Syafriana dkk

DOI : https://doi.org/10.24843/JFU.2020.v09.i03.p04

pISSN: 2301-7716; eISSN: 2622-4607

Jurnal Farmasi Udayana, Spesial Issue Desember 2020, 160-170

Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol Kulit Batang Meranti Sarang Punai (Shorea parvifolia Dyer) Terhadap Staphylococcus aureus Dan Propionibacterium acnes

Syafriana, V.1*, Rachmatiah, T.1, Utama, N.W. 1

1Program Studi Farmasi, Fakultas Farmasi, Institut Sains dan Teknologi Nasional, Jalan Moh. Kahfi II, Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, Indonesia 12640

*Corresponding author e-mail: v.syafriana@istn.ac.id

Riwayat artikel: Dikirim: 06/10/2020; Diterima: 21/10/2020, Diterbitkan: 15/12/2020

ABSTRACT

Shorea parvifolia Dyer (meranti sarang punai) is one of a woody plant in Indonesia which distributed across Sumatra and Kalimantan. Cortex of meranti sarang punai is known contains the secondary metabolite such as saponin, flavonoid, and tannin which can act as an antibacterial agent. The research was aims to know the antibacterial activity of methanol extract of meranti sarang punai against Staphylococcus aureus and Propionibacterium bacteria. Maceration was chosen as the extraction methods with methanol as a solvent. The antibacterial test was done by disc diffusion method in Nutrient Agar (NA) media with concentrations 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, and 30%; while the Minimum Inhibitory Concentration (MIC) was done by solid dilution method with concentrations 5%, 4%, 3%, 2%, and 1%. The results showed that the methanol extract of meranti sarang punai has antibacterial activity against the S. aureus with Inhibitory Zone (IZ) at concentrations of 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, and 30% respectively 16,68; 17,27; 18,41; 19,4; 20,57; and 21,46 mm, while against P. acnes was 12,61; 13,65; 14,57; 15,53; 16,58; and 17,46 mm. The MIC of methanol extracts of meranti sarang punai against the two bacteria was at concentration 2%.

Keywords: antibacterial, cortex, meranti sarang punai, methanol, Shorea parvifolia

ABSTRAK

Shorea parvifolia Dyer (meranti sarang punai) merupakan salah satu tumbuhan kayu Indonesia yang tersebar di Sumatra dan Kalimantan. Kulit batang meranti sarang punai diketahui mengandung metabolit sekunder seperti saponin, flavonoid dan tanin yang dapat berperan sebagai antibakteri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak metanol kulit batang meranti sarang punai terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Propionibacterium acnes. Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dalam pelarut metanol. Pengujian aktivitas antibakteri menggunakan metode difusi cakram pada media Nutrient Agar (NA) dengan konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, dan 30%, sedangkan uji Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) menggunakan metode dilusi padat dengan konsentrasi 5%, 4%, 3%, 2%, dan 1%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak metanol kulit batang meranti sarang punai memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri S. aureus pada konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, dan 30% dengan nilai Diameter Daya Hambat (DDH) berturut-turut sebesar 16,68; 17,27; 18,41; 19,4; 20,57; dan 21,46 mm, sedangkan terhadap bakteri P. acnes nilai DDH berturut-turut sebesar 12,61; 13,65; 14,57; 15,53; 16,58; dan 17,46 mm. Nilai KHM ekstrak metanol kulit batang meranti sarang punai (Shorea parvifolia Dyer) terhadap bakteri S. aureus dan P. acnes ada pada konsentrasi 2%.

Kata kunci: antibakteri, kulit batang, meranti sarang punai, metanol, Shorea parvifolia

  • 1.    PENDAHULUAN

Genus Shorea atau biasa disebut meranti merupakan genus terbesar dari Famili Dipterocarpaceae dengan jumlah spesies terbanyak, yaitu sekitar 190 spesies (Purwaningsih & Kintamani, 2018; Rosdayanti dkk., 2019). Tumbuhan ini banyak tersebar di Pulau Sumatera dan Kalimantan (Newman et al., 1999; Mora dkk., 2015). Genus Shorea di Indonesia memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan, perahu, dan perabot rumah tangga. Selain itu, getah yang dikeluarkan dari kulit kayu meranti juga dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti dalam industri obat-obatan dan kosmetika. Buahnya telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat pedesaan sebagai obat tradisional dalam menyembuhkan berbagai macam penyakit, seperti diare, luka bakar, dan sariawan (Muhtadi, 2014; Purwaningsih & Kintamani, 2018; Rosdayanti dkk., 2019).

