JEKT 5 [2] : 134 - 140

ISSN : 2301 - 8968

Pengaruh Perkembangan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Kota Bandung Terhadap Sektor Pertanian Daerah Lainnya di Jawa Barat

Atih Rohaeti Dariah*)

Yuhka Sundaya

Program Studi Ilmu Ekonomi

Fakultas Ekonomi Universitas Islam Bandung

ABSTRAK

Paper ini membahas pengaruh pertumbuhan perdagangan, hotel dan restoran (PHR) Kota Bandung terhadap sektor pertanian di Jawa Barat, yang akan mencerminkan hubungan ekonomi kota dan desa. Metode analisis yang digunakan adalah persamaan simultan yang disetimasikan dengan teknik seemingly unrelated regression (SUR), karena setiap GDRP pertanian kabupaten/kota digambarkan dengan variable penjelas yang sama, seperti perdagangan, hotel dan restoran di Kota Bandung. Hasil dari persamaan hampir cukup untuk diinterpretasikan dan mampu menjawab hipotesis, nilai R2 dan hasil uji t dengan nilai dibawah 0,5. Hasil mengindikasikan bahwa perdagangan, hotel dan restoran di Kota Bandung, lebih mempengaruhi pertanian di daerah yang jauh dari Kota Bandung, seperti Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Subang, Cianjur, Sukabumi, Indramayu dan Cirebon. Kedelapan kabupaten ini adalah pusat dari produksi bahan pangan, kebutuhan hidup, perikanan.

Kata kunci: sektor PHR, pertanian, hubungan ekonomi, metode SUR

The Impact of Trade, Hotels, and Restaurants Sector Growth Towards The Agricultural Sector of Other Districts in West Java

ABSTRACT

This paper studied the influence of trade, hotels and restaurants (THR) sector growth of Bandung to other agricultural area in West Java Province. It will reflect the urban and rural economic linkages through production linkages. The methods used are simultaneous equations which are estimated by Seemingly Unrelated Regression (SUR) technique, because each district/city agricultural GDRP described by the same explanatory variables i.e: trade, hotels and restaurants of Bandung. The results are quite adequate for interpretation, reflected in the sign coefficient score responding to the hypothesis, the amount of R2, and t test statistic with the amount of under 0.5. The conclusion indicated that the trade, hotels and restaurants of Bandung were more encourage agricultural area that located far enough from Bandung city, such as Garut, Tasikmalaya, Subang, Cianjur, Sukabumi, Indramayu and Cirebon District. All districts are center of production of crops, livestock and fisheries.

Key words: THR sectors, agricultural, economic linkages, SUR method

PENDAHULUAN

Potret pembangunan ekonomi Jawa Barat memiliki keunikan dari sisi kewilayahan dan sektoral. Dari segi kewilayahan, sebagian besar wilayah masih merupakan perdesaan. Hal ini ditunjukan dengan jumlah desa di Jawa Barat yang mencapai 5.321 desa. Namun proporsi jumlah penduduk yang bertempat tinggal di daerah perdesaan hanya 34,31 persen, lebih rendah dibandingkan dengan di daerah perkotaan yang mencapai 65,69 persen (BPS, 2011). Hal ini terkait erat dengan struktur PDRB (Produk Domestik

Regional Jawa Barat) Jawa Barat yang didominasi oleh sektor industri pengolahan. Pada tahun 2010, pangsa sektor industri pengolahan terhadap total PDRB mencapai 42 (BPS Jabar, 2011), sementara sektor pertanian hanya memberikan kontribusi sebesar 11 . Sejumlah kabupaten/kota yang memiliki kawasan industri atau menjadi lokasi sejumlah pabrik besar telah berkembang pesat menjadi daerah perkotaan yang padat penduduk karena tingginya arus migrasi masuk. Hal ini ditunjukan oleh posisi Kabupaten Bogor sebagai daerah industri yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Jawa Barat yakni mencapai

*). Email: [email protected]


4 771 932 jiwa atau 11,08 persen dari total penduduk Jawa Barat (BPS,2011).

Sekalipun PDRB Jawa Barat didominasi oleh sektor industri pengolahan, namun proporsi jumlah penduduk usia 15-65 tahun yang bekerja di sektor tersebut lebih rendah dibandingkan dengan yang bekerja di sektor pertanian. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, sebanyak 21,75 penduduk usia 15-65 tahun bekerja di sektor pertanian dalam arti luas yang mencakup sub sektor tanaman pangan, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan. Sedangkan yang bekerja di sektor industri pengolahan hanya 17,39 . Fakta demikian se cara implisit mengisyaratkan perbedaan produktivitas yang cukup besar diantara kedua sektor.Hal ini diperkuat dengan data disparitas kemiskinan antar kota dan desayang cukup tinggi, dimana persentase penduduk miskin di perdesaan yang mencapai 13,88 lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan sebesar 9,43 (BPS Jabar, 2010).Artinya, sektor pertanian di perdesaan menjadi kantong-kantong kemiskinan di Jawa Barat. Fenomena ini merupakan masalah mendasar yang harus diselesaikan.

