PERBEDAAN LIKUIDITAS SAHAM SEBELUM DAN SESUDAH REVERSE STOCK SPLIT (STUDI EMPIRIS PADA BURSA EFEK INDONESIA)
on
PERBEDAAN LIKUIDITAS SAHAM
SEBELUM DAN SESUDAH REVERSE STOCK SPLIT (STUDI EMPIRIS PADA BURSA EFEK INDONESIA)
LUSIANA FRANSISKA ANNA PURWANINGSIH
Fakultas Ekonomi
Univeritas Atma Jaya Yogyakarta
ABSTRACT
This research aims to empirically study stock liquidity differences between before and after reverse stock split done by companies listed on Indonesia Stock Exchange. Liquidity is measured by means of Trading Volume Activity (TVA). To test the hypothesis nonparametric test, Wilcoxon test, is used. Nonparametric test is in use for the data that are not normally distributed. The result shows that there is a significant difference between stock liquidity before and after reverse stock split.
Keywords: stock liquidity, reverse stock split, trading volume activity
-
I. PENDAHULUAN
Banyak informasi yang dapat diperoleh investor di pasar modal sehubungan dengan investasinya. Pengumuman dividen, pembelian kembali saham, dan pemecahan saham (stock split) merupakan contoh informasi yang tersedia di pasar modal.
Pemecahan saham (stock split) adalah suatu aktivitas yang
dilakukan oleh para manajer perusahaan dengan melakukan perubahan nilai nominal per lembar saham yang mengakibatkan bertambah atau berkurangnya jumlah saham yang beredar sesuai dengan faktor pemecahan (split factor). Pada dasarnya ada dua jenis pemecahan saham (stock split), yaitu stock split up
(pemecahan naik) dan stock split down/reverse stock split
(pemecahan turun). Stock split up adalah penurunan nilai nominal
per lembar saham yang mengakibatkan bertambahnya jumlah saham yang beredar tanpa terjadi transaksi jual beli yang mengubah besarnya modal. Stock split down/reverse stock split adalah peningkatan nilai nominal per lembar saham sehingga mengurangi jumlah saham beredar dan tanpa mengubah besarnya modal.
Di Indonesia stock split up lebih sering terjadi, sedangkan reverse stock split masih jarang terjadi. Pada umumnya perusahaan melakukan reverse stock split karena perusahaan berkeinginan untuk meningkatkan harga sahamnya menjadi lebih mahal, dengan maksud untuk memberi kesan bonafid (harga sahamnya tidak terkesan murahan). Dengan memiliki harga baru yang lebih menarik bagi investor untuk membelinya, diharapkan volume perdagangan dapat meningkat. Peningkatan volume perdagangan merupakan salah satu indikasi terjadinya peningkatan likuiditas saham.
Tujuan perusahaan untuk meningkatkan likuiditas saham setelah reverse stock split belum tentu tercapai. Hal itu terjadi karena adanya opini bahwa reverse stock split membawa sinyal negatif tentang prospek masa depan perusahaan. Salah satu alasan perusahaan melakukan reverse stock split adalah untuk
menghindari kriteria delisting yang ditetapkan oleh bursa (jika rata-rata closing price di pasar reguler di bawah Rp 50,00 selama tiga bulan berturut-turut, maka akan dikeluarkan dari bursa). Hal itu memperkuat keberadaan sinyal negatif reverse stock split tersebut. Alasan tersebut juga diungkapkan oleh Rasyid, Dirut Bank Danamon, ketika mengumumkan reverse stock split untuk pertama kalinya di Indonesia. Danamon melakukan penggabungan saham agar harga saham perseroan dapat berada pada tingkat di atas Rp 50,00 per saham sehingga tidak termasuk dalam kriteria delisting atau pemindahan pencatatan saham perseroan pada Papan Khusus yang sedang direncanakan oleh BEI (Bisnis Indonesia, 2001).
