ISSN : 2301-8968


Vol. 13 No.1, Februari 2020

EKONOMI

KUANTITATIF

TERAPAN

Volume 13

JEKT

Nomor 1

Pola Perilaku Komuter dan Stres: Bukti dari Jabodetabek Gema Akbar Riadi, Muhammad Halley Yudhistira

ISSN 2301-8968

Denpasar

Februari 2020

Halaman

1-210

Apakah Pendidikan Tinggi Meningkatkan Kemungkinan untuk Bekerja di Sektor Formal?: Bukti dari Data SAKERNAS

Rizky Maulana

Dampak Pengeluaran Wisatawan Mancanegara terhadap Perekonomian Indonesia: Andhiny Adyaharjanti, Djoni Hartono

Peran Riset dan Pengembangan (R&D) Akademis Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Abdul Khaliq

Pekerja Anak di Indonesia : Peran Penawaran dan Permintaan Keternagakerjaan Resa Surya Utama, Dwini Handayani

Kebijakan Fiskal Dalam Trend [embangunan Ekonomi Jangka Panjang di Indonesia I Komang Gde Bendesa, Ni Putu Wiwin Setyari

Analisis Efek Penularan Melalui Pendekatan Risiko Sistemik dan Keterkaitan Keuangan: Studi Pada DualBanking System di Indonesia

Setyo Tri Wahyudi, Rihana Sofie Nabella, Ghozali Maski

Faktor Eksternal dan Internal Penentu Kekuasaan Perempuan Bali Dalam Pengambilan Keputusan Rumah Tangga di Provinsi Bali

Putu Ayu Pramitha Purwanti

Elastisitas Permintaan Gandum dan Produk Turunan Gandum di Indonesia Saaroh Nisrina Saajidah, I Wayan Sukadana

Willingness To Pay (WTP) Iuran Pemberdayaan LPD kepada Lembaga Pemberdayaan LPD (LPLPD) di Kecamatan Bangli dan Kecamatan Susut Kabupaten Bangli (Pendekatan Ekonomi Kelembagaan)

I Nengah Kartika, I Made Jember


JURNAL

EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN

VOLUME 13 NO.1 FEBRUARI     2020

SUSUNAN REDAKSI

EDITOR

I Wayan Sukadana Ni Putu Wiwin Setyari Anak Agung Ketut Ayuningsasi

DEWAN EDITOR

I Komang Gde Bendesa

Anak Agung Istri Ngurah Marhaeni Luh Gede Meydianawathi

Ni Made Tisnawati

MITRA BESTARI

Adrianus Amheka, Politeknik Negeri Kupang Made Antara, Universitas Udayana Mohammad Arsyad, Universitas Hasanudin Kadek Dian Sutrisna Artha, Universitas Indonesia

Djoni Hartono, Universitas Indonesia

Palupi Lindiasari, Universitas Indonesia Devanto Shasta Pratomo, Universitas Brawijaya Deniey Adi Purwanto, Institut Pertanian Bogor Ni Made Sukartini, Universitas Airlangga Setyo Tri Wahyudi, Universitas Brawijaya Muhammad Halley Yudhistira, Universitas Indonesia

ADMINISTRASI DAN DISTRIBUSI

I Ketut Suadnyana Ida Ayu Made Widnyani

Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan diterbitkan oleh Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana dua kali dalam setahun bulan Februari Dan Agustus

ALAMAT

Ruang Jurnal, Gedung BJ lantai 3 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana Jalan PB Sudirman Denpasar

Phone: +62-361-255511/ Fax: +62-361-223344

E-mail: jekt@unud.ac.id

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jekt

ISSN : 2301-8968

JURNAL EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN VOL. 13 NO.1 FEBRUARI 2020

Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan (JEKT) adalah jurnal yang menerapkan double blind review pada setiap artikel yang diterbitkan. JEKT diterbitkan oleh Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana dua kali dalam setahun yaitu bulan Februari dan Agustus. JEKT diterbitkan sebagai kelanjutan dari Jurnal Input, Jurnal Sosial dan Ekonomi. Input terbit berkala sebanyak dua kali dalam setahun, dengan Nomor ISSN 1978-7871, dan di tahun kelima, INPUT telah terbit sebanyak sembilan edisi, dengan terbitan terakhirnya adalah Volume V, Nomor 1 Februari 2012. Pembaharuan INPUT menjadi JEKT tercetus pada pertemuan antara tim redaksi jurnal jurusan bersama pimpinan kampus, awal Maret 2012. Setelah melakukan beberapa evaluasi dan dengan merujuk kepada Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional Republik Insonesia Nomor 49/dikti/kep/2011 tentang Pedoman Akreditasi Terbitan Berkala Ilmiah, maka terbitlah jurnal jurusan : Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan dimulai dari Volume V, Nomor 2 Agustus 2012.

Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan (JEKT) beralamat di Ruang Jurnal, Gedung Program Ekstensi Lantai 1, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana. Jalan PB Sudirman Denpasar, Phone: +62-361-255511/Fax: +62-361-223344. Proses registrasi dan submit artikel dapat dilakukan melalui http://ojs. unud.ac.id/index.php/jekt. Untuk bantuan teknis, penulis dapat menghubungi, email: jekt@unud.ac.id, SMS dan WA : +6281338449077.

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 36a/E/KPT/2016 tanggal 23 Mei 2016, JEKT dinyatakan telah terakreditasi B oleh Dikti. Selain terakreditasi oleh Dikti, JEKT juga telah terindeks pada Google Scholar, IPI, dan DOAJ.

JURNAL

EKONOMI KUANTITATIF TERAPAN

VOLUME 13 NO.1 FEBRUARI 2020

PENGANTAR REDAKSI

Pembaca yang terhormat,

Sampai dengan edisi ini terbit, jika pembaca menelusuri deretan jurnal-jurnal yang terdaftar di Sinta dengan kata kunci penelusuran “kuantitatif”, maka yang akan muncul adalah Jurnal Ekonomi Kuantitatif (JEKT). Dengan menjadi satu-satunya jurnal dengan fokus kuantitatif, maka JEKT dituntut untuk menampilkan terbitan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Kalangan peneliti ekonomi, pembangunan dan ilmu sosial lainnya di Indonesia tentunya sudah tidak asing lagi dengan penerapan metode kuantitatif dalam melakukan analisis, khususnya analisis empiris. Terlepas dari semua itu, diatas segala kemutakhiran metode kuantitatif yang digunakan, “ceritera” yang mampu menarik pembaca dan tentunya para pembuat kebijakan untuk berpastisipasi aktif dalam membaca dan menulis di JEKT adalah yang utama. Rangkaian “ceritera” yang baik dan metode kuantitatif yang sesuai tidak akan bermakna jika data yang digunakan tidak transparan dan tidak valid.

Slogan menarik mengenai data digunakan oleh BPS, “Data Mencerdaskan Bangsa”, JEKT berkomitmen untuk berperan aktif dalam mewujudkan slogan tersebut menjadi kenyataan. Meskipun tidak selalu data yang digunakan artikel yang dipublikasi oleh JEKT menggunakan data BPS sebagai “menu” utama dalam analisisnya, data BPS pasti hampir selelu menjadi rujukan dalam setipa artikel dalam terbitan JEKT. Pentingnya satu pemahaman dan satu sumber dalam data memegang peran penting dalam analisis dan diskusi yang akan melahirkan implikasi kebijakan yang lebih tepat sasaran. Dalam edisi kali ini, JEKT kembali menerbitkan 10 artikel dengan sumber dan jenis data serta metodologi yang beragam.

Sumber data yang digunakan oleh penulis dalam edisi ini cukup bervariasi mulai sumber data sekunder sampai data primer. Artikel dengan sumber data sekunder sendiri juga memiliki variasi jenis data yang beragam mulai dari data mikro antara lain dari sumber BPS seperti Sakernas, seperti yang digunakan oleh Maulana untuk menjelaskan bagaimana pendidikan menentukan status pekerjaan pekerja dan Susenas serta Podes seperti yang digunakan oleh Utama dalam menjelaskan keberadaan pekerja anak di Indonesia. Sumber data mikro lain, yaitu IFLS digunakan oleh Saajadah dan Sukadana dalam mengungkapkan elastisitas permintaan gandum dan produk turunannya. Data sumber sekunder mengenai keuangan juga ditampilkan dalam edisi kali ini, Wahyudi, et.al, menjelaskan perilaku sistemik dalam industri perbankan dengan menggunakan berbagai data keuangan yang bersumber dari berbagai lembaga keuangan di Indonesia seperti OJK, BI dan sumber online Yahoo finance.

Tidak hanya analisis mikro, edisi kali ini juga menampilkan berbagai analisis makro dengan menggunakan data sumber sekunder. Hartono, menjelaskan efek pengeluaran wisatawan dengan menggunakan data Input-output. Analisis dengan data agregate ditampilkan oleh Bendesa dan Setyari dalam menjelaskan tren pembangunan jangka panjang di Indonesia. Data publikasi BPS lainnya digunakan oleh Riyadi dan Yudhistira dalam menganalisis perilaku komuter di Jabodetabek. Artikel dengan sumber data primer juga diterbitkan dalam edisi kali ini. Purwanti dan Kartika adalah dua diantaranya, kedua penulis ini menggunakan data primer untuk menganalisis ekonomi lokal di Bali. Purwanti, menjelaskan bagaimana peran perempuan Bali dalam pengambilan keputusan rumah tangga, sedangkan Kartika menganalisis willingness to pay masyarakat lokal setempat pada lembaga keuangan lokal Bali, LPD.

