Dewi, dkk

DOI : https://doi.org/10.24843/JFU.2021.v10.i01.p10

pISSN: 2301-7716; eISSN: 2622-4607

Jurnal Farmasi Udayana, Vol 10, No 1, Tahun 2021, 86 - 92

Analisis Cemaran Kapang/Khamir Pada Serbuk Simplisia Obat Tradisional Di Pasar Tradisional Aceh

Dewi R.1, Nur RM2

  • 1    Program Studi Farmasi, STIKES Assyifa Aceh, Jalan Mr. Moh. Hasan No. 110 Batoh, Banda Aceh, 23245

  • 2    Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pasifik Morotai, Jalan Siswa Darame, Pulau Morotai, Maluku Utara, 97771

Email: [email protected]

Riwayat artikel: Dikirim: 11/06/2020; Diterima: 11/02/2021, Diterbitkan: 1/07/2021

ABSTRACT

Today, folk remedies are commonly used because they are more accessible. Raw materials are used from animals, plants, minerals, or combination of these materials. The plants usually used are roots, rhizomes, stems, leaves, fruits, flowers, and seeds. These ingredients are usually used still fresh or dry (simplicia). Simplisia stored in poor conditions will be contaminated by various types of microbes, especially mold. This study aimed to analyze the level of leafy contamination in traditional medicinal plant simplicia. Samples used rhizome of ginger, curcuma, turmeric, god's crown fruit, and sambiloto leaves. Simplicia is obtained from five traders in Aceh Traditional Market. Testing of plate contamination from samples using cup technique to spread plate method on PDA media. The results showed that the mold/yeast count (MYC) ranged from 2.3×101-1.2×102 colonies/g. The number of colonies of mold/yeast differs significantly for each simplicia of different traders. Saffron rhizome simplicia has MYC 46—120 colonies/gram, curcuma rhizome 50—96 colonies/gram, ginger rhizome 23—43 colonies/gram, sambiloto leaves 46—100 colonies/gram, and god's crown fruit 43—83 colonies/gram. The number of mold/yeast is less than that determined by Drug and Food Control Agencies (≤104 colonies/g) so that the traditional drug simplicia is well consumed.

Keywords: mold/yeast contamination, traditional medicine, medicinal plants, simplicia

ABSTRAK

Obat tradisional banyak digunakan saat ini karena lebih mudah dijangkau. Bahan baku yang digunakan berupa hewan, tumbuhan, mineral ataupun kombinasi campuran dari bahan-bahan tersebut. Bagian tanaman yang biasanya digunakan adalah akar, rhizom/rimpang, batang, daun, buah, bunga, dan biji. Bahan-bahan tersebut biasanya digunakan masih segar maupun kering (simplisia). Simplisia yang disimpan dalam kondisi yang tidak baik akan terkontaminasi oleh berbagai jenis mikroba terutama kapang. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis tingkat cemaran kapang/khamir pada simplisia tanaman obat tradisional. Sampel yang digunakan berupa simplisia rimpang jahe, temulawak, kunyit, buah mahkota dewa, dan daun sambiloto. Simplisia diperoleh dari lima pedagang di Pasar Tradisional Aceh. Pengujian cemaran kapang dari sampel menggunakan teknik cawan agar sebar (spread plate method) pada media PDA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kapang/khamir (AKK) berkisar antara 2,3×101—1,2×102 koloni/g. Jumlah koloni kapang/khamir berbeda signifikan untuk setiap simplisia dari pedagang yang berbeda. Simplisia rimpang kunyit memiliki AKK 46—120 koloni/gram, rimpang temulawak 50—96 koloni/gram, rimpang jahe 23—43 koloni/gram, daun sambiloto 46—100 koloni/gram, dan buah mahkota dewa 43—83

koloni/gram. Angka kapang/khamir ini kurang dari yang ditetapkan oleh BPOM (≤104 koloni/g), sehingga simplisia obat tradisioal tersebut baik dikonsumsi.

Kata kunci: cemaran kapang/khamir, obat tradisional, tanaman obat, simplisia

  • 1.    PENDAHULUAN

Obat tradisional merupakan ramuan dari bahan hewan, tumbuhan, mineral, maupun campurannya yang digunakan untuk pengobatan secara turun-temurun di masyarakat (BBPOM, 2014). Saat ini, obat tersebut penggunaannya digencarkan karena mudah dijangkau (segi harga dan kesediaan), sehingga sangat bermanfaat bagi kesehatan. Selain itu, beberapa penelitian menyatakan bahwa obat tradisional bisa dicerna oleh tubuh sehingga tidak terlalu menyebabkan efek samping bahkan tidak memiliki efek samping dan banyak digunakan oleh masyarakat (Agoes, 2010).