Salah satu spesies dari genus Shorea adalah Shorea parvifolia Dyer atau yang disebut sebagai meranti sarang punai (nama lokal) (Newman et al., 1999; Mora dkk., 2015). Tumbuhan ini secara empiris dimanfaatkan kulit batangnya oleh masyarakat setempat sebagai obat sariawan. Penelitian yang dilakukan oleh Rosyidah dkk. (2007) menunjukkan bahwa spesies ini mengandung senyawa polifenol yang didominasi oleh trimer resveratrol. Polifenol diketahui merupakan agen anti-inflamasi, sehingga diduga dapat meringankan sakit akibat sariawan atau luka pada kulit (Abu-Qatouseh et al., 2017).

Beberapa penelitian antibakteri yang telah dilakukan pada genus Shorea menunjukkan bahwa adanya aktivitas antibakteri dari kulit batang genus tersebut. Berdasarkan Syahri dkk. (2012), ekstrak

metanol kulit batang meranti lilin (Shorea teysmaniana Dyer) mempunyai aktivitas antibakteri pada konsentrasi 1% terhadap bakteri Staphylococcus aureus, Sallmonella typhi dan Bacillus subtilis. Pada penelitian lain dilaporkan bahwa ekstrak etanol kulit batang meranti merah (Shorea leprosula Miq.) memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli pada konsentrasi 6,25%; 12,5%; 18,75% dan 25% (Kusuma, 2012). Mora dkk. (2019) juga melaporkan bahwa ekstrak metanol kulit batang meranti buaya (Shorea uliginosa Foxw) dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus, Bacillus cereus, S. typhi dan E. coli. Akan tetapi, penelitian mengenai aktivitas antibakteri dari kulit batang meranti sarang punai (Shorea parvifolia Dyer) belum pernah dilaporkan. Penelitian yang pernah dilaporkan adalah mengenai aktivitas antifungi dari getah dan inti kayu spesies tersebut terhadap fungi pelapuk Pycnoporus sanguineus (Kawamura et al., 2011). Hasil ini menunjukkan bahwa meranti sarang punai kemungkinan juga berpotensi sebagai antibakteri.

Staphylococcus aureus dan Propionibacterium acnes merupakan bakteri komensal di kulit yang dapat bersifat oportunis. Bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan infeksi kulit seperti bisul, nanah dan jerawat (Nakase et al., 2014; Chessa et al., 2015). Penanganan infeksi kedua bakteri tersebut biasanya menggunakan antibiotik, akan tetapi terapi ini berisiko menimbulkan resistensi bakteri terhadap antibiotik (Dogan et al., 2017; Tan et al., 2018; Dikicier, 2019). Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan ini adalah dengan mencari agen antibakteri baru yang berasal dari bahan alam (Abdallah, 2011). Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari

ekstrak metanol kulit batang meranti sarang punai terhadap S. aureus dan P. acnes. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan meranti sarang punai sebagai tumbuhan berpotensi obat.

  • 2.    BAHAN DAN METODE

    • 2.1    Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan antara lain kulit batang meranti sarang punai (Shorea parvifolia Dyer) yang diperoleh dari daerah Langgam, Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau. Bakteri Propionibacterium acnes dan Staphylococcus aureus yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi ISTN. Media Nutrient Agar (NA) (Oxoid), metanol teknis (Merck), alkohol 70% (Brataco), aquadest (Brataco), larutan NaCl fisiologis 0,9%, klindamisin disk (Oxoid), siprofloksasin disk (Oxoid), pereaksi Draggendorff, pereaksi Mayer, pereaksi Bouchardat, natrium nitrit (Merck), alumunium klorida (Merck), natrium hidroksida (reagen analitik), ferri klorida (FeCl3) (Merck), kloroform (Merck), HCl pekat (Merck), asam asetat anhidrat (Merck), H2SO4 pekat (Merck), eter teknis (Merck), dan amoniak (Merck).

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan analitik (Excellent), oven (Memmert), blender (Miyako), aluminium foil (Klin Pak), kertas perkamen (EWZ), kertas cakram (Oxoid), kaca objek, kaca penutup, mikroskop (Olympus), autoklaf (Hirayama), inkubator (Memmert), vacuum rotary evaporator, vorteks (Barnstead), batang pengaduk, cawan Petri (Anumbra), tabung reaksi (Pyrex), rak tabung, vial, pipet tetes, Beaker gelas (Iwaki), Bunsen, gelas ukur (Pyrex), Erlenmeyer (Iwaki), lampu spiritus, pipet

mikro (DLab dan PeqLab), pinset (GOOI), jarum Ose, jangka sorong (Kenmaster), benang (Jualo), lemari pendingin (Sharp), kain kasa, kapas, Hot plate (B-One), dan Laminar Air Flow (Masgeerate)

  • 2.2    Metode

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Fitokimia, Fakultas Farmasi, ISTN, Jakarta. Kulit batang meranti sarang punai yang digunakan adalah bagian kulit terluarnya. Sampel tumbuhan dideterminasi di Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor. Tahapan penelitian terdiri dari pengolahan sampel, ekstraksi, penapisan fitokimia, dan pengujian aktivitas antibakteri dengan metode difusi agar dan dilusi padat.

