Potensi Minyak Atsiri Kamfer Sumatera (Dryobalanops aromatica Gaertn.) Untuk Bahan Baku Obat Herbal
on
Aswandi dkk
DOI : https://doi.org/10.24843/JFU.2020.v09.i03.p05
pISSN: 2301-7716; eISSN: 2622-4607
Jurnal Farmasi Udayana, Spesial Issue Desember 2020, 171-179
Potensi Minyak Atsiri Kamfer Sumatera (Dryobalanops aromatica Gaertn.) Untuk Bahan Baku Obat Herbal
Aswandi Aswandi1, Cut Rizlani Kholibrina1
1Balai Penelitian Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aek Nauli, Jl. Raya Parapat Km 10,5 Sibaganding Parapat, Simalungun Sumatera Utara, 21174 E-mail: andiasw@yahoo.com
Riwayat artikel: Dikirim: 06/10/2020; Diterima: 21/10/2020, Diterbitkan: 15/12/2020
ABSTRACT
Camphor resin has been harvested since the seventh century from west coast of Sumatra, Indonesia. This historic oil or crystal have been collected from sumatran camphor trees (Dryobalanops aromatica) and utilized as fragrance, antibiotic, topical treatment for pains, and aromatherapy. The paper describes the local wisdom of camphor essential oil, phytochemical content, and potential utilization for herbal medicine. Conventionally, camphor crystals are harvested through felling and log splitting. This method produces about 1.5–2.5 kg of crystals. Extraction of camphor is also possible by making notches in standing tree trunk, as well as collecting liquid resin that exudate from wounded resin channel. The leaves biomass contains significant essential oils, especially fresh-young leaves. This volatile compound is distilled at 0.46–0.73% yield. The essential oil compounds include a-pinene, b-caryophyllene, 1.8-cineole, limonene, and p-cymene. For aromatherapy application, camphor oil has a relaxing fragrance offer relief to congested respiratory system thereby boosts immune system. In topical uses, it relieves inflammation, insect bites, itching, irritation, rashes, and muscular aches and pains. Local wisdom revealed camphor oil for digestive problems treatment, bloating, relieve muscle and joint pain intensity. The compound 1.8 cineole has potential as antiviral, expectorant, and prospective for respiratory and blood vessels treatment.
Keywords: camphor, cineole, essential oil, herbal medicine, phyto-chemical, resin
ABSTRAK
Resin kamfer telah dipanen sejak abad ketujuh dari pantai barat Sumatera, Indonesia. Minyak atau kristal bersejarah ini dikumpulkan dari pohon kamfer Sumatera (Dryobalanops aromatica) dan digunakan sebagai pengharum, antibiotik, pengobatan topikal untuk nyeri, maupun aromaterapi. Tulisan ini menggambarkan kearifan lokal pemanfaatan minyak kamfer, kandungan fitokimia, serta potensi pemanfaatannya sebagai bahan baku obat herbal. Secara konvensional, kamfer dipanen melalui penebangan dan pembelahan batang. Metode ini menghasilkan 1,5–2,5 kg kamfer. Ekstraksi kamfer juga dimungkinkan melalui pembuatan takik pada batang pohon berdiri, serta menampung resin cair yang keluar dari saluran resin yang terluka. Biomassa daun mengandung minyak atsiri yang signifikan, terutama daun segar muda. Senyawa aromatik ini didistilasi dengan rendemen 0,603%. Kandungan senyawa dalam minyak kamfer diantaranya adalah a-pinene, b-caryophyllene, 1.8-cineole, limonene, and p-cymene. Pada aplikasi aromaterapi, aroma minyak atsiri kamfer memiliki efek relaksasi, potensial melancarkan sistem pernapasan dan sistem kekebalan tubuh. Dalam penggunaan topikal, minyak kamfer dapat meredakan peradangan, gigitan serangga, gatal-gatal, iritasi, keseleo, nyeri otot dan sendi. Senyawa 1.8 cineole potensial sebagai anti-virus, dan anti-jamur, ekspektoran, melancarkan aliran darah, melancarkan saluran pernapasan dan pembuluh darah. Kearifan lokal mengungkap pemanfaatan minyak kamfer untuk mengatasi masalah pencernaan, kembung, serta meredakan intensitas nyeri otot dan sendi.
