Evaluasi Penggunaan Deksametason Pada Pasien Anak Dengan Demam Tifoid (Purnami, N.P.Y.,

Niruri, R ., Tanasale, J. D., Erlangga, I. B. E.)

EVALUASI PENGGUNAAN DEKSAMETASON PADA PASIEN ANAK DENGAN DEMAM TIFOID

Purnami, N.P.Y.1, Niruri, R.1, Tanasale, J. D.2, Erlangga, I. B. E.3

  • 1    Jurusan Farmasi-Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-Universitas Udayana

  • 2    Dokter Spesialis Penyakit Dalam di Rumah Sakit Umum Puri Raharja Denpasar

  • 3    Dokter Umum di Rumah Sakit Umum Puri Raharja Denpasar

Korespondensi: Purnami, N. P.Y.

Jurusan Farmasi-Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam-Universitas Udayana Jalan Kampus Unud-Jimbaran, Jimbaran-Bali, Indonesia 80364 Telp/Fax: 0361-703837 Email: [email protected]

ABSTRAK

Demam tifoid merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri gram negatif yaitu Salmonella typhi. Tatalaksana pengobatan demam tifoid meliputi tiga komponen yang saling menunjang yaitu perawatan, diet, dan pemberian antimikroba. Pada pasien demam tifoid mengalami perubahan status mental yang ditandai dengan delirium, obtundation, dan stupor harus segera di evaluasi meningitis. Jika hasilnya normal namun dicurigai meningitis tifoid, pasien dewasa maupun anak harus segera diterapi dengan deksametason. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pemberian deksametason pada pasien anak dengan demam tifoid di RSU Puri Raharja Denpasar. Metode: Penelitian yang dilakukan merupakan observasional dengan jenis penelitian cross-sectional. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Puri Raharja Denpasar, dengan data pasien yang diambil selama periode 1 Januari 2013 – 31 Maret 2014. Hasil: Diperoleh 33 pasien demam tifoid yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Dari 33 pasien demam tifoid yang menjadi subyek penelitian memiliki ketidaksesuaian penggunaan deksametason pada demam tifoid. Ketidaksesuaian ini disebabkan pasien yang menerima deksametason tidak memiliki tanda-tanda klinis demam tifoid dengan perubahan status mental. Kesimpulan: penggunaan deksametason pada pasien anak dengan demam tifoid di RSU Puri Raharja Denpasar tidak sesuai karena penggunaan diberikan pada pasien anak dengan demam tifoid yang tidak memiliki tanda-tanda perubahan status mental, kaku kuduk dan tidak dicurigai meningitis.

Kata kunci: Demam tifoid, pengobatan, deksametason.

  • 1.    PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang terjadi akibat bakteri Salmonella enteric serotype typhi (Salmonella typhi) (Parry et al., 2002). Demam tifoid dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang, terutama yang terletak di daerah tropis dan subtropis (Riyatno, 2011). Pada tahun 2003 terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan 600.000 kasus kematian tiap tahun (WHO, 2003). Di Asia Tenggara, insiden demam tifoid masih tinggi dengan jumlah kasus per tahun yaitu 100 kasus per 100.000 populasi (Bhan et al., 2005). Di Indonesia insiden demam tifoid

terjadi pada usia 3-6 tahun adalah 1307 per 100.000 populasi per tahun, sedangkan pada usia 7-19 tahun adalah 1172. Di Indonesia di jumpai 900 ribu pasien demam tifoid per tahun dengan angka kematian lebih dari 20 ribu (Bhan et al., 2005).

Tatalaksana pengobatan demam tifoid meliputi tiga komponen yang saling menunjang yaitu perawatan, diet, dan pemberian antimikroba (Suryantini dkk., 2001). Perawatan yang diberikan kepada pasien berupa tirah baring, hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi terutama pendarahan dan perforasi (MenKes,

2006). Sedangkan diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama (Santoso, 2009). Sebaiknya pasien demam tifoid diberikan makanan yang mudah diserap, rendah serat, dan mempunyai gizi tinggi. Pemberian antimikroba yang tepat pada pasien demam tifoid sangat penting, karena dapat mencegah komplikasi dan mengurangi angka kematian.

Pasien demam tifoid yang masih dirawat atau yang telah keluar harus dipantau perkembangan komplikasi. Intervensi secara berkala dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas. Pasien demam tifoid disertai dengan perubahan status mental yang ditandai dengan delirium, obtundation, dan stupor harus segera di evaluasi meningitis dengan memeriksa cairan serebrospinal. Jika hasilnya normal namun dicurigai meningitis tifoid, pasien dewasa maupun anak harus segera diterapi dengan deksametason dosis tinggi secara intravena dikombinasikan dengan antimikroba (Parry et al., 2002).