  • 2.3    Pengolahan Kulit Batang Meranti Sarang Punai

Kulit batang meranti sarang punai sebanyak 4 kg dibersihkan dari pengotor yang melekat pada kulit bagian luarnya, kemudian dirajang menggunakan gergaji dan dikering-anginkan selama 2 minggu. Simplisia yang telah kering kemudian dihaluskan dengan blender dan diayak dengan derajat kehalusan mesh 60 agar ukuran serbuk seragam.

  • 2.4    Ekstraksi Kulit Batang Meranti Sarang Punai

Proses ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan pelarut metanol. Sebanyak 200 g serbuk kering kulit batang meranti sarang punai dimaserasi dalam pelarut metanol sebanyak 2.000 ml selama 5 hari dengan 2 kali remaserasi. Hasil maserasi disaring menggunakan kertas saring, lalu filtrat yang diperoleh diuapkan dengan vacum rotary evaporator hingga terbentuk ekstrak kental.

  • 2.5    Penapisan Fitokimia Ekstrak Kulit Batang Meranti Sarang Punai

Penapisan fitokimia meliputi uji alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, steroid dan triterpenoid. Uji identifikasi alkaloid berdasarkan Pratiwi (2017), flavonoid berdasarkan Zou et al. (2004), sedangkan pengujian tanin, saponin, dan steroid/triterpenoid berdasarkan Depkes RI (1987).

  • 2.6    Pengujian Aktivitas Antibakteri

Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi cakram (Hudzicki, 2016). Sebanyak l ml suspensi bakteri (9 x 107 CFU/ml) dipipet lalu dimasukkan ke dalam cawan Petri, kemudian ditambahkan media NA sebanyak 15 ml. Media dan suspensi bakteri dihomogenkan dan didiamkan hingga memadat pada suhu ruang. Kertas cakram steril yang telah ditetesi sebanyak 20 µl larutan uji (konsentrasi 5%, 10%, 15%, 20%, 25% dan 30%) beserta kontrol positif dan negatif diletakkan di atas media. Kontrol positif yang digunakan adalah klindamisin untuk P. acnes dan siprofloksasin untuk S. aureus, sedangkan kontrol negatif yang digunakan adalah aquades. Hasil uji kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C, lalu diamati zona bening yang terbentuk di sekitar cakram. Diameter dari zona bening yang terbentuk diukur menggunakan jangka sorong dan disebut sebagai Diameter Daya Hambat (DDH).

  • 2.7    Uji Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)

Uji Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dilakukan menggunakan metode dilusi padat, yaitu dengan mengamati pertumbuhan bakteri pada konsentrasi terendah dari hasil

DDH (Pratiwi, 2008). Konsentrasi yang digunakan adalah 5%, 4%, 3%, 2%, dan 1%. Media NA yang masih cair dicampur dengan 1 ml suspensi bakteri uji dan ditambahkan 1 ml ekstrak dengan konsentrasi yang telah ditentukan. Campuran suspensi sel, media dan ekstrak tersebut kemudian dihomogenkan dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C. Hasil inkubasi kemudian diamati ada tidaknya pertumbuhan koloni bakteri pada media. Apabila terdapat pertumbuhan bakteri, maka konsentrasi ekstrak tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Akan tetapi, apabila media tetap jernih, tidak ada pertumbuhan bakteri, maka konsentrasi ekstrak tersebut dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Pratiwi, 2008). Nilai KHM adalah nilai konsentrasi terendah yang masih dapat menghambat pertumbuhan bakteri.

  • 3.    HASIL

Kulit batang meranti sarang punai (Shorea parvifolia Dyer) yang masih basah (Gambar 1a), sebelum dikeringkan dilakukan perajangan terlebih dahulu. Perajangan dilakukan untuk mempercepat proses pengeringan. Selain itu, perajangan juga akan memudahkan pengepakan dan penggilingan simplisia (Sudrajad, 2004). Proses perajangan dilakukan menggunakan gergaji dikarenakan tekstur dari kulit batang meranti sarang punai yang keras. Hasil perajangan dapat dilihat pada Gambar 1b. Hasil kulit batang yang telah kering (simplisia) selanjutnya digiling menggunakan blender hingga simplisia menjadi serbuk. Serbuk simplisia dihomogenkan ukurannya dengan derajat kehalusan mesh 60. Penghalusan simplisia dilakukan untuk memperluas kontak antara pelarut dengan sampel sehingga dapat

mempercepat proses ekstraksi (Depkes RI, 1989).

