JEKT 5 [2] : 125 - 133

ISSN : 2301 - 8968


Analisis Ekonomi Kegiatan Penyuluhan Tentang Penerapan System Of Rice Intensification (SRI) di Tujuh Kabupaten Provinsi Bali:

Analisis SEM

I Gede Setiawan Adi Putra*)

Program Studi Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Udayana

ABSTRAK

Meskipun SRI berpotensi lebih tinggi, anggota Subak petani padi masih belum tertarik untuk mengadopsi cara baru untuk memanen padi. Dalam kurun lima tahun sejak cara ini diperkenalkan di Bali, hanya 288 petani padi yang menerapkan metode ini. Rasio yang rendah dalam penerapan metode ini menjadi permasalahan yng bermanfaat untuk diteliti. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman yang luas tentang penerapan SRI diantara para petani, dan memberikan penjelasan bagaimana factor-faktor seperti karakteristik individu petani, persepsi mengenai SRI, sikap terhadap SRI, kemandirian dan kompetensi pengurus Subak yang digabungkan dengan perilaku dari petani padi Bali. Untuk mencapai tujuan penelitian digunakan rancangan metode ex post. Sampel acak dari 104 orang petani dipilih dan diwawancara menggunakan kuisioner terstruktur. Data selanjutnya dianalisis dengan model Structural Equation Model (SEM), menggunakan program Lisrel versi 8.3. Kesimpulan dari kajian ini adalah penerapan dari 9 komponen SRI diantara petani padi di Bali masih beragam, dan intensitas factor-faktor di atas berpengaruh terhadap penerapan SRI diantara petani padi di Bali, dengan rentangan dari lemah sampai kuat.

Kata kunci : SRI, Subak, petani padi di Bali, ekonomi, perluasan, metode SEM

Economic Analysis of System Of Rice Intensification (SRI) Aplication Training in Seven Regencies of Bali Province: SEM Analysis

ABSTRACT

Despite the SRI’ѕ higher yield potential, the Subak member rice farmers are still reluctant to adopt this new way of cultivating rice. In about fiе years since its introduction to Bali, only 288 rice farmers have adopted it. This slow rate of adoption became a problem worth to investigate. In this conjunction, this study attempted to disclose the extent of SRI adoption amongst these farmers, and to explain how factors such as farmer’ѕ personal characteristics, perceptions about SRI, attitudes toward SRI, Self-Reliance, and Extension workers’ as well as the heads of Subak competencies jointly affected the adoption behavior of the Balinese rice farmers. To attain these objectives an ex post facto study was designed. A random sample of 104 rice farmers was thereafter selected and interviewed using a structured questionnaire. Data were then analyzed by employing the Structural Equation Model (SEM) procedure with the Lisrel Version 8.3 program. The study concluded that the extent of adoption of the 9 components of SRI amongst the Balinese rice farmers were still diverse, and the intensity of the above factors’ effects on the SRI adoption amongst the Balinese rice farmers ranged from weak to moderate.

Key words: SRI, Subak, Balinese rice farmers, economic, extension, SEM.

PENDAHULUAN

Analisis finansial dalam suatu kegiatan/proyek di satu sisi sering pula disebut dengan analisis privat. Analisis finansial atau analisis privat adalah suatu

penilaian terhadap suatu kegiatan/proyek dengan mempertimbangkan keuntungan (profit) yang akan didapatkan dari kegiatan/proyek tersebut. Analisis ekonomi di sisi lain dalam suatu kegiatan/proyek sering pula disebut sebagai the social sector atau the

*). Email: [email protected]


concept sector, yaitu suatu penilaian terhadap suatu kegiatan/proyek bukan dari sisi keuntungan (profit) secara material tetapi lebih pada keuntungan secara sosial. Disebut the social sector karena produk yang dihasilkan berupa produk sosial seperti kesehatan, pendidikan, pelayanan publik (public servicess) selain itu disebut pula the concept sector karena produk yang dihasilkan berupa ide-ide baru, gagasan-gagasan baru, pemikiran baru.

Berdasarkan uraian tersebut maka untuk menganalisis secara ekonomi suatu kegiatan penyuluhan seharusnya menggunakan analisis ekonomi, bukan analisis finansial. Beberapa alasannya adalah: (1) Penyuluhan adalah proses pendidikan non-formal yang ditujukan kepada petani dan keluarganya untuk mengubah perilaku lama yang tidak menguntungkan ke perilaku baru yang lebih menguntungkan agar memahami, bersedia, dan mampu mempergunakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) baru secara mandiri sehingga dapat hidup lebih sejahtera; (2) Produk yang dihasilkan dalam kegiatan penyuluhan adalah jasa pendidikan sehingga lebih tepat dianalisis dengan analisis ekonomi; (3) Perubahan perilaku masyarakat sasaran menjadi tujuan utama, bukan untuk mengejar keuntungan materi sehingga hal ini lebih tepat dianalisis secara sosial; (4) Dari kegiatan penyuluhan banyak ditawarkan gagasan, ide atau pemikiran baru sehingga analisis ini tergolong the concept sector, sehingga lebih cocok apabila dianalisis secara sosial; dan (5) Dampak dari kegiatan penyuluhan adalah suatu perubahan perilaku sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup kearah lebih baik. Hidup yang lebih baik akan meningkatkan interaksi sesama masyarakat. Hal inipun lebih tepat dianalisis secara sosial.

Subak sebagai lembaga tradisional pengelola air irigasi di Bali memiliki potensi yang besar untuk mengadopsi inovasi SRI (Uphoff, 2011). Petani sebagai anggota subak memiliki sejumlah alasan yang kuat untuk mengadopsi SRI. Pertama, SRI menggunakan benih yang lebih sedikit dibandingkan dengan penanaman padi secara konvensional. Kedua, SRI hemat air. Bercocok tanam padi secara konvensional pada umumnya dilakukan dengan penggenangan secara terus menerus, di lain pihak kesediaan air semakin terbatas. Ketiga, tidak harus menggunakan pupuk dan pestisida buatan pabrik. Pupuk menjadi input produksi yang memerlukan biaya semakin besar karena semakin hari harganya semakin tinggi. Alasan lainnya adalah jumlah anakan padi SRI lebih banyak dibandingkan dengan metode konvensional. Selain itu, kualitas batang dan daun padi SRI adalah lebih kuat. Pada akhirnya, alasan yang paling kuat anggota subak menerapkan SRI adalah keuntungan

yang lebih besar karena hasil yang didapat jauh lebih menjanjikan untuk hidup lebih baik.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) Menganalisis pengaruh faktor persepsi petani anggota subak tentang SRI, sikap anggota subak terhadap SRI, kemandirian petani anggota subak menerapkan SRI, karakteristik anggota subak, kompetensi fasilitator dan kompetensi pengurus subak terhadap penerapan SRI oleh anggota subak; (2) Menganalisis secara ekonomi kegiatan penyuluhan tentang SRI di Bali.

DATA DAN METODOLOGI

Populasi penelitian ini adalah anggota subak yaitu kelompok tani tradisional di Bali yang berfungsi sebagai pengelola air irigasi, dan menerapkan SRI yang berjumlah 288 orang yang tersebar di tujuh kabupaten di Bali (Tabel 1). Dengan rumus Slovin maka ditetapkan sampel penelitian sebanyak 104 orang petani anggota subak yang telah menerapkan SRI.

Tabel 1. Populasi dan sampel peneli2an Tahun 2011

No Kabupaten

Subak

Jumlah anggota

Jumlah sampel

1 Buleleng

Padang Keling

30

11

2 Badung

Bergiding

28

10

Buangga

8

3

3 Tabanan

Payangan

19

7

Timpag

8

3

4 Gianyar

Rapuan Kaja

50

18

5 Bangli

Mungsing

42

15

6 Klungkung

Sampalan Baler Margi

39

14

Tohpa2

8

3

Dawan

6

2

7 Karangasem

Telaga Lebah

36

13

Mascatu

14

5

Jumlah

288

104

Sumber: Dinas Pertanian Provinsi Bali, 2011

Penelitian dirancang sebagai penelitian Ex post facto. Menurut Gay (1976) dalam Sevilla (1993:124) Ex post facto berarti ”setelah kejadian” Kerlinger (1990:604) mendefinisikan Ex post facto adalah telaah empirik sistematis di mana ilmuan tidak dapat mengontrol secara langsung peubah bebasnya karena manifestasinya telah muncul, atau karena sifat hakekat peubah itu menutup kemungkinan manipulasi. Gay (1976) dalam Sevilla (1993:124) menyatakan bahwa dalam metode penelitian ini, peneliti berusaha untuk menentukan sebab, atau alasan adanya perbedaan dalam tingkah laku atau status kelompok individu.

Setelah tahapan tersebut di atas dilalui, selanjutnya penelitian ini dilanjutkan dengan Structural Equation Model (SEM) seperti terlihat pada persamaan berikut:

∗∗    ∗    ∗    ∗    ∗

Yi - Yi Xi + γ2 χ2 + Y3 χ3 + γ4 χ4 + γ5 χ5 + γ6 χ6 (1)

Ketergangan:

  • Y+1   = Pengadopsian SRI

  • X1   = Karakteristik anggota subak.

  • X2   =  Kompetensi fasilitator/penyuluh.

  • X3   = Kompetensi pengurus subak.

  • X4   = Persepsi anggota subak tentang SRI.

X = Sikap anggota subak terhadap SRI.

5

  • X+6   = Kemandirian anggota subak menerapkan SRI.

Peubah laten eksogen terdiri atas: peubah karakteristik individu anggota subak, kompetensi fasilitator/ penyuluh dan kompetensi pengurus subak. Peubah laten endogen terdiri atas: peubah persepsi anggota subak tentang SRI, sikap anggota subak terhadap SRI, kemandirian anggota subak menerapkan SRI, dan pengadopsian SRI di kalangan anggota subak. Indikator yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penciri dari peubah-peubah laten baik eksogen maupun endogen. Tabel 2 menunjukkan kerangka hipote-tik penelitian yang terdiri atas peubah laten eksogen dan laten endogen.

Tabel 2. Peubah dan indikator peubah peneli2an

No

Peubah

Indikator

Notasi

Laten Eksogen

1.