Jika para investor mempercayai keberadaan sinyal negatif tersebut, maka secara otomatis invesor tidak akan bersedia untuk menanamkan modalnya pada saham yang terkena kebijakan reverse stock split. Hal ini mungkin akan berdampak pada penurunan volume perdagangan yang pada akhirnya menyebabkan penurunan likuiditas saham. Sebaliknya, jika para investor tidak mempercayai keberadaan sinyal negatif tersebut, maka mungkin investor akan tetap memperjual belikan saham tersebut seperti biasa sehingga likuiditas saham tidak mengalami perubahan. Bahkan, dimungkinkan juga terjadi peningkatan likuiditas saham karena reverse stock split dapat memindahkan
harga saham ke range perdagangan yang lebih diinginkan oleh
pasar.
Dari uraian di atas muncul sebuah pertanyaan menarik, yaitu apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara likuiditas saham sebelum dan sesudah peristiwa reverse stock split? Beberapa penelitian telah dilakukan di luar Indonesia untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hasil penelitian-penelitian tersebut ada yang menunjukkan terjadinya peningkatan likuiditas saham, ada pula yang mengalami penurunan likuiditas saham. Dengan demikian, penelitian-penelitian tersebut sama-sama menunjukkan adanya perbedaan likuiditas saham sebelum dan sesudah reverse stock split.
Di Indonesia masih jarang penelitian untuk menguji ada tidaknya perbedaan likuiditas saham sebelum dan sesudah reverse stock split. Hal ini mungkin disebabkan oleh kebijakan reverse stock split baru dikenal di pasar modal Indonesia pada tahun 2001. Selain itu, jumlah perusahaan yang melakukan kebijakan reverse stock split juga masih relatif sedikit. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris ada tidaknya perbedaan likuiditas saham sebelum dan sesudah reverse stock split yang terjadi di Bursa Efek Indonesia.
Keputusan investor untuk memperjual belikan saham-saham yang terkena reverse stock split akan mempengaruhi volume
perdagangan saham yang bersangkutan. Apabila setelah peristiwa reverse stock split terjadi peningkatan volume perdagangan, maka hal itu merupakan indikasi terjadinya peningkatan likuiditas saham. Sebaliknya, jika setelah reverse stock split terjadi penurunan volume perdagangan, hal itu merupakan indikasi terjadinya penurunan likuiditas saham. Pengaruh peristiwa reverse stock split terhadap likuiditas saham inilah yang akan dibuktikan lebih lanjut dalam penelitian ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan signifikan antara likuiditas saham sebelum dan sesudah reverse stock split?
-
II. KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Signaling Theory
Asumsi utama dalam teori sinyal adalah bahwa manajemen mempunyai informasi yang akurat tentang nilai perusahaan yang tidak diketahui oleh investor. Teori sinyal menyatakan bahwa stock split memberikan informasi ke pasar mengenai prospek perusahaan yang akan membaik. Pelaksanaan stock split mengandung biaya tinggi yang harus ditanggung. Dengan demikian, hanya perusahaan yang mempunyai prospek yang
bagus yang dapat menanggung biaya ini, akibatnya pasar bereaksi positif terhadapnya.
Sebaliknya, Jing (2001) mengatakan bahwa reverse stock split memberikan sinyal negatif dan informasi yang diberikan reverse stock split dapat diartikan sebagai informasi negatif. Spudeck dan Moyer (1985) menyatakan bahwa reverse stock split merupakan salah satu sinyal kuat sebagai rasa kurang percaya diri manajemen terhadap harga pada masa depan yang dapat bertambah sebagai hasil dari peningkatan pendapatan. Reverse stock split biasanya dilakukan pada saat harga saham dinilai terlalu rendah oleh pasar sehingga akan mengurangi minat para investor untuk membelinya.
Reverse stock split akan mengakibatkan peningkatan nilai nominal per lembar saham sehingga mengurangi jumlah saham beredar. Dengan kata lain, reverse stock split merupakan penggabungan nilai nominal saham menjadi pecahan yang lebih besar sehingga jumlah saham yang dimiliki oleh pemegang saham akan berkurang, tetapi nominal saham meningkat. Dengan demikian, secara keseluruhan nilai kapitalisasi saham tersebut tidak berubah.
