JURNAL KIMIA 5 (1), JANUARI 2011 : 72-80

OPTIMASI JENIS PELARUT DALAM EKSTRAKSI ZAT WARNA ALAM DARI BATANG PISANG KEPOK (Musa paradiasiaca L. cv kepok) DAN BATANG PISANG SUSU (Musa paradiasiaca L. cv susu)

I Wayan Suarsa, Putu Suarya, dan Ika Kurniawati

Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran

ABSTRAK

Pada penelitian ini dilakukan optimasi jenis pelarut dalam ekstraksi zat warna alam dari batang pisang kepok (Musa paradiasiaca L. cv kepok) dan batang pisang susu (Musa paradiasiaca L. cv susu). Zat warna yang diperoleh ditentukan rendemen, golongan zat warna, dan serapan maksimumnya pada panjang gelombang 400-700 nm. Maserasi 100 g serbuk kering batang pisang kepok dan batang pisang susu dilakukan dengan empat macam pelarut yaitu air, etanol, aseton, dan n-heksana. Pada pisang kepok dihasilkan ekstrak kering dari pelarut air sebanyak 9,21 gram, etanol sebanyak 3,19 gram, aseton sebanyak 1,23 gram, dan n-heksana sebanyak 0,21 gram. Sedangkan pada pisang susu dihasilkan ekstrak kering dari pelarut air sebanyak 12,13 gram, etanol sebanyak 3,31 gram, aseton sebanyak 1,42 gram, dan n-heksana sebanyak 0,17 gram.

Ekstrak dari masing-masing pelarut dipekatkan, kemudian dihitung rendemennya sehingga diperoleh hasil rendemen batang pisang kapok : air (36,84 %); etanol (12,67%); aseton (4,92%); dan n-heksana (0,84% ); dan batang pisang susu : air (28,52%); etanol (13,24%% ); aseton (5,68%); dan n-heksana (0,68%).

Hasil uji fitokimia menunjukkan batang pisang kepok dan batang pisang susu dengan pelarut air, etanol, aseton, dan n-heksana merupakan zat warna flavonoid, sedangkan zat warna tanin pada batang pisang kepok dan batang pisang susu hanya terdapat pada pelarut etanol, aseton dan n-heksana.

Hasil pengukuran dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis menunjukkan bahwa ekstrak n-heksana memberikan serapan maksimum lebih besar dibandingkan lainnya dari kedua spesies. Serapan dimaksud adalah 0,992 pada panjang gelombang 607,0 nm (pisang kepok) dan 0,905 pada panjang gelombang 669,5 nm (pisang susu).

Kata kunci : pisang, maserasi, tanin, flavonoid

ABSTRACT

Research on optimation of the type of solvent in natural dye found in extracs of kepok banana’s stem (Musa paradiasiaca L. cv kepok) and susu banana’s stem (Musa paradiasiaca L. cv susu) has been carried out. The obtained natural dye was determined for its rendement, natural dye groups, and the maximum absorption at 400 – 700 nm. Maseration of 100 g of dry powder of kepok banana and susu banana stems were conducted using four kinds of solvent namely, ethanol, acetone, and n-hexane. From kepok banana’s stem thick extracts 9.21 grams water; 3.19 grams ethanol; 1.23 grams acetone; and 0.21 grams n-hexane were obtained, whereas from susu banana’s stem were 12.13 grams water, 3.31 grams ethanol, 1.42 grams acetone, and 0.17 grams n-hexane thick extracts.

Extracts obtained were concentrated, and then the rendements were determined. The redements from the kepok banana’s stem, were : water (36.84%), ethanol (12.67 %), acetone (4.92 %), and n-hexane (0.84%), whereas from susu banana’s stem, were : water (28.52%), ethanol (13.24%), acetone (5.68 %). and n-hexane (0.68%),

The result of the fitochemical test showed that the natural dye on kepok and susu banana’s stem using four solvents was flavonoid. whereas tannin on both types of banana’s stem was only found in ethanol, acetone, and n-hexane extracts.

Analysis using spectrophotometry UV-vis showed that n-hexane extracts gave the maximum absorption greater than the other solvents. The absorbance of kepok banana’s was 0.992 at 607.0 nm and of susu banana’s was 0.905 at 669.5 nm.

Keywords : banana, maseration, tannin, flavonoid

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara tropis yang sangat subur untuk sebagian besar tanaman, termasuk tanaman pisang. Hampir seluruh wilayah di Indonesia dapat ditanami tanaman pisang, baik sebagai tanaman sela, tanaman pelindung, maupun tanaman pagar. Tanaman pisang dalam pembangunan negara merupakan salah satu potensi penghasil devisa negara yang tidak dapat diabaikan (Yuliastuti, 2002).

