EFEKTIVITAS DAN KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH OTONOM KABUPATEN/KOTA DI PROPINSI BALI TAHUN 2002 – 2006

A.A.N.B. DWIRANDRA

Jurusan Akuntansi

Fakultas Ekonomi, Universitas Udayana

ABSTRACT

This research aims to assess performance of financial independency and effectiveness of autonomous regencies/city in Province of Bali during the year of 2002 till 2006 as well as the development trend in the future. This study is a variation of previous studies that specifically related to the uniqueness of Bali as a tourist destination. This characteristic differentiates Bali from other areas because it is fragile to the impact of social, politic, safety and international relation issues. The data sourcing from regional budget of each regencies and city in Bali are analyzed using non statistic techniques consisting of financial ratios and trends analysis.

The results show that financial effectiveness of the nine regions in Bali are relatively stable and effective, even some are very effective, meaning that the regions successfully implement the budget. However, the financial independencies are still low for 6 regions, but the remaining 3 are in good level (Badung, Denpasar, and Gianyar). The trend of independency is as follows: Jembrana is the best, followed by Tabanan, Gianyar, and Badung (good), and the rest 5 regions tend to decrease from performance of 2002.

Keywords: financial independency, financial effectiveness, own resources revenue, general allocated fund, regional budget

  • I.    PENDAHULUAN

Reformasi keuangan daerah telah terjadi ditandai dengan diberlakukannya UU No. 22, Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25, Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Berdasarkan perundangan ini, menurut Halim (2001) secara umum pada era ini wewenang Pemerintah Daerah telah terlihat secara nyata melalui definisi Pemda yang hanya meliputi Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya

(tidak termasuk DPRD). Secara khusus telah terjadi enam pergeseran dalam pengelolaan APBD, yakni dalam akuntabilitas (dari akuntabilitas vertikal menjadi horizontal), penyusunan anggaran (dari proses tradisional menjadi proses penyusunan anggaran kinerja), pengendalian dan audit (dari pengendalian dan audit keuangan menjadi pengendalian dan audit keuangan dan kinerja), penggunaan dana APBD (dari tidak adanya konsep 3E menjadi penerapan konsep 3E), penerapan pusat pertanggungjawaban (dari tidak adanya pusat pertanggungjawaban menjadi adanya pusat pertanggungjawaban), dan sistem akuntansi keuangan pemerintah daerah (dari pembukuan menjadi akuntansi).

Tujuan otonomi daerah pada dasarnya diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta masyarakat, serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara nyata, optimal, terpadu, dan dinamis, serta bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan terhadap daerah dan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal atau daerah (Bastian, 2001). Reformasi keuangan daerah ini diharapkan mampu memacu pemerintah daerah otonom melaksanakan otonomi penuh.

Halim (2001) menjelaskan bahwa ciri utama suatu daerah yang mampu melaksanakan otonomi, yaitu (1) kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahannya, dan (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, agar pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi bagian sumber keuangan terbesar sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar.

Kemampuan daerah otonom melaksanakan otonomi keuangan secara penuh dalam periode pendek diragukan, baik sebagai akibat kapabilitas daerah otonom yang tidak dapat berubah begitu cepat maupun sistem keuangan, yaitu pemerintah pusat tidak serta merta mau kehilangan kendali atas pemerintah daerah. Kuncoro (2002) menjelaskan beberapa hal yang dapat menghambat keberhasilan pemerintah daerah melaksanakan otonomi, yaitu (1) dominannya transfer dan pusat, (2) kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD), (3) tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan, (4) kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan, (5) kelemahan dalam pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, Kuncoro (2002) memaparkan data mengenai rasio PAD terhadap APBD (rata-rata 1990 - 1999) di seluruh propinsi dan kabupaten/kota di Indonesia seperti tersurat pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1

Klasifikasi Daerah Berdasarkan Rasio PAD terhadap APBD (Rata-rata 1990—1999)

PAD/APBD (%)

JML PROPINSI

JML

KABUPATEN/KOTA

< 10

3

151

10 — 19,99

4

82

20 — 29,99

11

38

30 — 39,99

6

13

40 — 49,99

2

7

≥ 50

1

1

Total

27

292

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa sebelum dilaksanakan reformasi keuangan daerah hanya satu propinsi dan kabupaten/kota yang memiliki rasio kemandirian lebih dari 50%, yaitu DKI Jakarta (Kuncoro, 2002). Sementara itu, Propinsi Bali pada tahun tersebut rasio kemandirian keuangannya adalah 19,8%.