Saat ini terjadi peningkatan penggunaan obat tradisional. Hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya jumlah industri farmasi dan jamu yang memproduksi obat tradisional. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan obat tersebut berupa bagian tanaman yang berkhasiat obat seperti akar, rhizom/rimpang, batang, umbi, daun, buah, bunga, dan biji. Bahan tersebut dapat digunakan secara langsung (segar) maupun sediaan kering (simplisia). Simplisia merupakan sediaan kering tanaman yang masih murni dan belum diolah dan dijaga sehingga tidak tercampur dengan tanaman lain (Kartasapoetra, 1992).

Bahan yang biasanya dijadikan sebagai simplisia berupa secang, jahe, sambiloto, kunyit, mahkota dewa, temulawak, dan lain sebagainya. Bahan yang berasal dari tumbuhan mengandung selulosa, sehingga menjadi sumber karbon bagi mikroba penghasil selulase. Selain itu,

simplisia yang tidak disimpan pada kondisi yang baik akan menyebabkan terkontaminasi oleh berbagai jenis mikroba terutama kapang.

Angka Kapang/Khamir (AKK) merupakan salah satu parameter mutu obat tradisional/jamu. Hal ini diatur dalam Peraturan BPOM No. 12 Tahun 2014 bahwa AKK rajangan yang direbus atau diseduh sebelum digunakan tidak boleh lebih dari 104 koloni/g.

  • 2.    BAHAN DAN METODE

Bahan

Bahan yang digunakan meliputi simplisia rimpang jahe, kunyit, temulawak, buah mahkota dewa, daun sambiloto yang diperoleh dari pedang di Pasar Tradisional Aceh, media PDA, kloramfenikol, dan aquadest.

Alat

Alat yang digunakan berupa seperangkat alat gelas (pyrex), autoklaf (YX-24HM), oven (HIRAYAMA MFG. CORP), mikropipet (Acuma), vortex (Thermolyne), timbangan analitik (CAMRY).

Metode

Pembuatan seri pengenceran sampel

Sebanyak 10 gram sampel simplisia dilarutkan dalam 90 ml akuades steril kemudian divorteks (pengenceran 10-1). Dari larutan tersebut diambil sebanyak 1 ml dan dilarukan dalam 9 ml akuades steril dan divorteks hingga homogen (pengenceran 102). Selanjutnya dibuat pengenceran 10-3 dan 10-4. Setiap sampel dibuat 3 kali ulangan.

Pengujian cemaran kapang/khamir

Pengujian cemaran kapang dilakukan dengan teknik cawan sebar (spread plate method). Sebanyak 1 ml suspensi hasil pengenceran sampel dituang ke permukaan media dan diratakan dengan spreader glass. Selanjutnya diinkubasi selama 5 hari pada suhu 25°C. Jumlah koloni kapang/khamir yang tumbuh dihitung berdasarkan SOP Departemen Kesehatan tahun 1992.

Analisis Data

Data angka kapang/khamir (AKK) simplisia yang diperoleh kemudian dibandingkan berdasarkan jenis simplisia dan pedagang menggunakan Analisis of Varians (Anova) dan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf signifikan 5% menggunakan program SPSS 22.0.

3. HASIL

Tabel 1. Jumlah koloni kapang/khamir simplisia tanaman obat

Jenis simplisia

Pedagang

Jumlah Kapang/Khamir (koloni/g)*

A

9,3×101±1,53 efgh

B

5,6×101±1,15 abcd

Rimpang kunyit

C

1,2×102±1,53 i

D

1,1×102±2,00 hi

E

4,6×101±1,15 ab

A

5,0×101±1,73 abc

B

7,0×101±1,73 bcdef

Rimpang temulawak

C

9,6×101±1,53 fghi

D

7,6×101±1,53 cdefg

E

6,6×101±5,77 bcde

A

2,6×101±1,15 a

B

3,0×101±1,73 a

Rimpang jahe

C

4,3×101±1,15 ab

D

2,3×101±5,77 a

E

3,3×101±5,77 a

A

4,6×101±1,15 ab

B

8,3×101±2,52 defgh

Daun sambiloto

C

1,0×102±1,53 ghi

D

5,3×101±1,15 abcd

E

5,0×101±2,00 abc

A

7,3×101±1,53 bcdef

B

5,6×101±1,15abcd

Buah mahkota dewa

C

8,3×101±2,08 defgh

D

5,6×101±2,08 abcd

E

4,3×101±1,53 ab

Ket: *angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata; n=3; p<0,05; ±SD