Terdapat beberapa gagasan terkait upaya meredam kemiskinan rumah tangga pertanian, diantaranya adalah komersialisasi pertanian (Eskola, 2004), program transfer kekayaan (de Janvry dan Sadoulet, 1996),dan pengembangan kesempatan kerja off-farming di pedesaan (de Janvry et al., 2005). Dari ketiga gagasan tersebut, dalam penelitian ini difokuskan pada poin pertama. Eskola (2004) berpendapat bahwa pembangunan fasilitas pasar yang dekat dengan kegiatan pertanian serta kemudahan petani untuk mengakses informasi pasar dapat meningkatkan derajat komersialisasi rumah tangga pertanian. Partisipasi pasar akan terbuka lebar bagi petani, dan dengan cara demikian hambatan penjualan mengecil yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga petani.

Pertanyaan yang muncul dalam hal ini adalah dimanakah potensi untuk peningkatan komersialisasi komoditas pertanian bagi para petani di Jawa Barat?Berdasarkan pernyataan Ketua PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran) Kota Bandung yang mengemuka pada saat FGD tentang Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat tahun 2012, saat ini Kota Bandung semakin menarik sebagai tujuan wisata kedua di Indonesia setelah Bali. Dengan predikat Bandung kota kuliner, pertumbuhan jumlah restorandan rumah makan terus meningkat. Diketahui saat ini ada 472 restoran dan rumah makan di Kota Bandung (http://bandungtourism.com/res_i.php). Berdasarkan pantauan terhadap sejumlah restoran

dan rumah makan yang ada, ternyata sebagian besar menawarkan menu makanan Indonesia khususnya Sunda. Secara eksplisit hal ini mengindikasikan tingginya permintaan bahan pangan untuk industri wisata kuliner Kota Bandung yang mendorong terjadinya keterkaitan produksi production linkages) dan keterkaitan kota desa.Selain itu, Pasar Induk Caringin Kota Bandung merupakan pasar yang menjadi simpul transaksi perdagangan komoditas khususnya hortikultura lintas kabupaten/kota di Jawa Barat bahkan lintas provinsi. Berdasarkan kondisi demikian apakah benar Kota Bandung telah berperan menjadi pasar utama untuk komoditas pertanian lokal Jawa Barat sehingga setiap sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran PHR) tumbuh akan mendorong peningkatan permintaan komoditas pertanian dari daerah sekitarnya?

Penelitian ini fokus pada production linkages khususnya antara pertumbuhan sektor dominan yakni sektor PHR di Kota Bandung yang membutuhkan pasokan input bahan pangan dari perdesaan. Masalah yang dirumuskan adalah seberapa besar pengaruh perkembangan sektor PHR Kota Bandung terhadap perkembangan sektor pertanian daerah lainnya di Jawa Barat? Sesuai latar belakang, tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh perkembangan sektor PHR Kota Bandung terhadap perkembangan sektor pertanian daerah lainnya di Jawa Barat. Besarnya pengaruh menjadi cerminan tingkat keterkaitan ekonomi perkotaan dan perdesaan di Jawa Barat.

Relevansi Studi Sebelumnya

Dalam pandangan peneliti, kajian pengaruh se ktor PHR K ota Bandung te rhad ap se ktor pertanian daerah lainn ya di Jawa Barat, dapat menggambarkan keterkaitan ekonomi, khususnya production linkages (‘b ackward’ atau ‘forward’ bagi penawaran input). Peneliti pernah melakukan penelitian keterkaitan ekonomi antara kota kecamatan (Desa Pusat Pertumbuhan/DPP) dengan desa sekitar di 10 Kabupaten yang ada di Jawa Barat dengan menggunakan indeks gravitasi(Dariah, dkk, 2007). Melalui perhitungan indeks gravitasi dapat diketahui seberapa besar keterkaitan antar desa dan kota, yang secara spesifik berlaku untuk jenis komoditas tertentu dan pada saat tertentu. Variabel pembentuknya adalah jumlah input dari tiap desa, jumlah penduduk dari desa asal bahan baku, dan jarak desa asal bahan baku dengan kota.

Kelemahannya, indeks gravitasi hanya dapat dihitung apabila wilayah yang dianalisis terdapat dalam orde yang sama. Indeks tersebut tidak menangkap trend perkembangan secara series selama periode tertentu kecuali dihitung secara tahunan. Selain itu, indeks

tersebut sulit diterapkan untuk agregat seluruh komoditas dan banyak wilayah secara simultan. Interprestasi angka sebatas tinggi atau rendah, sulit dimaknai secara spesifik. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan menitikberatkan pada backward production linkages secara agregat, yakni mencermati perkembangan serial total nilai sektor dominan di perkotaan Sektor PHR) dengan sektor pertanian yang mencakup sejumlah besar komoditas. Selain itu dalam penelitian ini pendekatannya makro, yakni nilai total sektor pertanian setiap kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat.