Tanaman pisang terdiri dari bunga, buah, kulit, daun, bonggol, dan batang pisang. Bagian tanaman pisang yang dapat digunakan untuk zat warna tekstil adalah batangnya. Jenis batang pisang yang dapat dimanfaatkan untuk zat warna alam misalnya batang pisang kepok dan batang pisang susu. Priosoeryanto (2006) melaporkan bahwa batang pisang mengandung beberapa jenis metabolit sekunder yaitu saponin, kemudian flavonoid dan tanin. Dengan adanya kandungan tersebut maka batang pisang kepok dan batang pisang susu dapat dijadikan zat warna alam untuk tekstil. Salah satu contoh penggunaan pisang dalam pewarnaan tekstil adalah pada proses pewarnaan kain tenun geringsing, dimana pisang dipakai sebagai bahan campuran pada pencelupan warna biru. Selain pisang bahan lain yang digunakan adalah daun taum dicampur kapur, pisang, dan nangka (Anonim, 1997).

Pada awalnya proses pewarnaan tekstil menggunakan zat warna alam, tetapi dengan kemajuan teknologi penemuan zat warna sintetis menjadi berkembang pesat, sehingga semakin terkikis penggunaan zat warna alam. Penggunaan zat warna alam yang merupakan kekayaan budaya warisan nenek moyang masih tetap dijaga keberadaannya, khususnya pada proses pewarnaan makanan, perancangan busana, dan pembatikan. Rancangan busana maupun kain batik yang menggunakan zat warna alam memiliki nilai jual atau nilai ekonomi yang tinggi karena memiliki nilai seni, warna yang khas, dan ramah lingkungan. Namun akhir-akhir ini penggunaan zat warna alam telah tergeser oleh keberadaan zat warna sintetis. Keunggulan zat warna sintetis antara lain lebih mudah diperoleh, ketersediaan warnanya terjamin, jenis warna bermacam-macam, dan lebih praktis

dalam penggunannya. Salah satu kendala pewarnaan tekstil menggunakan zat warna alam adalah ketersediaan variasi warnanya sangat terbatas dan ketersediaan bahannya yang tidak siap pakai sehingga diperlukan proses-proses khusus untuk dapat dijadikan larutan pewarna tekstil. Oleh karena itu zat warna alam dianggap kurang praktis penggunaannya. Dibalik kekurangannya tersebut, zat warna alam memiliki potensi pasar yang tinggi sebagai komoditas unggulan produk Indonesia memasuki pasar global. Untuk itu, sebagai upaya mengangkat kembali penggunaan zat warna alam untuk tekstil maka perlu dilakukan pengembangan zat warna alam dengan melakukan eksplorasi sumber-sumber zat warna alam dari potensi sumber daya alam Indonesia yang melimpah. Eksplorasi ini dimaksudkan untuk mengetahui secara kualitatif warna yang dihasilkan oleh berbagai tanaman di sekitar kita untuk pencelupan tekstil. Diharapkan hasilnya dapat semakin memperkaya jenis-jenis tanaman sumber pewarna alam sehingga ketersediaan zat warna alam selalu terjaga dan variasi warna yang dihasilkan semakin beragam (Fitrihana, 2007).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pada penelitian ini dilakukan optimasi jenis pelarut dalam ekstraksi zat warna alam dari batang pisang kepok (Musa paradiasiaca L. cv kepok) dan batang pisang susu (Musa paradisiaca L. Cv susu). Zat warna yang diperoleh dapat digunakan sebagai alternatif untuk pewarna tekstil.

MATERI DAN METODE

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan: batang pisang kepok, batang pisang susu, air, etanol, aseton, n-heksana, HCl pekat, serbuk Magnesium, dan FeCl3.

Peralatan

Alat-alat yang digunakan: pisau, blender, tabung reaksi, gelas ukur, gelas beker, erlenmeyer, ayakan, pipet tetes, kertas saring, neraca analitik, pipet mikro, corong, penangas listrik, stoples, evaporator, dan spektrofotometer UV-Vis.

Cara Kerja

Serbuk batang pisang kepok dan pisang susu ditimbang sebanyak 25 gram kemudian dimaserasi dengan menggunakan pelarut 250 mL air sampai seluruh sampel terendam selama 24 jam. Ekstrak yang diperoleh kemudian disaring dan ampasnya dimaserasi lagi dengan air. Pekerjaan ini diulang sampai semua metabolit diperkirakan sudah terekstraksi. Semua ekstrak air digabungkan dan dievaporasi menggunakan penguap putar vakum (rotary vacuum evaporator) sampai diperoleh ekstrak kering air kemudian ditimbang dan dihitung rendemennya. Hal yang sama juga dilakukan dengan menggunakan pelarut etanol, aseton, dan n-heksana.