Akhir kata, redaksi menyimpulkan bahwa artikel-artikel yang diterbitkan oleh JEKT mulai mengalami pergeseran sejak kemunculannya pertama kali lebih dari 10 tahun silam, utamanya dari sisi data yang digunakan. Semakin banyak artikel-artikel yang menampilkan analisis dengan menggunakan data mikro baik dari sumber sekunder maupun primer. Meskipun demikian JEKT tetap membuka diri untuk artikel-artikel dengan penggunaan data agregate. Kembali ke Alenia pembuka di atas, yang terpenting bagi JEKT dalam terbitannya adalah “ceritera” yang menarik, metode kuantitatif yang sesuai dan data yang valid.

pISSN : 2301 – 8968

JEKT ♦ 13 [1] : 75-114


eISSN : 2303 – 0186

ELASTISITAS PERMINTAAN GANDUM DAN PRODUK TURUNAN

GANDUM DI INDONESIA

Saaroh Nisrina Saajidah I Wayan Sukadana

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis elatisitas pengeluaran beras, harga beras, pendapatan rumah tangga, komposisi remaja dalam rumah tangga, serta pengeluaran gandum menurut daerah termpat tinggal (perkotaan dan pedesaan, Jawa dan Luar Jawa) terhadap pengeluaran gandum di Indonesia. Penelitian ini dilakukan di Indonesia dan data bersumber dari IFLS (Indonesia Family Life Survey). Teknik analisis yang digunakan adalah regresi linier berganda. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa pengeluaran beras bersifat inelastis positif terhadap pengeluaran mie dan roti, harga beras bersifat inelastis positif terhadap pengeluaran mie dan inelastis negative terhadap pengelaran roti, pendapatan rumah tangga bersifat inelastis negative terhadap pengeluaran mie dan inelastis positif terhadap pengeluaran roti, semakin banyak persentase remaja dalam keluarga akan semakin banyak pula pengeluaran gandum dalam keluarga tersebut, pengeluaran mie oleh rumah tangga lebih besar daerah pedesaan dibandingkan di daerah perkotaan, sedangkan pengeluaran roti oleh rumah tangga lebih besar di daerah perkotaan di bandingkan di daerah pedesaan, sedangkan pengeluaran mie dan roti oleh rumah tangga lebih besar di daerah Jawa dibandingkan di daerah Luar Jawa. Mie adalah barang inferior sedangkan roti adalah barang normal.

Kata kunci: elastisitas, permintaan, harga, pendapatan, gandum, tepung terigu

ABSTRACT

The purpose of this study was to analyze the elasticity of rice expenditure, rice prices, household income, the composition of adolescents in the household, as well as wheat expenditures according to the most populated areas (urban and rural, Java and Outer Java) of wheat expenditure in Indonesia. This research was conducted in Indonesia. The sample size was 12,756 observations or households, using the Non Participant Observation method. Data sourced from IFLS (Indonesia Family Life Survey). The analysis technique used is multiple linear regression. Based on the results of the analysis show that rice expenditure is positive inelastic to noodle and bread expenditure, rice prices are positive inelastic to noodle expenditure and negative inelastic to bread distribution, household income is negative inelastic to noodle expenditure and positive inelastic to bread expenditure, the more percentage adolescents in the family will also be more wheat expenditure in the family, expenditure of noodles by households is greater in rural areas than in urban areas, while expenditure of bread by households is greater in urban areas compared to in rural areas, while expenditure of noodles and bread by households are greater in the Java area than in the Outer Java region. Noodles are inferior goods while bread is normal goods.

Keywords: elasticity, demand, price, income, wheat, wheat flour, IFLS

JEL : D12,C81

Corresponding email address : wsuka@unud.ac.id.com

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya alam dan potensial untuk pengembangan komoditas pertanian. Keanekaragaman geografis yang terdiri dari beribu pulau, sosial budaya, ekonomi dan kesuburan tanah dan potensi daerah menjadikan situasi pangan di Indonesia unik (Ariani, 2010). Mayoritas petani Indonesia menanam padi yang merupakan bahan makanan pokok rakyat Indonesia. Namun sampai saat ini produksi padi dalam negeri belum dapat memenuhi kebutuhan pangan penduduk Indonesia.

Karbohidarat adalah hidrat dari karbon atau sakarida yang dalam Bahasa Yunani disebut sákcharon (σάκχαρον) yang berarti gula (Broght et al, 2005). Karbohidrat sebagai sumber

utama kalori, kandungan tersebut banyak terdapat dalam bahan pokok seperti beras, gandum, cassava dan sagu. Sedangkan kandungan gizi lain yang bersifat penambah seperti vitamin, protein dan mineral terdapat dalam sayuran, buah, serta produk ternak dan ikan. Pengertian tersebut mengartikan bahwa semua hasil pertanian yang kandungan utamanya karbohidrat dapat dijadikan bahan pangan pokok. Untuk memenuhi pangan bagi penduduk yang kini jumlahnya lebih dari 269 juta jiwa, Indonesia harus mengimpor bahan pangan dalam jumlah cukup besar. Beras rata-rata 958 ribu ton/tahun, jagung lebih dari 2,1 ton/tahun, kedelai 2,1 juta ton/tahun, gandum 7,5 juta ton/tahun, gula pasir 1,6 juta

ton/tahun dan buah-buahan 612 ribu ton/tahun (BPS, 2019).

Permasalahan pangan tidak pernah lepas dari kehidupan bangsa memperihatinkan karena menyebabkan ketahanan pangan nasional menjadi lemah. Diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan. Pemerintah bekerja sama dengan Menteri     Pertanian     melakukan

kebijakan dalam program Diversifikasi Pangan, yaitu menciptakan alternatif makanan pokok selain beras sehingga dapat menekan tingkat impor akibat ketersediaan beras terbatas dan ketergantungan mengkonsumsi beras di Indonesia. Sebagai negara agraris, Indonesia memiliki kekayaan sumber karbohidrat dan nutrisi yang dapat mencukupi    kebutuhan    pangan

penduduknya.

Indonesia. Ketergantungan bahan pangan seperti beras menjadi hal yang paling

Gandum merupakan komoditas pangan yang terbanyak diproduksi di dunia dibanding jagung dan padi, bahkan jumlah produksinya dari tahun ke tahun semakin meningkat (Yogi Pradeksa dkk, 2014). Dengan tingkat pertumbuhan produksi rata-rata 2-3% pertahun, gandum menjadi tanaman utama di dunia. Permintaan akan gandum tidak terlepas dari banyaknya derivasi produk yang bisa dihasilkan dari gandum. Jika diolah menjadi tepung, turunan gandum ini dapat digunakan untuk membuat berbagai macam makanan. Dari segi modernitas pangan, gandum lebih unggul dari

tanaman serealia lain seperti jagung dan padi.

Gandum merupakan salah satu tanaman serealia yang menjadi sumber kalori. Serealia sangat potensial sebagai bahan pengkaya protein yang dalam banyak keperluan dapat ditambahkan hingga 50 persen (Crabtree and James, 1982; Miche, 1982). Beberapa serealia dapat memperkaya kandungan gizi tidak hanya protein tetapi juga mineral dan serat (Awan et al., 1995). Hampir sama seperti padi, gandum dipanen dalam bentuk biji, namun tidak bisa dikonsumsi langsung, harus digiling terlebih dahulu. Hasil penggilingan gandum disebut tepung gandum atau yang kita kenal dengan tepung terigu. Biji gandum yang diimpor kemudian digiling oleh industri penepungan di Indonesia yaitu Bogasari, Berdikari,

Sriboga dan Panganmas. Hasil penggilingan tepung terigu kemudian dipasarkan ke industry-industri yang menggunakan tepung terigu sebagai bahan bakunya dan juga kepada masyarakat atau rumah tangga.

Pada saat ini sebagian besar penduduk Indonesia telah mengkonsumsi roti mie, dan biskuit berbahan baku tepung terigu sebagai bahan pangan pokok kedua setelah beras. Pola konsumsi pangan beras-terigu menyebar ke seluruh wilayah, baik di perkotaan maupun pedesaan, sehingga dapat dikatakan diversifikasi pangan berbasis gandum secara nasional sudah terjadi. Diharapkan tanaman yang juga berperan sebagai tanaman industri olahan ini mempunyai peran strategis dalam memenuhi kebutuhan tepung terigu di Indonesia. Selain itu,

gandum merupakan komoditas pangan yang diperdagangkan secara global pusat untuk keamanan pangan dari banyak negara (Roder, Tornley, Campbell, & Larkin, 2014).

Menurut Sawit (2003) beralihnya pangan dari non terigu ke terigu atau produk olahannya pada kelompok rendah dan menengah di Indonesia begitu cepat dari pada negara – negara Asia lainnya, sehingga mengurangi konsumsi pangan local seperti jagung dan umbi – umbian. Kecenderungan impor gandum didukung oleh harga gandum dunia dan nilai tukar rupiah. Jika harga gandum naik maka impor menurun, dan sebaliknya jika harga gandum menurun maka impor akan naik. Begitu juga nilai tukar rupiah, semakin menguat nilai tukar rupiah maka impor gandum akan semakin

meningkat. Dampak ekonomi dari perubahan harga pangan internasional berbeda antar negara tergantung pada apakah negara importir pangan atau eksportir (Arezki & Brueckner, 2014).