Karakteris2k Anggota subak

1. Umur

X1.1

2. Pendidikan formal

X1.2

3. Luas lahan usahatani

X1.3

4. Pengalaman

X1.4

5. Jumlah tanggungan keluarga

X1.5

6. Mo2vasi berusaha

X1.6

7. Tingkat subsistensi

X1.7

8. Modal usahatani

X1.8

9. Par2sipasi dalam subak

X1.9

2.

Kompetensi fasili-tator/penyuluh

1. Kemampuan mengemukakan pendapat

X2.1

  • 2.    Kejelasan bahasa yang digunakan

  • 3.    Daya adaptasi

  • 4.    Kesistema2san dalam menyampaikan

X2.2

X2.3

X2.4

materi

5. Dukungan semangat pada masyarakat

X2.5

6. Pemahaman kebutuhan masyarakat

X2.6

7. Alat bantu penyuluhan yang digunakan

X2.7

8. Berpenampilan menarik

X2.8

9. Ketepatan dan efisiensi waktu

X2.9

10. Penguasaan Materi SRI

X2.10

11. Pengalaman melaksanakan penyuluhan

X2.11

3.

Kompetensi pengurus subak

1. Menyebarluaskan informasi

X3.1

  • 2.    Menganjurkan menerapkan SRI

  • 3.    Mempengaruhi anggota subak

  • 4.    Memberikan contoh

  • 5.    Melibatkan anggota dalam pengambilan keputusan

  • 6.    Memberikan semangat

  • 7.    Mencarikan jalan pemecahan masalah

  • 8.    Memiliki pengetahuan dan wawasan

X3.2

X3.3

X3.4

X3.5

X3.6

X3.7

X3.8

tentang SRI

9. Sifat jujur dan terbuka

X3.9

10. Membuka diri dari segala macam kri2kan X3.10

Laten Endogen

1.

Persepsi anggota subak tentang SRI

1. Lebih baik dari metode konvensional

Y1.1

  • 2.    Memberikan banyak keuntungan

  • 3.    Tidak bertentangan dengan aturan subak awig-awig.

  • 4.    Tidak memiliki 2ngkat kesulitan untuk diterapkan

  • 5.    Tidak bertentangan dengan norma

  • 6.    Tidak bertentangan dengan tata nilai

  • 7.    Tidak bertentangan dengan adat is2adat

  • 8.    Sesuai dengan kebiasaan setempat

  • 9.    Tidak terlalu rumit

  • 10.    Mudah dicoba

  • 11.    Hasilnya dapat diama2 dan dirasakan

Y1.2

Y1.3

Y1.4

Y1.5

Y1.6

Y1.7

Y1.8

Y1.9

Y1.10

Y1.11

secara langsung

2.

Sikap anggota subak tentang SRI

1. Sri hemat/irit air

Y2.1

  • 2.    Ramah lingkungan

  • 3.    Menggunakan lebih sedikit benih hemat

Y2.2

Y2.3

benih.

4. Masa tanam lebih cepat

Y2.4

5. Menggunakan bibit muda

Y2.5

6. Jumlah anakan lebih banyak

Y2.6

7. Kualitas batang dan daun lebih baik

Y2.7

8. Tahan terhadap hama dan penyakit

Y2.8

9.Bulir padi lebih bernas

Y2.9

10. Rasa nasi lebih enak

Y2.10

Y2.11

3.

Kemandirian ang-

1. Mengakses informasi melalui media

Y3.1

gota subak

massa

2. Kerjasama dengan penyuluh

Y3.2

3. Kerjasama dengan pedagang

Y3.3

4. Penyediaan modal usaha

Y3.4

5. Menyiapkan lahan

Y3.5

6. Akses pada kredit usahatani

Y3.6

7. Menanggung risiko

Y3.7

8. Pengambilan keputusan

Y3.8

9. Belajar mandiri

Y3.9

4.

Pengadopsian paket teknologi

1. Persiapan dan pengolahan lahan

Y4.1

SRI oleh anggota Subak

2. Pemilihan benih

Y4.2

3. Persemaian

Y4.3

4. Penanaman

Y4.4

5. Penyiangan

Y4.5

6. Manajemen air

Y4.6

7. Pemupukan

Y4.7

8. Pengendalian hama dan penyakit

Y4.8

9. Panen

Y4.9

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer bersumber dari petani anggota subak yang menerapkan SRI, sedangkan data sekunder bersumber dari dinas-dinas pertanian dan para Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang bertugas di lokasi penelitian berupa dokumen laporan-laporan pelaksanaan SRI. Instrumen atau alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisi daftar pertanyaan yang berhubungan dengan peubah-peubah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Daftar pertanyaan disusun dengan cara: (1) mempertimbangkan teori-

teori dan kenyataan yang telah diungkapkan pada berbagai pustaka empiris, (2) menyesuaikan isi pertanyaan dengan kondisi responden, dan (3) memperhatikan masukan para pakar. Teknik barometer mood digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan jenis data minimal skala interval.

Uji kesahihan (validity test). Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji validitas isi. Validitas isi suatu alat pengukur ditentukan oleh sejauh mana isi alat pengukur tersebut mewakili semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep (Singarimbun & Effendi, 2006:128). Untuk mendapatkan keabsahan konstruk, faktor, serta isi maka instrumen penelitian ini dikembangkan dengan menggunakan penilaian juri dari luar komisi pembimbing. Adapun pakar yang terlibat dalam penelitian ini adalah pakar SRI dari Lab Mikrobiologi Tanah Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, dan pakar SRI dari Departemen Agronomi dan Holtikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Hasilnya, ketiga pakar telah sepakat bahwa butir-butir pernyataan yang dibuat telah mewakili seluruh paket teknologi yang ada pada inovasi SRI. Selain itu, analisis setiap butir pernyataan telah menunjukkan nilai > 0,3 yang berarti bahwa pernyataan-pernyataan yang disusun dapat diandalkan.

Reliabilitas Instrumen. Reliabilitas instrumentasi merupakan suatu konsep yang dapat mengetahui sejauh mana suatu alat pengukuran (instrumen penelitian) dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Sing-arimbun & Effendi, 2006:142). Korelasi Crombach alpha digunakan untuk menentukan tingkat reliabili-tas butir-butir pertanyaan dalam kuesioner (Arikunto, 1998:10). Alat ukur dinyatakan valid (sahih) apabila alat ukur tersebut dapat mengukur yang sebenarnya ingin diukur. Dengan bantuan software SPSS 17.0, telah dicapai nilai koefisien product moment instrumen penelitian sebesar 0,724 yang menyatakan bahwa instrumen yang dibuat valid.

Pengumpulan data dilakukan dari Bulan September sampai dengan Bulan Oktober 2011. Data primer yang diambil dengan bantuan instrumen/ kuesioner serta ditambah dengan wawancara mendalam. Pengumpulan data dibantu oleh empat tenaga enumerator dari mahasiswa Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Sebelum dilakukan pengumpulan data, keempat mahasiswa tersebut telah dilatih untuk mengisi kuisioner untuk menghindari bias penelitian. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan di tujuh kabupaten yaitu: Kabupaten Badung, Tabanan, Buleleng, Karangasem, Klungkung, Bangli, dan Gianyar.

Pengolahan data dilakukan dengan berbagai macam uji. Data yang terkumpul kemudian diberi skor. Pengujian kualitas peubah-peubah penelitian yang meliputi uji kenormalan, uji kehomogenan, uji realibilitas dan uji validitas.

Analisis yang digunakan adalah Structural Equation Model (SEM) dengan program Lisrel Versi 8.3. SEM juga dapat diartikan sebagai Path Analisis yang merupakan suatu teknik Ordinary Least Square yang digunakan untuk mengetahui model-model causal. Prosedur Structural Modelling (SEM) memberikan kesempatan peneliti untuk mengevaluasi parameterparameter struktural secara statistik dari berbagai indikator dan konstruk laten dan keseluruhan ‘fit” dari suatu model.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Faktor-faktor yang Memengaruhi Penerapan SRI

Ada sejumlah faktor yang memengaruhi anggota subak mengadopsi SRI. Faktor-faktor tersebut adalah : karakteristik individu petani, kompetensi fasilitator, kompetensi pengurus, persepsi tentang SRI, sikap terhadap SRI, dan kemandirian dalam berusahatani metode SRI seperti terlihat pada Gambar 1.

Hasil uji kesesuaian model memberikan nilai statistik chi-square sebesar 112,49 dengan derajat kebebasan 98 dengan nilai P-hitung 0,15028 yang lebih besar dari 0,05; nilai RMSEA 0,038 lebih kecil dari 0,08 sertai nilai CFI 0,932 lebih besar dari 0,90. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model yang diusulkan fit dengan data. Hasil SEM menunjukkan bahwa estimasi koefisien bobot faktor seluruhnya nyata pada tingkat kesalahan lima persen dengan nilai koefisien bobot faktor yang distandarkan seluruhnya lebih besar dari nilai minimal yang disyaratkan sebesar 0,50.

B erda sa rka n pen ila ia n respo n den, seca ra keseluruhan tingkat kompetensi fasilitator SRI tergolong dalam kategori tinggi dengan skor 4,28 (rentang skor 1-5). Kompetensi fasilitator yang harus dipertahankan diantaranya kemampuan fasilitator dalam m engemukakan pendapat (skor 4,67), kemampuan fasilitator beradaptasi dengan kliennya (skor 4,51), kemampuan fasilitator dalam penggunaan alat bantu penyuluhan (skor 4,47) dan kemampuan fasilitator menarik minat kliennya menerapkan SRI (skor 4,89). Sedangkan kompetensi fasilitator yang harus ditingkatkan adalah kemampuan fasilitator dalam penguasaan SRI (skor 3,88) dan kemampuan fasilitator menciptakan suasana belajar yang kondusif dengan skor 3,27 (Gambar 2).

