Pernikahan Dini dan Budaya
on
pISSN : 2301 - 8968
eISSN : 2303 - 0186
JEKT ♦ 11 [1] : 117-123
Pernikahan Dini dan Budaya
Ida Ayu Nyoman Saskara Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana
ABSTRAK
Fenomena pernikahan dini di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dan terkadang dikaitkan dengan budaya yaitu kebiasaan yang terjadi di suatu daerah. Hal ini dapat dilihat dari data rata-rata umur kawin pertama perempuan mengalami penurunan, sementara disisi lain kondisi pernikahan dini dapat dikatakan bertentangan dengan usaha- usaha untuk meningkatkan kualitas kehidupan keluarga. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji bagaimana budaya mempengaruhi peluang perempuan menikah dini dan bagaimana perbedaan fenomena pernikahan dini antar wilayah kota dan desa. Regresi majemuk logistic digunakan pada data Indonesian Family Life Survey (IFLS) IV 2014. Hasil analisis menunjukkan bahwa budaya pada suku Sasak, Banjar, Minang dan Bali berpengaruh positif dan signifikan, yaitu peluang anak perempuan menikah dini adalah lebih besar dibandingkan suku lainnya dan bila dikaitkan dengan kondisi daerah dan agama ternyata daerah Bali-jawa, Sumatra dan Kalimantan untuk di Kota juga signifikat positif, sedangkan di desa hanya Bali-jawa yang positif dan signifikan. Keywords: perempuan, pernikahan dini
ABSTRACT
The phenomenon of early marriage in Indonesia tends to increase and sometimes associated with the culture that is a habit that occurs in an area. This can be seen from the data on the average age of the first marriage of women decreased, while on the other hand the condition of early marriage can be said to be contrary to efforts to improve the quality of family life. The purpose of this study is to examine how culture affects the chances of married women early and how the difference between early marriage phenomenon between urban and rural areas. Compound multiple logistic regression is used in Indonesian Family Life Survey (IFLS) IV 2014 data. The results show that the culture of Sasak, Banjar, Minang and Bali has positive and significant influence, ie the chances of early married girls are greater than other tribes and when linked with the condition of the region and religion it turns out that Bali-Java, Sumatra and Kalimantan for the city also significan positive, while in the village only Bali-Java is positive and significant.
Keywords: women, early marriage
PENDAHULUAN
Pernikahan pada dasarnya adalah merupakan ikatan yang kuat yang didasari atas perasaan cinta yang sangat mendalam untuk hidup bersama, dan umumnya dilakukan oleh orang yang sudah dewasa.
Namun dalam kenyataannya banyak terjadi pernikahan dalam usia muda, di beberapa kalangan baik di desa maupun di kota yang terkadang pasangan muda tersebut belum siap baik secara mental maupun secara ekonomi. Kondisi pernikahan dini dapat dikatakan bertentangan dengan
Tabelll
Median L mur Kaivin Pertama di Indonesia Tahun 2012 Menurut Kaiakteristik
∙∖Mtrl∣∙∣rri∙hk Latar Belakan.^ |
1 rrnιr 1∣V rt∣ιι1n |
Lmur Wanitu Pernah Kairin |
Umur l'iia Kaivin | ||
20-49 |
2?-49 |
20-W |
25-49 |
25-54 | |
Daerah tempat tinggal | |||||
PeckuLaaii |
j |
i 1.5 |
a |
21,2 |
a |
Perdesaan |
19j |
19.1 |
19,0 |
19,0 |
23,4 |
Pendidikan | |||||
Tidak Sekpbh |
17.? |
17.2 |
1λ1 |
17 n |
21/ |
Tidak Taroat SD |
17.5 |
I /.4 |
17.4 |
17.3 |
21.9 |
Tamai SD |
1S.4 |
IS.4 |
IU |
1(3 |
23/ |
Tidak Tamat SMTA |
1V |
IV |
19/ |
19/ |
2 J/ |
Tamat SMTA |
an |
22.9 |
22/ |
22.6 |
a |
KuintiL Kekayaan | |||||
Terhaivali |
1⅛.1 |
19.1 |
JV |
13.0 |
21/ |
Mentngah Hawah |
19,6 |
19.4 |
19,2 |
19,2 |
23.7 |
JiiTriljili |
Jl |
9Dj4 |
19,9 |
2Qrl |
24,3 |
Ket.: a = median tidak dihitung karena kurang dari 50 persen reJptmden
dilakukan sebelum berumur x.
