Peranan Penggunaan Alat Bantu Dalam Metode Pembagian Visual Terhadap Keseragaman

Bobot Puyer Lamivudin Dosis Kecil untuk Terapi Anak dengan HIV/AIDS (Pratama, K.M.,

Niruri, R., Wati, K. D.K., Widotama, I G.B.G., Dewantara, I G.N.A.)

PERANAN PENGGUNAAN ALAT BANTU DALAM METODE PEMBAGIAN VISUAL TERHADAP KESERAGAMAN BOBOT PUYER LAMIVUDIN DOSIS KECIL UNTUK TERAPI ANAK DENGAN HIV/AIDS

Pratama, K.M. 1, Niruri, R. 1, Wati, K. D.K.2, Wiradotama, I G.B.G.3, Dewantara, I G.N.A.1

1Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Univesitas Udayana 2Bagian / SMF IKA Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah

3Klinik VCT Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah

Korespondensi : Ketut Maryana Pratama

Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana Jalan Kampus Unud-Jimbaran, Jimbaran-Bali, Indonesia 80364 Telp/Fax: 0361-703837 Email : [email protected]

ABSTRAK

Terapi dengan Antiretroviral (ARV) atau dikenal dengan Antiretroviral Terapi (ART) digunakan untuk terapi pada pasien dengan HIV/AIDS baik pasien anak-anak maupun dewasa (WHO, 2009). Salah satu ARV yang sering digunakan untuk terapi pada pasien HIV/AIDS pediatri adalah lamivudin. Pemberian obat pada pasien anak masih banyak diresepkan oleh dokter dalam bentuk sediaan puyer. Cara pembagian puyer yang paling banyak dilakukan adalah secara visual, dikarenakan lebih cepat dan praktis. Namun, pembagian secara visual memungkinkan terjadinya variasi dalam bobot dan kandungan puyer terkait keterbatasan dalam kemampuan pengamatan secara visual, ketelitian, ketrampilan, serta waktu dalam menyiapkan sediaan puyer. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan alat bantu dalam metode pembagian visual terhadap keseragaman bobot puyer. Metode : Dilakukan pembagian serbuk menggunakan metode pembagian secara visual dengan menggunakan alat bantu untuk mendapatkan puyer Lamivudin dosis kecil (50 mg) sebanyak 60 bungkus. Selanjutnya dilakukan penentuan keseragaman bobot puyer yang mengacu pada persyaratan Farmakope Indonesia Edisi III. Hasil : Pada penelitian ini diperoleh hasil keseragaman bobot yang memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi III. Hasil pengujian dengan menggunakan alat bantu menunjukkan dari 60 bungkus puyer yang diuji, hanya 1 bungkus serbuk yang menyimpang lebih besar dari 10% bobot rata-rata namun penyimpangannya tidak lebih dari 15% dari bobot rata-rata.

Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa alat bantu memudahkan dalam penyiapan obat dalam sediaan puyer Lamivudin dosis kecil (50 mg) dan hasil penentuan keseragaman bobot puyer memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi III.

Kata kunci: HIV, Lamivudin, Metode Pembagian Visual, Puyer

  • 1.    PENDAHULUAN

Terapi dengan Antiretroviral (ARV) atau dikenal dengan Antiretroviral Terapi (ART) digunakan untuk terapi pada pasien dengan HIV/AIDS baik pasien anak-anak maupun dewasa (WHO, 2009). Salah satu ARV yang sering digunakan untuk terapi pada pasien HIV/AIDS pediatri adalah lamivudin. Lamivudin merupakan suatu analog cytosine dengan aktivitas in vitro melawan HIV yang bersifat sinergis dengan berbagai analog nukleosida antiretrovirus (termasuk zidovudin dan stavudin) (Katzung, 2004). Pemberian obat pada anak sering mengalami masalah dalam hal dosis dan cara pemberian karena diperlukan dosis yang lebih kecil dibandingkan dengan penderita dewasa. Pengobatan dengan dosis yang kecil untuk anak membutuhkan sediaan dalam bentuk sirup, suspensi, atau sediaan yang dimodifikasi berupa pembagian tablet atau pembuatan puyer (DepkesRI, 2008, WHO, 2009).

