INTANGIBLE ASSETS, NILAI PERUSAHAAN, DAN KINERJA KEUANGAN

NI MADE ADI ERAWATI I PUTU SUDANA

Jurusan Akuntansi

Fakultas Ekonomi, Universitas Udayana

ABSTRACT

This paper is intended to discuss the theory of intangible asset and its roles to firm’s value and its financial performance. The main premise to discuss is that intangible asset, along with tangible assets, determine the firm’s value and its performance. If a tree falls in the forest, does it make a sound? That's a classic question for philosophical pondering. How about this one: If an asset is intangible, does it make an impact on the corporate bottom line? Of course it does. But how can this impact be captured, quantified or valued in the financial analysis? Businesses exist to create and render value to its stakeholders. The four aspects in value creating dimension matrix become determinants for the companies’ ability. The main contributor for that ability lies on the specific asset called intangible asset. For that reason, users of firms’ financial statements should have opportunities to search for firms’ information related to its intellectual assets. Lack of objectivity, in determining the value of intangible asset, should not be judged as the excuse not to presenting this important and relevant information to the users.

Keywords: value creation, intangible asset, firm’s value, financial performance.

  • I.    PENDAHULUAN

If a tree falls in the forest, does it make a sound? Sebuah pertanyaan klasik yang sering kali dijadikan bahan renungan bagi pemikiran-pemikiran filosofis. Pertanyaan yang sejalan seharusnya menjadi bahan renungan bagi

para pemikir di bidang akuntansi. If an asset is intangible, does it make an impact on the corporate bottom line? Mengadopsi konklusinya Gillis (2003), pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan “of course it does!”. Akan tetapi,

yang lebih penting untuk dijawab adalah pertanyaan operasional berikut ini:

How can this impact be captured, quantified or valued in the financial analysis?

Sebuah organisasi tidak mungkin menghasilkan value apabila hanya memiliki tangible assets. Value perusahaan ditentukan secara bersama-sama oleh tangible assets dan intangible assets. Neraca, sebagai laporan yang dimandatkan untuk menyajikan nilai perusahaan, dewasa ini didominasi oleh komponen tangible assets. Intangible assets adalah kelompok minoritas dalam neraca. Penyajiannya pun harus mengikuti aturan yang ketat, yaitu measurable dan objektif. Syarat objektivitas ketat yang diadopsi oleh standards setting body memaksa perusahaan hanya menyajikan intangible assets yang merupakan hasil dari transaksi akuisisi.

Pakar-pakar akuntansi yang menganut paham bahwa relevansi harus dikedepankan dalam penentuan value perusahaan terus berupaya mencari solusi untuk permasalahan ini. Pertanyaan mendasar yang selalu diupayakan untuk dijawab adalah how can the impact of intangible assets be captured, quantified or valued in the financial analysis? Artikel ini ditujukan untuk menyajikan diskusi mengenai aspek teoretis dari intangible assets dan kaitannya dengan pengukuran nilai perusahaan dan kinerja keuangannya. Premis utamanya adalah bahwa intangible assets bersama-sama dengan tangible assets merupakan satu kesatuan yang (1) menentukan nilai perusahaan dan (2) mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan.

  • II.    TINJAUAN TEORI

Intangible Assets

The New York Times Dictionary of Money and Investing (Gillis, 2003) mendefinisikan intangible asset sebagai "a legal claim to some future benefit, typically a claim to future cash. Simply put, an intangible asset is an asset that is not physical in nature. Definisi ini sejalan dengan dua syarat utama assets, yaitu (1) sacrifices made dan (2) future economic benefits. Intangible asset juga dikenal dengan intellectual assets, intellectual capital, intellectual property, atau knowledge capital. Contoh-contohnya meliputi copyrights, patents, intellectual property, goodwill, brands, trademarks, ideas, dan relationships. Daftar ini dengan mudah dapat diperluas sehingga mencakup elemen-elemen seperti creativity, innovation, professionalism, dan loyalty.

Intangible assets umumnya memiliki dua karakteristik utama, yaitu (1) ketiadaan eksistensi fisik dan (2) tingkat ketidakpastian yang tinggi terkait dengan manfaat masa depannya. Diskusi-diskusi mendalam yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ketiadaan eksistensi fisik, sebagai karakteristik intangible assets, bukan merupakan kriteria utama. Bank deposits, piutang usaha, dan investasi jangka panjang juga memenuhi kriteria ketiadaan eksistensi fisik, tetapi diperlakukan sebagai tangible assets. Para akuntan umumnya mengedepankan karakteristik yang kedua sebagai kriteria utama intangible assets. Kieso dan Weygant (1989) mengarisbawahi bahwa the major characteristic of an intangible assets is the high degree of uncertainty concerning the future benefits that are to be received from its employment.