5umber; BPS RJj 2013
usaha- usaha untuk meningkatkan kualitas kehidupan keluarga. Fenomena ini menjadi hal yang sangat penting untuk dikaji agar dapat ditemukan usaha untuk dapat melakukan rekayasa sosial, meningkatkan pemahaman masyarakat tentang dampak yang ditimbulkan oleh pernikahan dini. Dan terkadang pernikahan dini dikaitkan dengan budaya yang berlaku di suatu daerah, seperti bila terjadi kecelakaan si gadis hamil sebelum menikah pihak keluarga perempuan akan berusaha mendatangi pihak laki-laki untuk menikahi anaknya yang sedang hamil walaupun si gadis sebenarnya belum cukup umur untuk menikah (ada budaya malu bila sianak sampai melahirkan sebelum nikah),
Sita T. Van Bemmelen, http://kajiangender. pps.ui.ac.id, 2016 (didounload 27-12-2017). Sementara di daerah lain terdapat budaya bahwa bila si gadis belum menikah dianggap tidak laku, sehingga orang tua lebih memilih anaknya menikah muda dari pada dikatakan tidak laku (Nazli Halawani P, 2017). Dan ada juga kepercayaan bahwa bila anak sudah dilamar tidak boleh ditolak karena bila ditolak akan menyebabkan anaknya tidak laku dikemudian hari , budaya tradisi local di Rembang Jawa Tengah (rubric sosbud, http://www.dw.com ) di dounload 0901-2018). Fenomena seperti ini sungguh menyedihkan nasib generasi muda, generasi penerus yang mestinya mereka menuntut
GdIiLbdi 1.1
Giafilc Persentase Pcicinpuan Pernah Kawin Usia 20 24 Tahun yang Memkah lSebeliim Lisia 18 Lahun Menurut Kondisi Perumalian Ialiun 2012

Sumber- BPS KLj 2U1⅛
ilmu membekali diri, namun bila tersandung menikah dini dalam kondisi yang sangat tidak siap dalam segala bidang termasuk psikologinya, sehingga keadaan ini tidak hanya berdampak pada yang menikah saja namun juga pada keturunannya. Karena bila perempuan menikah muda dia akan kehilangan kesempatan akan pendidikan, karena kesempatan-kesempatan atau tidak adanya kesempatan yang dapat diperoleh anak perempuan di awal kehidupannya akan mempengaruhi masa depan mereka dan masa depan generasi mendatang. (ILO, 2008). Masa remaja anak perempuan seharusnya menjadi masa bagi perkembnagan fisik, emosional dan sosial, sekaligus sebagai masa persiapan diri untuk memasuki masa dewasa (Plan International, 2012)).
Astuty (2011) menjelaskan bahwa usia perkawinan yang masih muda bagi perempuan menjadi refleksi perubahan sosial ekonomi. Kehamilan remaja juga jauh lebih umum di antara anak-anak perempuan yang berpendidikan rendah yang berasal dari rumah tangga miskin dibandingkan
dengan anak- anak perempuan yang berpendidikan tinggi dari rumah tangga kaya (Adioetomo, et al., 2014). Keadaan seperti ini tidak hanya berpengaruh terhadap potensi kelahiran tetapi juga terkait dengan peran dalam pembangunan bidang pendidikan dan ekonomi. UNICEF telah melakukan kajian tentang pembiayaan eksploratif sebagai dampak perkawinan usia anak dan remaja terhadap perekonomian Indonesia dengan memperkirakan dampak penundaan perkawinan anak perempuan terhadap pasar tenaga kerja. Kajian tersebut menjelaskan kelompok anak perempuan menikah usia 1519 tahun selama 36 tahun ke depan. Dengan menggunakan perkiraan konservatif, hasil kajian menunjukkan bahwa penundaan usia perkawinan anak perempuan sampai 20 tahun dapat meningkatkan 1,70 persen PDB pada tahun 2014 (BPS RI, 2016).
