Makassar. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dengan paradigma interpretif. Metode ini menekankan pada pemahaman mendalam tentang makna akuntabilitas oleh para aktor dan umat Hindu di Pura Giri Natha Makasar. Hasil penelitian mengungkap bahwa akuntabilitas tidak semata-mata harus disertai kelengkapan dokumen sebagai sumber data tetapi yang utama adalah prinsip keikhlasan dan kepercayaan kepada Sang Pencipta, akuntabilitas tidak menuntut dipenuhinya standar akuntansi disertai teknologi dan sistem pertanggungjawaban modern tetapi cukup dengan pembukuan sederhana, prinsip karma menjadi benteng utama akuntabilitas di mana perilaku aktor dibatasi oleh prinsip Moksartam Jagad Dita atau kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Kata Kunci: Akuntabilitas, pengelolaan keuangan, karma, moksartam jagad dita.

ACCOUNTABILITY BASED ON KARMA

ABSTRACT

The purpose of this study is to reveal the meaning of accountability in financial management at Pura Giri Natha Makassar. The research method using qualitative methods with interpretive paradigm that emphasizes deep understanding of the meaning of accountability by actors and society. The results of this study revealed that accountability is not merely has to be accompanied by the documents as the main sources of accountability. The principles of sincerity and faith to the God are the main principles of accountability. Accountability itself does not demanding the fulfillment of accounting standard with the technology and modern accountability systems, the principle of karma became the main stronghold of accountability, in which the actor’s behavior is restricted by the Moksartam Jagat Dita principle.

Keywords: Accountability, financial management, karma, moksartam jagad dita

DOI: https://doi.org/10.24843/JIAB.2018.v13.i02.p09

PENDAHULUAN

Asian Pacific Development Centre (APDC, 1995:5) menjelaskan akuntabilitasadalah “The obligation to give answer and explanations, concerning, one’s action, and performance, to those with a right to require such answer and explanation”. Tujuan akuntansi, khususnya pada akuntansi non profit atau pada organisasi yang tidak berfokus mencari laba adalah memberikan informasi yang memungkinkan bagi pimpinan organisasi atau manajer untuk melaporkan pelaksanaan tanggung jawab dalam mengelola secara tepat dan efektif program dan penggunaan sumber daya yang menjadi wewenangnya, dan melaporkan kepada publik atas

hasil operasi organisasi dan penggunaan dana publik. Tujuan ini terkait dengan akuntabilitas organisasi secara keseluruhan.

Penelitian tentang akuntabilitas berbasis karma perlu dilakukan karena akuntabilitas secara konvensional kebanyakan hanya mengedepankan atau menekankan aspek manajerial. Meskipun tujuan dari setiap akuntabilitas tetap sama yaitu kinerja. Namun, karena diterapkan dalam jenis organisasi yang berbeda maka penekanan akuntabilitas pengelolaan juga akan menjadi berbeda.

Penelitian Patty dan Irianto (2013) menemukan makna akuntabilitas organisasi gereja berkaitan

dengan pengumpulan dana umat, disebut “Perpuluhan”. Perpuluhan menurut Patty dan Irianto (2013)ada delapan yaitu: perpuluhan sebagai milik Tuhan, tanda pengakuan, kasih, kemurahan, iman, kepercayaan, tanggung jawab diri, dan tanggung jawab sosial. Siskawati dkk (2016) menyatakan akuntabilitas masjid dalam pengelolaan dana masjid adalah kejujuran. Kejujuran adalah nilai yang dijunjung tinggi oleh pengurus masjid untuk mewujudkan kemakmuran melalui hubungan dua arah antara masyarakat dan Tuhan. Hasil kedua penelitian ini menjadi dasar bahwa setiap organisasi akan memaknai akuntabilitas dalam konsep dan kata yang berbeda, namun tetap akan mengarah pada satu tujuan bahwa dalam organisasi keagamaan, akuntabilitas utama adalah kepada Tuhan.

Pada pelaksanaan tata kelola organisasi yang bertujuan laba,akuntabilitas sangat menekankan pada tata kelola yang berfokus pada tertib administrasi. Sehingga akuntabilitas dalam bentuk laporan (keuangan) menjadi sangat penting. Sektor non profit, khususnya organisasi kerohanian atau keagamaan dituntut akuntabilitas yang berfokus memenuhi harapan dari umat (anggota) dalam bentuk pelayanan keagamaan, seperti pelaksanaan ritual ibadah, pelayanan orang sakit, kedukaan, atau pelayanan konseling. Oleh karena itu, membangun akuntabilitas pada organisasi kerohanian atau keagamaan tolak ukurnya adalah pelayanan. Akuntabilitas (accountability) dalam kaitannya dengan fungsi administrasi menjadi pendukungnya. Hal ini didasari oleh filososfi pendirian organisasi kerohanian atau keagamaan adalah memenuhi kebutuhan spiritual dan aktivitas keagamaan dari setiap umat sebagai anggotanya.

Akuntabilitas bisa diformulasikan melalui aturan hukum atau perjanjian (Syahrul dan Nizar, 2000). Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggung jawabannya. Akuntabilitas ini terkait erat dengan instrumen untuk kegiatan pengendalian, terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan kepada masyarakat dan menyampaikannya secara transparan.

Fenomena mengenai pentingnya pelaksanaan akuntabilitas dengan menjalankan prinsip-prinsip good governance yang meliputi, transparansi dan rasa keadilan di dalam setiap organisasi harus dicermati oleh setiap organisasi agar, organisasi tersebut memeroleh kepercayaan dari para

stakeholder. Good governance sendiri sebagai bagian dari akuntabilitas merupakan pilar bagi setiap organisasi untuk bisa berkembang dan bertahan. Akuntabilitas bagi setiap organisasi, baik organisasi profit maupun organisasi non profit termasuk organisasi keagamaan sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, setiap organisasi mempunyai keterkaitan dengan pihak internal dan eksternal organisasi. Gray et al., (2006) mengatakan, akuntabilitas merupakan hak masyarakat atau kelompok dalam masyarakat yang timbul karena adanya hubungan antara organisasi dan masyarakat.

Pada sisi lain, akuntabilitas merupakan hak dan kewajiban organisasi (Lehman, 1999, 2005). Salah satu cara aplikasi akuntabilitas adalah melalui transparansi pengelolaan keuangan. Transparansi pengelolaan keuangan dalam setiaporganisasi, khususnya organisasi kerohanian atau keagamaan menjadi hal yang mutlak untuk dilakukan. Meskipun secara konsep dan filosofi sumber uang dari organisasi keagamaan adalah pemberian “Persembahan” yang telah dilakukan oleh setiap umat dengan ikhlas. Seharusnya, ketika pemberian persembahan telah dilakukan yang diniatkan untuk Tuhan, maka dengan alasan apapun tidak diperlukan sebuah pertanggungjawaban. Namun, hal ini ternyata tidak bisa lagi dilakukan, meskipun itu dalam organisasi kerohanian atau keagamaan. Kodrat manusia diberi kebebasan untuk memilih menjadi orang baik atau buruk (Rif’an, 2012) telah melahirkan perilaku bias ketika diberi kepercayaan atau tanggung jawab untuk mengelola harta orang lain (pihak kedua) atau persembahan dalam organisasi kerohanian atau keagamaan.