Kata kunci: cineole, fitokimia, kamfer, minyak atsiri, obat herbal, resin
Indonesia merupakan salah satu pemilik ekosistem hutan tropis terluas di dunia. Sejak awal kemerdekaan, eksploitasi hutan menjadi sektor penting peraih devisa untuk modal pembangunan nasional (Biro Pusat Statistik, 2020). Namun, manfaat ekonomi langsung dari pemanfaatan sumber daya ini justru mengorbankan kelesta-riannya. Seluas 9,5 juta ha hutan primer di Indonesia telah hilang dengan laju deforestasi yang signifikan (Butler, 2020).
Kerusakan hutan menganggu fungsi ekosistem hutan sebagai penyedia kayu, hasil hutan bukan kayu, maupun jasa lingkungan lainnya yang berharga. Kehilangan sumber daya ini secara langsung maupun tidak langsung memiskinkan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi laju kerusakan hutan adalah melalui pengembangan skema pengelolaan hutan yang mengoptimalkan pelibatan masyarakat dengan hasil hutan bukan kayu sebagai komoditas utama (Kholibrina et al., 2015).
Skema pengelolaan hasil hutan bukan kayu memiliki sejarah panjang sebagai mata pencaharian masyarakat. Salah satu adalah pemungutan minyak kamfer di pantai barat Sumatera (Aswandi & Kholibrina, 2019). Minyak atau kristal kamfer dipanen dari pohon kamfer sumatera atau kapur (Dryobalanops aromatica) sejak abad ketujuh dan telah menjadi ikon perdagangan internasional pada masa itu (Azhari, 2016). Minyak atau kristal kamfer digunakan untuk wewangian, berbagai bahan pengobatan diantaranya untuk anti-septik, anti-inflammasi dan analgesik (Bhatia et al., 2008).
Multi-manfaat kamfer tidak diimbangi ketersediaan bahan bakunya. Hal ini
mendorong industri kamfer sintetik tumbuh berkembang. Kamfer sintetik atau napthalen (C10H8) diolah dari minyak terpentin sehingga memiliki struktur yang berbeda dibandingkan kamfer alami (C10H18O). Kamfer sintetik ini mudah ditemui di pasar dan umum digunakan sebagai insektisida maupun pewangi buatan. Dalam aplikasi jangka panjang, Naptalen diketahui berdampak negatif terhadap kesehatan ketika terhirup atau sensasi terbakar terhadap kulit sensitif.
Selama dekade terakhir, kesadaran global terhadap penggunaaan produk-produk organik dan pengobatan holistik turut mendorong permintaan terhadap komoditas hasil hutan bukan kayu ini. Berbagai upaya dilakukan dengan menggali kearifan lokal dalam pemanfaatan bahan alami sebagai sumber pengawetan maupun pengobatan herbal termasuk senyawa obat yang dikandung kamfer Sumatra. Penggunaan senyawa organik untuk pengobatan juga dipicu kekhawatiran yang sama terhadap bahan obat sintesis yang selama ini digunakan (Mank & Polonska, 2016;Bhatia et al., 2008).
Studi ini menggambarkan kearifan lokal pemanfaatan minyak atsiri kamfer Sumatera (Dryobalanops aromatica), kandungan fitokimia, serta potensi pemanfaatannya sebagai bahan baku obat herbal.
Bahan utama yang digunakan adalah biomassa daun, ranting dan kulit batang yang dikumpulkan dari tegakan kamfer sumatera yang tumbuh pada habitat alaminya di Subulassalam dan Aceh Singkil, Aceh pada tahun 2019. Selain itu juga diperlukan alkohol, kantong plastik kemasan untuk
pengumpulan biomassa daun, ranting dan kulit batang. Sedangkan peralatan yang digunakan adalah gunting, parang, bor, mangkok, sebuah alat suling uap, beberapa gelas ukur, timbangan, perangkat komputer dengan perangkat lunak Microsoft Office Excel dan SPSS 14 for window dan lainnya. 2.2 Metode
Produktivitas kandungan minyak atsiri diukur dengan melakukan penyulingan terhadap biomassa daun, ranting dan kulit batang baik pada kondisi segar maupun dikeringkan. Rancangan Acak Lengkap yang dioperasikan dengan SPSS 14 for window diaplikasikan untuk pengetahui perbedaan kandungan minyak atsiri dari ketiga biomassa ini. Proses destilasi diawali dengan memasukkan 20 kg air dan 3 kg masing-masing biomassa secara terpisah ke dalam ketel dan disuling selama 24 jam (Gambar 1).