Salah satu semangat reformasi keuangan daerah adalah dilakukannya pertanggungjawaban keuangan oleh pemerintah daerah dan penilaian kinerja keuangan daerah otonomi agar dapat diketahui sejauh mana pemerintah daerah otonom mampu melaksanakan otonomi khususnya di bidang keuangan. Pertanggungjawaban keuangan kepala daerah kabupaten/kota di Propinsi Bali telah dilakukan sepanjang tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 di hadapan DPRD kabupaten/kota. Namun, pertanggungjawaban tersebut belum dilengkapi dengan informasi tentang bagaimanakah kinerja keuangan dan berbagai dimensi keuangan daerah otonom agar dapat diperoleh peni1aian kinerja keuangan yang lebih komprehensif dalam melaksanakan otonomi keuangan daerah. Dalam kaitan ini sangatlah relevan dilakukan penelitian untuk mengetahui kinerja keuangan daerah otonom kabupaten/kota di Prapinsi Bali.

Dimensi keuangan daerah otonom yang paling krusial yang akan diteliti adalah kemandirian keuangan daerah otonom kabupaten/kota di Propinsi Bali. Dimensi lain yang tidak kalah pentingnya adalah dimensi efektivitas keuangan daerah otonom sebagai indikator keberhasilan daerah dalam merealisasikan PAD yang dianggarkan. Cakupan penelitian yang dilakukan meliputi kemandirian dan efektivitas keuangan daerah tiap-tiap tahun dan kecenderungan/trend dari tahun ke tahun. Kecenderungan/trend kemandirian dan efektivitas keuangan ini perlu dilakukan karena mungkin saja tingkat kemandirian dan efektivitas keuangan kabupaten/kota pada tiap-tiap tahun belum menunjukkan persentase yang menggembirakan, namun memiliki kecenderungan/trend arah perkembangan yang positif. Dengan demikian, dapat dilakukan penilaian kinerja keuangan daerah yang lebih komprehensif.

  • II.    KAJIAN PUSTAKA

Ciri Utama Keberhasilan Pelaksanaan Daerah Otonom

Ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi (Halim, 2001:167) adalah sebagai berikut.

  • 1.    Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan permerintahannya.

  • 2.    Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar pendapatan asli daerah (PAD) dapat menjadi bagian sumber keuangan terbesar. Dengan demikian, peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar.

Rasio Keuangan

Pemerintah daerah sebagai pihak yang diberikan tugas menjalankan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan daerah sebagai dasar penilaian kinerja keuangannya. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja keuangan pemerintah daerah adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan (Halim, 2002:126).

Penggunaan analisis rasio keuangan sebagai alat analisis kinerja keuangan secara luas telah diterapkan pada lembaga perusahaan yang bersifat komersial, sedangkan pada lembaga publik khususnya pemerintah daerah masih sangat terbatas sehingga secara teoretis belum ada kesepakatan yang bulat mengenai nama dan kaidah pengukurannya. Dalam rangka pengelolaan keuangan daerah yang transparan, jujur, demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel, analisis rasio keuangan terhadap pendapatan belanja daerah perlu dilaksanakan meskipun terdapat perbedaan kaidah pengakuntansiannya dengan laporan keuangan yang dimiliki perusahaan swasta (Mardiasmo, 2002:  169). Beberapa rasio

keuangan yang dapat digunakan untuk mengukur akuntabilitas

pemerintah daerah (Halim, 2002:128), yaitu rasio kemandirian keuangan (otonomi fiskal), rasio efektivitas terhadap pendapatan asli daerah, rasio efisiensi keuangan daerah, rasio keserasian, rasio pertumbuhan (analisis shift), rasio proporsi pendapatan dan belanja daerah (analisis share).

Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (Otonomi Fiskal)

Rasio kemandirian keuangan daerah (selanjutnya disebut “Rasio KKD”) menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah, yang dapat diformulasikan (Halim, 2002:128)sebagai berikut.

Pendapatan Asli Daerah

Rasio KKD =                                     x 100%

Bantuan Pemerintah Pusat/Propinsi dan Pinjaman

Berdasarkan formula di atas dapat diketahui bahwa rasio KKD menggambarkan sejauh mana ketergantungan daerah terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio ini berarti tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, demikian pula sebaliknya. Rasio ini juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen dari PAD.