Trading Range Theory
Asumsi utama dalam teori ini adalah bahwa pemecahan saham merupakan upaya untuk mengarahkan harga saham pada
range perdagangan tertentu. Menurut trading range theory, perusahaan melakukan reverse stock split agar harga sahamnya berada pada range perdagangan yang lebih baik. Pada umumnya perusahaan melakukan reverse stock split karena merasa harga sahamnya sangat murah dan jumlah saham yang beredar sudah terlampau banyak. Oleh karena itu, perusahaan berkeinginan untuk meningkatkan harga sahamnya menjadi lebih mahal, dengan maksud untuk memberi kesan bonafid (harga sahamnya tidak berkesan murahan). Dengan memiliki harga baru yang lebih menarik bagi investor untuk membelinya, diharapkan volume perdagangan dapat meningkat. Peningkatan volume perdagangan merupakan salah satu indikasi terjadinya peningkatan likuiditas saham.
Likuiditas Saham
Likuiditas merupakan perkiraan lama waktu yang diperlukan untuk mengubah kekayaan atau modal perusahaan menjadi uang tunai atau kas Kell (1994). Apabila pengertian tersebut diterapkan untuk saham, maka likuiditas saham berarti seberapa cepat saham yang dijual oleh pemegang saham dapat laku di bursa efek. Dengan kata lain, likuiditas saham merupakan kemampuan
saham untuk diperjualbelikan. Semakin likuid saham, maka volume penjualan akan semakin meningkat dan semakin banyak
investor yang memiliki kesempatan untuk membeli saham-saham tersebut.
Review Penelitian Terdahulu dan Pengembangan Hipotesis
Dibandingkan dengan stock split up, penelitian tentang reverse stock split sangatlah sedikit. Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh kebijakan reverse stock split baru dikenal di Pasar Modal Indonesia pada tahun 2001. Selain itu, jumlah perusahaan yang melakukan kebijakan reverse stock split ini masih relatif sedikit. Perusahaan yang melakukan kebijakan reverse stock split untuk pertama kalinya adalah PT BANK DANAMON, TBK yang melakukan reverse stock split dengan faktor pemecahan 20:1 dan memulai perdagangan dengan nominal baru pada 17 Juli 2001.
Sedikitnya jumlah perusahaan yang melakukan kebijakan reverse stock split dibandingkan dengan yang melakukan kebijakan stock split up mungkin disebabkan oleh keberadaan sinyal yang dibawa oleh tiap-tiap kebijakan tersebut. Pengumuman stock split up dianggap sebagai sinyal positif karena manajer perusahaan akan menyampaikan prospek masa depan perusahaan yang baik pada publik yang belum mengetahuinya. Alasan sinyal ini didukung dengan kenyataan bahwa perusahaan
yang melakukan stock split mempunyai kinerja yang baik (Jogiyanto, 2000). Berbeda dengan stock split up, reverse stock split
mungkin saja dapat memberikan sinyal negatif. Menurut Han (1995) reverse stock split merupakan sinyal lain dari rasa pesimis manajemen terhadap laba yang diperoleh dari harga saham tersebut. Jika manajemen optimis, maka manajemen tidak akan melakukan hal tersebut karena pengumuman reverse stock split mungkin diartikan sebagai informasi negatif. Hal senada juga diungkapkan Jing (2001) bahwa reverse stock split memberikan sinyal negatif dan informasi yang diberikan reverse stock split dapat diartikan sebagai informasi negatif. Sinyal negatif yang dibawa reverse stock split juga didukung oleh Spudeck dan Moyer (1985) yang menyatakan bahwa reverse stock split merupakan salah satu sinyal kuat sebagai rasa kurang percaya diri manajemen terhadap harga pada masa depan yang dapat bertambah sebagai hasil dari peningkatan pendapatan. Veafas (2001) menyatakan bahwa reverse stock split tidak bertujuan untuk memberi sinyal tentang nilai perusahaan, tetapi secara potensial menggerakkan harga saham ke range perdagangan yang lebih menarik. Munculnya sinyal negatif dari reverse stock split mungkin tidak disengaja dan hanya merupakan produk sampingan dari tujuan yang sesungguhnya.