Hasil simplisia kulit batang meranti sarang punai yang diperoleh adalah 2 kg kulit batang yang kering dari total 4 kg yang basah.

(a)


Serbuk simplisia kulit batang meranti menunjukkan warna kecokelatan dan masih sedikit berserat (Gambar 1c). Hasil pengolahan bahan uji dapat dilihat pada Gambar 1.

(b)


(c)


Gambar 1. Hasil pengolahan bahan uji kulit batang meranti sarang punai. (a) kulit batang meranti sarang punai basah, (b) kulit batang yang telah dipotong-potong, (c) serbuk simplisia kulit batang

Ekstraksi kulit batang meranti sarang punai dilakukan dengan metode maserasi menggunakan metanol sebagai pelarut. Maserasi merupakan metode ektraksi yang sederhana dan dapat mengekstrak senyawa-senyawa yang bersifat termolabil (Zhang et al., 2018). Pelarut metanol dipilih dikarenakan merupakan pelarut universal yang dapat menarik sebagian besar senyawa kimia dalam tumbuhan. Selain itu, metanol diketahui mudah menguap sehingga mudah dihilangkan dari ekstrak (Hasnaeni dkk., 2019; Depkes RI, 2000).

Ekstrak yang diperoleh sebanyak 29,7 g dengan nilai rendemen sebesar 14,85%. Nilai rendemen menunjukkan banyaknya jumlah senyawa metabolit yang tertarik dalam proses ekstraksi. Semakin tinggi nilai rendemen yang dihasilkan menandakan nilai ekstrak yang diperoleh semakin banyak (Hasnaeni dkk., 2019).

Penapisan fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa metabolit dari ekstrak metanol kulit batang meranti sarang punai. Hasil penapisan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil penapisan fitokimia ekstrak metanol kulit batang meranti sarang punai (Shorea parvifolia Dyer)

No

Senyawa Kimia

Hasil

1

Alkaloid

(-)

2

Flavonoid

(+)

3

Tanin

(+)

4

Saponin

(+)

5

Steroid/ Triterpenoid

(-)

Keterangan: (+) = Mengandung senyawa kimia; (-) = Tidak mengandung senyawa kimia


Hasil penapisan fitokimia ekstrak metanol kulit batang meranti sarang punai (S. parvifolia Dyer) menunjukkan bahwa ekstrak mengandung flavonoid, tanin, dan saponin. Keberadaan flavonoid dan tanin menunjukkan bahwa ekstrak metanol kulit batang meranti sarang punai mengandung senyawa-senyawa polifenol. Tingkat polaritas pelarut memiliki dampak signifikan dalam menarik senyawa-senyawa polifenol. Pelarut polar seperti metanol dan etanol merupakan pelarut yang baik untuk penarikan polifenol dari tumbuhan (Sultana et al., 2009; Thouri et al., 2017). Berdasarkan Kawamura et al. (2011), ekstrak metanol kulit batang meranti memiliki total fenol yang lebih tinggi (38,2 ± 2,69 %) dibandingkan inti kayu (27,5 ± 1,98 %) dan getah (8,2 ± 1,56 %). Hal ini semakin menguatkan bahwa kulit batang meranti sarang punai kaya akan senyawa polifenol.

Selain flavonoid dan tanin, hasil uji penapisan fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak mengandung saponin. Hal ini juga sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa metanol merupakan pelarut yang terbaik untuk menarik saponin dari suatu matriks tumbuhan (Yuliana dkk., 2014; Anh et al., 2018).