Pola Hubungan Pusat-Daerah

Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Halim (2001:168) mengemukakan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, terutama pelaksanaan

undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu sebagai berikut.

  • 1.    Pola hubungan instruktif, yaitu peranan pemerintah pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah daerah (daerah tidak mampu melaksanakan otonomi daerah secara finansial).

  • 2.    Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang dan lebih banyak pada pemberian konsultasi karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi daerah.

  • 3.    Pola hubungan partisipatif, yaitu pola dimana peranan pemerintah pusat semakin berkurang mengingat tingkat kemandirian daerah otonom bersangkutan mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi. Peran pemberian konsultasi beralih ke peran partisipasi pemerintah pusat.

  • 4.    Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada lagi karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah. Pemerintah pusat siap dan dengan keyakinan penuh mendelegasikan otonomi keuangan kepada pemerintah daerah.

Pola hubungan pemerintah pusat dan daerah serta tingkat kemandirian dan kemampuan keuangan daerah dapat disajikan dalam matriks seperti tampak pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2

Pola Hubungan, Tingkat Kemandirian, dan Kemampuan Keuangan Daerah

Kemampuan Keuangan

Rasio Kemandirian (%)

Pola Hubunggan

Rendah Sekali

0 – 25

Instruktif

Rendah

> 25 – 50

Konsultatif

Sedang

> 50 – 75

Partisipatif

Tinggi

> 75 – 100

Delegatif

Rasio Efektivitas Keuangan Daerah Otonom

Rasio efektivitas keuangan daerah otonom (selanjutnya disebut “Rasio EKD”) menunjukkan kemampuan pemerintahan daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah (PAD) yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2002:128).

Rasio EKD =


Realisasi Penerimaan PAD

x 100%

Target PAD yang ditetapkan

berdasarkan potensi riil daerah

Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 100%. Namun, semakin tinggi rasio efektivitas menggambarkan kemampuan daerah semakin baik. Departemen Dalam Negeri dengan Kepmendagri No.690.900-327, Tahun 1996 mengkategorikan kemampuan efektivitas keuangan daerah otonom ke dalam lima tingkat efektivitas seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3

Efektivitas Keuangan Daerah Otonom

Kemampuan Keuangan

Rasio Kemandirian (%)

Sangat Efektif

>100

Efektif

>90 – 100

Cukup Efektif

>80 – 90

Kurang Efektif

>60 – 80

Tidak Efektif

≤60

Trend Kemandirian dan Efektivitas Keuangan Daerah Otonom

Kecenderungan kemandirian dan efektivitas keuangan daerah otonom penting dinilai untuk mengetahui arah perkembangan kedua

dimensi keuangan ini. Suatu daerah otonom kabupaten/kota pada suatu tahun tertentu barangkali belum dapat memenuhi kemandirian dan efektivitas keuangannya, tetapi dengan melihat trend positif dari kedua dimensi keuangan tersebut diperoleh keyakinan, walaupun lambat ada peluang akan menuju kemandirian dan efektivitas keuangan yang ideal.

Amin (2000) menyatakan bahwa persentase trend digunakan apabila ingin melihat perkembangan suatu perusahaan. Dalam menghitung persentase digunakan salah satu tahun sebagai tahun dasar. Apabila suatu tahun dipilih sebagai tahun dasar, maka data dalam tahun tersebut dinyatakan dengan angka seratus, yang artinya 100% dan data sejenis dalam tahun berikutnya dinyatakan dalam angka persentase dari data tahun dasar. Dari penjelasan ini maka trend kemandirian dan efektivitas keuangan dapat diformulasikan sebagai berikut.

KKD pada t0 + 1

Trend KKD =                       X 100 %

KKD pada t0

EKD pada t0 + 1

Trend EKD =                       X 100 %

EKD pada t0

  • III.    METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif berupa analisis rasio dan analisis trend. Analisis rasio yang diimplementasikan adalah rasio kemandirian dan efektivitas keuangan yang diusulkan Halim (2002). Rasio kemandirian digunakan untuk mengetahui tingkat kemandirian keuangan kabupaten/kota tiap-tiap tahun. Rasio efektivitas digunakan untuk

mengetahui tingkat kemampuan daerah kabupaten/kota merealisasikan target penerimaan PAD.