Hal yang berlawanan diungkapkan oleh Bacon, Salandro, dan
Shin (1993) yang mengungkapkan bahwa mayoritas manajer tidak
merasa bahwa reverse stock split merupakan ”bad news” bagi pasar. Faktanya tidak banyak manajer yang setuju dengan opini bahwa reverse stock split mengirimkan sinyal negatif. Sebagian besar manajer percaya bahwa reverse stock split memindahkan harga saham ke rentang perdagangan yang lebih menarik di mata investor. Dengan meningkatkan harga saham terlebih dahulu melalui reverse stock split, maka manajer memberi kesan bahwa perusahaan dapat meningkatkan penjualan saham dan meningkatkan kepemilikan. Walaupun demikian, hasil penelitiannya menunjukkan adanya reaksi positif dari stock split up terhadap harga saham dan kebalikannya terdapat reaksi negatif dari reverse stock split terhadap harga saham. Penelitian Woolridge dan Chambers (1983) juga mendukung bahwa harga saham mengalami penurunan yang signifikan setelah peristiwa reverse stock split.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Jing (2001), Desai dan Jain (1997), Peterson dan Peterson (1992), Woolridge dan Chambers (1983), Radcliffe dan Gillespie (1979) menunjukan bahwa reverse stock split identik dengan negatif abnormal return. Penelitian Vafeas (2001) mendokumentasikan bahwa perusahaan yang melakukan reverse stock split melaporkan earning yang
signifikan lebih rendah pada tahun-tahun sebelum reverse stock split dibandingkan dengan perusahaan yang tidak melakukan
kebijakan reverse stock split. Hal ini memperkuat reaksi negatif terhadap kebijakan reverse stock split.
Opini-opini negatif yang ditimbulkan oleh reverse stock split menyebabkan munculnya reaksi untuk menjual saham-saham yang terkena kebijakan reverse stock split. Woolridge dan Chambers (1983) menyarankan kepada investor untuk menjual saham mereka apabila terjadi reverse stock split. Hal senada juga diungkapkan oleh Sanusi, Sekjen MISSI, yang menyatakan bahwa ”Stock split akan memberikan madu pada investor, sebalikanya reverse ibarat menuangkan racun pada investor.” Oleh karena itu, ia merekomendasikan buy untuk saham-saham yang akan displit dan sell untuk mereka yang akan melakukan reverse stock split (Republika, 2006).
Penurunan likuiditas juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Dravid (1987) yang menunjukkan return yang diperoleh pada saat reverse stock split tidak stabil. Dengan membandingkan hasil pada saat terjadi reverse stock split ada penurunan permanen terhadap likuiditas saham yang mengikuti split, yaitu penurunan volume perdagangan dan kenaikan pada bid-ask spread yang signifikan.
Hasil yang kontaradiktif dipaparkan oleh Han (1995) yang meneliti mengapa manajer menggunakan reverse stock split walaupun manajer mengetahui bahwa hal ini dapat mengakibatkan adanya anggapan negatif dari para pemegang saham karena reverse stock split dapat meningkatkan likuiditas saham. Dengan meningkatkan harga saham maka akan membantu mengubah persepsi pasar terhadap suatu saham ”penny stock”. Peningkatan persepsi pasar seharusnya membuat saham lebih mudah diterima oleh investor. Sebagai tambahan, reverse stock split mengubah harga saham ke rentang perdagangan yang diinginkan pasar sehingga dapat meningkatkan markertability saham. Hasil penelitian Han menyebutkan bahwa reverse stock split menyebabkan terjadinya peningkatan likuiditas saham di mana terjadi penurunan signifikan dari bid-ask spread, peningkatan volume penjualan yang signifikan dan penurunan yang signifikan terhadap hari tidak terjadinya perdagangan (nontrading days). Jing (2003) juga menyatakan bahwa volume perdagangan bertambah setelah reverse stock split, begitu juga dengan likuiditasnya. Oleh karena itu, hipotesis yang diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
Ha : Ada perbedaan signifikan antara likuiditas saham sebelum dan sesudah reverse stock split.
-
III. METODE PENELITIAN
Batasan Penelitian
Agar penelitian ini dapat lebih terfokus pada pokok permasalahan, maka diperlukan batasan masalah sebagai berikut.
-
1. Periode jendela dalam penelitian ini adalah sebelas hari, yaitu lima hari sebelum dan lima hari sesudah reverse stock split. Periode ini digunakan mengingat informasi reverse stock split ini merupakan informasi yang mudah dicerna sehingga hanya memerlukan periode jendela yang singkat. Periode ini juga merupakan periode yang umum digunakan. Selain itu, ada kebiasaan di bursa di mana terjadi lonjakan volume transaksi pada 3--5 hari di seputar event (Budiarto&Baridwan, 1999). Penentuan windows period ini juga didasarkan pada penelitian Han (1995) yang dijadikan jurnal pendukung utama.