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pemberian deksametason pada pasien anak dengan demam tifoid di RSU Puri Raharja Denpasar.

  • 2.    BAHAN DAN METODE

    • 2.1    Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diambil dari rekam medis pasien anak dengan demam tifoid, yaitu data umur dan jenis kelamin, data hasil pemeriksaan laboratorium, data data klinis pasien, serta data penggunaan obat baik selama rawat inap maupun obat yang diresepkan pada saat pasien keluar rumah sakit (obat pulang).

  • 2.2    Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan jenis penelitian crosssectional. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum (RSU) Puri Raharja Denpasar, dengan data pasien yang diambil selama periode 1 Januari 2013 – 31 Maret 2014.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien anak dengan demam tifoid. Semua data yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi, dimasukkan dalam penelitian.

Kriteria inklusi:

  • 1.    Pasien anak yang berusia 0 - 18 tahun.

  • 2.    Pasien anak dengan demam tifoid yang dirawat inap di RSU Puri Raharja selama periode 1 Januari 2013 - 31 Maret 2014 yang mendapatkan deksametason.

Kriteria eksklusi:

  • 1.    Pasien anak dengan demam tifoid yang tidak mendapatkan deksametason.

Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi, merupakan subyek penelitian. Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif.

Analisa kesesuain penggunaan deksametason pada pasien demam tifoid dengan perubahan status mental ditandai dengan delirium, obtundation, dan stupor. Delirium ditandai dengan gangguan mental, gelisah, dan bicara yang tidak sesuai dengan yang dilihat. Obtundation ditandai dengan meringankan rasa nyeri yang berkurang. Stupor ditandai dengan tidak sadar parsial.

  • 3.    HASIL

Dalam penelitian ini dari 100 pasien anak dengan demam tifoid, terdapat 33 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Karakteristik 33 pasien yang menjadi subyek penelitian, dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Dari 33 pasien yang menggunakan deksametason, seluruhnya mendapatkan pengunaan deksametason yang tidak sesuai dengan indikasi pemberian deksametason pada pasien demam tifoid karena seluruh pasien tidak mengalami perubahan status mental yang ditandai dengan delirium, obtundation, dan stupor. Analisa kesesuaian penggunaan deksametason pada pasien demam tifoid dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.1 Karakteristik Penelitian (Jumlah kejadian = 33)

Karakteristik

Jumlah Pasien (n)

Persentase (%)

Jenis Kelamin

Laki-laki

20

60,6%

Perempuan

13

39,4%

Umur

1 bulan – 2 tahun

3

9,1%

2-6 tahun

11

33,3%

6-12 tahun

12

36,4%

12-18 tahun

7

21,2%

Tabel 3.2 Analisa Kesesuaian penggunaan deksametason pada pasien anak dengan demam tifoid

Pasien Pemberian Deksametason                     Tanda-tanda meningitis

Delirium Obtundation Stupor Kakuk kuduk

1

√                                     -                    -                   -                    -

2

-

-

-

-

3

-

-

-

-

4

-

-

-

-

5

-

-

-

-

6

-

-

-

-

7

-

-

-

-

8

-

-

-

-

9

-

-

-

-

10

-

-

-

-

11

-

-

-

-

12

-

-

-

-

13

-

-

-

-

14

-

-

-

-

15

-

-

-

-

16

-

-

-

-

17

-

-

-

-

18

-

-

-

-

19

-

-

-

-

20

-

-

-

-

21

-

-

-

-

22

-

-

-

-

23

-

-

-

-

24

-

-

-

-

25

-

-

-

-

26

-

-

-

-

27

-

-

-

-

28

-

-

-

-

29

-

-

-

-

30

-

-

-

-

31

-

-

-

-

32

-

-

-

-

33

-

-

-

-

  • 4.    PEMBAHASAN

Deksametason adalah kortikosteroid dengan aktivitas utama glukokortikoid (Sweetman, 2009). Deksametason digunakan terutama sebagai agen anti-inflamasi atau imunosupresan (McEvoy, 2002).

Pasien demam tifoid yang masih disertai dengan perubahan status mental yang ditandai dengan delirium, obtundation, dan stupor harus segera di evaluasi meningitis dengan memeriksa cairan serebrospinal. Deksametason diberikan pada fase awal 3 mg/kg secara infus intravena perlahan selama 30 menit dan setelah enam jam kemudian diberikan 1 mg/kg dan diulang setiap enam jam (WHO, 2003).

Pada penelitian ini, dari 33 pasien yang menjadi subyek penelitian tidak terdapat kesesuaian penggunaan deksametason. Deksametson diberikan pada pasien yang tidak mempunyai tanda-tanda perubahan status mental.

