Dampak Otonomi Fiskal, Pertumbuhan Ekonomi, dan Keterbukaan Daerah Terhadap Ketimpangan Wilayah di Sumatera
on
JEKT ♦ 9 [2] : 99 - 107
ISSN : 2301 - 8968
Dampak Otonomi Fiskal, Pertumbuhan Ekonomi, dan Keterbukaan Daerah terhadap Ketimpangan Wilayah di Sumatera
Muhammad Fajrii1
Alumni JurusanIlmuEkonomi, FakultasEkonomidanBisnis,Universitas Jambi
Arman Delis2
Yohanes Vyn Amzar3
Dosen JurusanIlmuEkonomi, FakultasEkonomidanBisnis,Universitas Jambi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak otonomi fiskal, pertumbuhan ekonomi, keterbukaan daerah, dan ketimpangan daerah provinsi-provinsi di Sumatera. Untuk melihat pengaruh otonomi fiskal, pertumbuhan ekonomi, dan keterbukaan daerah terhadap ketimpangan antar wilayah periode 2009-2013 digunakan metode analisis data panel dengan pendekatanRandom Effect.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa, otonomi fiskal berada dikategori rendah. Pertumbuhan ekonomi di Sumatera selama periode penelitian juga masih tergolong rendah. Keterbukaan daerah di Sumatera dapat dikatakan masih belum terbuka terhadap lalu lintas perdagangan. Ketimpangan wilayah di Sumatera masih tergolong cukup tinggi.
Pengaruh Otonomi Fiskal terhadap ketimpangan wilayah di Sumatera berpengaruh negatif dan signifikan. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan wilayah, sedangkan keterbukaan daerah berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap ketimpangan wilayah.Diharapakan pemerintah tingkat provinsi di Sumatera mengoptimalkan PAD untuk mengatasi ketimpangan wilayah. Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus memperhatikan dan mengendalikan tingkat ketimpangan wilayah.Harus ada dorongan kepada daerah untuk lebih aktif dalam lalu lintas perdagangan di Sumatera atau Nasional.
Kata Kunci :Otonomi Fiskal, Pertumbuhan Ekonomi, Keterbukaan Daerah, Ketimpangan, Analisis Regresi Data Panel.
Impact of Fiscal Autonomy , Economic Growth and Regional Openness Against Regional Disparities in Sumatra
ABSTRACT
The main research to identify the impact of fiscal autonomy,economic growth,openness access into inequality amongprovinces in Sumatera. For analyze the effect of the degree of fiscal autonomy, economic growth, and openness access to the inequality in Sumatera period2009-2013 withRandom Effect Method.
The results explain fiscal autonomy are categorized low. Economic growthin Sumatera during the study period was also low. Openness access in Sumatera can be said is still not open to trade. Inequality in the Sumatera still quite high.
The effect of fiscal autonomy to inequality is negative and significant. Economic growth to inequality is negative and significant, while the openness access is positive and not significant to inequality. Expected in Sumatera provincial governments to used maximum local revenue. Economic growth must observe and control the level of inequality. There should be a boost to the regions to be more active in trade traffic in Sumatera or National.
Keywords: fiscal autonomy, economic growth, opennessaccess, inequality, regression panel data analysis.
PENDAHULUAN
Mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan adanya peranan pemerintah daerah memanfaatkan semua sumberdaya secara optimal. Menurut Supriyadi (2013) pemberian otonomi secara luas kepada daerah diarahakan untuk terwujud kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Otonomi fiskal diharapkan akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena pemerintah daerah akan lebih efisien dalam memproduksi dan menyediakan barang-barang publik. Pengambilan keputusan oleh pemerintah lokal akan lebih didengar dalam memenuhi pilihan lokal yang beranekaragamsehingga lebih berguna bagi efisensi alokasi.
Studi yang dilakukan Bonet (2006), yang menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap disparitas pendapatan regional di Kolombia, berkesimpulan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal meningkat setiap daerah, namun disparitas pendapatan antar wilayah ternyata juga meningkat selama periode analisis. Beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi seperti lemahnya kapasitas kelembagaan (institusi) pemerintah daerah, tidak ada insentif yang cukup dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dan kurangnya redistribusi transfer nasional (pusat).
Pelaksanaan otonomidaerah yang sudah berjalan kurang lebih selama 14 tahun, masih terdapat permasalahan klasik, seperti pelaksanaan otonomi bidang fiskal signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional tiap provinsi maupun kabupaten/ kota, namun disisi lain ketimpangan antar daerah masih terjadi. Kebijakan otonomi selain tercermin dari wewenang daerah mengatur keuangan dan pemanfaatan sumberdaya daerah, juga tercermin dari keterbukaan ekonomi daerah tersebut. Menurut Suparyati (1999) indikator keterbukaan ekonomi terdiri dari kebijakan orientasi ekspor dan kebijakan subtitusi impor serta kebijakan liberalisasi modal.