-
2. Event date ditetapkan pada saat tanggal pencatatan, saat saham-saham yang dipecah baru dapat diperdagangkan secara riil (Ewijaya, 1999).
-
3. Likuiditas saham dalam penelitian ini adalah ukuran jumlah transaksi suatu saham tertentu dengan volume perdagangan saham di pasar modal dalam periode tertentu. Likuiditas dikatakan meningkat apabila kenaikan jumlah transaksi lebih
besar secara proporsional dibandingkan dengan kenaikan jumlah lembar saham beredar.
Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
-
a. Nama perusahaan yang melakukan reverse stock split pada tahun 2001 sampai dengan 2007.
-
b. Tanggal dilakukannya reverse stock split (record date) oleh perusahaan-perusahaan yang dijadikan sampel penelitian.
-
c. Volume perdagangan harian selama periode jendela (lima hari sebelum, satu hari pada saat, dan lima hari sesudah reverse stock split).
-
d. Jumlah saham beredar perusahaan-perusahaan yang dijadikan sampel.
Sumber Data
Data diperoleh dari Pusat Data Pasar Modal Universitas Gadjah Mada, Galeri Efek dan Kontrak Berjangka Universita Atma Jaya Yogyakarta, JSX Statistik tahun 2001--2007, Indonesian Capital Market Directory (ICMD), dan www.jsx.co.id
Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah perusahaan yang listing di BEI dari tahun 2001 sampai dengan 2007. Sampel diambil dari populasi dengan menggunakan metode purposive sampling. Kriteria yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut.
-
a. Melakukan reverse stock split antara tahun 2001 sampai dengan 2007.
-
b. Tidak mempublikasikan informasi lain selama masa pengamatan (periode jendela) seperti right issue, saham bonus, dan dividen saham.
-
c. Tidak merupakan saham tidur (minimal 75 kali perdagangan saham selama 3 bulan berturut-turut).
-
d. Data yang dibutuhkan tersedia dengan lengkap.
Setelah dilakukan seleksi dengan menggunakan purposive sampling, ternyata ada dua perusahaan yang tidak dapat dimasukkan dalam daftar sampel. Kedua perusahaan tersebut adalah Pembangunan Graha Lestari Indah Tbk (PGLI) karena tidak tersedia data transaksi perdagangan harian dan Karka Yasa Profilia Tbk (KARK) karena tidak tersedia data tanggal dilakukannya reverse stock split.
Variabel dan Alat Uji Hipotesis
Likuiditas saham dalam penelitian ini adalah ukuran jumlah transaksi suatu saham tertentu dibandingkan dengan jumlah lembar saham beredar di pasar modal pada periode tertentu. Likuiditas saham dikatakan meningkat apabila kenaikan jumlah saham yang diperdagangkan lebih besar secara proporsional dibandingkan dengan jumlah saham yang beredar. Indikator likuiditas saham dalam penelitian ini adalah volume perdagangan saham perusahaan yang melakukan reverse stock split di BEI pada tahun 2001--2007. Pengukuran volume perdagangan saham ini dengan menggunakan Trading Volume Activity (TVA). Jika TVA semakin meningkat, maka saham perusahaan tersebut semakin likuid.
TVA i.t = saham perusahaan i yang diperdagangkan pada waktu t saham perusahaan i yang beredar pada waktu t
Setelah dilakukan perhitungan terhadap TVA tiap-tiap perusahaan pada periode jendela reverse stock split, kemudian dihitung rata-rata TVA sebelum dan sesudah reverse stock split terjadi. Untuk menghitung rata-rata TVA digunakan rumus:
TVA sebelum/sesudah = ∑ TVAsebelum/sesudah
5hari
Selanjutnya, rata-rata volume perdagangan dihitung dengan rumus:
TVA sebelum/sesudah = ∑ TVsebelum/sesudah
5hari
Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan likuiditas saham
sebelum dan sesudah reverse stock split perlu dilakukan suatu pengujian statistik. Pengujian statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji beda dua rata-rata, yaitu Uji t (Paired Sample T Test) atau menggunakan Uji Wilcoxon (Wilcoxon Match Pair Test). Uji t digunakan jika data penelitian berdistribusi normal. Sebaliknya, jika data penelitian tidak berdistribusi secara normal, maka dilakukan Uji Wilcoxon. Sebelum dilakukan pengujian hipotesis, dilakukan uji normalitas.
