ISSN : 2301-8968


Vol. 13 No.1, Februari 2020

EKONOMI

KUANTITATIF

TERAPAN

Volume 13

JEKT

Nomor 1

Pola Perilaku Komuter dan Stres: Bukti dari Jabodetabek Gema Akbar Riadi, Muhammad Halley Yudhistira

ISSN 2301-8968

Denpasar

Februari 2020

Halaman

1-210

Apakah Pendidikan Tinggi Meningkatkan Kemungkinan untuk Bekerja di Sektor Formal?: Bukti dari Data SAKERNAS

Rizky Maulana

Dampak Pengeluaran Wisatawan Mancanegara terhadap Perekonomian Indonesia: Andhiny Adyaharjanti, Djoni Hartono

Peran Riset dan Pengembangan (R&D) Akademis Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Abdul Khaliq

Pekerja Anak di Indonesia : Peran Penawaran dan Permintaan Keternagakerjaan Resa Surya Utama, Dwini Handayani

Kebijakan Fiskal Dalam Trend [embangunan Ekonomi Jangka Panjang di Indonesia I Komang Gde Bendesa, Ni Putu Wiwin Setyari

Analisis Efek Penularan Melalui Pendekatan Risiko Sistemik dan Keterkaitan Keuangan: Studi Pada DualBanking System di Indonesia

Setyo Tri Wahyudi, Rihana Sofie Nabella, Ghozali Maski

Faktor Eksternal dan Internal Penentu Kekuasaan Perempuan Bali Dalam Pengambilan Keputusan Rumah Tangga di Provinsi Bali

Putu Ayu Pramitha Purwanti

Elastisitas Permintaan Gandum dan Produk Turunan Gandum di Indonesia Saaroh Nisrina Saajidah, I Wayan Sukadana

Willingness To Pay (WTP) Iuran Pemberdayaan LPD kepada Lembaga Pemberdayaan LPD (LPLPD) di Kecamatan Bangli dan Kecamatan Susut Kabupaten Bangli (Pendekatan Ekonomi Kelembagaan)

I Nengah Kartika, I Made Jember


JURNAL

EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN

VOLUME 13 NO.1 FEBRUARI     2020

SUSUNAN REDAKSI

EDITOR

I Wayan Sukadana Ni Putu Wiwin Setyari Anak Agung Ketut Ayuningsasi

DEWAN EDITOR

I Komang Gde Bendesa

Anak Agung Istri Ngurah Marhaeni Luh Gede Meydianawathi

Ni Made Tisnawati

MITRA BESTARI

Adrianus Amheka, Politeknik Negeri Kupang Made Antara, Universitas Udayana Mohammad Arsyad, Universitas Hasanudin Kadek Dian Sutrisna Artha, Universitas Indonesia

Djoni Hartono, Universitas Indonesia

Palupi Lindiasari, Universitas Indonesia Devanto Shasta Pratomo, Universitas Brawijaya Deniey Adi Purwanto, Institut Pertanian Bogor Ni Made Sukartini, Universitas Airlangga Setyo Tri Wahyudi, Universitas Brawijaya Muhammad Halley Yudhistira, Universitas Indonesia

ADMINISTRASI DAN DISTRIBUSI

I Ketut Suadnyana Ida Ayu Made Widnyani

Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan diterbitkan oleh Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana dua kali dalam setahun bulan Februari Dan Agustus

ALAMAT

Ruang Jurnal, Gedung BJ lantai 3 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana Jalan PB Sudirman Denpasar

Phone: +62-361-255511/ Fax: +62-361-223344

E-mail: jekt@unud.ac.id

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jekt

ISSN : 2301-8968

Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan (JEKT) adalah jurnal yang menerapkan double blind review pada setiap artikel yang diterbitkan. JEKT diterbitkan oleh Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana dua kali dalam setahun yaitu bulan Februari dan Agustus. JEKT diterbitkan sebagai kelanjutan dari Jurnal Input, Jurnal Sosial dan Ekonomi. Input terbit berkala sebanyak dua kali dalam setahun, dengan Nomor ISSN 1978-7871, dan di tahun kelima, INPUT telah terbit sebanyak sembilan edisi, dengan terbitan terakhirnya adalah Volume V, Nomor 1 Februari 2012. Pembaharuan INPUT menjadi JEKT tercetus pada pertemuan antara tim redaksi jurnal jurusan bersama pimpinan kampus, awal Maret 2012. Setelah melakukan beberapa evaluasi dan dengan merujuk kepada Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional Republik Insonesia Nomor 49/dikti/kep/2011 tentang Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah, maka terbitlah jurnal jurusan : Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan dimulai dari Volume V, Nomor 2 Agustus 2012.

Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan (JEKT) beralamat di Ruang Jurnal, Gedung Program Ekstensi Lantai 1, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana. Jalan PB Sudirman Denpasar, Phone: +62-361-255511/Fax: +62-361-223344. Proses registrasi dan submit artikel dapat dilakukan melalui http://ojs. unud.ac.id/index.php/jekt. Untuk bantuan teknis, penulis dapat menghubungi, email: jekt@unud.ac.id, SMS dan WA : +6281338449077.

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 36a/E/KPT/2016 tanggal 23 Mei 2016, JEKT dinyatakan telah terakreditasi B oleh Dikti. Selain terakreditasi oleh Dikti, JEKT juga telah terindeks pada Google Scholar, IPI, dan DOAJ.

JURNAL

EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN

VOLUME 13 NO.1 FEBRUARI 2020

PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang terhormat,

Sampai dengan edisi ini terbit, jika pembaca menelusuri deretan jurnal-jurnal yang terdaftar di Sinta dengan kata kunci penelusuran “kuantitatif”, maka yang akan muncul adalah Jurnal Ekonomi Kuantitatif (JEKT). Dengan menjadi satu-satunya jurnal dengan fokus kuantitatif, maka JEKT dituntut untuk menampilkan terbitan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Kalangan peneliti ekonomi, pembangunan dan ilmu sosial lainnya di Indonesia tentunya sudah tidak asing lagi dengan penerapan metode kuantitatif dalam melakukan analisis, khususnya analisis empiris. Terlepas dari semua itu, diatas segala kemutakhiran metode kuantitatif yang digunakan, “ceritera” yang mampu menarik pembaca dan tentunya para pembuat kebijakan untuk berpastisipasi aktif dalam membaca dan menulis di JEKT adalah yang utama. Rangkaian “ceritera” yang baik dan metode kuantitatif yang sesuai tidak akan bermakna jika data yang digunakan tidak transparan dan tidak valid.

Slogan menarik mengenai data digunakan oleh BPS, “Data Mencerdaskan Bangsa”, JEKT berkomitmen untuk berperan aktif dalam mewujudkan slogan tersebut menjadi kenyataan. Meskipun tidak selalu data yang digunakan artikel yang dipublikasi oleh JEKT menggunakan data BPS sebagai “menu” utama dalam analisisnya, data BPS pasti hampir selelu menjadi rujukan dalam setipa artikel dalam terbitan JEKT. Pentingnya satu pemahaman dan satu sumber dalam data memegang peran penting dalam analisis dan diskusi yang akan melahirkan implikasi kebijakan yang lebih tepat sasaran. Dalam edisi kali ini, JEKT kembali menerbitkan 10 artikel dengan sumber dan jenis data serta metodologi yang beragam.

Sumber data yang digunakan oleh penulis dalam edisi ini cukup bervariasi mulai sumber data sekunder sampai data primer. Artikel dengan sumber data sekunder sendiri juga memiliki variasi jenis data yang beragam mulai dari data mikro antara lain dari sumber BPS seperti Sakernas, seperti yang digunakan oleh Maulana untuk menjelaskan bagaimana pendidikan menentukan status pekerjaan pekerja dan Susenas serta Podes seperti yang digunakan oleh Utama dalam menjelaskan keberadaan pekerja anak di Indonesia. Sumber data mikro lain, yaitu IFLS digunakan oleh Saajadah dan Sukadana dalam mengungkapkan elastisitas permintaan gandum dan produk turunannya. Data sumber sekunder mengenai keuangan juga ditampilkan dalam edisi kali ini, Wahyudi, et.al, menjelaskan perilaku sistemik dalam industri perbankan dengan menggunakan berbagai data keuangan yang bersumber dari berbagai lembaga keuangan di Indonesia seperti OJK, BI dan sumber online Yahoo finance.