Pada 2014 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah impor Indonesia mencapai 7 juta ton sedangkan dari data kapasitas 29 pabrik pengilingan gandum mencapai 10,3 juta ton. Permintaan impor gandum mengikuti pertumbuhan GDP sekitar enam sampai tujuh persen. Dengan perhitungan konservatif, peningkatan akumulatifnya mencapai sebanyak 22 persen dan biskuit 18 persen. Mayoritas impor gandum berasal dari Australia, Kanada, Amerika,.. Pada 2014 permintaan tepung terigu naik sebesar 5,4 persen atau sekitar 5,4 juta

ton. Peningkatan impor gandum seiring dengan peningkatan konsumsi akan kebutuhan gandum yang merupakan bahan dasar pembuatan tepung terigu. Produk pertanian dan bahan baku untuk industri makanan semakin sering diperdagangkan melintasi perbatasan nasional (Sandstorm, Saikku, Antikainen, Sokka, & Kauppi, 2014).

Tanaman gandum merupakan tanaman subtropis, maka dari itu tidak cocok dengan kondisi fisik Indonesia sehingga tanaman gandum jarang ditemukan di Indonesia. Walaupun, para pakar terutama di bidang agronomi terus berupaya untuk dapat mengembangkan budi daya gandum di Indonesia.

Pada bulan April 2000, atas prakarsa dari salah satu pabrik tepung terbesar di Indonesia, sebuah tim

yang dipimpin oleh Prof. Winarno (IPB) berangkat ke India untuk melakukan studi sistem penanaman gandum karena tradisi dan kondisi masyarakatnya mirip dengan Indonesia. Tim tersebut membawa sejumlah bibit gandum varietas hard wheat yang dapat ditanam di daerah dengan ketinggian sekitar 800 m di atas permukaan laut. Hingga kini tersebut sudah ditanam di 15 propinsi antara lain di Malang dan Salatiga dan sudah dipanen namun hasilnya belum cukup untuk produksi terigu. Diharapkan pada tahun 2010-2015. Indonesia sudah dapat memenuhi 10 persen dari kebutuhan gandum untuk produksi tepung terigu. Maka untuk memenuhi kebutuhan pangan akan gandum di Indonesia pemerintah melakukan impor dari negara lain

(Ariani, 2007). Perkembangan nilai

2000 – 2017 dapat disajikan di Tabel 1.

impor gandum Indonesia periode


Tabel 1.

Perkembangan Nilai Impor Komoditi Gandum di Indonesia Periode 1989 -

2018


Val

Netwe

Valu

Netwei

Periode

ue (US$)

ight (Kg)

eriode

e (US$)

ght (Kg)

286.88

1.806.0

838.57

4.544.26

1989

1.888

92.032

004

7.117

5.707

281.88

1.724.4

799.00

4.428.51

1990

2.528

94.464

005

3.390

1.318

366.36

2.221.5

816.12

4.482.80

1991

0.640

33.440

006

0.633

6.350

403.85

2.456.4

1.181.3

4.615.69

1992

3.056

38.528

007

12.663

3.643

442.00

2.525.5

1.975.4

4.497.19

1993

5.120

20.128

008

80.400

3.017

579.68

3.297.1

1.316.1

4.655.28

1994

1.152

38.688

009

12.428

5.580

803.40

4.054.2

1.424.2

4.810.53

1995

8.704

02.624

010

75.381

8.500

1.050.3

4.116.2

2.193.9

5.604.86

1996

63.840

61.376

011

86.487

0.389

776.52

3.611.9

2.253.8

6.250.48

1997

0.576

30.368

012

50.180

9.689

630.42

3.443.9

2.439.9

6.737.51

1998

1.632

66.720

013

86.682

1.623

404.38

2.712.8

2.387.2

7.432.59

1999

0.659

73.513

014

62.158

7.586

502.40

3.588.7

2.082.7

7.412.01

2000

5.936

29.151

015

67.824

9.377

399.52

2.717.6

2.408.2

10.534.6

2001

1.747

07.977

016

09.840

72.270

614.44

4.250.2

2.647.8

11.434.9

2002

7.972

71.839

017

24.957

95.172

579.92

3.502.3

2.570.9

10.096.2

2003

4.997

73.174

018

51.543

98.925

8.122.0

46.029.

27.335.

97.537.7

Total

60.447

434.022

otal

721.683

39.146

Sumber: UN Comtrade, 2018


Data dari UN Comtrade pada Tabel 1 menunjukkan bahwa impor biji gandum Indonesia tahun 2017 mencapai 11,4 juta kg angka ini tidak berbeda dengan permintaan rata-rata tahun-tahun sebelumnya. Artinya permintaan pasar di     dalam

negeri setiap tahunnya terus meningkat  sejalan

dengan     adanya

kecenderungan perubahan pola makan    sebagian    masyarakat

Indonesia sekarang ini. Bila Indonesia masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tentu akan menyedot devisa yang cukup besar, sehingga dapat mempengaruhi ketahanan pangan nasional.

Di lain pihak, impor biji gandum ini sulit untuk tidak dipertahankan karena empat pabrik pengolah biji gandum yang telah ada di Indonesia harus dianggap sebagai aset nasional. Daryanto (2003), menyatakan bahwa ditinjau dari kapasitas produksinya, Indonesia dapat.

Tabel 2.

Kapasitas Produksi Delapan Besar Perusahaan Industri

Tepung Terigu

Indonesia Tahun 2018

o         Produsen

Ka pasitas

Perse ntase

PT. ISM Bogasari Mills

3.

61,5

(Jakarta, Surabaya) *

508.800

PT. Sriboga Flour Mills (Semarang)

4

***

50.000

7,8

PT. Panganmas Inti Persada

2

(Cilacap)

22.000

3,9

PT. Eastern Pearl Flour Mills

6

(Makassar) **

43.800

11,3

PT. Pundi Kencana Flour Mills

2

(Banten)

25.000

3,9

PT. Cerestar Flour Mills (Banten)

4.

380

0,1

PT. Golden Grand Mills (Banten)

2

16.000

3,8

PT. Bungasari Flour Mills

4

Indonesia (Jakarta)

38.000

7,7

Total

5.707.980

00

Keterangan : * = Posisi ke- 1 dan 2, ** = Posisi ke-4, *** = Posisi ke- 9 dunia

Sumber: www://Aptindo.or.id, 2018

Pada tahun 2018 total kapasitas tepung

PT. ISM Bogasari Flour Mills

terigu Indonesia dari delapan produsen sebagai industri yang  memelopori

terbesar di Indonesia sebesar 5.707.980 berkembangnya industri tepung terigu

Mton/tahun.

di Indonesia merupakan perusahaan

Menurut    Ariani    (2007),

yang mempunyai kapasitas produksi

banyaknya impor gandum untuk terbesar dibandingkan perusahaan

memenuhi kebutuhan dalam negeri lainnya. Pada tahun 2018, kapasitas

cukup beralasan mengingat bahan produksi yang dimiliki PT ISM Bogasari

pangan ini belum dapat diproduksi di

Flour Mills mencapai 61,5 persen dari

total kapasitas produksi Indonesia dalam negeri. Gandum dan produk

sebesar 3.508.800 metrik ton/tahun. olahannya seperti mie mengalami

peningkatan konsumsi setiap tahunnya. Dalam kurun waktu sepuluh tahun (1990-1999), laju pertumbuhan jumlah konsumen mie di kota mencapai 56,5% dan 67% di desa. Tingginya tingkat konsumsi mie instan dikarenakan produk turunan yang dihasilkan sangat beragam dan promosinya juga sangat kuat. Banyak ragam jenis, bentuk, rasa dan cara mengolah mie misal mie basah, mie kuah, mi instan dan produk mie lainnya. Produk mie dapat dengan cepat diolah, disajikan dan dikonsumsi dengan kemasan yang bagus dan variasi harga mie sesuai dengan kemampuan konsumen dari golongan atas, menengah maupun bawah. Selain itu mie juga dapat dengan mudah dijumpai di berbagai tempat, tidak hanya di swalayan tetapi juga di pasar tradisional atau

warung kecil di pedesaan (Ariani, 2010).

Dalam penelitian ini gandum merupakan substitusi dari beras dimana dalam teori disebutkan bahwa semakin banyak barang substisusi dari barang tertentu maka semakin elastis sebaliknya semakin sedikit barang substitusinya maka akan semakin inelastis. Dalam 20 tahun terakhir, harga beras domestik mengalami fluktuasi harga, namun kondisi tersebut tidak berpengaruh terhadap volume impor gandum Indonesia, karena beras dan gandum merupakan komoditi yang memiliki nilai kebutuhan masing-masing di masyarakat. Selain itu, konsumsi produk olahan gandum memang sudah lama populer di Indonesia. Walaupun beras sudah menjadi makanan pokok masyarakat

Indonesia, pada kenyataannya masyarakat telah mengalami perubahan pola konsumsi ke makanan berbahan dasar gandum, sehingga makanan berbahan dasar gandum sudah mempunyai tempat sendiri dalam pola konsumsi masyarakat.

Konsumsi gandum di

Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat disebabkan oleh adanya pertambahan jumlah penduduk dan perubahan pola makan masyarakat yang telah bergeser ke makanan yang berbasis tepung terigu seperti mie instan dan roti. Gandum mempunyai keunggulan yaitu mengandung protein yang mempunyai sifat khas gluten yang tidak dimiliki tanaman serealia lain seperti padi dan jagung, disamping itu tanaman gandum bisa

dikembangkan menjadi tepung sementara padi dan jagung dimakan sebagai biji dan kurang dikembangkan, kebutuhan gandum terus meningkat terutama untuk diversifikasi pangan. Jadi walaupun ada komoditas lain yang menjadi barang substitusi dari gandum, kandungan yang dimiliki tidak sama dan pemanfaatannya pun berbeda dengan gandum. Oleh karena itu konsumsi makanan berbahan gandum di Indonesia semakin meningkat maka permintaan gandum juga akan meningkat.

