JURNAL KIMIA 9 (1), JANUARI 2015: 98-104

PENGOLAHAN LARUTAN DETERJEN DENGAN BIOFILTER TANAMAN KANGKUNGAN (IPOMOEA CRASSICAULIS) DALAM SISTEM BATCH (CURAH) TERAERASI

Ni G. A. M Dwi Adhi Suastuti, I Wayan Suarsa, dan Dwi Kurnia Putra R.*

Jurusan Kimia FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran, Bali

*Email : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan biofilter tanaman kangkungan (Ipomoea crassicaulis) dalam proses pengolahan larutan deterjen menggunakan sistem batch (curah) ter-aerasi. Unit pengolahan dikondisikan dalam sebuah wadah styrofoam yang dilengkapi dengan sistem aerasi. Sebanyak 24 L larutan deterjen ditambahkan dalam unit pengolahan yang ditanami 5 buah tanaman kangkungan. Sebagai pembanding (kontrol) disediakan unit pengolahan dengan sistem aerasi tanpa penambahan tanaman kangkungan dengan jumlah larutan deterjen yang sama. Pengamatan dilakukan terhadap kemampuan kangkungan dalam menurunkan kandungan bahan-bahan pencemar yang terukur dalam kadar surfaktan dan fosfat dengan waktu pengolahan selama 30 hari. Hasil pengamatan setelah 30 hari menunjukkan persentase penurunan kadar surfaktan dan fosfat berturut-turut sebesar 97,76%; dan 90,77%. Hasil ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol untuk parameter yang sama secara berturut-turut sebesar 50,79%, dan 51,53%.

Kata kunci : Biofilter, Ipomoea crassicaulis, surfaktan, fosfat, larutan deterjen

ABSTRACT

This study was aimed to determine the ability of kangkungan plant (Ipomoea crassicaulis) as a biofilter in the treatment process of detergent solution with the use of an aerated batch system (bulk). The processing units were conditioned in a Styrofoam container equipped with an aeration system. A total of 24 L detergent solution and 5 kangkungan plants were applied in the units. As a comparison, a control unit containing the same solution without the addition of kangkungan plants was also carried out. Investigations of the ability of kangkungan in reducing the content of the pollutants which were measured as COD value, surfactant and phosphate levels were run within 30 days of observations. After 30 days it was found that there was a decrease in surfactant and phosphate levels, which were 97.76%; and 90.77%, respectively while the control showed a decrease of 50.79% and 51.53%, respectively.

Keywords : Biofilter, Ipomoea crassicaulis, surfactant, phosphate, detergent solution.

PENDAHULUAN

Limbah deterjen merupakan salah satu limbah yang banyak mencemari badan perairan dan sumber utama dari limbah deterjen ini berasal dari aktivitas rumah tangga. Hal ini dikarenakan peran deterjen dalam kegiatan rumah tangga sangat beragam, selain digunakan untuk mencuci pakaian, deterjen juga digunakan untuk mencuci peralatan rumah tangga. Limbah atau sisa pemakaian deterjen yang masuk ke lingkungan perairan akan

mempengaruhi kualitas perairan dan akan berpengaruh terhadap keadaan ekosistem di perairan tersebut (Sa’adah, 2009). Pencemaran air oleh deterjen diakibatkan dari bahan utama penyusun deterjen tersebut yaitu Natrium Dodecyl Benzen Sulfonat (NaDBS) dan Sodium Tripolyphospat (STPP) dimana kedua bahan tersebut sulit untuk didegradasi secara alamiah (Sumarno dkk., 1996). Menurut Nida (2008) selain NaDBS dan STPP, pencemaran deterjen di perairan juga disebabkan oleh adanya kandungan

surfaktan dalam deterjen seperti alkil benzen sulfonat (ABS) dan linear alkil sulfonat (LAS). Surfaktan yang terakumulasi di perairan akan mengakibatkan difusi oksigen dari udara akan berlangsung lambat, sehingga oksigen yang terlarut dalam air menjadi sedikit (Hyness, 1974 dalam Nurmaryani, 2003). Dampak lain dari adanya deterjen di perairan yaitu terjadinya eutrofikasi oleh karena adanya senyawa fosfat dari deterjen yang menyebabkan tanaman perairan menjadi subur dan pertumbuhan alga menjadi meningkat melebihi batas normal atau biasa disebut dengan blooming.