Dengan cara yang sama, masing-masing 25 g serbuk batang pisang kepok dan pisang susu juga dilakukan maserasi dengan menggunakan pelarut 250 mL etanol, 250 mL aseton, dan 250 mL n-heksana. Ekstrak pekat yang diperoleh kemudian diuji tanin dan flavonoid, dengan reaksi warna.

Larutan zat warna hasil ekstraksi diukur dengan Spektroskopi ultraviolet-visible pada rentang panjang gelombang 400-700 nm, kemudian ditentukan panjang gelombang maksimumnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi

Maserasi dari sampel serbuk batang pisang kepok sebanyak 25 gram didapatkan hasil berupa ekstrak kering n-heksana sebanyak 0,21 gram, ekstrak kering etanol sebanyak 3,19 gram, ekstrak kering dari pelarut aseton sebanyak 1,23 gram, dan ekstrak kering air sebanyak 9,21 gram. Sama halnya seperti pisang kepok, sebanyak 25 gram serbuk batang pisang susu yang dimaserasi dengan n-heksana, etanol, aseton, dan air didapatkan hasil berupa ekstrak kering n-heksana sebanyak 0,17 gram, ekstrak kering etanol sebanyak 3,31 gram, ekstrak kering aseton sebanyak 1,42 gram, dan ekstrak kering air sebanyak 12,13 gram. Setelah didapatkan ekstrak kering, rendemen dari masing-masing ekstrak kering dihitung, untuk mengetahui berapa banyak zat warna yang terkandung pada sampel.

Rendemen ekstrak batang pisang kepok dan batang pisang susu

Hasil rendemen batang pisang kepok dari yang tertinggi sampai terendah yaitu : air (36,84 %); etanol (12,67%); aseton (4,92%); dan n-heksana (0,84% ); sedangkan rendemen batang pisang susu dari rendemen tertinggi sampai terendah yaitu : air (28,52%); etanol (13,24%%); aseton (5,68%); dan n-heksana (0,68%).

Dari hasil perhitungan rendemen, pelarut air menghasilkan rendemen terbesar dibandingkan dengan pelarut lainnya baik pada batang pisang kepok maupun batang pisang susu. Hal ini berdasarkan literature, bahwa air yang merupakan pelarut polar dapat melarutkan senyawa-senyawa yang polar juga, dalam hal ini yaitu zat warna alamnya.

Rendemen paling rendah diperoleh pelarut n-heksana baik pada batang pisang kepok maupun pada batang pisang susu. Hal ini menyatakan bahwa n-heksana yang merupakan pelarut non polar tidak dapat melarutkan zat warna yang bersifat polar.

Tinggi rendahnya rendemen yang didapat juga bisa dipengaruhi oleh metode ekstraksi yang dipakai. Dimana dalam ekstraksi zat warna alam ini menggunakan metode maserasi. Kelebihan dari metode maserasi pada ekstraksi zat warna alam dari batang pisang kepok dan batang pisang susu ini, yaitu zat warna yang mengandung gugus-gugus yang tidak stabil (mudah menguap) seperti ester dan eter tidak akan rusak atau menguap karena berlangsung pada kondisi dingin.

Uji Fitokimia

Hasil uji fitokimia menunjukkan batang pisang kepok dan batang pisang susu dengan pelarut air, etanol, aseton, dan n-heksana merupakan zat warna flavonoid sedangkan zat warna tanin pada batang pisang kepok dan batang pisang susu hanya terdapat pada pelarut etanol, aseton dan n-heksana .

Identifikasi zat warna dengan Spektrofotometri UV-Vis dari ekstrak batang pisang kepok dan batang pisang susu pada pelarut air

Spektrum serapan UV-Vis dari ekstrak batang pisang kepok dengan pelarut air

memberikan dua pita serapan yaitu pada panjang gelombang 251,0 nm dan 372,0 nm. Serapan maksimum (ε maks) ditunjukkan pada panjang gelombang 251,0 nm dengan absorbansi 0,423, sedangkan serapan yang landai diberikan pada panajng gelombang 372,0 dengan absorbansi sebesar 0,280.

Dari spektrum pisang kepok yang didapat dengan pelarut air pada rentang panjang gelombang 200-400 nm menunjukkan dalam sampel tersebut tidak mengandung zat warna. Hal ini berarti dalam ekstrak tersebut terdapat senyawa-senyawa lain di luar zat warna, dimana sesuai literatur senyawa-senyawa berwarna dalam analisis UV-Vis berada pada rentang 400700 nm (Sastrohamidjoyo, 1991).