Akibatnya permintaan impor biji gandum juga akan semakin meningkat dan Indonesia akan seterusnya mengimpor gandum karena gandum merupakan barang yang sulit digantikan sedangkan preferensi konsumsi masyarakat

Indonesia semakin meningkat dan Indonesia tidak mampu memasok kesediaan gandum dalam negeri selain impor. Importir gandum dalam Indonesia ada sebanyak kurang lebih 60 perusahaan yang bergerak di bidang industry gandum. Menurut data Aptindo 2016, kapasitas impor biji gandum oleh importir hanya dikuasai oleh beberapa persahaan saja, oleh karena itu dalam penelitian ini juga akan menganalisis bentuk struktur pasar industry gandum di Indonesia menggunakan data importer biji gandum.

Impor gandum merupakan hal yang menarik dan banyak terjadi perdebatan diantara pengamat ekonomi. Tujuan utama melakukan impor gandum adalah untuk memenuhi permintaan dan memenuhi kebutuhan akan gandum

di dalam negeri yang cukup tinggi dan menjaga stock gandum tetap stabil. Impor adalah kegiatan pengiriman barang atau jasa dari negara lain. Suatu negara dikatakan impor jika negara tersebut mendatangkan barang atau jasa dari negara lain untuk dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan baku produksi. Suatu Negara mengimpor barang atau jasa jika negara tersebut juga memiliki daya saing untuk memproduksi barang atau jasa tertentu. Impor ditentukan oleh kesanggupan atau kemampuan dalam menghasilkan barangbarang yang bersaing dengan buatan luar negeri (Aditya, 2013:130).

Permintaan adalah berbagai jumlah (kuantitas) suatu barang di mana konsumen bersedia membayar pada berbagai alternatif harga barang.

Permintaan seseorang atau suatu masyarakat ditentukan oleh beberapa faktor. Menurut Sukirno, faktor-faktor terpenting yang mempengaruhi permintaan adalah harga barang, harga barang lain, pendapatan rumah tangga dan pendapatan masyarakat, corak distribusi pendapatan dalam masyarakat, cita rasa atau selera masyarakat, jumlah penduduk, dan yang terakhir ramalan mengenai keadaan di masa yang akan datang.

Keputusan konsumsi rumah tangga mempengaruhi keseluruhan perilaku perekonomian baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Dalam jangka pendek fluktuasi konsumsi memiliki pengaruh signifikan terhadap fluktuasi ekonomi dan dalam jangka panjang keputusan konsumsi rumah tangga akan berpengaruh pada

variabel-variabel makroekonomi lainnya (Manuati, 2015). Menurut Dewi et al (2017), perilaku masyarakat yang membelanjakan sebagian dari pendapatannya untuk membeli sesuatu disebut pengeluaran konsumsi. Tingginya tingkat konsumsi mi instan dikarenakan produk turunan yang dihasilkan sangat beragam dan promosinya juga sangat kuat. Banyak ragam jenis, bentuk, rasa dan cara mengolah mi misal mi basah, mi kuah, mi instan dan produk mi lainnya. Produk mi dapat dengan cepat diolah, disajikan dan dikonsumsi dengan kemasan yang bagus dan variasi harga mi sesuai dengan kemampuan konsumen dari golongan atas, menengah maupun bawah. Semakin besar konsumsi masyarakat akan produk

gandum makan semakin besar pula permintaan gandum di Indonesia.

Harga adalah jumlah uang (ditambah beberapa barang) yang dibutuhkan untuk mendapatkan sejumlah kombinasi dari barang serta pelayanannya suatu barang masuk ke pasar sangat dipengaruhi oleh faktor harga. Dalam hukum permintaan dijelaskan sifat sifat antara hubungan permintaan merupakan suatu hipotesis “semakin rendah harga suatu barang maka semakin tinggi permintaan terhadap barang tersebut, sebaliknya semakin tinggi harga suatu barang maka semakin rendah permintaan terhadap barang tersebut dengan asumsi ceteris paribus (faktor lain dianggap tetap atau tidak mengalami perubahan)” (Sukirno, 2002:76). Berdagang dengan negara lain memperoleh keuntungan yakni

dapat membeli barang yang harganya lebih rendah dari harga dalam negeri yang relatif lebih tinggi. Salah satu penyebab adanya perdagang luar negeri karena adanya perbedaan harga barang di berbagai negara (Udiyana, 2011). Hal ini mengindikasikan adanya hubungan negatif harga suatu barang terhadap permintaan konsumen. Hal tersebut juga mengindikasikan adanya hubungan negative harga impor suatu barang terhadap volume impor suatu barang. Penelitian yang dilakukan oleh Syarifah dan Idgan (2007) menyimpulkan bahwa haga impor berpengaruh negative signifikan terhadap impor susu.

Elastisitas pendapatan dari permintaan (income elasticity of demand) mengukur perubahan jumlah permintaan karena pendapatan

konsumen berubah. (N.Gregory Mankiw, Euston Quah, Peter Wilson : 2014). Ketika pendapatan naik maka jumlah permintaan juga akan naik. Jumlah permintaan dan pendapatan bergerak dengan arah yang sama, barang normal memiliki elastisitas pendapatan positif.

Elastisitas harga silang dari permintaan (cross price elasticity of demand) mengukur perubahan jumlah permintaan ketika barang lain berubah. Elastisitas harga silang permintaan bernilai positif atau negative bergantung pada apakah barang itu bersifat substitusi atau komplementer (N.Gregory Mankiw, Euston Quah, Peter Wilson : 2014). Suatu barang bersifat barang substitusi jika ED > 0 yaitu barang yang saling menggantikan. Ketika harga barang A naik maka

permintaan barang B juga akan naik. Kedua variable tersebut bergerak pada arah yang sama, elastisitas harga silang bernilai positif. Sebaliknya, suatu barang bersifat barang komplementer jika ED<0, biasanya digunakan secara bersamaan, misalnya computer dan perangkat lunaknya. Dalam hal ini, elastisitas harga permintaan bernilai negative. Terakhir jika ED = 0 untuk dua barang yang netral atau tidak memiliki hubungan sama sekali. Dalam hal ini gandum dan beras bersifat barang substitusi, artinya bawah kenaikan harga beras akan mempengaruhi kenaikan permintaan gandum. Hal itu menunjukkan bahwa elastisitas harga silang bernilai positif.

Tingkat elastisitas karakteristik social ekonomi terhadap permintaan komoditi tertentu juga dapat

bervariasi dan sangat tergantung pada tingkat konsumsi terhadap barang tersebut. Besaran nilai elastisitas sangat menentukan besaran efek perubahan permintaan suatu barang atau komoditi akibat terjadinya perubahan harga barang atau pendapatan. Pendapatan dapat diasumsikan tidak mengalami perubahan berarti dalam kurun waktu pendek, sebaliknya harga dapat mnegalami perubahan tergantung pada jenis dan permintaan terhadap komoditi tersebut. Derajat kepekaan atau elastisitas dari pendapatan akan menunjukkan status suatu barang antara barang mewah, barang normal atau barang inferior, sedangkan perubahan dari harga barang lain akan menunjukkan sifat kedua barang yang saling melengkapi atau saling menggantikan (Peter, 1971).

Pada umumnya konsumsi rumah tangga ada dua kategori, yaitu makanan dan non makanan (Ezeji at al, 2015). Rumah tangga dengan pendapatan yang rendah cenderung akan menggunakan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan makanan dan mengabaikan kebutuhan non makanan. Ketika pendapatan meningkat, maka sebagian besar dari pendapatannya tersebut akan digunakan untuk kebutuhan non makanan. Dalam penelitian ini hanya melihat pola konsumsi konsumsi makanan yang dikategorikan menjadi dua yaitu, makanan pokok diasumsikan beras dan makanan tambahan diasumsikan gandum. Pelaku ekonomi yang paling dominan dalam suatu perekonomian di semua Negara salah satunya adalah rumah tangga (Saraswati, 2018). Selain itu

Pendidikan kepala rumah tangga juga mempengaruhi pola konsumsi makanan di daerah pedesaan maupun perkotaan. Umumnya tingkat Pendidikan kepala rumah tangga di daerah perkotaan semakin baik dibandingkan di pedesaan, sehingga semakin baik Pendidikan kepala rumah tangga sebagai tulang punggung keluarga seharusnya memberikan pendapatan yang jauh lebih baik. Tingkat Pendidikan kepala rumah tangga yang tinggi memberikan dampak positif yaitu rumah tangga tersebut dapat mengkonsumsi barang lain selain barang kebutuhan pokok. Sebaliknya tingkat Pendidikan kepala rumah tangga yang rendah cenderung cenderung hanya mampu memenuhi kebutuhan pokok saja. Pengeluaran untuk konsumsi ditujukan untuk

memenuhi kebutuhan, dimana golongan yang berpendapatan rendah umumnya akanan membelanjakan untuk kebutuhan – kebutuhan pokok saja. Konsumsi makanan merupakan faktor terpenting karena makanan merupakan jenis barang utama untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Tingkat keanekaragaman konsumsi sangat tergantung pada tingkat pendapatan rumah tangga, demografi rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, tingkat Pendidikan dan pekerjaan kepaa rumah tangga (Seid, 2011).

