pISSN : 2301 - 8968

eISSN : 2303 - 0186

JEKT ♦ 12 [2] : 223-239

Dampak Pendidikan Terhadap Produktivitas dan Upah: Bukti Empiris Pasar Monopsoni di Industri Manufaktur Indonesia

Nurachma Indrati Sukirno 1)*

Arie Damayanti 2)

1)Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, Badan Pusat Statistik 2) Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia

ABSTRAK

Teori Human Capital mengatakan bahwa tenaga kerja yang berpendidikan lebih tinggi akan mendapatkan upah yang lebih besar karena mereka memiliki produktivitas yang lebih tinggi. Namun bukti empiris menunjukkan peningkatan produktivitas tidak selalu diikuti oleh peningkatan upah. Hal tersebut menggambarkan adanya degree of monopsony yang dimiliki perusahaan kepada tenaga kerjanya. Penelitian ini meneliti adanya degree of monopsony yang berbeda antar sektor dengan cara melihat hubungan antara komposisi tenaga kerja berdasarkan level pendidikan terhadap productivity-pay gap/ rent sharing yang didapatkan oleh industri manufaktur Indonesia pada kurun waktu 1996 dan 2006. Pengukuran rent sharing yaitu selisih antara produktivitas tenaga kerja dengan rata-rata pengeluaran upah tenaga kerja yang dibayarkan oleh perusahaan. Penelitian ini menggunakan pooled cross section data yang dikontrol dengan dummy tahun, dan diestimasi menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS). Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian sektor industri manufaktur memiliki degree of monopsony terhadap tenaga kerja yang berpendidikan menengah dan tinggi, ditunjukkan dengan rent sharing positif yang didapatkan perusahaan jika menggantikan tenaga kerja yang berpendidikan rendah dengan tenaga kerja yang berpendidikan menengah dan tinggi. Semakin tinggi level teknologi produksi suatu sektor maka semakin besar degree of monopsony sektor tersebut terhadap tenaga kerja yang berpendidikan tinggi.

Kata kunci: produktivitas, wage differential, monopsoni, Indonesia Klasifikasi JEL: J24, J31, J64, O12

The Impact of Education on Productivity and Wage:

Empirical Evidence of Monopsonic Market in Indonesia’s Manufacturing Industry

ABSTRACT

Human capital theory suggest that more educated worker would received higher payment because more productive than less educated worker. But empirical studies show increased productivity not in line with the increase in wage. This phenomenon reflects the existence of degree of monopsony owned by the company. This study examined the existence of different degree of monopsony between sectors by looking at the relationship between labor composition based on educational level on productivity-pay gap/rent sharing obtained by companies in Indonesian manufacturing industry during 1996 and 2006. We use method of Ours & Stoeldraijer (2011) and Kampelmann et.al (2018) to measure rent sharing. This study use pooled cross section of data controlled by year dummy, and estimated using the Ordinary Least Square (OLS) method. The results show that some manufacturing industry sectors have a degree of monopsony indicated by the positive rent-sharing that firms earn when replacing a low-educated workforce with a high- and middle-education workforce. The higher the level of production technology of a sector, the greater degree of monopsony of the sector to a highly educated workforce.

Keywords: productivity, wage differential, monopsony, Indonesia

JEL classification: J24, J31, J64, O12

*nurachma@gmail.com

223


PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan salah satu agenda penting yang menjadi perhatian pemerintah khususnya di Indonesia. Pemerintah berusaha untuk meningkatkan partisipasi sekolah penduduknya melalui kebijakan-kebijakan pendidikan diantaranya adalah program wajib belajar dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun peningkatan partisipasi sekolah yang tidak disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan akan membuat tenaga kerja yang dihasilkan tidak memiliki daya saing yang tinggi karena memiliki produktivitas yang rendah (Utari, Syarifudin, & S. Cristina, 2014). Kualitas tenaga kerja yang buruk dan pasar tenaga kerja yang tidak efisien akan menjadi ancaman yang serius bagi pembangunan ekonomi karena sumber daya manusia yang terakumulasi lewat pendidikan tidak dapat dialokasikan secara efektif dan efisien sehingga akan menimbulkan masalah pengangguran (Takii, 2003).

Berdasarkan teori ekonomi dan asumsi pasar persaingan sempurna, terdapat hubungan yang erat antara produktivitas dan upah yang di dapat oleh tenaga kerja. Dengan asumsi maksimisasi keuntungan yang dilakukan oleh perusahaan, maka perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang maksimal jika membayar upah sesuai dengan marginal productivity tenaga kerjanya. Jika upah masih di bawah produktivitas, perusahaan akan lebih untung jika menambah tenaga kerja (Mankiw, 2012). Tenaga kerja memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga upah yang akan didapatkan juga berbeda antar karakteristik tersebut. Karakteristik yang sering digunakan membedakan tenaga kerja salah satunya pendidikan. Menurut Becker (1964) yang disampaikan dalam teori human capital menyatakan bahwa tenaga kerja yang lebih berpendidikan akan memiliki produktivitas yang lebih tinggi karena sekolah mengajarkan keterampilan yang dapat membuat mereka lebih produktif. Karena lebih produktif maka tenaga kerja yang berpendidikan tinggi akan mendapatkan upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan tenaga kerja yang berpendidikan rendah.

Penelitian empiris terkait hubungan antara karakteristik tenaga kerja, produktivitas dan upah menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Pada umumnya metode yang digunakan adalah membandingkan produktivitas dengan pendapatan di level individu. Namun dengan menggunakan

pengukuran upah di level individu, joint estimate tidak dapat dilakukan untuk membandingkan kesesuaian antara produktivitas dan upah (Hellerstein, Troske, & Neumark, 1999), sehingga pengukuran upah di level perusahaan dianggap lebih baik. Pengukuran produktivitas dan upah di level perusahaan di pelopori oleh Hellerstein & Troske (1999) yang melihat pengaruh beberapa karakteristik tenaga kerja seperti pendidikan, gender, ras dan status perkawinan terhadap produktivitas dan upah di USA. Hasilnya adalah pendidikan meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan upah serta keduanya naik secara beriringan. Hal ini menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja memiliki karakteristik pasar yang kompetitif dimana tenaga kerja dibayar berdasarkan produktivitasnya. Hal yang sama terjadi di Perancis, Israel, dan Norwegia (Crepon, Deniau, & Perez-Duarte, 2003; Hacgeland & Jakob Klette, 1999; Hellerstein & Neumark, 1999). Di negara berkembang, penelitian dilakukan oleh Jones (2001) di Ghana, hasilnya menunjukkan bahwa kenaikan upah yang didapatkan setiap penambahan satu tahun sekolah sama dengan kenaikan produktivitas yang dihasilkan.

Namunbeberapahasilempirismenunjukkan bahwa tenaga kerja tidak selalu dibayar berdasarkan produktivitas mereka. Acevedo (2005) menunjukkan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi di Mexico dibayar lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja yang berpendidikan rendah, namun semakin tinggi pendidikan tenaga kerja, semakin meningkat gap antara produktivitas dan upah yang dibayarkan perusahaan. Fenomena yang sama terjadi negera maju lainnya seperti Finlandia dan Belgia ((Ilmakunnas & Maliranta, 2005; Kampelmann, Rycx, Saks, & Tojerow, 2018). Di Negara berkembang juga terjadi hal yang sama dimana semakin tinggi pendidikan tenaga kerja maka productivity-pay gap akan semakin meningkat dan hal tersebut lebih parah terjadi pada wilayah yang pertumbuhan ekonominya lebih kecil (Bhattacharya, Narayan, Popp, & Rath, 2011; Fleisher, Hu, Li, & Kim, 2011; Van Biesebroeck, 2011)

Adanya ketidaksesuaian antara produktivitas tenaga kerja dengan upah yang dibayarkan menunjukkan adanya pasar tenaga kerja yang tidak sempurna. Perusahaan yang memiliki kekuatan monopsoni akan memiliki kekuasaan untuk menentukan upah tenaga kerja

dibawah marginal produktivitasnya. Besarnya kekuatan monopsoni suatu perusahaan ditentukan oleh elastisitas supply tenaga kerja terhadap level upah, semakin inelastis supply tenaga kerja maka perusahaan semakin memiliki kekuasaan untuk menentukan upah dibawah produktivitas tenaga kerja (Biesebroeck, 2015). Di Negara berkembang, elastisitas supply tenaga kerja relatif rendah sehingga gap antara produktivitas dengan marginal productivity yang berhubungan dengan human capital akan semakin meningkat (Van Biesebroeck, 2011). Perusahaan yang memiliki kekuatan monopsoni akan memiliki kurva supply tenaga kerja yang upward-sloping, hal ini dikarenakan adanya perbedaan preference tenaga kerja terhadap perusahaan, adanya biaya untuk pindah ke pekerjaan lainnya, adanya biaya untuk mencari pekerjaan dan efisiensi upah yang dilakukan oleh perusahaan (Bhaskar, Manning, & To, 2002; Boal & Ransom, 1997).

Indonesia memiliki karakteristik yang tepat untuk melihat bukti adanya monopsoni karena Indonesia merupakan wilayah kepulauan dengan budaya yang berbeda-beda sehingga batasan inilah yang membuat tenaga kerja sulit untuk mencari allternatif pekerjaan di wilayah lainnya karena ada biaya yang harus dikeluarkan sehingga membatasi mobilitas tenaga kerja (Brummund, 2012). Selain itu Brummund juga menunjukkan bahwa 54% perusahaan yang bergerak di sektor industri manufaktur Indonesia memiliki degree of monopsony power yang tinggi, ditunjukkan oleh Pigou’s Index (E) > 2 pada tenaga kerja non produksi.