Gambar 1. Pengaruh faktor-faktor yang memengaruhi pengadopsian SRI

IRIT : SRI irit air

ANAK      : jumlah anakan

DAPAT      : dapat belaajr mandiri

TEPAT    : pengambilan keputusan yang tepat

BENIH    : pembenihan

PERSEMAI : persemaian


Chi–Square = 112.49, df=98 P-value=0.15028, RMSEA=0.038, CFI=0.932

Gambar 2. Hasil CFA peubah kompetensi fasilitator

Gam bar 2 m enun jukka n bahwa kom petensi fasilitator dicirikan oleh peubah observer: kemampuan mengemukakan pendapat (0,71), bahasa yang

digunakan (0,63), kemampuan beradaptasi dengan klien (0,72), kemampuan penyampaian materi secara sistematis (0,88), kemampuan membangkitkan semangat (0,86), kemampuan memahami kebutuhan klien (0,58), efekti fita s penggunaan alat bantu penyuluhan (0,27), kemampuan menarik minat klien (0,70), ketepatan waktu (0,61), penguasaan materi seperti (0,57), kemampuan mencipatakan suasana belajar yang kondusif (0,67). Selanjutnya dipilih tiga peubah observer yang memiliki bobot tertinggi agar membentuk model persamaan struktural yang ”fit”. Peubah observer yang terpilih adalah : (1) kemampuan beradaptasi dengan klien (0,72), (2) kemampuan penyampaian materi secara sistematis (0,88), dan (3) kemampuan membangkitkan semangat (0,86).

Hipotesis penelitian yang menyebutkan bahwa karakteristik, kompetensi fasilitator, kompetensi pengurus, persepsi anggota subak tentang SRI, sikap anggota subak terhadap SRI dan kemandirian anggota subak menerapkan SRI berpengaruh secara nyata terhadap pengadopsian SRI oleh anggota subak diterima. Artinya pengadopsian SRI dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: (1) persepsi tentang SRI, (2) Sikap terhadap SRI, (3) Kemandirian menerapkan SRI, (4) ka rakteristik petan i, (5) ko m peten si

APOPSI = OJStJEBSHPSI + 0.51tSIKAP + O-ZOtKEMIB + O-IitKARAKTER + O-SZtFASILITA + O-OTtPENGURUS, Errorvar.= 0.31,

(0.20)

2.17


(0.27)         (0.95)            (0.49)

3.20         2-29            2.23


(0.2S)            (0.33)

4.77             1.99            R= = 0.69

fasilitator, dan (6) kompetensi pengurus subak. Hasil uji kebermaknaan terhadap masing-masing estimasi parameter model struktural faktor semuanya nyata pada tingkat kesalahan 0,05 dengan estimasi persamaan struktural (2):

H1 diterima, artinya: pengadopsian SRI oleh anggota subak dipengaruhi oleh faktor persepsi anggota subak tentang SRI sebesar 0,25 atau 6,25 persen, sikap anggota subak terhadap SRI sebesar 0,51 atau 26,01 persen, kemandirian anggota subak menerapkan SRI sebesar 0,27 atau 7,29 persen, karakteristik anggota subak 0,14 atau 1,69 persen, kompetensi fasilitator sebesar 0,52 atau 27,04 persen dan kompetensi pengurus subak sebesar 0,25 atau 6,25 persen. Pengaruh bersama-sama persepsi, sikap, karakteristik, kompetensi fasilitator, dan kompetensi pengurus adalah sebesar 69 persen. Ada faktor lain yang mempengaruhi persepsi sebesar 31 persen.

Analisis Ekonomi Penyuluhan SRI

Hasil Analisis ekonomi kegiatan penyuluhan tentang penerapan SRI ditunjukkan pada Tabel 2, 3, dan 4. Tabel 2 menunjukkan bahwa kegiatan penyuhan SRI memberikan keuntungan ekonomi yang sangat nyata. Ini terlihat dari parameter penelitian yang menunjukkan bahwa kegiatan penyuluhan SRI memberikan peningkatan hasil dan dapat mengoptimalkan penggunaan input produksi.

Kegiatan penyuluhan SRI terbukti dapat memberikan keuntungan pada petani anggota subak. Tabel 2 menguatkan data bahwa dari kegiatan penyuluhan tentang penerapan SRI memberikan banyak keuntungan diantaranya: petani anggota subak dapat menghemat benih dan air dengan hasil panen yang jauh lebih besar dibandingkan jika petani menggunakan metode konvensional. Walaupun demikian, ada kesulitan yang dihadapi petani terutama pada saat pengendalian gulma. Penghematan air menyebabkan gulma menjadi lebih cepat tumbuh, untuk mengatasi ini petani anggota subak harus lebih rajin untuk menyiangi sawahnya. Ini berarti ada tambahan curahan waktu kerja yang lebih banyak. Curahan waktu kerja sebenarnya adalah cost yang harus diperhitungkan (Rachman, dkk. 2011).

Tabel 3 menunjukkan perbandingan biaya usahatani padi metode SRI dan konvensional. Secara keseluruhan terjadi peningkatan biaya yang diperlukan usahatani padi metode SRI. Peningkatan biaya ini diantaranya pada penggunaan pupuk organik, biaya tanam, dan

Tabel 2. Perbandingan Budidaya Padi etode SRI dan konvensional

No

Parameter

SRI

Konvensional

1

Kebutuhan benih

15 kg/Ha

50 kg/Ha

2

Usia persemaian

12 hari

20-30 hari

3

Masa stagnasi

2-3 hari

6-8 hari

4

Kebutuhan air

Macak-macak (0,5 cm diatas permukaan)

Tergenang (15 cm diatas permukaan )

5

Bagan warna daun

4

4

6

Tinggi tanaman

83.42 cm

76.25 cm

7

Gulma

Banyak

Sedang

8

Hama dan Penyakit

Agak tahan

Agak rawan

9

Jumlah anakan (max)

56.67 btg

26.33 btg

10

Jumlah anakan produk2f

23.17 btg

16.25 btg

11

Panjang malai

25.02 cm

24.4 cm

12

Jumlah bulir se2ap malai

144.62 btr

131.5 btr

13

Bu2r bernas se2ap malai

131.45 btr

127.5 btr

14

Bu2r hampa se2ap malai

13.17 btr

4.9 btr

15

Berat gabah se2ap malai

3.82 g

3.52 g

16

Berat 1000 bu2r gabah

29.87 g

27.5 g

17

Kadar air saat panen

26.33 %

26.31 %

18

Hasil Panen (Riel)

9.46 ton/Ha

5.6 ton/Ha

Sumber : Se2awan (2012).

Tabel 3. Analisis Biaya Usahatani SRI

No

Uraian

SRI

Konvensional

1

Benih

75.000

250.000

2

Pupuk Organik Granul 600 kg

276.000

0

3

Pupuk Anorgani/Kimia a. SRI

Urea 200 kg

260.000

Ponska 300 kg

560.000

ZA 100 kg

b. Konvensional

Urea 300 kg

116.000

325.000

Ponska 300 kg

560.000

4

Persemaian

a. Semai

10.000

60.000

b. Cabut Bibit

75.000

c. Pindah Bibit

30.000

5

Biaya Tanam

600.000

400.000

6

Pengolahan lahan dan galengan

960.000

960.000

7

Biaya Penyiangan 2 kali

1.350.000

1.200.000

8

Pengendalian Hama Penyakit

532.000

300.000

9

Biaya Panen

  • a.    SRI 9.46 ton/Ha (Rp 170.000,-/ton)

  • b.    Konv. 5.6 ton/Ha (Rp 170.000,-/ton)

1.608.200

952.000

10

Biaya Sewa Lahan

3.000.000

3.000.000

Jumlah biaya produksi

9.347.200

8.112.200

Sumber : Se2awan (2012).

biaya penyiangan.

Analisis secara ekonomi menunjukkan bahwa metode SRI jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan metode konvensional. Hasil panen SRI

mencapai 9,46 ton/ha sedangkan metode konvensional hanya 5,6 ton/ha. Jika harga gabah Rp 2.400/kg, maka keuntungan yang diterima petani anggota subak setelah menerapkan SRI mencapai Rp 13.356.800 pada setiap musim tanamnya.

Pengaruh kompetensi penyuluh/fasilitator

Fasilitator yang membawa inovasi SRI kepada anggota subak dinilai kompeten oleh sebagian besar anggota subak. Hal ini menunjukkan bahwa fasilitator yang membawa inovasi ke dalam subak telah berhasil mengubah cara-cara bertan i dari konvensional menjadi cara- cara SRI. Setelah dilakukan analisis mendalam, ternyata sebagian besar fasilitator SRI adalah fasilitator yang dipilih oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang direkrut melalui proses seleksi yang baik. Fasilitator yang terpilih adalah orang-orang yang kompeten pada bidang SRI dan telah menguasai metode-metode yang mumpuni dalam pelaksanaan penyuluhan tentang SRI.

Inovasi SRI masuk ke dalam sistem sosial subak pertama kali diperkenalkan oleh fasilitator-fasilitator yang berasal dari DISIMP (Decentralized Irrigation System Improvement Project) Bali Tahun 2004 melalui Dinas Pekerjaan Umum. Sebenarnya tujuan utama dari Dinas PU provinsi Bali pada waktu itu adalah memperbaiki jaringan irigasi yang ada di subak dimulai dari subak-subak yang berada pada daerah aliran sungai (DAS) Tukad Saba dan dilanjutkan dengan subak-subak yang ada di sepanjang DAS Tukad Unda. Krisis air irigasi yang dihadapi petani Bali pada waktu itu menjadi pendorong subak-subak yang mendapatkan bantuan perbaikan jaringan irigasi untuk lebih mengoptimalkan potensinya dalam hal manajemen air irigasi. Pada saat itulah inovasi SRI diperkenalkan sebagai suatu inovasi yang sangat cocok dengan kebutuhan anggota subak karena dalam SRI manajemen air menjadi salah satu paket teknologinya.

Anggota subak menilai fasilitator SRI kompeten terutama dalam hal kemampuan penyuluh/fasilita-tor dalam beradaptasi dengan klien, membangkitkan semangat klien, dan menyampaikan materi secara sistematis. Kemampuan penyuluh/fasilitator beradaptasi dengan klien harus dilatarbelakangi oleh sifat empati yang tinggi. Penyuluh harus dapat merasakan apa yang dirasakan oleh petani, dengan demikian maka akan timbul rasa simpati di kalangan anggota subak kepada penyuluh. Kemampuan fasilitator beradaptasi dengan klien yang baik akan meningkatkan kredibilitas seorang penyuluh/fasilitator. Kredibilitas penyuluh fasilitator yang baik menjadi modal dasar keberhasilan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya (Warford, 2011).