Secara garis besar organisasi dapat dibedakan atas organisasi yang mencari laba seperti perusahaan, dan organisasi yang tidak bertujuan memeroleh laba seperti pelayanan sektor publik (salah satunya organisasi kerohanian atau keagamaan). Sehingga dalam hal pendanaan juga menjadi berbeda. Organisasi profit akan memeroleh dana dari pemilik atau investor. Pemerintah memeroleh dana dari pajak. Organisasi keagamaan akan memeroleh dana dari umat.

Berbanding terbalik dengan organisasi profit, sumber dana atau pendanaan organisasi nirlaba (dalam hal ini pura), dapat berasal dari umat yang tidak mengharapkan pembayaran kembali (yadnya) atau manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah sumber daya yang diberikan. Penerimaan dana lain berasal dari bantuan atau sumbangan dari pemerintah dan lembaga lainnya. Hal yang juga menarik bahwa biasanya pada organisasi non profit walaupun para

donatur tidak meminta adanya balas jasa “pengembalian” secara langsung, namun harapan mereka selain berkat dari sang Hyang Widhi Yasa, mereka mengharapkan adanya dampak atas sumbangan yang telah mereka berikan dalam bentuk pelayanan atau dalam bentuk perbaikan sarana beribadah. Para donatur, baik mensyaratkan atau pemerintah, tetap menginginkan pelaporan serta pertanggung jawaban yang transparan atas dana yang telah mereka berikan. Para donatur ingin mengetahui apakah dana yang mereka berikan dapat dikelola dengan baik dan dipergunakan sebagaimana mestinya untuk memberi manfaat bagi kepentingan umat dan masyarakat. Hal inilah yang menarik untuk dikaji, bagaimana makna akuntabilitas pengelolaan keuangan di Pura Giri Natha yang belum pernah diungkap selama ini.

Berdasarkan pada pentingnya akuntabilitas dari setiap organisasi, baik yang berorientasi profit maupun non profit, maka tujuan dari penelitian ini adalah mengungkap makna “Akuntabilitas Berbasis Karma”dalam pengelolaan keuangan Pura Giri Natha di Makassar.

Hubungannya dengan perbuatan bagaimana seharusnya kita hidup. Dikatakan “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 7:12).Ajaran spiritual mengajarkan, “Apa yang kitatabur itu juga yang kita tuai”. Seperti tertulis dalam Bhagavad Gita, Bab Vayat 10: “Ia yang bekerja setelah melepaskan keterikatan serta mempersembahkan kegiatan kerjanya kepada Tuhan, tak akan tersentuh oleh dosa, bagaikan daun teratai, yang tak terbasahi oleh air”.

Ada Karma “Tabur-Tunai”. Konsepsi minimum dari Karma adalah akuntabilitas dari perbuatan. Akuntabilitas penting untuk dilakukan. Perhatian secara khusus dalam akuntabilitas terhadap pengelolaan dana umat dalam sebuah organisasi keagamaan, termasuk pura. Hal ini menjadi penting mengingat dana-dana dalam organisasi keagamaan berasal dari para donatur umat dan atau masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pengelolaan dan penggunaanya. Akuntabilitas dalam organisasi keagamaan memiliki sisi unik, karena selalu dihubungkan dengan Karma setelah kematian. Hal ini menjadi menarik diteliti.

Akuntabilitas dan transparansi merupakan konsep yang berkaitan erat satu dengan yang lain, karena tanpa transparansi tidak mungkin ada akuntabilitas. Sebaliknya transparansi tidak akan banyak bermanfaat tanpa dilengkapi dengan

akuntabilitas (Sutedjo, 2009). Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Publik menjelaskan bahwa informasi yang wajib disediakan dan diumumkan adalah informasi yang berkaitan dengan badan publik, kegiatan badan publik dan informasi mengenai laporan keuangan.

Salah satu organisasi keagamaan (non-profit) sebagai bagian dari akuntansi sektor publik adalah Pura. Pura adalah tempat ibadah dan sekaligus di dalamnya terdapat lembaga keagamaan umat Hindu. Seperti organisasi keagamaan lainnya, pura adalah organisasi yang digolongkan dalam organisasi nonprofit yang memiliki kegiatan manajemen, baik yang berkaitan dengan sumber daya manusia, keuangan, dan kegiatan-kegiatan operasional yang tidak berorientasi pada laba. Dalam organisasi pura ada pengelolaan dana umat yang terkumpul dan disebut sebagai dana punia. Dana punia yang diperoleh harus dipertanggungjawabkan kepada umat melalui pertanggungjawaban formal berupa laporan keuangan.

Informasi dibutuhkan oleh setiap orang dalam mengambil keputusan. Pengungkapan sebuah informasi adalah bentuk akuntabilitas yang paling sederhana. Ketika sebuah organisasi mengungkapkan laporan keuangannya, maka pada saat itu praktik akuntabilitas telah dilakukan. Demikian juga yang terjadi di Pura Giri Natha Makassar. Pura Giri Natha Makassar dipilih sebagai situs penelitian karena eksis dan berkembang dalam komunitas masyarakat yang majemuk. Menjadi unik karena semua unsur budaya Bali juga terlihat dalam kompleks pura Giri Natha Makassar, termasuk bahasa, busana, dan gamelan.

Walaupun tidak berorientasi laba, pura tetap melakukan pencatatan keuangan yang mencatat setiap penerimaan dan pengeluaran dana secara rutin. Sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 45 Tahun 2011 tentang organisasi nirlaba (non-profit), bahwa organisasi nirlaba juga berkewajiban dan berhak untuk membuat laporan keuangan dan melaporkan kepada pemakai laporan keuangan. Menurut Mardiasmo (2009), organisasi nirlaba juga memiliki tuntutan akuntabilitas seperti pada organisasi berorientasi laba, yaitu dengan memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas guna membangun kepercayaan, dalam hal ini kepercayaan umat Hindu.

Menurut PSAK Nomor 45 Tahun 2011, organisasi nirlaba perlu menyusun setidaknya 4 jenis laporan keuangan, 1) Laporan posisi keuangan (neraca) pada akhir periode laporan, 2) Laporan aktivitas untuk suatu periode pelaporan, 3) Laporan

arus kas untuk suatu periode pelaporan, 4) Catatan atas laporan keuangan. Dari keempat jenis laporan tersebut, dapat dicermati bahwa laporan keuangan organisasi nirlaba mirip dengan organisasi bisnis, kecuali pada tiga hal yaitu: a) Komponen laporan posisi keuangan organisasi nirlaba memiliki beberapa keunikan bila dibandingkan dengan komponen laporan keuangan organisasi bisnis, b) Organisasi nirlaba tidak memiliki laporan laba rugi, namun laporan ini dapat dianalogikan dengan laporan aktivitas. Informasi sentral dalam laporan laba rugi umumnya terletak pada komponen laba atau rugi yang dihasilkan organisasi bisnis dalam satu periode. Sementara itu, informasi sentral dalam laporan aktivitas terletak pada perubahan aset neto yang dikelola oleh organisasi nirlaba. c) Organisasi nirlaba tidak memiliki laporan perubahan ekuitas sebagaimana layaknya organisasi bisnis. Hal ini disebabkan organisasi nirlaba tidak dimiliki oleh entitas manapun. Ekuitas dalam organisasi nirlaba bisa dianalogikan dengan aset neto yang akan disajikan pada laporan aktivitas.