Dalam Kieso dan Weygant (1989) dinyatakan bahwa intangible assets

dibedakan berdasarkan empat karakteristik, yaitu (1) identifiability, (2) manner

of acquisition, (3) expected period of benefit, dan (4) separability from an entire enterprise. Paralel dengan perlakuan terhadap tangible assets, intangible assets harus dicatat at cost. Hal ini mengindikasikan bahwa intangible assets dicatat dalam sistem akuntansi apabila didahului oleh adanya transaksi akuisisi. Kieso dan Weygant (1989) menegaskan if intangible assets are acquired for stocks or in exchange for other assets, the cost of the intangible is the fair market value of the consideration given or is the fair market value of the intangible received, whichever is more clearly evident. Atas nama reliability, dengan mengorbankan relevancy, intangible assets yang dikembangkan sendiri oleh perusahaan tidak dilaporkan dalam laporan keuangan. Pada kenyataannya intangible assets yang dikembangkan sendiri oleh perusahaan sering kali merupakan faktor penting penentu value perusahaan.

Goodwill

Salah satu jenis intangible assets yang memperoleh porsi kajian yang cukup besar, mungkin paling besar dibandingkan dengan yang lain, adalah goodwill. Apa itu goodwill? Goodwill merupakan bagian dari aktiva dalam neraca yang mencerminkan kelebihan pembayaran atas aktiva yang dibutuhkan perusahaan dibandingkan dengan nilai pasar. Atau, intangible assets merepresentasikan jumlah yang lebih besar dari nilai buku yang

dibayar oleh suatu perusahaan untuk mengakuisisi perusahaan lain. Secara teoretis, goodwill merupakan nilai sekarang dari kelebihan laba dari suatu perusahaan pada masa yang akan datang (Wikipedia, 2008).

Goodwill dapat timbul dari akuisisi. Goodwill yang timbul akibat akuisisi mencerminkan pembayaran yang dilakukan oleh pengakuisisi untuk mengantisipasi manfaat ekonomi yang akan diperoleh pada masa depan. Manfaat ekonomi tersebut dapat dihasilkan dari sinergi antar assets yang diakuisisi. Manfaat ini juga dapat timbul dari assets yang tidak memenuhi persyaratan untuk diakui dalam laporan keuangan, namun pengakuisisi bersedia membayarnya. Pada saat dibukukannya suatu akuisisi, mungkin goodwill yang diakui tidak merefleksikan manfaat ekonomi pada masa depan bagi pengakuisisi. Hal tersebut dapat terjadi karena sejak dilakukan negosiasi telah terjadi penurunan terhadap ekspektasi future cash flows dari assets yang diakuisisi.

Dalam transaksi akuisisi dapat terjadi negative goodwill. Jika cost of the acquisition lebih rendah daripada interest pengakuisisi atas nilai wajar assets dan kewajiban yang dapat diidentifikasi pada tanggal transaksi, maka nilai wajar non-monetary assets yang diakuisisi harus diturunkan secara proporsional sampai seluruh selisih tersebut tereliminasi. Apabila nilai wajar non-monetary assets sudah diturunkan seluruhnya, namun ternyata masih terdapat sisa selisih yang belum tereliminasi, maka sisa selisih tersebut diakui sebagai negative goodwill dan diperlakukan sebagai deferred income. Secara sistematis jumlah tersebut diamortisasi selama suatu periode yang tidak kurang dari dua puluh tahun.

Dengan berlalunya waktu manfaat goodwill akan berkurang. Hal ini mencerminkan menurunnya kemampuan goodwill untuk memberikan kontribusi pada future income. Oleh karena itu, goodwill diamortisasi dan

dibukukan sebagai beban secara sistematis selama masa manfaatnya. Menurut Prinsip Standar Akuntansi Keuangan (PSAK, 2007), dalam mengamortisasi goodwill digunakan metode garis lurus, kecuali terdapat metode lain yang dianggap lebih tepat pada keadaan tertentu. Periode amortisasi goodwill tidak lebih dari lima tahun. Apabila terdapat dasar yang justifiable, periode amortisasi goodwill dapat lebih panjang, tetapi tidak lebih dari dua puluh tahun.