Tidak hanya analisis mikro, edisi kali ini juga menampilkan berbagai analisis makro dengan menggunakan data sumber sekunder. Hartono, menjelaskan efek pengeluaran wisatawan dengan menggunakan data Input-output. Analisis dengan data agregate ditampilkan oleh Bendesa dan Setyari dalam menjelaskan tren pembangunan jangka panjang di Indonesia. Data publikasi BPS lainnya digunakan oleh Riyadi dan Yudhistira dalam menganalisis perilaku komuter di Jabodetabek. Artikel dengan sumber data primer juga diterbitkan dalam edisi kali ini. Purwanti dan Kartika adalah dua diantaranya, kedua penulis ini menggunakan data primer untuk menganalisis ekonomi lokal di Bali. Purwanti, menjelaskan bagaimana peran perempuan Bali dalam pengambilan keputusan rumah tangga, sedangkan Kartika menganalisis willingness to pay masyarakat lokal setempat pada lembaga keuangan lokal Bali, LPD.

Akhir kata, redaksi menyimpulkan bahwa artikel-artikel yang diterbitkan oleh JEKT mulai mengalami pergeseran sejak kemunculannya pertama kali lebih dari 10 tahun silam, utamanya dari sisi data yang digunakan. Semakin banyak artikel-artikel yang menampilkan analisis dengan menggunakan data mikro baik dari sumber sekunder maupun primer. Meskipun demikian JEKT tetap membuka diri untuk artikel-artikel dengan penggunaan data agregate. Kembali ke Alenia pembuka di atas, yang terpenting bagi JEKT dalam terbitannya adalah “ceritera” yang menarik, metode kuantitatif yang sesuai dan data yang valid.

pISSN : 2301 – 8968

JEKT ♦ 13 [1] : 185-210


eISSN : 2303 – 0186

Pola Perilaku Komuter dan Stres: Bukti dari Jabodetabek

Gema Akbar Riyadi Muhammad Halley Yudhistira Universitas Indonesia

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan perilaku berkomuter yang ditangkap dengan waktu tempuh terhadap kecendrungan terkena stresdengan menggunakan survei komuter Jabodetabek oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014. Hasil estimasi menunjukkan bahwa setiap kenaikan waktu tempuh dalam berkomuter sebanyak 10 menit berasosiasi pada kencendrungan seseorang untuk terkena stres sebesar 0,8-1,8%, relatif sama dengan negara lainnya. Hasil estimasi ini konsisten terhadap subgrup sampel komuter berjenis kelamin perempuan, penduduk non-migran, pengguna motor dan para pekerja. Hasil estimasi ini juga mendorong pemerintah membuat kebijakan untuk mengurangi stres.

Kata Kunci: Perilaku Komuter; Jabodetabek; Tingkat Stres, Logistik Biner

Klasifikasi JEL: R410, D910

Commuter Behaviour and Stress: Evidence from Jabodetabek

ABSTRACT

This study aims to analyze the relationship of commuting behaviour captured with travel time to a tendency to be stress. This study used Jabodetabek Commuter Survey conducted by Badan Pusat Statistik (BPS) in 2014. Estimation results show that each increase in commuting time by 10 minutes is associated with a person's tendency to be stressed by 0.8-1.8%, relatively same as other countries. These estimation results are consistent with a subgroup samples of female, nonmigrant’ peoples, motorbike users and workers. Our result also encourage the government to make policies to reduce stress.

Kata Kunci: Perilaku Komuter; Jabodetabek; Tingkat Stres, Logistik Biner

Klasifikasi JEL: R410, D910

Corresponding email address : mhyudhistira@lpem-feui.org

PENDAHULUAN

Berkomuter di kota-kota besar/metropolitan telah terjadi peningkatan waktu tempuh yang semakin lama dan jarak semakin jauh dari rumah menuju tempat bekerja (Cooper & Corcoran, 2018; Saldivia, 2018; Statistics Canada, 2017; Trades Union Congress, 2016). Waktu tempuh berkomuter yang meningkat tersebut sebagaian besar disebabkan oleh tingginya urbanisasi dan mobilitas yang tinggi di perkotaan. Dalam konteks Asia, akibat terjadinya urbanisasi telah terjadi pula bertumbuhan kendaraan bermotor dua kali lipat dalam kurun waktu 5-7 tahun (PPID-Kemenhub, 2015).Kemacetan lalu lintas di seluruh dunia sangat berbeda-beda, terutama di negara maju dan berkembang. Menurut (Jain et al, 2012) negara berkembang memiliki kemacetan lalu lintas sangat buruk karena beberapa alasan berikut yaitu, kota yang tidak direncanakan (unplanned cities), pengendara yang tidak disiplin (poor discipline), stigma masyarakat, menejemen lalu lintas yang kuno dan dana pembangunan yang minim.

Kenaikan waktu tempuh karena kemacetan lalu lintas inilah mengganggu kesejahteraan (well-being) terutama stres. Hilbrecht, Smale,

& Mock (2014) mengemukakan kemacetan menyebabkan tidak dapat diprediksinya waktu berkomuter, sehingga memperburuk tingkat stres. Penelitian lainnya Gottholmseder(2008) dan Stone & Schneider (2016) menjelaskan kegiatan berkomuter adalah kegiatan yang meningkatkan persepsi stres dibandingkan kegiatan keseharian lainnya. Persepsi stres saat berkomuter tersebut dimungkinkan menjadi stres jika berkomuter dilakukan dalam waktu tempuh yang lama (Evans & Wener, 2006). Senada dengan penelitian Evans & Werner,Gimenez-Nadal & Molina(2019)berpendapat perilaku berkomuter yang memakan waktu tempuh semakin lama akan meningkatkan tingkat stres dan kelelahan. Stres dan kelelahan ini berkorelasi dengan kegiatan lain, seperti mengasuh anak yang seharusnya menggunakan perasaan senang dan gembira menjadi perasaan stres dan lelah.

Jakarta merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia yang meliputi wilayah Jakarta itu sendiri dan wilayah sekitaranya. Seluruh wilayah metropolitan ini dikenal dengan Jabodetabek. Jabodetabek menjadi kawasan dengan tingkat urbanisasi yang tinggi dan mobilisasi sangat dinamis. Sayangnya, mobilitas yang

sangat dinamis ini tidak dibarengi dengan pelayanan transportasi publik yang memadai, sehingga pola transportasi komuter masih bertumpu pada kendaraan pribadi. Namun uniknya, kendaraan pribadi motor adalah primadona bagi komuter di wilayah Jabodetabek, lebih dari 50% komuter menggunakan transportasi roda dua tersebut (BPS, 2014). Hal ini disebabkan kemacetan di Jakarta juga sudah tergolong kemacetan yang sangat parah, sehingga motor menjadi pilihan yang tepat untuk membelah kemacetan. Tidak sebandingnya kapasitas jalan dan kendaraan, membuat Jakarta menjadi kota di peringkat 12 dalam daftar kota-kota macet di dunia1. Selain itu, kinerja simpang yang buruk, bottleneck, dan kurang disiplinnya pengendara (PPID-Kemenhub, 2015) membuat kemacetan semakin semerawut dan tidak terkontrol. Hal ini menyebabkan Jakarta menjadi kota pada urutan kedua dengan waktu tempuh berkomuter terlama di Asia Tenggara yaitu dengan rata-rata waktu tempuh 68 menit2 . Dengan karakteristik Jakarta yang

disebutkan tersebut, penting bagi penulis untuk menganalisis lebih jauh tentang pola komuter terutama waktu tempuh komuter yang ada diwilayah Jabodetabek terhadap tingkat stres.