Selain itu, kemampuan lain yang mesti dikuasai

penyuluh adalah dapat menyampaikan materi secara sistematis dari hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang lebih rumit. Anggota subak lebih mudah mempelajari SRI apabila melakukan secara bertahap mulai dari yang paling mudah, misalnya memilih benih sampai yang paling sulit seperti pembuatan formula mikro organisme lokal (Mol). Prinsip ini merupakan prinsip terpenting dalam proses belajar mandiri. Bila anggota subak langsung diminta mengerjakan sesuatu yang sulit, besar kemungkinan semangatnya akan menurun dan akan menyerah sebelum berhasil menguasainya.

Salah satu alasan mengapa urutan bertahap penting adalah karena kenyataan bahwa banyak pekerjaan-pekerjaan yang tidak mungkin dengan baik dilakukan, sebelum seseorang menguasai pengetahuan dasar mengenai hal itu. Proses belajar hendaknya selalu dimulai dengan meminta warga belajar mengerjakan keterampilan dasar lebih dahulu dan baru kemudian keterampilan yang lebih lanjut. Cara lain adalah membiarkan anggota subak mengerjakan dengan caranya sendiri, kemudian fasilitator menunjukkan bagaimana semestinya paket-paket teknologi SRI itu diterapkan. Dengan prinsip ini maka penguasaan atas paket-paket teknologi SRI akan lebih efisien. Di samping itu, anggota subak akan lebih bergairah karena merasa yakin dapat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan selanjutnya setelah menguasai langkah-langkah sebelumnya.

Penyampaian materi SRI secara sistematis mengandung beberapa dimensi pengertian sebagai berikut: (1) Belajar dari yang sederhana ke yang kompleks, (2) dari yang mudah ke yang sukar, (3) dari yang sudah diketahui ke yang belum diketahui, (4) dari yang lebih dikenal ke yang kurang dikenal, (5) dari yang memerlukan sedikit motivasi ke yang memerlukan banyak motivasi, (6) dari pengertian bagian ke pengertian menyeluruh, (7) dari pengertian terpisah ke pengertian yang saling berkaitan, (8) dari mengerjakan terbimbing ke mengerjakan sendiri, dan (9) dari teori ke praktek (Padmowihardjo, 1999:139).

Adapun cara melaksanakan prinsip urutan yang bertahap dalam penyuluhan SRI adalah dengan cara: (1) materi-materi SRI dipecah-pecah menjadi unitunit kecil, mula-mula diajarkan satu per satu secara berurutan, misalnya dari persiapan lahan hingga panen, kemudian ditunjukkan hubungan-hubungan di antara peket-paket teknologi itu, (2) penyampaian materi SRI dimulai dari materi persiapan lahan yang telah biasa dilakukan anggota subak, kemudian dilanjutkan pada bagian-bagian lain dari SRI yang belum pernah diterapkan oleh anggota subak, (3) fasilitator sebaiknya terlebih dahulu mendemonstrasikan sesuatu cara pengerjaan paket-paket teknologi SRI,

misalnya dalam praktik pembuatan Mol, kemudian anggota subak mencoba melakukannya sendiri, (4) fasilitator memberikan dahulu teori (misalnya konsep musuh alami dalam pengendalian hama terpadu) kemudian anggota subak menerapkan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam praktik, dan (5) anggota subak diajak untuk mencoba SRI skala yang kecil terlebih dahulu, baru kemudian menerapkan dalam skala yang lebih besar.

Kemampuan selanjutnya yang mesti dikuasai fasilitator adalah membangkitkan semangat klien. Membangkitkan semangat dapat ditempuh dengan jalan DOTALIRA yaitu dorongan, tarikan, libatkan, dan rangsang (Padmowihardjo, 1999:139). Anggota subak yang belum menunjukkan minat dan keinginan menerapkan SRI harus dimotivasi dengan jalan memberikan dorongan. Tarikan diperlukan terutama kepada anggota subak yang masih ragu-ragu menerapkan SRI karena ketakutan akan kegagalan. Libatkan anggota subak yang telah menyadari SRI seba ga i kebutuhanya dalam kegia ta n -kegiatan percobaan/denplot di lahan peta ni lain sesama anggota subak, dengan pelibatan ini akan lebih meyakinkan mereka untuk segera menerapkan SRI. Rangsang anggota subak yang telah menerapkan SRI untuk lebih meningkatkan kemampuannya menguasai metode-metode SRI yang diharapkan.

Analisis Ekonomi Kegiatan Penyuluhan tentang Penerapan SRI

Analisis ekonomi dalam suatu kegiatan/proyek sering pula disebut sebagai the social sector atau the concept sector, yaitu suatu penilaian terhadap suatu kegiatan/proyek bukan dari sisi keuntungan (profit) secara material tetapi lebih pada keuntungan secara sosial. Kegiatan penyuluhan disebut “the social sector” karena produk yang dihasilkan berupa produk sosial seperti kesehatan, pendidikan, pelayanan publik (public servicess) selain itu disebut pula the concept sector karena produk yang dihasilkan berupa ide-ide baru, gagasan-gagasan baru, pemikiran baru.

Kompetensi fasilitator/penyuluh memberikan sumbangan terbesar dalam pembentukan persepsi tentang SRI di kalangan anggota subak. Persepsi sangat dipengaruhi oleh kredibilitas komunikator. Kemampuan fasilitator/penyuluh beradaptasi dengan klien dan dapat menyampaikan materi secara sistematis menyebabkan penyuluh/fasilitator kredibel. Sejalan dengan pendapat Anderson (1972:82) yang menyatakan bahwa hal-hal yang memengaruhi persepsi komoni-kate tentang komunikator sebelum ia berlakukan komunikasinya disebut prior ethos. Anggota subak membentuk gambaran tentang penyuluh/ fasilitator

dari pengalaman langsung bergaul dan telah mengenal integritas penyuluh/fasilitator yang bertugas di daerahnya. Tidak berbeda dengan kompetensi fasilitator/ penyuluh, kompetensi pengurus subak juga berkontribusi dalam pembentukan persepsi positif tentang SRI di kalangan anggota subak. Bedanya adalah pengurus subak merupakan pemimpin dalam kelompoknya. Dalam ilmu kepemimpinan, pemimpin adalah orang yang diikuti oleh bawahannya, hal inilah yang menyebabkan ada pengaruh positif kompetensi pengurus terhadap persepsi anggota subak tentang SRI.

Kemandirian petani dipengaruhi oleh kompetensi fasilitator/penyuluh. Artinya semakin kompeten fasilitator/penyuluh maka kemandirian anggota subak akan semakin baik. Penyuluhan yang sasarannya adalah orang dewasa merupakan proses pendidikan yang mempunyai ciri-ciri sistem pendidikan non formal, terencana/terprogram, merupakan pendidikan orang dewasa yang metodenya lateral. Keberhasilan ditentukan oleh seberapa jauh tercipta dialog antara yang dididik dan pendidik sehingga tercipta proses pembelajaran yang dialogis. Masing-masing orang dihargai pendapatnya. Konsep pendidikan orang dewasa ini cocok atau sesuai dengan konsep penyuluhan sehingga penyuluhan merupakan bentuk dari pendidikan orang dewasa. Implikasi pendidikan orang dewasa dalam penyuluhan adalah bahwa bukan membuat petani tergantung tetapi mandiri. Selain itu, kemandirian petani juga dipengaruhi oleh sikapnya terutama dalam hal pengambilan keputusan untuk menerapkan SRI pada lahan usahataninya. Faktor-faktor personal seperti kognisi, motif dan sikap amat menentukan dalam pengambilan keputusan. Salah satu fungsi berpikir adalah menetapkan keputusan (van den Ban dan Hawkins, 1999). Pengambilan keputusan yang tepat akan menentukan masa depan petani. Peran penyuluh/fasilitatorlah yang seharusnya membantu petani dalam proses pengambilan keputusan yang tepat sebelum anggota subak menerapkan SRI pada lahan usahataninya.

SIMPULAN

  • 1)    Semakin positif persepsi tentang SRI, semakin baik sikap terhadap SRI, semakin tinggi tingkat kemandirian menerapkan SRI, semakin baik karakteristik anggota subak, semakin tinggi tingkat kompetensi fasilitator dan kompetensi pengurus maka semakin baik pula penerapan SRI oleh petani anggota subak.

  • 2)    Analisis ekonomi kegiatan penyuluhan SRI termasuk the social sector atau the concept sector, yaitu suatu penilaian terhadap suatu kegiatan/

proyek bukan dari sisi keuntungan (profit) secara material tetapi lebih pada keuntungan secara sosial dalam jangka panjang. Keuntungan terbesar dari kegiatan penyuluhan SRI adalah menciptakan kualitas SDM anggota subak yang memiliki kemampuan usahatani padi metode SRI. Kemampuan ini memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan usahatani metode konvensional.

SARAN

  • 1)    Perlu dilaksanakan penyuluhan SRI yang komprehensif berupa tindakan nyata di lahan percontohan petani dan studi banding ke daerah-daerah yang telah berhasil menerapkan SRI.

  • 2)    Perlu upaya penyebarluasan SRI di kalangan anggota subak agar memberikan dampak yang positif untuk pembangunan pertanian di Bali berupa cara-cara bertani yang baik, menguntungkan dan menjaga kelesestarian sumber daya air dan lahan pertanian.

  • 3)    Perlu upaya untuk meyakinkan pemerintah daerah bahwa kegiatan penyuluhan tidak memberikan keuntunga berupa profit langsung tetapi dapat menjadi investasi jangka panjang dan hasilnya jauh lebih bermanfaat untuk kemajuan pembangunan di daerah.

REFERENSI

Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Anderson, K.E. 1972. Introduction to Communication Theory and Practice, Menio Park, Ca: Cummings Publishing Company.

Sevilla, C.G,, J.A. Ochave, T.G. Punsalan, B.P. Regala, dan G.G. Uriarte. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Penerjemah: Alimuddin Tuwu. Jakarta: UI Press.

Kerlinger, FN. 1990. Asas-Asan Penelitian Behavioral. Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rachman, B, Supriyati, dan Supena. 2011. Ekonomi Kelembagaan Sistem Usahatani Padi di Indonesia. [Jurnal on-line]. SOCA 2011. Diperoleh dari: http://ejournal. un ud.a c.id/a bstrak/%281% 29%20soca-benny%20 rachman-eko%20kelembagaan%281%29.pdf. Internet; Diakses pada 20 Juni 2011.