Dilihat dari serapan yang didapat, yaitu ε maks pada panjang gelombang 251,0 nm yang menghasilkan absorbansi sebesar 0,423. Hal ini berarti, pada sampel batang pisang kepok dengan pelarut air hanya sedikit mengandung zat warna alam. Kemungkinan yang terdapat dalam ekstrak air adalah senyawa-senyawa polar yang tidak berwarna.

Transisi pada panjang gelombang 251,0 nm menunjukkan pergeseran hypsokromik, yaitu pergeseran serapan ke arah panjang gelombang yang lebih pendek, akibat substitusi atau pengaruh pelarut (Sastrohamidjoyo, 1991).

Pada batang pisang susu, hasil analisisnya dengan pelarut air juga memberikan dua serapan yaitu pada panjang gelombang 273,0 nm dan pada panjang gelombang 370,0 nm. Serapan maksimum (ε maks) ditunjukkan pada panjang gelombang 273,0 nm dengan absorbansi 0,480, sedangkan serapan yang landai diberikan pada panjang gelombang 370,0 nm dengan absorbansi sebesar 0,200.

Dari spektrum pisang susu yang didapat dengan pelarut air pada rentang panjang gelombang 200-400 menunjukkan dalam sampel tersebut tidak mengandung zat warna. Ini berarti dalam ekstrak tersebut terdapat senyawa-senyawa lain di luar zat warna, Hal ini sesuai literatur senyawa-senyawa berwarna dalam analisis UV-Vis berada pada rentang 400-700 nm (Sastrohamidjoyo, 1991).

Dilihat dari serapan yang didapat, yaitu λ maks pada panjang gelombang 273,0 nm yang menghasilkan absorbansi sebesar 0,480. Hal ini

berarti, pada sampel batang pisang susu dengan pelarut air hanya sedikit mengandung zat warna alam. Kemungkinan yang terdapat dalam ekstrak air adalah senyawa-senyawa polar yang tidak berwarna.

Transisi pada panjang gelombang 273,0 nm menunjukkan pergeseran hypsokromik, yaitu pergeseran serapan ke arah panjang gelombang yang lebih pendek, akibat substitusi atau pengaruh pelarut (Sastrohamidjoyo, 1991).

Identifikasi zat warna dengan Spektrofotometri UV-Vis dari ekstrak batang pisang kepok dan batang pisang susu pada pelarut etanol

Spektrum serapan UV-Vis dari ekstrak batang pisang kepok dengan pelarut etanol memberikan dua pita serapan yaitu pada panjang gelombang 665,5 nm dan 608,0 nm. Serapan maksimum (ε maks) ditunjukkan pada panjang gelombang 665,5 nm dengan absorbansi 0,543 sedangkan serapan yang landai diberikan pada panjang gelombang 608,0 nm dengan absorbansi sebesar 0,316.

Dari spektrum pisang kepok yang didapat dengan pelarut etanol pada rentang panjang gelombang 600-700 menunjukkan dalam sampel tersebut mengandung zat warna. Hal ini sesuai literatur senyawa-senyawa berwarna dalam analisis UV-Vis berada pada rentang 400-700 nm (Sastrohamidjoyo, 1991).

Serapan pada panjang gelombang 665,5 nm diduga merupakan absorbsi cahaya oleh senyawa pada panjang gelombang cahaya warna merah. Hal ini terjadi karena ekstrak yang berwarna coklat tua akan menyerap cahaya komplementernya, yaitu cahaya warna biru-hijau pada panjang gelombang 620-750 nm (Sastrohamidjoyo, 1991).

Dilihat dari serapan yang didapat, yaitu ε maks pada panjang gelombang 665,5 nm dengan absorbansi sebesar 0,543. Hal ini Hal ini berarti, pada sampel batang pisang kepok dengan pelarut etanol hanya sedikit mengandung zat warna alam. Kemungkinan yang terdapat dalam ekstrak etanol adalah senyawa-senyawa polar yang tidak berwarna.

Transisi pada panjang gelombang 608,0 nm menunjukkan pergeseran bathokromik, yaitu pergeseran serapan ke arah panjang gelombang

yang lebih panjang, akibat substitusi atau pengaruh pelarut (Sastrohamidjoyo, 1991).

Pada batang pisang susu, hasil analisisnya dengan pelarut etanol memberikan dua serapan yaitu pada panjang gelombang 536,0 nm dan pada panjang gelombang 612,0 nm. Serapan maksimum (ε maks) ditunjukkan pada panjang gelombang 536,0 nm dengan absorbansi 0,480, sedangkan serapan yang landai diberikan pada panjang gelombang 612,0 nm dengan absorbansi sebesar 0,163.