Penelitian ini penulis menggunakan data Survey Komuter Jabodetabek tahun 2014 dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan sampel penelitian yang diambil adalah komuter bekerja. Variabel of interest yang dipakai merupakan waktu tempuh yang dibutuhkan komuter dari rumah menuju tempat kerja. Penulis juga menggunakan variabel kontrol. Variabel kontrol tersebut adalah moda transportasi, pengalaman berkomuter, karakteristik demografi dan karakteristik pekerjaan. Dengan mengacu kepada literature yang sudah ada, penulis menggunakan estimasi regresi logistik untuk melihat hubungan variabel terikat (peluang stres) dengan variabel of interest(waktu tempuh berkomuter).

Hasil estimasi dari penelitian ini memperlihatkan hasil yang signifikan positif secara statistik antara hubungan waktu tempuh berkomuter dengan tingkat stres di wilayah Jabodetabek. Analisis pada tingkat subgrup sampel menemukan jenis kelamin, status migran, moda transportasi dan status komuter juga berhubungan positf dengan tingkat stres.

Penelitian tentang komuter dan stres sangat terbatas jumlahnya dan hanya ditemukan pada kota-kota metropolitan di negara maju. Oleh karena itu, diharapkan penelitian ini dapat membantu menambah studi tentang komuter dan stres tersebut terutama di negara-negara berkembang. Selain itu, penelitian seperti ini masih sangat jarang di Indonesia, sehingga diharapkan juga bermanfaat bagi pengambil kebijakan.

Tinjauan Teoritis

Komuter di Jabodetabek

Tingginya tingkat urbanisasi membuat pertumbuhan penduduk di kota Jakarta tidak berbanding lurus dengan ketersediaannya lahan. Hal ini menyebabkan harga lahan di Jakarta tidak terjangkau dan masyarakat cenderung membeli lahan di pemukiman di luar Jakarta (Bodetabek) yang lebih murah dan luas. Timbulnya kepadatan baru didaerah luar Jakarta ini menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk di Jakarta bersifat menyebar (sprawling). Akibatnya, fenomena komuter di Jabodetabek sudah menjadi hal yang lumrah terjadi, dimana kebanyakan penduduk tinggal di daerah pinggiran dan bekerja di tengah kota.

Pola transportasi di Jabodetabek masih tergantung dengan kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum seperti bus,

kereta atau angkot. Bahkan moda share angkutan umum mengalami pengurangaan, dimana pada tahun 2002 pengguna angkutan umum mencapai 55% dan terus mengalami penurunan hingga tahun 2010 yang hanya sebesar 28%. Sistem angkutan umum yang buruk memicu terjadinya penurunan ini dan masyarakat cendrung berpindah ke kendaraan pribadi yang lebih nyaman, aman serta ketepatan waktu yang tinggi (PPID-Kemenhub, 2015). Pada gambar 1 menunjukkan Jakarta menjadi kota dengan moda share pengguna kendaraan pribadi paling besar dari kota lainnya yaitu sebesar 62,2%.

Gambar 1. Moda Share kota-kota di Asia tahun 2013

Sumber: Tusk-JICA (2013), diolah


Jaringan moda transportasi dengan moda share seperti ini akan menimbulkan kemacetan lalu lintas terutama di koridor-koridor wilayah yang menampung pergerakan komuter. Selain di wilayah tersebut, kemacetan juga terjadi di jaringan jalan kawasan sentral bisnis (CBD) dan jalan menuju kawasan sentral bisnis tersebut.Penyebab utama kemacetan lalu lintas ini adalah kapasitas, kinerja simpang yang buruk, bottleneck,dan friksi samping jalan tinggi serta konflik lalu lintas (kurangnya disiplin pengendara) (PPID-Kemenhub, 2015). Kemacetan biasa terjadi pada jam-jam sibuk yaitu pagi saat

berangkat kerja komuter dan sore hari saat pulang kerja komuter. Survei kemenhub pada 84 jalan di Jakarta menunjukkan nilai kecepatan yang cukup rendah yaitu 18,14 km/jam pada jam sibuk

pagi hari dan 14,96 km/jam untuk jam sibuk sore hari. Secara detail gambar 2 menunjukan sebanyak 59% (pada pagi hari) dan 77% (pada sore hari) mempunyai nilai kecepatan dibawah 20 km/jam, lalu terdapat 23% (pada pagi hari) dan 33% (pada sore hari) mempunyai nilai kecepatan dibawah 10 km/jam.

Gambar 2. Kecepatan Perjalanan Kondisi Sibuk Pagi (kiri) dan Sore (kanan) di Jakarta tahun 2013

Kec. 0-10 km/jam    Kec. 10-20 km/jam Kec. 20-30 km/jam

Kec. 30-40 km/jam   Kec. > 40km/jam



Sumber: Survey kecepatan perjalanan di Jakarta, Dishub DKI Jakarta, 2013, diolah

Stres Berkomuter Sebagai Bagian dari Subjective Well-Being

Diener et al, (1999) mendefinisikan Subjective Well-Being (SWB) adalah sebuah kategori yang luas dari sebuh fenomena yang mencangkup respon emosi orang, kepuasan domain dan penilaian terhadap kepuasan hidup. Setiap fenomena yang muncul tersebut merupakan hak untuk dipahami oleh diri orang tersebut. Diener(2000) berpendapat mengenai pendekatan kata “subjektif” pada kualitas hidup. Kata “subjektif” tentang kualitas hidup adalah sebuah hal yang demokratis karena memberikan setiap orang hak untuk memutuskan apakah hidupnya layak atau tidak. Pendekatan ini yang mendefinisikan SWB kedepannya. Diener et al. (1999) dan

Diener (2000) menjelaskan komponent dari SWB yang terdapat pada tabel 1. Dari keempat komponen kategori tersebut Diener juga membagi memjadi beberapa sub kategori. Dari tabel tersebut didapatkan bahwa stres adalah salah satu komponen penting dari SWB.

Tabel 1. Komponen dari Subjective Well-Being

Pengaruh Positif

Pengaruh Negatif

Kepuasan Hidup

Kepuasan Domain

Kenikmatan

Bersalah dan Malu

Keinginan untuk Mengubah Hidup

Bekerja

Kegembiraan

Kesedihan

Kepuasan dengan Kehidupan Saat Ini

Bekeluarga

Kepuasan

Kecemasan

Kepuasan dengan Masa Lalu

Kesenggangan

Kebanggaan

Kemarahan

Kepuasan dengan Masa Depan

Kesehatan

Kasih sayang

Stres

Pandangan Orang Lain Tentang Kehidupan Seseorang

Keuangan

Kebahagiaan

Depresi

Kesendirian

Ekstasi

Iri

Berkelompok

Sumber: Diener et al. (1999), diolah


Lazarus & Launier (1978) mendefinisikan stres sebagai sebuah situasi dimana lingkungan menguasai keadaan individu. Ketika individu berjumpa dengan rangsangan negatif di lingkungannya (stresor) maka individu itu kan merespon dengan melibatkan sumber daya perilaku, psikologis dan sosial untuk mengatasinya. Jika kemampuan individu mengatasi stresor tersebut kurang maka respon stres akan terjadi (Rüger et al., 2017). Salah satu contoh stresor adalah berkomuter. Novaco et al., (1990) menyebutkan stresor yang berkontribusi terhadap stres berkomuter dibagi menjadi dua kategori yaitu objektif

dan subjektif.. Gottholmseder (2008) menjelaskan lebih jelas mengenai stresor objektif dan subjektif tersebut. Objektif stresor sering disebut juga dibeberapa literature adalah hambatan (impedance) atau kondisi saat berkomuter. Sedangkan stresor subjektif diukur dari variabel-variabel penjelas yang bersifat subjektif seperti karakteristik personal (umur atau jenis kelamin), persepsi saat berkomuter atau prediksi dari kondisi saat berkomuter.