Fasilitas yang lengkap di daerah perkotaan memberikan kesempatan mendapatkan pendapatan yang jauh lebih baik daripada di pedesaan. Pada umumnya, pendapatan rumah tangga tangga di daerah perkotaan lebih

tinggi daripada pendapatan rumah tangga di daerah pedesaan (Sigit, 1985). Salah satu upaya untuk dapat meningkatkan pendapatan di masa mendatang adalah dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (Yusuf dan Andi, 2015). Kontribusi pendapatan dari satu jenis kegiatan terhadap total pendapatan rumah tangga tergantung pada produktivitas faktor produksi yang digunakan dari jenis kegiatan yang bersangkutan (Anastasya, 2014). Rumah tangga yang hidup di daerah perkotaan mempunyai banyak peluang dan pilihan pekerjaan. Sebaliknya di daerah pedesaan kesempatan kerja lebih sedikit dan cenderung homogen. Dari sisi harga barang, maka di daerah perkotaan fluktuatif harga sangat tinggi yang dipengaruhi oleh permintaan yang

tinggi akibat pendapatan yang lebih baik, sedangkan di daerah pedesaan harga tidak terlalu bervariasi karena permintaan cenderung tetap dan jenis komoditi tidak sebanyak daerah perkotaan.

Permintaan oleh masyarakat terhadap barang tidak hanya dipengaruhi oleh harga, pendapatan seseorang juga mempengaruhi besar kecilnya permintaan terhadap suatu barang. Mc. Eachern (2000 dalam Salma dan Indah, 2014) mengatakan bahwa kenaikan akan pendapatan akan mengarah pada kenaikan dalam permintaan. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa pendapatan memiliki arah positif terhadap permintaan.

Dari penelitian Purnomosidi (2004) diperoleh hasil bahwa variabel harga gandum internasional

signifikan dengan koefisien elastisitas sebesar 0,22. Jika harga gandum meningkat 1% maka permintaan impor gandum Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,22% dalam jangka panjang. Variabel harga beras juga signifikan dengan koefisien elastisitas sebesar 0,04. Jika harga beras meningkat 1% maka permintaan impor gandum akan mengalami kenaikan sebesar 0,04% dalam jangka panjang. Koefisien jangka panjang variabel pendapatan adalah 1,790535. Tanda koefisien ini positif sesuai dengan teori, dimana pendapatan mempunyai pengaruh positif terhadap permintaan inmpor gandum Indonesia.

METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian dilakukan di Wilayah Republik Indonesia dan menggunakan data-data yang

dipublikasikan oleh Pusat Data

Informasi Kementerian Pertanian dan

Badan Pusat Statistik (BPS),

Kementerian Pertanian, UN Comtrade dan IFLS (Indonesia Family Life Survey).

Analisis regresi linear berganda digunakan    untuk    mengetahui

pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dengan rumus sebagai berikut :

Yi = β0 + βPi + βB + βDi + ei……………...…..…...……...……(2)

Keterangan:

Yi = permintaan komoditas i β0 = intersep/konstanta βPi= harga komoditas i βB = pendapatan rumah tangga βDi = Dummy ei = perkiraan kesalahan/pengganggu

Model persamaan setiap variabel

Yn = α + β1.Qj + β2.Pj + β3.B + β4.R + β5.DL1 + β6.DL2 + e ………………(3)

Yb = α + β1.Qj + β2.Pj + β3.B + β4.R + β5.DL1 + β6.DL2 + e……….…...….(4)

Model persamaan gabungan dari masing – masing variabel :

Yn + Yb = α + βι.Qj + β2.Pj + β3.B + p4.R + β5.DLi + β6.DL2 + e.............(5)

Keterangan :

Yb = variabel terikat 1 (pengeluaran mie) Yn= variabel terikat 2 (pengeluaran roti) α= konstanta

Qj= variabel bebas 1 (pengeluaran beras)

Pj= variabel bebas 2 (harga beras )

B= variabel bebas 3 (Pendapatan rumah tangga)

R= Komposisi remaja,

Dl1= variabel bebas dummy tempat tinggal 1 ; 1 =

perkotaan; dan 0 = pedesaan

Dl2= variabel bebas dummy tempat tinggal 2 ; 1 =

Jawa; dan 0 = Luar Jawa

βι, β 2, β 3, β4, β5, β6= koefisien regresi dari masing-masing variabel

e = variabel pengganggu atau gangguan residual

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada Tabel 4.3 dapat dilihat, berdasarkan pangsa pasarnya industri gandum berbasis makanan di Indonesia terbagi menjadi beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah perusahaan yang memiliki pangsa

pasar lebih dari 50 persen. Kelompok kedua adalah perusahaan yang memiliki pangsa pasar kurang dari 50 persen dan lebih dari 1 persen. Kelompok ketiga adalah perusahaan yang memiliki pangsa pasar kurang dari 1 persen. Pangsa pasar tertinggi untuk produksi makanan gandum pada tahun 2016 diduduki oleh PT. Indofood Sukses Makmur Tbk., yaitu sebesar 57,24 persen dengan produksi sebesar 2.150.041 kg. Perusahaan tersebut termasuk kelompok pertama dengan pangsa pasar tertinggi yang memiliki potensi untuk menguasai pasar dalam industri makanan gandum sedangkan kesembilan belas perusahaan industry makanan gandum lainnya termasuk kelompok kedua.

Tabel 94.3 Pangsa Pasar 10 Industri Makanan Gandum Periode Januari –

Juni 2016.

o            Importer

T

otal

Pa ngsa Pasar

V olume

N ilai (USD)

PT INDOFOOD SUKSES

2.

530.734

57,

MAKMUR TBK.

150.041

.159

238327

PT EASTERN PEARL FLOUR

29

69.302.

7,7

MILLS

1.154

316

510931

22

55.945.

6,0

PT SRIBGOGA FLOUR MILL

7.571

087

583884

PT FUGUI & GRAIN

20

59.385.

5,5

INDONESIA

8.474

318

499886

PT BUNGASARI FLOUR

19

43.948.

5,1

MILLS INDONESIA

4.622

881

812211

14

35.919.

3,9

PT CERESTAR FLOUR MILLS

8.265

467

471064

PT WILMAR NABATI

96

21.130.

2,5

INDONESIA

.133

723

592499

PT HARVESTAR FLOUR

94

21.847.

2,5

MILLS

.599

352

184118

Sumber             :

Asosiasi

Perdagangan

Tepung Terigu Indonesia (APTINDO), 2016 (diolah)

Pada Tabel 4 pangsa pasar

Industri

pakan gandum hanya ada

tertinggi  untuk  industry  pakan

dua kelompok saja yaitu, kelompok

gandum pada tahun 2016 diduduki

kedua dan kelompok ketiga.

oleh   PT.   Charoen   Pokphand

Indonesia, yaitu sebesar 42,67 persen dengan produksi sebesar 517.452 kg yang kemudaian diikuti oleh PT. Japfa Comfeed Indonesia Tbk.. Dalam

Tabel 3.

Pangsa Pasar Industri Pakan Gandum Periode Januari-Juni 2016

o

Importer

Total

S

Volu me (MT)

Nil ai (USD)

PT CHAROEN POKPHAND

517.4

100.

42,

INDONESIA

62

383.560

666933

PT JAPFA COMFEED

251.0

50.7

20,

INDONESIA TBK

46

14.715

699806

77.17

14.2

6,3

PT MALINDO FEEDMILL TBK

5

60.008

634055

PT CHEIL JEDANG

62.61

12.4

5,1

SUPERFEED

8

56.570

631192

55.39

10.8

4,5

PT CJ FEED JOMBANG

9

73.774

678821

PT UNIVERSAL AGRI

27.02

5.13

2,2

BISNISINDO

8

5.279

28573

25.93

5.24

2,1

PT QL AGROFOOD

7

5.855

386155

25.72

4.83

2,1

PT NEW HOPE INDONESIA

5

9.285

211352

Sumber: Data diolah, 2019

Untuk mengetahui struktur pasar industry gandum di Indonesia pada tahun 2016 dapat digunakan dengan dua metode, yaitu rasio konsentrasi (CRn) dan

Indeks Herfindahl-Hirschman (HHI) dengan menggunakan data pangsa pasar Industri Gandum berbasis makanan dan pakan di Indonesia. Kedua metode yang kebanyakan digunakan oleh peneliti ini tergolong seerhana dan mudah

untuk melakukan pengukuran terhadap struktur pasar dalam industry. Rasio konsentrasi atau Concentration Ratio mengukur proporsi dari keseluruhan total penjumlahan penjualan dalam industri berdasarkan perusahaan yang terbesar (Lipczynski & Wilson, 2001: 108). Dalam penelitian ini akan digunakan rasio konsentrasi yang difokuskan pada pengamatan empat, dan delapan perusahaan yang

memiliki pangsa pasar tertinggi (CR4, dan CR8). Metode ini dilakukan untuk mengetahui tingkat

gandum di Indonesia pada tahun 2016. Adapun hasil perhitungannya untuk tahun 2016 sebagai berikut:

konsentrasi dan deskripsi

kekuatan pasar dalam industri

Tabel 4.

Hasil Rasio Konsentrasi Industri Gandum di Indonesia

Periode Januari-Juni 2016

CR4

CR8

Tipe Pasar

Industri

Makanan

76,60 %

90,8 %

Oligopoly Ketat

Industri

Pakan

74,89 %

85,95 %

Oligopoli Ketat

Sumber: Data diolah, 2019

Untuk total produksi industri makanan gandum sebesar 3.756.296 kg pada tahun 2016, rasio konsentrasi untuk 4 perusahaan dengan pangsa pasar tertinggi (CR4) adalah sebesar 76,60 persen, sedangkan 23,40 persen nilai pangsa pasar

sisanya dikuasai oleh perusahaan lainnya. Rasio untuk delapan perusahaan dengan pangsa pasar tertinggi (CR8) adalah 90.8

persen sedangkan 9,2 persen nilai pangsa

pasar sisanya dikuasai oleh perusahaan lainnya. Total produksi industri pakan gandum sebesar 1.212.794 kg pada tahun 2016, rasio konsentrasi untuk 4 perusahaan dengan pangsa pasar tertinggi (CR4) adalah sebesar 74,89 persen,

sedangkan 25,11 persen nilai pangsa pasar sisanya dikuasai oleh perusahaan lainnya. Rasio untuk

delapan perusahaan dengan pangsa pasar tertinggi (CR8)

adalah 85,95 persen sedangkan 14,05 persen nilai pangsa pasar sisanya dikuasai oleh perusahaan lainnya.