Penelitian akuntansi danakuntabilitas pada organisasi nirlaba telah banyak dilakukan, antara lain penelitian pada masjid, gereja dan LSM (Jacobs dan Walker (2000), Saerang (2001), Ducan dan Fisher (2002), Lobo (2007), Randa (2011), Huda dan Sawarjuwono (2013), Darmawan et al., (2015). Namun belum banyak penelitian mengenai akuntabilitas pada organisasi pura, khususnya di luar pulau Bali. Penelitian Jacobs dan Walker (2000) meneliti praktik akuntabilitas di lingkungan gereja komunitas IONA. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kegiatan sehari-hari komunitas ini ditentukan oleh aturan Kristiani, misalnya penerimaan dan penggunaan dana sumbangan dan operasional. Setiap penerimaan dan pengeluaran keuangan wajib dilaporkan kepada jema’at (umat). Jema’at pun berhak meminta penjelasan atas akun-akun tersebut.

Di lain pihak, penelitian Saerang (2001) yang meneliti akuntabilitas dalam Gereja Pentakosta di Indonesia mengaitkannya dengan dana “perpuluhan”, persembahan dan sumbangan. Hasilnya mengungkap bahwa penerimaan dana-dana yang diterima dari jemaat yang bersifat komunal ternyata tidak pernah dilaporkan kepada jemaat. Penelitian Randa (2011) yang meneliti akuntabilitas dalam gereja Katholik di Tana Toraja menemukan bahwa rekonstruksi konsep akuntabilitas dalam budaya lokal sebagai “Tongkonanakulturatif Kristus dapat dikembangkan dalam membangun organisasi gereja lokal yang lebih akuntabel. Temuan penelitian Huda dan Sawarjuwono (2013) tentang akuntabilitas pengelolaan zakat menyumbangkan pikiran bahwa utuk meningkatkan

akuntabilitas zakat sebaiknya bekerjasama dengan pihak perguruan tinggi untuk penyipan tenaga amil, serta pendistribusian zakat dan lintas departemen bekerjasama dengan IKADI dan DKM. Sedangkan penelitian Darmawan et. al., (2015) mengenai akuntabilitas pura di Bali menemukan bahwa dalam pelaksanaan akuntabilitas terdapatlimaunsure, yaitu: transparansi, liabilitas, control, responsibilitas, dan responsivitas.

Akuntabilitas jika dihubungkan dengan Karma menurut ajaran agama Hindu adalah sesuatu yang tidak terpisahkan. Khrisna (1998) mengatakan Karma berasal dari bahasa Sansekerta yaitu Karman yang artinya bertindak, sebuah tindakan kinerja. Dalam pengertian ini Karma selalu berhubungan dengan setiap konsep baik dan buruk yang akan diterima dari setiap perbuatan yang dilakukan setiap orang.

Ini berarti arti kata dari Karma adalah sebuah konsep “aksi” atau reaksi dari “perbuatan” yang dalam agama Hindu dipahami sebagai sesuatu yang menyebabkan seluruh siklus kausalitas. Suatu siklus yang disebut “samsara”. Konsep ini berasal dari India Kuno dan dijaga kelestariannya dalam filsafat Hindu, Jain, Sikh, dan Buddhisme.

Pada konsep “Karma”, semua alur kehidupan yang dialami oleh manusia adalah hasil dari tindakan kehidupan masa lalu dan sekarang. Efek Karma dari semua perbuatan dipandang sebagai bahan aktif yang membentuk masa lalu, sekarang, dan pengalaman masa depan. Hasil atau “buah” dari tindakan disebut “Karmapala”. Oleh karena pengertian Karma adalah pengumpulan efek-efek (akibat) tindakan/perilaku/ sikap dari kehidupan yang lampau dan yang menentukan nasib saat ini, maka Karma dipahami berkaitan erat dengan kelahiran kembali atau reinkarnasi.

Kualitas reinkarnasi seseorang ditentukan oleh Karma-nya pada masa lalu dan masa kini. Jika dipahami secara sederhana reinkarnasi adalah bukti akuntabilitas dari Karma. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa akuntabilitas adalah sebuah pertanggungjawaban yang transparan untuk mengukur kinerja. Dalam reinkarnasi segala tindakan/ perilaku/sikap baik maupun buruk seseorang saat ini juga akan membentuk Karma seseorang di kehidupan berikutnya. Jadi Akuntabilitas dan Karma adalah dua unsur yang tidak bisa dipisahkan jika dihubungkan dengan tanggung jawab, perbuatan dan imbalannya (pahala dan hukuman).

METODOLOGI PENELITIAN

Metodelogi penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan paradigma interpretif yangmenekankan

pada pemahaman mendalam terhadap makna akuntabilitas oleh para aktor dan umat, sehingga semua dana dapat dikelola dengan baik dan akuntabel. Penelitian kualitatif adalah suatu penelitian ilmiah, yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi yang mendalam antara peneliti dengan fenomena yang diteliti (Moleong, 2009). Dengan kata lainmetode penelitian kualitatif yaitu suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, dibuat suatu gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 2007:15). Bogdan dan Taylor (Moleong, 2009:4) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

Paradigma interpretif didasarkan pada keyakinan bahwa individu (manusia) merupakan makhluk yang secara sosial dan simbolik membentuk dan mempertahankan realitas mereka sendiri (Berger dan Luckmann, 1967) di mana realitas itu dibangun sebagai wujud dari konstruksi sosial (social construction). Paradigma ini lebih menekankan pada makna atau interpretasi seseorang terhadap sebuah simbol. Tujuannya adalah memaknai (to interpret or to understand), bukan to explain dan to predict sebagaimana dalam paradigma positivisme. Kualitas teori dalam paradigma ini diukur dari kemampuannya untuk memaknai bukan kemampuannya untuk menjelaskan dan meramalkan. Paradigma ini lebih menekankan pada keterlibatan peneliti secara langsung dan intensif pada kasus yang menjadi objek studinya, untuk menemukan makna yang paling dalam dari suatu fenomena.

Penelitian ini dilaksanakan di Pura Giri Natha Makassar yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan Km 12 Makassar. Pura ini dibangun sejak tahun 1973 dengan nama Banjar Bali dan selanjutnya berubah menjadi Banjar Hindu Dharma pada tahun1990. Banjar adalah organisasi sosial kemasyarakatan yang berfungsi mengurus aktivitas anggotanya misalnya acara “kesukaan” (syukuran) dan ritual “kedukaan”.

Pura Giri Natha Makassar merupakan pusat peribadatanumat Hindu di wilayah Makassar dan sekitarnya. Jumlah umat Hindu yang tercatat sebanyak 350 kepala keluarga, namun jika dihitung perjiwa kurang lebih 3.500 jiwa. Untuk memudahkan dalam manajemen pelayanan maka, sampai saat ini

Banjar Hindu Dharma Makassar telah membentuk 10 kelompok-kelompok arisan (Tempek). Tempek adalah basis umat dalam bentuk kelompok untuk mempermudah pengorganisasian dan pelayanan umat serta meningkatkan rasa kekeluargaan kelompok-kelompok tersebut.

Asal mula hadirnya umat ini adalah dari para transmigran asal Bali yang menyebar di berbagai wilayah kabupaten Sulawesi Selatan, seperti Palopo, juga Sulawesi Barat seperti Polewali dan Mamuju. Selain itu, umat ini juga merupakan pindahan karena mutasi kerja, seperti yang mereka bekerja sebagai anggota TNI-Polri, pegawai negeri sipil, dan karyawan swasta. Di samping para pekerja, umat ini juga banyak yang merupakan siswa atau mahasiswa asal Bali yang sedang menuntut ilmu di Makassar.