Tinjauan Literatur

Topik penelitian hubungan waktu tempuh berkomuter dan tingkat kesejahteraan/

subjectivewell-being telah banyak dilakukan di negara-negara maju. Pengukuran tingkat kesejahteraan yang dipakai juga sangat bermacam-macam jenisnya. Nie & Sousa-Poza (2018) di Tiongkok mengukur kesejahteraan dengan kepuasan hidup dan kebahagiaan. Sha, et.al. (2019) di Hongkong dan Hansson et. al. (2011) di Scania, Swiss Selatan menggunakan body mass index (BMI), tekanan mental dan penilaian kesehatan diri. Olsson et al. (2013) di Swiss menggunakan emosi yang diukur menggunakan skala likert. Dan Rüger et al. (2017) di Jerman menguji peranan stres untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Kelima penelitian tersebut dengan menggunakan bermacam-macam pengukuran tingkat kesejahteraan menghasilkan hubungannya yang negatif terhadap waktu tempuh berkomuter.

Selain waktu tempuh berkomuter yang sudah terbukti berkorelasi negatif terhadap kesejahteraan tersebut, jenis moda transportasi juga memiliki ciri khas masing-masing mempengaruhi kesejahteraan. Transportasi aktif seperti berjalan dan bersepeda memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi dibandingkan komuter pengguna mobil maupun transportasi publik. Penelitian Smith (2017) di Amerika, Chng et al. (2016) dan Humphreys et al. (2013) di

Inggris membuktikan transportasi aktif memiliki tingkat kepuasan yang tinggi. Selain itu, Rissel et al. (2014) di Australia dan Legrain et al. (2015) di Kanada membuktikan transportasi aktif memiliki tingkat stres paling rendah dibandingkan dengan menggunakan transportasi lainnya. Hal tersebut dikarenakan komuter yang berkomuter dengan transportasi aktif melatih fisiknya saat berkomuter sehingga lebih sehat.Penelitian lainnya yang berfokus terhadap komuter pengguna mobil yaitu Wener & Evans (2011) dan Hilbrecht et al. (2014) di Kanada. Penelitian tersebut membuktikan komuter pengguna mobil memiliki kepuasan hidup yang rendah dan tingkat stres yang tinggi jika berkomuter dalam waktu cukup lama. Hal tersebut dikarenakan berkomuter dengan waktu yang lama akan mengorbankan aktivitas lain yang bersifat postif, berupaya lebih (efforful) dan tidak terprediksi (unpredictable) yang disebabkan kemacetan. Selain itu, penelitian Urhonen, Lie, & Aamodt (2016) yang berfokus pada komuter pengguna kereta membuktikan, berkomuter yang lama di kereta akan meningkatkan keluhan kesehatan subjektif seperti gangguan sendi (muskuloskeletal), gangguan neuroligis (pseudoneurology) dan gangguan fungsi cerna (gastrointestinal).

Karakteristik demografi komuter adalah determinan kesejahteraan yang penting dalam literatur. Menurut jenis kelamin, laki-laki lebih banyak dan lebih jauh berkomuter dibandingkan perempuan. Namun, berkomuter lebih menurunkan kesehatan psikologi perempuan dari pada laki-laki (Roberts, Hodgson, & Dolan, 2011). Menurut umur, semakin bertambahnya umur juga akan meningkatkan keluhan kesehatan fisik dan mental. Begitu pula dengan hal pendidikan, pendidikan yang lebih tinggi memiliki kesehatan yang lebih sehat (Tajalli & Hajbabaie, 2017). Pada variabel status pernikahan, komuter yang menikah berkontribusi terhadap kepuasan hidup (Dolan, Peasgood, & White, 2008).

Karakteristik pekerjaan pun juga penting dijadikan determinan kesejahteraan. Pendapatan yang semakin tinggi diterima komuter dari tempat dia bekerja akan meningkatkan kepuasan hidup (Morris & Zhou, 2018), hal tersebut dikarenakan pendapatan yang lebih tinggi cenderung mencerminkan fleksibilitas yang lebih besar untuk mengoptimalkan kehidupan seseorang dan menghasilkan pengalaman berkomuter yang lebih baik (Smith, 2017). Penelitian (Legrain, Eluru, & El-Geneidy, 2015) juga membuktikan bahwa variabel pendapatan mempunyai hubungan kuat negatif terhadap

stres pada model apapun yang dia teliti. Selain pendapatan jenis pekerjaan juga mempengaruhi tingkat setres. Menurut (Avianty, 1994) ada jenis-jenis pekerjaan tertentu yang mempunyai kadar stres sedang, tetapi ada pula jenis pekerjaan yang kadar stresnya tinggi atau rendah. Perbedaan ini dipengaruhi beberapa hal seperti hubungan perkerja dan kondisi fisik pekerjaan.

METODE PENELITIAN

Strategi Estimasi

Model peneltian ini mengacu pada Legrain et al., (2015), dimana penulis memiliki

variabel terikat dikotomi yang terdiri dari

dua kategori sehingga menggunakan analisis logistik biner (Gujarati & Porter, 2009). Model persamaan fungsi logitstik pada

penelitian ini adalah:

p7

In (p^) = βo + β1Comtimei + ∑ SmModami

56

+ ∑ Xn ExPni + ∑a° Charp0i n=0o=0

8

+ ∑θp Charwpi + Ei

p=0

Dimana i dinotasikan sebagai komuter.

β0, β1, Sm, Yn, a0, θp adalah koefisien yang dicari dan Ei adalah standar eror dengan rata-rata nol dan varian yang konstan yang memenuhi asumsi klasik. Pi merupakan probabilitas komuter ke- i terkena stres,

maka 1 — Pj adalah merupakan probabilitas komuter ke- i tidak terkena stres.

Comtimej merupakan variabel of interestdari penelitian ini, yaitu waktu tempuh berkomuter dari rumah ke kantor yang diukur dengan ukuran setiap 10 menit setiap komuter ke- i. Penelitian ini memiliki hipotesis hubungan positif antara waktu tempuh dengan komuter yang terkena stres. Dengan demikian penelitian ini mengharapkan β1 > 0 dan signifikan secara statistik.

Penelitian ini juga menggunakan variabel kontrol untuk mengurangi omitted variable bias yang terjadi akibat gagal memasukkan variabel penting ke dalam model berdasarkan literatur yang ada. Terdapat empat kelompok variabel kontrol yang akan penulis secara menyeluruh. Untuk lebih detailnya tentang kelompok variabel kontrol dapat dilihat di lampiran 1.

Modamj merupakan kelompok variabel kontrol pertama yang menangkap jenis moda transportasi. Berdasarkan statistik survey komuter Jabodetabek 2014, moda tersebut dibagi menjadi tujuh yaitu; moda aktif (berjalan dan sepeda), motor, mobil, kendaraan umum, transjakarta dan APTB, kereta dan lainnya, dimana moda aktif menjadi dasar pembanding. Mengikuti literature yang sudah ada, setiap moda

memiliki pengaruh masing-masing terhadap tingkatan tingkat kesejahteraan. Moda transportasi yang bersifat aktif memiliki tingkat kesejahteraan tinggi (Humphreys et al., 2013), sedangkan moda yang bersifat pasif seperti mengendarai kendaraan pribadi dan naik transportasi publik memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih rendah (Hilbrecht et al., 2014; Urhonen et al., 2016).

Expnj merupakan kelompok variabel kontrol kedua yang menangkap tentang pengalaman berkomuter komuter ke- i . Mengikuti literature yang sudah ada, ada kemungkinan pengalaman berkomuter terutama pengalaman negatif yang dirasakan menjadi stresor yang mengakibatkan stres (Rüger et al., 2017). Terdapat lima variabel pengalaman negatif berkomuter yaitu kemacetan parah (Rissel et al., 2014), kecelakaan, gangguan moda transportasi (Friman et al., 2017), tindakan kejahatan dan pelecehan seksual.

Charp0j merupakan kelompok variabel kontrol ketiga yang menangkap tentang karakteristik demografi komuter ke- i . Karakteristik personal dibagi menjadi enam variabel yaitu jenis kelamin, umur, pendidikan dan status perkawinan (dibagi tiga variabel; belum menikah, menikah dan cerai). Mengikuti literature yang sudah ada, ada kemungkinan enam variabel tersebut

mempengaruhi komuter terhadap tingkat kesejahteraannya (Dolan et al., 2008; Roberts et al., 2011; Tajalli & Hajbabaie, 2017).