Terdapat temuan menarik dari studi sebelumnya bahwa tinggi rendahnya keterkaitan produksi baik backward maupun forward tergantung pada skala usaha komoditas dominan di DPP tersebut dan jarak. Karena lingkup penelitian berada pada orde yang sama kabupaten yang sama), maka jarak merupakan faktor utama penentu tingginya keterkaitan. Jika keterkaitan pada orde yang berbeda lintas kabupaten) dan fasilitas infrastruktur jalan cukup memadai, sangat dimungkinkan jarak bukan menjadi determinan utama lagi.

Penelitian terkait lainnyayang pernah dilakukan adalah Kajian Neraca Perdagangan Volatile Food di Jawa Barat yang membahas tentang pemenuhan kebutuhan 7 jenis pangan di 7 kota di Jawa Barat, dimana 4 dari 7 jenis pangan tersebut dipasok oleh daerah sekitarnya. Dibanding penelitian yang pertama, skala penelitian ini lebih luas melibatkan orde yang berbeda, yakni lintas kabupaten/kota.Obyek penelitian masih tetap komoditas pertanian dengan fokus pada rantai pasok dan pola distribusinya. Secara implisit sudah nampak bagaimana ketergantungan daerah sekitar terhadap Kota Bandung untuk pemasaran komoditas pertanian tertentu, namun tidak diketahui berapa besar keterkaitan antar sektor dan wilayah yang dikaji.

Penggunaan Alat Analisis

Sesuai tujuan penelitian yakni menemukan besarnya pengaruh sektor PHR Kota Bandung terhadap sektor pertanian daerah lainnya di Jawa Barat, pendekatan metode analisis yang akan digunakan adalah persamaan simultan yang diestimasi dengan teknik seemingly unrelated regression SUR). Hasil estimasi menghasilkan koefisien yang mencerminkan pengaruh perkembangan sektor dominan di perkotaan Sektor PHR) Kota Bandung dengan sektor pertanian daerah lainnya di Jawa Barat, sebagai cerminan tingkat keterkaitan desa dan kota. Dengan titik pijak dari perkembangan sektor PHR Kota Bandung sebagai ibu kota Provinsi Jabar dan pusat pertumbuhan ekonomi regional, maka secara tidak langsung akan tergambarkan peran pusat pertumbuhan ekonomi tersebut terhadap perkembangan sektor pertanian di

daerah lainnya, dimana masalah jarak atau jumlah penduduk tidak menjadi variabel pembentuk utama.

Idealnya ketika membahas keterkaitanantar sektor dan wilayah, alat analisis yang cukup memadai adalah Tabel Inter Regional Input Output(IRIO).Disayangkan Jawa Barat belum memiliki Tabel IRIO antar kabupaten kota, sehingga untuk memecahkan masalah ini peneliti mencoba mengangkat sektor PHR sebagai cerminan ekonomi dominan perkotaan dan sektor pertanian sebagai cerminan ekonomi dominan perdesaan.

DATA DAN METODOLOGI

Prosedur ekonometrika digunakan untuk menges-timasi parameter dugaan yang menjelaskan pengaruh sektor PHR Kota Bandung terhadapsektor pertanian kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Dari hasil re-spesifikasi model secara berulang, model ekonometri-ka tersebut diestimasi dengan menggunakan teknik seemingly unrelated regression SUR).

Penelitian ini bermula dari pemahaman terhadap posisi strategis Kota Bandung dalam perekonomian Provinsi Jawa Barat. Aktivitas sektor P HR merupakan sumber permintaan, dimana Kota Bandung sendiri selain menjadi pasar untuk kebutuhan konsumsi industri dan rumahtangga, pada pihak lain menjadi tempat transit untuk distribusi komoditi pertanian ke daerah lain. Konsumsi industri cukup tinggi yang di-tunjukan oleh banyaknya restoran dan rumah makan. Permintaan tersebut menciptakan produksi pertanian di setiap daerah, sehingga dari fenomena demikian muncul hipotesis bahwa aktivitas sektor PHR di Kota Bandung memberikan pengaruh bagi aktivitas sektor pertanian daerah lainnya di Provinsi Jawa Barat.Ban-yak kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang struktur PDRBnya didominasi oleh sektor pertanian dan terletak di daerah perdesaan, sehingga hasil estimasi juga dapat digunakan untuk menginterpretasikan pengaruh ekonomi perkotaan terhadap ekonomi perdesaan.

Ekspresi model ekonometrika untuk merepresentasikan fenomena ekonomi demikian disajikan pada persamaan (1), yang meringkas 24 persamaan lengkapnya.