Dikhawatirkan pelaksanaan otonomi fiskal yang semula ditujukan untuk memajukan dan mempercepat perkembangan dan pertumbuhan daerah-daerah, justru akan terjadi sebaliknya. Laju pertumbuhan ekonomi yang sangat bervariasi antar daerah dan adanya daerah yang belum terbuka terhadap perdagangan diluar daerahnya setelah pelaksanaan otonomi, disinyalir terjadi peningkatan ketimpangan antar provinsi di Sumatera.Studi yang
menganalisis tentang ketimpangan wilayah dan keterkaitan dengan otonomi fiskal dan pertumbuhan ekonomi menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama jika dikaitkan dengan keterbukaan daerah provinsi-provinsi di Sumatera.
Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu; (1) Bagaimana implementasi otonomi fiskal provinsi di Sumatera? (2) Bagaimana pertumbuhan ekonomi di Sumatera?(3) Bagaimana keterbukaan daerah di Sumatera?, (4)Bagaimana ketimpangan wilayah di Sumatera? dan (5)A pakah otonomi fiskal, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat keterbukaan daerah berpengaruh terhadap ketimpangan antar wilayah di Sumatera?
Otonomi fiskal atau desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggungjawab dan kewenangan untuk pengambilan keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan (tax assignment) maupun aspek pengeluaran (expanditure assignment)(Prawirosetoto, 2002). Pada era otonomi, daerah diberi wewenang lebih dominan untuk mengurus daerah sendiri, baik itu dari sisi kebijakan pembangunan dan mengelolah keuangan sendiri atau biasa disebut otonomi fiskal. Tujuan otonomi fiskal adalah (1) meningkatkan alokasi nasional dan efisiensi operasional pemerintah daerah, (2) memenuhi aspirasi daerah, memperbaiki struktur fiskal secara keseluruhan, dan mobilisasi pendapatan daerah, (3) meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan mengembangkan partisipasi konstituen dalam pengambilan keputusan tingkat daerah, (4) mengurangi kesenjangan fiskal antar daerah, (5) memperbaiki kesejahteraan sosial rakyat Indonesia (Sidik, 2002)
Terdapat dua teori yang menjelaskan permintaan makro wilayah yaitu teori basis ekonomi (the economic base model) dan model penggandaan wilayah Keynesian (Keynesian Regional Multiplier). Model basis ekonomi menjelaskan besarnya peningkatan total pendapatan tergantung pada kenaikan pendapatan sektor basis dan tingkat total pendapatan daerah. Implikasinya adalah bahwa pertumbuhan ekonomi daerah yang bersifat progresif akan semakin sensitif terhadap pertumbuhan sektor basis apabila total pendapatan suatu daerah semakin besar atau size of the region meningkat. Model basis ekspor dapat memberikan penjelasan dan pemahaman proses pertumbuhan ekonomi daerah secara sederhana, namun model ini tidak mempertimbangkan kemungkinan kendala yang muncul bagi keberlanjutan aktivitas industri basis dalam jangka panjang karena keberadaan diseconomies of agglomeration (McCann, 2001).
Model penggandaan Keynesian menjelaskan bahwa selain ekspor ke luar wilayah, setiap komponen permintaan agregat regional, dianggap sebagai fungsi dari pendapatan wilayah setelah pajak. Ditambahkan lagi bahwa pengeluaran pemerintah diarahkan dan dialokasikan lebih besar ke daerah yang tingkat pendapatannya rendah dan tingkat penganggurannya lebih tinggi, agar dapat mendorong aktivitas perekonomiannya. Selain itu, daerah-daerah miskin biasanya juga menjadi penerima subsidi pemerintah yang lebih besar dalam kebijakan pendanaan wilayah. Kebijakan ini erat kaitannya dengan fungsipengeluaran pemerintah sebagai penyeimbang parsial dalam mengatasi masalah disparitas pendapatan antar wilayah. Pada model pendapatan-permintaan agregat wilayah, impor merupakan pengeluaran pelaku ekonomi lokal yang dibelanjakan terhadap barang-barang atau jasa-jasa dari luar wilayah tersebut, baik dari daerah lain atau luar negeri (McCann, 2001).
K etimpangan pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumberdaya alam dan perbedaan kondisi geografi yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu, tidaklah mengherankan jika pada setiap daerah biasanya terdapat wilayah maju (development region) dan wilayah terbelakang (underdevelopment region). Terjadinya ketimpangan antar wilayah ini membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.
Keuntungan adanya keterbukaan ekonomi yaitu meningkatkan hasil dari faktor produksi yang relatif berlimpah dan mengurangi kembalinya faktor produksi yang relatif langka (Febriani, 2016). Pembangunan perdagangan merupakan salah satu kegiatan di bidang ekonomi yang mempunyai peran strategis dalam upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dan memberikan sumbangan yang berarti dalam menciptakan lapangan usaha serta perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan (Sood, 2011). Aktivitas perdagangan dan investasi dinyakini sangat berperan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi daerah dimana multiplier effect yang ditimbulkan sangat besar melalui pemanfaatan sumberdaya secara
optimal dan pertukaran produksi antar daerah maupun lintas sektor. Perdagangan dan investasi dapat menjadi pendorong laju perekonomian daerah dan meningkat kesejahteraan.