Berawal dari sisi sarana dan prasarana, Pura Giri Natha memiliki bangunan Padmasana Agung setinggi sekitar 20 meter, yang juga dilengkapi Balai Pawedaan. Di jaba Pura juga terdapat asrama dan ruang belajar untuk sekolah minggu bagi anak-anak yang digunakan setiap minggu untuk beribadah, ruangan ini ini juga difungsikan sebagai kelas pendidikan agama Hindu bagi Pelajar dan Siswa yang diwajibkan dari sekolah untuk memberi nilai pelajaran di rapor. Untuk persembahyangan, Giri Natha rutin melakukan persembahyangansetiap Purnama, Tilem (bulan mati) dan Kajeng Kliwon. Selain itu juga pada hari-hari besar Hindu seperti Galungan, Kuningan dan Dharma Santhi Panyepian, atau perayaan-perayaan insidentil (misalnya hari raya Saraswati dan hari raya Pagerwesi).

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa, Pura Giri Natha Makassar tidak hanya sebagai tempat persembahyangan tetapi juga sebagai pesraman, yaitu pusat pendidikan agama Hindu bagi anak-anak mulai TK sampai perguruan tinggi. Sementara bagi anak SD, SMP dan SMA mengikuti pendidikan agama Hindu dalam sekolah minggu. Peserta sekolah minggu mencapai 300 orang anak yang mengikuti pendidikan agama di pura ini setiap hari Minggu. Di Pura ini juga merupakan pusat pengembangan kesenian Bali, seperti tarian dan kelompok pemain musik khas daerah Gamelan Bali (tetabuhan), yang umumnya dilakoni oleh laki-laki Bali (sekaa gong/tabuh atau kelompok pemain musik).

Sumber data utama dalam penelitian ini adalah informan. Informan dalam penelitian ini adalah orangorang yang terlibat langsung dengan semua kegiatan dan proses penata kelolaan keuangan pura. Untuk mengungkap makna akuntabilitas digali dari delapan orang informan yang terdiri dari pengurus Parisada

Hindu Dharma, pengurus banjar, dan umat. Penetapan informan, penelitian dilakukan secara purposive yang digunakan untuk menentukan informan yang memenuhi syarat sehingga diperoleh data yang sahih. Penetapan informan dilakukan dengan menggunakan snowball sampling yaitu teknik pengambilan sampel

sumber data (informan) yang pada awalnya berjumlah sedikit, kemudian akan menjadi banyak (Sugiyono, 2010). Jumlah informan tidak ditetapkan terlebih dahulu tetapi tergantung dari kecukupan data yang diperoleh (Mulyana, 2004:182). Adapun daftar nama informan ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1.

Daftar Nama Informan

Nama

Keterangan

1

Dewa NyomanMahendra

Ketua banjar

2

Nyoman GedeYuliadi

Sekretaris banjar

3

I Made Dina, SE.

Bendahara banjar/akuntan pura

4

Made Semadi

Bidang Seni

5

Nyoman Suparta

Ketua Parisada Kota Makassar

6

Gede Durahman, SE.

Auditor internal Parisada

7

Shantika

Umat

8

Ni Kadek Suparti

Umat

Sumber: Data diolah, 2018

Peneliti mengumpulkan data dengan ikut berinteraksi pada komunitas tersebut dalam berbagai aktifitas pura pada waktu tertentu, melalui teknik indepth interview, observasi dan studi dokumentasi. Kehadiran peneliti dalam komunitas yang diteliti tidak mengalami kesulitan dalam membina komunikasi dengan komunitas khususnya dengan para informan. Hal ini disadari saat survei dan pengamatan. Peneliti menyimpulkan bahwa komunitas ini adalah komunitas yang sangat terbuka terhadap kehadiran orang lain, sehingga penelitian dilakukan dengan wawancara secara bebas dan waktu yang fleksibel agar dapat memperoleh pemaknaan secara komprehensif dan aktual. Peneliti menjalin komunikasi secara aktif di mana aktivitas informan tetap berjalan sebagaimana mestinya sehingga informan tidak merasa dirinya sedang diinterogasi secara formal.

Analisis data dilakukan dengan metode Miles dan Huberman (Sugiyono, 2009:92-99) yaitu: reduksi data (data reduction) yakni melakukan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan dengan melakukan wawancara terhadap informan. Proses reduksi dilakukan pemilihan tentang bagian mana yang dikode, mana yang dibuang, pola-pola mana yang meringkas sejumlah bagian yang tersebar, dan cerita-cerita apa yang sedang berkembang.

Penyajian data (data display) dilakukan dengan mengumpulkan informasi yang tersusun, sehingga memberikan kemungkinan adanya pengambilan tindakan dan penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan (verification) yaitu membuat kesimpulan dari data yang telah dianalisis untuk

menjawab pertanyaan penelitian. Hasil yang akan diperoleh selanjutnya dianalisis secara mendalam untuk mengungkap makna akuntabilitas pura.

Uji keabsahan data dalam penelitian ini ditekankan pada uji kredibilitas.Uji kredibilitas pada dasarnya merupakan pengganti konsep validitas internal dari penelitian nonkualitatif. Salah satu caranya adalah dengan proses triangulasi data, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2009). Triangulasi data adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Sukmadinata, 2006). Triangulasi data yang penulis gunakan adalah triangulasi teknik data. Triangulasi teknik dataini digunakan untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penanggungjawab pengelolaan keuangan pura terhadap dana-dana punia dimandatkan kepada para pengurus banjar yang terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, bendahara, wakil bendahara, dan seksi-seksi. Para pengurus ini dipilih setiap 3 (tiga) tahun sekali pada rapat banjar atau Loka Sabha yang dihadiri oleh umat. Pemilihan dilakukan secara demokratis, musyawarah dan mufakat. Secara khusus bendahara banjar sebagai penanggungjawab keuangan pura mempunyai tugas

menyajikan, menyusun laporan keuangan pura dengan rincian tugas sebagai berikut: 1) Melaksanakan administrasi keuangan banjar berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi (formal) yang berlaku seperti di usaha profit, 2) Membuat laporan keuangan secara tertulis setiap catur wulan, tahunan dan laporan pertanggung jawaban pada akhir masa bakti kepengurusan, 3) Mengelola keuangan banjar baik yang bersumber dari iuran warga, sesari, donatur ataupun sumbangan dari pihak lain yang tidak mengikat lainnya dengan cara menyimpan seluruh keuangan banjar dibank, 4) Melayani kebutuhan keuangan dalam setiap kegiatan suka-duka atas petunjuk dan persetujuan ketua banjar kecuali didelegasikan kepada pengurus lainnya, 5) Mendelegasikan tugas dan tanggung jawab kepada wakil bendahara apabila berhalangan, 6) Mewakili ketua banjar dalam setiap kegiatan apabila diberikan delegasi tugas oleh ketua banjar, 7) Membayar seluruh biaya-biaya oprasional dilingkungan Pura Giri Nata Makassar seperti biaya listrik, telpon, serta pembayaran lain yang dianggap perlu, 8) Mengadakan koordinasi dan kerjasama dengan semua pengurus banjar yang lainnya termasuk pengurus kelembagaan umat dikota Makassar, 9) Mengadakan koordinasi dan kerjasama yang baik dengan seluruh warga banjar.