Charwlll merupakan kelompok variabel keempat yang menangkap tentang karakteristik pekerjaan komuter ke- i . Karakteristik personal dibagi menjadi delapan variabel yaitu pendapatan, bidang pekerjaan (dibagi tiga variabel: pertanian, manufaktur dan Jasa) dan status pekerjaan (dibagi empat variabel: wirausaha, PNS, buruh/karyawan, pekerja bebas/keluarga). Mengikuti literature yang sudah ada, ada kemungkinan delapan variabel tersebut mempengaruhi komuter terhadap SWBnya (Avianty, 1994; Chng et al., 2016; Legrain et al., 2015; Morris & Zhou, 2018).

Untuk mengurangi omitted variable bias yang terjadi akibat gagal memasukkan variabel penting ke dalam model pada hasil maka penelitian ini meakukan uji kekuatan model atau robustness check. Robustness check dilakukan dengan mengembangkan sepesifikasi model regresi lalu menganalisa konsistensi hasil regresi di setiap model tersebut, analisa tersebut dilihat dari arah hubungan dan signifikansi variabel of interest (waktu tempuh berkomuter) terhadap variabel terikat (peluang stres). Model regresi diubah-ubah dengan

mengganti dan menambahkan variabel kontrol.

Sumber Data dan Unit Analisis

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Survei Komuter Jabodetabek 2014 oleh BPS. Survei ini mencakup 13.120 rumah tangga sampel yang diperoleh dari 1.312 blok sensus yang tersebar. Survei juga menggunakan stratifikasi kecamatan agar sampel lebih representatif terhadap sebaran penduduk komuter. Selain itu, variabel yang dijadikan stratifikasi adalah penduduk yang berusia 15 tahun keatas yang bekerja, karena diasumsikan semakin besar jumlah penduduk yang berumur 15 tahun keatas yang bekerja maka jumlah komuter juga semakin besar. Sehingga didapatkan sampel sebanyak 47.421 individu.

Unit analisis pada penelitian ini adalah penduduk yang melakukan komuter dan bekerja. Penduduk yang dimaksud adalah penduduk yang bertempat tinggal wilayah Jabodetabek dan melakukan komuter. Penduduk yang dimaksud komuter adalah orang yang melakukan suatu kegiatan bekerja/sekolah/kursus diluar kabupaten/kota tempat tinggal secara rutin pergi dan pulang (PP) ke tempat tinggalnya pada hari yang sama (BPS, 2014).

Sedangkan konsep bekerja menurut BPS      atau keuntungan paling sedikit 1 jam (tidak

adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan      terputus) dalam seminggu.

oleh seseorang dengan maksud memperoleh

atau membantu memperoleh pendatapan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Deskriptif

Tabel 2. Distribusi Tabulasi Silang Variabel of Interest terhadap Variabel Terikat

Variabel of Interest

Status Terkena Stress

Tidak terkena stress

Terkena stres

Observasi   %

Observasi

%

Waktu Tempuh Berkomuter

<60 Menit

1.225    65,82

636

34,18

>=60 Menit

1.545    53,66

1.334

46,34

Hasil analisis deskriptif pada tabel 2 diatas ini merupakan tabulasi silang antara variabel of interest dengan peluang stres. Hasil tabulasi silang tersebut menunjukkan bahwa jumlah komuter dengan waktu termpuh berkomuter lebih dari 60 menit lebih banyak dibandingkan jumlah komuter yang berkomuter kurang dari 60 menit. Selain itu presentase komuter terkena stres pada waktu tempuh diatas 60 menit juga lebih tinggi dibandingkan komuter terkena stres pada waktu tempuh dibawah 60 menit. Hal ini mengindikasikan bahwa di Jabodetabek untuk berkomuter membutuhkan waktu diatas 60 menit dan dengan waktu tempuh tersebut terjadinya peluang untuk terkena stres lebih tinggi.

Hasil Utama

Tabel 3. Hasil Estimasi Logistik Biner Pada Lima Spesifikasi Model

Variabel of interest                    Variabel Terikat (Peluang Stres)

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Waktu Tempuh

0,074***

0,071***

0,037***

0,037***

0,038***

Berkomuter

(0,008)

(0,008)

(0,009)

(0,010)

(0,010)

(Setiap 10 menit)

Variabel control

Moda transportasi (7)

Pengalaman berkomuter (5)

Karakteristik personal (6)

Karakteristik pekerjaan (8)

Jumlah observasi

4740

4740

4740

4740

4740

Pseudo R2

0,012

0,024

0,098

0,100

0,103

Catatan: Angka dalam kurung setelah variabel kontrol adalah jumlah variabel kontrol yang ditambahkan dalam model. Definisi setiap variabel control disajikan pada lampiran 1. Angka di dalam kurung merupakan standard errors. * p<0,1, ** p<0,05, ***p<0,01

Tabel 3 menyajikan hasil estimasi dari persamaan (1). Hasil estimasi persamaan (1) tersebut dikembangan ke dalam lima model estimasi untuk melihat robustness check. Estimasi model 1 memperlihatkan spesifikasi model yang paling sederhana yaitu antara variabel of interest (waktu tempuh berkomuter) dan variabel terikat (peluang stres). Estimasi model 2 memperlihatkan spesifikasi model 1 yang ditambah kelompok variabel kontrol pertama yaitu moda transportasi. Estimasi

model 3 memperlihatkan spesifikasi model 2 yang ditambah kelompok variabel kontrol kedua yaitu pengalaman berkomuter. Estimasi model 4 memperlihatkan spesifikasi model 3 yang ditambah kelompok variabel kontrol ketiga yaitu karakteristik personal komuter. Estimasi model 5 memperlihatkan spesifikasi model 4 yang ditambah kelompok variabel kontrol keempat yaitu karakteristik pekerjaan komuter.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara waktu tempuh komuter dengan peluang terkena stres. Dari kelima hasil estimasi, setiap kenaikan waktu berkomuter sebesar 10 menit berasosiasi dengan kenaikan peluang stres sebesar. 0,8% -  1,8%, signifikan secara statistik pada

tingkat kepercayaan 99%. Hasil tersebut tidak berbeda jauh dengan penelitian Gottholmseder (2008), dimana koefisien peluang stres yang dihasilkan setiap menit waktu tempuh berkomuter sebesar 0,007 atau 0,07 jika waktu tempuh dihitung per 10 menit. Hasil penelitian lainnya yaitu Rüger et al., (2017) juga memiliki hasil estimasi yang tidak begitu jauh dari penulis, dimana koefisien estimasi stres yang dihasilkan setiap 30 menit waktu tempuh berkomuter sebesar 0,15 atau 0,05 jika waktu tempuh dihitung per 10 menit. Namun jauh berbeda dengan hasil penelitian Legrain et al., (2015), dimana koefisien peluang stres yang dihasilkan setiap 10 menit waktu tempuh berkomuter adalah 0,135.

Analisis selanjutnya difokuskan pada beberapa subgrup sampel. Subgrup tersebut adalah jenis kelamin, status migran, moda transportasi dan status komuter. Pembagian subgrup ini untuk melihat apakah terdapat perbedaan hasil dan signifikansi hubungan

dari waktu tempuh berkomuter dengan peluang stres.

Hasil Subgrup Sampel

Tabel 4 menyajikan hasil estimasi subgrup jenis kelamin. Hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara waktu tempuh komuter laki-laki dan perempuan dengan peluang stres. Setiap kenaikan waktu berkomuter laki-laki sebesar 10 menit berasosiasi dengan kenaikan peluang stres sebesar 0,7%, signifikansi secara statistik pada tingkat kepercayaan 99%. Hal tersebut cendrung lebih rendah dari pada komuter perempuan yang setiap kenaikan waktu berkomuternya sebesar 10 menit berasosiasi dengan kenaikan peluang stres sebesar 1,1 %, signifikasi secara statistik pada tingkat kepercayaan 99%.