Uji aktivitas antibakteri ekstrak metanol kulit batang meranti sarang punai (S. parvifolia Dyer) dilakukan dengan metode difusi cakram. Aktivitas antibakteri diketahui dengan melihat ada tidaknya zona bening di sekililing cakram pada pertumbuhan bakteri di media padat (Hudzicki, 2016). Zona ini disebut sebagai Diameter Daya Hambat (DDH). Besarnya nilai DDH ini menunjukkan kemampuan ekstrak dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Hasil uji aktivitas antibakteri dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil pengukuran Diameter Daya Hambat (DDH) ekstrak metanol kulit batang meranti sarang punai terhadap Staphylococcus aureus dan Propionibacterium acnes

Bakteri Uji

Diameter Daya Hambat (DDH) (mm)

Kontrol positif (mm)

Kontrol negatif (mm)

5%

10%

15%

20%

25%

30%

Staphylococcus

16,68 ±

17,27 ±

18,41 ±

19,40 ±

20,57 ±

21,46 ±

15,32 ±

aureus

0,25

0,11

0,18

0,19

0,12

0,10

0,08*

-

Propionibacterium

12,61 ±

13,65 ±

14,57 ±

15,53 ±

16,58 ±

20,57 ±

17,46 ±

acnes

0,15

0,07

0,11

0,37

0,15

0,12

0,19#

-

*: Siprofloksasin 5 µg;

#: klindamisin 2 µg; kontrol negatif:

aquades -

: tidak ada zona hambat

Berdasarkan Tabel 2, tampak bahwa ekstrak metanol kulit batang meranti sarang punai mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dan P. acnes pada semua konsentrasi uji. Bakteri S. aureus dan P. acnes merupakan bakteri Gram positif yang struktur dinding selnya tergolong sederhana, yaitu hanya tersusun atas komponen peptidoglikan dan asam teikoat. Struktur yang sederhana ini memudahkan untuk suatu zat antimikroba menembus dinding sel bakteri dan mengganggu kestabilan peptidoglikan

(Malanovic & Lohner, 2016; Breijyeh et al., 2020). Hasil juga menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi ekstrak, meningkatkan nilai DDH. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak, maka semakin besar peluang untuk mendapatkan senyawa antibakteri, sehingga penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri pun semakin besar (Lingga dkk., 2016; Syafriana dkk., 2020).

Data pada Tabel 2 juga menunjukkan bahwa ekstrak metanol meranti sarang punai (S. parvifolia Dyer) menghambat pertumbuhan S. aureus lebih besar dibandingkan terhadap P. acnes. Berdasarkan Li et al. (2017), ada beberapa faktor yang memengaruhi keefektifan suatu agen antimikroba, diantaranya adalah sensitivitas mikroorganisme, jumlah inokulum, konsentrasi agen antimikroba, dan substrat yang digunakan. Nilai DDH S. aureus yang lebih tinggi dibandingkan P. acnes pada

konsentrasi yang sama, menunjukkan bahwa S. aureus lebih sensitif terhadap ekstrak metanol meranti sarang punai dibandingkan P. acnes. Hasil Uji Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)

Penentuan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) pada ekstrak metanol kulit meranti sarang punai (S. parvifolia Dyer) dilakukan menggunakan metode dilusi padat dengan konsentrasi ekstrak sebesar 5%, 4%, 3%, 2%, dan 1%. Hasil uji KHM dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ekstrak metanol kulit batang meranti sarang punai terhadap Staphylococcus aureus dan Propionibacterium acnes

Konsentrasi Ekstrak

Pertumbuhan Bakteri

Staphylococcus aureus

Propionibacterium acnes

5%

-

-

4%

-

-

3%

-

-

2%

-

-

1%

+

+

Keterangan: (+) Positif = Terdapat pertumbuhan bakteri; (-) Negatif = Tidak terdapat pertumbuhan bakteri

Berdasarkan Tabel 3, tampak bahwa pada konsentrasi 5%, 4%, 3%, dan 2% tidak terdapat pertumbuhan dari kedua bakteri. Pertumbuhan bakteri S. aureus dan P. acnes baru tampak pada konsentrasi 1%. Hal ini menunjukkan bahwa nilai KHM ekstrak metanol kulit batang meranti sarang punai (S. parvifolia Dyer) terhadap bakteri S. aureus dan P. acnes adalah pada konsentrasi 2%.

  • 4.    PEMBAHASAN

Kemampuan ekstrak metanol kulit batang meranti sarang punai (S. parvifolia Dyer) dalam menghambat pertumbuhan kedua bakteri uji membuktikan bahwa kandungan senyawa yang ada pada kulit batang meranti sarang punai berpotensi sebagai antibakteri. Ekstrak ini diketahui mengandung senyawa flavonoid, tanin, dan saponin. Senyawa-senyawa ini