Di samping itu, demi menciptakan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan pura maka dibentuk tim pengawas audit internal yang berjumlah tiga orang dari Parisada Hindu Dharma. Tugas dari tim ini adalah melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas pengelolaan perbendaharaan dan asset tetap atau inventaris pura sehingga mereka dituntut berperan aktif dalam memberikan jaminan bahwa pengendalian intern dan tata kelola keuangan pura sudah dilaksanakan secara efektif dan efisien serta menjamin kemanan harta milik pura.

Berdasarkan hasil penelitian lapangan, ditemukan tiga pemaknaan akuntabilitas berbasis Karma oleh umat Hindu Banjar Hindu Dharma di Pura Giri Natha Makassar. Ketiga pemaknaan akuntabilitas tersebut adalah 1) Akuntabilitas dengan prinsip keikhlasan dan kepercayaan kepada Sang Pencipta dalam pengelolaan keuangan pura meskipun tanpa dokumen sumber, 2) Akuntabilitas bukan hanya melalui pertanggungjawaban modern dan teknologi, tetapi cukup dengan pembukuan sederhana, 3) Akuntabilitas melalui perbuatan atau Karma dengan dasar prinsip Moksartam Jagad Dita yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Secara lengkap pembahasan hasil deskripsi dan pemaknaan akuntabilitas berbasis karma adalah Pertama yaitu akuntabilitas tidak semata-mata harus disertai kelengkapan dokumen sumber, namun dengan

prinsip keikhlasan dan kepercayaan kepada Sang Pencipta dalam pengelolaan keuangan pura. Di Pura Giri Natha Makassar, umat Hindu yang melakukan persembahyangan biasanya akan memberikan banten dan sesari. Banten adalah wadah yang berisi kue, buah, sayuran, bunga, dan lain-lain yang mempunyai makna bahwa, manusia patut mengucap syukur kepada Sang Pencipta atas apa yang telah diterima selama ini dan meminta berkat lagi agar apa yang dimiliki akan diberkati selamanya. Sedangkan, sesari adalah uang yang diserahkan, biasanya diletakkan pada susunan teratas dari banten, yang jumlahnya sesuai dengan keikhlasan yang diberikan.

Banten dan sesari sebagai sarana pengucapan bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sekaligus juga merupakan sumber terkumpulnya dana umat yang kemudian menjadi dana Punia. Di samping sumber dana lainnya, banten dan sesari tidak bisa diukur dengan nilai “materialitas’ seperti dalam akuntansi. Oleh karena banten dan sesari adalah simbol “syukur”, gambaran dari umat yang selalu mengingat semua kebaikan Sang Hyang Widhi dalam kehidupannya setiap hari. Banten dan sesari juga bermakna bahwa manusia tidak boleh berhenti berharap kepada Tuhan, agar seluruh usaha yang telah dikerjakan selalu berhasil.

Berikut beberapa kutipan pemaknaan dari informan. Menurut Nyoman Sudiarta ungkapan makna sesari adalah:

“Sebagai ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta, kita perlu memberi nilai. Sedangkan ukuran nilai (dalam dunia modern) biasanya uang, supaya ada nilainya. Makna dari pemberian sesari adalah agar sari kehidupan selalu ada dalam kehidupan kita.”

Sesari dari setiap umat ini nantinya akan dikumpulkan oleh pengurus. Pengurus akan memasukkan sesari yang telah terkumpul ke dalam kotak yang telah disediakan. Jika dianggap bahwa semua sesari telah terkumpul, maka selanjutnya akan dihitung bersama-sama. Mengumpulkan sesari melalui pengurus pada satu kotak dan kemudian dihitung bersama-sama jika dimaknai melalui konsep pengendalian dalam akuntansi telah memenuhi konsep tersebut. Seperti diketahui bahwa, dalam konsep pengendalian akuntansi maka bagian pencatatan, peneriman dan pengeluaran tidak boleh dilakukan oleh orang yang sama. Sedangkan menurut APDC (1995:17) akuntabilitas dapat dilakukan melalui mekanisme administrasi kebijakan keuangan dan legal (judisial) atau hukum. Setiap umat yang memberikan dana punia melalui sesari pada setiap saat persembahyangan senantiasa dilandasi dengan

sikap keikhlasan kepada Sang Pemilik alam semesta Sang Hyang Widhi Wasa, merupakan ungkapan syukur atas karunia kehidupan yang telah diberikan dan keyakinan bahwa dana diberikan untuk kebaikan.

Cara akuntabilitas lainnya yang dilakukan terhadap dana umat adalah, ketika pengurus atau bendahara mengumumkan laporan keuangan pura setelah acara persembahyangan. Proses akuntabilitas sederhana ini tidak menjadikan umat menaruh curiga kepada pengurus. Hal ini ditandai denganumat tidak pernah mempertanyakan dokumen-dokumen sebagai bukti dari setiap sumber penerimaan dan jumlahnya. Demikian juga ketika pertanggungjawaban atas setiap pengeluaran yang dilakukan atas dari setiap dana untuk sebuah acara atau kegiatan. Sebagaimana diungkapkan oleh Dewa Mahendra:

“Tidak pernah ada umat yang menanyakan, uang saya di mana, dipakai untuk apa, kuitansinya mana?. Karena memberikan punia dengan keikhlasan. Dia serahkan uangnya, dan dia tidak mau tahu lagi. Mereka percaya ada Tuhan yang mengadili. Demikian juga dengan pengurus. Semua pengurus tidak mendapat uang jasa/honor atas pekerjaan pura, karena percaya pada “Karma”. semua yang dilakukan adalah ngayah (pelayanan). Tuhan yang akan membalas, bukan manusia”.

Pernyataan Dewa Mahendra didukung oleh iforman lainnya, yaitu Nyoman Sudiarta dengan mengatakan:

“Orang memberikan dengan sukarela. Tidak khawatir karena pertama, percaya ‘Karma’, dan karena ada kontrol dari pihak parisada dan umat, barulah terjadi transparansi. Dengan demikian sumbangsih umat dalam pemberian punia semakin besar karena ada kepercayaan”.

Meskipun informan percaya kepada pengurus dan meyakini akuntabilitas tanggung jawab sebagai sebuah Karma, namun informan juga memandang bahwa tetap diperlukan sebuah pengawasan, meskipun tidak perlu seperti ketika pengawasan itu dilakukan dalam sebuah organisasi berorientasi profit. Tentang perlunya akuntabilitas secara formal melalui pelaporan tetap dilakukan melalui pertanggung jawaban Nyoman Sudiarta menjelaskan:

“Sebenarnya umat tidak mempertanyakan, tetapi namanya manusia tetap memiliki nafsu. Walaupun ada hukum Karma, pengurus juga harus dikontrol dalam pengelolaan keuangan dalam bentuk laporan keuangan yang menguraikan pos-pos penerimaan dan

pengeluaran semua kegiatan operasional pura”.