DATA DAN METODOLOGI
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pooling. Datayang diperlukan dalam penelitian ini adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), Total Pendapatan, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan harga konstan tahun 2000, PDRB Perkapita, nilai ekspor impor seluruh provinsi di Sumatera, dan PDB Perkapita. Semua data dari tahun 2009-2013 yang dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi, yang bersumber Buku Laporan Struktur Keuangan Daerah dan Laporan Tahunan BPS berbagai edisi.
MetodeAnalisis dan Pengolahan Data
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan program EViews9.0. Metode analisis yang digunakan dalam peneltian ini adalah analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisa informasi kuantitatif, yaitu estimasi model regresi dengan pengunaan data panel atau pooled data(pooling cross section-time series regression)dan memilih model mana yang terbaik dari common, fixed, atau random effect. Dengan unit cross section adalah 10 Provinsi di Pulau Sumatera dan tahun analisis pada 2009-2013 sebagai unit time series-nya.
Estimasi Regresi Data Panel
Persamaan yang digunakan untuk mengetahui pengaruh Derajat Otonomi Fiskal,Pertumbuhan Ekonomi, dan Keterbukaan Wilayah terhadap Ketimpangan Wilayah menggunakan estimasi data panel. Dalam mengestimasi model regresi panel, terdapat 3 pendekatan yang biasa digunakan, yaitu CEM, FEM dan REM (Widarjono,2013).
-
a. Common Effect Model
Pendekatan ini diasumsikan bahwa nilai intersep masing-masing variabel adalah sama, begitu pula slope koefisien untuk semua unit cross-section dan time series(Gujarati, 2012). Berdasarkan asumsi ini, maka model CEM dinyatakan sebagai berikut (Widarjono, 2007) :
Kit = α+ β1DOFit + β2PEit + β3TRit + εit (1)
Dimana: K it adalahketimpangan wilayah; DOFitadalahderajat otonomi fiskal; PEit adalah pertumbuhan ekonomi; TRitadalah keterbukaan daerah; α adalah Konstanta; β1 adalah nilai koefisien dari derajat otonomi fiskal; β2adalah nilai koefisien dari ketimpangan wilayah; β3adalah nilai koefisien dari keterbukaan daerah; εitadalah Error term
-
b. Fixed Еffect Model
Menurut Gujarati (2012), salah satu cara untuk memperhatikan unit cross-section pada model regresi panel adalah dengan mengijinkan nilai intersep berbeda-beda untuk setiap unit cross-section tetapi masih mengasumsikan slope koefisien tetap. Model FEM dapat dinyatakan sebagai berikut (Juanda dan Junaidi, 2012):
Kit = α0i+ β1DOFit + β2PEit + β3TRit + εit (2)
Dimana iadalah 1, 2, 3, (sebanyak jumlah crosssection); tadalah1, 2, 3, (sebanyak time series). Model ini dikenal sebagai model Fixed Effect karena meskipun intersep berbeda untuk setiap unit crosssection, namun intersep ini tidak berbeda atau konstan untuk setiap unit time series (time invariant) (Gujarati, 2012).
-
c. Raпdoⅿ Еffect Model
Pada model REM diasumsikan αi merupakan variabel random dengan mean α0. sehingga intersep dapat dinyatakan sebagai αi = α0 + εi dengan εi merupakan error randomyang mempunyai mean 0 dan varians σε2, εi tidak secara langsung diobservasi atau disebut juga variabel laten. Jadi persamaan model random effect adalah sebagai berikut (Juanda dan Junaidi, 2012):
Kit = α0 + β1DOFit + β2PEit + β3TRit + wit
Dengan wit = εi+uit. Suku error gabungan wit memuat dua komponen error yaitu εi komponen error cross section dan unit yang merupakan kombinasi komponen error cross section dan time series
Pemilihan Regresi Data Panel
-
a. Ⅽhow Test (Uji Chow)
Chow test digunakan memilih antara Model Common Effect dan Model Fixed Effect. Asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkannya setiap unit cross section memiliki perilaku yang berbeda menjadi dasar dari uji chow. Dalam pengujian ini dilakukan hipotesis nol (H0) yang digunakan adalah insterslop dan slope adalah
sama (Juanda, 2012). Adapun uji F statistiknya adalah :
F hitung = [RSS1 – RSS2 / n-1] / [(RSS2 )-(n/T – n-k)]
.........(3)
Dimana :RSS1 adalahresidual sum of square hasil pendugaan model common effect; RSS2 = residual sum of square hasil pendugaan model fixed effect ; N adalah jumlah data cross section; T adalah jumlah data time series; K adalah jumlah variabel bebas
Statistik Chow Test mengikuti sebaran F-statistik yaitu F(N-1,NT-N-K);α. Jika nilai Chow statistik lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti untuk menolak H0 dan sebaliknya.