Berdasarkan hasil perhitungan di atas berarti industry makanan gandum di Indonesia pada tahun 2016 berdasarkan total produksi termasuk dalam kategori struktur pasar oligopoly pekat dengan perhitungan CR4 76,60 persen, sedangkan

pada industry pakan gandum di Indonesia tahun 2016 juga tergolong oligopoli pekat dengan perhitungan CR4 sebesar 74,89 persen. Dalam struktur oligopoly

pekat ditandai dengan empat perusahaan terbesar yang menguasai 60 hingga 100 persen pangsa pasar.

Pada bentuk struktur pasar seperti ini, maka terdapat peluang terjadinya kolusi dalam persaingan melalui strategi persaingan harga (Shepherd, 1990:14).

Pada klasifikasi kriteria menurut Bain, bila salah satu kriteria tudak terpenuhi maka klasifikasinya digeser hingga semua kriteria dari jenis oligopoly yang diamati terpenuhi (Khurniawan,2003:94). Dari perhitungan di atas, struktur pasar industri pakan gandum di Indonesia tahun 2016 tergolong memiliki jenis oligopoli tipe II penuh dengan tingak konsentrasi penguasan pangsa pasar sebesar 74,89 persen terhadap pengamatan empat perusahaan. Pada klasifikasi ini, disyaratkan empat kelompok perusahaan memiliki tingkat konsentrasi 65-75 persen.

Indeks Herfindahl-Hirschman atau Herfindahl-Hirschman Index mengukur tingkat konsentrasi pasar yang meliputi semua perusahaan dalam suatu industri yang sama (Heather, 2002: 46). Metode kedua ini dilakukan untuk memperkuat hasil dari perhitungan rasio konsentrasi karena rasio tersebut tidak

memberikan cukup perhatian untuk perusahaan yang lebih besar. Metode HHI ini digunakan karena menjadi dasar kebijakan antitrust Amerika Serikat. Adapun hasil perhitungan untuk industry makanan gandum tahun 2016 sebagai berikut:

Tabel 5.

Hasil Indeks Herfindahl-Hirschman Industri Gandum di Indonesia Periode Januari – Juni 2016

Jenis Industri

Hasil HHI

Jenis Pasar

Industri Makanan

H = 3471,72

Terkonsentrasi

Industri Pakan

H = 2364,94

Terkonsentrasi

Sumber: Data diolah, 2019


terkonsentrasi. Menurut kriteria HHI

Berdasarkan perhitungan di

dan kebijakan antitrust Amerika atas, nilai indeks H adalah sebesar

Serikat, ditandai dengan indeks lebih

3471,72. Ini berarti industry makanan

dari 1800. Indeks H sebesar 3471,72

gandum di Indonesia pada tahun 2016

(industri makanan gandum) dan sangat terkonsentrasi, sedangkan

sebesar 2364,94 (industri pakan perhitungan untuk industry pakan

gandum) ini berarti penggabungan nilai indeks H adalah sebesar 2364,94.

perusahaan akan menantang untuk Ini berarti industri pakan gandum di

dilakukan bila indeks naik lebih dari

Indonesia pada tahun 2016 sangat


50 poin. Dengan adanya penggabungan, maka ada peluang bagi perusahaan – perusahaan kecil ataupun perusahaan – perusahaan besar dapat bergabung untuk mendapatkan pangsa pasar dan keuntungan yang lebih besar.

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah permintaan beras (X1), harga beras (X2), pendapatan rumah tangga (X3), komposisi remaja dalam rumah tangga (X4), dummy pengeluaran konsumsi rumah tangga menurut daerah tempat tinggal yaitu rumah tangga di daerah Pedesaan dan rumah tangga di daerah Perkotaan (X5); rumah tangga di daerah Jawa dan rumah tangga di daerah Luar

Jawa (X6). Pada penelitian ini menggunakan data yang tersedia pada data hasil IFLS (Indonesia Family

Life Survey) atau SAKERTI (Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia) dengan menggunakan data cross section 2014.

Data yang diperoleh dari IFLS (Indonesia Family Life Survey) mengelompokkan komoditas mie dan roti ke dalam satu komoditas, sehingga pada penelitian ini kedua komoditas tersebut hanya membentuk satu data yang dalam analisis ini disebut dengan komoditas gandum. Hasil pengolahan data melalui STATA di dapat hasil regresi sebagai berikut.

Tabel 6.

Analisis Hubungan Pengeluaran Mie dan Roti, Harga Beras, dan Pendapatan Rumah Tangga Terhadap Pengeluaran Beras di Indonesia


ln(P          ln(Pe         ln(P          ln(P          ln(Pe

ermintaa     rmintaa     ermintaa     ermintaa     rmintaa

n Beras)


n Beras)

n Beras)


n Beras)

VA

RIABEL

engeluara n

Mie)


ln(P


0.132

***


(0.01

13)


engeluara n

Roti)


0.219

***


(0. 0103)



ln(P engeluara


n

Mie dan Roti)



26)


ln(H


arga


0.479***


Bera


s)

(0. 0195)

-

0.0172

ln(P endapata

n)

Con stant

***

0.445

(0.12

-0.519*** (0 .114)

1.123

-

*** (0.14

6.271

***

(0 .178)

(0.02

29)

2.015

***

(0.15

5)

4)

9)

Obs

12,75

1

1

12,75

ervations

6

2,756

6

2,756

6

Sumber: Data diolah, 2019

Dari table 6 hasil regresi dari elastisitas pengeluaran beras terhadap pengeluaran gandum dan produk turunannya di Indonesia dapat disimpulkan dan dijelaskan sebagai berikut.

Tabel 7.

Kesimpulan Hasil Regresi Hubungan Pengeluaran Mie dan Roti Terhadap Pengeluaran Beras di Indonesia

Variabel ln (Permintaan Beras) (Y)

N i l a    i Sifat Elastisitas             Jenis Barang

Koefisien

ln (Pengeluaran

0.1

Inelastis

Komplemente

Mie)

32

(EP 0-1)

r (Positif)

ln (Pengeluaran

0.2

Inelastis

Komplemente

Roti)

19

(EP 0-1)

r (Positif)

ln (Pengeluaran

0.2

Inelastis

Komplemente

Mie dan

Roti)

55

-

(EP 0-1)

Inelastis

r (Positif)

K o m p l e m

ln (Harga Beras)

0.479

(EP 0-1)

e n t e r

(Negatif)

l n ( P e n d a p a t a

-

Inelastis

Inferior

n R u m a h

Tangga)

0.0172

(EP 0-1)

(Negatif)

Sumber: Data diolah, 2019

Pengeluaran mie tidak memiliki terhadap permintaan beras oleh

hubungan signifikan dan dengan nilai masyarakat.

koefisien sebesar 0,132 dapat dikatakan

0,219 memiliki arti bahwa


bahwa pengeluaran mie bersifat positif dan inelastis (Ep - 1) terhadap permintaan beras, atau dengan kata lain, kenaikan pengeluaran mie sebesar 1 kali lipat (100%) akan meningkatkan permintaan beras sebesar 13 persen dan perubahan pengeluaran mie yang terjadi tidak memberi pengaruh besar

pengeluaran roti memiliki nilai positif dan inelastis (Ep 0-1) terhadap permintaan beras , atau dengan kata lain kenaikan pengeluaran roti sebesar 1 kali lipat (100%) akan meningkatkan jumlah permintaan beras sebesar 21,9 persen dan perubahan pengeluaran roti yang terjadi tidak memberi

pengaruh besar terhadap permintaan beras oleh masyarakat.

0,255 memiliki arti bahwa pengeluaran mie dan roti secara total memiliki nilai positif dan inelastis (Ep 0-1) terhadap permintaan beras , atau dengan kata lain kenaikan pengeluaran mie dan roti sebesar 1 kali lipat (100%) akan meningkatkan jumlah permintaan beras sebesar 25,5 persen dan perubahan

beras sebesar 47,9 persen dan perubahan harga beras yang terjadi memberi pengaruh besar terhadap permintaan beras oleh masyarakat.

  • -0,0172 memiliki arti bahwa pendapatan memiliki nilai negatif dan inelastis (Ep 0-1) terhadap permintaan beras , atau dengan kata lain kenaikan pendapatan sebesar 1 kali lipat (100%) akan menurunkan jumlah permintaan beras sebesar 1,7 persen dan

pengeluaran mie dan roti secara total yang terjadi tidak memberi pengaruh besar terhadap permintaan beras oleh masyarakat.

  • -0,479 memiliki arti bahwa harga beras memiliki nilai negatif dan inelastis (Ep 0-1) terhadap permintaan beras , atau dengan kata lain kenaikan harga beras sebesar 1 kali lipat (100%) akan menurunkan jumlah permintaan

perubahan pendapatan yang terjadi memberi pengaruh besar terhadap permintaan beras oleh masyarakat.

Tabel 8.