Serapan pada panjang gelombang 536,0 nm diduga merupakan absorbsi cahaya oleh senyawa pada panjang gelombang cahaya warna hijau. Hal ini mungkin terjadi karena senyawa yang berwarna coklat tua akan menyerap cahaya komplementernya, yaitu cahaya warna violet/ungu pada panjang gelombang 495-570 nm (Sastrohamidjoyo, 1991).

Dari spektrum pisang susu yang didapat pada pelarut etanol yang berada pada rentang panjang gelombang 500-700 nm menunjukkan dalam sampel tersebut mengandung zat warna. Hal ini sesuai literatur senyawa-senyawa berwarna dalam analisis UV-VIS berada pada rentang 400-700 nm (Sastrohamidjoyo, 1991).

Dilihat dari serapan yang didapat, yaitu ε maks pada panjang gelombang 536,0 nm yang memberikan absorbansi sebesar 0,480. Hal ini Hal ini berarti, pada sampel batang pisang kepok dengan pelarut etanol hanya sedikit mengandung zat warna alam. Kemungkinan yang terdapat dalam ekstrak etanol adalah senyawa-senyawa polar yang tidak berwarna.

Transisi pada panjang gelombang 536,0 nm menunjukkan pergeseran hypsokromik, yaitu pergeseran serapan ke arah panjang gelombang yang lebih pendek, akibat substitusi atau pengaruh pelarut (Sastrohamidjoyo, 1991).

Identifikasi zat warna dengan Spektrofotometri UV-Vis dari ekstrak batang pisang kepok dan batang pisang susu pada pelarut aseton

Spektrum serapan UV-VIS dari ekstrak batang pisang kepok dengan pelarut aseton memberikan dua pita serapan yaitu pada panjang gelombang 664,5 nm dan 607,0 nm. Serapan maksimum (ε maks) ditunjukkan pada panjang gelombang 664,5 nm dengan absorbansi 0,671

sedangkan serapan yang landai diberikan pada panajng gelombang 607,0 nm dengan absorbansi sebesar 0,248.

Dari spektrum pisang kepok yang didapat pada pelarut aseton pada rentang panjang gelombang 600-700 nm menunjukkan dalam sampel tersebut mengandung zat warna. Hal ini sesuai literatur senyawa-senyawa berwarna dalam analisis UV-VIS berada pada rentang 400700 nm (Sastrohamidjoyo, 1991).

Serapan pada panjang gelombang 664,5 nm diduga merupakan absorbsi cahaya oleh senyawa pada panjang gelombang cahaya warna merah . Hal ini mungkin terjadi karena senyawa yang berwarna coklat muda akan menyerap cahaya komplementernya, yaitu cahaya warna biru-hijau pada panjang gelombang 620-750 nm (Sastrohamidjoyo, 1991).

Dilihat dari serapan yang didapat, yaitu ε maks pada panjang gelombang 664,5 nm yang memberikan absorbansi sebesar 0,671. Hal ini menunjukkan pada sampel batang pisang kepok dengan pelarut aseton relatif banyak mengandung zat warna alam.

Transisi pada panjang gelombang 607,0 nm menunjukkan pergeseran bathokromik, yaitu pergeseran serapan ke arah panjang gelombang yang lebih panjang, akibat substitusi atau pengaruh pelarut (Sastrohamidjoyo, 1991).

Pada batang pisang susu, hasil analisisnya dengan pelarut aseton memberikan dua serapan yaitu pada panjang gelombang 535,5 nm dan pada panjang gelombang 632,5 nm. Serapan maksimum (ε maks) ditunjukkan pada panjang gelombang 535,5 nm dengan absorbansi 0,553, sedangkan serapan yang landai diberikan pada panjang gelombang 632,5 nm dengan absorbansi sebesar 0,497.

Serapan pada panjang gelombang 535,5 nm diduga merupakan absorbsi cahaya oleh senyawa pada panjang gelombang cahaya warna hijau. Hal ini mungkin terjadi karena senyawa yang berwarna coklat muda akan menyerap cahaya komplementernya, yaitu cahaya warna violet/ungu pada panjang gelombang (Sastrohamidjoyo, 1991).

Dari spektrum pisang susu yang didapat pada pelarut aseton pada rentang panjang gelombang 500-600 menunjukkan dalam sampel tersebut mengandung zat warna. Hal ini sesuai

literatur senyawa-senyawa berwarna dalam analisis UV-VIS berada pada rentang 400-700 nm (Sastrohamidjoyo, 1991).

Dilihat dari serapan yang didapat, yaitu ε maks pada panjang gelombang 664,5 nm yang memberikan absorbansi sebesar 0,671. Hal ini menunjukkan pada sampel batang pisang kepok dengan pelarut aseton relatif banyak mengandung zat warna alam. Kemungkinan yang terdapat dalam ekstrak aseton adalah senyawa-senyawa semi polar yang tidak berwarna.