TANIi,t = a 0 + a 1 PHRBDGt + ei,t          (1)

α1 > o dimana :

TANIi,t = PDRB Sektor Pertanian Kabupaten/Kota i pada tahun t; PHRBDGt = Nilai PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran

Kota Bandung pada tahun t;

αo = Konstanta;

α1 = Parameter dugaan;

i = Kabupaten/Kota, dimana i = 1 … 24 t = Tahun;

ε = Error term;

Persamaan tersebut merupakan hasil akhir dari respesifikasi model ekonometrika secara berulang, yang sebelumnya mengestimasi variabel ekonomi lain sebagai penjelas setiap persamaan. Hasilnya menunjukkan bahwa hasil estimasi persamaan (1) dinilai memiliki makna ekonomi dan memenuhi kriteria pengujian statistik dan asumsi klasik. Setiap persamaan menjelaskan perubahan PDRB sektor pertanian Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat selain Kota Bandung yang diproksi melalui besaran PDRB sektor pertanian, dimana variabel penjelas untuk setiap persamaan sama, yaitu kegiatan dominan ekonomi di Kota Bandung yang proksi dengan variabel PDRB sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR). Hipotesis dari persamaan tersebut menyatakan bahwa PHR Kota Bandung dapat meningkatkan PDRB sektor pertanian Kabupaten/Kota di Jawa Barat (α1> 0).

Persamaan (1) diestimasi dengan menggunakan teknik SUR. Alasan teknisnya adalah bahwa setiap PDRB pertanian kabupaten/kota dijelaskan oleh variabel penjelas yang sama yaitu, PHR Kota Bandung, dan teknik estimasi yang memenuhi sifat tersebut adalah SUR (Intriligator, 1996; Sitepu, 2006). Alasan lainnya adalah tampak seolah tidak ada keterkaitan ekonomi antar daerah, padahal faktanya, antar daerah memiliki keterkaitan ekonomi.

Sumber data yang digunakan untuk mengestimasi persamaan (1) adalah data sekunder yang sudah riil bukan data sementara) yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat, sehingga meski data tidak sampai publikasi terbaru, hasil estimasi masih sangat sesuai dengan kondisi saat ini. Artinya terjadi konsistensi fenomena dari periode data yang diteliti dengan kondisi tiga tahun terakhir. Tidak secara khusus dilakukan survey dalam rangka menangkap fenomena yang lebih spesifik, sehingga analisis semata-mata memanfaatkan data sekunder pula, kecuali untuk info tertentu yang relatif terbatas dari informan yang dapat dipercaya.

Data sektor PHR mencakup sub sektor perdagangan besar dan eceran, sub sektor hotel, dan sub sektor restoran. Sangat dimungkinkan transaksi yang menyangkut komoditas pertanian hanyalah bagian kecil dari seluruh transaksi di sektor PHR tersebut. Namun karena tidak ada data yang khusus menyajikan transaksi terkait komoditas pertanian saja, maka data agregat sektor PHR akhirnya digunakan untuk menggambarkan kegiatan yang terkait langsung dengan sektor pertanian.

Karena ketidaklengkapan data terkait dengan pemekaran wilayah yang terjadi di Jawa Barat selama periode penelitian, maka tidak seluruh kabupaten kota terkaji. Terdapat dua daerah yakni Kabupaten

Bandung Barat dan Kota Tasikmalaya yang tidak masuk dalam model. Kota Banjar baru terbentuk secara resmi pada tahun 2003, tapi ketersediaan data cukup memadai sehingga bisa muncul dalam model.

Data tersebut berjenis time series, yang menampilkan PDRB sektor pertanian setiap kabupaten/kota dan PDRB sektor PHR Kota Bandung yang berubah dari tahun ke tahun. Ringkasan datanya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Ringkasan Sta1s1k Data Peneli1an: PDRB Pertanian Kabupaten/ Kota dan PDRB Sektor PHR Kota Bandung Menurut Harga Konstan Tahun 2000Periode Tahun 2000-2007 (Juta Rupiah)