Informasi etnomedisinal dikumpulkan melalui wawancara mendalam kepada sepuluh orang petani pengumpul kamfer dan praktisi herbal sebanyak lima orang di Subulussalam, Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah. Sedangkan kandungan fitokimia diidentifikasi dan ditelusuri berdasarkan berbagai pustaka primer yang telah diterbitkan. Kearifan lokal pemanfaatan minyak kamfer sebagai bahan pengobatan herbal diverifikasi merujuk pada berbagai aktivitas farmakalogi yang telah diidentifikasi.
Kandungan minyak atsiri yang diperoleh berdasarkan metode penyulingan uap terhadap biomassa daun dan kulit kayu segar maupun dikeringkan ditunjukkan pada Tabel 1.
Tiga puluh menit setelah distilasi dimulai, distilat mulai dihasilkan dari semua kondisi biomassa yang diuji. Distilat terdiri dari minyak esensial dan air sulingan (sebagai hidrosol). Selanjutnya, minyak atsiri terdeteksi secara signifikan setelah enam puluh menit. Akumulasi minyak atsiri meningkat secara linier hingga distilasi dihentikan setelah 24 jam.
Gambar 1. Diagram penyulingan uang untuk produksi minyak atsiri dan hydrosol
Tabel 1. Rendemen minyak atsiri hasil destilasi daun
muda dan tua segar dan dikeringkan
Biomassa |
Rendemen Minyak Atsiri (%) |
Produksi Hidrosol (ml) |
Pucuk daun muda segar |
0,603 |
2.523 |
Daun tua segar |
0,223 |
2.475 |
Pucuk daun muda kering |
0,187 |
2.368 |
Daun tua kering |
0,083 |
2.304 |
Kulit kayu segar |
0,036 |
1.908 |
Kulit kayu dikering anginkan |
0,028 |
1.821 |
Sebelum kemerdekaan, William
Marsden seorang pegawai pemerintah
kolonial Inggris di Bengkulu, menulis dalam bukunya History of Sumatra (1783); kamfer memiliki peran penting dalam perdagangan di Sumatera. Marsden menyebutkan bahwa harga komoditas mencapai 6 dollar Spanyol per pon (0,5 kg), setara harga emas di Sumatera pada masa itu. Bahkan di China, harga lebih mahal, yakni 9-12 dollar Spanyol per pon. Harga tinggi diduga akibat permintaan tinggi dari kalangan tabib Arab yang menggunakan kamfer sebagai obat. Pada tahun 1907 harga kamfer di Singkil Sumatera mencapai 40 dollar, lebih tinggi dari harga perak (Heyne, 1987).
Harga kamfer yang tinggi serta rempah lainnya seperti kemenyan (Aswandi & Kholibrina, 2020; Kholibrina & Aswandi, 2020) menjadi magnet bagi bangsa asing ke Nusantara. Selanjutnya, komoditas dari pantai barat Sumatera ini tersebar ke seluruh penjuru dunia. Masyarakat Tiongkok yang kuat dalam pengobatan tradisional, memanfaatkan kamfer untuk ramuan kesehatan peningkat stamina (tonikum), penguat libido (aphrodisiac) dan pereda radang mata (Heyne, 1987). Masyarakat Mesir kuno memanfaatkan kamfer dan Ophir sebagai balsam penyawet jasad manusia. Masyarakat Timur Tengah menggunakan kamfer sebagai bahan obat-obatan dan parfum (Azhari, 2016).
Saat ini, permintaan terhadap kamfer tetap tinggi terutama dari industri farmasi dan parfum. Pada tahun 2019, pasar minyak atsiri global mencapai volume 177 ribu metrik ton dengan prediksi laju pertumbuhan sekitar 8% dalam periode tahun 2020-2025 (EMR, 2020). Namun permintaan yang tinggi tidak diimbangi suplai domestik. Sebagian besar kebutuhan kamfer dunia dipenuhi dari Tiongkok, sedangkan Indonesia sebagai pemilik pohon endemik penghasil kamfer, tidak memiliki informasi produksi hasil hutan ini.
