SIFAT FISIK PELET PARASETAMOL YANG DIBUAT DENGAN METODE EKSTRUSI-SFERONISASI: PENGARUH SUHU PENGERINGAN
on
Sifat Fisik Parasetamol yang Dibuat dengan Metode Ekstrusi-Sferonisasi; Pengaruh Suhu
Pengeringan (Widnyana, I N.A., Putra, I G.N.A.D., Arisanti, C.I.S)
SIFAT FISIK PELET PARASETAMOL YANG DIBUAT DENGAN METODE EKSTRUSI-SFERONISASI: PENGARUH SUHU PENGERINGAN
Widnyana, I N.A.1, Putra, I G.N.A.D.1, Arisanti, C.I.S.1 1Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana
Korespondensi: I Nyoman Arta Widnyana
Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana Jalan Kampus Unud-Jimbaran, Jimbaran-Bali, Indonesia 80364 Telp/Fax: 0361-703837 Email: [email protected]
ABSTRAK
Amilum singkong pregelatin merupakan salah satu alternatif eksipien dalam pembuatan pelet. Selain sebagai pengikat dan penghancur, amilum pregelatin mampu larut dalam air sehingga dapat membentuk massa basah yang plastis yang dibutuhkan dalam pembuatan pelet. Pengeringan pelet merupakan tahap akhir dalam pembuatan pelet yang menentukan sifat fisik pelet. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh suhu pengeringan pelet terhadap sifat fisik pelet bereksipien amilum singkong pregelatin.
Pelet dibuat menggunakan metode ekstrusi-sferonisasi dengan perbandingan parasetamol : amilum singkong pregelatin : akuades yaitu 1 : 15 : 10. Massa basah yang dihasilkan dari pencampuran bahan-bahan tersebut diekstrusi, kemudian dilanjutkan dengan sferonisasi ekstrudat dengan kecepatan 400 rpm selama 10 menit. Pelet yang dihasilkan dikeringkan pada oven dengan variasi suhu yaitu 50, 55, dan 60 °C selama 30 menit. Pelet dievaluasi melalui pengujian ukuran, bentuk, kelembaban, sifat alir, kompresibilitas, dan kerapuhan. Data yang diperoleh diuji menggunakan statistik ANOVA dengan taraf kepercayaan 95%.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa suhu pengeringan pelet berpengaruh signifikan terhadap ukuran, bentuk kelembaban, kompresibilitas, dan kerapuhan pelet. Semakin tinggi suhu pengeringan akan menurunkan ukuran, kelembaban, kompresibilitas, dan kerapuhan pelet namun akan meningkatkan derajat sferisitas.
Kata Kunci: Ekstrusi-Sferonisasi, Amilum Singkong Pregelatin, Suhu Pengeringan Pelet.
-
1. PENDAHULUAN
Pelet merupakan granul yang berbentuk sferis dengan distribusi ukuran partikel yang sempit yang memiliki ukuran diantara 500– 1500 µm untuk penggunaan dalam bidang farmasi (Dukić-Ott et al., 2009). Dalam pembuatan pelet dengan metode ekstrusi-sferonisasi, peran eksipien sangat penting karena akan mempengaruhi sifat fisik pelet akhir yang dihasilkan. Syarat utama sebagai eksipien pelet yaitu mampu membentuk massa basah yang plastis dengan cairan pengikat. Massa basah yang plastis mampu membentuk pelet yang sferis dengan distribusi ukuran yang sempit (Dukić-Ott, 2008). Salah satu eksipien yang bisa digunakan yaitu amilum.
Pengunaan amilum alami sebagai eksipien dari pelet dilakukan dengan penambahan eksipien lainnya. Campuran amilum jagung dan laktosa digunakan untuk
membuat pelet dengan teofilin sebagai model obat (Otsuka et al., 1994). Penggunaan amilum jagung alami juga digunakan dengan mengkombinasikan mikrokristalin selulosa dan teofilin anhidrat dalam pembuatan pelet (Junnila et al., 1998). Dari penelitian-penelitian tersebut, masih belum menghasilkan pelet dengan sifat fisik yang baik di mana sferisitas dari pelet yang dihasilkan masih sangat buruk dan kerapuhan yang tinggi. Selain itu, penambahan eksipien menyebabkan kurangnya efisiensi bahan yang digunakan. Modifikasi amilum merupakan salah satu cara yang dapat digunakan.