-
b. Lagraпge Multiplier Test (Uji LM)
Pengujian ini berdasarkan pada nilai residual dari model Common Effect. Hipotesis nol (H0) yang digunakan adalah intersep bukan peubah random atau stokastik (Juanda, 2012). Dengan formulasi sebagai berikut :

(4)
Statistik uji LM adalah sebagai berikut (Juanda dan Junaidi, 2012):
Dimana, T adalah jumlah unit time series; n adalah jumlah unit cross section; σi2 adalah variansi residual persamaan ke-i; σ2 adalah variansi residual persamaan sistem. Uji LM disarkan pada distribusi chi-squre dengan derajat bebas sebesar 1. Jika hasil statistik LM lebih besar dari nilai krisis statistik chi-squre, maka hipotesis nol akan ditolak, yang berarti estimasi yang tepat untuk regresi data panel adalah metode Random Effect.
-
c. Hausⅿaп Test (Uji Hausman)
Uji hausman digunakan untuk membandingkan model Fixed Effect dengan Random effect. Alasan dilakukannya uji hausman didasarkan pada model fixed effect model yang mengandung suatu unsur trade off yaitu hilangnya unsur derajat bebas dengan memasukkan variabel dummy dan model Random Effect yang harus memperhatikan ketiadaan pelanggaran asumsi dari setiap komponen galat. Dalam pengujian ini dilakukan hipotesis sebagai berikut :
W = Χ2[K] = [βˆ, βˆGLS] [βˆ- βˆGLS] (5)
Uji hausman mengikuti distribusi statistik chi-squre dengan derajat bebas sebanyak jumlah peubah bebas. Hipotesis nol ditolak jika nilai statistik
Hausman lebih besar daripada nilai kritis statistik chi-squre. Ini berarti bahwa model yang tepat untuk regresi data panel adalah model Fixed Effect (Juanda, 2012).
Uji Hipotesis
Uji Signifikasi Statistik Secara Parsial (uji-t)
Uji t-statistik digunakan untuk menguji signifikan variabel independen terhadap variabel dependen dalam persamaan secara parsial. Bila signifikan berarti secara statistik hal ini menunjukkan bahwa variabel independen mempunyai pengaruh secara parsial terhadap variabel dependen. Dalam studi uji-t yang digunakan adalah uji-t satu arah yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
Jika :
-
(1) H0 : β2> 0 ; dimana D esentralisasi fiskal berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan wilayah.
-
(2) H1: β2< 0; dimana Desentralisasi otonomi fiskal berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap ketimpangan wilayah.
-
(3) H0: β1> 0; dimana Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan wilayah.
-
(4) H1 : β1< 0; dimana Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap ketimpangan wilayah.
-
(5) H0: β3> 0; dimana K eterbukaan d aerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan wilayah.
-
(6) H1 : β3< 0; dimana K eterbukaan daerah berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap ketimpangan wilayah.
Dengan kriteria pengambilan keputusan :
-
(7) Jika t-hitung> t-tabel, maka H0ditolak dan
H1diterima.
-
(8) Jika t-hitung< t-tabel, maka H0diterima.
Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) mempunyai kegunaan, yaitu sebagai ukuran ketepatan suatu garis regresi yang diterapkan terhadap suatu kelompok data hasil observasi (a measure of the goodness of fit). Makin besar nilai R2, maka semakin tepat atau cocok garis regresi, sebaliknya apabila nilai R2semakin kecil, maka semakin tidak tepat garis regresi tersebut untuk mewakili data hasil observasi. Nilai R2antara 0 dan 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Implementasi otonomi fiskal yang tercermin dari derajat otonomi fiskal di Sumatera selama
periode 2009-2013 masih tergolong rendah. Hal ini terlihat dari rata-rata DOF selama periode tersebut. Pada tahun 2009 rata-rata DOF di Sumatera 6,6% kemudian di tahun berikutnya turun menjadi 6,1%. Tetapi pada tahun 2011 sampai 2013 DOF mengalami peningkatansetiap tahun, dengan rata-rata 6,7% tahun 2011, 7,2% tahun 2012 dan 7,7% tahun 2013. Masih rendahnya kemandirian provinsi-provinsi di Sumatera dikarenakan PAD yang menjadi tolak ukur melihat kemandirian fiskal yang masih rendah.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk mengevaluasi hasil pembangunan. Pertumbuhan yang positif menunjukkan adanya peningkatan perekonomian dan pertumbuhan negatif menunjukkan terjadinya penurunan kinerja perekonomian dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Keterbukaan daerah mencerminkan apakah daerah tersebut aktip dalam lalu lintas perdagangan. Persentase keterbukaan daerah provinsi di Sumatera masih sangat rendah, walaupun rata-rata persentase keterbukaan daerah di Sumatera tiap tahun terus meningkat. Pada tahun 2009 rata-rata persentase keterbukaan daerah 4,73%, dengan persentase tet-inggi Provinsi Riau 11,53% diikuti Provinsi Sumatera Utara 8,07%. Sedangkan persentase terkecil dimiliki Provinsi Lampung sebesar 0,98%. Pada tahun 2010 rata-rata persentase keterbukaan daerah meningkat menjadi 5,81%, dengan persentase tertinggi masih Provinsi Riau sebesar 14,18%, dikuti Provinsi Suma-tera Utara dan Jambi sebesar 9,27% dan 8,41%. Pada tahun 2011 persentase keterbukaan daerah di Suma-tera menurun dari tahu sebelumnya menjadi 5,25%, Provinsi Riau tetap mendominasi persentase sebesar 13,88%. Tahun 2012 dan 2013 persentase keterbukaan daerah meningkat menjadi 7,10% dan 8,74%.