Hingga saat ini, informasi produktivitas pohon Dryobalanops spp. sebagai penghasil kamfer belum banyak diketahui. Bahkan, pohon ini semakin sulit ditemukan di habitat
alaminya, sehingga status konservasi jenis ini dikategorikan rawan (vulnerable), meskipun sebelumnya tergolong Critically Endangered (IUCN, 2020). Keterancaman ini juga diakibatkan oleh praktek penebangan tanpa perhitungan untuk mendapatkan kristal kamfer yang terkandung di dalam batang.
Penguasaan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah produk borneol sangat terbatas. Hampir tidak ditemukan produk inovatif domestik yang dikembangkan dari resin kamfer sumatera. Secara konvensional, produksi kamfer merusak karena melalui penebangan pohon, sedangkan produksi minyak atsiri dari biomassa daun dan bagian lainnya belum berkembang.
Pohon kamfer merupakan penghasil kamfer selain Cinnamomum camphora. Senyawa berbentuk kristal atau minyak ini merupakan hasil metabolik sekunder yang ditemukan pada saluran parenkin aksial batang (Yamada & Suzuki, 2004), sehingga cara paling umum untuk pemanenanya adalah dengan menebang dan membelah batang. Kristal juga bisa muncul pada kulit batang yang terluka.
Secara tradisional, pemanenan kristal kamfer meliputi beberapa tahap, mulai dari pemilihan dan penebangan pohon, hingga pembelahan batang menjadi balok-balok berukuran 1,5–2 m. Tidak semua pohon ditebang menghasilkan kristal kamfer. Sehingga pada prakteknya, penebangan dilakukan hingga ditemukan pohon yang mengandung kristal kamfer dalam jumlah cukup. Apabila dinilai cukup, baru proses pengumpulan kristal dilanjutkan. Dengan cara ini diperoleh 1,5–2,5 kg kristal kamfer dengan berbagai kualitas (Gambar 2).
Gambar 2. Resin Kamfer dalam berbagai bentuk (kristal hingga resin cair)
Pengambilan kamfer juga dapat dilakukan dengan membuat takik atau lubang pada batang pohon berdiri, serta menampung resin cair yang keluar dari saluran damar yang dilukai. Takikan berbentuk lubang sedalam 10 - 15 cm mulai dari kulit kayu sampai bagian berkayu pada ketinggian 100 m dari atas tanah. Dari lubang takikan tersebut mengalir cairan balsam diperoleh resin cair sebanyak 80-100 ml selama 6 jam penampungan.
Produktivitas kamfer cair ini dipengaruhi oleh ukuran pohon dan teknik pelukaan yang dibuat. Berdasarkan analisis diskriminan, diameter batang memiliki pengaruh sebesar 64%, sedangkan sisanya dipengaruhi kedala-man lubang penyadapan sebesar 36% (Aswandi & Kholibrina, 2019). Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar diameter pohon dan semakin dalam lubang maka produksi minyak semakin tinggi. Perbaharuan luka diperlukan untuk menghindari pembekuan aliran cairan resin yang keluar. Dari percobaan yang dilakukan, tidak dihasilkan minyak dan resin pada diameter pohon lebih kecil dari 20 cm. Hal ini menunjukkan bahwa pada pohon muda, metabolik sekunder belum muncul, sedangkan sebagian besar hasil fotosintesis digunakan untuk membangun biomassa.
Ranting dan daun diidentifikasi mengandung minyak atsiri. Bahkan, pucuk daun muda yang disobek juga mengeluarkan
minyak yang terlihat jelas dengan aroma khas yang menguar. Kandungan aromatik pada bagian ini membuka peluang bagi penyediaan borneol melalui proses destilasi.
Hasil minyak atsiri tertinggi diperoleh dari penyulingan pucuk daun muda dengan rendemen 0,603%. Konsentrasi minyak atsiri ini tergolong tinggi, bahkan tanpa penyulingan sekalipun kandungan minyak yang tinggi sudah terlihat jelas ketika daun muda dipetik atau dirobek. Sedangkan daun segar yang lebih tua memiliki hasil minyak atsiri yang lebih rendah (0,223%). Tidak seperti sebagian besar tanaman penghasil minyak atsiri lainnya, pengeringan bahan sebelum disuling sebaliknya menurunkan hasil minyak yang diperoleh. Daun muda kering mengandung minyak atsiri sebesar 0,187%, sedangkan daun tua kering mengandung 0,083%.