Pregelatinasi merupakan salah satu modifikasi amilum dengan memberikan perlakuan berupa penambahan air dengan jumlah yang tepat dan pemanasan pada suhu yang sesuai (Rowe et al., 2006). Modifikasi ini menyebabkan perubahan pada sifat amilum
yang tidak larut air menjadi larut dalam air yang memungkinkan dalam pembuatan massa basah plastis sehingga dapat digunakan sebagai eksipien pelet (Rowe et al., 2006; Sari, 2011). Salah satu amilum yang dapat dimodifikasi yaitu amilum singkong. Kandungan amilopektin yang tinggi, yaitu sebesar 83% (lebih tinggi dari amilum jagung yaitu 73%) menjadikan amilum singkong sebagai bahan pengikat dalam pembuatan sediaan (Bahnassey et al., 1994). Dengan memodifikasi amilum singkong akan dihasilkan eksipien dengan daya ikat yang baik dalam pembuatan pelet.
Tahap pengeringan merupakan tahap akhir pada metode ekstrusi-sferonisasi yang akan menentukan sifat fisik pelet. Peningkatan suhu pengeringan hingga mencapai suhu 65°C pada pelet menyebabkan peningkatan bobot jenis, dengan penurunan kerapuhan yang diakibatkan oleh penyusutan pada suhu yang tinggi (Sinha et al., 2007). Suhu pengeringan juga memberikan pengaruh pada ukuran pelet rata-rata yang menyusut pada suhu yang lebih tinggi (Wlosnewski et al., 2009). Pada penelitian ini akan dilihat bagaimana pengaruh suhu pengeringan pelet dengan penggunaan amilum singkong pregelatin sebagai eksipien terhadap sifat fisik pelet yang dihasilkan.
-
2. MATERI DAN METODE
-
2.1 Materi
-
Bahan-bahan yang digunakan adalah amilum singkong yang diekstrak dari Manihot esculenta Crantz berdasarkan adaptasi dari metode Soebagio dkk. (2009), akuades, dan parasetamol (PT. Brataco, Indonesia).
-
2.2 Metode
-
2.2.1 Metode Pembuatan Pelet
-
Pelet dibuat dengan mencampurkan parasetamol, amilum singkong pregelatin dan aquades dengan perbandingan 1:15:10 hingga terbentuk massa basah. Massa basah yang terbentuk dilewatkan pada ayakan mesh No. 20 hingga terbentuk ekstrudat. Ekstrudat dikeringkan menggunakan oven (Binder) dengan suhu 50°C selama 20 menit. Ekstrudat disferonisasi menggunakan kecepatan 400 rpm dalam waktu 10 menit. Pelet dikeringkan pada variasi suhu yaitu 50, 55, dan 60 °C di dalam oven selama 30 menit.
-
2.2.2 Evaluasi Pelet
-
2.2.2.1 Ukuran Pelet
-
Ukuran pelet ditentukan dengan mengayak pelet yang dihasilkan menggunakan satu seri ayakan bertingkat (Electromagnetic Sieve Shaker EMS-8) yang terdiri dari ayakan no. 20, 40, 60, dan 80. Ayakan digetarkan selama 10 menit dengan amplitudo 5 mm. Bobot pelet yang tertahan pada masing-masing ayakan ditimbang untuk mencari diameter rata-rata. Diameter rata-rata pelet dihitung menggunakan Persamaan 1 (Kumar et al., 2012).
)
Keterangan : n = berat pelet yang tertahan pada masing-masing ayakan (%); d = diameter rata-rata dua ayakan yang berdekatan (µm).
-
2.2.2.2 Bentuk Pelet
Pelet diamati secara mikroskopik menggunakan mikroskop cahaya (Yazumi XSP-12) dengan perbesaran 400 x. Dua puluh butir pelet tiap batch diletakkan di atas kaca objek, kemudian diamati. Sferisitas pelet dihitung menggunakan Persamaan 2 (Ma, 2006).
Derajat Sferisitas =
Keterangan : Da = diameter lingkaran dalam; Dp = diameter lingkaran luar.