Oleh sebab itu pihak pengurus pura tetap menyajikan laporan keuangan sebagai bentuk akutabilitas dan transparansi. Ini sejalan dengan pernyataan Ni Kadek Suparti:

“Ada pelaporan uang digunakan untuk apa, pelaporan operasional banjar. Saat pelaksanaan acara besar dibicarakan bersama-sama. Ada waktu khusus, tiap ibadah. Wajib dilaporkan setiap rapat banjar setiap empat bulan sekali. Tiap banjar mengeluarkan kebijakan jika ada persembahyangan di acara-acara besar, bendahara akan mengumumkan di depan umat kondisi keuangan pura saat itu”.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik sebuah makna dari akuntabilitas adalah semua bentuk pertanggungjawaban tidak semata-mata harus disertai dengan kelengkapan dokumen sumber untuk setiap penerimaan dan pengeluaran, namun dengan prinsip keikhlasan dan kepercayaan kepada Pencipta, Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam pengelolaan keuangan pura.

Kedua yaitu akuntabilitas tidak menuntut dipenuhinya akuntansi dengan teknologi dan sistem pertanggungjawaban modern tetapi cukup dengan pembukuan sederhana untuk mencatat penerimaan dan pengeluaran keuangan pura. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa pengurus banjar dipilih setiap tiga tahun sekali, yang selain bertugas sebagai pengurus pura juga merupakan pengelola dana umat. Bendahara sebagai pemegang dan punia bertugas membuat pembukuan yang masih berbentuk pembukuan sederhana. Isi dari akun-akun tersebut hanya menampilkan penerimaan dan pengeluaran dari dana persembahan umat melalui dana punia dari sesari, dan juga dana punia lainnya. Informasi yang bisa diperoleh dari pembukuan ini adalah tanggal transaksi, persembahyangan yang dilakukan, dan sumber punia lainnya di luar dari sesari dan jumlah dana.

Pengelolaan keuangan pura dilakukan dengan prinsip transparansi antara pengurus dan umat. Hal ini ditunjukkan dengan mengumumkan kondisi keuangan pura pada saat tertentu (pelaporan keuangan) oleh bendahara setiap ada persembahyangan hari besar di pura, sangkepan (pertemuan empat bulanan), dan Loka sabha (rapat banjar) sekali dalam 3 tahun. Dana-dana yang digunakan atas persetujuan umat berdasarkan program-program yang dibuat pada waktu pemilihan pengurus banjar (Loka Sabha).

Saat Loka Sabha ditentukan strong point kegiatan yaitu, garis-garis besar haluan pura serta anggaran dan alokasi setiap dana yang diterima, baik dari dana punia umat, maupun sumbangan dari pemerintah dan lembaga. Dana yang terkumpul baik dari dana punia umat, pemerintah, maupun dana dari lembaga dimasukkan dalam penerimaan yang nantinya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran berupa kegiatan-kegiatan pura baik kegiatan pokok atau strong point yang sudah ditentukan pada saat Loka sabha maupun kegiatan yang bersifat insidentil dan dianggap penting yang juga harus dibiayai/diutamakan. Antara lain ada umat sakit, kedukaan, upacara-upacara yang tidak dianggarkan. Jumlahnya berdasarkan kesepakatan banjar pada saat Loka Sabha. Kegiatan yang membutuhkan dana besar seperti dana pembangunan akan dibetuk panitia dan dibiayai dari dana tersebut tanpa perlu melakukan lokasabha lagi.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa organisasi nirlaba hendaknya menyajikan 4 jenis laporan yaitu 1) Laporan posisi keuangan (neraca) pada akhir periode laporan, 2) Laporan aktivitas untuk suatu periode pelaporan, 3) Laporan arus kas untuk suatu periode pelaporan, 4) Catatan atas laporan keuangan. Namun Pura Giri Natha hanya menyajikan laporan arus kas penerimaan, laporan pengeluaran dan ringkasan laporan penerimaan dan pengeluaran setiap catur wulan. Sehingga dalam setahun Bendahara pura menyajikan tiga kali pelaporan keuangan setiap 4 bulan sekali.

Jika dikaitkan dengan standar pada PSAK No 45 tahun 2011, hal ini tentunya tidak sesuai. Namun, para pengurus dan umat tidak mempermasalahkan hal tersebut karena mereka menganggap bahwa dengan pembukuan sederhana sebagaimana tersebut di atas, justru akan memudahkan pengurus dan umat memahami posisi keuangan pura, serta sudah dapat dianggap transparan dan akuntabel. Sebagaimana yang diungkap oleh Made Semadi:

“Pelaporan di pura hanya menyajikan pembukuan sederhana yaitu laporan penerimaan, laporan pengeluaran dan ringkasan laporan penerimaan dan pengeluaran setiap catur wulan. Bagi kami itu sudah cukup dan memudahkan kami dalam pengelolaaan keuangan pura”.

Nyoman Yuliadi juga mengatakan:

“Bendahara membuat pembukuan sederhana untuk pengelolaan keuangan pura. Kami tidak memerlukan sistem pencatatan yang canggih untuk itu walaupun ada juga pengurus yang menjabat sebagai direktur

bank misalnya. Tapi yang sederhana saja dan bisa dilaporkan sewaktu-waktu kepada umat”.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan informan di atas, akuntabilitas diungkapkan dengan makna bahwa tidak perlu sistem pertanggungjawaban modern yang rumit, tetapi dengan pembukuan sederhana saja sudah cukup bagi pengurus dan umat dalam memudahkan kegiatan pelaporan keuangan dan sudah dianggap transparan seperti makna transparan dalam akuntansi. Ketiga adalah prinsip karma menjadi benteng utama akuntabilitas pada Pura Giri Natha dengan kata lain, perilaku aktor dibatasi oleh prinsip Moksartam Jagad Dita yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Telah dijelaskan bahwa Karmaadalah konsep “aksi” atau “perbuatan” dalam siklus samsaradalam agama Hindu. Efek dari pemahaman Karma tersebut akan menimbulkan akuntabilitas yang berbeda dari setiap orang. Dewa Mahendra menyatakan bahwa:

“Di Hindu itu percaya pada Hukum Karma.

Tidak ada namanya kita tidak percaya sama orang. Apalagi di pura, semuanya kita lepaskan saja. Percaya bahwa semua didasarkan pada darma dan kejujuran. Sebenarnya pemeriksaan di pura itu hanya formalitas.Kami lebih takut pada Karma dari pada KPK. Ada namanya Karmaphala: Apa yang kita buat itu yang kita dapatkan. Intinya adalah tranparansi”.

Istilah Karmaphala jika diartikan secara umum adalah sebuah hukum “tabur-tuai”, yaitu apa yang kita tanam itu yang akan kita tuai, atau hukum sebab akibat. Seperti kata Nyoman Yuliadi juga menambahkan penjelasan dari Dewa Mahendra:

“Selama ini jangankan mengambil uang yang bukan haknya, kadang-kadang uangnya sendiri akan di-punia-kan untuk kepentingan umat. Yang kita harapkan bukan imbalan tetapi yang terpenting adalah Ida Sang Hyang Widhi memberikan kesehatan dan keselamatan. Itu saja”.

Karmaphala adalah salah satu dari lima keyakinan (Panca Sradha) dari Agama Hindu agama Dharma. Berakar dari dua kata yaitu Karma dan phala. Karma berarti “perbuatan”, “aksi”, dan phala berarti “buah”, “hasil”. Karmaphala berarti “buah dari perbuatan”, baik yang telah dilakukan maupun yang akan dilakukan. Karmaphala memberi optimisme kepada setiap manusia, bahkan semua makhluk hidup.