Analisis trend digunakan untuk mengetahui, baik arah perkembangan kemandirian keuangan maupun efektivitas keuangan daerah. Persamaan untuk trend kemandirian keuangan daerah dan efektivitas keuangan daerah dapat dijelaskan sebagai berikut.

  • (a ) Apabila persentase trend KKD lebih dari 100%, maka telah terjadi perkembangan KKD. Semakin besar persentase trend KKD dari tahun ke tahun maka arah perkembangan kemandirian keuangan kabupaten/kota di Propinsi Bali semakin baik. Sebaliknya, bila persentase kurang dari 100% maka terjadi penurunan kemandirian keuangan kabupaten/kota di Propinsi Bali.

  • (b ) Apabila persentase trend EKD lebih dari 100%, maka telah terjadi perkembangan EKD. Semakin besar persentase trend EKD maka arah perkembangan efektivitas keuangan kabupaten/kota di Propinsi Bali semakin baik. Sebaliknya bila persentase kurang dari 100%, maka terjadi penurunan efektivitas keuangan kabupaten/kota di Propinsi Bali.

Dalam penelitian ini, tahun 2002 merupakan tahun dasar yang akan digunakan sebagai tahun dasar untuk melihat arah perkembangan KKD dan EKD pada tahun berikutnya (tahun 2003 s.d. 2006). Digunakannya tahun 2002 sebagai tahun dasar karena tahun tersebut merupakan masa transisi dilaksanakan UU No.22, Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25, Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah. Dengan demikian, trend yang diperoleh nanti dapat diinterpretasikan sebagai arah perkembangan yang terjadi dengan diimplementasikannya reformasi otonomi dan keuangan daerah

Penelitian ini mencakup sembilan kabupaten/kota di Propinsi Bali. Data akan dihimpun dari tiap-tiap kabupaten/kota sesuai

dengan cakupan wilayah penelitian ini. Alasan pemilihan lokasi kabupaten/kota di Propinsi Bali adalah karena daerah otonom kabupaten/kota di propinsi ini memiliki karakteristik yang berbeda dari daerah otonom lainnya, yaitu sebagai sentral destinasi wisata. Sementara, seperti diketahui bahwa sektor wisata sangat tidak stabil karena sangat rentan dengan situasi politik dan keamanan. Pada akhimya timbul dugaan kemungkinan pemerintah daerahnya gagal mencapai kinerja kemandirian dan efektivitas keuangan seperti yang diamanatkan dalam otonomi daerah melalui reformasi keuangan daerah.

Jenis data penelitian ini adalah data kuantitatif berupa angka-angka perincian realisasi dan target pendapatan asli daerah (PAD), bantuan pemerintah pusat/propinsi, dan pinjaman daerah (jika ada). Data ini diperoleh dari sumber data sekunder berupa laporan pertanggungawaban kepala daerah sembilan kabupaten/kota di Propinsi Bali tahun 2002 sampai dengan tahun 2006. Data keuangan tahun 2007 tidak dimasukkan dalam analisis karena saat proses penelitian, laporan pertanggungjawaban keuangan kepala daerah kabupaten/kota tahun 2007 belum disusun dan/atau disahkan.

Instrumen penelitian yang digunakan adalah tabel tabulasi data dan menghitung rasio keuangan yang terkait dengan realisasi dan target pendapatan asli daerah (PAD) dan perhitungan rasio dan trend kemandirian dan efektivitas keuangan daerah otonom kabupaten/kota di Propinsi Bali. Di samping itu digunakan juga tabel untuk menginformasikan kemampuan keuangan daerah otonom dan pola hubungan pemerintah pusat dan daerah.

Analisis data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut.

  • 1.    Tahap pertama, menghitung rasio keuangan terkait untuk tahun 2002 s.d. 2006.

  • 2.    Tahap kedua, menghitung trend kemandirian dan efektivitas keuangan tahun 2003, 2004, dan 2006 dengan tahun dasar tahun 2002.

  • 3.    Tahap ketiga, menganalisis kemandirian dan efektivitas keuangan tahun 2002 s.d. 2006.