Kecendrungan perempuan lebih berpeluang terkena stres sejalan dengan beberapa litetarur. Michiel (1999) dan Novaco et al., (1991) membuktikan perempuan lebih terkena pengaruh negatif dari stress akibat berkomuter dibandingkan laki-laki. Roberts et al., (2011) menunjukkan laki-laki lebih banyak dan lebih jauh berkomuter dari pada perempuan, namun berkomuter lebih menurunkan kesehatan psikologis perempuan dari pada laki-laki. Diindikasikan bahwa perempuan memiliki

pola perjalanan yang lebih kompleks dibandngkan laki-laki karena mereka mempunyai tanggung jawab rumah tangga (Gottholmseder, 2008).

Tabel 4. Hasil Estimasi Logistik Biner Peluang Stres

Berdasarkan Jenis Kelamin dan Status Migran

Variabel Terikat (Peluang Stres)

Janis Kelamin

Status Migran

Laki-Laki

Perempuan

Migran

Non-Migran

Waktu tempuh berkomuter

0,035***

0,051***

0,026*

0,069***

(setiap 10 menit)

(0,011)

(0,019)

(0,013)

(0,015)

Jumlah obaservasi

3.386

1354

2575

2165

Pseudo R2

0,101

0,118

0,093

0,141

Catatan: Variabel kontrol yang digunakan sama dengan tabel 4. model 5. Angka di dalam kurung merupakan standard errors.* p<0,1, ** p<0,05, ***p<0,01

Tabel 4 juga menyajikan hasil estimasi subgrup status migran. Hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara waktu tempuh komuter berstatus migran dan non-migran dengan peluang stres. Setiap kenaikan waktu berkomuter komuter migran sebesar 10 menit berasosiasi dengan kenaikan peluang stres sebesar 0,5%, signifikansi secara statistik pada tingkat kepercayaan 90%. Sedangkan pada komuter non-migran, setiap kenaikan waktu berkomuternya sebesar 10 menit berasosiasi dengan kenaikan peluang stres sebesar 1,4 %, signifikasi secara statistik pada tingkat kepercayaan 99%. Selain itu, jumlah komuter migran dan nonmigran berselisih tipis yang mengindikasikan kota-kota besar seperti Jakarta telah menjadi tujuan migran dan

migran tersebut telah merambat menduduki daerah-daerah sekitar Jakarta (Handiyatmo, 2009)

Komuter migran cendrung memiliki hasil estimasi peluang stres yang lebih rendah dibandingkan dengan komuter non-migran. Hal ini mengindikasikan komuter Jabodetabek yang migran lebih sehat dibandingan komuter non-migran. Komuter yang lebih sehat memungkinkan komuter tersebut lebih sejahtera dalam hidupnya sehingga memiliki peluang stres yang lebih rendah. Indikasi ini didukung oleh penelitian Chilunga et al. (2019) mengasumsikan penduduk non-migran lebih cendrung rentan terkena stres karena peristiwa kehidupan yang merugikan. Peristiwa yang merugikan tersebut adalah penyakit dan kematian yang cendrung lebih tinggi diantara penduduk

non-migran dibandingkan dengan migran Penelitian Hesketh, Ye, Lu, & Wang (2008) juga menjelaskan pekerja migran mempunyai status kesehatan lebih sehat diasumsikan karena adanya efek migran sehat (the healthy migrant effect). Efek migran sehat ini biasanya dikaitkan dengan bias pada studi migran. Contohnya adalah

jika seorang migran sakit atau tidak sehat di kota yang sekarang tinggali maka migran tersebut dapat kembali ketempat asal mereka.

seorang individu dimungkinkan dibandingkan yang


yang untuk


sehat lebih


bermigrasi


tidak sehat. Selain itu


Tabel 5. Hasil Estimasi Logistik Biner Peluang Stres Berdasarkan Jenis Moda Transportasi

Variabel Terikat (Peluang Stres)

Moda Transportasi

Motor

Mobil

Transportasi Publik

Lainnya

Waktu tempuh

0,052***

0,022

0,020

0,002

berkomuter

(0,013)

(0,025)

(0,018)

(0,051)

(setiap 10 menit)

Jumlah Obaservasi

2789

691

1040

210

Pseudo R2

0,103

0,075

0,110

0,211

Catatan: Variabel kontrol yang digunakan sama dengan tabel 4.1 model 5. Angka di dalam kurung merupakan standard errors. * p<0,1, ** p<0,05, ***p<0,01

Tabel 5 menunjukkan hasil estimasi pada subgrup moda transportasi yang dibagi berdasarkan empat kelompok besar yaitu komuter pengguna motor, mobil, transportasi publik (kendaraan umum, bus transjakarta, APTB dan kereta) dan transportasi lainnya. Dari keempat kelompok tersebut ditemukan hasil estimasi, setiap kenaikan waktu berkomuter sebesar 10 menit berasosiasi dengan kenaikan peluang

stres sebesar 0,04% (transportasi lainnya), 0,4% (transportasi publik), 0,5% (mobil) dengan tingkat kepercayaan dibawah 90%. Hanya komuter pengguna motor yang memiliki kenaikan peluang stres sebesar 1,1% dengan signifikansi secara statistik pada tingkat kepercayaan 99% .

Kecendrungan komuter pengguna motor memiliki peluang stres paling tinggi diindikasikan karena pengaruh lingkungan.

Lingkungan jalan di Jabodetabek telah dipenuhi kondisi panas menyengat karena pengaruh cuaca maupun panas dari kendaraan lainnya. Berbeda dengan transportasi lainya seperti pengguna mobil dan transportasi publik yang berada diruang tertutup sehingga kondisi panas menyengat tidak terlalu berpengaruh. Indikasi ini sejalan dengan penelitian Tawatsupa et al., (2012). Penelitian tersebut menunjukkan perjalanan komuter lebih menyerap stres akibat kondisi lingkungan panas dari pada aktivitas lainnya. Diasumsikan karena mereka yang berkomuter menghabiskan waktu lama diluar ruangan karena kemacetan lalu lintas.

Komuter pengguna mobil dan transportasi publik juga memiliki kecendrungan yang

Tabel 6. Hasil Estimasi Logistik

tinggi terhadap peluang stres walaupun tidak signifikan. Hal ini mengindikasikan komuter pengguna mobil terlalu banyak menemukan hambatan saat berada dijalan seperti kemacetan lalu lintas (Rissel et al., 2014). Sedangkan, transportasi publik dimungkinkan terkena stres ketika memikirkan tentang pelayanan transportasi publik yang digunakan tersebut. SeperTi contoh: kapan transportasi tersebut datang dan bagaimana layanan transportasi tersebut diberikan (Legrain et al., 2015). Di Jabodetabek sendiri pelayanan transportasi publik masih jauh dari kualitas baik sehingga peluang stres yang dirasakan oleh pengguna transportasi publik hampir sama dengan pengguna mobil.

Biner Peluang Stres Berdasarkan

Komuter Bekerja dan Komuter Tidak Bekerja

Variabel Terikat

Status Pekerjaan Komuter

(Peluang Stres)

Bekerja

Tidak Bekerja

Waktu tempuh berkomuter

0,037***

0,009

(setiap 10 menit)

(0,009)

(0,032)

Jumlah Obaservasi

4740

1091

Pseudo R2

0,100

0,205

Catatan: Variabel kontrol yang digunakan sama dengan tabel 4.1 model 4.Angka di dalam kurung merupakan standard errors. * p<0,1, ** p<0,05, ***p<0,01.

Tabel 6 menunjukkan hasil estimasi subgrup status komuter yaitu bekerja dan tidak bekerja. Komuter tidak bekerja merupakan warga Jabodetabek yang berkomuter dengan

kegiatan selain bekerja. Kegiatan tersebut berupa bersekolah dan kursus. Oleh sebab itu variabel karakteristik pekerjaan tidak

digunakan dalam estimasi ini, sehingga pada estimasi ini menggunakan estimasi model 4. Hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara waktu tempuh komuter bekerja dan tidak bekerja dengan peluang terkena stres. Setiap kenaikan waktu berkomuter komuter bekerja sebesar 10 menit berasosiasi dengan kenaikan peluang stres sebesar 0,8%, signifikan secara statistik pada tingkat kepercayaan 99%. Sedangkan setiap kenaikan waktu berkomuter komuter tidak bekerja sebesar 10 menit berasosiasi dengan kenaikan peluang stres sebesar 0,1%, tidak signifikan secara statistik.