Mengingat goodwill merupakan manfaat ekonomi dan hasil sinergi, maka sering kali sulit untuk mengestimasi masa manfaatnya. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengestimasi masa manfaat goodwill meliputi:

  • a.    ramalan unsur bisnis atau industri yang bersangkutan;

  • b.    pengaruh keusangan produk, perubahan dalam permintaan, dan faktor ekonomi lainnya;

  • c.    ekspektasi sisa masa kerja para manajer atau kelompok karyawan yang menjalankan usaha penting;

  • d.    antisipasi tindakan para pesaing atau calon pesaing; serta

  • e.    ketentuan hukum, peraturan yang berlaku, atau ketentuan konstraktual yang mempengaruhi masa manfaat goodwill.

Saldo goodwill yang belum diamortisasi harus dievaluasi pada setiap tanggal neraca. Apabila terdapat indikasi bahwa jumlah tersebut sepenuhnya atau sebagian tidak dapat dipulihkan dari ekspektasi manfaat ekonomi pada masa depan, maka bagian langsung dibukukan sebagai beban pada periode

yang bersangkutan. Setiap penurunan nilai goodwill tidak boleh dinaikkan kembali pada periode selanjutnya. Impairment nilai goodwill dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti trend ekonomi yang tidak menguntungkan, perubahan situasi persaingan dan hukum, dan regulasi. Penurunan jumlah arus kas yang dihasilkan dapat dijadikan sebagai deciding indicator untuk menyatakan telah terjadinya impairment nilai goodwill. Dalam keadaan tersebut saldo goodwill segera diturunkan dan diakui sebagai beban.

Value Creating Activities

Eksistensi organisasi bisnis ditentukan oleh kemampuannya mengkreasi dan menyampaikan nilai kepada para stakeholder. Pada era informasi ini, organisasi-organisasi yang terlibat dalam aktivitas penciptaan nilai menghadapi tantangan dari lingkungan yang dinamis. Mereka dipaksa untuk menemukan jalan keluar untuk dapat mempertahankan keunggulan bersaingnya. Pertumbuhan internet dan globalisasi bersama-sama dengan faktor lainnya telah menyebabkan mudahnya informasi dipertukarkan dan tersedia bagi pengambil keputusan. Hal ini mengakibatkan semakin pendeknya periode yang dimiliki oleh sebuah organisasi untuk dapat mempertahankan keunggulan bersaingnya. Untuk dapat mempertahankan dan meningkatkan keunggulan bersaing, organisasi bisnis dituntut untuk memaksimalkan nilai yang disampaikan kepada pelanggan. Dalam

perekonomian dewasa ini the driving force di belakang kompetisi global dapat dirangkum dalam sebuah persamaan (Handfield, 2004):

Value = (Quality + Technology + Service + Cycle Time) / Price

Menurut Hansen and Mowen (1997) customer value is the difference between what a customer receives (customer realization) and what the customer gives up (customer sacrifice). Apa yang diterima oleh konsumen dari pembelian sebuah produk/jasa disebut dengan total product, yaitu the complete range of tangible and intangible benefit that a customer receives from a purchased product. Menggunakan modelnya Handfield, total product meliputi kualitas, teknologi, layanan, dan waktu siklus yang semuanya melekat dalam produk/jasa.

Jika eksistensi organisasi bisnis ditentukan oleh kemampuannya mengkreasi dan menyampaikan nilai kepada stakeholder dan jika kemampuan itu ditentukan oleh kemampuannya mengkreasi value untuk konsumennya, maka nyawa organisasi bisnis adalah value creating activities. Sebuah studi yang dilakukan oleh tim dari Knowledge Board (2004) merangkum bahwa dimensi value creation activities dapat disajikan dalam sebuah matriks 2X2 seperti pada Tabel 1.

Tabel 1 Value Creation Dimension Matrix

Product

People

Internal

Operational excellence

Employee Capability

External

Product/Service leadership

Customer Intimacy

Matriks tersebut menegaskan bahwa value creating activities ditentukan oleh empat dimensi, yaitu customer intimacy dan employee capability dari sudut pandang unsur manusianya dan product/service leadership dan operational excellence dari sudut pandang unsur produk/jasa yang dihasilkan. Untuk dapat memiliki keunggulan kompetitif, maka organisasi bisnis harus baik dan unggul dalam mengelola keempat dimensi tersebut.