Kesimpulan Hasil Regresi Hubungan Pengeluaran Beras dan Harga Beras Terhadap Pengeluaran Mie, Roti, Mie dan Roti di Indonesia.

ln (Pengeluaran

ariabel

Beras)

ln

(Harga Beras)

S          Jenis

S

Jenis

i l a

i f a t     Barang         i l a i

i f a t

Barang

KE

E

oefisien

lastisitas                     oefisien

lastisitas

I        Kom        0

I

Subst

.0899

n e l a s t i s plementer      .00831

n e l a s t i s

itusi

(P

(            (Posit

(

(posit

engeluara

EP 0-1)    if)

EP 0-1)

if)

Mie)

I        Kom        -

I

Kom

.174

n e l a s t i s plementer     0.00147

n e l a s t i s

plementer

(P

(            (Posit

(

(Neg

engeluara

EP 0-1)    if)

EP 0-1)

atif)

Roti)

Sumber: Data diolah, 2019

Pengeluaran beras tidak memiliki

memberi pengaruh besar terhadap

hubungan signifikan dan dengan nilai koefisien sebesar 0,0899 dapat dikatakan bahwa pengeluaran beras bernilai positif dan inelastis (Ep 0-1) terhadap pengeluaran mie, atau dengan kata lain kenaikan pengeluaran beras sebesar 1 kali lipat (100%) akan meningkatkan pengeluaran mie sebesar 8,99 persen dan perubahan pengeluaran beras yang terjadi tidak

pengeluaran mie oleh masyarakat.

Pengeluaran beras tidak memiliki hubungan signifikan dan dengan nilai koefisien sebesar 0,174 dapat dikatakan bahwa pengeluaran beras bernilai positif dan inelastis (Ep 0-1) terhadap pengeluaran roti, atau dengan kata lain kenaikan pengeluaran beras sebesar 1 kali lipat (100%) akan meningkatkan pengeluaran roti sebesar 17,4 persen

dan perubahan pengeluaran beras yang terjadi tidak memberi pengaruh besar terhadap pengeluaran roti oleh masyarakat.

Harga beras tidak memiliki hubungan signifikan dan dengan nilai koefisien sebesar 0,00831 dapat dikatakan bahwa harga beras bernilai positif dan inelastis (Ep 0-1) terhadap pengeluaran mie, atau dengan kata lain kenaikan harga beras sebesar 1 kali lipat (100%) akan meningkatkan pengeluaran mie sebesar 5,5 persen dan perubahan harga beras yang terjadi tidak memberi pengaruh besar terhadap pengeluaran mie oleh masyarakat.

-0,00147 memiliki arti bahwa harga beras memiliki nilai positif dan inelastis (Ep < 1) terhadap pengeluaran roti, atau dengan kata lain kenaikan harga beras sebesar 1

kali lipat (100%) akan menurunkan jumlah pengeluaran roti sebesar 0,15 persen dan perubahan harga beras yang terjadi tidak memberi pengaruh besar terhadap pengeluaran roti oleh masyarakat.

Hasil regresi menunjukkan bahwa hubungan harga beras dan pengeluaran mie bersifat inelastis positif artinya beras dan mie adalah barang substitusi dalam jangka pendek. Dimana mie adalah makanan sebagai pengganti beras dalam jangka pendek karena dalam jangka Panjang. Bahkan dalam jangka panjang juga dapat mie dijadikan lauk yang dikonsumsi bersamaan dengan nasi. Kenaikan harga beras akan mendorong orang untuk memilih mengkonsumsi mie. Karena harga beras dan jumlah permintaan mie

bergerak pada arah yang sama.

Hubungan harga beras dan pengeluaran roti bersifat inelastis negative, artinya beras dan roti adalah barang komplementer yang di konsumsi secara bersamaan, namun bukan berarti roti dijadikan lauk yang dikonsumsi bersamaan dengan nasi tetapi dengan asumsi setelah memakan nasi bisa saja orang juga akan mengkonsumsi roti setelahnya.

Hubungan permintaan suatu barang dengan kenaikan harga barang lain ditentukan oleh efek substitusi dan efek pendapatan. Efek substitusi adalah efek peningkatan konsumsi suatu barang akibat harga barang tersebut mengalami penurunan. Dilain pihak konsumsi barang lain bekurang (prinsip indeferen). Selanjutnya efek pendapatan ada;ah

peningkatan konsumsi kedua jenis barang akibat adanya peningkatan pendapatan (prinsip maksimasasi utilitas).

Dari Tabel 9 hasil regresi dari hubungan pendapatan terhadap pengeluaran mie dan roti di Indonesia dapat dijelaskan sebagai berikut.

Tabel 9.

Kesimpulan Hasil Regresi Hubungan Pendapatan Rumah Tangga Terhadap Pengeluaran Mie dan Roti di Indonesia.

Variabel Y

N i l a i

ln (Pendapatan) Sifat Elastisitas

Jenis Barang

Koefisien

ln (Pengeluaran

Inelastis

Inferio

Mie)

-0.0683

(EP < 0)

r (Ei<0)

ln (Pengeluaran

Inelastis

Norm

Roti)

0.0109

(EP 0-1)

al (Ei>0)

Sumber: Data diolah, 2019

Pendapatan tidak memiliki hubungan signifikan dan dengan nilai koefisien sebesar -0.0683 dapat dikatakan bahwa pengeluaran mie bernilai negatif dan inelastis (Ep 0-1) terhadap pendapatan, atau dengan kata lain, peningkatan pendapatan sebesar 1 kali lipat (100%) akan menurunkan pengeluaran mie sebesar 6,8 persen dan perubahan pendapatan

yang terjadi memberi pengaruh besar terhadap pengeluaran mie oleh masyarakat.

0.0109 memiliki arti bahwa pendapatan memiliki nilai positif dan inelastis (Ep < 1) terhadap pengeluaran roti, atau dengan kata lain kenaikan pendapaan sebesar 1 kali lipat (100%) akan meningkatkan jumlah pengeluaran roti sebesar 1,1 %

persen dan perubahan pendapatan yang terjadi tidak memberi pengaruh besar terhadap pengeluaran roti oleh masyarakat.

Hasil regresi menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga bersifat inelastis negative terhadap pengeluaran mie, artinya mie adalah barang inferior dimana ketika pendapatan naik jumlah permintan mie akan menurun karena ketika pendapatan mereka naik mereka akan menggunakan pendapatannya untuk megkonsumsi barang yang lebih baik dari mie. Jumlah permintaan barang inferior dan pendapatan bergerak dalam arah yang berlawanan. Pendapatan rumah tangga bersifat inelastis positif terhadap pengeluaran roti, artinya roti adalah barang normal dimana ketika pendapatan naik jumlah permintaan roti juga akan naik

karena jumlah permintaan dan pendapatan bergerak dengan arah yang sama, barang normal memiliki elastisitas pendapatan yang sama.

Rumah tangga dengan pendapatan rendah cenderung akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan makanan dan mengabaikan kebutuhan non makanan. Ketika pendapatan meningkat, maka sebagian besar dari tambahan peningkatan tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan non makanan.

Pendapatan merupakan faktor yang menentukan variasi permintaan terhadap berbagai jenis barang karena besar kecilnya pendapatan dapat menggambarkan daya beli konsumen. Bila terjadi perubahan pendapatan maka akan menimbulkan perubahan dalam mengkonsumsi berbagai jenis

barang. Hal ini dapat diterima karena semakin tinggi pendapatan seseorang lebih cenderung mementingkan prestice, artinya dengan pendapatan yang tinggi masyarakat akan berusaha menunjukkan bahwa makanannya

tidak hanya beras, melainkan roti, mie, daging, maupun vitamin seperti sayur – sayuran dan buah – buahan (Deviana dkk., 2014).

Tabel 10.

Analisis

Hubungan Variabel Dummy Komposisi Remaja dan Daerah Tempat

Tinggal Rumah Tangga Terhadap Pengeluaran Mie dan Roti di Indonesia

VARIABEL

ln (Pengeluaran Mie)

ln (Pengeluaran Roti)

perc

0.00773***

0.000939*

(0.000479)

(0.000529)

urban

-0.0411**

0.177***

(0.0202)

(0.0223)

provinsi

0.00203***

0.000181

(0.00064

(0.000587)

9)

Constant

10.69***

10.88***

(0.0316)

(0.0349)

Observations

8,940

8,940

R-squared

0.030

0.008

Sumber: Data diolah, 2019

Persentase remaja dalam rumah tangga mie sebesar 0,77 persen dalam rumah

sebesar 0,00773 menunjukkan bahwa peningkatan 1 kali lipat (100%) proporsi remaja dalam rumah tangga maka akan meningkatkan pengeluaran

tangga. Persentase remaja dalam rumah tangga sebesar 0,000939 menunjukkan bahwa peningkatan 1 kali lipat (100%) proporsi remaja dalam rumah tangga

maka akan meningkatkan pengeluaran roti sebesar 0,09 persen dalam rumah tangga.

Nilai koefisien -0.0411 menunjukkan bahwa pengeluaran mie oleh rumah tangga di daerah perkotaan lebih kecil 4 persen dibandingkan pengeluaran mie oleh rumah tangga di daerah pedesaan . Nilai koefisien 0.177 menunjukkan bahwa pengeluaran roti oleh rumah tangga di daerah perkotaan lebih besar 17,7 persen dibandingkan pengeluaran roti oleh rumah tangga di daerah pedesaan .

Nilai koefisien 0.00203 menunjukkan bahwa pengeluaran mie oleh rumah tangga di daerah Jawa lebih besar 0,2 persen dibandingkan pengeluaran mie oleh rumah tangga di daerah Luar Jawa. Nilai koefisien 0.000181 menunjukkan bahwa

pengeluaran roti oleh rumah tangga di daerah Jawa lebih besar 0,018 persen dibandingkan pengeluaran roti oleh rumah tangga di daerah Luar Jawa.