Komuter bekerja yang cendrung lebih berpeluang terkena stres mengindikasikan bahwa bekerja merupakan suatu kegiatan yang membuat stres. Hal ini mendukung

penelitan Gottholmseder (2008) yang mengemukakan bahwa persepsi stres yang erat hubungannya dengan faktor yang berhubungan dengan bekerja, salah satunya yaitu berkomuter. Diasumsikan pemisahan spasial dari lokasi tempat tinggal dan tempat kerja yang mengharuskan berkomuter mempengaruhi tingkat stres yang dirasakan.

Robustness Check Terhadap Jarak

Tabel 7Robustness Check Variabel Jarak

Variabel Terikat (Peluang Stres)

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

Jarak Komuter (km)

0,007***

0,007***

0,002

0,001

0,002

(0,002)

(0,002)

(0,002)

(0,002)

(0,002)

Variabel control

Moda transportasi (7)

Pengalaman berkomuter (5)

Karakteristik personal (6)

Karakteristik pekerjaan (8)

Jumlah observasi

4740

4740

4740

4740

4740

Pseudo R2

0,002

0,016

0,096

0,098

0,101

Catatan: Angka dalam kurung setelah variabel kontrol adalah jumlah variabel kontrol yang ditambahkan dalam model. Definisi setiap variabel control disajikan pada lampiran 1. Angka di dalam kurung merupakan standard errors. * p<0,1, ** p<0,05, ***p<0,01

Tabel 7 diatas menunjukkan robusness check variabel jarak komuter dari rumah menuju tempat bekerja. Variabel jarak akan dijadikan variabel of interest dan diolah dengan variabel terikat (peluang stres). Olahan tersebut menggunakan lima spesifikasi model seperti tabel 3.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat hubungn positif antara jarak tempuh komuter dengan peluang terkena stres. Namun tabel tersebut juga menunjukkan variabel jarak terhadap peluang stres tidaklah robust. Terlihat dari model 1 dan model 2 yang signifikan positif mempengaruhi peluang stres namun pada model 3 hingga model 5 tidak signifikan terhadap peluang stres. Jika dibandingkan dengan tabel 2 sebelumnya, pengaruh jarak terhadap peluang stres lebih kecil dibandingkan pengaruh waktu tempuh. Hal ini terlihat dari koefisien waktu berkomuter yang lebih besar dibandingkan dengan jarak berkomuter.

KESIMPULAN

Komuter adalah salah satu fenomena yang lumrah terjadi di kota-kota besar. Selain itu, kenaikan waktu tempuh berkomuter kini juga menjadi tren beberapa kota di berbagai negara. Kenaikan waktu tempuh berkomuter disebabkan beberapa macam, salah satunya kemacetan lalu lintas. Kenaikan waktu tempuh tersebut juga mengakibatkan efek samping yaitu penurunan kesejahteraan (subjectif well-being). Gejala ini secara empiris sudah terdeteksi di negara-negara maju tetapi sangat terbatas untuk kasus negara berkembang dimana memiliki pengaturan lalu lintas yang sangat buruk sehingga kemacetan semakin semerawut.

Penelitian ini menganalisis hubungan perilaku berkomuter yang ditangkap dari waktu tempuh berkomuter terhadap tingkat stres di wilayah Jabodetabak. Dengan menggunakan data cross-section pada tingkat individu penulis menemukan bahwa variabel of interest, yaitu waktu berkomuter berasosiasi pada kecenderungan seseorang untuk terkena stress sebesar 0,8-1,8% relatif sama dengan negara lainnya. Hasil estimasi ini konsisten terhadap analisis subgrup sampel jenis kelamin perempuan, penduduk non-migran, pengguna motor dan para pekerja. Untuk analisis subgrup sampel lainnya seperti jenis kelamin laki-laki, penduduk migran, pengguna mobil, transportasi publik, lainnya dan penduduk tidak bekerja cenderung memiliki hasil estimasi lebih rendah.

Hasil empiris penelitian ini menunjukkan bahwa pemerintah perlu membuat kebijakan dalam mengurangi stres untuk penduduk yang berkomuter. Kebijakan itu perlu diperhatikan untuk beberapa kelompok yang cendrung lebih sensitif terhadap stres dalam pola melakukan berkomuter. Kelompok pertama yang sensitif terhadap stres yaitu perempuan, kebijakan afirmatif bagi perempuan untuk melakukan komuter agar lebih mengurangi stres perlu dilakukan melihat perempuan cendrung paling rentan terkena stres. Kebijakan yang dapat dilakukan adalah menciptakan transportasi yang ramah bagi perempuan seperti bus khusus perempuan atau kereta khusus perempuan.

Kelompok kedua yang sensitif terhadap stres adalah komuter pengguna motor. Kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah adalah mengurangi komuter menggunakan motor. Salah satu kebijakan tersebut adalah perbaikan transportasi publik. Perbaikan transportasi publik yang perlu dilakukan adalah pembangunan transportasi publik berbasis rel (MRT dan LRT), perbanyak koridor transjakarta, peremajaan kendaraan umum yang tidak layak dan integrasi antar moda. Secara bersamaan sosialisasi untuk menggunakan transportasi publik juga dilakukan, agar pengguna kendaraan bermotor berpindah ke transportasi publik yang lebih aman, nyaman dan cepat. Selain itu sosialisasi dan pembangunan untuk menunjang pengguna moda aktif (berjalan dan bersepeda) perlu dilakukan seperti pembangunan trotoar dan jalur sepeda.

Kelompok ketiga yang sensitif terhadap stres adalah komuter yang bekerja.Diperlukan adanya kebijakan atau upaya yang tepat untuk pengelolaan stres di intstansi atau perusahaan. Kebijakan yang mungkin dilakuakan adalah redesain pekerjaan agar lebih nyaman, komunikasi organisasional yang lebih lancar dan program kesejahteraan dan pemberian penghargaan atau reward. Diharapkan dengan upaya-upaya tersebut dapat menurunkan stres yang dihadapi pekerja.

REFERENSI

Avianty, D. (1994). Pengaruh karakteristik kepribadian Dan Jenis Pekerjaan Terhadap Derjat Stres. Universitas Indonesia.

BPS. (2014). STATISTIK KOMUTER JABODETABEK (Hasil Survei Komuter Jabodetabek 2014). (c), 2–6.

Chilunga, F. P., Boateng, D., Henneman, P., Beune, E., Requena-Méndez, A., Meeks, K., … Agyemang, C. (2019). Perceived

discrimination and stressful life events are associated with cardiovascular risk score in migrant and non-migrant populations: The RODAM study. International Journal of Cardiology, 286, 169–174. https://doi.org/10.1016/j.ijcard.2018.12.056

Chng, S., White, M., Abraham, C., & Skippon, S. (2016). Commuting and wellbeing in London: The roles of commute mode and local public transport connectivity. Preventive Medicine, 88, 182–188. https://doi.org/10.1016/j.ypmed.2016.04.014

Cooper, J., & Corcoran, J. (2018). Journey to Work In Australia. Retrieved from Australian Bureau of Statistics website: https://www.abs.gov.au/ausstats/abs@.nsf/Lookup/by Subject/2071.0.55.001~2016~Main Features~Feature Article: Journey to Work in Australia~40

Diener, E. (2000). Subjective well-being: The science of happiness and a proposal for a national index. American Psychologist, 55(1), 34–43. https://doi.org/10.1037/0003-066X.55.1.34

Diener, E., Eunkook, M. S., Richard, E. L., & Heidi, L. S. (1999). Subjective Well-Being: Three Decades of Progress. Psychological Bulletin, 95(2), 542–575. Retrieved from http://labs.psychology.illinois.edu/~ediener/Documents/Diener-Suh-Lucas-

Smith_1999.pdf

Dolan, P., Peasgood, T., & White, M. (2008). Do we really know what makes us happy? A review of the economic literature on the factors associated with subjective well-being. Journal of Economic Psychology. https://doi.org/10.1016/j.joep.2007.09.001

Evans, G. W., & Wener, R. E. (2006). Rail commuting duration and passenger stress. Health Psychology, 25(3), 408–412.

https://doi.org/10.1037/0278-6133.25.3.408

Friman, M., Gärling, T., Ettema, D., & Olsson, L. E. (2017). How does travel affect emotional well-being and life satisfaction?