Dibanding kondisi segar, terjadi penurunan konsentrasi minyak atsiri sebesar 0,416% pada pucuk daun muda kering, serta 0,14% pada daun tua. Penurunan ini diidentifikasi akibat senyawa volatil yang banyak dikandung daun muda hilang ketika pengeringan. Sedangkan kulit kayu baik dalam kondisi segar maupun kering memiliki kandu-ngan minyak atsiri yang lebih rendah (0,028 – 0,036%).
Hasil serupa ditunjukkan pada produksi hidrosol dari destilasi berbagai kondisi biomassa daun dan kulit batang yang berbeda (Tabel 1). Biomassa pucuk daun muda segar menghasilkan sekitar 2.873 ml hidrosol (dari input 30 liter air dan 3 kg biomassa daun), jumlah tertinggi dibandingkan biomassa lainnya. Sedangkan jumlah hidrosol yang dihasilkan dari daun tua kering adalah 2.104 ml. Kulit kayu baik dalam kondisi segar maupun kering juga menghasilkan hidrosol meskipun produktivitasnya lebih rendah (1.821-1.908 ml). Meskipun volume yang dihasilkan tidak berbeda signifikan, aroma masing-masing hidro-sol berbeda. Perbedaan ini dikarenakan perbedaan konsentrasi kandungan senyawa yang terlarut di dalam
air.
Meskipun minyak atsiri maupun hidrosol dihasilkan melalui proses yang sejalan, penggunaan kedua hasil penyulingan ini berbeda. Secara tradisional, masyarakat memanfaatkan minyak kamfer untuk obat sakit gigi, radang mata merah, minyak gosok dan untuk luka luar yang telah terinfeksi. Minyak kamfer juga digunakan untuk mengatasi masuk angin dan gejala dyspepsia seperti mual, kembung, begah, maag dan gejala sakit perut lainnya. Pada aplikasi topikal, minyak ini juga digunakan untuk mengobati luka iris, luka bakar, nyeri reumatik, otot dan sendi, meredakan gatal akibat gigitan serangga, keseleo, ruam, bisul, dan penyakit kulit lainnya. Menimbang beberapa khasiat ini, minyak kamfer yang juga disebut ombil oleh masyarakat lokal di pesisir barat Sumatera menjadi harta warisan kepada generasi berikutnya.
Selain minyak, daun dan buah pohon kamfer juga potensial dimanfaatkan untuk pangan. Pucuk daun muda dapat dikeringkan dan diolah menjadi teh yang berkhasiat untuk meredakan masuk angin serta mengan-dung antioksidan tinggi. Selain itu buah pohon kamfer juga dapat dibuat manisan yang dapat dimakan. Buah yang mengandung sejenis kacang dimasak di atas perapian sehingga menghasilkan minyak yang dapat dimakan. Kearifan lokal juga mengungkap potensi minyak ini untuk memperpanjang masa kadaluarsa makanan olahan.
Pada industri maju, minyak atau kristal kamfer diekstraksi menghasilkan borneol (terpena alkohol) yang digunakan dalam pembuatan wewangian, antiseptik dan lain-lain (Huo, 1995). Di Tiongkok, senyawa ini dikenal dengan Bing pian yang berfungsi sebagai anti-inflammasi dan analgesik. Selain itu borneol digunakan untuk mengurangi kesakitan dan stres ketika menstruasi, mengurangi nyeri otot dan sendi, serta mencegah perkembangbiakan kuman (Duke, 2015). Namun, borneol murni bersifat racun yang dapat mengakibatkan gangguan mental.
Akhir-akhir ini senyawa borneol alami dari pohon Dryobalanops banyak dicari karena diidentifikasi potensial untuk mencairkan darah beku dan penyumbatan pembuluh darah pada jantung maupun otak manusia (Dharmananda, 2003).
Beberapa studi menunjukkan bahwa potensi kamfer Sumatra sebagai bahan baku pengobatan organik lainnya. Pada aplikasi aromaterapi, aroma minyak atsiri kamfer memiliki efek relaksasi, potensial melancarkan sistem pernapasan dengan membersihkan paru-paru sehingga meningkatkan sirkulasi darah serta sistem kekebalan tubuh. Pada penggunaan topikal, minyak kamfer dapat meredakan peradangan, gigitan serangga, gatal-gatal, iritasi, ruam, keseleo, nyeri otot dan sendi (Gusmailina, 2015; Pasaribu et al., 2014).