Ketimpangan antar wilayah provinsi di Sumatera yang dilihat dari Indeks Bonet dengan membandigkan dari tahun ke tahun apakah menunjukkan adanya perubahan atau tidak.Dimana koefisien 1 menunjukan wilayah tersebut semakin timpang, sedangkan bila semakin mendekati 0 maka semakin merata. Indeks Bonet merupakan PDRB perkapita dengan PDB perkapita dikurang 1 yang diabsolutkan. Rata-rata ketimpangan wilayah provinsi di Sumatera mengalami fluktuasi dari tahun 2009-2013. Pada tahun 2010 terjadi penurunan rata-rata indeks ketimpangan dari tahun sebelumnya yaitu 0,47% ke 0,43%. Dari tahun 2011 sampai 2013 terjadi kenaikan rata-rata indeks ketimpangan yaitu 0,44 di tahun 2011, 0,45 di tahun 2012, dan 0,46 di tahun 2013.
Berikut hasil olahan data dengan menggunakan alat analisis EViews 9.0 :
-
1. Common Effect
Hasil dari pengolahan data dengan pendekatan Common Effect sebagai berikut :
Kwit = 0.08+0.06DOFit–0.05PEit+ 0.03TRit Prob. = 0.7101 0.0026 0.08730.0122
t-stat = 0.37 3.18 —1.7 2.6
R2 = 0.32 F=7.33
Dari model di atas dapat dijelaskan bahwa intersep sebesar 0.08 berarti jika tidak ada pengaruh dari derajat otonomi fiskal, pertumbuhan ekonomi, dan keterbukaan daerah maka ketimpangan sebesar 0.08%. Nilai koefisien dari derajat otonomi fiskal sebesar 0.06 menjelaskan bahwa jika derajat otonomi fiskal naik 1% maka ketimpangan akan naik 0.06%, dan nilai Porb. 0.0026 menjelaskan bahwa derajat otonomi fiskal berpengaruh signifikan. Nilai koefisien dari pertumbuhan ekonomi sebesar -0.05 menjelaskan bahwa jika pertumbuhan ekonomi naik 1% maka ketimpangan akan turun 0.05%, dan nilai Porb. 0.0873 menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan pada α = 10%. Nilai koefisien dari keterbukaan daerah sebesar 0.03 menjelaskan bahwa jika keterbukaan daerah naik 1% maka ketimpangan akan naik 0.03%, dan nilai Prob.0.0122 menjelaskan bahwa keterbukaan daerah berpengaruh signifikan.
Daerah berpengaruh signifikan pada α = 10%. Model dengan pendekatan Fixed Effect memiliki intersep berbeda antara cross-section, berikut intersep yang tidak sama antar provinsi:
Tabel. 1. Nilai Intersep Fixed Effect Provinsi-Provinsi di Sumatera
No |
Provinsi |
Nilai Intersep |
1 |
Aceh |
-0.24 |
2 |
Sumatera Utara |
-0.27 |
3 |
Sumatera Barat |
-0.21 |
4 |
Riau |
0.98 |
5 |
Jambi |
-0.47 |
6 |
Sumatera Selatan |
-0.40 |
7 |
Bengkulu |
-0.11 |
8 |
Lampung |
-0.12 |
9 |
Bangka Belitung |
-0.28 |
10 |
Kepulauan Riau |
1.15 |
Sumber : diolah dengan EViews9.0.