Transportation Research Part A: Policy and Practice, 106(June 2016), 170–180. https://doi.org/10.1016/j.tra.2017.09.024

Gimenez-Nadal, J. I., & Molina, J. A. (2019). Daily feelings of US workers and commuting time. Journal of Transport and Health,

Vol. 12, pp. 21–33. https://doi.org/10.1016/j.jth.2018.11.001

Gottholmseder, G. (2008). Stress Perception and Commuting. Helath Economics, 1213(December 2007), 1207–1213.

https://doi.org/10.1002/hec

Gujarati, D. N., & Porter, D. C. (2009). Basic Econometrics (5th ed.). In Basic Econometrics.

Handiyatmo, D. (2009). Pengunaan Jenis Transportasi oleh Pelaku Mobilitas Ulang Alik di Enam Kawasan Metropolitan (Analisis

Data SUPAS 2005).

Hansson, E., Mattisson, K., Björk, J., Stergren, P. O., & Jakobsson, K. (2011). Relationship between commuting and health outcomes in a cross-sectional population survey in southern Sweden. BMC Public Health, 11(1), 834. https://doi.org/10.1186/1471-2458-11-834

Hesketh, T., Ye, X. J., Lu, L., & Wang, H. M. (2008). Health status and access to health care of migrant workers in China. Public Health Reports, 123(2), 189–197. https://doi.org/10.1177/003335490812300211

Hilbrecht, M., Smale, B., & Mock, S. E. (2014). Highway to health? Commute time and well-being among Canadian adults. World Leisure Journal, 56(2), 151–163. https://doi.org/10.1080/16078055.2014.903723

Humphreys, D. K., Goodman, A., & Ogilvie, D. (2013). Associations between active commuting and physical and mental wellbeing.

Preventive Medicine, Vol. 57, pp. 135–139. https://doi.org/10.1016/j.ypmed.2013.04.008

Jain, V., Sharma, A., & Subramanian, L. (2012). Road traffic congestion in the developing world. (August), 1.

https://doi.org/10.1145/2160601.2160616

Lazarus, R. S., & Launier, R. (1978). Stress-Related Transactions between Person and Environment. In Perspectives in Interactional Psychology. https://doi.org/10.1007/978-1-4613-3997-7_12

Legrain, A., Eluru, N., & El-Geneidy, A. M. (2015). Am stressed, must travel: The relationship between mode choice and commuting stress. Transportation Research Part F: Traffic Psychology and Behaviour, 34, 141–151.

https://doi.org/10.1016/j.trf.2015.08.001

Michiel, K. (1999). Commuting stress : Causes , effects and methods of coping. Journal of Occupational and Organizational Psychology.

Morris, E. A., & Zhou, Y. (2018). Are long commutes short on benefits? Commute duration and various manifestations of well-being.

Travel Behaviour and Society, 11(June 2017), 101–110. https://doi.org/10.1016/j.tbs.2018.02.001

Nie, P., & Sousa-Poza, A. (2018). Commute time and subjective well-being in urban China. China Economic Review, 48, 188–204.

https://doi.org/10.1016/j.chieco.2016.03.002

Novaco, R. W., Kliewer, W., & Broquet, A. (1991). Home environmental consequences of commute travel impedance. American

Journal of Community Psychology. https://doi.org/10.1007/BF00937890

Novaco, R. W., Stokols, D., & Milanesi, L. (1990). Objective and subjective dimensions of travel impedance as determinants of

commuting stress. American Journal of Community Psychology. https://doi.org/10.1007/BF00931303

Olsson, L. E., Gärling, T., Ettema, D., Friman, M., & Fujii, S. (2013). Happiness and Satisfaction with Work Commute. Social

Indicators Research, 111(1), 255–263. https://doi.org/10.1007/s11205-012-0003-2

PPID-Kemenhub. (2015). Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ). 54. Retrieved from

http://ppid.dephub.go.id/files/datalitbang/bptj/laporan_RITJ_30-6-2015_AR.pdf

Ramadhiani, A. (2018). Jakarta, Kota Termacet ke-12 Dunia. Kompas.Com. Retrieved from

https://properti.kompas.com/read/2018/02/25/143845721/jakarta-kota-termacet-ke-12-dunia

Rappler. (2017). Metro Manila has 3rd worst traffic in Southeast Asia – study. Retrieved from

https://www.rappler.com/business/190016-metro-manila-traffic-southeast-asia-study-bcg-uber

Review, W. P. (2019). 2019 World Population by Country. World Population Review, p. 1. Retrieved from http://worldpopulationreview.com/

Rissel, C., Petrunoff, N., Wen, L. M., & Crane, M. (2014). Travel to work and self-reported stress: Findings from a workplace survey in south west Sydney, Australia. Journal of Transport and Health, 1(1), 50–53. https://doi.org/10.1016/j.jth.2013.09.001

Roberts, J., Hodgson, R., & Dolan, P. (2011). “It’s driving her mad”: Gender differences in the effects of commuting on psychological health. Journal of Health Economics, 30(5), 1064–1076. https://doi.org/10.1016/j.jhealeco.2011.07.006

Rüger, H., Pfaff, S., Weishaar, H., & Wiernik, B. M. (2017). Does perceived stress mediate the relationship between commuting and

health-related quality of life? Transportation Research Part F: Traffic Psychology and Behaviour, 50, 100–108.

https://doi.org/10.1016/j.trf.2017.07.005

Saldivia, G. (2018). Stuck In Traffic? You’re Not Alone. New Data Show American Commute Times Are Longer. Retrieved from NPR website: https://www.npr.org/2018/09/20/650061560/stuck-in-traffic-youre-not-alone-new-data-show-american-commute-times-are-longer

Sha, F., Li, B., Law, Y. W., & Yip, P. S. F. (2019). Associations between commuting and well-being in the context of a compact city with a well-developed public transport system. Journal of Transport and Health, 13(December 2018), 103–114.

https://doi.org/10.1016/j.jth.2019.03.016

Smith, O. (2017). Commute well-being differences by mode: Evidence from Portland, Oregon, USA. Journal of Transport and Health,

4, 246–254. https://doi.org/10.1016/j.jth.2016.08.005

Statistics Canada. (2017). Journey to work: Key results from the 2016 Census. The Daily, 1–12. https://doi.org/11-001-X

Stone, A. A., & Schneider, S. (2016). Commuting episodes in the United States: Their correlates with experiential wellbeing from the

American Time Use Survey. Transportation Research Part F: Traffic Psychology and Behaviour, 42, 117–124. https://doi.org/10.1016/j.trf.2016.07.004

Tajalli, M., & Hajbabaie, A. (2017). On the relationships between commuting mode choice and public health. Journal of Transport and Health, 4, 267–277. https://doi.org/10.1016/j.jth.2016.12.007

Tawatsupa, B., Yiengprugsawan, V., Kjellstrom, T., Seubsman, S. A., & Sleigh, A. (2012). Heat stress, health and well-being:

Findings from a large national cohort of Thai adults. BMJ Open, 2(6). https://doi.org/10.1136/bmjopen-2012-001396

Trades Union Congress. (2016). Long commutes up by a third, finds TUC. Retrieved from https://www.tuc.org.uk/industrial-

issues/transport-policy/long-commutes-third-finds-tuc

Urhonen, T., Lie, A., & Aamodt, G. (2016). Associations between long commutes and subjective health complaints among railway workers in Norway. Preventive Medicine Reports, 4, 490–495. https://doi.org/10.1016/j.pmedr.2016.09.001

Wener, R. E., & Evans, G. W. (2011). Comparing stress of car and train commuters. Transportation Research Part F: Traffic

Psychology and Behaviour, 14(2), 111–116. https://doi.org/10.1016/j.trf.2010.11.008

210