-
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Setelah dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan SPSS 13.0 for windows, dihasilkan statistik deskriptif seperti ditampilkan dalam Tabel 2. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa sampel yang digunakan sebesar 23 perusahaan. Nilai rata-rata Trading Volume Activity (TVA) sebelum reverse stock split sebesar 0.002690, sedangkan nilai rata-rata TVA sesudah reverse stock split sebesar 0.014367. Hal tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai rata-rata TVA antara sebelum dengan sesudah peristiwa reverse stock split.
Uji Normalitas
Sebelum melakukan uji hipotesis, perlu dilakukan uji normalitas untuk mengetahui alat uji statistika yang paling tepat digunakan. Apabila data berdistribusi normal, maka alat uji statistika yang tepat digunakan adalah statistika parametrik. Sebaliknya, apabila data berdistribusi tidak normal, maka alat uji statistika yang tepat digunakan adalah statistika nonparametrik.
Metode yang digunakan untuk melakukan uji normalitas adalah Uji One Sample Kolmogorov Smirnov. Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut.
-
- Jika Nilai P-Value ≥ 5% → distribusi data normal
-
- Jika Nilai P-Value < 5% → distribusi data tidak normal
Hasil pengujian normalitas dengan Kolmogorov Smirnov dapat dilihat pada tabel 3. Dari tabel 3 dapat dilihat p value sebesar 0.002 dan 0.007 < 5%, berarti distribusi data tidak normal sehingga alat uji statistika yang tepat adalah statistika nonparametrik, yaitu Uji Wilcoxon.
Pembahasan
Berdasarkan hasil pada Tabel 4, P value yang diperoleh pada pengujian hipotesis sebesar 0,012 < 0,05. Artinya, terdapat
perbedaan likuiditas saham yang signifikan antara sebelum dan sesudah reverse stock split.
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa pengujian didasarkan pada negative rank (sesudah-sebelum). Hal itu berarti bahwa volume perdagangan sesudah reverse stock split lebih kecil daripada volume perdagangan sebelum reverse stock split. Dengan demikian, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa likuiditas saham setelah reverse stock split mengalami penurunan. Ini berarti bahwa sinyal negatif yang dibawa oleh reverse stock split terbukti keberadaannya. Para investor memandang bahwa reverse stock split yang dilakukan perusahaan menunjukkan adanya sinyal negatif.
Penurunan likuiditas saham ini sesuai dengan signalling theory dan penelitian yang dilakukan oleh Jing (2001) dan Spudeck dan Moyer (1985). Jing (2001) mengatakan bahwa reverse stock split memberikan sinyal negatif dan informasi yang diberikan reverse stock split dapat diartikan sebagai informasi negatif. Selanjutnya, Spudeck dan Moyer (1985) menyatakan bahwa reverse stock split merupakan salah satu sinyal kuat sebagai rasa kurang percaya diri manajemen terhadap harga saham pada masa depan yang dapat bertambah sebagai hasil dari peningkatan pendapatan. Keberadaan sinyal negatif ini juga diperkuat oleh
tujuan beberapa perusahaan itu sendiri dalam melakukan reverse stock split.
Dari beberapa perusahaan yang melakukan reverse stock split di antaranya ada yang mengungkapkan bahwa tujuan melakukan reverse stock split ini adalah untuk menghindari kriteria delisting yang ditetapkan oleh bursa. Hal itu menunjukkan bahwa kinerja keuangan perusahaan tersebut kurang bagus sehingga harga saham perusahaan dinilai terlampau murah oleh pasar. PT Danamon Tbk, yang merupakan perusahaan yang melakukan reverse stock split pertama kali di BEI, menyatakan bahwa perusahaan tersebut melakukan reverse stock split agar harga saham perseroan dapat berada pada tingkat di atas Rp 50,00 per saham sehingga tidak termasuk dalam kriteria delisting atau pemindahan pencatatan saham perseroan pada Papan Khusus yang sedang direncanakan oleh BEI (Bisnis Indonesia, 2001).