Telah banyak penelitian yang melihat dampak antara pendidikan dengan upah yang diterima. Penelitian-penelitian tersebut menggunakan persamaan Mincer untuk melihat return of schooling dari setiap penambahan satu tahun sekolah. Lipsey & Sjöholm (2004) meneliti hubungan antara upah dan pendidikan di Indonesia dengan mengunakan data industri besar sedang, hasilnya menunjukkan bahwa upah tenaga kerja yang berpendidikan tinggi lebih besar dibandingkan dengan upah tenaga kerja yang berpendidikan lebih rendah. Namun penelitian yang melihat apakah peningkatan upah tersebut diakibatkan karena adanya peningkatan produktivitas masih sangat jarang khususnya untuk Indonesia. Penelitian yang pernah dilakukan yaitu oleh Takii (2003) dengan menggunakan data Industri Tahun 1996. Hasil

penelitian Takii menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja di Indonesia tidak sempurna. Perusahaan memiliki degree of monopsony terhadap tenaga kerja produksi yang berpendidikan tinggi dibandingkan dengan tenaga kerja non produksi untuk level pendidikan yang sama.

Penelitian ini akan mengadopsi penelitian yang dilakukan oleh Kampelmann et al. (2018). Dimana penelitian ini akan melihat dampak proporsi tenaga kerja berdasarkan level pendidikan terhadap upah dan produktivitasnya pada industri manufaktur pada periode 1996 dan 2006, berbeda dengan penelitian sebelumnya lebih lanjut penelitian ini akan melihat apakah kenaikan proporsi tenaga kerja yang berpendidikan tinggi yang digantikan oleh pengurangan tenaga kerja yang berpendidikan rendah akan meningkatkan productivity-pay gap(rent sharing) sehingga profit perusahaan akan meningkat. Semakin besar productivity-pay gap menandakan semakin besarnya degree of monopsony di pasar tenaga kerja (Bhaskar et al., 2002). Sehingga penelitian ini akan melihat degree of monopsony yang berbeda-beda antar sektor dengan melihat hubungan antara komposisi tenaga kerja berdasarkan level pendidikan terhadap productivity-pay gap.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Takii (2003) menggunakan data IBS pada tahun 1996. Penelitian ini akan memperpanjang periode tahun data hingga Tahun 2006, yaitu satu tahun survey setelah Tahun 1996 yang memiliki struktur data yang sama. Hal ini penting dilakukan di Indonesia karena dalam rentang waktu 1996 hingga 2006 terjadi peningkatan angka pengangguran di Indonesia. Pada tahun 1996, tingkat pengangguran hanya sebesar 4,89 persen, bahkan pada saat krisis terjadi pada tahun 1997 dan 1998 tingkat pengangguran hanya mencapai 4,68 persen dan 5,46 persen. Sedangkan pada tahun 1999 dan 2000 pengangguran berturut-turut berada pada tingkat 6,36 persen dan 6,08 persen. Pasar tenaga kerja yang tidak fleksibel diyakini menjadi penyebab utama kondisi tersebut (Mustasya, 2005). Jika dilihat dari komposisi pendidikan pengangguran, dimana pada Tahun 1996 pengangguran di Indonesia di dominasi oleh angkatan kerja yang berpendidikan SMA dan sederajat, namun pada Tahun 2006 komposisi pengangguran di dominasi oleh angkatan kerja yang berpendidikan rendah yaitu SMP kebawah (Sakernas, BPS). Sehingga penting untuk melihat apakah kenaikan

jumlah pengangguran dan perubahan komposisi pengangguran tersebut dipengaruhi oleh perilaku perusahaan khususnya di industri manufaktur, dimana industri ini merupakan sektor terbesar ke 3 penyerap tenaga kerja setelah sektor pertanian dan perdagangan.

Cakupan penelitian ini adalah semua sektor pada industri manufakturing di seluruh wilayah indonesia, berbeda dengan penelitian sebelumnya yang cakupan penelitiannya hanya meliputi 5 sektor terbesar pada empat provinsi di indonesia. Hal ini penting dilakukan karena terjadi peningkatan kontribusi dan perubahan komposisi sektor industri terhadap produk domestik bruto selama kurun waktu 1996-2006. Selain itu pertumbuhan sektor industri pada wilayah selain empat wilayah yang menjadi cakupan penelitian sebelumnya meningkat cukup pesat, sehingga penting untuk memperluas cakupan menjadi seluruh wilayah di Indonesia.

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk melihat adanya degree of monopsony yang berbeda-beda antar sektor dengan melihat hubungan antara komposisi tenaga kerja berdasarkan level pendidikan dengan productivity-pay gap (rent sharing). Sehingga dapat diidentifikasi sektor mana yang memiliki rent sharing yang menguntungkan perusahaan (productivity-pay gap positif), sektor yang memiliki rent sharing yang menguntungkan tenaga kerja (productivitypay gap negatif), maupun sektor yang cenderung kompetitif di pasar tenaga kerja (productivity-pay gap relatif tidak ada). Selain itu penelitian ini juga untuk melihat apakah level teknologi berbeda yang dimiliki oleh masing-masing sektor berpengaruh terhadap degree of monopsony yang dimiliki oleh sektor tersebut terhadap tenaga kerja dengan level pendidikan yang berbeda.

Dengan menggunakan data pooled cross section IBS Tahun 1996 dan 2006 yang diestimasi menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS), hasilnya menunjukkan bahwa terdapat empat pola besar dampak proporsi pendidikan tenaga kerja terhadap rent sharing pada setiap kelompok sektor yaitu kenaikan jumlah proporsi tenaga kerja yang berpendidikan menengah maupun tinggi yang menggantikan tenaga kerja berpendidikan rendah akan meningkatkan rent sharing. Pola yang kedua yaitu rent sharing perusahaan akan meningkat jika tenaga kerja yang berpendidikan rendah digantikan oleh tenaga kerja

yang berpendidikan tinggi. Pola yang ketiga adalah rent sharing perusahaan akan meningkat jika tenaga kerja yang berpendidikan rendah digantikan oleh tenaga kerja yang berpendidikan menengah. Pola yang keempat adalah peningkatan proporsi tenaga kerja berpendidikan menengah ataupun tinggi yang menggantikan tenaga kerja berpendidikan rendah tidak berpengaruh signifikan terhadap rent sharing perusahaan, sebagai indikasi bahwa tenaga kerja dibayarkan berdasarkan produktivitasnya. Jika dikelompokkan berdasarkan level teknologi, semakin tinggi level teknologi suatu sektor, maka semakin besar rent sharing yang dinikmati perusahaan jika menggantikan tenaga kerja yang berpendidikan rendah dengan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi level teknologi suatu sektor maka semakin besar degree of monopsony yang dimiliki oleh sektor tersebut terhadap tenaga kerja yang berpendidikan tinggi.

TINJAUAN LITERATUR

Dampak pendidikan terhadap produktivitas dikembangkan dalam teori human capital yang disampaikan oleh Schultz (1961) dan Becker (1964). Dalam teori tersebut mereka menganalisa bahwa pengeluaran untuk pendidikan merupakan investasi dan kemudian menganalisa angka pengebalian investasi tersebut. Teori human capital didasarkan pada asumsi bahwa pendidikan meningkatkan marginal productivity dari tenaga kerja. Individu memutuskan tentang pendidikan berdasarkananalisabiayadankeuntunganyangakan didapatkan. Pendidikan dan pelatihan merupakan modal karena akan meningkatkan keterampilan dan pendapatan individu sepanjang hidupnya. Hal tersebut yang kemudian disebut sebagai investasi human capital. Tingkat pengembalian investasi human capital di masyarakat adalah meningkatnya produktivitas tenaga kerja yang berpendidikan. Sehingga bisa disimpulkan berdasarkan teori human capital, tenaga kerja yang berpendidikan lebih tinggi akan memiliki produktivitas yang lebih tinggi dan memiliki pendapatan yang lebih besar berdasarkan produktivitasnya tersebut.

Menurut teori ekonomi klasik, dengan asumsi pasar persaingan sempurna dan maksimisasi keuntungan yang dilakukan oleh perusahaan, maka perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang maksimal jika membayar upah sesuai dengan marginal productivity tenaga kerjanya (Mankiw,

2012). Sehingga tenaga kerja yang berpendidikan tinggi akan diberikan upah lebih besar karena produktivitasnya yang lebih tinggi dibandingkan dengan tenaga kerja yang berpendidikan rendah. Namun pada kondisi dimana terjadi pasar tenaga kerja yang tidak sempurna, perusahaan memiliki kekuatan monopsoni yang memberikan kekuasaan bagi perusahaan untuk menentukan upah tenaga kerja yang tidak sesuai dengan produktivitas tenaga kerja (Cahuc & Zylberberg, 2004; Manning, 2011).