Nomor

PDRB

Rata-Rata

Minimum

Maximum

Kabupaten

1

Tasikmalaya

2592726

1478379

4409235

2

Garut

5895660

3816107

8485344

3

Ciamis

2610727

1758261

4015860

4

Kuningan

1573502

1261304

1998903

5

Cirebon

2774654

1831200

3899123

6

Indramayu

3389513

2305286

4678414

7

Sumedang

1765588

1117414

2621536

8

Majalengka

1586003

942407

2455940

9

Subang

2959241

1603693

4592805

10

Purwakarta

754027

482012

1123771

11

Karawang

2174563

1559377

3119707

12

Bogor

1826407

1409949

2439762

13

Sukabumi

3457869

2250180

4816695

14

Cianjur

4345600

2859062

5822581

15

Bandung

2143578

1693318

2537015

16

Bekasi

1055834

737146

1499043

Kota

17

Cirebon

19700

14105

28027

18

Bogor

15348

10230

20646

19

Sukabumi

104081

62743

147429

20

Bandung

98920

71038

141104

21

Depok

201748

140297

257751

22

Bekasi

156470

110339

214957

23

Banjar

164094

122201

230442

24

Cimahi

10711

7656

14064

25

PHR Kota Bandung

10587753

5004184

20082523

Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2008

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 2 menampilkan hasil estimasi model eko-nometrika yang dispesifikasi pada persamaan (1). Hasil estimasi tersebut cukup memadai untuk diin-terpretasikan.Pertama, tanda sign) koefisien sesuai dengan hipotesis, yaitu sektor PHR Kota Bandung mendorong kenaikan PDRB sektor pertanian di setiap daerah.Logika ekonominya terpenuhi.Kedua, secara statistik, kolom [7] menampilkan informasi bahwa variasi perubahan pada PDRB pertanian setiap Ka-bupaten/Kota lebih dari 90 persen dijelaskan oleh variasi perubahan PHR Kota Bandung, yang disertai dengan kecenderungan tingkat signifikansi di bawah 0.5 (Prob |F|). Hanya PDRB pertanian Kabupaten Bandung yang R2nya rendah.

Hasil uji t statistik pun cukup menggembirakan yang

dilihat dari kecenderungan tingkat signifikansinya (Prob |t|) dengan besaran berada di bawah 0.5.

Tabel 2. Hasil Es1masi Model

Daerah

Konstanta

Koefisien

Prob |F|

R2

Nilai

Prob |t|

Nilai

Prob |t|

Kabupaten

Garut

2830089

.0001

0.2895

.0001

.0001

0.9664

Tasikmalaya

448226

0.0406

0.2025

.0001

.0001

0.9697

Subang

1075027

0.0005

0.1780

.0001

.0001

0.9662

Cianjur

2468841

0.0001

0.1773

0.00

0.0003

0.9042

Sukabumi

1785848

.0001

0.1579

.0001

.0001

0.9501

Ciamis

986393

.0001

0.1534

.0001

.0001

0.9870

Indramayu

1857337

.0001

0.1447

.0001

.0001

0.9656

Cirebon

1491886

.0001

0.1212

.0001

.0001

0.9607

Karawang

1155613

.0001

0.0962

.0001

.0001

0.9877

Majalengka

579858

0.0001

0.0950

.0001

.0001

0.9798

Sumedang

767129

.0001

0.0943

.0001

.0001

0.9798

Bogor

1215684

.0001

0.0577

.0001

.0001

0.9388

Bekasi

560452

.0001

0.0468

.0001

.0001

0.9623

Kuningan

1101976

.0001

0.0445

.0001

.0001

0.9523

Purwakarta

336986

.0001

0.0394

.0001

.0001

0.9769

Bandung

1835045

0.0001

0.0291

0.142

0.142

0.3225

Kota

Banjar

86590

.0001

0.0073

.0001

.0001

0.9943

Depok

132498

.0001

0.0065

0.001

0.001

0.8571

Bekasi

89 731

.0001

0.0063

.0001

.0001

0.9711

Sukabumi

45590

0.0012

0.0055

0.0002

0.0002

0.9183

Bandung

49577

.0001

0.0047

.0001

.0001

0.9874

Cirebon

9294

.0001

0.0010

.0001

.0001

0.9719

Bogor

8582

.0001

0.0006

0.0002

0.0002

0.9156

Cimahi

6519

.0001

0.0004

.0001

.0001

0.9333

Sumber : Diringkas dari worksheet SAS/ETS 9.0

Hasil estimasi model menunjukkan bahwa, suatu perubahan yang terjadi di Kota Bandung misalnya jumlah kunjungan wisatawan yang semakin meningkat sehingga nilai transaksi PHR semakin besar, akan menggerakkan sektor pertanian daerah lainnya di Jawa Barat. Pada kolom [4] Tabel 2 ditampilkan besaran koefisien dari urutan terbesar hingga terkecil, masing-masing untuk daerah kabupaten dan kota. Interpretasi yang dapat dikemukakan pada kolom tersebut adalah bahwa PHR Kota Bandung ternyata tidak selalu berpengaruh besar terhadap pertanian wilayah terdekat sekitarnya, justru lebih banyak mendorong sektor pertanian daerah yang cukup jauh dari Kota Bandung seperti Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Subang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon.

Sesuai hasil perhitungan dapat dilihat bahwa koefisien tertinggi diperoleh untuk Kabupaten Garut. Artinya, pertumbuhan sektor PHR paling berpengaruh terhadap pertumbuhan sektor pertanian Kabupaten Garut dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Kenaikan nilai transaksi di sektor PHR Kota Bandung sebesar 1 juta rupiah saja, berpotensi untuk mendorong kenaikan nilai output sektor pertaniannya sebesar

289 539 rupiah. Hal ini secara implisit mengandung makna tingginya interaksi perdagangan komoditas pertanian antara Kabupaten Garut dan Kota Bandung.

Garut merupakan sentra produksi komoditas hortikultura terbesar di Jabar dan nasional. Mereka memiliki keunggulan kompetitif antara lain kondisi agroekologis yang tepat ditunjang dengan petani terampil. Keunggulan tersebut terus bertahan, saat ini mereka akan membudidayakan 127 varietas dari 21 jenis tanaman hortikultura (Pikiran Rakyat, 5 Juni 2012). Temuan hasil estimasi mengukuhkan bahwa Kota Bandung merupakan gerbang utama untuk pemasaran produk hortilkutra mereka.