Transisi pada panjang gelombang 535,0 nm menunjukkan pergeseran hypsokromik, yaitu pergeseran serapan ke arah panjang gelombang yang lebih pendek, akibat substitusi atau pengaruh pelarut (Sastrohamidjoyo, 1991).

Identifikasi zat warna dengan Spektrofotometri UV-Vis dari ekstrak batang pisang kepok dan batang pisang susu pada pelarut n-heksana

Spektrum serapan UV-Vis dari ekstrak batang pisang kepok dengan pelarut n-heksana memberikan dua pita serapan yaitu pada panjang gelombang 605,0 nm dan 670,0 nm. Serapan maksimum (ε maks) ditunjukkan pada panjang gelombang 670,0 nm dengan absorbansi 0,992, sedangkan serapan yang landai diberikan pada panjang gelombang 605,0 nm dengan absorbansi sebesar 0,280.

Serapan pada panjang gelombang 670,0 nm merupakan absorbsi cahaya oleh ekstrak pada panjang gelombang cahaya warna merah. Hal ini terjadi karena ekstrak yang berwarna kuning akan menyerap cahaya komplementernya, yaitu cahaya warna biru-hijau pada panjang gelombang 620-750 nm (Sastrohamidjoyo, 1991).

Dari spektrum pisang kepok yang didapat dengan pelarut n-heksana panjang gelombangnya berada rentang 600-700 nm, dimana ini menunjukkan dalam sampel tersebut mengandung zat warna alam. Hal ini sesuai literatur senyawa-senyawa berwarna dalam analisis UV-Vis berada pada rentang 400-700 nm (Sastrohamidjoyo, 1991).

Dilihat dari serapan yang didapat, yaitu memberikan absorbansi sebesar 0,992 hal ini menunjukkan serapan yang paling bagus karena

absorbansinya mendekati 1,000. Ekstraksi zat warna alam dengan menggunakan pelarut n-heksana pada sampel batang pisang kepok menunjukkan pelarut n-heksana yang bersifat non-polar memiliki kemampuan untuk megikat gugus nonpolar (OH) yang ada pada zat warna flavonoid dan tanin (Anonim, 2009).

Transisi pada panjang gelombang 605,0 nm menunjukkan pergeseran bathokromik, yaitu pergeseran serapan ke arah panjang gelombang yang lebih panjang, akibat substitusi atau pengaruh pelarut (Sastrohamidjoyo, 1991).

Pada sampel batang pisang susu, spektrum serapan UV-Vis dengan pelarut n-heksana memberikan dua pita serapan yaitu pada panjang gelombang 669,5 nm dan 609,0 nm. Serapan maksimum (ε maks) ditunjukkan pada panjang gelombang 669,5 nm dengan absorbansi 0,905, sedangkan serapan yang landai diberikan pada panjang gelombang 609,0 nm dengan absorbansi sebesar 0,238.

Serapan pada panjang gelombang 669,5,0 nm merupakan absorbsi cahaya oleh ekstrak pada panjang gelombang cahaya warna merah. Hal ini terjadi karena ekstrak yang berwarna kuning akan menyerap cahaya komplementernya, yaitu cahaya warna biru-hijau pada panjang gelombang 620-750 nm (Sastrohamidjoyo, 1991).

Dari spektrum pisang susu yang didapat dengan pelarut n-heksana panjang gelombangnya berada rentang 600-700 nm, dimana ini menunjukkan dalam sampel tersebut mengandung zat warna alam. Hal ini sesuai literatur senyawa-senyawa berwarna dalam analisis UV-VIS berada pada rentang 400-700 nm (Sastrohamidjoyo, 1991).

Serapan yang didapat pada sampel batang pisang susu termasuk tinggi, yaitu absorbansinya sebesar 0,905 nm. Tingginya absorbansi yang didapat pada sampel batang pisang kepok dengan menggunakan pelarut n-heksana menunjukkan pelarut n-heksana yang bersifat non-polar memiliki kemampuan untuk megikat gugus nonpolar (OH) yang ada pada zat warna flavonoid dan tanin (Anonim, 2009).

Transisi pada panjang gelombang 609,0 nm menunjukkan pergeseran bathokromik, yaitu pergeseran serapan ke arah panjang gelombang

yang lebih panjang, akibat substitusi atau pengaruh pelarut (Sastrohamidjoyo, 1991).

Perbandingan Penggunaan Pelarut Dalam Ekstraksi Zat Warna Alam

Dari keempat pelarut yang digunakan dalam ekstrak zat warna alam yaitu pelarut air, aseton, etanol, dan n-heksana maka dapat dibandingkan berdasarkan rendemen dan kepolaran pelarutnya.