Investasi pada anak perempuan memiliki dampak besar terhadap perekonomian Indonesia selama masa produktif mereka, dan penundaan perkawinan mendukung potensi ini. Hasil kajian UNICEF juga menunjukkan bahwa kurangnya investasi
Gambar 1.2
Gratik Persentase Perenipnan Pernah Kawin I 'sia ?0-?4 Tahnn yang Meiiikdli SebeluiiL Usid 18 Tdliuu Meiiuiul Tingkdl Kesejdlileiddii Tdliuu

dalam penundaan perkawinan bagi remaja perempuan dan hilangnya kesempatan pendidikan dan hilangnya penghasilan seumur hidup yang diakibatkan perkawinan anak perempuan usia anak dan remaja akan terus menimbulkan dampak negatif yang kuat terhadap perekonomian Indonesia (BPS RI, 2016).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dengan jelas pada Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Seiring dengan perkembangan jaman, telah dilakukan gugatan untuk menaikkan batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan di Indonesia, namun ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Jumlah anak perempuan yang terkena dampak pernikahan dini tidak proporsional dibandingkan dengan anak laki-laki. Secara
global, 720 juta anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, dibandingkan dengan 156 juta anak laki-laki (BPS RI, 2016). Berbagai kajian menunjukkan bahwa anak perempuan yang menikah pada usia dini memiliki risiko tinggi untuk mengalami kecemasan, depresi, atau memiliki pikiran untuk bunih diri, sebagian dapat disebabkan mereka tidak memiliki status, kekuasaan, dukungan, dan control atas kehidupan mereka sendiri. Selain itu, pengantin pada kasus pernikahan dini memiliki peluang lebih besar untuk mengalami kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan emosional, serta isolasi sosial, yang merupakan akibat dari kurangnya status dan kekuasaan mereka dalam rumah tangga (BPS RI, 2016).
Sensus nasional pada tahun 2012 bekerja sama dengan UNICEF, menunjukkan bahwa satu dari empat anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, bahkan di sejumlah

Gambar 1.3
Grafik Persentase Perempuan Pernah Kawin Usia 2 O-2-1 Tahun
yang Menikah Sebelum Lhia 18 Tahun di Indonesia, Pada Tahun 2008 - 2012
2∞8
2009
SiimberBPSRIr 2016
2010 2011 2012
245
i∙=
24 7 ≡÷-
JbU
daerah anak perempuan sudah menikah pada usia 15 tahun. Bahkan dari pernikahan dini tersebut, berdasarkan pengamatan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional dari data di Kantor Urusan Agama, jumlah perceraian mencapai 50 persen.
Pernikahan dini juga disinyalir berefek terhadap kesehatan perempuan. Terkait kematian ibu ketika persalinan, Survei Demografi dan Kesehatan (SDKI) tahun 2012 menunjukkan bahwa angka kematian ibu di Indonesia meningkat bila dibandingkan lima tahun sebelumnya. Periode lima tahun sebelumnya, dari 100.000 persalinan, angka kematian ibu sebesar 228 orang, angka tersebut meningkat di tahun 2012 menjadi 359 orang per 100.000 persalinan.
Terdapat beberapa faktor yang disinyalir mempengaruhi terjadinya pernikahan dini di Indonesia. (BPS RI, 2013).
Berdasarkan Tabel 1.1, median umur kawin
pertama bagi waita umur 25- 49 tahun adalah 20,4 tahun, sementara untuk wanita pernah kawin umur 25-49 tahun adalah 20,1. Median umur kawin pertama bagi pria kawin umur 25-54 tahun adalah 24,3 tahun. Secara umum, wanita umur 25-49 tahun yang tinggal di perkotaan menikah dua tahun lebih lambat dibandingkan wanita yang tinggal di perdesaan, yaitu 21,5 tahun dibanding 19,1 tahun.