Kekuatan monopsoni yang dimiliki oleh perusahaan bisa disebabkan oleh adanya biaya yang harus dikeluarkan oleh tenaga kerja jika ingin pindah bekerja ke perusahaan lainnya. Sehingga tenaga kerja lebih memilih untuk menetap dipekerjaannya saat ini. Selain itu adanya hambatan bagi perusahaan lain untuk bisa masuk ke pasar tenaga kerja yang didominasi oleh perusahaan yang memiliki kekuatan monopsoni tersebut. Biaya inilah yang menimbulkan adanya perbedaan upah yang tidak menggambarkan perbedaan produktivitas tenaga kerja.

Namun Cahuc & Zylberberg (2004) juga menunjukkan bahwa besarnya profit (rent sharing) yang diterima oleh perusahaan tergantung pada bargaining power yang dimiliki oleh tenaga kerja. Sehingga dengan adanya kesempatan melakukan negosiasi ulang kontrak, tenaga kerja akan mendapatkan bagian dari surplus jika terdapat biaya untuk menggantikan tenaga kerja lama dengan yang baru. Biaya penggantian tenaga kerja berasal dari biaya investasi pada training yang dibayarkan oleh perusahaan. Karena biaya tersebut telah dikeluarkan oleh perusahaan, maka perusahaan akan berusaha untuk mencegah tenaga kerja menikmati surplus yang didapatkan. Tingkat pengembalian investasi tersebut akan menurun seiring dengan kenaikan bargaining power dari tenaga kerja. Sehingga kenaikan bargaining power tenaga kerja akan menyebabkan perusahaan mendapatkan keuntungan yang negatif.

Terdapat beberapa penelitian empiris terkait dampak pendidikan terhadap upah dan produktivitas, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Bukti empiris tersebut memberikan hasil yang beragam, namun secara umum penelitian empiris menunjukkan adanya pasar tenaga kerja yang tidak sempurna dimana tenaga kerja yang berpendidikan lebih tinggi tidak dibayar berdasarkan produktivitas yang dihasilkan. Sehingga perusahaan akan mendapatkan

keuntungan yang meningkat jika menggantikan tenaga kerja yang berpendidikan rendah dengan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi.

Fleisher, Hu, Li, & Kim (2011) melakukan penelitian peran pendidikan terhadap produktivitas tenaga kerja dan TFP perusahaan dengan menggunakan panel data Tahun 1998-2000 pada level perusahaan di China. Paper ini melakukan estimasi return to education dengan cara menghitung marginal productivity tenaga kerja yang berpendidikan rendah dan berpendidikan tinggi pada fungsi produksi perusahaan. Hasilnya menunjukkan bahwa marginal product tenaga kerja lebih besar daripada upah yang diterima, dan perbedaan tersebut lebih besar pada tenaga kerja yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Selain itu penambahan lamanya sekolah berhubungan positif dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja.

Kampelmann et al. (2018) melakukan penelitian tentang hubungan antara pendidikan, upah dan produktivitas pada sektor manufakturing di Ghana. Penelitian ini mengadopsi model estimasi yang dilakukan oleh Hellerstein & Troske (1999) yaitu menggunakan 2 fungsi estimasi fungsi produksi dan fungsi upah. Produktivitas pada fungsi produksi diukur menggunakan value added dibagi dengan jumlah jam kerja selama satu tahun. Rata-rata pengeluaran upah pada fungsi upah diukur menggunakan pengeluaran upah dibagi dengan total jam kerja selama setahun. Dengan menggunakan metode estimasi GMM-SYS, hasilnya adalah pendidikan memiliki dampak yang kuat terhadap produktivitas daripada terhadap pengeluaran upah, keuntungan perusahaan akan meningkat jika tenaga kerja low-educated di gantikan oleh tenaga kerja high-educated.

Penelitian terkait dampak pendidikan terhadap upah dan produktivitas di Indonesia dilakukan oleh Takii (2003). Unit observasi penelitian adalah tenaga kerja di lima sektor di industri manufaktur yaitu sektor tekstil, alas kaki, barang dari logam, mesin elektronik dan alat transportasi yang terdapat pada wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Jawa Tengah pada tahun 1996. Dengan menggunakan metode yang sama dengan Jones (2001) yaitu menggunakan fungsi produksi dan persamaan upah yang diestimasi menggunakan metode Nonlinear Seemingly Unrelated Regression (SUR), takii menemukan bahwa untuk tenaga kerja produksi, tenaga kerja berpendidikan tinggi dibayar lebih rendah dibandingkan dengan produktivitas

yang mereka hasilkan, hal ini terjadi di sebagian besar sektor industri yang menjadi unit observasi. Namun untuk tenaga kerja non produksi, tenaga kerja yang berpendidikan tinggi dibayar lebih tinggi dibandingkan dengan produktivitas yang mereka hasilkan, hal ini terjadi di sektor industri barang logam dan industri mesin elektronik. Sedangkan pada sektor yang lain terjadi fenomena yang beragam. Hal ini menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja di indonesia merupakan pasar tidak sempurna.

Tidak banyak penelitian terkait adanya monopsoni pada pasar tenaga kerja Indonesia, salah satu penelitian dilakukan oleh Brummund (2012). Brummund meneliti apakah terdapat variasi kekuatan monopsoni antar perusahaan pada industri manufaktur Indonesia. Data yang digunakan adalah data panel tahun 1988-2006, dengan menggunakan metode estimasi GMM-SYS. Kekuatan monopsoni perusahaan diukur dari selisih antara marginal revenue product of labor dengan upah yang dibayarkan lalu di normalized dengan upahnya (Pigou, 1924). Pigou index dihitung menggunakan rumus

Hasilnya adalah terdapat variasi kekuatan monopsoni antar perusahaan pada industri manufaktur Indonesia. Nilai pigou (E) perusahaan dibagi menjadi 3 bagian yaitu E < 0,33, 0,33 < E < 2 dan E > 2. Nilai 0,33 menunjukkan bahwa MRPL tenaga kerja hanya sebesar 33% diatas upah mereka, pada pasar persaingan sempurna nilai E seharusnya 0, sehingga nilai 33% menunjukkan bahwa perusahaan memiliki sedikit market power terhadap tenaga kerja. Sebanyak 31% perusahaan memiliki degree of monopsony yang cukup tinggi terhadap tenaga kerja produksi yang ditunjukkan dengan nilai E>2. Sebanyak 53,83% perusahaan memiliki degree of monopsony yang cukup tinggi terhadap tenaga kerja non produksi. Pengukuran yang dilakukan oleh Brummund memiliki keunggulan yaitu mengukur secara langsung degree of monopsony pada suatu perusahaan, namun pengukuran ini belum mempertimbangkan komposisi tenaga kerja berdasarkan level pendidikan, hal ini penting mengingat perusahaan memiliki teknologi yang berbeda meskipun pada level sektoral teknologi antar perusahaan dalam suatu sektor cenderung sama, sehingga komposisi dan kebutuhan tenaga kerja berdasarkan level pendidikan juga harus dipertimbangkan.

METODE

Penelitian ini akan mengadopsi model penelitian yang digunakan oleh Kampelmann et al. (2018) yang meneliti hubungan antara pendidikan terhadap produktivitas dan upah dengan cara melakukan estimasi dengan menggunakan tiga fungsi persamaan, yaitu fungsi produktivitas, fungsi pengeluaran upah dan productivity pay gap.

Metode empiris untuk fungsi produktivitas dan pengeluaran upah adalah sebagai berikut: lτι tvaiue Aaaea = 0,ψ^ . , βj Educationj i + λXi + εi (1) Labor               J-j            J’1 l          '

^ 'ιι⅛ecrat') = a∙ ^γJ β"Educationj i + λ*Xi + ε, i (2) Labor ∕i             J ιaJ J                          1

Variabel terikat pada persamaan (1) adalah produktifitas perusahaan i per tenaga kerja, yang dihitung dengan membagi value added dengan jumlah tenaga kerja pada perusahaan i pada tahun t. Sedangkan variabel terikat pada persamaan (2) adalah pengeluaran upah perusahaan i per tenaga kerja, didapatkan dengan membagi total pengeluaran upah perusahaan i (termasuk bonus, uang lembur, dll) dengan total jumlah tenaga kerja padaperusahaan i selamaperiodettahun. Sedangkan variabel bebas utama yaitu proporsi tenaga kerja berpendidikan menengah               yaitu

proporsi tenaga kerja berpendidikan SMA sederajat, D1 dan D2 terhadap total tenaga kerja , proporsi tenaga kerja berpendidikan tinggi yaitu proporsi tenaga kerja berpendidikan D3, S1, S2, dan S3 terhadap total tenaga kerja. Sedangkan proporsi tenaga kerja berpendidikan rendah yaitu tenaga kerja yang berpendidikan SMP kebawah dijadikan reference.

Variabel kontrol (X) adalah variabel yang menggambarkan karakteristik perusahaan maupun tenaga kerja yaitu proporsi tenaga kerja produksi, proporsi tenaga kerja perempuan, ln kapital per tenaga kerja dan ln size firm yang diukur dari jumlah tenaga kerja, selain itu ditambahkan dummy tahun guna mengontrol variasi antar tahun pada data pooled cross section. Dummy tahun bernilai 1 untuk tahun 2006 dan bernilai 0 untuk tahun 1996.

Untuk melakukan uji signifikansi terhadap persamaan produktivitas dan persamaan upah, maka penelitian ini menggunakan persamaan productivity-pay gap, penelitian ini mengadopsi metode yang digunakan oleh Kampelmann et al., (2018) dan Ours & Stoeldraijer (2011). Metode tersebut adalah sebagai berikut:

/ValueAddedx , /WaaeCostXl       V _   .