Rogers, EM. 2003. Diffusion of Innovation. Fifth Edition. New York: The Free Press.

Setiawan AP., I Gd. Faktor-faktor yang Memengaruhi Anggota Subak Menerapkan System of Rice Intensification (SRI) di Tujuh Kabupaten di Bali. Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Singarimbun M., Effendi S. 2003. Membentuk penelitian survei. Jakarta: LP3ES.

Padmowihardjo, S. 1999. Psikoligi Belajar Mengajar. Jakarta: Universitas Terbuka.

van den Ban dan Hawkins. 1999."Penyuluhan Pertanian. Penerjemah : Agnes Dwina Herdiastuti. Terjemahan dari Agricultural Extention (Second Edition). Jakarta: Kanisius.

Uphoff N,.2011. “The System of Rice Intensification (SRI) as a System of Agricultural Innovation.” [Jurnal on-line]; International Journal of Agricultural Sustainability 1: 38-50. Diperoleh dari: http://www.future-agricultures. org/farmerfirst/ files/T1c_Uphoff.pdf. Internet; Diakses pada 20 Juni 2011.

Warford, M.K. 2011. “Testing a Diffusion of Innovation in Education Model (DIEM)”. [Jurnal on-line]; The Innovation Journal: The Public Sector Innovation Journal, Volume 10(3), article 32. Diperoleh dari: http://www.innovation. cc/volumes-issues/warford_test_diffusion_6af.pdf. Internet; Diakses pada 12 Mei 2011.

JEKT 5 [2] : 134 - 140

ISSN : 2301 - 8968


Pengaruh Perkembangan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran Kota Bandung Terhadap Sektor Pertanian Daerah Lainnya di Jawa Barat

Atih Rohaeti Dariah *)

Yuhka Sundaya

Program Studi Ilmu Ekonomi

Fakultas Ekonomi Universitas Islam Bandung

ABSTRAK

Paper ini membahas pengaruh pertumbuhan perdagangan, hotel dan restoran (PHR) Kota Bandung terhadap sektor pertanian di Jawa Barat, yang akan mencerminkan hubungan ekonomi kota dan desa. Metode analisis yang digunakan adalah persamaan simultan yang disetimasikan dengan teknik seemingly unrelated regression (SUR), karena setiap GDRP pertanian kabupaten/kota digambarkan dengan variable penjelas yang sama, seperti perdagangan, hotel dan restoran di Kota Bandung. Hasil dari persamaan hampir cukup untuk diinterpretasikan dan mampu menjawab hipotesis, nilai R2 dan hasil uji t dengan nilai dibawah 0,5. Hasil mengindikasikan bahwa perdagangan, hotel dan restoran di Kota Bandung, lebih mempengaruhi pertanian di daerah yang jauh dari Kota Bandung, seperti Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Subang, Cianjur, Sukabumi, Indramayu dan Cirebon. Kedelapan kabupaten ini adalah pusat dari produksi bahan pangan, kebutuhan hidup, perikanan.

Kata kunci: sektor PHR, pertanian, hubungan ekonomi, metode SUR

The Impact of Trade, Hotels, and Restaurants Sector Growth Towards The Agricultural Sector of Other Districts in West Java

ABSTRACT

This paper studied the influence of trade, hotels and restaurants (THR) sector growth of Bandung to other agricultural area in West Java Province. It will reflect the urban and rural economic linkages through production linkages. The methods used are simultaneous equations which are estimated by Seemingly Unrelated Regression (SUR) technique, because each district/city agricultural GDRP described by the same explanatory variables i.e: trade, hotels and restaurants of Bandung. The results are quite adequate for interpretation, reflected in the sign coefficient score responding to the hypothesis, the amount of R2, and t test statistic with the amount of under 0.5. The conclusion indicated that the trade, hotels and restaurants of Bandung were more encourage agricultural area that located far enough from Bandung city, such as Garut, Tasikmalaya, Subang, Cianjur, Sukabumi, Indramayu and Cirebon District. All districts are center of production of crops, livestock and fisheries.

Key words: THR sectors, agricultural, economic linkages, SUR method

PENDAHULUAN

Potret pembangunan ekonomi Jawa Barat memiliki keunikan dari sisi kewilayahan dan sektoral. Dari segi kewilayahan, sebagian besar wilayah masih merupakan perdesaan. Hal ini ditunjukan dengan jumlah desa di Jawa Barat yang mencapai 5.321 desa. Namun proporsi jumlah penduduk yang bertempat tinggal di daerah perdesaan hanya 34,31 persen, lebih rendah dibandingkan dengan di daerah perkotaan yang mencapai 65,69 persen (BPS, 2011). Hal ini terkait erat dengan struktur PDRB (Produk Domestik

Regional Jawa Barat) Jawa Barat yang didominasi oleh sektor industri pengolahan. Pada tahun 2010, pangsa sektor industri pengolahan terhadap total PDRB mencapai 42% (BPS Jabar, 2011), sementara sektor pertanian hanya memberikan kontribusi sebesar 11%. Sejumlah kabupaten/kota yang memiliki kawasan industri atau menjadi lokasi sejumlah pabrik besar telah berkembang pesat menjadi daerah perkotaan yang padat penduduk karena tingginya arus migrasi masuk. Hal ini ditunjukan oleh posisi Kabupaten Bogor sebagai daerah industri yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Jawa Barat yakni mencapai

*). Email: [email protected]


4 771 932 jiwa atau 11,08 persen dari total penduduk Jawa Barat (BPS,2011).

Sekalipun PDRB Jawa Barat didominasi oleh sektor industri pengolahan, namun proporsi jumlah penduduk usia 15-65 tahun yang bekerja di sektor tersebut lebih rendah dibandingkan dengan yang bekerja di sektor pertanian. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, sebanyak 21,75% penduduk usia 15-65 tahun bekerja di sektor pertanian dalam arti luas yang mencakup sub sektor tanaman pangan, perikanan, peternakan, perkebunan dan kehutanan. Sedangkan yang bekerja di sektor industri pengolahan hanya 17,39%. Fakta dem ikian seca ra implisit mengisyaratkan perbedaan produktivitas yang cukup besar diantara kedua sektor.Hal ini diperkuat dengan data disparitas kemiskinan antar kota dan desayang cukup tinggi, dimana persentase penduduk miskin di perdesaan yang mencapai 13,88% lebih tinggi dibandingkan dengan di perkotaan sebesar 9,43% (BPS Jabar, 2010).Artinya, sektor pertanian di perdesaan menjadi kantong-kantong kemiskinan di Jawa Barat. Fenomena ini merupakan masalah mendasar yang harus diselesaikan.

Terdapat beberapa gagasan terkait upaya meredam kemiskinan rumah tangga pertanian, diantaranya adalah komersialisasi pertanian (Eskola, 2004), program transfer kekayaan (de Janvry dan Sadoulet, 1996),dan pengembangan kesempatan kerja off-farming di pedesaan (de Janvry et al., 2005). Dari ketiga gagasan tersebut, dalam penelitian ini difokuskan pada poin pertama. Eskola (2004) berpendapat bahwa pembangunan fasilitas pasar yang dekat dengan kegiatan pertanian serta kemudahan petani untuk mengakses informasi pasar dapat meningkatkan derajat komersialisasi rumah tangga pertanian. Partisipasi pasar akan terbuka lebar bagi petani, dan dengan cara demikian hambatan penjualan mengecil yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga petani.

Pertanyaan yang muncul dalam hal ini adalah dimanakah potensi untuk peningkatan komersialisasi komoditas pertanian bagi para petani di Jawa Barat?Berdasarkan pernyataan Ketua PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran) Kota Bandung yang mengemuka pada saat FGD tentang Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat tahun 2012, saat ini Kota Bandung semakin menarik sebagai tujuan wisata kedua di Indonesia setelah Bali. Dengan predikat Bandung kota kuliner, pertumbuhan jumlah restorandan rumah makan terus meningkat. Diketahui saat ini ada 472 restoran dan rumah makan di Kota Bandung (http://bandungtourism.com/res_i.php). Berdasarkan pantauan terhadap sejumlah restoran

dan rumah makan yang ada, ternyata sebagian besar menawarkan menu makanan Indonesia khususnya Sunda. Secara eksplisit hal ini mengindikasikan tingginya permintaan bahan pangan untuk industri wisata kuliner Kota Bandung yang mendorong terjadinya keterkaitan produksi (production linkages) dan keterkaitan kota desa.Selain itu, Pasar Induk Caringin Kota Bandung merupakan pasar yang menjadi simpul transaksi perdagangan komoditas khususnya hortikultura lintas kabupaten/kota di Jawa Barat bahkan lintas provinsi. Berdasarkan kondisi demikian apakah benar Kota Bandung telah berperan menjadi pasar utama untuk komoditas pertanian lokal Jawa Barat sehingga setiap sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR) tumbuh akan mendorong peningkatan permintaan komoditas pertanian dari daerah sekitarnya?

Penelitian ini fokus pada production linkages khususnya antara pertumbuhan sektor dominan yakni sektor PHR di Kota Bandung yang membutuhkan pasokan input bahan pangan dari perdesaan. Masalah yang dirumuskan adalah seberapa besar pengaruh perkembangan sektor PHR Kota Bandung terhadap perkembangan sektor pertanian daerah lainnya di Jawa Barat? Sesuai latar belakang, tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh perkembangan sektor PHR Kota Bandung terhadap perkembangan sektor pertanian daerah lainnya di Jawa Barat. Besarnya pengaruh menjadi cerminan tingkat keterkaitan ekonomi perkotaan dan perdesaan di Jawa Barat.

Relevansi Studi Sebelumnya

Dalam pandangan peneliti, kajian pengaruh sekto r PHR K ota Bandung terhada p sekto r perta nia n daerah lainnya di Jawa Barat, dapat menggambarkan keterkaitan ekonomi, khususnya pro ductio n linka ges (‘backward’ atau ‘forward’ bagi penawaran input). Peneliti pernah melakukan penelitian keterkaitan ekonomi antara kota kecamatan (Desa Pusat Pertumbuhan/DPP) dengan desa sekitar di 10 Kabupaten yang ada di Jawa Barat dengan menggunakan indeks gravitasi(Dariah, dkk, 2007). Melalui perhitungan indeks gravitasi dapat diketahui seberapa besar keterkaitan antar desa dan kota, yang secara spesifik berlaku untuk jenis komoditas tertentu dan pada saat tertentu. Variabel pembentuknya adalah jumlah input dari tiap desa, jumlah penduduk dari desa asal bahan baku, dan jarak desa asal bahan baku dengan kota.