Diameter rata-rata = elet ditimbang
alam oven pada suhu 105°C selama 15 menit. Lalu berat amilum tersebut diukur dan dihitung kandungan lembabnya yang dinyatakan dalam % Kelembaban. Kandungan lembab dihitung dengan Persamaan 3 (Siregar, 2010).
%Kelembaban = Beiat a-wal p=l≡t-B≡rat akhir j*dal x 100% Barat akhir pelat
-
2.2.2.4 Pengujian Sifat Alir Pelet
Pengujian dilakukan dengan menentukan sudut diam dan waktu alir. Penentuan sudut diam dilakukan dengan metode corong. 100 g pelet dimasukkan ke dalam corong dengan dasar lubang tertutup. Tutup corong kemudian dibuka sehingga semua pelet mengalir. Tinggi
(h) dan jari-jari (r) lingkaran kerucut pelet yang terbentuk setelah pengaliran diukur. Sudut diam ditentukan dari nilai antitangen yang diperoleh dari nilai h dan r tersebut. Sedangkan waktu alir ditentukan pada saat lubang corong dibuka sampai pelet semuanya mengalir. Satuan kecepatan alir dinyatakan dalam gram/detik. (Siregar, 2010).
-
2.2.2.5 Penentuan Kompresibilitas
Penentuan kompresibilitas diawali dengan penentuan bobot jenis pelet meliputi bobot jenis ruahan dan bobot jenis mampat menggunakan alat Electrolab Tap density tester EDT-1020. Bobot jenis ruahan ditentukan dengan cara mengukur volume 100 g pelet yang dituangkan ke dalam gelas ukur 250 mL tanpa ketukan kemudian dicatat volumenya. Sedangkan bobot jenis mampat diukur dengan cara yang sama dengan bobot jenis ruahan disertai dengan ketukan sebanyak 500 kali. Kompresibilitas pelet ditentukan dari hasil pengukuran bobot jenis ruahan dan bobot jenis mampat menggunakan Persamaan 4 (Siregar, 2010).
%Kompresibilitas x 100%
Keterangan : ρt = bobot jenis mampat; ρo = bobot jenis ruahan.
-
2.2.2.6 Uji Kerapuhan Pelet
Kerapuhan pelet diuji menggunakan alat uji kerapuhan (Erweka Tipe TA/TR 120) dengan kecepatan rotasi 25 rpm selama 10 menit. Debu yang dihasilkan setelah putaran selesai dibersihkan kemudian pelet diayak menggunakan ayakan dengan ukuran lubang 250 µm selama 5 menit dengan getaran 2 amplitudo. Persentase kerapuhan dihitung menggunakan Persamaan 5 (Dukić-Ott et al., 2007).
W1 – W2
% Kerapuhan X100 %
W1
Keterangan: W1 = berat pelet sebelum diuji kerapuhan; W2 = berat pelet setelah diuji kerapuhan.
-
2.2.3 Analisis Data
Hasil pengujian dianalisis secara statistik menggunakan software SPSS for windows 17.0 dengan metode Analysis of Variance (ANOVA) one-way pada taraf kepercayaan
95%. Apabila pada hasil one-way ANOVA menunjukkan bahwa terdapat pengaruh variasi suhu pengeringan terhadap sifat fisik pelet (p<0,05), maka dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significant Difference) untuk melihat perbedaan antar kelompok suhu pengeringan pada masing-masing perlakuan.
-
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil uji dari masing-masing evaluasi pelet dapat dilihat pada Tabel A.1. Suhu pengeringan berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan ukuran pelet (p<0,05). Semakin tinggi suhu pengeringan semakin kecil diameter rata-rata pelet yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh penyusutan yang terjadi pada suhu yang tinggi (Sinha et al., 2006). Penyusutan pada suhu yang lebih tinggi mengakibatkan ukuran pelet menjadi semakin kecil (Wlosnewsky et al., 2010). Penyusutan ini juga berpengaruh pada bentuk pelet. Penyusutan yang terjadi selama pemanasan dapat memberikan bentuk mendekati sferis (Sinha et al., 2006). Semakin tinggi suhu pengeringan, semakin besar nilai derajat sferisitasnya. Hal ini menunjukkan bahwa suhu pengeringan yang berbeda memberikan pengaruh signifikan terhadap derajat sferisitas (p<0,05). Diameter rata-rata pelet yang dihasilkan pada suhu pengeringan 50, 55, dan 60 °C sudah memenuhi rentang yaitu 500– 1500 µm (Dukić-Ott et al., 2009). Namun belum memberikan bentuk yang sferis karena memiliki derajat sferisitas kurang dari 1 (Ma, 2006).