",                  '             = ' - JJ J ^i^⅛v: - ■ JJ -≈J(3)

/-{0}

Tabel 1. Kelompok Sektor Manufaktur Berdasarkan Kesamaan Produk yang Dihasilkan.

Kelompok Sektor

Industri

Mamintem

15

16

Industri Makanan dan Minuman

Industri Pengolahan Tembakau

17

Industri Tekstil

Tekstil

18

Industri Pakaian Jadi

19

Industri Kulit, Barang Dari Kulit dan Alas Kaki

20

Industri Kayu, Barang-barang Dari Kayu (Tidak Termasuk Mebeller)

Kayu

dan Barang-barang Anyaman Dari Rotan, Bambu dan Sejenisnya

36

Industri Furnitur dan Industri Pengolahan Lainnya

21

Industri Kertas, Barang Dari Kertas dan Sejenisnya

22

Industri Penerbitan, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman

Kimia

24

Industri Kimia dan Barang-barang Dari Bahan Kimia

Karet

25

Industri Karet, Barang Dari Karet dan Barang Dari Plastik

Galian

26

Industri Barang Galian Bukan Logam

Logam

27

Industri Logam Dasar

28

Industri Barang Dari Logam Kecuali Mesin dan Peralatannya

29

Industri Mesin dan Perlengkapannya

31

Industri Mesin Listrik Lainnya dan Perlengkapannya

Mesin

32

Industri Radio, Televisi dan Peralatan Komunikasi Serta

Perlengkapannya

34

Industri Kendaraan Bermotor

Kendaraan

35

Industri Alat Angkut Selain Kendaraan Bermotor Roda Empat Atau

Lebih

Industri Barang-barang Dari Batu Bara, Pengilangan Minyak Bumi

23

dan Pengolahan Gas Bumi, Barang-barang Dari Hasil Pengilangan

Lainnya

QQ

33

Minyak Bumi dan Bahan Bakar Nuklir

Industri Peralatan Kedokteran, Alat-alat Ukur, Peralatan Navigasi,

Peralatan Optik, Jam dan Lonceng

37

Daur Ulang

Selisih antara log produktivitas dengan rata-rata pengeluaran upah di regress menggunakan set explanatory variabel yang sama dengan persamaan (1) dan (2). Persamaan (3) menghasilkan koefisien untuk variabel pendidikan dan secara langsung mengukur besaran dan signifikansi yang menggambarkan productivity-pay gap.

Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang telah mengalami proses pengolahan. Data bersumber dari Survei Industri Besar dan Sedang (IBS) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahunnya. Klasifikasi industri yang digunakan dalam IBS adalah klasifikasi yang berdasarkan International Standard Industrial Classification of All Economics Activities (ISIC) yang telah disesuaikan dengan kondisi Indonesia dengan nama Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Industri Pengolahan diklasifikasikan berbeda antara survey yang dilaksanakan pada tahun 1996 dengan tahun 2006. Pada tahun 1996 survey IBS menggunakan KBLI Tahun 1990 sedangkan pada tahun 2006 survei IBS menggunakan KBLI

tahun 2005. Karena adanya perbedaan klasifikasi industri yang digunakan, maka penelitian ini akan menyeseuaikan KBLI 1990 yang digunakan pada tahun 1996 menjadi KBLI 2005 agar sesuai dengan klasifikasi yang digunakan pada tahun 2006. Sektor – sektor pada industri manufaktur kemudian dikelompokkan berdasarkan persamaan output yang dihasilkan. Pengelompokkan sektor manufaktur tersebut dapat dilihat pada tabel 1.

Variabel yang digunakan untuk melihat pengaruh pendidikan terhadap produktivitas dan upah yaitu value added, pengeluaran upah (termasuk lembur, bonus dan tunjangan), jumlah tenaga kerja berdasarkan level pendidikan, jumlah tenaga kerja produksi, jumlah tenaga kerja perempuan, jumlah kapital per tenaga kerja yang diproksi menggunakan penggunaan listrik per tenaga kerja.

Metode Estimasi

Penelitian ini menggunakan data pooled cross section tahun 1996 dan 2006 dengan menggunakan dummy tahun. Penggunaan data pooled cross section mengasumsikan bahwa perbedaan upah dan produktivitas konstan antar

Tabel 2. Komposisi Tenaga Kerja Berdasarkan Kelompok Pendidikan dan Sektor Pada Industri Manufaktur Pada Tahun 1996 dan 2006

Sektor

1996

2006

Low

Medium

High

Low

Medium

High

15

67,61

29,11

3,28

54,14

40,04

5,82

16

83,59

15,13

1,28

78,84

19,15

2,01

17

56,33

40,99

2,68

40,69

55,05

4,26

18

66,02

31,59

2,4

49,85

46,92

3,23

19

51,73

46,06

2,21

37,41

54,69

7,9

20

54,79

43,25

1,96

45,24

50,6

4,16

21

43,41

48,98

7,61

25,13

65,51

9,35

22

32,84

60,18

6,98

25,17

57,68

17,15

23

37,88

55,85

6,28

39,57

51,41

9,02

24

44,57

44,91

10,52

29,38

53,82

16,8

25

60,18

35,18

4,64

42,11

53,24

4,64

26

53,93

40,25

5,83

45,07

48,19

6,74

27

32,13

59,69

8,18

16,49

72,54

10,97

28

43,34

51,32

5,34

28,35

63,38

8,28

29

34,03

58,43

7,54

27,38

64,07

8,55

31

29,78

62,39

7,84

11,95

79,07

8,98

32

18,52

72,08

9,4

4,08

86,1

9,82

33

17,58

76,81

5,61

5,11

82,31

12,58

34

28,52

59,9

11,58

13,92

77,65

8,43

35

30,82

54,58

14,6

17,6

70,64

11,75

36

62,72

34,93

2,35

50,8

44,82

4,38

37

68,05

29,63

2,32

75,72

21,94

2,34

Sumber: IBS, telah diolah kembali

waktu. Penggunaan metode ini memang tidak bisa mengatasi permasalahan unobserved heterogeneity namun karena data yang digunakan hanya terbatas dua tahun saja, penggunaan metode estimasi panel akan menghilangkan banyak sampel observasi karena banyak perusahaan yang hilang dalam rentang 10 tahun tersebut sehingga hasil estimasi kurang representatif. Sedangkan metode estimasi yang akan digunakan adalah metode kuadart terkecil biasa (Ordinary Least Square) atau OLS

HASIL DAN ANALISIS

Terjadi perubahan komposisi tenaga kerja berdasarkan level pendidikan dari tahun 1996 ke tahun 2006. Hal ini terlihat pada tabel 2 yang menggambarkan komposisi tenaga kerja berdasarkan pendidikan per sektor di industri manufaktur pada periode tersebut. Pada tahun 1996, sektor industri yang berteknologi rendah seperti industri mamintem, tekstil, pakaian jadi, dan furniture memiliki tenaga kerja yang berpendidikan rendah lebih banyak dibandingkan dengan tenaga kerja yang berpendidikan menegah

dan tinggi. Sektor-sektor ini memiliki karakteristik padat karya karena lebih banyak menggunakan tenaga kerja dibandingkan dengan mesin. Untuk sektor industri yang lebih banyak menggunakan mesin seperti industri logam dasar, industri mesin dan perlengkapannya, industri mesin listrik lainnya dan perlengkapan, memiliki komposisi tenaga kerja yang berpendidikan menengah lebih besar dibandingkan dengan tenaga kerja yang berpendidikan rendah dan komposisi tenaga kerja berpendidikan tinggi lebih banyak dibandingkan pada industri yang lebih banyak menggunakan tenaga kerja. Sektor-sektor ini memiliki teknologi produksi yang menengah dan tinggi, sehingga tenaga kerja yang berpendidikan menengah dan tinggi sangat diperlukan untuk mengoperasikan mesin produksi di sektor-sektor ini.

Pada tahun 2006, seluruh industri cenderung untuk mengurangi proporsi tenaga kerja yang berpendidikan rendah dan menambah proporsi tenaga kerja yang berpendidikan menengah dan tinggi. Namun, pada industri makan,minum dan tembakau, industri furniture serta industri daur

Tabel 3. Hasil Estimasi Dampak Komposisi Tenaga Kerja Berdasarkan Level Pendidikan Terhadap Produktivitas, Upah dan Productivity-Pay Gap Berdasarkan Kelompok Sektor Industri, Tahun 1996 dan 200

Sektor

Persamaan

Medshare

Highshare Prodshare

Femshare

lnkapital

lnsize

dyear

Obs

0.559***

2.440***

0.0334

-0.847***

0.260***

0.424***

0.202***

Produktivitas

(0.0834)

(0.431)

(0.106)

(0.0501)

(0.00830)

(0.0251)

(0.0263)

11,390

0.305***

0.360**

-0.138***

-0.421***

0.207***

0.140***

-0.0300**

Mamintem

Upah

(0.0337)

(0.141)

(0.0419)

(0.0244)

(0.00447)

(0.00939)

(0.0138)

11,390

gap

0.254***

2.080***

0.172*

-0.426***

0.0531***

0.283***

0.232***

11,390

(0.0785)

(0.413)

(0.0999)

(0.0463)

(0.00765)

(0.0231)

(0.0239)