Kelemahannya, indeks gravitasi hanya dapat dihitung apabila wilayah yang dianalisis terdapat dalam orde yang sama. Indeks tersebut tidak menangkap trend perkembangan secara series selama periode tertentu kecuali dihitung secara tahunan. Selain itu, indeks

tersebut sulit diterapkan untuk agregat seluruh komoditas dan banyak wilayah secara simultan. Interprestasi angka sebatas tinggi atau rendah, sulit dimaknai secara spesifik. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan menitikberatkan pada backward production linkages secara agregat, yakni mencermati perkembangan serial total nilai sektor dominan di perkotaan (Sektor PHR) dengan sektor pertanian yang mencakup sejumlah besar komoditas. Selain itu dalam penelitian ini pendekatannya makro, yakni nilai total sektor pertanian setiap kabupaten/kota yang ada di Jawa Barat.

Terdapat temuan menarik dari studi sebelumnya bahwa tinggi rendahnya keterkaitan produksi baik backward maupun forward tergantung pada skala usaha komoditas dominan di DPP tersebut dan jarak. Karena lingkup penelitian berada pada orde yang sama (kabupaten yang sama), maka jarak merupakan faktor utama penentu tingginya keterkaitan. Jika keterkaitan pada orde yang berbeda (lintas kabupaten) dan fasilitas infrastruktur jalan cukup memadai, sangat dimungkinkan jarak bukan menjadi determinan utama lagi.

Penelitian terkait lainnyayang pernah dilakukan adalah Kajian Neraca Perdagangan Volatile Food di Jawa Barat yang membahas tentang pemenuhan kebutuhan 7 jenis pangan di 7 kota di Jawa Barat, dimana 4 dari 7 jenis pangan tersebut dipasok oleh daerah sekitarnya. Dibanding penelitian yang pertama, skala penelitian ini lebih luas melibatkan orde yang berbeda, yakni lintas kabupaten/kota.Obyek penelitian masih tetap komoditas pertanian dengan fokus pada rantai pasok dan pola distribusinya. Secara implisit sudah nampak bagaimana ketergantungan daerah sekitar terhadap Kota Bandung untuk pemasaran komoditas pertanian tertentu, namun tidak diketahui berapa besar keterkaitan antar sektor dan wilayah yang dikaji.

Penggunaan Alat Analisis

Sesuai tujuan penelitian yakni menemukan besarnya pengaruh sektor PHR Kota Bandung terhadap sektor pertanian daerah lainnya di Jawa Barat, pendekatan metode analisis yang akan digunakan adalah persamaan simultan yang diestimasi dengan teknik seemingly unrelated regression (SUR). Hasil estimasi menghasilkan koefisien yang mencerminkan pengaruh perkembangan sektor dominan di perkotaan (Sektor PHR) Kota Bandung dengan sektor pertanian daerah lainnya di Jawa Barat, sebagai cerminan tingkat keterkaitan desa dan kota. Dengan titik pijak dari perkembangan sektor PHR Kota Bandung sebagai ibu kota Provinsi Jabar dan pusat pertumbuhan ekonomi regional, maka secara tidak langsung akan tergambarkan peran pusat pertumbuhan ekonomi tersebut terhadap perkembangan sektor pertanian di

daerah lainnya, dimana masalah jarak atau jumlah penduduk tidak menjadi variabel pembentuk utama.

Idealnya ketika membahas keterkaitanantar sektor dan wilayah, alat analisis yang cukup memadai adalah Tabel Inter Regional Input Output(IRIO).Disayangkan Jawa Barat belum memiliki Tabel IRIO antar kabupaten kota, sehingga untuk memecahkan masalah ini peneliti mencoba mengangkat sektor PHR sebagai cerminan ekonomi dominan perkotaan dan sektor pertanian sebagai cerminan ekonomi dominan perdesaan.

DATA DAN METODELOGI

Prosedur ekonometrika digunakan untuk menges-timasi parameter dugaan yang menjelaskan pengaruh sektor PHR Kota Bandung terhadapsektor pertanian kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat. Dari hasil re-spesifikasi model secara berulang, model ekonometri-ka tersebut diestimasi dengan menggunakan teknik seemingly unrelated regression (SUR).

Penelitian ini bermula dari pemahaman terhadap posisi strategis Kota Bandung dalam perekonomian Provinsi Jawa Barat. Aktivitas sektor PHR merupakan sumber permintaan, dimana Kota Bandung sendiri selain menjadi pasar untuk kebutuhan konsumsi industri dan rumahtangga, pada pihak lain menjadi tempat transit untuk distribusi komoditi pertanian ke daerah lain. Konsumsi industri cukup tinggi yang di-tunjukan oleh banyaknya restoran dan rumah makan. Permintaan tersebut menciptakan produksi pertanian di setiap daerah, sehingga dari fenomena demikian muncul hipotesis bahwa aktivitas sektor PHR di Kota Bandung memberikan pengaruh bagi aktivitas sektor pertanian daerah lainnya di Provinsi Jawa Barat.Ban-yak kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang struktur PDRBnya didominasi oleh sektor pertanian dan terletak di daerah perdesaan, sehingga hasil estimasi juga dapat digunakan untuk menginterpretasikan pengaruh ekonomi perkotaan terhadap ekonomi perdesaan.

Ekspresi model ekonometrika untuk merepresentasikan fenomena ekonomi demikian disajikan pada persamaan (1), yang meringkas 24 persamaan lengkapnya.

TANIi,t = a 0 + a 1 PHRBDGt + ei,t          (1)

α1 > o

dimana :

TANIi,t = PDRB Sektor Pertanian Kabupaten/Kota i pada tahun t; PHRBDGt = Nilai PDRB sektor perdagangan, hotel dan restoran

Kota Bandung pada tahun t;

  • αo = Konstanta;

  • α1 = Parameter dugaan;

i = Kabupaten/Kota, dimana i = 1 … 24

  • t = Tahun;

  • ε = Error term;

Persamaan tersebut merupakan hasil akhir dari respesifikasi model ekonometrika secara berulang, yang sebelumnya mengestimasi variabel ekonomi lain sebagai penjelas setiap persamaan. Hasilnya menunjukkan bahwa hasil estimasi persamaan (1) dinilai memiliki makna ekonomi dan memenuhi kriteria pengujian statistik dan asumsi klasik. Setiap persamaan menjelaskan perubahan PDRB sektor pertanian Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat selain Kota Bandung yang diproksi melalui besaran PDRB sektor pertanian, dimana variabel penjelas untuk setiap persamaan sama, yaitu kegiatan dominan ekonomi di Kota Bandung yang proksi dengan variabel PDRB sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran (PHR). Hipotesis dari persamaan tersebut menyatakan bahwa PHR Kota Bandung dapat meningkatkan PDRB sektor pertanian Kabupaten/Kota di Jawa Barat (α1> 0).

Persamaan (1) diestimasi dengan menggunakan teknik SUR. Alasan teknisnya adalah bahwa setiap PDRB pertanian kabupaten/kota dijelaskan oleh variabel penjelas yang sama yaitu, PHR Kota Bandung, dan teknik estimasi yang memenuhi sifat tersebut adalah SUR (Intriligator, 1996; Sitepu, 2006). Alasan lainnya adalah tampak seolah tidak ada keterkaitan ekonomi antar daerah, padahal faktanya, antar daerah memiliki keterkaitan ekonomi.

Sumber data yang digunakan untuk mengestimasi persamaan (1) adalah data sekunder yang sudah riil (bukan data sementara) yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat, sehingga meski data tidak sampai publikasi terbaru, hasil estimasi masih sangat sesuai dengan kondisi saat ini. Artinya terjadi konsistensi fenomena dari periode data yang diteliti dengan kondisi tiga tahun terakhir. Tidak secara khusus dilakukan survey dalam rangka menangkap fenomena yang lebih spesifik, sehingga analisis semata-mata memanfaatkan data sekunder pula, kecuali untuk info tertentu yang relatif terbatas dari informan yang dapat dipercaya.

Data sektor PHR mencakup sub sektor perdagangan besar dan eceran, sub sektor hotel, dan sub sektor restoran. Sangat dimungkinkan transaksi yang menyangkut komoditas pertanian hanyalah bagian kecil dari seluruh transaksi di sektor PHR tersebut. Namun karena tidak ada data yang khusus menyajikan transaksi terkait komoditas pertanian saja, maka data agregat sektor PHR akhirnya digunakan untuk menggambarkan kegiatan yang terkait langsung dengan sektor pertanian.

Karena ketidaklengkapan data terkait dengan pemekaran wilayah yang terjadi di Jawa Barat selama periode penelitian, maka tidak seluruh kabupaten kota terkaji. Terdapat dua daerah yakni Kabupaten

Bandung Barat dan Kota Tasikmalaya yang tidak masuk dalam model. Kota Banjar baru terbentuk secara resmi pada tahun 2003, tapi ketersediaan data cukup memadai sehingga bisa muncul dalam model.