Berdasarkan rendemennya, pada batang pisang kepok rendemen tertinggi terdapat dalam ekstrak pelarut air yaitu sebesar 36,84 % dan rendemen terendah terdapat dalam ekstrak pelarut n-heksana yaitu 0,84 %. Sama halnya seperti pisang kepok, pada batang pisang susu rendemen tertinggi juga terdapat dalam ekstrak pelarut air yaitu sebesar 28,52 % dan rendemen terendah juga terdapat dalam ekstrak pelarut n-heksana yaitu 0,68 %. Perbedaan rendemen antara batang pisang kepok dengan batang pisang susu kemungkinan disebabkan oleh perbedaan komposisi kandungan penyusun antara batang pisang kepok dan batak pisang susu. Tingginya rendemen yang dihasilkan dengan pelarut air menandakan pelarut air menarik zat warna alam lebih banyak dibandingkan dengan pelarut lainnya, hal ini didukung dengan literatur (Murniwati, I., 2009) bahwa adanya sifat polaritas dan mudah terionisasi pada air, maka air dapat berinteraksi dan melarutkan banyak senyawa kimia.

Dilihat dari rendemen yang dihasilkan dimana pelarut air menghasilkan rendemen tertinggi diikuti pelarut etanol, aseton dan rendemen terendah n-heksana, ini sesuai dengan kepolaran pelarutnya. Hal ini didukung dengn literatur (Anonim, 2009) bahwa pelarut akan mempengaruhi jumlah rendemen yang dihasilkan dari proses ekstraksi. Besarnya rendemen yang dihasilkan tergantung pada daya ekstrak pelarut.

Rendemen tertinggi dihasilkan oleh pelarut air diikuti dengan pelarut etanol. Dimana air dan etanol merupakan pelarut polar, hal ini sesuai dengan literatur bahwa pelarut yang mempunyai gugus hidroksil (OH) termasuk dalam pelarut polar. Besarnya rendemen juga disebabkan pelarut air yang bersifat polar dapat mengekstrak zat warna yang bersifat polar

sehingga ekstrak air memiliki rendemen ekstraksi paling besar.

Rendemen tertinggi kedua yaitu rendemen dengan pelarut etanol. Etanol merupakan pelarut polar dimana etanol larut dalam air dan pelarut organik lainnya sehingga dapat melarutkan komponen yang mudah larut dalam air. Sifat-sifat fisika etanol utamanya dipengaruhi oleh keberadaan gugus hidroksil dan pendeknya rantai karbon etanol. Gugus hidroksil pada etanol dapat berpartisipasi ke dalam ikatan hidrogen, sehingga membuatnya cair dan lebih sulit menguap dari pada senyawa organik lainnya dengan massa molekul yang sama.

Rendemen selanjutnya adalah rendemen yang lebih rendah daripada pelarut air dan etanol yaitu rendemen dengan pelarut aseton. Aseton tergolong pelarut semi polar. Oleh karena polaritas aseton yang menengah, sehingga pelarut aseton dapat melarutkan berbagai macam senyawa.

Rendemen yang paling rendah dihasilkan oleh pelarut n-heksana.             n-

heksana merupakan jenis pelarut non polar, rendahnya rendemen disebabkan pelarut n-heksana memiliki daya ekstrak pelarut yang kecil dalam proses ekstraksi.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

  • 1.    Rendemen ekstrak dari batang pisang kepok yaitu 36,84% (ekstrak air), 12,67% (ekstrak etanol), 4,92% (ekstrak aseton), dan 0,84 % (ekstrak n-heksana), sedangkan Rendemen ekstrak dari batang pisang susu dari yang tertinggi sampai terendah secara berturut-turut yaitu yaitu 28,52 %(ekstrak air), 13,24%(ekstrak etanol), 5,68 %(ekstrak aseton), dan 0,68%(ekstrak n-heksana).

  • 2.    Zat warna flavonoid dan tanin terdapat pada masing masing ekstrak pelarut baik dari batang pisang kepok maupun batang pisang susu, kecuali zat warna tanin tidak terdapat dalam ekstrak pelarut air.

  • 3.    Dari keempat pelarut yang digunakan untuk ekstraksi zat warna alam, pelarut n-heksana memberikan serapan maksimum yang paling besar dibandingkan dengan pelarut lainnya baik pada pisang kepok maupun pada pisang susu yaitu dihasilkan absorbansi pada pisang kepok sebesar 0,992 pada panjang gelombang 607,0 nm dan pada pisang susu dihasilkan absorbansi sebesar 0,905 pada panjang gelombang 669,5 nm.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang dipeoleh, maka dapat disarankan :

  • 1.    Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap bagian lain dari tanaman pisang sehingga juga dapat digunakan sebagai alternatif zat warna alam.