Kandungan senyawa dalam minyak atsiri kamfer antara lain a-pinene, b-caryophyllene, limonene, p-cymene dan 1.8-cineole. Senyawa terakhir diidenti-fikasi potensial sebagai anti-virus, anti-bakteri dan anti-jamur, ekspektoran, melancarkan aliran darah sehingga prospektif untuk pengobatan saluran pernapasan dan pembuluh darah (Sharif et al., 2016). Selanjutnya, senyawa p-cymene diidentifikasi mampu mengurangi kecemasan, menyegarkan dan menenang-kan pikiran serta meningkatkan libido. Hasil uji bioaktivitas, borneol mampu memperbaiki sistem saraf (Dharmananda, 2003; Duke, 2015).
Produk destilasi lainnya, hidrosol memiliki masalah keamanan yang lebih rendah dibanding minyak atsiri, meskipun terdapat beberapa perhatian penting dalam penggunaanya. Secara umum, hidrosol diaplikasikan secara topikal untuk luka gores, atau dikonsumsi sebagai penyedap minuman, penggunaan terapeutik, untuk menghilangkan make up; toner dan losion wajah; melembabkan masker; dan pewangi (cologne) (Rajeswara, 2016). Sedangkan konsumsi internal minyak atsiri untuk kondisi kesehatan akut harus dilakukan di bawah pengawasan
praktisi yang berkualifikasi.
Hidrosol kamfer mengandung konsentrasi zat volatil yang lebih tinggi daripada teh herbal dan memiliki manfaat terapeutik saat dikonsumsi. Beberapa manfaat hidrosol kamfer yang dikonsumsi antara lain membantu meredakan nyeri rematik; meredakan sakit kepala; dan menenangkan saraf (Rajeswara, 2016).
Pada dasarnya hidrosol merupakan produk sampingan dari distilasi minyak atsiri (Rajeswara, 2012). Oleh karena itu, biaya produksi hidrosol terintegrasi dengan penyulingan minyak atsiri, sehingga tidak diperlukan alokasi biaya khusus. Biaya produksi berasal dari biaya penyediaan daun, pemasangan alat destilasi dan energi untuk menghasilkan uap air. Namun, biaya pengadaan daun dapat diasumsikan nol, atau sekurangnya berupa biaya upah harian, mengingat selama ini daun tidak dimanfaatkan.
Berdasarkan penelitian, biaya produksi dihitung berupa energi untuk destilasi tiap kilogram hidrosol mencapaia sekitar Rp 18.000. Jika harga hidrosol di pasar daring setidaknya mencapai Rp 500.000/kg maka akan diperoleh nilai tambah sebesar Rp 282.000/kg dari penyulingan daun. Jika biaya pengumpulan daun sebesar Rp 50.000/hari untuk 100 kg daun (rata-rata Rp 500/kg) dihitung, maka nilai tambah dari inovasi ini tetap tinggi dan signifikan sebagai sumber pendapatan alternatif. Di sisi lain, hasil ini menunjukkan bahwa melalui pemanfaatan biomassa daun yang melimpah, hidrosol sehat berkualitas tinggi dapat diproduksi dengan ekonomis.
-
5. KESIMPULAN
Penelitian ini mengungkapkan beberapa temuan baru dalam pemanenan serta peningkatan produktivitas resin kamfer. 3. Ekstraksi kamfer dapat dilakukan dengan membuat takikan lubang pada batang pohon yang berdiri dan mengumpulkan resin cair 177
yang keluar dari saluran resin yang terluka. Biomassa daun juga mengandung minyak atsiri yang signifikan, terutama daun segar muda. Senyawa aromatik yang mudah menguap di bagian ini mengungkapkan beberapa peluang untuk penyediaan borneol melalui proses distilasi, nilai tambah dari skema pemanfaatan yang lebih berkelanjutan. Beberapa senyawa a-pinene, b-caryophyllene, 1.8-cineole, and p-cymene yang dikandung mengungkap peluang pemanfaatan minyak atsiri kamfer sebagai antivirus, ekspektoran, dan pengobatan penyumbatan saluran pernapasan dan pembuluh darah.
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Badan Litbang dan Inovasi KLHK, SEAMEO Biotrop, Dr. Ichwan Azhari yang mendukung penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah.
-
1. Aswandi, A., & Kholibrina, C. R. (2019).
Kapur (Dryobalanops aromatica): Sebaran, Produktivitas dan Teknik Silvikultur Pohon Penghasil Kamfer. In N. Mindawati & Yulianti (Eds.), Bunga Rampai Perakitan Teknologi Jenis Tanaman Hutan Unggulan Lokal Daerah Untuk Peningkatan Nilai Tambah (pp. 73–98). IPB Press.