Pernikahan dini memiliki keterkaitan dengan kemiskinan, karena kondisi kemiskinan mendorong orang tua untuk menikahkan anaknya, terlebih lagi ketika biaya pendidikan tinggi, atau budaya di masyarakat bila anak belum menikah diangka perawan tua dan bahkan ada orang tua lebih memilih memiliki anak janda dari pada tidak menikah.
UNICEF dan BPS mengembangkan indikator kondisiperumahandandistribusipengeluaran rumah tangga untuk menunjukkan hubungan
antar perkawinan usia anak dan status ekonomi. Gambar 1.1 berikut menunjukkan indikator kondisi perumahan, sedangkan Gambar 1.2 menunjukkan indikator distribusi pengeluaran rumah tangga.
Gambar 1.1 menunjukkan prevalensi pernikahan dini yang tertinggi terjadi pada perempuan yang sekarang tinggal dengan kondisi perumahan tidak layak huni, yaitu sebanyak 40,1 persen. Ternyata perempuan yang melakukan pernikahan dini lebih sedikit yang tinggal pada perumahan dengan kondisi layak huni.
Gambar 1.2 menunjukkan bahwa perempuan yang melakukan perkawinan pada usia anak, semakin rendah persentasenya sejalan dengan tingkat kesejahteraan yang semakin baik. Perempuan yang menikah pada usia anak dengan tingkat kesejahteraan Kuintil 1, Kuintil 2, dan Kuintil 3 mempunyai persentase pernikahan dini yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka dengan tingkat kesejahteraan Kuintil 4 dan Kuintil 5. Perbedaan terbesar juga terdapat antara kelompok Kuintil 3 dan Kuintil 4.
Kedua indikator tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa dominan perempuan yang mengalami pernikahan dini justru hidup dalam rumah tangga miskin. Hal ini jauh dari salah satu harapan agar anak perempuan yang menikah dini (terutama dinikahkan orang tua) akan menikmati taraf kehidupan yang lebih baik.
Secara agregat, memang terjadi penurunan tren prevalensi perkawinan usia dini di Indonesia, dari tahun 2008 sampai tahun 2010. Prevalensi perkawinan dini mengalami kenaikan pada tahun 2011 kemudian mengalami stagnasi pada tahun 2012.
Pemerintah dan masyarakat telah berupaya mengurangi kasus pernikahan dini. Namun masih terjadi stagnasi penurunan dan masih tingginya prevalensi perkawinan usia anak di Indonesia. Fenomena pernikahan dini di Indonesia maupun di Provinsi Bali ada kecenderungan mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari data rata-rata umur kawin pertama perempuan mengalami penurunan. Kondisi pernikahan dini dapat dikatakan bertentangan dengan usaha- usaha untuk meningkatkan kualitas kehidupan keluarga. Fenomena ini menjadi hal yang
sangat penting untuk dikaji agar dapat ditemukan usaha untuk melakukan rekayasa sosial, sehingga dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang dampak yang ditimbulkan oleh pernikahan dini.