  • 4.    PEMBAHASAN

Obat  tradisional telah  banyak      pengobatan   alternatif   maupun dalam

dimanfaatkan  oleh masyarakat  sebagai      memelihara  kesehatan.  Obat tradisional

umumnya disimpan dalam bentuk sediaan kering (simplisia). Namun, penanganan pascapanen dan penyimpanan yang kurang baik akan menyebabkan simplisia terkontaminasi mikroba terutama jamur. Cemaran jamur dapat membahayakan manusia jika jumlahnya melebihi persyaratan yang ditetapkan oleh BPOM-RI (tidak melebihi 104 koloni/g). Araújo dan Bauab (2012) menyatakan bahwa pencemaran mikroba dapat mengurangi khasiat dari produk karena gangguan stabilitas formula, perubahan kenampakan, dan menyebabkan inaktivasi bahan aktif dalam bahan tersebut.

Dari hasil penelitian ditemukan jumlah koloni kapang/khamir berbeda signifikan untuk setiap simplisia dari pedagang yang berbeda (berkisar antara 2,3×101—1,2×102 koloni/g). Jumlah koloni kapang/khamir yang rendah disebabkan karena rata-rata waktu simpan simplisia yang diperoleh kurang dari sebulan. Sari et al. (2015) melaporkan bahwa simplisia akan mengalami kontaminasi dan pembusukan jika penyimpanannya melebihi 6 bulan.

Dari Tabel 1 dapat dilhat bahwa AKK semua sampel tanaman obat kurang dari 104 koloni/g yang menunjukkan bahwa simplisia ini aman dikonsumsi berdasarkan kriteria mutu pengujian AKK yang ditetapkan BPOM Nomor 12 tahun 2014. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan simplisia tanaman obat tersebut dilakukan dengan baik.

Berdasarkan hasil penelitian tampak bahwa rimpang kunyit memiliki AKK tertinggi (85 koloni/g) diikuti rimpang temulawak (72 koloni/g), daun sambiloto (66 koloni/g) dan bunga mahkota dewa (62 koloni/g). Katno (2008) menjelaskan bahwa akar dan rimpang merupakan bagian tanaman yang mengalami tingkat pencemaran paling tinggi. Namun, jumlah koloni kapang pada

simplisia rimpang jahe yang diperoleh dari 5 pedagang menunjukkan AKK paling sedikit (31 koloni/g) dibandingkan keempat simplisia lainnya. Ini menunjukkan bahwa penanganan simplisia rimpang jahe dilakukan dengan baik ataupun karena kemampuan jahe dalam menghambat pertumbuhan kapang/khamir. Paimin dan Murhananto (2002) melaporkan bahwa jahe memiliki aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan jamur dan bakteri.

Sama halnya dengan rimpang jahe, rimpang kunyit, temulawak, daun sambiloto, dan mahkota dewa juga memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan kapang/khamir. Namun, aktivitas penghambatan oleh jahe lebih tinggi dibandingkan simplisia lainnya. Ini dibuktikan oleh hasil penelitian Rukmi (2009) yang melaporkan bahwa terdapat kapang terutama jenis-jenis Aspergillus pada simplisia rimpang kunyit, temulawak, daun sambiloto, dan buah mahkota dewa. Rimpang kunyit ditemukan 7 jenis Aspergillus, rimpang temulawak ditemukan 12 jenis, daun sambiloto ditemukan 5 jenis, dan buah mahkota dewa ditemukan 5 jenis dengan masing-masing persentase frekuensi kehadiran kapang sebesar 10—90%.

Kosalek et al. (2009) menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan terhadap 91 sampel tanaman obat di Brazil menunjukkan bahwa 50% sampel udara (aerial part samples) seperti batang, daun, bunga, dan buah terkontaminasi jamur. Sementara penelitian yang dilakukan terhadap 85 tanaman obat dari Kroasia menunjukkan bahwa sampel berupa rimpang dan akar terkontaminasi jamur lebih banyak.