Pemberian obat pada anak sering mengalami kendala dalam hal dosis dan cara pemberian terkait dengan jumlah dosis yang lebih kecil dibandingkan dengan pasien dewasa. Pemberian obat pada pasien anak masih banyak diresepkan oleh dokter dalam bentuk sediaan puyer, dikarenakan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan bentuk sediaan jadi buatan pabrik, yaitu mudah untuk mengatur dosis dan kombinasi obatnya sesuai dengan kebutuhan pasien. Namun, bentuk sediaan puyer memungkinkan terjadinya variasi dalam bobot dan kandungan puyer terkait keterbatasan dalam kemampuan pengamatan secara visual, ketelitian, ketrampilan, serta waktu dalam menyiapkan suatu sediaan puyer. Ketidaktepatan dosis pada sediaan puyer dapat terjadi ketika proses pembuatannya yang dapat menyebabkan sebagian obat tertinggal pada wadah yang digunakan untuk menggerus, juga pada pembungkus yang digunakan (Soepardi, Soedibyo, dkk 2009). Menurut Depkes RI, 2008, ketidaktepatan dosis, terkait dengan dosis pemberian, cara penyiapan dan penyimpan dapat menjadi salah satu penyebab dari kegagalan terapi (Depkes RI, 2008). Dengan adanya variasi dalam bobot dan kandungan dapat mempengaruhi efektivitas obat yang diberikan pada pasien (Ansel, 1989; Anief, 1988).

Pada umumnya pengobatan pada pasien anak dengan diagnosis HIV/AIDS masih sering

diresepkan dalam bentuk sediaan puyer. Data yang didapatkan di Rumah Sakit Sanglah, Denpasar Bali pada bulan Januari-Februari 2012, menyatakan bahwa dari total 74 pasien anak usia 3 bulan - 8 tahun yang mendapatkan sediaan puyer lamivudin, diperoleh dosis rata-rata sediaan puyer lamivudin adalah 50 mg dan jumlah puyer yang paling banyak dibuat adalah untuk penggunaan selama 35 hari (60 bungkus).

……Berdasarkan data dari penelitian sebelumnya mengenai pembagian puyer dengan menggunakan metode visual didapatkan hasil bahwa pembagian puyer secara visual tidak mampu memberikan hasil yang memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi III (Maharani, 2012), oleh karena itu perlu dilakukan peneitian ini dengan menggunakan alat bantu dalam pembagian puyer.

  • 2.    BAHAN DAN METODE

    • 2.1    Bahan Penelitian

Tablet Lamivudin 150 mg

  • 2.2    Alat Penelitian

Mortir Porselen, Stemper, Neraca Analitik (AND), Kertas Perkamen, Sendok Tanduk, Sudip, Spatula Logam, Alat bantu.

  • 2.3    Metode Penelitian

    • 2.3.1    Pembuatan Alat Bantu

......Alat bantu sederhana dibuat dengan menggunakan lempeng aluminium yang di potong dengan ukuran kira-kira 1 cm x 6 cm. Alat dibuat dengan melipat lempeng aluminium dan membentukknya sehingga alat akan menyerupai bentuk sendok. Kaliberasi alat dilakukan dengan menimbang puyer yang tertampung pada alat dengan menggunakan timbangan yang sudah terkaliberasi agar mendapatkan berat puyer kira-kira 85 mg. Apabila berat puyer tidak sesuai (kelebihan berat) dapat disesuaikan dengan memotong pinggiran atas sendok aluminium sampai didapatkan berat puyer yang diinginkan. Sedangkan apabila berat puyer kurang dari berat yang diinginkan maka dilakukan pengulangan pembuatan alat bantu dari awal. Setelah didapatkan berat puyer sesuai yang diinginkan, dilakukan percobaan penimbangan dengan menggunakan alat bantu tersebut sebanyak 3 kali sampai memberikan hasil yang konsisten setiap kali penimbangan.

  • 2.3.2    Metode Pembagian Serbuk

Serbuk dibuat dari tablet lamivudin kemudian dibagi dengan cara mengambil serbuk dengan menggunakan alat bantu dan dilakukan pembagian sejumlah 60 bungkus. Setiap kali pegambilan serbuk diusahakan agar jumlah serbuk pada alat bantu sejajar dengan pinggiran alat (tidak membentuk gunung). Jumlah serbuk yang diambil kira-kira 84 mg yang mengandung 50 mg zat aktif lamivudin. Pembagian serbuk diulang sebanyak 3 kali pengulangan.

  • 2.3.3    Uji Keseragaman bobot

.......Timbang isi dari 20 bungkus satu persatu. Campur isi ke-20 bungkus, dan timbang sekaligus. Hitung rata-ratanya. Selanjutnya penentuan keseragaman bobot puyer dilakukan dengan mengacu pada persyaratan Farmakope Indonesia Edisi III tahun 1979, yaitu dari 20 puyer yang ditetapkan keseragaman bobotnya, 18 bungkus tidak boleh menyimpang ±10%, 2 bungkus lainnya boleh menyimpang asalkan tidak lebih dari ±15%, dan tidak ada yang boleh menyimpang lebih dari ±15%. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan puyer sebanyak 60 bungkus sehingga dilakukan penyesuaian persyaratan untuk 60 bungkus puyer menjadi : 54 bungkus tidak boleh menyimpang dari ±10%, 6 bungkus lainnya boleh menyimpang asalkan tidak lebih dari ±15%, dan tidak ada yang boleh menyimpang lebih dari ±15% (Depkes RI, 1979).