Kelembaban pelet dipengaruhi secara signifikan oleh suhu pengeringan yang berbeda (p<0,05). Semakin tinggi suhu pengeringan, semakin banyak kandungan lembab yang hilang disebabkan oleh penguapan yang semakin meningkat (Siregar, 2010). Suhu pengeringan 60°C memiliki kelembaban yang paling rendah karena paling banyak melepaskan lembab selama pemanasan sehingga memiliki kelembaban yang paling baik (paling mendekati rentang yang diperbolehkan, yaitu 1–5 %) (Siregar, 2010).
Suhu pengeringan mempengaruhi kompresibilitas secara signifikan (p<0,05). Kompresibilitas dipengaruhi oleh kelembaban pelet. Kelembaban yang tinggi akan menyebabkan kohesivitas semakin meningkat sehingga kompresibilitas juga meningkat
(Ganesan et al., 2008). Pada penelitian ini, semakin tinggi suhu pengeringan kelembaban semakin kecil sehingga kompresibilitas juga akan menurun. Nilai kompresibilitas pelet yang dihasilkan dari ketiga suhu pengeringan memenuhi rentang kompresibilitas yang baik, yaitu 5-15 %.
Pelet yang dihasilkan dari pengeringan suhu 50, 55, dan 60 °C tidak dapat mengalir dan tidak membentuk sudut diam. Kelembaban yang tinggi berkaitan dengan gaya gesek antar partikel yang besar dan bentuk partikel yang tidak sferis (tidak beraturan) mengakibatkan pelet tidak mampu mengalir (Ganesan et al., 2008; Siregar, 2010).
Uji kerapuhan pelet dilakukan untuk melihat ketahanan pelet terhadap guncangan ketika didistribusikan. Kerapuhan pelet yang dihasilkan dari suhu pengeringan 50, 55, dan 60 °C tidak memenuhi persyaratan yaitu kurang dari 1% (Dukić-Ott et al., 2007). Kerapuhan pelet dipengaruhi secara signifikan oleh suhu pengeringan yang berbeda (p<0,05). Adanya kandungan air pada pelet yang selanjutnya dikeringkan pada suhu 50, 55, dan 60 °C menyebabkan terjadinya proses gelatinisasi. Meningkatnya suhu menuju suhu gelatinisasi menyebabkan menurunnya kandungan amilosa dengan kandungan amilopektin yang tetap sebagai pengikat menjadi optimal sehingga pelet menjadi semakin tidak rapuh (Muzikova and Eimerova, 2011; Titi P., 2008).
-
4. KESIMPULAN
Suhu pengeringan pelet 50, 55, dan 60 °C berpengaruh signifikan terhadap ukuran, bentuk, kelembaban, kompresibilitas, dan kerapuhan pelet. Semakin tinggi suhu pengeringan akan menurunkan ukuran, kelembaban, kompresibilitas, dan kerapuhan pelet namun akan meningkatkan derajat sferisitas.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak Eka Indra Setyawan, S.Farm., Apt., dan Ibu Ni Putu Ayu Dewi Wijayanti, S.Farm., M.Si., Apt. sebagai reviewer. Terima kasih juga dihaturkan kepada Jurusan Farmasi Universitas Udayana atas dukungan dan bantuan selama penelitian ini berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Bahnassey, Y. A., and W. M. Breene. 1994. Rapid Visco-Analyzer (RVA) Pasting Properties of Wheat, Corn, Waxy Corn, Tapioca and Amaranth Starches (A. hypochondriacus and A. cruentus) in the Presence of Konjac Flour, Gellan, Guar, Xanthan and Locust Bean Gums. Starch/Starke 4: 134–141.
Dukić, A., J. P. Remon, P. Foreman, and C. Vervaet. 2007. Immediate Release of Poorly Soluble Drugs from Starch-based Pellets Prepared via
Extrusion/Spheronisation. Eur. J. Pharm. Biopharm. 67: 715–724.