Ajaran ini, semua perbuatan akan mendatangkan hasil. Apapun yang kita perbuat, seperti itulah hasil yang akan kita terima,yang menerima adalah yang berbuat, dan efeknya kepada orang lain. Karma dan Phala adalah sebuah hukum kausalitas bahwa setiap perbuatan akan mendatangkan hasil. Dalam konsep Hindu, berbuat itu terdiri atas tiga, yaitu1)perbuatan melalui pikiran, 2)perbuatan melalui perkataan, dan 3)perbuatan melalui tingkah laku. Ketiganya akan mendatangkan hasil bagi yang berbuat.

Kalau seseorang melakukan perbuatan baik, maka hasilnya pasti baik, demikian pula sebaliknya. Karma Phala terbagi atas tiga, yaitu: Sancita Karma Phala (Phala/Hasil yang diterima pada kehidupan sekarang atas perbuatannya di kehidupan sebelumnya), Prarabdha Karma Phala (Karma/Perbuatan yang dilakukan pada kehikupan saat ini, dan Phalanya akan diterima pada kehidupan saat ini juga), dan Kryamana Karma Phala (Karma/Perbuatan yang dilakukan pada kehidupan saat ini, namun Phalanya akan dinikmati pada kehidupan yang akan datang).

Ungkapan Shantika:

“Agama Hindu itu masih menekankan pada budaya kejujuran karena percaya pada Hukum Karma. Kita sebagai umat percaya saja dengan tugas dan tanggungjawab pengurus. Toh setiap saat juga ada laporan keuangannya sebagai bentuk transparansi dan kontrol”.

Sedangkan Nyoman Yuliadi mengungkap:

“Umat kita kalau kita jelaskan pada saat persembahyangan bahwa punia yang kita terima jumlahnya sekian dan uangnya digunakan untuk apa saja dan wujudnya sudah kelihatan, ada trust di situ. Bahwa uang yang disumbangkan tidak sia-sia, melayani umat agar bisa beribadah dengan nyaman. Dulunya tidak ada sarana tertentu, sekarang sudah ada. Kadang-kadang ada orang lupa bawa dupa di pura sudah disediakan. Sehingga mereka akan memberikan uang punia-nya bertambah terus. Jadi ada kesadaran. Tujuan kita mengabdi moksartamjagatdita yaitu mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, bukan kebahagiaan dari segi material”.

Gede Mahendra menambahkan bahwa:

“Hindu percaya reinkarnasi dan Karma. Manusia mengalami reinkarnasi tergantung dari Karma yang dia jalani. Dan kita percaya bahwa manusia tidak hanya hidup tetapi membawa tujuan di alam ini. Setelah ini ada

kehidupan berikutnya tergantung dari Karmanya. Tentu ia punya kewajiban yang harus ia lakukan di dunia ini. Titik kehidupan berikutnya dengan darma yang kita lakukan, sekarang misalnya apa, kita juga pasti punya tujuan karena apa yang kita lakukan sekarang ini akan berakibat kepada kelangsungan kehidupan di alam semesta, baik itu terhadap keluarga, teman-teman kita, orang lain, dan seterusnya, tergantung besar kecilnya kehidupan sosial seseorang. Seorang presiden yang melakukan sesuatu yang besar tentunya akan berakibat pada kehidupan sosial masyarakat ke depannya. Sampai arwah manusia menyatu dengan Sang Hyang Widhi, karena manusia adalah partikel terkecil dari Sang Pencipta. Kita lahir ini adalah penyempurnaan Karma kita sebelumnya dan diberikan kesempatan untuk lahir kembali supaya disempurnakan kehidupan kita dan semakin baik, maka semakin cepat pula kita menyatu dengan Tuhan. Yang belum bisa menyatu diberi kesempatan lagi untuk diperbaiki. Oleh sebab itu kalau seseorang berbuat lebih jelek maka Karmanya akan menurun, akan turun pula derajadnya”.

Berbagai ungkapan di atas mengandung makna bahwa ada batasan untuk tidak melakukan perbuaan yang buruk dalam perilaku seseorang yakni prinsip Karma yang diyakini kebenarannya. Pemeriksaan keuangan pura dilakukan oleh tim audit internal dari Parisada Hindu Dharma Sulawesi Selatan yang dilakukan bukan merupakan bentuk pengingkaran Karma. Melainkan audit yang dilaksanakan setiap tiga kali dalam setahun atas laporan keuangan yang disusun oleh Bendahara adalah sebuah tindakan berjaga-jaga atas sifat manusia yang masih memiliki “nafsu” dan jiwa keserakahan. Seperti berbagai kasus dalam keuangan yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan keuangan dan menimbulkan persoalan besar seperti penggelapan dana.

Kasus-kasus besar korupsi dan kebangkrutan perusahaan dan organisasi sangat berkaitan dengan pengelolaan keuangan. Hal-hal yang menimbulkan masalah keuangan, antara lain catatan-catatan peristiwa keuangan yang tidak jelas, tidak adanya prosedur penerimaan dan pengeluaran uang, tidak ada bukti penerimaan dan pengeluaran yang jelas (kuitansi, nota, perintah bayar, voucher, dan lain-lain), bendahara tidak segara membuat laporan keuangan, bendahara tidak melaporkan dan tidak diminta melaporkan keuangannya secara rutin,

pengurus atau pimpinan tidak pernah memeriksa pekerjaan bendahara, peminta dana tidak membuat atau tidak segera membuat laporan pemanfaatannya.

Mencegah hal tersebut di atas, maka pengurus pura memandang perlu membentuk tim audit. Tim ini terdiri dari tiga orang audit internal, sebagaimana diungkap oleh Dewa Mahendra:

“Dana sudah diikhlaskan untuk kebaikan.

Ada pemeriksa intern oleh Parisada Hindu Dharma Sulawesi Selatan. Majelis yang memeriksa keuangan pura. Pura tidak punya audit tersendiri. Bendahara hanya mencatat dan membuat laporan keuangan. Yang mengawasi adalah tim audit internal dari parisada dan umat itu sendiri.”

Menurut Gede Durahman salah seorang tim auditor internal Parisada Hindu Dharma bahwa penyelewengan pun pernah terjadi sekali dalam pengelolaan Pura Giri Natha beberapa tahun silam. Namun jika dibandingkan dengan organisasi profit dan non profit lainnya, tingkat penyelewengan dana terbilang rendah dan sangat jarang. Namun tidak ada sanksi yang diberikan, karena berlaku sanksi sosial dalam komunitas ini. Pada saat pemeriksaan diadakan koreksi dan revisi pada laporan dilakukan sehingga dapat disesuaikan kembali sehingga kecil kemungkinan terjadi penggelapan, seperti diungkapkan:

“Pernah terjadi penyelewengan dana, tapi sangat jarang terjadi. Biasanya dalam rapat akan dikoresi lalu dibuat penyesuaian dan revisi. Karena ini adalah kesepahaman, diluruskan. Jangan sampai juga dibiarkan, maka kita tolong”.

Pelaporan keuangan dalam pengelolaan keuangan Pura Giri Natha memang belum sesuai dengan PSAK 45 yang mengatur pelaporan keuangan entitas nirlaba agar laporan dapat lebih mudah dipahami, memiliki relevansi, dan memiliki daya banding yang tinggi. Namun hal ini dianggap wajar bagi pengurus dan umat karena organisasi ini memiliki lingkup yang kecil serta sumber daya yang belum memadai. Terlebih karena Pura Giri Natha Makassar sebagai organisasi nirlaba lebih fokus pada pelaksanaan program ketimbang mengurusi administrasi.