H asil riset sebelumnya menunjukan bahwa Kabupaten Garut merupakan pemasok utama kol untuk kebutuhan pasar Kota Bandung (Dariah dkk, 2008). Selain memasok Kota Bandung, kol dari Kabupaten Garut memasok kota lainnya di Jawa Barat bahkan Jakarta. Kabupaten Garutmerupakan produsen terbesar dalam produksi kol di Indonesia, disusul Jawa Tengah dan Sumatera Utara.

Setelah dengan Garut,pengaruh yang besar terjadi pula untuk wilayah selatan Jabar yakni Kabupaten Tasikmalaya,yang merupakan sentra produksi peternakan terutama daging ayam ras. Sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya, bahwa kebutuhan daging ayam di Kota Bandung sebagian besar dipasok oleh peternak dari Kabupaten Tasikmalaya (Dariah, dkk, 2008).

Tingkat kemantapan jalan provinsi yang cukup baik sekalipun belum optimal, turut memperlancar distribusi komoditas tersebut ke pasar tujuan. Pada akhir tahun 2004 tingkat kemantapan jalan yang berstatus provinsi mencapai 87,5 .Tingkat kemantapan jalan diartikan sebagai persentase panjang jalan provinsi dengan kondisi baik dan sedang terhadap panjang jalan provinsi secara keseluruhan. Pada tahun 2009 tingkat kemantapan semakin tinggi mencapai 89,51 dan tahun 2010 menjadi 92,08 sesuai target yang telah ditetapkan ketika menyusun perencanaan. Pencapaian target tingkat kemantapan jalan tersebut berada pada setiap wilayah pelayanan, kecuali di Wilayah Pelayanan II. Kondisi tahun 2011 ternyata belum mengalami banyak perubahan. Di Wilayah Pelayanan II yakni tingkat jalan yang mantap mencapai 89 sementara wilayah lainnya rata-rata 92,5 . Tingkat kemantapan jalan tertinggi berada di Wilayah Pelayanan IV dimana Kabupaten Garut merupakan salah satunya(Bappeda Jabar, 2006).

Sementara di wilayah utara, daerah yang menerima pengaruh cukup besar dari perkembangan sektor PHR Kota Bandungadalah Kabupaten Subang, Indramayu, dan Cirebon. Ketiga daerah tersebut merupakan sentra perikanan. Subang merupakan pemasok ikan

air tawar, sedangkan Indramayu dan Kabupaten Cirebon memasok ikan laut. Khusus di Indramayu, terutama di daerah Losarang, Eretan dan Lohbener banyak petani yang bergabung dalam kelompok tani melakukan budidaya lele secara massal. Berdasarkan pengalaman salah seorang pelaku usaha lele, budidaya lele secara massal tersebut sudah berlangsung cukup lama. Pembeli dari luar kota terutama dari Bandung langsung mendatangi lokasi. Suasana intensitas transaksi pada tahun 2005 relatif sama dengan kondisi saat ini.

Kabupaten Cianjur dan Sukabumi adalah kanupaten yang berada di sebelah barat daya yang merupakan daerah sentra produksi pertanian tanaman pangan, hortikultura dan juga ikan laut. Beras varietas khusus khas produksi Cianjur menjadi andalan rumah makan dan restoran di Kota Bandung dalam menyajikan nasi pulen khas Sunda. Selain beras, Cianjur merupakan sentra produksi wortel dengan kualitas tinggi. Sedangkan pasokan utama dari Kabupaten Sukabumi adalah berbagai jenis ikan laut termasuk lobster. Sebagai daerah yang berbatasan dengan pantai selatan Samudera Hindia, Kabupaten Sukabumi memiliki potensi kekayaan sumberdaya laut yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Pantura Jabar. Keberadaan TPI yang besar di Pelabuhan Ratu menjadi fasilitas yang mendorong transaksi ikan laut dalam jumlah besar.

Temuan yang menarik adalah pengaruh sektor PHR Kota Bandung yang paling rendah terhadap sektor pertanian Kabupaten Bandung dibandingkan dengan seluruh kabupaten lainnya. Secara lokasi, Kabupaten Bandung berbatasan langsung dengan Kota Bandung. Selain itu kegiatan sektor pertanian juga cukup tinggi. Kabupaten Bandung termasuk sentra hortikultura. Diantara wilayah kabupaten lainnya, Kabupaten Bandung memiliki indeks produksi tinggi untuk komoditas hortikultura, tercermin pada posisi angka indeks yang mencapai 4,4, sementara kabupaten lainnya sebagian besar di bawah 1 kecuali Kabupaten Garut dan Cianjur Pemkab Bandung, diposting 5 Januari 2012). Pengaruh kecil dari sektor PHR Kota Bandung terhadap sektor pertanian Kabupaten Bandung, disebabkan hanya 25 dari total produksi yang dijual ke pasar Kota Bandung, sebagian besar yakni sebanyak 50 produksi sayuran Kabupaten Bandung dijual ke pasar Jakarta dan sekitarnya (Bappeda Kabupaten Bandung, 2011). Tampaknya fenomena tersebut sudah berjalan lama bahwa para petani hortikultura dari Kabupaten Bandung terbiasa mengakses pasar Jakarta dan sekitarnya.