  • IV.    HASIL DAN PEMBAHASAN

Efektivitas Keuangan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Propinsi Bali

Efektivitas keuangan daerah otonom merupakan kemampuan daerah tersebut dalam merealisasikan pendapatan asli daerah (PAD) yang dianggarkan, yang diukur menggunakan rasio efektivitas keuangan daerah (Rasio EKD). Dari perhitungan yang telah dilakukan maka diperoleh hasil Rasio EKD seperti terlihat pada tabel 4 berikut ini.

TABEL 4

Rasio Efektivitas Keuangan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Propinsi Bali

Kabupaten

2002

2003

2004

2005

2006

Tabanan

100,00%

102,34%

100,00%

101,78%

100,00%

Klungkung

100,00%

153,86%

100,00%

119,05%

100,00%

Karangasem

100,00%

112,14%

99,99%

84,01%

100,00%

Jembrana

86,55%

125,29%

192,59%

139,08%

114,80%

Gianyar

118,84%

146,85%

100,00%

82,32%

105,61%

Buleleng

122,40%

201,01%

100,00%

94,44%

100,00%

Bangli

100,00%

104,14%

100,00%

142,13%

100,00%

Badung

92,99%

108,19%

100,00%

194,15%

112,73%

Denpasar

92,89%

112,74%

100,00%

104,14%

90,94%

Berdasarkan tabel 4 di atas dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut.

  • 1.    Rasio EKD terendah tahun 2002 adalah 86,55% (Kab. Jembrana), tahun 2003 adalah 102,34% (Kab.Tabanan), tahun 2004 adalah 99,99% (Kab. Karangasem), tahun 2005 adalah 82,32% (Kab.Gianyar), tahun 2006 adalah 90,94% (Kota Denpasar).

  • 2.    Rasio EKD tertinggi tahun 2002 adalah 122,40% (Kab. Buleleng), tahun 2003 adalah 201,01% (Kab.Buleleng), tahun 2004 adalah 192,59% (Kab. Jembrana), tahun 2005 adalah 194,15% (Kab.Badung), tahun 2006 adalah 112,73% (Kab. Badung).

  • 3.    Rasio EKD di bawah 100% pada tahun 2002 dicapai oleh tiga kabupaten/kota, yaitu Jembrana, Badung, dan Denpasar. Pada tahun 2004 dicapai oleh satu kabupaten, yaitu Karangasem. Pada tahun 2005 oleh tiga kabupaten, yaitu Karangasem, Gianyar, dan Buleleng.

  • 4.    Rasio EKD 100% pada tahun 2002 dicapai oleh empat kabupaten/kota, yaitu: Tabanan, Klungkung, Karangasem, dan Bangli. Pada tahun 2004 dicapai oleh tujuh kabupaten/kota, kecuali Karangasem (99,99%) dan Jembrana (192,59%). Pada tahun 2006 dicapai oleh lima kabupaten/kota, yaitu Tabanan, Klungkung, Karangasem, Buleleng, dan Bangli.

  • 5.    Rasio EKD di atas 100 % pada tahun 2002 dicapai oleh dua kabupaten yaitu: Gianyar (118, 84%) dan Buleleng (122,40%). Pada tahun 2003 dicapai oleh seluruh kabupaten/kota. Pada tahun 2004 dicapai oleh satu kabupaten, yaitu Jembrana (192,59%). Pada tahun 2005 dicapai oleh lima kabupaten/kota. Pada tahun 2006 dicapai oleh tiga kabupaten, yaitu Jembrana (114,80%), Gianyar (105,61%), dan Badung (112,73%).

Dari rasio EKD yang dicapai seperti terlihat pada tabel 4 di atas maka peta pencapaian efektivitas keuangan daerah otonom kabupaten/kota di Propinsi Bali tahun 2002 sampai dengan 2006 dapat disajikan seperti terlihat pada tabel 5 berikut ini.