-
2. Aswandi, A., & Kholibrina, C. R. (2020).
The grading classification for Styrax sumatrana resins based on physico chemical characteristics using two-step cluster analysis. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 935, 012013. https://doi.org/10.1088/1757-
899X/935/1/012013
Azhari, I. (2016). Perihal Kapur Barus dan Kemenyan dalam Sumber danTulisan Sejarah. In I. Azhari & A. Aswandi
(Eds.), Jejak Kapur Barus dan Kemenyan Sumatera Utara dalam Peradaban Dunia. Pusat Studi Sejarah UNIMED.
-
4. Bhatia, S. P., Letizia, C. S., & Api, A. M. (2008). Fragrance material review on borneol. Food and Chemical Toxicology, 46(11).
https://doi.org/10.1016/j.fct.2008.06.031
-
5. Biro Pusat Statistik. (2020). Produksi Kayu Bulat oleh Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan Menurut Jenis
Kayu, 2004 - 2018. Biro Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/indicator/60/1723/ 1/produksi-kayu-bulat-perusahaan-hak-pengusahaan-hutan-hph-menurut-pulau.html
-
6. Butler, R. A. (2020). Berapa Banyak Hutan Dunia yang Telah Menghilang dalam Satu Dekade ini?
https://www.mongabay.co.id/2020/06/13 /berapa-banyak-hutan-dunia-yang-telah-menghilang-dalam-satu-dekade-ini/
-
7. Dharmananda, S. (2003). Dryobalanops for medicine. Institute for Traditional Medicine.
-
8. Duke, S. (2015). Plants containing Borneol. In Phytochemical and Ethnobotanical Databases.
-
9. EMR. (2020). Global Borneol Market Outlook.
https://www.expertmarketresearch.com/r eports/borneol-market
-
10. Gusmailina, G. (2015, April 1). Borneol potensi minyak atsiri masa depan.
https://doi.org/10.13057/psnmbi/m01021 5
-
11. Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia (III). Yayasan Sarana Wana Jaya.
-
12. Huo, G. Z. (1995). Bing pian’s antiinflammation and analgesia effects on
laser burn wounds. China Journal of Farmacy, 30(9), 532–534.
-
13. IUCN. (2020). The IUCN Red List of Threatened Species.
-
14. Kholibrina, C R, & Aswandi, A. (2020). The consumer preferences for new styrax based perfume products using a conjoint analysis approach. IOP Conference Series: Materials Science and
Engineering, 935, 012016.
https://doi.org/10.1088/1757-899X/935/1/012016
-
15. Kholibrina, C. R., Aswandi, A., &
Saputra, M. H. (2015). Peningkatan Produktivitas Hasil Hutan Bukan Kayu Jenis: Jernang (Daemonorops spp),
Kapur (Dryobalanops aromatica) dan Cendana Aceh (Santalum album) Melalui Pengembangan Bibit Unggul dan Teknik Silvikultur.
-
16. Mank, V., & Polonska, T. (2016). Use of natural oils as bioactive ingredients of cosmetic products. Ukrainian Food Journal, 5(2).
https://doi.org/10.24263/2304-974X-2016-5-2-7
-
17. Pasaribu, G., Gusmailina, G., &
Komarayati, S. (2014). Pemanfaatan minyak Dryobalanops aromatica sebagai bahan pewangi alamI. Jurnal Penelitian Hasil Hutan, 32(3).
https://doi.org/10.20886/jphh.2014.32.3. 235-242
-
18. Rajeswara, R. B. R. (2016). Hydrosols and water-soluble essential oils of
aromatic plants: Future economic
products. Indian Perfumer, 56, 29–33.
-
19. Sharif, A., Nawaz, H., Rafia, R., Ayesha, M., & Rashid, U. (2016). A review on bioactive potential of Benzoin resin.
International Journal of Chemical and Biochemical Sciences, 10, 106–110.
-
20. Yamada, T., & Suzuki, E. (2004).
Ecological role of vegetative sprouting in the regeneration of Dryobalanops rappa , an emergent species in a Bornean tropical wetland forest. Journal of Tropical Ecology, 20(4).
https://doi.org/10.1017/S0266467404001 300
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License
179
Discussion and feedback