memiliki mekanisme penghambatan terhadap bakteri yang berbeda-beda. Akan tetapi, kemungkinan senyawa-senyawa tersebut bekerja secara sinergis. Flavonoid menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara mendenaturasi protein, sehingga akan mengganggu metabolisme sel bakteri yang dapat berkaibat pada kematian sel. Selain itu, flavonoid lipofilik dapat membentuk senyawa kompleks dengan protein ekstraseluler sehingga mengganggu integritas membran sel bakteri (Cowan, 1999; Ibrahim & Kuncoro, 2012; Gorniak et al., 2019). Tanin diduga dapat mengerutkan dinding sel sehingga mengganggu permeabilitas sel bakteri (Ibrahim & Kuncoro, 2012). Selain itu, tanin juga dapat mengganggu kerja DNA girase, yaitu enzim yang berperan dalam replikasi DNA (Khameneh et al., 2019). Saponin diduga memiliki aktivitas antibakteri

dikarenakan zat aktif pada saponin mirip detergen, sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan dinding sel bakteri dan merusak permeabilitas membran. Rusaknya membran sel ini akan mengganggu kelangsungan hidup bakteri (Cowan, 1999; Syafriana dkk., 2019).

Selain ketiga senyawa tersebut, adanya aktivitas penghambatan bakteri kemungkinan dikarenakan senyawa resveratrol yang dilaporkan terdapat pada meranti sarang punai (Rosyidah dkk., 2007). Resveratrol dilaporkan memiliki kemampuan sebagai antibakteri dengan menghambat enzim ATP-sintase pada bakteri. Resveratrol ketika dikombinasi dengan antibiotik konvensional golongan aminoglikosida dapat meningkatkan aktivitas penghambatan terhadap bakteri S. aureus, sedangkan kombinasi dengan golongan fluorokuinolon menimbulkan efek mematikan pada S. aureus dan E. coli. Penggunaan resveratrol topikal juga dilaporkan dapat mengurangi lesi jerawat yang disebabkan oleh bakteri P. acnes (Vestergaard & Ingmer, 2019).

Penghambatan pertumbuhan S. aureus dan P. acnes oleh ekstrak metanol kulit batang meranti sarang punai (S. parvifolia Dyer) sejalan dengan nilai empiris di masyarakat dimana meranti biasanya digunakan untuk mengobati penyakit luka pada kulit. Oleh sebab itu, penelitian mengenai potensi kulit batang meranti sarang punai terhadap mikroba patogen lainnya dengan berbagai macam pelarut perlu terus dikembangkan. Penelitian mengenai senyawa resveratrol dari kulit batang meranti sarang punai juga sebaiknya dilakukan mengingat potensi besar dari resveratrol sebagai agen antibakteri.

  • 5.    KESIMPULAN

Ekstrak metanol kulit batang meranti sarang punai (S. parvifolia Dyer) memiliki

kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Propionibacterium acnes pada konsentrasi ekstrak 5%, 10%, 15%, 20%, 25%, dan 30%. Nilai KHM dari ekstrak ini ada pada konsentrasi 2%. Ekstrak metanol kulit batang meranti sarang punai berpotensi sebagai agen antibakteri baru.

  • 6.    DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Abdallah, E. M. (2011). Plants: An alternative source for antimicrobials. Journal of Applied Pharmaceutical Science, 6, 16–20.

  • 2.    Abu-Qatouseh, L., Mallah, E., & Mansour, K. (2019). Evaluation of anti-Propionibacterium acnes and antiinflammatory effects of polyphenolic extracts of medicinal herbs in Jordan. Biomedical and Pharmacology Journal, 12(1), 211–217.

https://doi.org/10.13005/bpj/1629.

  • 3.    Anh, V. L., Parks, S. E., Nguyen, M. H., & Roach, P. D. (2018). Effect of solvents and extraction methods on recovery of bioactive compounds from defatted gac (Momordica  cochinchinensis Spreng.)

seeds.    Separations,    5(3),    1–13.

https://doi.org/10.3390/separations503003 9

  • 4.    Breijyeh, Z., Jubeh, B., & Karaman, R. (2020). Resistance of gram-negative bacteria to current antibacterial agents and approaches to resolve it. Molecules, 25(6), 1-23.

  • 5.    Chessa, D., Ganau, G., & Mazzarello, V. (2015). An overview of Staphylococcus epidermidis and Staphylococcus aureus with a focus on developing countries. Journal of Infection in Developing Countries,    9(6),    547–550. doi:

10.3855/jidc.6923.

  • 6.    Cowan, M. M. (1999). Plant products as antimicrobial       agents.       Clinical

Microbiology Reviews, 12(4), 564 – 582.

  • 7.    Departemen    Kesehatan    Republik

Indonesia. (1987). Analisis Obat

Tradisional Jilid I. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

  • 8.    Departemen    Kesehatan    Republik

Indonesia. (2000). Parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat. Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta.