TABEL 5

Peta Efektivitas Keuangan Daerah Otonom Kabupaten/Kota Di Propinsi Bali

2002

2003

2004

2005

2006

Tabanan

Cukup Efektif

Sangat Efektif

Cukup Efektif

Sangat Efektif

Efektif

Klungkung

Cukup Efektif

Sangat Efektif

Efektif

Sangat Efektif

Sangat Efektif

Karangasem

Sangat Efektif

Sangat Efektif

Cukup Efektif

Cukup Efektif

Efektif

Jembrana

Cukup Efektif

Sangat Efektif

Sangat Efektif

Sangat Efektif

Sangat Efektif

Gianyar

Sangat Efektif

Sangat Efektif

Cukup Efektif

Cukup Efektif

Sangat Efektif

Buleleng

Sangat Efektif

Sangat Efektif

Efektif

Cukup Efektif

Sangat Efektif

Bangli

Cukup Efektif

Sangat Efektif

Sangat Efektif

Sangat Efektif

Sangat Efektif

Badung

Cukup Efektif

Sangat Efektif

Cukup Efektif

Sangat Efektif

Sangat Efektif

Denpasar

Cukup Efektif

Sangat Efektif

Cukup Efektif

Sangat Efektif

Cukup Efektif

Berdasarkan peta pencapaian efektivitas keuangan daerah otonom kabupaten/kota di Propinsi Bali pada tabel 5 di atas dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut.

  • 1.    Efektivitas keuangan berada dalam kategori cukup efektif sampai dengan sangat efektif atau dengan kata lain realisasi PAD berkisar antara lebih dari 50% sampai dengan di atas 100% terhadap PAD yang dianggarkan.

  • 2.    Pada tahun 2006 terdapat enam kabupaten dengan kategori sangat efektif atau realisasi PAD lebih dari 100% anggaran PAD, dua kabupaten kategori efektif atau realisasi PAD 100% anggaran, dan Kota Denpasar masuk kategori cukup efektif dengan realisasi PAD 90,94% anggaran PAD.

  • 3.    Walaupun tidak terdapat kabupaten/kota yang pencapaian efektivitasnya termasuk kategori kurang efektif dan tidak efektif, capaiannya masih fluktuatif. Artinya, satu kabupaten dalam tahun tertentu mencapai kategori sangat efektif, tetapi tahun berikutnya turun ke kategori efektif, demikian juga bisa terjadi kondisi sebaliknya.

Kemandirian Keuangan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Propinsi Bali

Kemandirian keuangan daerah otonom kabupaten/kota di Propinsi Bali adalah kemampuan keuangan daerah otonom tersebut dalam mendanai belanja daerahnya dari kemampuan sendiri, yaitu penghasilan asli daerah atau PAD. Kemandirian keuangan daerah ini dapat diukur dengan menggunakan rasio kemandirian atau rasio KKD. Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan diperoleh besaran rasio KKD seperti tampak pada tabel 6 berikut ini.

TABEL 6

Rasio Kemandirian Keuangan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Propinsi Bali

2002

2003

2004

2005

2006

Tabanan

16,81%

10,63%

11,33%

11,20%

13,09%

Klungkung

8,12%

8,56%

6,80%

7,01%

6,75%

Karangasem

12,74%

11,32%

9,09%

8,25%

7,60%

Jembrana

3,65%

3,80%

6,73%

5,59%

4,77%

Gianyar

31,31%

19,89%

20,67%

15,29%

18,16%

Buleleng

12,87%

14,87%

17,40%

5,58%

5,85%

Bangli

5,91%

4,50%

4,36%

4,51%

4,01%

Badung

130,74%

137,10%

125,38%

50,13%

54,45%

Denpasar

40,12%

34,82%

27,01%

26,01%

25,46%

Peta Kemampuan Keuangan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Propinsi Bali

Kemampuan keuangan daerah otonom dapat dikategorikan menjadi sangat rendah, rendah, sedang, dan tinggi tergantung kepada tingkat kemandirian keuangannya. Dari rasio KKD yang diperoleh seperti terlihat pada tabel 6 di atas maka peta kemampuan keuangan daerah otonom kabupaten/kota di Propinsi Bali dapat dikategorikan sebagai berikut.

TABEL 7

Kemampuan Keuangan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Propinsi Bali

2002

2003

2004

2005

2006

Tabanan

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Klungkung

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Karangasem

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Jembrana

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Gianyar

Rendah

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Buleleng

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Bangli

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Rendah Sekali

Badung

Tinggi

Tinggi

Tinggi

Sedang

Sedang

Denpasar

Rendah

Rendah

Rendah

Rendah

Rendah

Berdasarkan tabel 7 di atas dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut.

  • 1.    Kemampuan keuangan daerah tujuh kabupaten di Bali berada dalam kategori sangat rendah, kecuali Badung dan Denpasar.