Dukić-Ott, A. 2008. Modified Starch as an Excipient for Pellets Prepared by Means of Extrusion/Spheronisation. Thesis. Germany: Ghent University. Hal: 19–21
Dukić-Ott, A., M. Thommes, J. P. Remon, P. Kleinebudde, and C. Vervaet. 2009. Production of Pelets via Extrusion -Spheronisation Without The Incorporation of Microcrystalline cellulose. Eur. J. Pharm. Biopharm. 71: 38–46.
Junnila, R., J. Heinamaki, and J. Yliruusi. 1998. Effects of surface-active agent on the size, shape and hardness of microcrystalline cellulose/maize starch pellets prepared by an extrusion-spheronization technique. STP Pharma Sci. 8: 221-226.
Kumar, T. J., Sharma D. K., and Ahmad Shamim. 2012. Effect of Water Uptake on Particle Size Distribution of Core Pellets of Venlafaxine HCl Prepared by Extrusion and Spheronization Technique. Nov. Sci. Int. J. of Pharm. Sci., 1 (6): 389–394.
Ma, Haiquiu. 2006. The Formulation, Manufacture and Evaluation of Capsules Containing Freeze-Dried Aqueous Extracts of Leonotis leonorus or Mentha longifolia. Thesis. South Africa: The University of the Western Cape. Hal: 31–32.
Mužíková, J. and I. Eimerová. 2011. A Study of the Compaction Process and the Properties of Tablets Made of a New Co-Processed Starch Excipient. Drug. Dev. Ind. Pharm., 37(5): 576–582.
Otsuka, M., J. Gao, and Y. Matsuda. 1994. Effect of Amount of Added Water During Extrusion-Spheronization
Process on Pharmaceutical Properties of Granules. Drug Dev. Ind. Pharm. 20: 2977-2992.
Rowe, R. C., P. J. Shekey, and M. E. Quinn. 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipients Fifth Edition. Pharmaceutical Press: London. Hal: 754–755.
Sari, K. L. K. 2011. Pengaruh Rasio Amilum : Air dan Suhu Pemanasan terhadap Sifat Fisik Amilum Singkong Pregelatin yang Ditujukan Sebagai Eksipien Tablet. Skripsi. Denpasar: Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana. Hal: 55.
Shinha, V. R., M. K. Agrawal, R. Kumria, and J. R. Bhinge. 2007. Influence of Operational Variables on Properties of Piroxicam Pellets Prepared by
Extrusion-Spheronization: A Technical Note. AAPS PharmSciTech. 8(20): 1–5.
Siregar, C. J. P. 2010. Teknologi Farmasi, Sediaan Tablet, Dasar-Dasar Praktis. Jakarta: EGC. Hal: 28, 34, 54–113.
Titi P, Hapsari. 2008. Pengaruh Pre Gelatinasi Terhadap Karakteristik Tepung Singkong. Primordia, Volume 4, No. 2. 91–105.
Wlosnewski, J. C., M. K.Vollrathc, and P. Sriamornsaka. 2010. Effect of Drying Technique and Disintegrant on Physical Properties and Drug Release Behavior of Microcrystalline Cellulose-based Pellets Prepared by
Extrusion/Spheronization. Chem. Engin. Res. Des., 88: 100–108.
APENDIKS A.
Tabel A.1 Hasil Evaluasi Pelet pada Berbagai Suhu Pengeringan
Jenis Evaluasi |
50 °C |
Suhu Pengeringan Pelet 55 °C |
60 °C |
Ukuran Pelet |
839,57±2,29 µm |
834,11±1,08 µm |
832,97±0,87 µm |
Bentuk Pelet |
0,70±0,04 |
0,75±0,06 |
0,76±0,06 |
Kelembaban |
9,63±0,3 % |
7,55±0,59 % |
5,67±0,26 % |
Sifat Alir |
Tidak mengalir |
Tidak mengalir |
Tidak mengalir |
Kompresibilitas |
14,13±1,09 % |
10,53±0,11 % |
9,52±1,17 % |
Kerapuhan |
5,19±0,22 % |
4,58±0,32 % |
2,5±0,18 % |
71
Discussion and feedback