-
3. Random Effect
Hasil dari pengolahan data dengan pendekatan Random Effect sebagai berikut :
Kwit =0.60–0.03DOFit – 0.001PEit + 0.01TRit Prob. =0.0034 0.0250 0.9157 0.0532
t-stat =3.08 -2.31 -0.10 1.98
R2 =0.13F = 2.41
S edangkan model ketimpangan dengan pendekatan Random Effect menjelaskan bahwa intersep sebesar 0.60 berarti jika tidak ada pengaruh dari derajat otonomi fiskal, pertumbuhan ekonomi, dan keterbukaan daerah maka ketimpangan sebesar 0.60%. Nilai koefisien dari derajat otonomi fiskal sebesar -0.03 menjelaskan bahwa jika derajat otonomi fiskal naik 1% maka ketimpangan akan turun 0.03%, dan Prob. 0.0250 menjelaskan bahwa derajat otonomi fiskal berpengaruh signifikan. Nilai koefisien dari pertumbuhan ekonomi sebesar -0.001 menjelaskan bahwa jika pertumbuhan ekonomi naik 1% maka ketimpangan akan turun 0.001%, dan nilai Prob. 0.9157 menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh signifikan. Nilai koefisien dari keterbukaan daerah sebesar 0.01 menjelaskan bahwa jika keterbukaan daerah naik 1% maka ketimpangan akan naik 0.01%, dan nilai Prob.0.0532 menjelaskan bahwa keterbukaan daerah berpengaruh signifikan. Model dengan pendekatan Random Effect memiliki intersep yang merupakan variabel random dengan mean α0, berikut ditampilkan intersep dari model Random Effect :
Pemilihan Model Estimasi
Pemilihan model estimasi yang terbaik diantara Common Effect, Fixed Effect, dan Random Effect
Tabel. 2. Nilai IntersepRandom Effect Provinsi-Provin-
si di Sumatera | ||
No |
Provinsi |
Nilai Intersep |
1 |
Aceh |
-0.21 |
2 |
Sumatera Utara |
-0.29 |
3 |
Sumatera Barat |
-0.20 |
4 |
Riau |
0.95 |
5 |
Jambi |
0.44 |
6 |
Sumatera Selatan |
-0.38 |
7 |
Bengkulu |
-0.06 |
8 |
Lampung |
-0.09 |
9 |
Bangka Belitung |
-0.28 |
10 |
Kepulauan Riau |
1.04 |
Sumber : diolah dengan Eviews9. Tabel. 3. Uji Chow | ||
Cross section F |
Cross section Chi-square |
α |
0.0000 |
0.0000 |
5% |
Sumber : diolah dengan Eviews9.0.
dilakukan dengan Uji Chow yang melihat model mana yang terbaik antara Common Effect dan Fixed Effect dan Uji Hausman yang memilih model mana yang terbaik antara Fixed Effect dan Random Effect.
Uji Chow digunakan untuk memilih kedua model diantara Model Common Effect dan Model Fixed Effect. Asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkannya setiap unit cross section memiliki perilaku yang berbeda menjadi dasar dari uji chow. Dalam pengujian ini dilakukan hipotesis sebagai berikut :
-
H0 = Model mengikuti Pool/Common;
-
H1 = Model mengikuti Fixed
Dasar penolakan terhadap H0 adalah dengan menggunakan F-statistik lebih besar dari F-tabel pada tingkat singnifikan tertentu, H0 ditolak.
Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukan F test maupun Chi-squre signifikan (p-value 0.000 dan 0.0000 < 5%), sehingga H0 ditolak, maka model Fixed Effect lebih baik dari model Common Effect.
Tabel. 4.Uji Hausman
Cross section Random α
0.0587 5%
Sumber : diolah dengan EViews9.0.
Dalam pengujian ini dilakukan hipotesis sebagai berikut :
-
H0 = Random Effect; H1 = Fixed Effect
Dengan statistik uji χ2hit = (b – β)’Var(b –β)-1(b – β). Dimana : b = koefisien random effect; β = koefisien fixed effect. Keputusan penolakan H0 jika χ2hit> χ2 (k,α) atau p-value < α, dimana k =jumlah koefisien slope.
Berdasarkan Tabel 4 menunjukan p-value= 0.0587 > 5%, sehingga H0 diterima, maka model Random Effect lebih baik dari model Fixed Effect.
Uji Hipotesis
Setelah memilih model mana yang terbaik dilanjutkan dengan uji hipotesis untuk menjawab pertanyaan dari permasalahan dalam penelitian ini. Untuk uji hipotesis dilakukan dengan uji signifikasi statistik secara parsial atau uji-t satuarah.
Uji signifikansi yang dilakukan pada variabel derajat otonomi fiskal dapat dilihat dari nilai t-hitung dan t-tabel. Dari hasil regresi dengan random effect didapat nilai t-hitung -2.31 dan nilai t-tabel 1,67 dengan signifikansi α=5%. Karena nilai t-hitung > t-tabel maka H0 ditolak, dan H1 diterima. Ditarik kesimpulan desentralisasi otonomi fiskal berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap ketimpangan wilayah di Sumatera.