Hasil regresi hubungan komposisi remaja dalam rumah tangga dengan pengeluaran gandum menunjukkan bahwa semakin meningkatnya proporsi remaja dalam rumah tangga makan semakin meningkat pula pengeluaran gandum dalam rumah tangga tersebut. Maka dari itu terbukti bahwa pengeluaran untuk konsumsi gandum dan produk turunannya cenderung di konsumsi oleh kalangan remaja.

Selanjutnya hasil regresi hubungan daerah tempat tinggal dengan pengeluaran gandum menunjukkan bahwa pengeluaran konsumsi mie oleh rumah tangga lebih besar terjadi di daerah pedesaan

di bandingkan dengan pengeluaran konsumsi mie di daerah perkotaan. Sedangkan pengeluaran konsumsi roti oleh rumah tangga lebih besar terjadi di daerah perkotaan dan secara total pengeluaran konsumsi gandum oleh rumah tangga 8 persen lebih besar terjadi di daerah perkotaan. Pengeluaran konsumsi mie dan roti oleh rumah tangga di daerah Jawa cenderung lebih besar dibandingkan rumah tangga di daerah Luar Jawa.

Disamping harga dan pendapatan, besarnya konsumsi suatu komoditi juga ditentukan oleh preferensi, dimana pada tingkat harga dan pendapatan yang sama terdapat perbedaan tingkat konsumsi. Perbedaan karena preferensi antara lain disebabkan oleh faktor social termasuk demografi.pada umumnya rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah berdomisili di

pedesaan dan berprofesi di sektor pertania.

SIMPULAN

Dalam industri gandum yang terkonsentrasi,    pemerintah    perlu

menjamin terciptanya mekanisme pasar yang kompetitif dan efisien sehingga tidak terjadi eksploitasi harga oleh produsen. Pasar yang efisien harus tetap dijaga untuk memberikan tingkat pengembalian yang wajar bagi pemilik       modal        sehingga

kesinambungan investasi    tetap

terjaga.    Menjaga    kestabilan

pasokan gandum dalam negeri di Indonesia, serta sebagai kebijakan dalam hal permintaan impor gandum   di

Indonesia terutama dampaknya jika

terjadi    perubahan    harga    dan

pendapatan masyarakat.

REFERENSI

Antara, Made dan I Gd. Yono Wirawan. (2013). Permintaan Buah Pisang Ambon Oleh Rumah Tangga di Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan, 6(1): 1629.

Anastasya P, dan Made Sukarsa.             (2014).Kontribusi

Pendapatan Pedagang Buah Terhadap Pengeluaran Rumah Tangga (Studi Kasus: Pedagang Buah Di Pasar

Badung Kota Denpasar). Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan, 3 [7] : 301310

Arezki, R., & Brueckner, M.

(2014, September).    Effects of

International Food Price Shocks on Political Institutions in Low-Income Countries: Evidence from an International Food Net-Export Price Index. World Development, 61, 142-153.

Ariani, Mewa. (2006). Analisis Konsumsi Panan Rumah Tangga Pasca Krisis Ekonomi Di Propinsi Jawa Barat. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Vol. 6, No. 1 Februari. Bogor

_____________. (2010).

Diversifikasi

Swasembada Beras. Prosiding Pekan Serealia Nasional, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten.

Ariningsih E. (2004). Analisis Perilaku Konsumsi Pangan Sumber

Protein Hewani dan Nabati pada masa krisis ekonomi di Jawa. Icaserd Working Paper No 56.

Awan, J. A., A. Rehman, S. Rehman, M. Siddique and A. S. Hashmi. (1995). Evaluation of Biscuits Prepared from Composite Flour Containing Mothbean Flour. Pak. J. Agri. Sci. 32(1): 211-217.

Badan Pusat Statistik. (2007). Pola Konsumsi Penduduk Indonesia 2007. BPS

Borght, A. Van Der., H. Goesaert, W.S. Veraverbeke and J. A. Delcour. (2005). Fractionation of Wheat and Wheat Flour Into Starch and Gluten: Overview of the Main Processes and the Factors Involved. Journal of Cereal Science 41(3): 221–237.

C. Peter Timmer (1971) Wheat Flour Consumption. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 7:1, 78-95, DOI:

Crabtree J. and A.W. James. (1982). Composite Flour Technology: TPl's Experience and Opinions on the Planning and Implementation of National Programmes. Trop. Sc., 24(2): 77-84.

Daryanto, A. (2003). Contestable Market dan Bogasari. Dalam Gumbira (Ed) Dalam Membangun Masa Depan Bogasari yang Gemilang. Magister MKaonnasjuemsein PangAagnr ibPiosknoiks , MenIdnustkiutuntg Pertanian Bogor, Bogor.

Departemen Pertanian. (2004). Analisis Permintaan dan Produksi Beras di Indonesia 2001-2004, Proyek Pengembangan Ketersediaan Pangan.

Deviana, Ike, Novira Kusrini, dan Adi Suyatno. (2014). Analisis Permintaan Rumah Tangga Terhadap Beras Produksi Kabupaten Kubu Raya. Jurnal Social Economic of Agriculture, 3(2): 53-67.

Dewi, Ni Made Ratih Kusuma, et al. (2017). Pilihan Tempat Belanja Masyarakat     Perkotaan     Dan

Implikasinya Pada Peternak Ayam Petelur Di Perdesaan. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan Vol. 10 No. 2

Ditjen PPHP. (2012). Kebijakan Pengembangan Tepung Lokal (Cassava).

Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. Jakarta.

Ezeji, Chigbu E. and Emmanuel I. Ajudua. 2015. Determinants of Aggregate Consumption Expenditure in Nigeria. Journal of Economics and Sustainable Development, 6(5): 164-169.

Heather, K. (2002). The Economics of Industries Firms. London: Prentice Hall.

Herlambang, Teddy, Sugiarto, Brastoro, Sid Kelana. (2001). Ekonomi Makro :

Teori analisis dan kebijakan. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Khurniawan,    A.    (2003).

“Analisis Struktur Pasar Industri Mobil di Indonesia Tahun 1997-2001”. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Lipczynski, J. dan J. Wilson. (2001). Industrial Organization: An Analysis of Competitive Market. New

York: Pearson Education Limited, & Prentice Hall (Financial Times).

Mankiw N, Gregory, dkk. (2012). Pengantar Ekonomi Mikro. Jakarta: Salemba Empat.

Manuati Dewi, I Gusti Ayu. (2015). Pengaruh Pendapatan Pada Konsumsi       di       Indonesia:

Pengembangan Model Teoritis dan Pemilihan Model Empiris. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan, 8(1): 2433.

NataWirawan. (2016). Cara Mudah Memahami Matematika Ekonomi. Edisi kedua. Keraras Emas. Bali.

Pusat     Penelitian     dan

Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. (2003). Trend Konsumsi Pangan Produk Gandum di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Pusdatin Pertanian. (2018). Impor Komoditi Pertanian (Gandum) di Indonesia. Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian. Jakarta

___________. (2018). Konsumsi Perkapita Tepung terigu Masyarakat Indonesia.

Kementerian Pertanian. Jakarta

Roder, M., Tornley, P., Campbell, G., & Larkin, A. B. (2014). Emissions Associated With Meeting The Future Global Wheat Demand: A Case Study Of UK Production Under Climate     Change     Constraints.

Environmental Science & Policy, 39, 1324.

Salma, Irma Afia Dan Indah Susilowati. (2014). Analisis Permintaan Objek Wisata Alam Curug Sewu, Kabupaten Kendal Dengan Pendekatan Travel Cost. Jurnal Dinamika Pembangunan, 1(2): 153-165.

Salvatore, Dominick Krugman. (2006). Yang diterjemahkan oleh Munandar Harris, Ekonomi Internasional. Edisi ke 5. Bandung. PT. Gelora Akasara Utama.

Saraswati, Birgitta Dian. (2018). Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Fungsi Konsumsi Rumah Tangga di Indonesia. Jurnal Ekonomi Kuantitatif Terapan, 11(1): 137-144.

Sari, L.R. (2003). Bea Masuk Terigu Tertunda, Omzet 3 Produsen Lokal Turun 10%. Bisnis Indonesia 11 Januari 2003, Jakarta.

S a w i t , M . H . ( 2 0 0 3 ) . K e b i j a k a n G a n d u m / Te r i g u : H a r u s M a m p u Menumbuhkembangkan Industri Pangan Dalam Negeri. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 1 (2): 100-109. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Pertanian Bogor.

Shepherd, W. G. (1990). The Economics of Industrial Organization. International Edition, Singapore: Prentice-Hall, Inc.

Sigit, Hananto. 1985. Income Distribution and Household

Characteristics. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 21(3): 51-68.

Syarifah dan Idgan. (2007). Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Impor Susu Indonesia. Jurnal Manajemen Dan Agribisnis, Vol. 4 No.2 Oktober 2007:91-102.

Udiyana. (2009).”Pengaruh

Harga Rata – rata, Produk Domestik Bruto (PDB), dan Kurs Dollar Amerika Serikat terhadap Volume Impor Tepung Terigu Indonesia Periode 1999 - 2010”. Skripsi Sarjana Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Udayana. Denpasar.

Uzunoz, M., and Y. Akcay, (2009). Factors Affecting Import Demand of Wheat in Turkey. Bulgarian Journal of Agricultural Science Faculty of Agriculture Gaziosmanpasa University, 15 (1): hal.60-66.

Yogi P , Dwidjono H. D., & Masyhuri. (2014). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Impor Gandum Indonesia. Agro Ekonomi Vol. 24/No. 1 Juni. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Yusuf, Arief Anshory dan Andy Sumner. (2015). Growth, Poverty, and Inequality under Jokowi. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 51(3): 323-348.

114