  • 9.    Dikicier, B. S. (2019). Topical treatment of acne vulgaris: efficiency, side effects, and adherence rate. Journal of International Medical Research, 1-6.

  • 10.    Doǧan, B., Bektöre, B., Karabacak, E., & Özyurt, M. (2017). Resistance status of antibiotics in Gram-positive bacteria isolated from acne lesions in Istanbul. Turkderm Deri Hastaliklari ve Frengi Arsivi,            51(2),            32–36.

https://doi.org/10.4274/turkderm.23169

  • 11.    Górniak, I., Bartoszewski, R.,   &

Króliczewski, J. (2019). Comprehensive review of antimicrobial activities of plant flavonoids. Phytochemistry Reviews, 18(1),                          241–272.

https://doi.org/10.1007/s11101-018-9591-z

  • 12.    Hasnaeni, Wisdawati, & Usman, S. (2019). Pengaruh metode ekstraksi terhadap rendemen dan kadar fenolik ekstrak tanaman kayu beta-beta (Lunasia amara Blanco). Jurnal Farmasi Galenika (Galenika Journal of Pharmacy), 5(2), 175-182.

  • 13.    Hudzicki, J. (2016). Kirby-Bauer disk diffusion susceptibility test protocol. (pp.123). American Society for Microbiology.

  • 14.    Ibrahim, A. & Kuncoro. (2012). Identifikasi  metabolit  sekunder dan

aktivitas antibakteri ekstrak daun sungkai (Peronema  canescens  Jack) terhadap

beberapa bakteri patogen. Journal of Tropical Pharmacy and Chemistry, 2(1), 818.

  • 15.    Kawamura, F., Ramle, S. F. M., Sulaiman, O., Hashim, R., & Ohara, S. (2011).

Antioxidant and antifungal activities of extracts from 15 selected hardwood species of Malaysian timber. European Journal of Wood and Wood Products, 69(2), 207–

212.  https://doi.org/10.1007/s00107-010-

0413-2

  • 16.    Khameneh, B., Iranshahy, M., Soheili, V., & Fazly Bazzaz, B. S. (2019). Review on plant antimicrobials:   A  mechanistic

viewpoint. Antimicrobial Resistance and Infection           Control,           8(1).

https://doi.org/10.1186/s13756-019-0559-6

  • 17.    Kusuma, R. (2012). Analisis ekstrak kulit kayu meranti merah (Shorea leprosula Miq.) sebagai bahan antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli. Mulawarman Scientifle, 11(1), 1-14.

  • 18.    Li, J., Xie, S., Ahmed, S., Wang, F., Gu, Y., Zhang, C., Chai, X., Wu, Y., Cai, J., & Cheng G. (2017). Antimicrobial activity and resistance: Influencing factors.

Frontiers in Pharmacology, 8, 1-11. doi: 10.3389/fphar.2017.00364.

  • 19.    Lingga, A. R., Pato, U., & Rossi, E. (2016). Uji antibakteri ekstrak batang kecombrang (Nicolaia speciosa Horan) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. JOM Faperta, 3(1), 1-15.

  • 20.    Malanovic, N. & Lohner, K. (2016). Gram-positive bacterial cell envelopes: The impact on the activity of antimicrobial peptides. Biochimica et Biophysica Acta - Biomembranes. 1858(5), 936–946. doi:

10.1016/j.bbamem.2015.11.004.

  • 21.    Mora, E., Gultom, R. S., & Putri, F. E. (2019). Isolasi metabolit sekunder dan uji aktivitas antibakteri dan antioksidan ekstrak methanol kulit batang meranti buaya (Shorea uliginosa Foxw). Jurnal Penelitian Farmasi Indonesia, 8(2), 52-59.

  • 22.    Muhtadi. (2014). Ilmu Kimia Tumbuhan Keruing     (Dipterocarpus)     Famili

Dipterocarpaceae. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689– 1699.

https://doi.org/10.1017/CBO97811074153 24.004

  • 23.    Nakase, K., Nakaminami, H., Takenaka, Y., Hayashi, N., Kawashima, M., &

Noguchi, N. (2014). Relationship between the severity of acne vulgaris and antimicrobial resistance of bacteria isolated from acne lesions in a hospital in Japan. Journal of Medical Microbiology, 63(5),                          721–728.

https://doi.org/10.1099/jmm.0.067611-0

  • 24.    Newman, M. F., Burgess P. F., &

Whitemore, T. C. (1999). Pedoman identifikasi                 pohon-pohon

Dipterocarpaceae Pulau Sumatera. (pp. 224-227). Prosea Indonesia. Bogor.