Berdasarkan urain sebelumnya maka tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah: 1)mengkaji bagaimana budaya(diproksi dengan suku) mempengaruhi peluang perempuan menikah dini; 2) mengkaji bagaimana perbedaan fenomena pernikahan dini antar wilayah perkotaan dan perdesaan. Metode dan Koleksi Data
Penelitian ini dilaksanakan di Indonesia, yaitu
dengan data IFLS 5 menggunakan pendekatan kuantitatif dengan tingkat explanasi, diskritif komparatif dan asosiatif. Sebagai responden
adalah perempuan yang menikah dini, dan
data dianalisis dengan regresi majemuk
model logistic sebagai berikut:

dimana:
hl⅛ = ln odd dari peluang perempuan untuk menikah muda
Xi=intrest variabel yaitu Budaya (diproksi dengan suku)
Ai = variabel contro! yaitu: pendidikan kepala keluarga, pendapatan keluarga, wilayah, agama
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data terkumpul dianalisis per lokasi untuk melihat bagaimana perbedaan fenomona pernikahan dini di Desa dan di Kota. Jumlah sampel responden yang menikah dini di Desa adalah sebanyak 9.490, sementara di Kota adalah sebanyak 12.766 responden. Sehingga secara total responden yang menikah dini di Indonesia adalah 22.256
Hasil analisis data ditunjukkan sebagai berikut :
Bila dilihat antara kondisi di Desa dan di Kota bahwa, di Desa, suku Batak dan Tionghoa signifikan negative (p=0.004 dan p=0.000), artimya peluang perempuan suku Batak dan Tionghoa untuk menikah muda adalah lbih rendah disbanding suku lainnya yg ada di Indonesi. Sementara suku Sasak memperoleh hasilsignificantpositif (p=0.000), yaitu peluang perempuan suku Sasak untuk menikah
Tasel 2. Ha≡il Estimasi di keseluruhan sampel dan sub sampel
SanipeJ Desa |
Sampel Kota |
KeiEluruLau Sampel | |
EdLlCjKtlJ |
-.04E5592*+4 |
-.0433612*** |
- O45 74954** |
usaha |
.IJfSM?*1 |
.1413372* |
14008114 |
usahal |
.0856439* |
.2095331* |
.135633* |
usaha? |
C |
4131236 |
.3987645 |
pos |
2291737 |
2641351 |
.2582783 |
sv.asta |
-.0322649 |
-.0470331 |
-.O4S37O7 *4 |
famιnilyjc∣b |
.1266563* |
■355 7274 |
.0=592" |
p eittime |
-.03E3591 |
3203521 |
.0056376 |
Igritvorlzer |
-151364 |
1125549 |
- 0006397 |
kali HiaiLtau |
.ιcs≡5i -** |
0234516 |
.ID5S122t4* |
j BivaJiati |
QE7aS57*** |
0044032 |
.03 = '2=^-* |
samatra |
0E6619f*** |
3113033 |
.0494=45 *" |
Luiuc onie_nrtu |
-.0DM539*+4 |
-.0335214**" |
-02215214** |
duω∏iyiulzu-2 | |||
1 |
-.0050935 |
-.0288697 |
- 0046936 |
2 |
0177883 |
-.0365456 |
- 0035332 |
3 |
0577696 |
-.0358215 |
.020065 |
J |
.05 7633 |
-.060651*** |
- 01150'3 |
0539741 |
-.1208443*** |
- 09245144** | |
5 |
-.0435706 |
-.0394763 |
- 039E749 |
7 |
.I209654** |
-.OlTIfII |
.0550154 |
3 |
0637212*** |
-.067459*** |
.0007047 |
S |
-.0l⅛4765 |
0390198 |
.0140199 |
11 |
-.06 32439 |
- 0449419 | |
Aguu | |||
2 |
-JOS'∙j-lu" |
-.071243 |
- 05Q9S9E |
3 |
-.ll434El*t4 |
-.1116401 |
- 1334045 |
4 |
-.095-343-*- |
-.0227191 |
- 08 94376 |
⅜ |
-.0440156 |
- 104595 5 |
muda adalah lebih besar dibandingkan suku lainnya. Hal ini dimungkinkan dengan adat suku Sasak yaitu Merarik (kawin lari), dimana anak gadis dilarikan, dan setelah itu harus dinikahkan, tidak melihat sebab dari dilarikan bisa bener-bener dilarikan artinya si gadis tidak suka, atau sama-sam suka tetapi tidak mendapat restu orang tua, atau bisa juga kesepakatan orang tua padahal di gadis belum tentu suka. Walaupun hal ini dikatakan dalam Porum GENRE (Generasi Berencana)
NTB, 2016, bahwa Merarik Kodek (kawin muda), bukan Budaya Sasak, namun dalam kenyataannya masih berlangsung seperti itu. Hal inilah barangkali yang perlu pemikiran lebih lanjut untuk mengatasi bahwa budaya atau adat istiadat yang masih diterapkan dengan sangsi tidak tertulis perlu peninjaun ulang agar genersi muda, generasi penerus bangsa tidak terjerumus.