Berdasarkan hasil estimasi sebagaimana disajikan dalam Tabel 2, sektor PHR Kota Bandung berpenga-

ruh paling rendah terhadap sektor pertanian semua kota yang ada di Jawa Barat. Hal ini bisa diterima karena rendahnya aktivitas sektor pertanian di seluruh kota kecuali Kota Banjar. Karenanya, pengaruh terhadap sektor pertanian Kota Banjar relatif lebih besar dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Hal ini sesuai dengan kondisi nyatanya bahwa sektor pertanian di Kota Banjar masih menempati urutan kedua setelah sektor PHR. Pada tahun 2004, sektor pertanian berkontribusi sebesar 19,89 dan sektor PHR 30 (BPS Kota Banjar, 2005). Pada tahun-tahun berikutnya, peran sektor pertanian semakin menurun sementara peran sektor PHR dan jasa-jasa semakin meningkat. Untuk tahun 2007, pangsa sektor pertanian menjadi 17,86 , sedangkan sektor PHR semakin besar mencapai 32,18 dan sektor jasa-jasa mulai mendekati pangsa sektor pertanian yakni sebesar 16,33 (BPS Kota Banjar, 2008). Namun untuk tahun 2010 penurunan share sektor pertanian tidak sebesar tiga tahun sebelumnya, besarannya masih di atas 17 yakni 17,16 . Tidak demikian dengan sektor PHR, pangsanya semakin besar yakni mencapai 34,47 (BPS Kota Banjar, 2011). Meskipun terpengaruh paling besar diantara seluruh kota, namun tetap lebih rendah dibandingkan seluruh kabupaten lainnya. Rendahnya pengaruh sektor PHR Kota Bandung terhadap sektor pertanian Kota Banjar yang secara implisit menunjukan keterkaitan ekonomi yang rendah diantara kedua wilayah tersebut, dikarenakan jarak tempuh yang jauh. Temuan ini cukup menarik sehingga tetap bisa mendukung konsep Indeks Gravitasi bahwa jarak tempuh tetap menentukan keterkaitan ekonomi antar wilayah. Fakta di lapangan menunjukan bahwa ekonomi Kota Banjar sebagai daerah perbatasan dengan Jawa Tengah lebih banyak berinteraksi dengan daerah Majenang.

Dari seluruh kota, besaran koefisien terendah adalah dengan Kota Cimahi. Dari sisi lokasi, Kota Cimahi berbatasan langsung dengan Kota Bandung. Namun karena peran sektor pertanian terhadap perekonomian kota ini sangat kecil, maka besaran koefisien estimasi yang rendah tersebut bisa diterima. Pada tahun 2007 sampai 2009 share sektor pertanian Kota Cimahi terhadap total PDRB hanya 0,15 , yang paling dominan adalah sektor sekunder terutama sektor industri pengolahan yang rata-rata mencapai 70,2 (BPS Kota Cimahi, 2010). Jadi sekalipun lokasi sangat dekat tidak menjamin terjadinya keterkaitan antara sektor PHR Kota Bandung dengan sektor pertanian Kota Cimahi karena terbatasnya aktivitas sektor pertanian di Kota Cimahi.

SIMPULAN

Kota Bandung sebagai pusat pertumbuhan Jawa Barat, memiliki daya ungkit untuk perekonomian daerah lainnya.Hasil estimasi menunjukkan bahwaketika terjadi peningkatan intensistas aktivitas sektor PHR Kota Bandung,dapat menggerakan sektor pertanian setiap kabupaten yang ada di Jawa Barat. Hal ini secara implisit menunjukan adanya keterkaitan ekonomi perkotaan dengan perdesaan.

Hasil estimasimenunjukkan bahwa pengaruh terbesar kegiatan PHR Kota Bandung tidak terjadi dengan wilayah terdekat.Pengaruh terbesar kegiatan PHR Kota Bandung terjadi dengan K abupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya. Kenaikan nilai transaksi PHR di Kota Bandung sebesar 1 juta rupiah saja, berpotensi untuk mendorong kenaikan output pertanian di Kabupaten Garut dan Tasikmalaya masing-masing sebesar 289 539 rupiah dan 202 545 rupiah.Tingkat kemantapan jalan yang cukup memadai untuk wilayah tersebut turut mendukung kelancaran distribusi. Sementara itu, sektor pertanian di daerah lainnya juga dapat meningkat, tapi dengan besaran yang lebih rendah dari dua kabupaten tersebut. Dengan Kabupaten Bandung sekalipun lokasi berdekatan memiliki pengaruh kecil, karena sebagian besar komoditas hortikultura dipasarkan ke Jakarta dan sekitarnya.