0.555***

1.238***

-0.322***

-0.431***

0.190***

0.292***

0.104***

Produktivitas

(0.0510)

(0.353)

(0.123)

(0.0388)

(0.0110)

(0.0195)

(0.0246)

10,427

0.468***

0.544**

-0.281***

-0.241***

0.122***

0.0743***

-0.0797***

Tekstil

Upah

(0.0280)

(0.239)

(0.0662)

(0.0191)

(0.00509)

(0.00707)

(0.0113)

10,427

gap

0.0866*

0.693**

-0.0401

-0.190***

0.0680***

0.218***

0.184***

10,427

(0.0463)

(0.278)

(0.117)

(0.0355)

(0.0106)

(0.0185)

(0.0230)

0.341***

0.569*

-0.377***

-0.597***

0.177***

0.226***

0.0799***

Produktivitas

(0.0559)

(0.296)

(0.103)

(0.0455)

(0.00978)

(0.0220)

(0.0275)

7,261

Kayu

Upah

0.307***

0.589***

-0.206***

-0.437***

0.102***

0.0914***

-0.0191

7,261

(0.0322)

(0.137)

(0.0595)

(0.0286)

(0.00508)

(0.00728)

(0.0139)

gap

0.0338

-0.0207

-0.171*

-0.160***

0.0747***

0.135***

0.0990***

7,261

(0.0508)

(0.267)

(0.0914)

(0.0409)

(0.00889)

(0.0211)

(0.0257)

0.393***

1.578***

-0.243

-0.784***

0.330***

0.449***

0.252***

Produktivitas

(0.106)

(0.295)

(0.245)

(0.153)

(0.0333)

(0.0548)

(0.0615)

2,446

0.348***

0.832***

-0.445***

-0.371***

0.190***

0.145***

0.0647**

Kertas

Upah

(0.0555)

(0.119)

(0.119)

(0.0621)

(0.0155)

(0.0235)

(0.0290)

2,446

gap

0.0450

0.746***

0.202

-0.414***

0.139***

0.305***

0.188***

2,446

(0.0987)

(0.287)

(0.235)

(0.148)

(0.0333)

(0.0499)

(0.0570)

0.690***

3.225***

-0.439

-0.965***

0.321***

0.630***

0.432***

Produktivitas

(0.183)

(0.606)

(0.315)

(0.176)

(0.0324)

(0.0626)

(0.0904)

1,920

0.531***

1.659***

-0.495***

-0.433***

0.145***

0.143***

-0.119***

Kimia

Upah

(0.0780)

(0.221)

(0.122)

(0.0672)

(0.0155)

(0.0186)

(0.0356)

1,920

gap

0.159

1.566***

0.0562

-0.532***

0.176***

0.486***

0.551***

1,920

(0.178)

(0.566)

(0.298)

(0.164)

(0.0335)

(0.0603)

(0.0870)

0.341***

1.322**

-0.229

-1.043***

0.206***

0.316***

0.463***

Produktivitas

(0.132)

(0.527)

(0.247)

(0.137)

(0.0247)

(0.0393)

(0.0621)

2,531

0.414***

0.711***

-0.126

-0.479***

0.0836***

0.0688***

0.0486**

Karet

Upah

(0.0435)

(0.177)

(0.104)

(0.0434)

(0.00767)

(0.0124)

(0.0228)

2,531

gap

-0.0730

0.611

-0.103

-0.564***

0.123***

0.247***

0.415***

2,531

(0.126)

(0.506)

(0.238)

(0.134)

(0.0249)

(0.0381)

(0.0596)

Lanjutan Tabel 3

Sektor

Persamaan

Medshare Highshare Prodshare

Femshare

lnkapital

lnsize

dyear

Obs

Produktivitas

0.549*** (0.175)

3.210*** (0.809)

-0.645*** (0.228)

-0.949*** (0.105)

0.192*** (0.0186)

0.356*** (0.0524)

-0.0906*

(0.0491)

2,811

Galian

Upah

0.587***

0.837***

-0.273***

-0.614***

0.0986***

0.136***

-0.165***

2,811

(0.0685)

(0.235)

(0.106)

(0.0552)

(0.00846)

(0.0205)

(0.0248)

gap

-0.0378

2.372***

-0.372*

-0.335***

0.0935***

0.220***

0.0746*

2,811

(0.160)

(0.729)

(0.207)

(0.0924)

(0.0175)

(0.0477)

(0.0441)

Produktivitas

0.336***

1.972***

-0.738**

-1.156***

0.350***

0.547***

0.282***

2,181

(0.128)

(0.545)

(0.332)

(0.139)

(0.0265)

(0.0528)

(0.0746)

Logam

Upah

0.355***

1.529***

-0.600***

-0.357***

0.146***

0.126***

0.0390

2,181

(0.0608)

(0.194)

(0.110)

(0.0524)

(0.0138)

(0.0186)

(0.0291)

gap

-0.0191

0.443

-0.138

-0.800***

0.204***

0.422***

0.243***

2,181

(0.122)

(0.511)

(0.323)

(0.128)

(0.0258)

(0.0508)

(0.0705)

Produktivitas

0.495***

3.530***

0.418

-0.0790

0.303***

0.724***

0.315***

1,698

(0.169)

(0.658)

(0.373)

(0.216)

(0.0425)

(0.0617)

(0.0983)

Mesin

Upah

0.364***

1.042***

-0.805***

-0.118*

0.0910***

0.181***

-0.0170

1,698

(0.0748)

(0.189)

(0.110)

(0.0717)

(0.0179)

(0.0303)

(0.0364)

gap

0.131

2.488***

1.223***

0.0394

0.212***

0.544***

0.332***

1,698

(0.160)

(0.677)

(0.366)

(0.214)

(0.0419)

(0.0601)

(0.0943)

Produktivitas

0.313

1.093

-1.709***

-0.993***

0.369***

0.860***

0.538***

1,202

(0.221)

(0.891)

(0.508)

(0.299)

(0.0355)

(0.0766)

(0.116)

Kendaraan

Upah

0.451***

1.303***

-0.435***

-0.216**

0.116***

0.136***

-0.0129

1,202

(0.0741)

(0.292)

(0.143)

(0.0964)

(0.0142)

(0.0243)

(0.0385)

gap

-0.138

-0.211

-1.274***

-0.777***

0.253***

0.723***

0.551***

1,202

(0.208)

(0.800)

(0.488)

(0.291)

(0.0404)

(0.0733)

(0.109)

Produktivitas

0.941***

2.101*

-0.428

-0.877***

0.193***

0.192***

0.323**

763

(0.184)

-1.143

(0.453)

(0.204)

(0.0293)

(0.0662)

(0.153)

Upah

0.483***

0.542*

0.0689

-0.419***

0.0938***

0.112***

0.0104

Lainnya

(0.0817)

(0.328)

(0.137)

(0.0749)

(0.0134)

(0.0214)

(0.0438)

763

gap

0.458***

1.559

-0.497

-0.458**

0.0992***

0.0800

0.313**

763

(0.168)

-1.042

(0.408)

(0.192)

(0.0256)

(0.0627)

(0.146)

Keterangan: Nilai dalam tanda kurung adalah nilai standar error yang robust. * signifikansi pada level 10%, ** signifikansi pada level 5%, *** signifikansi pada level 1%.

ulang, komposisi tenaga kerja berpendidikan rendah tetap lebih besar dibandingkan dengan komposisi tenaga kerja berpendidikan menengah dan tinggi. Di beberapa sektor komposisi jumlah tenaga kerja yang berpendidikan tinggi meningkat tajam, misalnya pada industri kulit, industri kayu, industri kertas dan percetakan, serta industri kimia. Namun pada industri kendaraan bermotor serta industri alat angkut selain kendaraan bermotor, proporsi jumlah tenaga kerja yang berpendidikan tinggi menurun digantikan dengan proporsi tenaga kerja yang berpendidikan menengah. Hal ini dikarenakan pada kedua sektor tersebut lebih memilih untuk menggunakan tenaga kerja yang lulusan SMK yang dianggap lebih siap kerja dibandingkan dengan sarjana.

Dari gambaran ini terlihat bahwa industri manufaktur yang sebelumnya menyerap tenaga kerja dengan pendidikan rendah relatif banyak, perlahan mulai meningkatkan standarnya dimana perusahaan-perusahaan di industri manufaktur mulai menggantikan tenaga kerja yang berpendidikan rendah dengan tenaga kerja yang berpendidikan menengah dan tinggi.

Berdasarkan hasil tabel 3 menunjukkan hasil yang beragam antar sektor, namun ada empat pola besar yang terlihat. Pola yang pertama yaitu, rent sharing (productivity-pay gap) perusahaan akan meningkat jika tenaga kerja yang berpendidikan rendah digantikan oleh tenaga kerja yang berpendidikan menengah ataupun tinggi. Hal ini menunjukkan adanya

degree of monopsony perusahaan terhadap tenaga kerja yang berpendidikan menengah dan tinggi, peningkatan produktivitas yang dinikmati oleh perusahaan karena menggantikan tenaga kerja yang berpendidikan rendah dengan tenaga kerja yang berpendidikan menengah dan tinggi lebih besar daripada upah yang dibayarkan oleh perusahaan pada kedua jenis tenaga kerja tersebut. Sektor tersebut adalah sektor mamintem dan tekstil. Kedua sektor tersebut merupakan sektor yang memiliki teknologi yang rendah dan juga banyak mempekerjakan tenaga kerja yang berpendidikan rendah. Pada sektor ini, proporsi kapital per tenaga kerja tidak terlalu banyak karena banyak mengandalkan tenaga manusia. Salah satu karakteristik lainnya dari sektor-sektor ini adalah memiliki proporsi pengeluaran upah yang cukup besar dari total biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan. Karena penggunaan kapital yang tidak terlalu banyak, dan proporsi upah yang sudah cukup besar, maka level pendidikan tenaga kerja tidak terlalu berpengaruh terhadap upah yang diberikan. Sehingga perusahaan cenderung membayar lebih murah upah tenaga kerja yang berpendidikan menengah dan tinggi jika dibandingkan dengan produktivitas yang mereka hasilkan.