Data tersebut berjenis time series, yang menampilkan PDRB sektor pertanian setiap kabupaten/kota dan PDRB sektor PHR Kota Bandung yang berubah dari tahun ke tahun. Ringkasan datanya disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Ringkasan Sta2s2k Data Peneli2an: PDRB Pertanian Kabupaten/ Kota dan PDRB Sektor PHR Kota Bandung Menurut Harga Konstan Tahun 2000Periode Tahun 2000-2007 (Juta Rupiah)

Nomor

PDRB

Rata-Rata

Minimum

Maximum

Kabupaten

1

Tasikmalaya

2592726

1478379

4409235

2

Garut

5895660

3816107

8485344

3

Ciamis

2610727

1758261

4015860

4

Kuningan

1573502

1261304

1998903

5

Cirebon

2774654

1831200

3899123

6

Indramayu

3389513

2305286

4678414

7

Sumedang

1765588

1117414

2621536

8

Majalengka

1586003

942407

2455940

9

Subang

2959241

1603693

4592805

10

Purwakarta

754027

482012

1123771

11

Karawang

2174563

1559377

3119707

12

Bogor

1826407

1409949

2439762

13

Sukabumi

3457869

2250180

4816695

14

Cianjur

4345600

2859062

5822581

15

Bandung

2143578

1693318

2537015

16

Bekasi

1055834

737146

1499043

Kota

17

Cirebon

19700

14105

28027

18

Bogor

15348

10230

20646

19

Sukabumi

104081

62743

147429

20

Bandung

98920

71038

141104

21

Depok

201748

140297

257751

22

Bekasi

156470

110339

214957

23

Banjar

164094

122201

230442

24

Cimahi

10711

7656

14064

25

PHR Kota Bandung

10587753

5004184

20082523

Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2008

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 2 menampilkan hasil estimasi model eko-nometrika yang dispesifikasi pada persamaan (1). Hasil estimasi tersebut cukup memadai untuk diin-terpretasikan.Pertama, tanda (sign) koefisien sesuai dengan hipotesis, yaitu sektor PHR Kota Bandung mendorong kenaikan PDRB sektor pertanian di setiap daerah.Logika ekonominya terpenuhi.Kedua, secara statistik, kolom [7] menampilkan informasi bahwa variasi perubahan pada PDRB pertanian setiap Ka-bupaten/Kota lebih dari 90 persen dijelaskan oleh variasi perubahan PHR Kota Bandung, yang disertai dengan kecenderungan tingkat signifikansi di bawah 0.5 (Prob |F|). Hanya PDRB pertanian Kabupaten Bandung yang R2nya rendah.

Hasil uji t statistik pun cukup menggembirakan yang

dilihat dari kecenderungan tingkat signifikansinya (Prob |t|) dengan besaran berada di bawah 0.5.

Tabel 2. Hasil Es2masi Model

Daerah

Konstanta

Koefisien

Prob |F|

R2

Nilai

Prob |t|

Nilai

Prob |t|

Kabupaten

Garut

2830089

<.0001

0.2895

<.0001

<.0001

0.9664

Tasikmalaya

448226

0.0406

0.2025

<.0001

<.0001

0.9697

Subang

1075027

0.0005

0.1780

<.0001

<.0001

0.9662

Cianjur

2468841

0.0001

0.1773

0.00

0.0003

0.9042

Sukabumi

1785848

<.0001

0.1579

<.0001

<.0001

0.9501

Ciamis

986393

<.0001

0.1534

<.0001

<.0001

0.9870

Indramayu

1857337

<.0001

0.1447

<.0001

<.0001

0.9656

Cirebon

1491886

<.0001

0.1212

<.0001

<.0001

0.9607

Karawang

1155613

<.0001

0.0962

<.0001

<.0001

0.9877

Majalengka

579858

0.0001

0.0950

<.0001

<.0001

0.9798

Sumedang

767129

<.0001

0.0943

<.0001

<.0001

0.9798

Bogor

1215684

<.0001

0.0577

<.0001

<.0001

0.9388

Bekasi

560452

<.0001

0.0468

<.0001

<.0001

0.9623

Kuningan

1101976

<.0001

0.0445

<.0001

<.0001

0.9523

Purwakarta

336986

<.0001

0.0394

<.0001

<.0001

0.9769

Bandung

1835045

0.0001

0.0291

0.142

0.142

0.3225

Kota

Banjar

86590

<.0001

0.0073

<.0001

<.0001

0.9943

Depok

132498

<.0001

0.0065

0.001

0.001

0.8571

Bekasi

89 731

<.0001

0.0063

<.0001

<.0001

0.9711

Sukabumi

45590

0.0012

0.0055

0.0002

0.0002

0.9183

Bandung

49577

<.0001

0.0047

<.0001

<.0001

0.9874

Cirebon

9294

<.0001

0.0010

<.0001

<.0001

0.9719

Bogor

8582

<.0001

0.0006

0.0002

0.0002

0.9156

Cimahi

6519

<.0001

0.0004

<.0001

<.0001

0.9333

Sumber : Diringkas dari worksheet SAS/ETS 9.0

Hasil estimasi model menunjukkan bahwa, suatu perubahan yang terjadi di Kota Bandung misalnya jumlah kunjungan wisatawan yang semakin meningkat sehingga nilai transaksi PHR semakin besar, akan menggerakkan sektor pertanian daerah lainnya di Jawa Barat. Pada kolom [4] Tabel 2 ditampilkan besaran koefisien dari urutan terbesar hingga terkecil, masing-masing untuk daerah kabupaten dan kota. Interpretasi yang dapat dikemukakan pada kolom tersebut adalah bahwa PHR Kota Bandung ternyata tidak selalu berpengaruh besar terhadap pertanian wilayah terdekat sekitarnya, justru lebih banyak mendorong sektor pertanian daerah yang cukup jauh dari Kota Bandung seperti Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Subang, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Ciamis, Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon.

Sesuai hasil perhitungan dapat dilihat bahwa koefisien tertinggi diperoleh untuk Kabupaten Garut. Artinya, pertumbuhan sektor PHR paling berpengaruh terhadap pertumbuhan sektor pertanian Kabupaten Garut dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Kenaikan nilai transaksi di sektor PHR Kota Bandung sebesar 1 juta rupiah saja, berpotensi untuk mendorong kenaikan nilai output sektor pertaniannya sebesar

289 539 rupiah. Hal ini secara implisit mengandung makna tingginya interaksi perdagangan komoditas pertanian antara Kabupaten Garut dan Kota Bandung.

Garut merupakan sentra produksi komoditas hortikultura terbesar di Jabar dan nasional. Mereka memiliki keunggulan kompetitif antara lain kondisi agroekologis yang tepat ditunjang dengan petani terampil. Keunggulan tersebut terus bertahan, saat ini mereka akan membudidayakan 127 varietas dari 21 jenis tanaman hortikultura (Pikiran Rakyat, 5 Juni 2012). Temuan hasil estimasi mengukuhkan bahwa Kota Bandung merupakan gerbang utama untuk pemasaran produk hortilkutra mereka.

Hasil riset sebelum n ya menunjukan bahwa Kabupaten Garut merupakan pemasok utama kol untuk kebutuhan pasar Kota Bandung (Dariah dkk, 2008). Selain memasok Kota Bandung, kol dari Kabupaten Garut memasok kota lainnya di Jawa Barat bahkan Jakarta. Kabupaten Garutmerupakan produsen terbesar dalam produksi kol di Indonesia, disusul Jawa Tengah dan Sumatera Utara.

Setelah dengan Garut,pengaruh yang besar terjadi pula untuk wilayah selatan Jabar yakni Kabupaten Tasikmalaya,yang merupakan sentra produksi peternakan terutama daging ayam ras. Sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya, bahwa kebutuhan daging ayam di Kota Bandung sebagian besar dipasok oleh peternak dari Kabupaten Tasikmalaya (Dariah, dkk, 2008).

Tingkat kemantapan jalan provinsi yang cukup baik sekalipun belum optimal, turut memperlancar distribusi komoditas tersebut ke pasar tujuan. Pada akhir tahun 2004 tingkat kemantapan jalan yang berstatus provinsi mencapai 87,5%.Tingkat kemantapan jalan diartikan sebagai persentase panjang jalan provinsi dengan kondisi baik dan sedang terhadap panjang jalan provinsi secara keseluruhan. Pada tahun 2009 tingkat kemantapan semakin tinggi mencapai 89,51% dan tahun 2010 menjadi 92,08% sesuai target yang telah ditetapkan ketika menyusun perencanaan. Pencapaian target tingkat kemantapan jalan tersebut berada pada setiap wilayah pelayanan, kecuali di Wilayah Pelayanan II. Kondisi tahun 2011 ternyata belum mengalami banyak perubahan. Di Wilayah Pelayanan II yakni tingkat jalan yang mantap mencapai 89% sementara wilayah lainnya rata-rata 92,5%. Tingkat kemantapan jalan tertinggi berada di Wilayah Pelayanan IV dimana Kabupaten Garut merupakan salah satunya(Bappeda Jabar, 2006).

Sementara di wilayah utara, daerah yang menerima pengaruh cukup besar dari perkembangan sektor PHR Kota Bandungadalah Kabupaten Subang, Indramayu, dan Cirebon. Ketiga daerah tersebut merupakan sentra perikanan. Subang merupakan pemasok ikan

air tawar, sedangkan Indramayu dan Kabupaten Cirebon memasok ikan laut. Khusus di Indramayu, terutama di daerah Losarang, Eretan dan Lohbener banyak petani yang bergabung dalam kelompok tani melakukan budidaya lele secara massal. Berdasarkan pengalaman salah seorang pelaku usaha lele, budidaya lele secara massal tersebut sudah berlangsung cukup lama. Pembeli dari luar kota terutama dari Bandung langsung mendatangi lokasi. Suasana intensitas transaksi pada tahun 2005 relatif sama dengan kondisi saat ini.

Kabupaten Cianjur dan Sukabumi adalah kanupaten yang berada di sebelah barat daya yang merupakan daerah sentra produksi pertanian tanaman pangan, hortikultura dan juga ikan laut. Beras varietas khusus khas produksi Cianjur menjadi andalan rumah makan dan restoran di Kota Bandung dalam menyajikan nasi pulen khas Sunda. Selain beras, Cianjur merupakan sentra produksi wortel dengan kualitas tinggi. Sedangkan pasokan utama dari Kabupaten Sukabumi adalah berbagai jenis ikan laut termasuk lobster. Sebagai daerah yang berbatasan dengan pantai selatan Samudera Hindia, Kabupaten Sukabumi memiliki potensi kekayaan sumberdaya laut yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Pantura Jabar. Keberadaan TPI yang besar di Pelabuhan Ratu menjadi fasilitas yang mendorong transaksi ikan laut dalam jumlah besar.