-
V. SIMPULAN
Dari pengujian dan pembahasan yang telah dipaparkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan likuiditas saham yang signifikan antara sebelum dan sesudah reverse stock split. Reverse stock split memberikan sinyal negatif sehingga tingkat likuiditas saham sesudah reverse stock split lebih rendah daripada sebelum reverse stock split.
DAFTAR PUSTAKA
Bacon, Frank, Daniel Salandro, and Tai S Shin. 1993. “Management’s View of Reverse Stock Split”. Financial Management, (Spring).
Desai, Hemang, and Jain Prem C. 1997. “Long-Run Common Stock Returns Following Stock Split and Reverse Split”. The Journal of Business, (July).
Dravid, Ajay R. 1987. “A Note on The Behavior of Stock Returns Around Ex-Dates of Stock Distributions”. The Journal of Finance, Vol XLII, No 1, (March).
Ewijaya dan Indriantoro, Nur. 1999. “Analisis Pengaruh Pemecahan Saham terhadap Perubahan Harga Saham”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia , Vol 2, No 1, hal 53--55, (Januari).
Fakhruddin, Sopian M. 2001. Perangkat dan Model Analisis Investasi di Pasar Modal. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Han, Ki C. 1995. “The Effects of Reverse Splits on The Liquidity of The Stock”. Journal of Financial and Quantitative Analysis, (March).
Husnan, Suad. 1998. Dasar-dasar Teori Portofolio. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Jogiyanto. 2003. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi Ketiga. Yogyakarta: BPFE
Li Hua Jing. 2002. “An Event Study of Reverse Stock Split in Hong Kong Market”. SSRN Accounting Journal.
Peterson, David R., and Peterson, Pamela P. 1992. “A Further Understanding of Stock Distributions The Case of Reverse Stock Split”. The Journal of Financial Research, Vol XV, No 3, (Falls).
Radcliffe, Robert C., and Gillespie, William B. 1979. “The Price Impact of Reverse Split”. Financial Analysis Journal, (January-February).
Spudeck, Raymond E., and Moyer, R. Charles. 1985. “Reverse Splits and Shareholder Wealth: The Impact of Commissions”. Financial Management, (Winters).
Sutopo, Evelyn. 2005. Analisis Likuiditas Saham di Seputar Reverse Stock Split. Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Skripsi (tidak dipublikasi).
Vafeas, Nikos. 2004. “Reverse Stock Splits and Earning Performance”. Accounting and Business Research, Vol 31, No 3, pp 191--202.
Woolridge, Randall J., and Chambers, Donald R. 1983. “Reverse Split and Shareholder Wealth”. Financial Management, (Autumn).
http://www.jsx.co.id./corporate_actions pada 15 September 2008.
http://www2.kompas.com/business/bursa/0106/29/2362.htm pada 15 September 2008.
Tabel 1
Jumlah Perusahaan Sampel
Proses |
Jumlah |
Perusahaan yang terdaftar di BEJ yang melakukan reverse stock split dari tahun 2001 sampai dengan 2007 |
25 |
Perusahaan yang datanya tidak lengkap |
(2) |
Total |
23 |
Tabel 2
Hasil Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
N |
Mean |
Std. Deviation |
Minimum |
Maximum | |
SEBELUM |
23 |
.002690 |
.0081316 |
.0000 |
.0388 |
SESUDAH |
23 |
.014367 |
.0303059 |
.0000 |
.1347 |
Tabel 3
Hasil Pengujian Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
SEBELUM |
SESUDAH |
N 23 Normal Parametersa,b Mean .002690 Std. Deviation .0081316 Most Extreme Absolute .382 Differences Positive .382 Negative -.370 Kolmogorov-Smirnov Z 1.831 Asymp. Sig. (2-tailed) .002 |
23 .014367 .0303059 .352 .352 -.318 1.689 .007 |
a. Test distribution is Normal.
-
b. Calculated from data.
Tabel 4
Hasil Pengujian Hipotesis
Test Statistics b
SESUDAH -SEBELUM
Z -2.524a
Asymp. Sig . (2-tailed) .01 2
-
a. Based on negative ranks .
-
b. Wilcoxon Signed Ranks Test
23
Discussion and feedback