Pola yang kedua yaitu rent sharing perusahaan akan meningkat jika tenaga kerja yang berpendidikan rendah digantikan oleh tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Pola ini terlihat pada sektor kertas, kimia, galian, dan mesin. Pola ini sesuai dengan penelitian Kampelmann, Rycx, Saks, & Tojerow (2018) di Belgia. Kelompok sektor kertas merupakan sektor yang memiliki teknologi produksi rendah, namun lebih banyak menggunakan tenaga kerja yang berpendidikan menengah dan tinggi daripada tenaga kerja berpendidikan rendah. Meskipun sektor ini banyak menggunakan mesin, namun proporsi kapital per tenaga kerja tidak terlalu besar karena masih membutuhkan tenaga kerja cukup banyak untuk mengoperasikan mesin tersebut. Pada kelompok sektor ini terjadi peningkatan yang besar pada proporsi tenaga kerja yang berpendidikan tinggi, sehingga peningkatan produktivitas yang dinikmati oleh perusahaan juga besar. Hal ini terlihat dari hasil estimasi highshare terhadap produktivitas dimana setiap peningkatan tenaga kerja berpendidikan tinggi sebesar 10% (yang dikompensasi dengan penurunan tenaga kerja berpendidikan rendah) akan menaikkan produktivitas sebesar 15,78% (1,578 x 0,1 = 0,1578

= 15,78%). Namun peningkatan upah untuk tenaga kerja yang berpendidikan tinggi tidak sebesar produktivitasnya, hal ini terlihat dari persamaan upah dimana rata-rata pengeluaran upah hanya naik sebesar 8,3% jika proporsi tenaga kerja yang berpendidikan tinggi (yang dikompensasi dengan penurunan tenaga kerja yang berpendidikan rendah) naik sebesar 10%.

Pada sektor kimia dan sektor galian terjadi peningkatan proporsi tenaga kerja yang berpendidikan menengah dan tinggi dari tahun 1996 ke 2006. Karakteristik industri ini adalah memiliki teknologi produksi dengan level menengah. Hanya sektor industri obat-obatan yang merupakan bagian dari sektor kimia yang memiliki teknologi tinggi. Industri-industri tersebut cenderung membutuhkan tenaga kerja dengan level pendidikan menengah karena level kesulitan untuk berproduksi dan mengoperasikan mesin tidak terlalu sulit. Sehingga pada industri ini upah untuk tenaga kerja berpendidikan tinggi dihargai tidak terlalu jauh berbeda dengan tenaga kerja yang berpendidikan menengah. Hal ini terlihat dari kenaikan pengeluaran rata-rata upah tidak sebesar kenaikan produktivitas untuk setiap penambahan tenaga kerja berpendidikan tinggi. Dapat dikatakan bahwa perusahaan yang bergerak di sektor kimia dan galian memiliki degree of monopsony terhadap tenaga kerja yang berpendidikan tinggi.

Karakteristik sektor mesin yaitu memiliki teknologi produksi yang tinggi. Dimana sektor ini banyak tergantung pada mesin-mesin untuk proses produksinya. Keahlian tenaga kerja dalam mengoperasikan mesin-mesin tersebut sangat diperlukan. Ternyata kebutuhan akan keahlian tenaga kerja ini dapat dipenuhi oleh tenaga kerja yang berpendidikan menengah, hal ini terlihat dari peningkatan penggunaan tenaga kerja yang berpendidikan menengah relatif cukup besar dari tahun 1996 ke 2006 dibandingkan dengan peningkatan proporsi tenaga kerja berpendidikan tinggi. Sehingga perusahaan yang bergerak di sektor-sektor ini cenderung membayar upah tenaga kerja yang berpendidikan menengah sama dengan produktivitasnya, namun untuk tenaga kerja yang berpendidikan tinggi kenaikan rata-rata pengeluaran upah perusahaan untuk setiap kenaikan proporsi tenaga kerja berpendidikan tinggi (yang dikompensasi dengan pengurangan tenaga kerja yang berpendidikan rendah) tidak sebesar kenaikan produktivitas yang dinikmati

perusahaan. Sehingga perusahaan memiliki degree of monopsony terhadap tenaga kerja berpendidikan tinggi karena memiliki rent sharing yang positif jika perusahaan menggantikan tenaga kerja yang berpendidikan rendah dengan tenaga kerja yang berpendidikan tinggi.

Pola yang ketiga adalah rent sharing perusahaan akan meningkat jika tenaga kerja yang berpendidikan rendah digantikan oleh tenaga kerja yang berpendidikan menengah. Pola ini hanya terlihat pada kelompok sektor lainnya yang terdiri dari sektor industri barang-barang dari batubara, industri daur ulang, dan industri alat optik dan alat kedokteran. Karakteristik sektor ini adalah memiliki teknologi produksi yang sedang dan tinggi. Secara rata-rata pada kelompok sektor ini terjadi penurunan pada tenaga kerja menengah dan terjadi peningkatan proporsi pada tenaga kerja tinggi dan rendah. Karena produktivitas tenaga kerja berpendidikan menengah dinilai sama dengan produktivitas tenaga kerja berpendidikan rendah, maka perusahaan pada sektor ini cendeerung membayar tanaga kerja berpendidikan menengah lebih rendah dibandingkan dengan produktvitas yang di hasilkan.

Pola yang keempat adalah peningkatan proporsi tenaga kerja berpendidikan menengah ataupun tinggi yang menggantikan tenaga kerja berpendidikan rendah tidak berpengaruh signifikan terhadap rent sharing perusahaan. Pola ini terlihat pada kelompok sektor kayu, karet, logam, dan kendaraan. Fenomena ini menunjukkan bahwa pada sektor-sektor tersebut cenderung memiliki karakteristik pasar tenaga kerja yang kompetitif, dimana menurut Mankiw (2012) di pasar yang kompetitif tenaga kerja akan mendapakan upah sesuai dengan produktivitasnya. Kenaikan produktivitas yang dinikmati perusahaan karena menggantikan tenaga kerja yang berpendidikan rendah dengan tenaga kerja yang berpendidikan menengah dan tinggi diiringi dengan kenaikan rata-rata upah yang dibayarkan perusahaan terhadap tenaga kerja tersebut.

Hasil estimasi untuk variabel kontrol menunjukkan di beberapa sektor seperti mamintem, tekstil, kayu, galian, logam, dan kendaraan menunjukkan bahwa kenaikan proporsi tenaga kerja produksi justru menurunkan produktivitas tenaga kerja. Hal ini terjadi karena masih adanya kemungkinan skill mismatch pada industri manufaktur. Sehingga tenaga kerja

tidak bisa bekerja optimal untuk meingkatkan produktivitasnya. Menurunnya produktivitas diiringi dengan menurunnya upah yang harus dibayarkan. Hal ini menunjukkan bahwa upah tenaga kerja produksi memiliki produktivitas yang lebih kecil dibandingkan dengan tenaga kerja non produksi. Sebagian besar sektor manunjukkan bahwa perempuan memiliki produktivitas yang rendah dan upah yang dibayarkan rendah dibandingkan dengan tenaga kerja laki-laki. Di semua sektor, semakin besar perusahaan maka semakin besar produktivitas dan upah yang diberikan kepada tenaga kerja hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Boal & Ransom (1997). Namun semakin besar ukuran perusahaan maka semakin besar sektor tersebut memiliki degree of monopsony.

Sektor-sektor pada industri manufaktur memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Salah satu yang membedakan antara sektor yang satu dengan yang lainnya yaitu teknologi yang digunakan dalam proses produksi. United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) membagi sektor industri berdasarkan teknologi produksinya seperti pada tabel 4. Teknologi industri dibagi menjadi tiga yaitu teknologi rendah, teknologi menengah dan teknologi tinggi. Karakteristik sektor yang masuk ke dalam kategori rendah memiliki tenaga komposisi tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan kapital/ mesin yang digunakan (labor intensive), sedangkan sektor-sektor yang ber teknologi menengah dan tinggi, memiliki proporsi kapital/mesin yang sama ataupun lebih banyak dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang digunakan (capital intensive). Hasil estimasi kenaikan proporsi tenaga kerja menengah dan tinggi terhadap produktivitas dan upah serta productivity-pay gap berdasarkan teknologi yang digunakan dapat dilihat pada tabel 5.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa semakin besar proporsi tenaga kerja yang berpendidikan menengah dan tinggi (yang dikompensasi dengan pengurangan tenaga kerja yang berpendidikan rendah), produktivitas dan rata-rata pengeluaran upah meningkat. Hal ini sesuai dengan teori human capital yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendidikan tenaga kerja, maka produktivitasnya akan meningkat sehingga upahnya pun akan meningkat seiring dengan kenaikan produktivitasnya. Fenomena ini terjadi di

Tabel 4. Sektor Industri Berdasarkan Level Teknologi.