Berdasarkan penelitian Aulakh et al., 2008, pemberian kortikosteroid pada anak harus didasarkan pada indikasi yang jelas. Pada 33 pasien tersebut tidak memiliki tanda-tanda perubahan status mental yang ditandai dengan delirium, obtundation, dan stupor yang kemudian harus segera dievaluasi meningitis dengan memeriksa cairan serebrospinal.

Meningitis merupakan peradangan yang terjadi pada meninges, yaitu membran atau selaput yang melapisi otak. Meningitis dapat disebabkan berbagai organisme patogen seperti virus, bakteri, jamur dan parasit yang menyebar masuk kedalam darah dan berpindah kedalam cairan otak (Dipiro et al., 2008). Gejala yang khas dan umum ditampakkan oleh penderita meningitis demam, kaku kuduk, dan perubahan status mental (Dipiro et al., 2008). Deksametason merupakan terapi adjuvan pada pengobatan meningitis. Deksametason sebagai antiinflamasi diberikan pada pasien meningitis bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan pada selaput otak (Dipiro et al., 2008).

Menurut American Academy of Pediatrics pemberian deksametason dipertimbangkan pada bayi dan anak usia 2 bulan, karena hanya dapat diberikan apabila meningitis terjadi akibat H. Influenzae. Selain itu setelah mendapatkan deksametason pasien neonatus dan bayi usia kurang dari 6 minggu sebaiknya

dilakukan pemeriksaan fungsi lumbar secara berulang setiap 24 – 48 jam untuk memastikan sterilitas cairan serebrospinal (Dipiro et al., 2008).

Penggunaan kortikosteroid seperti deksametason yang tidak sesuai dengan indikasi yang jelas dapat menyebabkan muculnya efek samping. Efek samping biasa lebih parah terjadi pada pasien yang menerima kostikosteroid sistemik. Efek samping deksametason yang terjadi jangka pendek yaitu intoleransi pada saluran cerna, insomnia, kelelahan, retensi cairan dan natrium, penundaan penyembuhan luka dan meningkatnya resiko infeksi. Selain efek samping jangka pendek, terdapat pula efek samping jangka panjang penggunaan deksametason yaitu menekan pertumbuhan, pankreatitis, perforasi usus (Aulakh et al., 2008).

  • 5.    KESIMPULAN

Penggunaan deksametason pada pasien anak dengan demam tifoid di RSU Puri Raharja Denpasar tidak sesuai karena deksametason diberikan pada pasien anak dengan demam tifoid yang tidak mengalami perubahan status mental, kaku kuduk dan tidak dicurigai meningitis.

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti mengucapkan terimakasih pada dosen pembimbing beserta staf dan pegawai di Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana. Dokter dan staf rekam medis di RSU Puri Raharja Denpasar. Keluarga serta teman-teman yang telah memberikan saran dan dukungan kepada peneliti.

DAFTAR PUSTAKA

Aulakh, R and Surijit Singh. (2008). Srategies for Minimizing Corticosteroid Toxicity: A Review. Indian Journal of Pediatrics, 75.1067-1073.

Bhan, M.K., Bahl, R., and Bhatnagar, S. (2005). Typhoid and paratyphoid fever. Lancet, 366, 749-762.

Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C. Matzke, G. R., Wells, B. G., and Posey, L. M. ., Gary C. Y., Barbara G. W. (Ed.).

  • (2008) . Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach 17th Edition. United State of America: McGraw-Hill.

McEvoy, G. K. (2002). AHFS Drug Information. United State of America: America Society of Healty System Pharmacists.

Menkes RI. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan           RI           No.

364/Menkes/SK/V/2006         tentang

Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta : Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Parry, C.M., Hien, T.T., Dougan, G., White, N.J., and Farrar, J.J. (2002). Typhoid Fever. NEJM, 347 (22), 1770-1782.

Rampengan, N. H. (20013). Antibiotik Terapi Demam Tifoid Tanpa Komplikasi pada Anak. Sari Pediatri, 14 (5). 271-276.

Santoso, Henry. (2009). Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotika Pada Kasus Demam Tifoid yang Dirawat pada Bangsal Penyakit Dalam di RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun 2008. Fakultas Kedokteran Universitas Diponogoro Semarang. 1-29.

Suryantini dan Dasril Daud. (2001). Perawatan Singkat Demam Tifoid pada Anak. Sari Pediatri, 3 (2). 77 – 82

Sweetman, S.C. (Ed.). (2009). Martindale The Complete Drug Reference 36th edition. Grayslake: Pharmaceutical Press.

WHO. 2003. Background document: The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. Geneva : World Health Organization.

73