Uji signifikansi yang dilakukan pada variabel pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari nilai t-hitung dan t-tabel. Dari hasil regresi dengan random effect didapat nilai t-hitung -0,10 dan nilai t-tabel 1,67 dengan signifikansi α=5%. Karena nilai t-hitung < t-tabel maka H0 diterima. Ditarik kesimpulan pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan wilayah di Sumatera.
Uji signifikansi yang dilakukan pada variabel keterbukaan daerah dapat dilihat dari nilai t-hitung dan t-tabel. Dari hasil regresi dengan random effect didapat nilai t-hitung 1,98 dan nilai t-tabel 1,67 dengan signifikansi α=5%. Karena nilai t-hitung > t-tabel maka H0 ditolak, dan H1 diterima. Ditarik kesimpulan keterbukaan daerah berpengaruh negatif
dan tidak signifikan terhadap ketimpangan wilayah di Sumatera.
Sementara itu untuk pengujian statistik simultan atau uji-f digunakan untuk pengujian terhadap pengaruh semua variabel independen di dalam model. Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen. Pengaruh derajat otonomi fiskal (DOF), pertumbuhan ekonomi (PE), dan keterbukaan daerah (TR) terhadap ketimpangan wilayah (K) provinsi-provinsi di Sumatera. Dari hasil penelitian dan pemilihan model random effect ditemukan nilai F-hitung adalah 2,41 dan F-tabel 2,81 dengan tingkat signifikansi 5%. Dari perbandingan nilai F-hitung < F-tabel ditarik kesimpulan H0 ditolak, maka pertumbuhan Ekonomi, derajat Otonomi Fiskal, dan keterbukaan daerah secara bersama-sama berpengaruh terhadap ketimpangan wilayah provinsi-provinsi di Sumatera.
Pembahasan dan Interpretasi Hasil
Berdasarkan hasil olahan data dalam penelitian ini menggunakan EViews 9.0 , dengan variabel independen yakni derajat otonomi fiskal (DOF), pertumbuhan ekonomi (PE), dan keterbukaan daerah(TR) diduga mempengaruhi variabel dependen yakni ketimpangan wilayah (Kw). Mengetahui besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, digunakan alat analisis regresi liniear berganda menggunakan data panel.
Persamaan hasil regresi dan tampilan data sebelumnya menunjukkan dalam penelitian ini menggunakan data panel dengan pendekeatan random effect. Persamaanyang telah ditampilkan tersebut dijelaskan bahwa derajat otonomi fiskal berpengaruh negatif terhadap ketimpangan wilayah provinsi-provinsi di Sumatera selama periode 20092013. Sehingga jika selama periode penelitian tersebut derajat otonomi fiskalprovinsi-provinsi di Sumatera mengalami kenaikan maka ketimpangan wilayah mengalami penurunan, demikian juga sebaliknya.
Untuk pertumbuhan ekonomi dij elaskan bahwa,pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap ketimpangan wilayah provinsi-provinsi di Sumatera selama periodepenelitian. Sehingga jika selama periode penelitian tersebut pertumbuhan ekonomiprovinsi-provinsi di Sumatera mengalami kenaikan maka ketimpangan wilayah juga mengalami penurunan, demikian juga sebaliknya.
Sedangkan untuk keterbukaan daerah dijelaskan bahwa,keterbukaan daerah berpengaruh positif terhadap ketimpangan wilayah provinsi-provinsi di
Sumatera selama periode 2009-2013. Sehingga jika selama periode 2009-2013 tersebut keterbukaan daerahprovinsi-provinsi di Sumatera mengalami kenaikan maka ketimpangan wilayah mengalami kenaikan, demikian juga sebaliknya.
Keadaan tersebut sesuai dengan latar belakang penelitian dimana derajat otonomi fiskal yang tinggi menunjukkan kemandirian keuangan yang semakin meningkat yang diharapkan akan mengurangi ketimpangan wilayah. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan Siagian (2010) dan Sianturi (2011) bahwa derajat otonomi fiskal mempunyai hubugan yang negatif terhadap ketimpangan wilayah.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan akan mengurangi ketimpangan wilayah provinsi-provinsi Sumatera. Berdasrkan hasil olahan data didapat pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif terhadap ketimpangan wilayah yang berarti, kenaikan pertumbuhan ekonomi mengakibatkan penurunan ketimpangan wilayah provinsi-provinsi Sumatera. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kuznet bahwa pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan akan terjadi trade-off. Dikarenakan pertumbuhan ekonomi pada tahap awal pembangunan cenderung dipusatkan pada sektor modern perekonomian yang pada saat itu kecil dalam penyerapan tenaga kerja. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Siagian (2010), Sianturi (2011), dan Apriesa dan Miyasto (2013) bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi juga akan meningkatkan ketimpangan wilayah.