Level Teknologi

Sektor di Industri Manufaktur

15

Industri Makanan dan Minuman

16

Industri Pengolahan Tembakau

17

Industri Tekstil

18

Industri Pakaian Jadi

Teknologi Rendah

19

Industri Kulit, Barang Dari Kulit dan Alas Kaki

20

Industri Kayu, Barang-barang Dari Kayu (Tidak Termasuk Mebeller) dan Barang-barang Anyaman Dari Rotan, Bambu dan Sejenisnya

21

Industri Kertas, Barang Dari Kertas dan Sejenisnya

22

Industri Penerbitan, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman

36

Industri Furnitur dan Industri Pengolahan Lainnya

23

Industri Barang-barang Dari Batu Bara, Pengilangan Minyak Bumi dan Pengolahan Gas Bumi, Barang-barang Dari Hasil Pengilangan Minyak Bumi dan Bahan Bakar Nuklir

Teknologi Sedang

25

26

Industri Karet, Barang Dari Karet dan Barang Dari Plastik Industri Barang Galian Bukan Logam

27

Industri Logam Dasar

28

Industri Barang Dari Logam Kecuali Mesin dan Peralatannya

37

Industri Daur Ulang

24

Industri Kimia dan Barang-barang Dari Bahan Kimia

29

Industri Mesin dan Perlengkapannya

30

Industri Mesin dan Peralatan Kantor, Akuntansi dan Pengolahan Data

31

Industri Mesin Listrik Lainnya dan Perlengkapannya

Teknologi Tinggi

32

33

Industri Radio, Televisi dan Peralatan Komunikasi Serta Perlengkapannya Industri Peralatan Kedokteran, Alat-alat Ukur, Peralatan Navigasi, Peralatan Optik, Jam dan Lonceng

34

Industri Kendaraan Bermotor

35

Industri Alat Angkut Selain Kendaraan Bermotor Roda Empat Atau Lebih

Sumber Data: UNIDO

Tabel 5. Hasil Estimasi Proporsi Pendidikan Tenaga Kerja Terhadap Produktivitas, Upah dan Productivity-Pay Gap Berdasarkan Teknologi Industri

Sektor

Variabel

Terikat

Medshare

Highshare

Femshare

Prodshare

lnkapital

lnsize

dyear

Obs

Produktivitas

0.477***

1.863***

-0.636***

-0.314***

0.234***

0.318***

-0.157***

32,077

(0.0340)

(0.175)

(0.0242)

(0.0656)

(0.00546)

(0.0125)

(0.0150)

Teknologi

Upah

0.452***

0.899***

-0.385***

-0.112***

0.166***

0.0959***

0.0482***

32,077

Rendah

(0.0165)

(0.0770)

(0.0125)

(0.0281)

(0.00289)

(0.00467)

(0.00740)

gap

0.0254

0.963***

-0.251***

-0.201***

0.0672***

0.222***

-0.206***

32,077

(0.0316)

(0.161)

(0.0225)

(0.0616)

(0.00515)

(0.0116)

(0.0139)

Produktivitas

0.538***

2.379***

-1.078***

-0.601***

0.232***

0.390***

-0.175***

7,614

(0.0805)

(0.347)

(0.0686)

(0.159)

(0.0107)

(0.0271)

(0.0354)

Teknologi

Upah

0.556***

1.291***

-0.482***

-0.279***

0.122***

0.102***

0.0565***

7,614

Menengah

(0.0320)

(0.129)

(0.0279)

(0.0619)

(0.00468)

(0.00944)

(0.0147)

gap

-0.0184

1.088***

-0.596***

-0.323**

0.109***

0.288***

-0.231***

7,614

(0.0757)

(0.316)

(0.0640)

(0.149)

(0.0103)

(0.0258)

(0.0332)

Produktivitas

0.430***

2.881***

-0.593***

-0.623***

0.336***

0.724***

-0.457***

4,939

(0.105)

(0.406)

(0.118)

(0.208)

(0.0207)

(0.0382)

(0.0561)

Teknologi

Upah

0.427***

1.405***

-0.248***

-0.653***

0.128***

0.157***

0.0506**

4,939

Tinggi

(0.0410)

(0.139)

(0.0386)

(0.0753)

(0.00937)

(0.0147)

(0.0211)

gap

0.00336

1.476***

-0.345***

0.0305

0.207***

0.568***

-0.508***

4,939

(0.101)

(0.386)

(0.113)

(0.198)

(0.0216)

(0.0368)

(0.0535)

Keterangan: Nilai dalam tanda kurung adalah nilai standar error yang robust. * signifikansi pada level 10%, ** signifikansi pada level 5%, *** signifikansi pada level 1%.

semua sektor baik pada sektor yang berteknologi rendah, menengah dan tinggi.

Kenaikan proporsi tenaga kerja berpendidikan menengah (yang dikompensasi dengan penurunan tenaga kerja berpendidikan

rendah) tidak berpengaruh terhadap productivitypay gap (rent sharing) perusahaan. Dan hal ini terjadi di semua kelompok industri berdasarkan level teknologi. Namun kenaikan proporsi tenaga kerja berpendidikan tinggi yang menggantikan

tenaga kerja berpendidikan rendah, akan menaikkan rent sharing perusahaan. Besaran rent sharing meningkat seiring dengan meningkatnya teknologi yang digunakan oleh perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi level teknologi suatu sektor maka semakin besar degree of monopsony sektor tersebut terhadap tenaga kerja berpendidikan tinggi. Hal ini mungkin terjadi karena sektor yang menggunakan teknologi tinggi mengeluarkan biaya training agar kemampuan tenaga kerja sesuai dengan teknologi yang digunakan sehingga perusahaan membayar upah dibawah produktivitas yang dihasilkan oleh tenaga kerja tersebut. Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Cahuc & Zylberberg (2004).

Kontrol proporsi tenaga kerja perempuan dan proporsi tenaga kerja produksi secara signifikan menunjukkan hasil yang negatif. Artinya kenaikan proporsi tenaga kerja perempuan maupun tenaga kerja produksi akan menurunkan rata-rata upah. Hal ini mengindikasikan bahwa tenaga kerja perempuan dibayar lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja produksi juga dibayar lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja non produksi. Kenaikan jumlah kapital/mesin menuntut perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja yang lebih terlatih dan berpendidikan untuk mengoperasikan mesin tersebut, karena tenaga kerja dengan keterampilan dan pendidikan lebih tinggi cenderung untuk dibayar lebih mahal maka kenaikan kapital per tenaga kerja juga akan meningkatkan pengeluaran untuk upah bagi perusahaan.

Pada pasar persaingan sempurna tidak akan terjadi gap antara produktivitas dan upah karena tenaga kerja dibayar berdasarkan produktivitasnya, namun pada pasar tenaga kerja monopsoni gap antara produktivitas dan upah mungkin terjadi karena perusahaan memiliki kekuatan untuk dapat menentukan upah tenaga kerja dibawah produktivitas tanpa harus khawatir keluar dari pasar.

KESIMPULAN

Penelitian ini mengestimasi dampak proporsi tenaga kerja berdasarkan level pendidikan terhadap produktivitas dan upah serta analisis lebih lanjut terhadap profit perusahaan dengan menggunakan data industri besar sedang pada tahun 1996-2006. Profit perusahaan diukur dengan selisih (gap) antara produktivitas tenaga kerja

dengan upah yang dibayarkan (productivitypay gap). Level pendidikan tenaga kerja dibagi menjadi tiga kelompok: level pendidikan rendah yaitu tenaga kerja yang berpendidikan SMP kebawah, level pendidikan menengah yaitu tenaga kerja yang berpendidikan SMA, D1 dan D2, serta level pendidikan tinggi yaitu tenaga kerja yang berpendidikan D4,S1,S2 dan S3.

Hasil estimasi menunjukkan empat pola besar yaitu pertama rent sharing akan meningkat jika tenaga kerja yang berpendidikan rendah digantikan oleh tenaga kerja yang berpendidikan tinggi maupun rendah. Hal ini menunjukkan adanya degree of monopsony yang dimiliki oleh perusahaan pada sektor tersebut terhadap tenaga kerja berpendidikan menengah maupun tinggi karena kenaikan upah yang dibayarkan dibawah kenaikan produktivitas yang dihasilkan oleh tenaga kerja tersebut. pola ini terlihat pada kelompok sektor mamintem dan tekstil. Pola kedua yaitu rent sharing perusahaan akan meningkat jika tenaga kerja yang berpendidikan rendah digantikan oleh tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Pola ini terlihat pada sektor kertas, kimia, galian, dan mesin. Pola ini sesuai dengan penelitian Kampelmann, Rycx, Saks, & Tojerow (2018) di Belgia. Pola yang ketiga yaitu rent sharing perusahaan akan meningkat jika tenaga kerja yang berpendidikan rendah digantikan oleh tenaga kerja yang berpendidikan menengah. Pola ini hanya terlihat pada kelompok sektor lainnya yang terdiri dari sektor industri barang-barang dari batubara, industri daur ulang, dan industri alat optik dan alat kedokteran. Pola yang keempat adalah peningkatan proporsi tenaga kerja berpendidikan menengah ataupun tinggi yang menggantikan tenaga kerja berpendidikan rendah tidak berpengaruh signifikan terhadap rent sharing perusahaan. Pola ini terlihat pada kelompok sektor kayu, karet, logam, dan kendaraan. Fenomena ini menunjukkan bahwa pada sektor-sektor tersebut cenderung memiliki karakteristik pasar tenaga kerja yang kompetitif, dimana menurut Mankiw (2012) di pasar yang kompetitif tenaga kerja akan mendapakan upah sesuai dengan produktivitasnya.