Seyogyanya akuntabilitas merupakan bentuk refleksi spiritual antara agama dan pembukuan yang tidak dapat dipisahkan. Kegiatan ini didasari atas filosofi yang menyatakan hubungan antara Sang Pencipta, alam semesta, dan manusia yang merupakan hubungan pribadi dan kemudian dipraktikkan dalam bentuk akuntabilitas yang meliputi aspek spiritual, sosial dan keuangan oleh para umat melalui perilaku mereka setiap hari.

Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas dalam organisasi pura ditentukan oleh keyakinan dan kepercayaan mereka terhadap Karma sehingga mereka tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan umat dan masyarakat dalam mengelola keuangan pura. Dari sinilah akuntabilitas pengelolaan keuangan pura dapat dipertanggungjawabkan.

Temuan ini menunjukkan bahwa akuntansi dan akuntabilitas dibangun dalam bentuk transparansi. Transparansi catatan akuntansi sebagai domain akuntabilitas, mencerminkan refleksi spiritual dan agama pada praktik akuntansi yang berfungsiuntuk membangun akuntabilitas, baik secara individu maupun organisasi terhadap Sang Pencipta. Sedangkan, akuntabilitas pura tercermin melalui beberapa unsur yaitu melalui prinsip Karma, kontrol dari Parisada Hindu Dharma dan umat, penanggung jawab keuangan oleh pengurus banjar, pencatatan dan penyimpanan uang oleh bendahara banjar, tata hubungan antar tempek-tempek di kota Makassar, dan Laporan Keuangan berupa laporan arus kas masuk dan keluar serta ringkasan penerimaan dan pengeluaran yang disajikan setiap catur wulan.

SIMPULAN

Penelitian lapangan mengungkap bahwa makna akuntabilitas pengelolaan keuangan pura adalah Pertama, akuntabilitas tidak semata-mata harus disertai kelengkapan dokumen sumber, namun dengan prinsip keikhlasan dan kepercayaan kepada Sang Pencipta dalam pengelolaan keuangan pura.Kedua, akuntabilitas tidak menuntut dipenuhinya akuntansi dengan teknologi dan sistem pertanggungjawaban modern tetapi cukup dengan pembukuan sederhana untuk mencatat penerimaan dan pengeluaran keuangan pura. Ketiga, prinsip Karma menjadi benteng utama akuntabilitas pada Pura Giri Natha dengan kata lain, perilaku aktor dibatasi oleh prinsip Moksartam Jagad Dita yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Temuan ini menunjukkan bahwa akuntansi dan akuntabilitas dibangun dalam bentuk transparansi kepada umat. Akuntabilitas berbasis Karma mendorong pengelolaan dana umat secara transparan dan bertanggungjawab bukan karena takut kepada manusia. Oleh karenatransparansicatatan akuntansi sebagai domain akuntabilitasjika berbasis Karma menjadi hanya sebagai media bagi pengurus untuk melaporkan apa yang telah mereka kerjakan. Akuntabilitas berbasis Karma berfokus pada tanggung jawab kepada Ida Sang Hyang Widhi Yasa sebagai pemilik dana umat. Akuntabilitas berbasis

Karma mencerminkan refleksi spiritual dan agama pada praktik akuntansi yang berfungsi untuk membangun akuntabilitas, baik secara individu maupun organisasi terhadap Sang Pencipta. Sedangkan akuntabilitas pura tercermin melalui beberapa unsur yaitu melalui prinsip Karma, kontrol dari Parisada Hindu Dharma dan umat, penanggung jawab keuangan oleh pengurus banjar, pencatatan dan penyimpanan uang oleh bendahara banjar, tata hubungan antar tempek-tempek di kota Makassar, dan Laporan Keuangan berupa laporan arus kas masuk dan keluar serta ringkasan penerimaan dan pengeluaran yang disajikan setiap catur wulan.

REFERENSI

APDC, (1995). Accountability – The Endless Prophecy. Syarikat R & S. Malaysia.

Creswell, (2007). Qualitatif Inquiry & Research Design.Second Edition. Sage Publication London, New Delhi.

Darmawan, I. G. S., A.T. Atmadja, & N.T. Herawati. (2015). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi. 3(1).

Ducan, J. B., & D. L. Fisher. (2002). “Does Your Church Have Approriate Internal Control For Cash Receipts?”.National Research Public Accountant. February. 15-19.

Gray, R., Jan B., & C. David. (2006). NGOs, Civil Society and Accountability: Making the People Accountable to Capital Accounting, Auditing, and Accountability Journal 19, 3(1), 319-348.

Huda, Nurul & Sawarjuwono, Tjiptohadi. (2013). Akuntabilitas Pengelolaan Zakat melalui Pendekatan Modifikasi Action Research. Jurnal Akuntansi Multiparadigma (JAMAL), 4(3), 330-507

Ikatan Akuntan Indonesia. (2011). Standar Akuntansi Keuangan No.45. Salemba Empat, Jakarta.

Jacobs, K., & S. Walker. (2000). Accounting and Accountability in The Lona Community. Sixth Interdisciplinary Perspective on Accounting Conference, Manchester.

Krisna, A. (1998). Menyelami Misteri Kehidupan Bhagawadgita Bagi Orang Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 153.

Lehman, G. (1999). Disclosing New World: A Role for Social and Environmental Accounting and

Auditing. Accounting Organizations and Society, 2(3), 217-242.

Lobo, A.P.A. (2007). Konsep Akuntabilitas Dalam Perspektif Kristen. Tesis. Program Pascasarjana, Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya, Malang.

Mardiasmo, (2006).”Perwujudan Transparansi dan Akuntabilitas Publik melalui Akuntansi Sektor Publik: Suatu Sarana Good Governance”. Jurnal Akuntansi Pemerintah. 2(1), 1-17.

Mardiasmo. (2009). Akuntabilitas Sektor Publik. Penerbit: Andi, Yogyakarta.

Moloeng, L. J. (2009). Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung

Mulyana. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Patty, Agustina Christina & Gugus Irianto. (2013). Akuntansi Perpuluhan Gereja. Jurnal Akuntansi Multiparadigma. 4(2).177-187.

Randa, F. (2011). “Rekonstruksi Konsep Akuntansi Organisasi Gereja”, Jurnal Simposium Akuntansi, 14(8).

Republik Indonesia. (2008). Undang-Undang Nomor 14 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Rif’an, Ahmad Rifai. (2012). Hidup Sekali, Berarti, Lalu Mati. Elex Media Koputindo. Jakarta.

Saerang, D. P. E. (2001). Accountability and Accounting in Religious Organization: An Interpretive Ethnographic Study of The Pentacostal Church of Indonesian. Disertasi yang tidak diterbitkan. Program Doktor of Philosophy University of Wollongong, Australia.

Siskawati, Eka, Ferdawati, & Firman Surya. (2016). Bagaimana Masjid dan Masyarakat Saling Memakmurkan? Pemaknaan Akuntabilitas Masjid. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 7(1). 1-115.

Syahrul & M. A. Nizar. (2000). Kamus Akuntansi. Citra Harta Prima. Jakarta.

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Cet. XX. Bandung: Alfabeta.

Sukmadinata. (2006). Metode Penelitian Pendidikan. PT. Remaja Rosda karya, Bandung.

Sutedjo. (2009). Persepsi Stakeholders Terhadap Transparasi dan Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Sekolah. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro.