PENGGUNAAN VARIASI KECEPATAN SFERONISASI DALAM PEMBUATAN PELET BEREKSIPIEN AMILUM SINGKONG PREGELATINASI MELALUI METODE EKSTRUSI-SFERONISASI
on
Penggunaan Variasi Kecepatan Sferonisasi dalam Pembuatan Pelet Bereksipien Amilum
Singkong Pregelatinasi melalui Metode Ekstrusi-Sferonisasi (Kurniawan, I N.Y.,
Dewantara, P., Arisanti, C.I.S)
PENGGUNAAN VARIASI KECEPATAN SFERONISASI DALAM PEMBUATAN PELET BEREKSIPIEN AMILUM SINGKONG PREGELATINASI MELALUI METODE EKSTRUSI-SFERONISASI
Kurniawan, I. N. Y.,1 Dewantara P., I G. N. A.,1 dan Arisanti, C. I. S.1 1Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana
Korespondensi: I Nyoman Yudi Kurniawan
Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana Jalan Kampus Unud-Jimbaran, Jimbaran-Bali, Indonesia 80364 Telp/Fax: 0361-703837
Email: [email protected]
ABSTRAK
Amilum singkong pregelatin merupakan eksipien yang memungkinkan untuk digunakan dalam pembuatan pelet. Disamping memiliki sifat pengikat dan penghancur, amilum ini juga mampu larut dalam air sehingga memudahkan pembuatan massa basah sebagai langkah awal pembuatan pelet. Dalam pembuatan pelet, kecepatan sferonisasi berpengaruh terhadap kekerasan dan ukuran pelet, sehingga diperlukan kecepatan sferonisasi yang optimum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kecepatan sferonisasi terhadap sifat fisik pelet yang menggunakan amilum singkong pregelatinasi sebagai eksipien.
Komposisi pelet terdiri dari parasetamol (sebagai model), amilum singkong pregelatin, dan akuades dengan perbandingan 1 : 15 : 10 (b/b). Massa basah yang terbentuk diekstrusi sampai terbentuk ekstrudat. Ekstrudat dikeringkan di dalam oven pada suhu 50 °C selama 20 menit, kemudian di sferonisasi selama 10 menit dengan kecepatan yang bervariasi, yaitu 300, 400, dan 500 rpm. Pelet dikeringkan selama 30 menit di dalam oven pada suhu 50 °C, dan dilakukan pengujian terhadap perolehan rendemen, ukuran, bentuk, kelembaban, sifat alir, kompresibilitas, serta kerapuhan. Selanjutnya, dilakukan uji statistik menggunakan One-Way ANOVA dengan taraf kepercayaan 95%.
Hasil menunjukkan terjadi penurunan perolehan rendemen, ukuran, bentuk (derajat sferisitas), dan kelembaban pelet secara signifikan (p<0,05) pada kecepatan sferonisasi 300 rpm dibandingkan dengan kecepatan sferonisasi 400 dan 500 rpm. Sementara itu, kecepatan sferonisasi 400 rpm yang dibandingkan dengan kecepatan 500 rpm tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan perolehan rendemen, ukuran, bentuk (derajat sferisitas), dan kelembaban pelet.
Kata kunci: Kecepatan sferonisasi, pelet, pregelatinasi
-
1. PENDAHULUAN
Pelet merupakan partikel sferis yang memiliki diameter rata-rata 0,5–2 mm dengan distribusi ukuran partikel yang sempit (Lustig–Gustafsson et al., 1999; Thommes and Kleinebudde, 2007). Metode yang paling populer digunakan untuk memproduksi pelet yang sferis adalah ekstrusi–sferonisasi (Abbaspour et al., 2005). Selain memberikan kemudahan dalam pengoperasiannya, metode ini juga
ekstrusi–sferonisasi, amilum singkong
mampu menghasilkan pelet dengan kerapuhan yang rendah dan bentuk yang sferis (Vikash et al., 2011). Metode ekstrusi–sferonisasi terdiri dari tahap granulasi, ektrusi, sferonisasi, dan pengeringan (Vervaet et al., 1994). Pada tahap sferonisasi, waktu dan kecepatan sferonisasi akan berpengaruh terhadap kekerasan dan ukuran pelet. Kecepatan sferonisasi yang rendah tidak mampu memberikan kepadatan yang cukup untuk
membentuk pelet yang sferis, sedangkan kecepatan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terjadinya aglomerasi, sehingga diperlukan waktu dan kecepatan sferonisasi yang optimum (Vervaet et al., 1994).
Waktu sferonisasi yang umum digunakan dalam pembuatan pelet berkisar antara 2–15 menit, tergantung karakteristik dari formulasi (Swarbrick and Boylan, 2002). Beberapa peneliti, seperti Lustig– Gustafson et al., (1999), Sinha et al., (2005), Zeeshan et al., (2009) menggunakan waktu sferonisasi 10 menit untuk menghasilkan pelet yang sferis. Kecepatan sferonisasi yang digunakan untuk menghasilkan pelet yang sferis berkisar antara 200–400 rpm (Vervaet et al., 1994). Gupta N. et al., (2011) menggunakan kecepatan sferonisasi 400 rpm untuk menghasilkan pelet yang sferis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kecepatan sferonisasi terhadap sifat fisik pelet yang menggunakan eksipien amilum singkong pregelatinasi.
-
2. BAHAN DAN METODE
-
2.1 Bahan
-
Amilum singkong yang diperoleh dari Desa Puhu, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali. Amilum singkong pregelatin diperoleh dengan cara memanaskan aqudest pada suhu 55 °C, selanjutnya ditambahkan amilum singkong ke dalam akuades tersebut dengan perbandingan amilum singkong : akuades (2 : 1 b/v). Parasetamol teknis (PT Brataco) dan akuades (PT Brataco).
-
2.2 Metode
-
2.3.1 Pembuatan pelet
-
Amilum singkong, parasetamol (sebagai model), dan akuades dicampur dengan perbandingan 15 : 1 : 10 (b/b). Massa basah diekstrusi sampai terbentuk ekstrudat. Ekstrudat dikeringkan di dalam oven (Binder) selama 20 menit dengan suhu 50 °C. Ekstrudat disferonisasi menggunakan sferonizer dengan kecepatan yang berbeda, yaitu 300, 400, dan 500 rpm selama 10 menit. Pelet dikeringkan dalam oven (Binder) 50 ºC selama 30 menit.
-
2.3.2 Evaluasi pelet
-
2.3.2.1 Rendemen pelet
-
Rendemen pelet ditetapkan menggunakan persamaan 1 (Zeeshan et al., 2009). Rendemen pelet yang diinginkan tidak kurang dari 90 % (Dukić et al., 2007).
Rendemen (%)
Berat pelet
Berai massabasah
x 100%
-
2.3.2.2 Ukuran pelet (Diameter rata-rata)
Penentuan ukuran pelet dilakukan dengan Electromagnetic Sieve Shaker EMS-8. Ayakan digetarkan selama 10 menit dengan getaran 5 amplitudo, kemudian bobot pelet yang tertahan pada masing-masing ayakan ditimbang. Pelet yang paling banyak tertahan pada salah satu ayakan, digunakan untuk semua uji berikutnya. Diameter rata-rata pelet dihitung menggunakan persamaan 2 (Kumar et al., 2012).
_. ∑ I n?; d
Di am eter rata-rata. = -=—-—-∑(n)
Keterangan: n = berat pelet yang tertahan pada masing -masing ayakan (%) d = diameter rata-rata dua ayakan yang berdek atan (µm)
-
2.3.2.3 Bentuk pelet
Sebanyak 20 butir pelet diambil secara acak dari tiap batch. Pelet tersebut diletakkan di atas gelas objek, dan diamati di bawah mikroskop cahaya (Yazumi XSP-12), dengan perbesaran 400x. Pelet dikatakan sferis jika memiliki derajat sferisitas 1 dan derajat sferisitas pelet dihitung menggunakan persamaan 3 (Ma, 2006).
. . . . Da
Deragat Btensitas = —
Keterangan :k
Keterangan: Da = proyeksi diameter area Dp = proyeksi diameter perimeter
-
2.3.2.4 Kelembaban
Uji kelembaban dilakukan dengan cara mengeringkan 5 gram pelet dalam oven (Binder) pada suhu 105 °C selama 15 menit. Persentase kelembaban yang diperbolehkan adalah 1–5 % b/b dan diukur menggunakan persamaan 4 (Siregar, 2010).
Berat awal pelet - Berat akhir p diinginkan tidak kurang
Berat akhir pelet dihitung menggunakan pers et al., 2007).
Kelembaban (%) =
(persamaan 4)
Keterangan: h = tinggi timbunan pelet r = jari-jari timbunan pelet
-
2.3.2.7 Kerapuhan
Sebanyak 10 gram pelet dimasukkan ke dalam alat uji kerapuhan (Erweka Tipe TA/TR 120) dan diputar dengan kecepatan rotasi 25 rpm selama 10 menit. Debu yang dihasilkan setelah putaran selesai dibersihkan kemudian pelet diayak menggunakan ayakan dengan ukuran lubang 250 µm selama 5 menit dengan getaran 5 amplitudo (Electromagnetic Sieve Shaker EMS-8). Persentase kerapuhan yang
-
2.3.2.5 Kompresibilitas
Kompresibilitas pelet dihitung berdasarkan bobot jenis ruahan dan bobot jenis mampat. Bobot jenis ruahan ditentukan dengan cara mengukur 100 gram pelet yang dituangkan ke dalam gelas ukur 250 mL tanpa ketukan kemudian dicatat volumenya. Bobot jenis mampat diukur dengan cara yang sama dengan bobot jenis ruahan disertai dengan ketukan sebanyak 500 x (Electrolab Tap Density Tester EDT– 1020). Kompresibilitas yang diinginkan berkisar antara 5–20 % dan dihitung menggunakan persamaan 5 (Siregar, 2010).
. . Ei mampat-Bi ruahan .Kompresiblilas (%) =------;-------------
' Bj mampat
-
2.3.2.6 Sifat alir
Sebanyak 100 gram pelet dimasukkan ke dalam alat uji waktu alir. Dicatat waktu yang diperlukan (detik) sampai semua pelet keluar dari alat uji. Sudut yang dibentuk oleh timbunan pelet yang keluar dari alat uji dihitung menggunakan persamaan 6 (Siregar, 2010). Pelet dikatakan memiliki sifat alir yang baik jika waktu alir yang dihasilkan >10 gram/detik dan sudut diam 25–45° (Siregar 2010).
h
Tan K= -
r
, W1-W2
Keiapuhan (%) = ———- κ 100% w 1
Keterangan: W1 = berat pelet sebelum diuji kerapu han
W2 = berat pelet setelah diuji kerapu han
-
2.3.3 ANALISIS DATA
Hasil evaluasi pelet dari masing-masing kecepatan sferonisasi dianalisis secara statistik dengan metode on (persamaan 5) pada taraf kepercayaan 95% adanya pengaruh variasi kecepatan sferonisasi terhadap sifat fisik pelet. Jika pada hasil ANOVA one-way menunjukkan bahwa terdapat pengaruh variasi kecepatan sferonisasi terhadap sifat fisik pelet, maka dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significant Difference) untuk melihat perbedaan antar kelompok kecepatan sferonisasi pada masing-masing perlakuan.
-
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
-
3.1 Rendemen pelet
-
Jumlah rendemen pelet terkecil dihasilkan pada penggunaan kecepatan sferonisasi 500 rpm (Tabel
(persamaan 6) kecepatan sferonisasi
pengaruh yang signifikan terhadap
perolehan rendemen pelet (p<0,05). Kecepatan sferonisasi yang tinggi akan memberikan energi yang lebih besar untuk memecah ekstrudat (Thommes and Kleinebudde, 2007). Semakin banyak ekstrudat yang mampu dipecah, semakin sedikit rendemen pelet yang dihasilkan. Kecepatan sferonisasi yang rendah, tidak memiliki energi yang cukup untuk memecah ekstrudat, sehingga rendemen pelet yang dihasilkan lebih banyak.
Hasil yang sama juga didapatkan sebelumnya oleh Dukić et al., (2007) yang menggunakan amilum UNI PURE® EX sebagai pengisi, serta penambahan HPMC sebagai bahan pengikat dan sorbitol sebagai plasticizer. Rendemen pelet yang diperoleh >90% ketika menggunakan kecepatan sferonisasi yang rendah disertai penambahan HPMC dan sorbitol, namun penggunaan kecepatan sferonisasi yang tinggi tanpa disertai tambahan bahan pengikat akan menurunkan rendemen pelet.
-
3.2 Ukuran pelet
Pelet yang dihasilkan dari masing-masing kecepatan sferonisasi memiliki ukuran yang sesuai dengan persyaratan (Tabel 1). Kecepatan sferonisasi antara 300 dengan 400 rpm dan 300 dengan 500 rpm berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan ukuran pelet (p<0,05), sedangkan kecepatan sferonisasi antara 400 dengan 500 rpm tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan ukuran pelet (p>0,05). Kecepatan sferonisasi yang tinggi akan memberikan energi yang lebih besar untuk memecah ekstrudat menjadi bentuk silinder yang lebih pendek, selanjutnya menghasilkan pelet dengan ukuran yang lebih kecil (Thommes and Kleinebudde, 2007). Hubungan peningkatan kecepatan sferonisasi terhadap penurunan ukuran pelet sudah dilaporkan sebelumnya oleh Dukić et al., (2007). Pada penggunaan kecepatan sferonisasi yang tinggi, terjadi pemecahan ekstrudat secara berlebihan, sehingga menghasilkan pelet dengan ukuran yang lebih kecil.
-
3.3 Bentuk pelet
Sferisitas pelet dapat dilihat dari derajat sferisitasnya. Dalam penelitian ini, masing-masing kecepatan sferonisasi tidak mampu menghasilkan pelet yang sferis. Kecepatan sferonisasi antara 300 dengan 400 rpm dan antara 300 dengan 500 rpm berpengaruh secara signifikan terhadap bentuk pelet yang dihasilkan (p<0,05), sedangkan kecepatan sferonisasi antara 400 dengan 500 rpm tidak memberikan perbedaan yang signifikan (p>0,05). Kecepatan sferonisasi yang tinggi mampu memberikan energi yang lebih tinggi untuk memecah ekstrudat, sehingga derajat sferisitas yang dihasilkan akan semakin besar dan pelet yang dihasilkan akan semakin sferis. Hasil penelitian yang serupa juga didapatkan oleh Dukić et al., (2007). Sferisitas pelet yang diperoleh meningkat dengan menggunakan kecepatan sferonisasi yang lebih tinggi.
-
3.4 Kelembaban
Kecepatan sferonisasi antara 300 dengan 400 rpm dan 300 dengan 500 rpm berpengaruh secara signifikan terhadap kelembaban pelet (p<0,05), sedangkan penggunaan kecepatan sferonisasi antara 400 dengan 500 rpm tidak menunjukan pengaruh yang signifikan terhadap kelembaban pelet (p>0,05). Pada kecepatan sferonisasi yang tinggi dan waktu sferonisasi yang lama, kandungan lembab akan lebih banyak berkurang selama proses sferonisasi (Parikh, 1997). Semakin tinggi kecepatan sferonisasi, panas yang ditimbulkan oleh putaran plat friksi akan meningkat, selanjutnya penguapan akan meningkat dan kelembaban akan menurun. Hal tersebut menyebabkan perbedaan hasil kelembaban pelet pada masing-masing kecepatan sferonisasi.
-
3.5 Kompresibilitas
Kompresibilitas akan meningkat seiring dengan penurunan ukuran partikel (Soh et al., 2008). Dalam penelitian ini, kecepatan sferonisasi 500 rpm menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil (Tabel 1). Partikel kecil akan lebih mudah menyusun diri dalam suatu ruang ketika mendapat suatu tekanan, sehingga
menghasilkan kompresibilitas yang lebih besar. Tidak ada pengaruh signifikan yang diberikan oleh peningkatan kecepatan sferonisasi terhadap kompresibilitas pelet (p>0,05).
-
3.6 Sifat alir
Tabel 1 menunjukkan bahwa pelet yang dihasilkan dari masing-masing kecepatan sferonisasi tidak mampu mengalir serta tidak mampu membentuk sudut diam. Faktor penyebab ketidakmampuan pelet untuk mengalir adalah bentuk partikel. Bentuk partikel yang lebih bulat atau sferis mempunyai sifat aliran yang lebih baik daripada partikel yang tidak beraturan (Siregar, 2010). Dalam hal ini, masing-masing kecepatan sferonisasi, yaitu 300, 400, dan 500 rpm tidak mampu membentuk pelet yang sferis, sehingga pelet yang dihasilkan tidak mampu mengalir. Selain bentuk partikel, kelembaban juga berpengaruh terhadap sifat alir pelet. Masing-masing kecepatan sferonisasi mengahasilkan pelet dengan nilai kelembaban yang berada di luar rentang yang diperbolehkan pustaka, yaitu 1–5 % b/b (Siregar, 2010). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan gaya gesek antar partikel sehingga sulit untuk mengalir (Ganesan et al., 2008).
-
3.7 Kerapuhan
Semakin tinggi kecepatan sferonisasi, tingkat kerapuhan akan semakin kecil (Rahman et al., 2009). Pada kecepatan sferonisasi yang tinggi, terjadi banyak gesekan antara pelet dengan plat friksi, selanjutnya terbentuk massa pelet yang padat/kompak, sehingga kerapuhan akan semakin kecil. Ketika kecepatan sferonisasi diturunkan, gaya gesek antara plat friksi dengan pelet tidak cukup untuk membuat massa pelet yang kompak, mengakibatkan nilai kerapuhan semakin besar (Tabel 1). Hasil uji menunjukkan, peningkatan kecepatan sferonisasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kerapuhan pelet (p>0,05).
-
4. KESIMPULAN
Terjadi penurunan perolehan rendemen, ukuran, bentuk (derajat sferisitas), dan kelembaban pelet secara signifikan (p<0,05) pada kecepatan sferonisasi 300 rpm dibandingkan dengan kecepatan sferonisasi 400 dan 500 rpm. Sementara itu, kecepatan sferonisasi 400 rpm yang dibandingkan dengan kecepatan 500 rpm tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penurunan perolehan rendemen, ukuran, bentuk (derajat sferisitas), dan kelembaban pelet.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak I Gusti Ngurah Jemmy Anton Prasetia, S.Farm., Apt., dan Ibu Ni Putu Ayu Dewi Wijayanti, S.Farm., M.Si., Apt. sebagai reviewer. Terima kasih kepada Jurusan Farmasi Universitas Udayana atas bantuan tempat dan alat yang mendukung penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abbaspour, M. R., F. Sadeghi, and H. A.
Garekani. 2005. Preparation and Characterization of Ibuprofen Pellets Based on Eudagrit RS PO and RL PO or Their Combination. Int J Pharm 303: 8 –94.
Dukić, A., R. Mens, P., Adriansens, P.
Foreman, J. Gelan, J. P., Remon, and C. Vervaet. 2007. Development of Starch-Based Pellet via Extrusion/Spheronisation. Eur J Pharm Biopharm 66: 83–94.
Ganesan, V., K. A. Rosentrater, and K. Muthukumarappan. 2008.
Flowability and Handling Characteristics of Bulk Solids and Powder–A Review with Implications for DDGS. Biosystems Engineering 101: 425–435.
Gupta N, Vishal., Gowda D.V., Balamuralidhara V., and M. Khan S.
2011. Formulation and Evaluation of Olanzapine Matrix Pellets for Controlled Release. DARU Vol. 19, No. 4. 249–256.
Kumar, T. J., Sharma D. K., and Ahmad Shamim. 2012. Effect of Water Uptake on Particle Size Distribution of Core Pellets of Venlafaxine HCl Prepared by Extrusion and Spheronization Technique. Nov. Sci. Int. J. of Pharm. Sci., 1 (6): 389–394.
Lustig-Gustafsson, C., H. K. Johal, F. Podezeck, and J. M. Newton. 1999. The Influence of Water Content and Drug Solubility on The Formulation of Pellets by Extrusion and Spheronisation. Eur J Pharm Sci, 8: 147–152.
Ma, Haiquiu. 2006. The Formulation, Manufacture and Evaluation of Capsules Containing Freeze-Dried Aqueous Extracts of Leonotis leonorus or Mentha longifolia. Thesis. South Africa: The University of the Western Cape.
Parikh, D. M. 1997. Handbook of Pharmaceutical Granulation of Technology. New York: Marcel Dekker Inc.
Rahman, Md. A., A. Ahuja, S. Baboota, Bhavna, Vikas Bali, N. Saigal, and J. Ali. 2009. Recent Advances in Pelletization Technique for Oral Drug Delivery: A Review. Current Drug Delivery, 6, 122–129.
Rowe, R. C, P. J. Sheskey, and M. E. Quinn. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients. (Sixth Edition). London: Pharmaceutical Press. Hal: 691–694.
Sinha, V. R., M. K. Agrawal., and R. Kumria. 2005. Influence of Formulation and Excipient Variable on the Pellet Properties Prepared by Extrusion Spheronization. Current Drud Delivery, 2, 1–8.
Charles Siregar. 2010. Teknologi Farmasi, Sediaan Tablet : Dasar-Dasar Praktis. Jakarta: EGC. Hal: 34–37.
Soh, Joshepine L. P., Lei Yang, C. V. Liew, Fu D. Cui, and P. W. S. Heng. 2008. Importance of Small Pores in Microcrystalline Cellulose for Controlling Water Distribution during Extrusion–Spheronization. AAPS PharmSciTech, Vol. 9, No. 3. 972–981.
Swarbrick, J., and J. C. Boylan. 2002. Encyclopedia of Pharmaceutical Technology (Second Edition. Volume 3). Marcel Dekker, Inc: New York. Hal: 2651–2660.
Tommes, Markus and Peter Kleinebudde. 2007. Properties of Pellets Manufactured by Wet Extrusion/Spheronization Process Using k-Carrageenan: Effect of Process Parameters. AAPS PharmSciTech; 8 (4) Article 95. E1– E8.
Vervaet, C., L. Baert, and J. P. Remon. 1994. Extrusion–Spheronisation A Literature Review. Int J Pharm 116: 131–146.
Vikash, K., M. S. Kumar, L. Amit, Vikas, and S. Ranjit. 2011. Multiple Unit Dosage Form–Pellet and Pelletization Techniques. IJRAP, 2 (1) 121–125.
Zeeshan, F., K. K. Peh, and Y. T. F. Tan. 2009. Exploring the Potential of A Highly Compressible
Microcrystalline Cellulose as Novel Tabletting Excipient in the Compaction of Extended–Release Coated Pellets Containing an Extremely Water–Soluble Model Drug. AAPS PharSciTech, Vol.10, No. 3; 850–857.
APPENDIK
Tabel 1. Hasil Evaluasi Pelet dari Masing-masing Kecepatan Sferonisasi
Evaluasi pelet |
300 |
Kecepatan sferonisasi (rpm) 400 |
500 |
1. Rendemen (%) |
76,791 ± 0,097 |
70,804 ± 0,013 |
65,267 ± 0,011 |
2. Ukuran pelet (µm) |
836,23 ± 0,18 |
835,54 ± 0,13 |
835,41 ± 0,48 |
3. Bentuk pelet (Derajat sferisitas) |
0,67 ± 0,01 |
0,72 ± 0,02 |
0,74 ± 0,01 |
4. Kelembaban (% b/b) |
11,42 ± 0,80 |
9,33 ± 0,06 |
8,70 ± 0,17 |
5. Kompresibilitas (%) |
11,57 ± 0,69 |
12,22 ± 0,14 |
12,81 ± 0,52 |
6. Sifat alir |
Tidak mampu |
Tidak mampu |
Tidak mampu |
mengalir |
mengalir |
mengalir | |
7. Kerapuhan (% b/b) |
4,63 ± 0,11 |
4,55 ± 0,41 |
4,53 ± 0,23 |
81
Discussion and feedback