  • 2.    Kemampuan keuangan daerah Kabupaten Badung pada tahun 2002, 2003, dan 2004 masuk dalam kategori tinggi atau rasio KKD di atas 75% s.d. 100%, tetapi pada dua tahun berikutnya masuk dalam kategori sedang atau rasio KKD di atas 50% s.d. 75%.

  • 3.    Kemampuan keuangan daerah Kota Denpasar dalam lima tahun, yaitu tahun 2002 s.d. 2006 tetap tidak berubah berada pada kategori rendah atau rasio KKD di atas 25 % s.d. 50%.

Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Propinsi Bali

Berdasarkan tingkat kemandirian keuangan daerah otonom kabupaten/kota di Propinsi Bali seperti hasil rasio KKD pada tabel 6 di atas maka dapat dipetakan pola hubungan pemerintah pusat dan daerah otonom kabupaten/kota di Propinsi Bali seperti terlihat pada tabel 8 berikut ini.

TABEL 8

Pola Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Propinsi Bali

Daerah / Thn

2002

2003

2004

2005

2006

Tabanan

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Klungkung

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Karangasem

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Jembrana

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Gianyar

Konsultatif

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Buleleng

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Bangli

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Instruktif

Badung

Delegatif

Delegatif

Delegatif

Partisipatif

Partisipatif

Denpasar

Konsultatif

Konsultatif

Konsultatif

Konsultatif

Konsultatif

Berdasarkan tabel 8 di atas dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut.

  • 1.    Pola instruktif terjadi pada enam kabupaten pada tahun 2002, sedangkan mulai tahun 2003 sampai dengan tahun 2004, tujuh kabupaten masuk dalam pola instruktif.

  • 2.    Hanya dua kabupaten/kota (Gianyar dan Denpasar) yang masuk pola konsultatif dan satu kabupaten (Badung) masuk dalam pola delegatif pada tahun 2002.

  • 3.    Mulai tahun 2004 sampai dengan tahun 2006 hanya satu kota yang masuk pola konsultatif (kota Denpasar), sedangkan Gianyar turun peringkat masuk pola instruktif. Sementara kabupaten Badung masih tetap masuk pola delegatif.

Trend Efektivitas Keuangan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di

Propinsi Bali

Trend efektivitas keuangan daerah otonom menggambarkan kecenderungan arah perkembangan efektivitas keuangan dari tahun ke tahun berdasarkan tahun dasar. Dari perhitungan rasio EKD pada tabel 4, dengan tahun dasar 2002, maka trend efektivitas keuangan tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 adalah seperti tampak pada tabel 9 berikut ini.

TABEL 9

Trend Efektivitas Keuangan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Propinsi Bali

2003

2004

2005

2006

Tabanan

118,080%

100,0000%

101,7750%

100,0000%

Klungkung

177,529%

100,0001%

119,0467%

100,0002%

Karangasem

129,392%

99,9906%

84,0074%

100,0000%

Jembrana

167,026%

222,5139%

160,6956%

132,6448%

Gianyar

142,585%

84,1498%

69,2747%

88,8708%

Buleleng

189,487%

81,7000%

77,1546%

81,7000%

Bangli

120,161%

100,0002%

142,1319%

100,0001%

Badung

134,246%

107,5427%

208,7921%

121,2368%

Denpasar

140,042%

107,6574%

112,1179%

97,9037%

Berdasarkan tabel 9 di atas dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut.

  • 1.    Beberapa kabupaten pada tahun 2006 memiliki trend efektivitas keuangan statis dengan tahun dasar 2002, seperti: Tabanan, Klungkung, Karangasem, dan Bangli.

  • 2.    Beberapa kabupaten/kota pada tahun 2006 memiliki trend efektivitas keuangan menurun dengan tahun dasar 2002, seperti Gianyar, Buleleng, dan Denpasar.

  • 3.    Terdapat dua kabupaten mengalami trend kenaikan tahun 2006 dalam efektivitas keuangan dengan tahun dasar 2002, yaitu Jembrana dan Badung.

Trend Kemandirian Keuangan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Propinsi Bali

Trend kemandirian keuangan daerah otonom menggambarkan kecenderungan arah perkembangan kemandirian keuangan dari tahun ke tahun berdasarkan tahun dasar. Dari perhitungan rasio KKD pada tabel 6, dengan tahun dasar 2000, maka trend kemandirian keuangan tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 adalah seperti tampak pada tabel 10 berikut ini.