  • 25.    Pratiwi, S. D. (2017). Uji aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun anting-anting (Acalypha indica L.) terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Skripsi. (pp. 21-23). Institut Sains dan Teknologi Nasional. Jakarta.

  • 26.    Pratiwi, S. T. (2008), Mikrobiologi Farmasi. (pp. 188-191). Penerbit Erlangga. Jakarta.

  • 27.    Purwaningsih & Kintamani. (2018). The diversity of Shorea spp. (Meranti) at some habitats in Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 197(1).      https://doi.org/10.1088/1755-

1315/197/1/012034

  • 28.    Rosdayanti, H. Siregar, U. J., & Siregar, I. Z. (2019). Karakter penciri morfologi daun meranti (Shorea spp.) pada area budidaya ex-situ KHDTK Haurbentes. Media Konservasi, 24(2), 207–215.

  • 29.    Rosyidah, K., Juliawati, L. D., Syah, Y. M., Hakim, E. H., Achmad, S. A., Makmur, L., Din, L. B., Latip, J., & Said, I. M. (2007). Trimer Resveratrol dari kulit batang Shorea parvifolia Dyer. Sains dan Terapan Kimia, 1(1), 47–52.

  • 30.    Sudrajad, H. (2004). Pengaruh ketebalan irisan dan lama perebusan (blanching) terhadap gambaran makroskopis dan kadar minyak atsiri simplisia dringo (Acorus calamus L.). Media Litbang Kesehatan, 14(4), 41-44.

  • 31.    Sultana, B., Anwar, F., & Ashraf, M. (2009).     Effect     of     extraction

solvent/technique on the antioxidant activity of selected medicinal plant extracts. Molecules, 14, 2167-2180.

  • 32.    Syafriana, V., Hamida, F., Damayanti, R., & Nanda, E. V. (2020). Aktivitas antibakteri ekstrak biji  anggur (Vitis

vinifera L.) terhadap   Streptococcus

pyogenes. Sainstech Farma, 13(1), 40-44.

  • 33.    Syafriana, V., Ningsih, W., & Wahidin., 2019, Uji aktivitas antibakteri metanol daun hijau tanaman pucuk merah (Syzygium myrtifolium Walp.) terhadap Pseudomonas     aeruginosa     dan

Staphylococcus epidermidis. Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Bahan Alam sebagai Obat, Kosmetik dan Pangan Fungsional, 29 Juni 2019 (pp. 84-89). Jakarta, Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.

  • 34.    Syahri, J., Rullah, K., & Siregar, S. H. (2012). Bioaktivitas ekstrak kulit batang tumbuhan langka meranti lilin (Shorea teysmaniana Dier). Jurnal Photon, 3(1), 15.

  • 35.    Tan, A. U., Schlosser, B. J., & Paller, A. S. (2018). A review of diagnosis and treatment of acne in adult female patients. International Journal of Women’s Dermatology, 4(2), 56–71.

  • 36.    Thouri, A., Chahdoura, H., Arem, A. B., Hichri, A. O., Hassin, R. B., & Achour, L. (2017). Effect of solvents extraction on phytochemical components and biological activities of Tunisian date seeds (var. Korkobbi and Arechti). BMC Complementary and Alternative Medicine, 17(248), 1-10.

  • 37.    Vestergaard, M., & Ingmer, H. (2019). Antibacterial and antifungal properties of resveratrol. International Journal of Antimicrobial Agents, 53(6), 716–723. https://doi.org/10.1016/j.ijantimicag.2019. 02.015

  • 38.    Walsh, T. R., Efthimiou, J., & Dréno, B. (2016). Systematic review of antibiotic resistance in acne: An increasing topical and oral threat. The Lancet Infectious

Diseases,        16(3),        e23–e33.

https://doi.org/10.1016/S1473-3099(15)00527-7

  • 39.    Yuliana, P. Laconi, E.B., Wina, E., & Jayanegara, A. (2014). Extraction of tannins and saponins fromplant sourcesand their effects onin vitro methagenesis and rumen fermentation. J. Indonesian Trop. Anim. Agric., 39(2), 91-97.

  • 40.    Zhang, Q. W., Lin, L. G., & Ye, W. C. (2018). Techniques for extraction and isolation of natural products:   A

comprehensive review. Chinese Medicine, 13(20),                                1-26.

https://doi.org/10.1186/s13020-018-0177-x

  • 41.    Zou, Y., Lu, Y., & Wei, D. (2004).

Antioxidant activity of a flavonoid-rich extract of Hypericum perforatum L. in vitro. Journal of Agricultural and Food Chemistry,      52(16),      5032–5039.

https://doi.org/10.1021/jf049571r

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License

170