  • III.    PEMBAHASAN

Setelah mengkaji sub-sub sebelumnya, pertanyaan yang secara otomatis akan mengemuka adalah bagaimana mengelola keempat dimensi value creating activities sehingga mampu menghasilkan keunggulan kompetitif? Jika dikaji dengan saksama, kemampuan mengelola dan mengkreasi keunggulan pada keempat dimensi tersebut terletak pada unsur intangible asset, yang juga dikenal dengan istilah intellectual asset, intellectual capital, intellectual property atau knowledge capital. Dari sudut pandang value creating activities, asset utama perusahaan adalah knowledge atau intelectual. Tangible assets hanyalah alat bantu bagi manusia dalam merealisaikan knowledge-nya dalam bentuk produk/jasa. Hal ini sejalan dengan pemikiran-pemikiran yang dianut dalam teori manajemen. Sebagai bahan perbandingan, di bawah ini dikutip perspektif yang digunakan oleh Hitt, Black&Porter (2005) dalam menyatakan arti penting faktor manusia dalam organisasi.

“These perspectives represent complimentary point of view about management, but they are not mutually exclusive. The four fundamental perspectives consist of:

  • a.    Perspective one: the organizational context, management occurs in organizations.

  • b.    Perspective two: the human factor, management requires getting things done through people.

  • c.    Perspective three: managing paradoxes, management requires simultaneously mastering multiple and potentially conflicting situations.

  • d.    Perspective four: entrepreneurial mind-set, managers must continuously search for and exploit new opportunities.”

Era informasi telah menggantikan era industrialisasi. Era ini ditandai dengan semakin tingginya perhatian yang diberikan pada knowledge atau intelectual capital. Pertanyaan yang kini menjadi pemikiran para pakar akuntansi adalah kalau asset utama perusahaan adalah knowledge atau intelectual, mengapa neraca sebagai indikator value perusahaan memperlakukan asset ini sebagai anak tiri? Cukupkah alasan reliability dijadikan kedok untuk menganaktirikan asset utama perusahaan? Knowledge Board (2004) memberikan pandangan yang revolusioner terhadap pemikiran ini. Kutipan di bawah ini menjelaskan pandangannya.

“The strongest balance sheet that previously measured physical assets (i.e., land, factories, equipment, cash) is today measuring a new asset, knowledge (i.e., experience, advice, best practices, communication etc.,). This shift in focus from ‘hard’ to ‘soft’ assets has been the central theme of many recent management research studies.”

Banyak peneliti akuntansi yang sepakat bahwa intelectual assets memiliki peranan yang besar dalam menentukan kesuksesan perusahaan. Dengan proposisi ini penelitian-penelitian bertajuk intelectual assets telah menarik minat banyak peneliti. Ko, Lee, & Tsai (2004) mengeksplorasi hubungan antara knowledge intensity dengan firm performance. Mereka menyimpulkan terdapat bukti empiris bahwa perusahaan-perusahaan dengan knowledge valuation parameter yang lebih tinggi memiliki operating income

yang juga lebih tinggi. Bernstein & Nadiri (1983) mengembangkan sebuah

studi yang mereka namakan sebagai dynamic analysis of a firm under-taking research and development (R&D) investment, physical capital accumulation and utilization, along with labor requirement decisions. Kajian empiris yang mereka lakukan menemukan bukti bahwa diperlukan cost dalam jumlah yang signifikan untuk mengembangkan knowledge. Dengan demikian, R&D capital diperlakukan sebagai quasi-fixed factor, bersama-sama dengan traditional physical capital stock. Studi ini menyimpulkan: along the dynamic path as the R&D intensity of physical capital increases, knowledge per worker rises and the utilization rate of physical capital decreases.

Alat ukur terbaik bagi keberadaan knowledge adalah dari output-nya. Cara yang paling pasti dalam menentukan organization’s worth adalah dengan menjualnya. The price reflects whether the company’s worth is greater than its reported financial assets. Hal ini terjadi pada mergers, acquisitions, buyouts dan ketika company’s stock diperdagangkan. Menggunakan proposisi ini, Strassmann (1998) menyimpulkan “the value of a company’s knowledge can be explained as the difference between its reported financial assets and its actual market value, which is the share price multiplied by the number of shares.” Mengikuti simpulan Strassmann, maka nilai knowledge assets yang dimiliki oleh sebuah perusahaan dapat diformulasikan dengan persamaan berikut:

Value of Knowledge Asset = Reported Financial Assets – (Share Price x Number of Share)

Asumsi implisit yang mendasari persamaan tersebut adalah bahwa share price sepenuhnya mencerminkan value perusahaan pada bursa saham yang pelaku-

pelakunya well-informed. Kondisi ini terjadi pada bursa saham yang efisien.

Mengutip market efficiency theory (Van Horne, 1998):

“If the market is efficient, it uses all information available to it in setting a price. Accordingly, the market price of a security represent the market’s consensus estimate of the value of that security.”