Sedangkan untuk keterbukaan daerah dari hasil olahan data didapat keterbukaan daerah berpengaruh positif terhadap ketimpangan wilayah yang berarti, semakin terbuka perekonomian suatu daerah mengakibatkan peningkatanketimpangan wilayah provinsi-provinsi Sumatera. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Siregar (2012) dalam Tesis yang menganalisis Disparitas Pendapatan dan Faktor-Faktor yang mempengaruhinya di Provinsi Sumatera Utara, setiap kenaikan share keterbukaan daerah akan menurunkan perbedaan pendapatan perkapita.
SIMPULAN
Implementasi otonomi fiskal yang tercermin dari DOF atau tingkat kemandirian keuangan daerah di Sumatera dari tahun 2009-2013 masih berada dalam skala interval yang sangat rendah. Pertumbuhan ekonomi di Sumatera selama periode penelitian juga masih tergolong rendah. Sedangkan keterbukaan daerah di Sumatera masih dapat dikatakan belum terbuka terhadap lalu
lintas perdagangan. Ketimpangan wilayah yang dijelaskan dengan Indeks Bonet di Sumatera masih terjadi ketimpangan cukup tinggi. Pengaruh DOF terhadap ketimpangan wilayah provinsi-provinsi di Sumatera selama periode 2009-2013 berpengaruh negatif. Sedangkan pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan wilayah provinsi-provinsi di Sumatera selama periode yang sama mempunyai pengaruh negatif terhadap ketimpangan wilayah di Sumatera. Sementara keterbukaan daerah terhadap ketimpangan wilayah provinsi-provinsi di Sumatera selama periode penelitian mempunyai berpengaruh positif.
SARAN
Diharapakan penyelenggara masing-masing pemerintah tingkat provinsi di Sumatera harus mengoptimalkan PAD untuk mengatasi ketimpangan wilayah di provinsi masing-masing. Selain bertujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi penyelenggara masing-masing pemerintah tingkat provinsi di Sumatera juga harus memperhatikan dan mengendalikan tingkat ketimpangan wilayah. Selanjutnya pemerintah tingkat provinsi di Sumatera harus mendorong daerahnya untuk lebih aktif dalam lalu lintas perdagangan di Sumatera atau Nasional.
Penulis merasa masih ada beberapa kekurangan dalam penelitain ini, untuk kedepan dengan topik kajian yang sama disarankan untuk menggunakan variabel ketimpangan dengan pendekatan Indeks Theil untuk memperoleh penelitian yang lebih bervariasi. Diharapkan juga adanya kajian dengan membandingkan pulau-pulau besar di Indonesia ataupun membandingkan wilayah timur dan barat.
REFERENSI
Apriesa, Lintantia Fajar dan Miyasto. 2013. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Dan Ketimpangan Pendapatan (Studi Kasus : Kabupaten/Kota Jawa Tengah. Diponegoro Journal O f Economics Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013. Semarang
Bonet, Jaime. 2006. Fiscal Decentralization adn Regional Income Disparities : Evidenci from the Colombian Experince. The Annals of Regional Science.
Hesty Febriani. 2016. Analisis Hubungan Antara Ketimpangan Pendapatan dan Keterbukaan Perdagangan Pasca Krisis Ekonomi.Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.
Juanda, Bambang dan Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu: Teori dan Aplikasi. IPB Press. Bogor.
McCann, P. 2001. Urban and Regional Economics. Oxford University Press. New York.
Prawirosetoto, F.Χ Yuwono. 2002. Desentralisasi Fiskal Di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, No 2, Vol 2. FE Universitas Atmajaya. Jakarta.
Siagian, Altito R. 2010. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Dan Ketimpangan Wilayah (Studi Kasus Propinsi Jawa Barat). Fakultas Ekonomi Diponegoro Semarang. Semarang.
Sianturi, Simonsen. 2011. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Ketimpangan Pendapatan Antar Wilayah (Studi Kasus Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara. Fakultas Ekonomi Diponegoro Semarang. Semarang
Sidik, Machfud. 2002. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal (Antara Teori dan Aplikasinya di Indonesia). Makalah Seminar Setahun Implementasi Kebijakan Otonomi di Indonesia.
Suparyati, Agustina. 1999. Analisis Dampak Keterbukaan Ekonomi dan Stabilitas Makroekonomi terhadapa Pertumbuhan Total Faktor Productivity Indonesia. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Supriyadi, Armandelis, dan Selamet Rahmadi. 2013. Analisis Desentralisasi Fiskal di Kabupaten Bungo. Jurnal Perspektif Pembiayaan dan Pembangunan Daerah Vol. 1 No. 1, Juli 2013.Program Magister Ilmu Ekonomi Fak. Ekonomi Universitas Jambi.
Sood, Muhammad. 2011. Hukum Perdagangan Internasional. Rajawali Pers. Jakarta.
Widarjono, Agus. 2013. Ekonomterika Pengantar dan Aplikasinya. UPP STIM YKPN. Yogyakarta
Winarno, Wing Wahyu. 2007. Analisis Ekonometrika Dan Statistika Dengan Eviews Edisi Kedua. UPP STIM YKPN. Yogyakarta.
107
Discussion and feedback