Dengan kota yang bercirikan minimnya kegiatan pertanian, secara otomatis memiliki pengaruh sangat kecil. Dari seluruh kota yang ada, pengaruh terhadap sektor pertanian Kota Banjar relatif lebih besar karena perekonomian Banjar masih didominasi oleh sektor pertanian selain dominasi utama sektor PHR.

SARAN

Dalam rangka memelihara dan meningkatkan pengaruh ekonomi perkotaan terhadap perdesaan tersebut diperlukan beberapa kebijakan diantaranya: 1) Pemerintah Kota Bandung dapat memperta%hankan

dan meningkatkan kebijakan pengembangan sektor PHR terutama yang terkait dengan kuliner karena terbukti berdampak positif bagi perkembangan ekonomi perdesaan di Jawa Barat.

  • 2)    Seluruh pemerintah kabupaten yang ada di Jawa Barat hendaknya dapat mempertahankan kebijakan pengembangan sektor pertanian karena memiliki peluang pasar yang besar ke Kota Bandung.

  • 3)    Pemerintah Provinsi Jawa Barat seyogianya turut melindungi lahan pertanian di seluruh kabupa(ten untuk menjamin keberlanjutan produksi pertanian.

  • 4)    Pemerintah Provinsi Jawa Barat seyogianya

bekerjasama dengan seluruh pemerintah kabupaten dalam memelihara dan meningkatkan tingkat kemantapan jalan yang menghubungkan Kota Bandung de ngan sentra-sentra produksi komoditas pertanian.

REFERENSI

Bappeda Kabupaten Bandung. RKPD Tahun 2012. http:// www.bandungkab.go.id/index2.php?option. Diakses pada tanggal 1 Juli 2012

Bappeda Provinsi Jawa Barat. Tingkat Kemantapan Jalan. http://www.bappeda.jabarprov.go.id/docs/perenca-naan/20061221_160023.pdf .Diakses pada tanggal 1 Juli 2012

BPS, 2011. Jumlah Penduduk Jawa Barat Menurut Wilayah Perkotaan dan Perdesaan Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010. http://sp2010.bps.go.id/ index.php/site/tabel? tid=337&wid = 3200000000.Diakses pada tanggal 10 Juli 2012

BPS Jabar. Statistik Ekonomi Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2011.Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Bandung.

BPS Jabar, 2010. Berita Resmi Statistik Profil Kemiskinan Jawa Barat. http://www.scribd.com/doc/49381241/ tingkat-kemiskinan-jabar-2010. Diakses pada tanggal 5 Juni 2012

BPS Kota Banjar. PDRB Kota Banjar Tahun 2005-2011.

BPS Kota Cimahi.2010. Kota Cimahi Dalam Angka.

Dariah, Atih R, dkk, 2007. Optimalisasi Desa Pertumbuhan di Jawa Barat, Kerjasama Fakultas Ekonomi dengan Kantor Bank Indonesia Bandung

Dariah, Atih R, dkk, 2008. Kajian Neraca Perdagangan Volatile Food di Jawa Barat (Survey pada Tujuh Kota), Kerjasama Fakultas Ekonomi dengan Kantor Bank Indonesia Bandung.

De Janvry, A and Sadoulet, E. 1996. Household Modelling for The Design of Poverty Alleviation Strategies. California Agricultural Experiment Stasion Giannini Foundation of Agricultural Economics January. California.

De Janvry, A. Sadoulet, E and Zhu, N. 2005. The Role of NonFarm Incomes in Reducing Rural Poverty and Inequality in China.CUDARE Working Papers.Department of Agricultural and Resource Economics. California.

Eskola, E. 2005. Commercialisation and Poverty in Tanzania: Household-level Analysis. Discusion Paper DepaRTP-Ment of Economics.University of Copenhagen. Denmark

Harian Umum Pikiran Rakyat, 5 Juni 2012. Garut Menjadi Tempat Jambore Nasional Hortikultura

Informasi Jumlah Hotel dan Restoran http://bandungtourism. com/res_i.php

Intriligator, M.D., Bodkin, R.G., and Hsiao, C. 1996. Econometric Models, Technique, and Application. Second Edition. Prentice-Hall, Inc. Upper Saddle River, New Jersey.

Pemerintah Kabupaten Bandung. Struktur Ekonomi Sektor Pertanian Kabupaten Bandung. http:// www. band-ungkab. go.id/ arsip/ 2344 /struktu r-ekonomi-sektor-pertanian-kabupaten-bandung

Perda Kabupaten Bandung No 11 Tahun 2011 tentang RPJMD Kabupaten Bandung Tahun 2010-2015

Sitepu, R,K., 2006. Aplikasi Model Ekonometrika: Estimasi, Simulasi dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB.

140