Penambahan tenaga kerja perempuan akan mengurangi prduktivitas dan pengeluaran upah, hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja perempuan dibayar rendah karena produktivitas yang dihasilkan memang relatif kecil. Di beberapa sektor penambahan tenaga kerja produksi akan

mengurangi produktivitas yang dihasilkan, fenomena ini terjadi mungkin karena masih adanya skill mismatch pada sektor-sektor tersebut sehingga tenaga kerja tidak dapat bekerja secara optimal untuk menghasilkan produktivitas yang lebih besar. Selain itu di sebagian besar sektor manufaktur tenaga kerja produksi masih dibayar lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja non produksi. Penambahan kapital akan meningkatkan produktivitas dan upah tenaga kerja namun disisi lain penambahan kapital juga meningkatkan degree of monopsony perusahaan terhadap tenaga kerja. semakin besar perusahaan, maka semakin besar degree of monopsony yang dimiliki. Fenomena ini terjadi di hampir seluruh sektor industri manufaktur.

Jika estimasi dilakukan berdasarkan kelompok level teknologi yang diguanakan, Hasil estimasinya menunjukkan bahwa sektor-sektor pada industri manufaktur di semua level teknologi tidak memiliki degree of monopsony terhadap tenaga kerja yang berpendidikan menengah. Namun memiliki degree of monopsony terhadap tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Semakin tinggi level teknologi suatu sektor, semakin besar degree of monopsony yang dimiliki oleh sektor tersebut terhadap tenaga kerja berpendidikan tinggi.

Kekuatan perusahaan untuk menggantikan tenaga kerja berpendidikan rendah dengan tenaga kerja berpendidikan tinggi dan menengah akan meningkatkan angka pengangguran di kalangan tenaga kerja yang berpendidikan rendah. Hal ini akan mempersulit tenaga kerja yang berpendidikan rendah untuk masuk ke sektor formal khususnya di industri manufaktur. Maka diperlukan kebijakan pemerintah untuk mengurangi degree of monopsony sektor-sektor tersebut maupun kebijakan untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja terutama untuk tenaga kerja yang berpendidikan rendah. Kebijakan yang sering diterapkan untuk mengurangi degree of monopsony diantaranya adalah penetapan upah minimum. Penetapan upah minimum ini harus memperhatikan karakteristik di masing-masing sektor, sehingga kebijakaan upah minimum akan lebih efektif untuk mengurangi degree of monopsony.

Karena adanya keterbatasan data, penelitian ini menggunakan pooled cross section data untuk menghindari banyaknya observasi yang hilang karena menggunakan balanced panel. Hal

ini dikarenakan data IBS terbaru berdasarkan hasil Sensus Ekonomi (2016) belum di publikasikan pada saat penelitian ini dilakukan. Dengan menggunakan rentang tahun data yang lebih panjang dan metode estimasi panel diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih representatif menggambarkan kondisi pasar tenaga kerja Indonesia khususnya pada industri manufaktur dan dapat menangkap unobserved heterogeneity perusahaan yang tidak bisa ditangkap melalui penelitian cross section.

Penelitian ini belum memasukkan variabel kontrol pengeluaran untuk research and development (RnD). Dengan memasukkan variabel RnD dapat dilihat apakah pengeluaran training yang dilakukan oleh perusahaan semakin meningkatkan degree of monopsony perusahaan terhadap tenaga kerja.

DAFTAR PUSTAKA

Acevedo, G. L. (2005). Mexico: Human Capital Effects on Wages and Productivity. World Bank Policy Research Working Paper, 3791.

Badan Pusat Statistik. (1996). Statistik Industri Besar Sedang. Jakarta

Badan Pusat Statistik. (2006). Statistik Industri Besar Sedang. Jakarta

Badan Pusat Statistik. (1996). Survei Tenaga Kerja Nasional. Jakarta

Badan Pusat Statistik. (2006). Survei Tenaga Kerja Nasional. Jakarta

Becker, G. S. (1993). Human Capital: A Theoretical and Empirical Analysis, with Special Reference to Education. The Economic Journal (Vol. 76). https://doi.org/10.2307/2229541

Bhaskar, V., Manning, A., & To, T. (2002). Oligopsony and Monopsonistic Competition in Labor Markets. Journal of Economic Perspectives, 16(2), 155–174. https://doi.org/10.1257/0895330027300

Bhattacharya, M., Narayan, P. K., Popp, S., & Rath, B. N. (2011). The productivity-wage and productivity-employment nexus: A panel data analysis of Indian

manufacturing. EmpiricalEconomics, 40(2), 285–303.          https://doi.org/10.1007/

s00181-010-0362-y

Biesebroeck, J. Van. (2015). How tight is the link between wages and productivity? A survey of the literature, (54).

Boal, W. M., & Ransom, M. R. (1997). Monopsony in the Labor Market. Journal of Economic Literature, 35(1), 86–112. https://doi.org/10.2298/EKA0773007S

Brummund, P. (2012). Variation in Monopsonistic Behavior Across Establishments : Evidence From the Indonesian Labor Market. Working Paper.

Cahuc, P., & Zylberberg, A. (2004). Labor Economics. Labor Economics, 107–166. https://doi.org/10.1016/ S0169-7218(11)02402-6

Crepon, B., Deniau, N., & Perez-Duarte, S. (2003). Wages , Productivity , and Worker Characteristics : a french perspective. Centre de Recherche En Economie et Statistique Working Paper 2003-04, (1980), 1–24.

Fleisher, B. M., Hu, Y., Li, H., & Kim, S. (2011). Economic transition, higher education and worker productivity in China. Journal of Development Economics, 94(1), 86–94. https://doi.org/10.1016/j.jdeveco. 2010.01.001

Hacgeland, T., & Jakob Klette, T. (1999). Do Higher Wages Reflect Higher Productivity? Education, Gender and Experience Premiums in a Matched Plant-Worker Data Set (pp. 231–259). https://doi.org/ 10.1108/S0573-8555(1999)0000241011

Hellerstein, J. K., & Neumark, D. (1999). Sex, wages, and productivity: An empirical analysis of Israeli firm-level data. International Economic Review, 40(1), 95–123.           https://doi.org/10.1111/

1468-2354.00007

Hellerstein, J. K., Troske, K. R., & Neumark, D. (1999). Wages, productivity, and worker characteristics: Evidence from plant-level production functions and wage equations. Journal of Labor Economics, 17(3), 409–446.          https://doi.org/10.4324/

9780203799918

Ilmakunnas, P., & Maliranta, M. (2005). Technology, Labour Characteristics and Wage-Productivity Gaps. Oxford Bulletin of Economics And Statistics, 67(5).

Jones, P. (2001). Are educated workers really more productive ? Journal of Development Economics, 64, 57–79.

Kampelmann, S., Rycx, F., Saks, Y., & Tojerow, I. (2018). Does education raise productivity and wages equally? The moderating role of age and gender. IZA Journal of Labor Economics, 7(1), 1–37. https://doi.org/ 10.1186/s40172-017-0061-4

Lipsey, R. E., & Sjöholm, F. (2004). Foreign direct investment, education and wages in Indonesian manufacturing. Journal of Development Economics, 73(1), 415–422. https://doi.org/10.1016/j.jdeveco.2002. 12.004

Mankiw, N. G. (2012). Principles of Economics (Sixth). SOUTH-WESTERN CENGAGE Learning.

Manning, A. (2011). Imperfect Competition in the Labor Market. Handbook of Labor Economics, Volume 4B (Vol.4).ElsevierB.V. https://doi.org/10.1016/S0169-7218(11)02409-9

Mustasya, T. (2005). KEBIJAKAN PASAR TENAGA KERJA FLEKSIBEL : TEPATKAH UNTUK INDONESIA SAAT INI ? The Indonesian Institute Center For Public Policy Research, 1–23.

Ours, J. C. Van, & Stoeldraijer, L. (2011). Age, Wage and Productivity in Dutch Manufacturing. De Economist, (April), 113–137.          https://doi.org/10.1007/

s10645-011-9159-4

Schultz, W. T. (1961). Investment in Human Capital. American Economic Review, 51(1), 1–17.

Takii, S. (2003). Do Education Earnings Differentials Reflect Productivity ?: Evidence from Indonesian Manufacturing 1996. The European Institute of Japanese Studies, Stockholm Schools of Economics, Working Paper, 169(January).

UNIDO. (2016). Industrial Development Report 2016: The Role of Technology and Innovation in Inclusive and Sustainable Industrial Development.

Utari, G. . D., Syarifudin, F., & S. Cristina, R. (2014). Produktivitas dan Upah Optimal Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan di Indonesia.

Van Biesebroeck, J. (2011). Wages Equal Productivity . Fact or Fiction ? Evidence from Sub Saharan Africa. World Development, 39(8), 1333–1346. https:// doi.org/10.1016/j.worlddev.2010.12.002

239