Persamaan tersebut secara eksplisit menunjukkan kelemahannya karena hanya dapat digunakan untuk mengukur value of knowledge asset pada perusahaan yang sahamnya diperdagangkan secara aktif dan terbuka. Hal ini merupakan keterbatasan yang harus diakui dan dicarikan solusinya. Akan tetapi, yang penting untuk diingat adalah bahwa setiap perusahaan memiliki kandungan knowledge di dalamnya. Mengutip penekanan yang diberikan oleh Gillis (2003):

“All organizations build on knowledge work as their primary value adding process and, therefore, are exemplary showcases of the challenges of the new economy. Firms always have had knowledge as one of their resources, but its competitive relevance and intensity has dramatically increased over the last decade.”

  • IV.    SIMPULAN

Eksistensi organisasi bisnis ditentukan oleh kemampuannya mengkreasi dan menyampaikan nilai kepada stakeholder. Kemampuan itu ditentukan oleh kemampuannya mengkreasi value untuk konsumennya. Dengan demikian, nyawa organisasi bisnis adalah value creating activities. Kemampuan organisasi bisnis dalam mengelola dan mengkreasi keunggulan pada keempat value creating dimension matrix terletak pada unsur intangible asset, yang juga dikenal dengan istilah intellectual asset, intellectual capital, intellectual

property, atau knowledge capital. Dari sudut pandang value creating activities, asset utama perusahaan adalah knowledge atau intelectual. Tangible assets hanyalah alat bantu bagi manusia dalam merealisasikan knowledge-nya dalam bentuk produk/jasa. Premis utama yang dijadikan acuan adalah bahwa intangible assets bersama-sama dengan tangible assets merupakan satu kesatuan yang (1) menentukan nilai perusahaan dan (2) mempengaruhi kinerja keuangan perusahaan.

Menentukan value dari intangible assets secara objektif memang sulit dilakukan apabila tidak terjadi transaski akuisisi. Namun, kesulitan ini tidak otomatis dapat digunakan sebagai pembenaran bahwa informasi tersebut tidak perlu disajikan. Standard setting bodies bersama-sama para pakar akuntansi harus bekerja keras untuk mencarikan solusi untuk masalah ini karena akuntansi berada pada ranah social science. Pengakuan terhadap human existency merupakan pusat dari kajian-kajian keilmuan pada ranah ini. Bagaimana mungkin faktor human intelectual dapat dikucilkan kalau ternyata faktor ini merupakan jantung dari sebuah organisasi.

DAFTAR PUSTAKA

Beams, Floyd A (Diterjemahkan oleh Amir Abadi Yusuf). 2004. Akuntansi Keuangan Lanjutan di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.

Bernstein, Jeffrey I., and M. Ishaq Nadiri. 1983. “Does Knowledge Intensity Matter? A Dynamic Analysis of Research and Development, Capital Utilization and Labor Requirement”. available on-line at http://papers.ssrn.com.

Gillis, Tamara L. 2003. "Connecting Intangible Assets to The Bottom Line -Foundation Findings". Communication World. June-July 2003. available on-line at http://findarticles.com/p/articles.

Goodwill (Akuntansi). available on-line at http://id.wikipedia.org. Wikipedia Indonesia, 2008.

Handfield, Rob. 2004. “Do Organizations Consider Strategic Cost Management When They Outsource To China?” available on-line at http://scm.ncsu.edu/public.

Hitt, Michael., Stewart Black, and Lyman W. Porter. 2005. Management. 1st Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Ikatan Akuntan Indonesia. 2007. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.

Kieso, Donald E., and Jerry J. Weygandt. 1989. Intermediate Accounting. 6th Edition. New York: John Wiley & Sons.

KM Forum. 2006. “Knowledge Management”. available on-line at http://www.km-forum.org.

Knowledge Board. Louise Druce. Editor. 2004. “Knowledge Management and Strategic Cost Management”. available on-line at http://www.knowledgeboard.com.

Ko, Chenen, Shu-Hua Lee, and Yann-Ching Tsai. 2004. “Knowledge Intensity within Industrial Value Chain and Firm Performance: The Case of the Integrated Circuit Industry in Taiwan”. Social Science Research Network. available on-line at http://papers.ssrn.com.

Newman, Brian. 1991. An Open Discussion of Knowledge Management”. available on-line at http://www.km-forum.org.

Strassmann, Paul A. 1998. “Taking the Measure of Knowledge Assets”. available on-line at http://www.strassmann.com.

Van Horne, James C. 1998. Financial Management and Policy. 11th Edition. Nee Jersey: Prentice-Hall International, Inc.

Wikipedia. 2006. “Knowledge Management”. available on-line at http://en.wikipedia.org.