Sementara bila dilihat kondisi di Kota terlihat suku Sasak, Banjar, Minang dan Bali
berpengaruh positif dan significant yaitu peluang anak perempuan menikah dini adalah lebih besar dibandingkan suku lainnya denga P berturut-turut (P=0.000; P=0.000; P=0.019; P= 0.074). dan bila dikaitkan dengan kondisi daerah dan agama ternyta daerah Bali-jawa, Sumatra dan Kalimantan untuk di Kota juga signifikat positif, sedangkan di Desa hanya Bali-jawa yang significant positif. Artinya di daerah-daerah tersebut peluang anak menikah dini adalah lebih besar dibandingkan dengan Daerah lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
_______. 2013. Ending Child Marriage: Progress and Prospects. New York: UNICEF.
Adioetomo, S.M., H. Posselt, A. Utomo. 2014. UNFPA Indonesia Monograph Series : No. 2. Youth in Indonesia. Jakarta: UNFPA Representative in Indonesia.
Astuty, S.Y. 2011. Faktor-faktor Penyebab TerjadinyaPerkawinanUsiaMudaDikalangan Remaja di Desa Tembung, Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.
BPS RI. 2013. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: BPS RI.
BPS RI. 2016. Kemajuan yang Tertunda: Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia
Centre for Reproductive Rights. 2013. Accountability for Child Marriage: Key Ending Child Marriage: Progress and prospects, p. 3; and World Bank.
(2012), World Development Report on Gender Equality and Development.
p. 154, fig. 4.3.
Evenhuis, Mark and Jennifer Burn. 2015. Just Married Just a Child (Child Marriage in the Indo-Paciffic Region). Australia: Plan International.
Fall, et al. 2015. Association Between Material Age at Childbirth and Child and Adult Outcomes in the Offspring: a Perspective Study in Five Low-Income and MiddleIncome Countries (COHORTS coolaboration).
Lancet Global Health.
Girls Not Brides. 2017. What is the impact?. Available://www.girlsnotbrides.org/what-is-the-impact/ Accesed 2
ICRW. 2005. Development initiative on Supporting Health Adolescents (DISHA) Project: Analysis of quantitative baseline survey data conducted in 2004. Washington, D.C.: ICRW. Indonesia. Jakarta: BPS RI.
ILO, 2008. Beri Anak Perempuan Kesempatan, https://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/ publications/WCMS_161107/lang--en/ index.htm.
Jain, Saranga and Kathleen Kurz. 2007. New Insights on Preventing Child Marriage: A Global Analysis of Factors and Programs. USA: ICRW.
Marrying Too Young: End Child Marriage, pp. 11, 44.
Mathur, S., M. Greene, A. Malhotra. 2003. Too Young to Wed: The Lives, Rights, and Health of Young Married Girls. International Center of Research On Women.
Middleton, R. 2015. Indonesia:Constitutional Court throws out petition to raise girls ‘minimum age to 18. IB Times. New York: UNICEF. Pebruary 2017.
Nazli Halawani Pohan, 2017, Faktor yang Berhubungan dengan Pernikahan Usia Dini Remaja Putri, Jurnal Endurance, 2(3), page 424-435
Plan International. 2012. Because I am a Girl: The state of the world’s Girls 2012: Learning for life.
Rabi, A. 2015. Technical Note. Cost of Inaction: Child and adolescent marriage in Indonesia. Jakarta: UNICEF Indonesia
Rubrik Sosbud, 2009. Kuatnya Tradisi, Salah Satu Penyebab Pernikahan Dini, http://
www.dw.com didownload 09-01-2018
Simanjuntak, H. 2015. Aceh student expelled from school over maariage. Jakarta: The Jakarta Post.
U.N Recommendations to Governments in South Asia on Reproductive Health and Sexual Violence. New York: CFRR.
Sita T. van Bemmelen, 2016, Sekilas Perkawinan Dini di Bali, http://kajiangender. pps.ui.ac.id, di Dounload 27 Desember 2017
UNICEF. (2012). Progress for Children: A
125
Discussion and feedback