TABEL 10

Trend Kemandirian Keuangan Daerah Otonom Kabupaten/Kota di Propinsi Bali

2003

2004

2005

2006

Tabanan

63,21%

67,42%

66,61%

77,84%

Klungkung

105,35%

83,74%

86,25%

83,04%

Karangasem

88,87%

71,36%

64,77%

59,63%

Jembrana

103,94%

184,24%

153,00%

130,68%

Gianyar

63,54%

66,02%

48,85%

58,00%

Buleleng

115,56%

135,15%

43,39%

45,48%

Bangli

76,18%

73,86%

76,38%

67,83%

Badung

104,87%

95,90%

38,35%

41,65%

Denpasar

86,80%

67,33%

64,82%

63,45%

Berdasarkan tabel 10 di atas dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut.

  • 1.    Kabupaten yang mengalami trend kemandirian yang meningkat dibandingkan dengan tahun dasar 2002 adalah Kabupaten Jembrana.

  • 2.    Dibandingkan dengan tahun dasar 2002, beberapa kabupaten/kota pada tahun 2003 memiliki trend kemandirian yang meningkat, yaitu Klungkung, Jembrana, Buleleng, dan

Badung. Sementara pada tahun 2004, trend kemandirian yang meningkat dialami oleh Jembrana dan Buleleng.

  • V. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya maka dapat disimpulkan efektivitas dan kemandirian keuangan daerah otonom kabupaten/kota di Propinsi Bali tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 adalah sebagai berikut.

  • 1.    Daerah otonom kabupaten/kota di Bali dalam periode tersebut masuk dalam kategori keuangan yang cukup efektif, efektif, dan sangat efektif, serta tidak ada yang kurang dan tidak efektif atau dengan rasio efektivitas keuangan (EKD) berkisar dari 75,01 % sampai dengan di atas 100%.

  • 2.    Daerah otonom kabupaten/kota di Bali dalam periode dua tahun terakhir masuk dalam kategori kemandirian keuangan yang sedang (rasio KKD lebih dari 50% sampai dengan 75%) dan rendah (rasio KKD lebih dari 25% sampai dengan 50%) masing-masing hanya satu kabupaten/kota, sedangkan sisanya (tujuh kabupaten) masuk kategori kemandirian keuangan yang sangat rendah (rasio KKD 1% sampai dengan 25%). Pada dua tahun awal, Kabupaten Badung masuk kategori kemandirian keuangan tinggi (rasio KKD lebih dari 75% sampai dengan 100%), tetapi menurun pada dua tahun terakhir.

  • 3.    Pada tahun 2006, dibandingkan dengan tahun 2002, trend efektivitas keuangan daerah otonom kabupaten/kota di Propinsi Bali semakin baik walaupun masih ada yang di bawah 100%, seperti Kabupaten Gianyar, Buleleng, dan Denpasar.

  • 4.    Trend kemandirian keuangan Jembrana arahnya sangat baik dibandingkan, tiga kabupaten lain, yaitu Tabanan, Gianyar, dan Badung menunjukkan trend baik, sedangkan sisanya lima kabupaten trend kemandiriannya cenderung berkurang dibandingkan dengan tahun 2002.

Saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut.

  • 1.    Pemerintah daerah otonom kabupaten/kota di Propinsi Bali dalam menyusun dan merealisasikan APBD perlu memperhatikan rasio dan trend kemandirian dan efektivitas keuangan daerah.

  • 2.    Penetapan besaran kebutuhan dana perimbangan dari pusat hendaknya disertai dengan peningkatan PAD.

  • 3.    Pemerintah daerah otonom kabupaten/kota di Propinsi Bali dalam menyusun dan realisasi pendapatan dan belanja daerah perlu juga memperhatikan arah perkembangan pola hubungan dan kemampuan keuangan daerahnya agar menunjukkan kondisi yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim. 2001. Bunga Rampai: Manajemen Keuangan Daerah. Edisi Pertama. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Amin Wijaya Tunggal, 2000. Dasar-dasar Analisis Laporan Keuangan. Edisi Kedua. Jakarta: PT Rineka Cipta.

_______________, 2002. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Pertama. Jakarta: BPFE, UI.

Indra Bastian. 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia. Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE, UGM.

Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi

Mudrajad Kuncoro. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah, Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta: Penerbit Airlangga.

Richard Holloway. 2001. Menuju Kemandirian Keuangan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

21