Temuan yang menarik adalah pengaruh sektor PHR Kota Bandung yang paling rendah terhadap sektor pertanian Kabupaten Bandung dibandingkan dengan seluruh kabupaten lainnya. Secara lokasi, Kabupaten Bandung berbatasan langsung dengan Kota Bandung. Selain itu kegiatan sektor pertanian juga cukup tinggi. Kabupaten Bandung termasuk sentra hortikultura. Diantara wilayah kabupaten lainnya, Kabupaten Bandung memiliki indeks produksi tinggi untuk komoditas hortikultura, tercermin pada posisi angka indeks yang mencapai 4,4, sementara kabupaten lainnya sebagian besar di bawah 1 kecuali Kabupaten Garut dan Cianjur (Pemkab Bandung, diposting 5 Januari 2012). Pengaruh kecil dari sektor PHR Kota Bandung terhadap sektor pertanian Kabupaten Bandung, disebabkan hanya 25% dari total produksi yang dijual ke pasar Kota Bandung, sebagian besar yakni sebanyak 50% produksi sayuran Kabupaten Bandung dijual ke pasar Jakarta dan sekitarnya (Bappeda Kabupaten Bandung, 2011). Tampaknya fenomena tersebut sudah berjalan lama bahwa para petani hortikultura dari Kabupaten Bandung terbiasa mengakses pasar Jakarta dan sekitarnya.

Berdasarkan hasil estimasi sebagaimana disajikan dalam Tabel 2, sektor PHR Kota Bandung berpenga-

ruh paling rendah terhadap sektor pertanian semua kota yang ada di Jawa Barat. Hal ini bisa diterima karena rendahnya aktivitas sektor pertanian di seluruh kota kecuali Kota Banjar. Karenanya, pengaruh terhadap sektor pertanian Kota Banjar relatif lebih besar dibandingkan dengan kota-kota lainnya. Hal ini sesuai dengan kondisi nyatanya bahwa sektor pertanian di Kota Banjar masih menempati urutan kedua setelah sektor PHR. Pada tahun 2004, sektor pertanian berkontribusi sebesar 19,89% dan sektor PHR 30% (BPS Kota Banjar, 2005). Pada tahun-tahun berikutnya, peran sektor pertanian semakin menurun sementara peran sektor PHR dan jasa-jasa semakin meningkat. Untuk tahun 2007, pangsa sektor pertanian menjadi 17,86%, sedangkan sektor PHR semakin besar mencapai 32,18% dan sektor jasa-jasa mulai mendekati pangsa sektor pertanian yakni sebesar 16,33%(BPS Kota Banjar, 2008). Namun untuk tahun 2010 penurunan share sektor pertanian tidak sebesar tiga tahun sebelumnya, besarannya masih di atas 17% yakni 17,16%. Tidak demikian dengan sektor PHR, pangsanya semakin besar yakni mencapai 34,47% (BPS Kota Banjar, 2011). Meskipun terpengaruh paling besar diantara seluruh kota, namun tetap lebih rendah dibandingkan seluruh kabupaten lainnya. Rendahnya pengaruh sektor PHR Kota Bandung terhadap sektor pertanian Kota Banjar yang secara implisit menunjukan keterkaitan ekonomi yang rendah diantara kedua wilayah tersebut, dikarenakan jarak tempuh yang jauh. Temuan ini cukup menarik sehingga tetap bisa mendukung konsep Indeks Gravitasi bahwa jarak tempuh tetap menentukan keterkaitan ekonomi antar wilayah. Fakta di lapangan menunjukan bahwa ekonomi Kota Banjar sebagai daerah perbatasan dengan Jawa Tengah lebih banyak berinteraksi dengan daerah Majenang.

Dari seluruh kota, besaran koefisien terendah adalah dengan Kota Cimahi. Dari sisi lokasi, Kota Cimahi berbatasan langsung dengan Kota Bandung. Namun karena peran sektor pertanian terhadap perekonomian kota ini sangat kecil, maka besaran koefisien estimasi yang rendah tersebut bisa diterima. Pada tahun 2007 sampai 2009 share sektor pertanian Kota Cimahi terhadap total PDRB hanya 0,15%, yang paling dominan adalah sektor sekunder terutama sektor industri pengolahan yang rata-rata mencapai 70,2% (BPS Kota Cimahi, 2010). Jadi sekalipun lokasi sangat dekat tidak menjamin terjadinya keterkaitan antara sektor PHR Kota Bandung dengan sektor pertanian Kota Cimahi karena terbatasnya aktivitas sektor pertanian di Kota Cimahi.

SIMPULAN

Kota Bandung sebagai pusat pertumbuhan Jawa Barat, memiliki daya ungkit untuk perekonomian daerah lainnya.H asil estimasi menunjukkan bahwaketika terjadi peningkatan intensistas aktivitas sektor PHR Kota Bandung,dapat menggerakan sektor pertanian setiap kabupaten yang ada di Jawa Barat. Hal ini secara implisit menunjukan adanya keterkaitan ekonomi perkotaan dengan perdesaan.

Hasil estimasimen unjukka n bah wa pengaruh terbesar kegiatan PHR Kota Bandung tidak terjadi dengan wilayah terdekat.Pengaruh terbesar kegiatan PHR Kota Bandung terja di dengan K a bupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya. Kenaikan nilai transaksi PHR di Kota Bandung sebesar 1 juta rupiah saja, berpotensi untuk mendorong kenaikan output pertanian di Kabupaten Garut dan Tasikmalaya masing-masing sebesar 289 539 rupiah dan 202 545 rupiah.Tingkat kemantapan jalan yang cukup memadai untuk wilayah tersebut turut mendukung kelancaran distribusi. Sementara itu, sektor pertanian di daerah lainnya juga dapat meningkat, tapi dengan besaran yang lebih rendah dari dua kabupaten tersebut. Dengan Kabupaten Bandung sekalipun lokasi berdekatan memiliki pengaruh kecil, karena sebagian besar komoditas hortikultura dipasarkan ke Jakarta dan sekitarnya.

Dengan kota yang bercirikan minimnya kegiatan pertanian, secara otomatis memiliki pengaruh sangat kecil. Dari seluruh kota yang ada, pengaruh terhadap sektor pertanian Kota Banjar relatif lebih besar karena perekonomian Banjar masih didominasi oleh sektor pertanian selain dominasi utama sektor PHR.

SARAN

Dalam rangka memelihara dan meningkatkan pengaruh ekonomi perkotaan terhadap perdesaan tersebut diperlukan beberapa kebijakan diantaranya: 1) Pemerintah Kota Bandung dapat memperta hankan dan meningkatkan kebijakan pengembangan sektor PHR terutama yang terkait dengan kuliner karena terbukti berdampak positif bagi perkembangan ekonomi perdesaan di Jawa Barat.

  • 2)    Seluruh pemerintah kabupaten yang ada di Jawa Barat hendaknya dapat mempertahankan kebijakan pengembangan sektor pertanian karena memiliki peluang pasar yang besar ke Kota Bandung.

  • 3)    Pemerintah Provinsi Jawa Barat seyogianya turut melindungi lahan pertanian di seluruh kabupa+ten untuk menjamin keberlanjutan produksi pertanian.

  • 4)    Pemerintah Provinsi Jawa Barat seyogia n ya

bekerjasama dengan seluruh pemerintah kabupaten dalam memelihara dan meningkatkan tingkat kemantapan jalan yang menghubungkan Kota Bandung de"ngan sentra-sentra produksi komoditas pertanian.

REFERENSI

Bappeda Kabupaten Bandung. RKPD Tahun 2012. http:// www.bandungkab.go.id/index2.php?option. Diakses pada tanggal 1 Juli 2012

Bappeda Provinsi Jawa Barat. Tingkat Kemantapan Jalan. http://www.bappeda.jabarprov.go.id/docs/perenca-naan/20061221_160023.pdf .Diakses pada tanggal 1 Juli 2012

BPS, 2011. Jumlah Penduduk Jawa Barat Menurut Wilayah Perkotaan dan Perdesaan Hasil Sensus Penduduk Tahun 2010. http://sp2010.bps.go.id/ index.php/site/tabel? tid=337&wid = 3200000000.Diakses pada tanggal 10 Juli 2012

BPS Jabar. Statistik Ekonomi Provinsi Jawa Barat Tahun 2001-2011.Badan Pusat Statistik Jawa Barat, Bandung.

BPS Jabar, 2010. Berita Resmi Statistik Profil Kemiskinan Jawa Barat. http://www.scribd.com/doc/49381241/ tingkat-kemiskinan-jabar-2010. Diakses pada tanggal 5 Juni 2012

BPS Kota Banjar. PDRB Kota Banjar Tahun 2005-2011.

BPS Kota Cimahi.2010. Kota Cimahi Dalam Angka.

Dariah, Atih R, dkk, 2007. Optimalisasi Desa Pertumbuhan di Jawa Barat, Kerjasama Fakultas Ekonomi dengan Kantor Bank Indonesia Bandung

Dariah, Atih R, dkk, 2008. Kajian Neraca Perdagangan Volatile Food di Jawa Barat (Survey pada Tujuh Kota), Kerjasama Fakultas Ekonomi dengan Kantor Bank Indonesia Bandung.

De Janvry, A and Sadoulet, E. 1996. Household Modelling for The Design of Poverty Alleviation Strategies. California Agricultural Experiment Stasion Giannini Foundation of Agricultural Economics January. California.

De Janvry, A. Sadoulet, E and Zhu, N. 2005. The Role of NonFarm Incomes in Reducing Rural Poverty and Inequality in China.CUDARE Working Papers.Department of Agricultural and Resource Economics. California.

Eskola, E. 2005. Commercialisation and Poverty in Tanzania: Household-level Analysis. Discusion Paper DepaRTP-Ment of Economics.University of Copenhagen. Denmark

Harian Umum Pikiran Rakyat, 5 Juni 2012. Garut Menjadi Tempat Jambore Nasional Hortikultura

Informasi Jumlah Hotel dan Restoran http://bandungtourism. com/res_i.php

Intriligator, M.D., Bodkin, R.G., and Hsiao, C. 1996. Econometric Models, Technique, and Application. Second Edition. Prentice-Hall, Inc. Upper Saddle River, New Jersey.

Pemerintah Kabupaten Bandung. Struktur Ekonomi Sektor Pertanian Kabupaten Bandung. http:// www. band-ungkab. go.id/ arsip/ 2344 /struktu r-ekonomi-sektor-pertanian-kabupaten-bandung

Perda Kabupaten Bandung No 11 Tahun 2011 tentang RPJMD Kabupaten Bandung Tahun 2010-2015

Sitepu, R,K., 2006. Aplikasi Model Ekonometrika: Estimasi, Simulasi dan Peramalan Menggunakan Program SAS. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB.

140