  • 3.    HASIL

Pada penelitian ini, pembagian puyer secara visual dengan menggunakan alat bantu memperoleh hasil keseragaman bobot yang memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi III. Hasil pengujian menunjukkan dari 60 bungkus puyer yang diuji hanya terdapat 1 bungkus serbuk yang menyimpang lebih besar dari 10% bobot rata-rata pada pengulangan pertama dan ketiga namun penyimpangannya tidak lebih dari 15% dari bobot rata-rata.

Tabel A.1 Hasil Keseragaman Bobot Puyer Lamivudin

Syarat

1

Pengulangan

2

3

< 10%

0

0

0

10-15%

1

0

1

> 15%

0

0

0

4. PEMBAHASAN

Pada penelitian ini, dilakukan pembagian serbuk menggunakan metode pembagian secara visual dengan menggunakan alat bantu untuk mendapatkan puyer lamivudin dosis kecil (50 mg) sebanyak 60 bungkus.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 tablet lamivudin dengan kadar per tablet yaitu 150 mg. Tablet Lamivuin digerus satu persatu, hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa tablet tergerus homogen. Diusahakan tidak menggerus tablet dalam jumlah banyak sekaligus. Penggerusan dilakukan kearah dalam untuk memusatkan energi kedalam, sehingga lebih efisen dalam waktu, dan serbuk yang didapatkan lebih halus dan homogen (Ansel, 1989).

Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil yang sesuai dengan persyaratan Farmakope Indonesia edisi III, dimana hanya terdapat 1 bungkus puyer yang melebihi 10% bobot rata-rata tetapi penyimpangannya tidak lebih dari 15% bobot rata-rata. Pembagian dengan alat bantu ini memberikan kemudahan dalam pembagian serbuk dan dapat memenuhi keseragaman bobot yang dipersyaratkan. Keseragaman bobot puyer yang dihasilkan diharapkan dapat mengoptimalkan terapi karena bobot puyer yang dibuat sudah memenuhi persyaratan.

  • 5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa alat bantu memudahkan dalam penyiapan obat dalam sediaan puyer puyer Lamivudin dosis kecil (50 mg) dan hasil hasil penentuan keseragaman bobot puyer memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia Edisi III.

UCAPAN TERIMAKASIH .......Penulis mengucapkan terimakasih kepada Anak Agung Sagung Nariti Maharani atas dukungan serta bantuan selama penelitian ini berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisis Keempat. Jakarta: Penerbit UI Press. Halaman : 202-209.

Anief, M. 1988. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: UGM Press. Halaman 34-37.

Depkes. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 24.

Depkes RI. 2008. Pedoman Tatalaksana Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral Pada Anak di Indonesia. Jakarta : Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Halaman : 24.

Himawati E. R., N. Roosita, dan T. Purwanti. 2003. Pengaruh Metode Pembagian Visual Terhadap Keseragaman Bobot Puyer dan Kapsul Dosis Kecil dan Besar dengan Jumlah        Pembagian        yang

Berbeda.http://www.infolitbang.ristek.go.id/i ndex.php?l=id&go=d&i=702

Katzung, B. G., 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 8 Cetakan Ketiga. Surabaya: Salemba Medika.

Maharani, A.A.S.N., Pratama, K.M., Niruri, R., Dewantara, I G.N.A.,Wati, K.D., Wiradotama, I G.B.G. 2013. Pengaruh metode pembagian visual dengan dan tanpa coating terhadap keseragaman bobot puyer isoniazid dosis besar untuk terapi anak dengan HIV/AIDS-TB. Jurnal Farmasi Udayana. I (1), halaman 93-98

Nasronudin. 2006. HIV & AIDS Pendekatan Biologi Molekuler , Klinis, dan Sosial. Surabaya : Airlangga University Press, Halaman 254.

Setiawan, I Made. 2009. Tatalaksana Infeksi HIV/AIDS pada Bayi dan Anak. Majalah Kedokteran Indonesia. 59 (12), halaman 607-620.

Soedibyo, Soepardi dan E. Koesnandar. 2009. Pengetahuan Orangtua Mengenai Obat Puyer di Poliklinik Umum Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Sari Pediatri, 10 (6), halaman 402.

WHO. 2009. Buku Saku Pelayanan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO Indonesia

105