  • 2.    Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengaplikasikan zat warna alam dari batang pisang kepok dengan menggunakan pelarut non polar lainnya.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu sehingga tulisan ini dapat terselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, S.,  2008, Pisang Budi Daya,

Pengolahan, dan Prospek Pasar, Niaga Swadaya, Jakarta.

Alfinda, N., Nanik S., Mulyadi T., dan Bambang K., 2008, Buku Ajar Fitokimia, Jurusan Kimia Laboratorium Kimia Organik, Fakultas Matematika   dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Airlangga, Surabaya

Anonim, 2006, Kasiat Buah Pisang, http://www.pdpersi.co.id/pengobatan-tra disional/, 13 Desember 2008

Anonim, 1997, Arsitektur Tradisional Dan Tenunan Geringsing Desa Tenganan Bali, Direktorat Permuseuman, Jakarta

Anonim, 2008, Macam-macam pisang Musa sp. (Latin), http://www.pisang.co.id/ tanaman/buah/p.htm, 16 Oktober 2008

Anonim, 2009, Pelarut, http:/en.wikipedia.org., 19 Mei 2009

Anwar Nur, M. Dan Hendra Adijuana, 1989, Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor, Bogor

Astawan, M., 2008, Pisang Sebagai Buah Kehidupan, http://lovemelz.wordpress. com/2008/10/page/3, 15 Oktober 2008

Bambang Pontjo Priosoeryanto, 2006, Aktifitas Getah Pohon Pisang Dalam Proses Persembuhan Luka dan Efek Kosmetiknya Pada Hewan, LPPM IPB, Bogor

Durrans, 1993, Solvent. D.Van Nostrand Co.Inc, New York

Fessenden, R. J and Fessenden, J. S., 1994, Organic   Chemistry,   4th ed, a.b.

Pudjatmaka, H., Gramedia, Jakarta

Fitrihana, N., 2007, Teknik Eksplorasi Zat Pewarna Alam Dari Tanaman Di Sekitar Kita Untuk Pencelupan Bahan Tekstil, http://www.batikyogya.wordpress.com/2 007/08/02/Teknik-Eksplorasi-Zat-Pew arna-Alam-Dari-Tanaman-Di-Sekitar -Kita-Untuk-Pencelupan-Bahan-Tekst il, 2 November 2008

Fitrihana, N., 2007, Sekilas Tentang Zat Warna Alam Untuk Tekstil, http://batikyogya. wordpress.com/2007/08/16/sekilas-tenta ng-zat-warna-alam-untuk-tekstil/, 11 November 2008

Hagermae, A. E., 2002. Tannin Chemistry, http://www.users.muohio.edu/hagermae/ tannin.pdf, 11 November 2008

Harborne, J B., 1987, Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan, Terbitan ke-2, a.b. Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro, ITB, Bandung.

Hardjono Sastrohamidjoyo, 1985, Dasar-Dasar Spektroskopi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Markham, K.R., 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, a.b. Kosasih Padmawinata, ITB, Bandung

Mulja,M., dan Syahrani,A., 1990, Aplikasi Analisis Spektrofotometri    UV-Vis,

Mecphiso, Surabaya.

Murniwati, Ita, 2004, Pengaruh Ukuran Bahan Baku dan Suhu Ekstraksi Terhadap Mutu Oleoresindari Ampas Penyulingan Pala, Fakultas Pertanian, Banda Aceh

Pararaja, A., 2008, Mengenal Kimia Zat Warna (Colorant), http://smk3ae.wordpress. com/2008/08/12/mengenal-kimia-zat-warna-colorant/, 11 November 2008

Rahayu Putu, 2004, Penentuan Kadar Seng (Zn) Pada Batang Berbagai Jenis Pisang,

Skripsi,   Jurusan Kimia FMIPA

Universitas Udayana, Bukit Jimbaran

Robinson, T., 1991, The Organic Constituens of Higher Plants, 6th Ed., a.b. Kosasih Padmawinata, Penerbit ITB, Bandung

Robinson, T.,  1995, Kandungan Organik

Tumbuhan Tinggi, Edisi Kedua, ITB, Bandung

Suntoro, H. S., 1983, Metode Pewarnaan (Histologi dan Histokimia), Bharatara Karya Aksara, Jakarta

Suradikusumah, E., 1989, Kimia Tumbuhan, Penerbit IPB, Bogor.

Manfaat, n.d. Ragam Faedah. [Online]

Available at: http://ragamfaedah.blogspot.com [Accessed 01 05 2017].

Yulyastuti, Ni W., 2002, Pembuatan Etanol Dari Beberapa Jenis Kulit Buah Pisang, Skripsi, Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran.

80