Bagian kunyit yang biasanya dimanfaatkan sebagai bahan obat adalah rimpangnya. Kunyit banyak dimanfaatkan sebagai bahan obat karena dapat bermanfaat sebagai antiinflamasi, analgelsik,

antioksidan, antimikroba, antitumor, antikanker, pembersih darah, menurunkan kadar darah dan kolestrol (Olivia et al., 2006).

Hasil penelitian ditemukan AKK pada simplisia rimpang kunyit dari 5 pedagang sebesar 46—120 koloni/gram. Angka ini masih memenuhi standar yang ditetapkan oleh BPOM (≤104 koloni/g). Sebagaimana yang dilaporkan oleh Putri (2016) bahwa AKK rimpang kunyit yang diperoleh dari 5 pedagang di Pasar Gede Surakarta sebesar 0—100 koloni/g.

Temulawak dimanfaatkan rimpangnya karena mengandung minyak kurkumin dan atsiri sebagai obat sembelit, diare, maupun campuran dalam resep obat lainnya (Suharmiati, 2003). Namun, beberapa penelitian melaporkan bahwa simplisia rimpang temulawak yang dijadikan sebagai bahan obat tradisional tercemari kapang/khamir. Prakoso (2010) melaporkan bahwa simplisia rimpang temulawak terkontaminasi kapang/khamir dengan AKK sebesar 5,0×104 CFU/g.

Jahe mengandung flavonoid, fenol, terpenoid, dan minyak atsiri, sehingga banyak dimanfaatkan sebagai penurun kolestrol, pelancar sirkulasi darah, penambah nafsu makan, memperbaiki pencernaan, memperkuat lambung, anti radang, anti batuk, dan anti muntah (Arief, 2013). Hasil penelitian Kusuma (2018) menunjukkan bahwa AKK dari 4 sampel jahe instan memenuhi standar mutu BPOM Nomor 12 tahun 2014 dengan AKK 5—20 koloni/g.

Sambiloto merupakan salah satu tanaman obat dengan senyawa aktif utama adalah andrografolid yang termasuk dalam senyawa diterpen (Prapanza dan Marianto, 2003). Sambiloto dilaporkan memiliki aktivitas antimolusca (Wiratno et al., 2011), antibakteri (Sawitti et al., 2013), antiinsekta

(Idris dan Nurmansyah, 2016). Rachmawati et al. (1999) melaporkan bahwa serbuk sambiloto memiliki aktivitas antikapang yang dapat menghambat pertumbuhan Aspergillus flavus. Gholib (2015) juga melaporkan bahwa ekstrak etanol sambiloto memiliki aktivitas antikapang/cendawan dan memiliki efek yang sama dengan ketokonazol 2%.

Tanaman mahkota dewa biasanya dimanfaatkan daun dan buahnya sebaagai bahan obat. Menurut Widyaningrum (2011) mahkota dewa digunakan sebagai obat untuk penyakit disentris, psoriasis dan penyakit kulit. Kulit buah tanaman mahkota dewa mengandung flavonoid, alkaloid, dan saponin. Hendra et al. (2011) melaporkan bahwa mahkota dewa mengandung flavonoid dan memiliki aktivitas antifungi terhadap Aspergillus niger. Jumlah koloni kapang yang ditemukan pada simplisia obat khususnya bunga mahkota dewa aman untuk dikonsumsi karena memenuhi standar mutu BPOM (jumlah koloni <104 CFU/g). Hal ini disesabkan oleh penyajian simplisia sudah menggunakan kemasan dan kemampuan simplisia dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Sari et al. (2011) melaporkan bahwa ekstrak ethanol biji mahkota dewa memiliki aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri dan jamur.

  • 5.    KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa rata-rata jumlah koloni kapang terbanyak terdapat pada simplisia kunyit, sedangkan jumlah koloni kapang paling sedikit ditemukan pada simplisia jahe. Namun, jumlah koloni kapang dari rimpang jahe, temulawak, kunyit, bunga mahkota dewa, dan daun sambiloto yang diperoleh dari lima pedagang di Pasar Tradisional

memiliki AKK kurang dari yang ditetapkan oleh BPOM (≤104 koloni/g).

  • 6.    UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada LPPM STIKes Assyifa Aceh dan LPPM Universitas Pasifik Morotai yang telah mendukung penelitian dan penulisan karya ilmiah ini.

  • 7.    DAFTAR PUSTAKA

Agoes, A. (2010). Tanaman Obat Indonesia. Jakarta: Salemba Medika.

Araújo, M.G.F & Tais, M.B. (2012). Microbial Quality of Medicinal Plant Materials. Latest Research into Quality Control. Isian Akyar. IntechOpen.

Arief, H. (2013). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta:    Penebar

Swadaya.

BBPOM. RI. (2005). Penyiapan Simplisia Untuk Sediaan Herbal. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.

BBPOM RI. (2014). Persyaratan Mutu Obat Tradisional.     Jakarta:     Badan

Pengawas  Obat dan  Makanan

Republik Indonesia.

Gholib, D. (2015). Tanaman Herbal Anticendawan. Badan Penelitian dan Pengembangan          Pertanian,

Kementerian Pertanian. Agro Inovasi.

Hendra, R., Syahida, A., Aspollah, S., Muhammad, Y.D & Ehsan, O. (2011). Flavonoid analyses and antimicrobial activity of various parts of Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl fruit. International Journal of Molecular Sciences, 12(6),  3422

3431.

Idris, H & Nurmansyah. (2016). Potensi Ekstrak Gambir, Sirih-sirihan & Sambiloto sebagai Insektisida Nabati untuk Mengendalikan Aphis schneideri pada Tanaman Clausena anisata. Bul. Littro, 27(2), 174—180.

Kartasapoetra, G. (1992). Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat. Jakarta: Rineke Cipta.

Kusuma A.D.A. (2018). Pengujian Serbuk Jahe Instan Secara Mikologis. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Setia Budi, Surakarta.

Olivia F, Iwan, H., & Syamsir, A.. (2006). Seluk Beluk Food Supplement. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.

Paimin F.B & Muhananto. (2002). Budidaya, Pengolahan dan Perdagangan Jahe. Jakarta: Penebar Swadaya.

Prakoso, T.A.D. (2010). Perbandingan Angka Kapang Khamir (AKK) Rimpang Segar Temulawak, Serbuk Rimpang Temulawak, dan Ekstrak Etanolik Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.). Skripsi. Program Studi Ilmu Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Prapanza, E & Lukito, A. M. (2003). Khasiat dan Manfaat Sambiloto: Raja Pahit Penakluk Aneka Penyakit. Jakarta: Agro Media Pustaka.

Putri, D.P. (2016). Uji Cemaran Kapang, Khamir dan Bakteri Staphylococcus aureus pada Simplisia Jamu Kunyit di Pasar Gede Surakarta. Tugas Akhir. Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Rachmawati S., Zainal, A., & Paderi, Z. (1999).  Sambiloto  (Andrographis

paniculata Nees.) untuk Mengurangi Cemaran Aflatoksin pada Pakan

Ayam Komersial. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 4(1), 65—70.

Rukmi, I. (2009). Keanekaragaman Aspergillus pada Berbagai Simplisia Jamu Tradisional. Jurnal Sains & Matematika, 17(2), 82—89.

Sari, I.D., Yuyun, Y., Selma, S., & Riswati. (2015). Tradisi Masyarakat dalam Penanaman dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Lekat di Pekarangan. Jurnal Kefarmasian Indonesia, 5(2), 123—132.

Sawitti M.Y., Hapsari, M., & Nengah, K.B. (2013). Daya Hambat Perasan Daun Sambiloto terhadap Pertumbuhan Bakteri Eschericia coli. Jurnal Indonesia Medicus Veterinus, 2(2), 142—150.

Suharmiati M. (2009). Menguak Tabil dan Potensi Jamu Gendong. Jakarta: Agromedia.

Wiratno, Molize, R., & I Wayan, L. (2011). Potensi Ekstrak Tanaman Obat dan Aromatik sebagai Pengendali Keong Mas. Bul. Littro, 22(1), 54—64.

Sari, B.L., Oom, K., & Elly, A. E. J. (2011). Antimicrobial effectiveness of mahkota dewa seed [Phaleria macrocarpa (scheff.) Boerl] against microbes diabetic gangrene. Jurnal Medika Planta, 1(3), 21-30.

92