Upaya pengolahan limbah deterjen dapat dilakukan dengan berbagai metode baik secara fisik, kimia maupun biologis. Secara fisik pengolahan limbah deterjen dapat dilakukan dengan cara adsorpsi menggunakan adsorben. Contoh pengolahan limbah deterjen secara kimia adalah menggunakan pereaksi kimia untuk mengendapkan limbah deterjen tersebut. Metode pengolahan limbah deterjen secara biologis dapat dilakukan dengan menggunakan biofilter dimana tanaman air digunakan sebagai medianya. Metode ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam mengolaha air limbah karena efisien dalam menurunkan senyawa organik dengan biaya yang relatif murah (Momon dan Meilani, 1997 dalam Hermawati, 2005). Biofilter merupakan salah satu cara dalam pengolahan limbah cair dengan menggunakan tanaman yang memiliki kelompok mikroorganisme rhizosfer. Mikroorganisme rhizosfer merupakan kelompok mikroba yang hidup bersimbiosis di sekitar akar tanaman, baik tanaman pada habitat tanah atau air, yang kehadirannya secara khas tergantung pada akar tersebut. Mikroba rhizosfer ini memiliki kemampuan untuk melakukan penguraian terhadap benda-benda organik ataupun benda anorganik yang terdapat pada limbah (Waluyo, 2005).

Penelitian yang menggunakan biofilter dalam mengolah limbah telah banyak dilakukan, antara lain Hermawati (2005) yang melakukan pengolahan limbah deterjen menggunakan tanaman kayu apus dan genjer, hasil yang didapatkan biofilter ini mampu untuk menurunkan kadar deterjen dalam limbah laundry. Selain itu Safitri (2009) juga melakukan penelitian menggunakan biofilter tanaman kayu apus dan tanaman kiambang dalam mengolah greywater dan

hasil yang didapatkan menunjukkan biofilter tanaman kayu apus dan tanaman kiambang dapat menurunkan kadar COD, fosfor dan nitrat dalam greywater.

Berdasarkan penelitian yang tersebut, maka pada penelitian ini digunakan metode biofilter dalam mengolah limbah deterjen, namun untuk tanaman yang digunakan pada penelitian kali ini adalah tanaman kangkungan. Tanaman kangkungan (Ipomoea crassicaulis) merupakan tanaman tropis yang memiliki ciri-ciri yaitu berupa semak tinggi 2 m atau lebih tumbuh ke atas dalam posisi menghadap matahari, daun hijau berbentuk waru, bunga berwarna ungu pucat atau ros dengan bentuk tabung atau corong. Tanaman kangkungan ini biasanya tumbuh disepanjang tepi sungai, tanah yang lembab atau pinggiran jalan, terkadang tanaman ini juga biasa digunakan sebagai tanaman hias (van Stenis, 1992). Tanaman kangkungan dipilih sebagai media dalam penelitian kali ini karena tanaman kangkungan (Ipomoea crassicaulis) menurut penelitian yang dilakukan oleh Nailufari (2008) menunjukkan bahwa tanaman kangkungan dapat menurunkan kadar bahan-bahan pencemar pada limbah pencelupan tekstil seperti pH, BOD, COD, TSS, amonia total dan sulfida. Tanaman kangkungan ini juga memiliki keunggulan yaitu tanaman kangkungan mudah tumbuh secara liar sehingga mudah untuk didapatkan dan tanaman ini juga dapat bertahan hidup pada kondisi yang tercema.

MATERI DAN METODE

Bahan

Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah air limbah domestik, tanaman kangkungan (Ipomoea crassicaulis), kotak styrofoam sebanyak tiga buah yang masing-masing berukuran 47,5 x 32,5 x 29 cm, alas plastik berukuran 50 x 35 x 40 cm sebanyak tiga buah, batu koral sebagai media akar, akuades, NaOH, indikator fenolftalein, metilen biru, (CH3)2CHOH, HgSO4, Na2HPO4, amonium molybdat, amonium metavanadat dan asam askorbat.

Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah aerator sebanyak tiga buah, labu refluks,

timbangan analitik, erlenmeyer 250 mL; 500 mL, gelas ukur 100 mL; 250 mL, gelas beker 2 L, pH meter, termometer, spektrofotometer UV-Vis, buret, pipet tetes, pipet volume 3 mL; 5 mL; 10 mL; dan 25 mL, botol semprot, bola hisap, corong pisah, labu ukur 100 mL dan 1000 mL, batang pengaduk, corong gelas.

Susunan Sistem Biofilter Tanaman Teraerasi

Unit pengolahan biofiltrasi tanaman dibuat dari kotak styrofoam dengan ukuran panjang, lebar dan tinggi masing-masing sebesar 47,5 x 32,5 x 29 cm. Pada bagian dalam kotak styrofoam dilapisi dengan plastik agar air limbah tidak meresap ke dalam styrofoam. Ke dalam kotak styrofoam dimasukkan batu koral sampai memenuhi dasar kotak, selanjutnya sampel air limbah dimasukkan ke dalam kotak sebanyak 22 L. Pada kotak yang berisi air limbah tersebut ditanam tanaman Ipomoea carssicaulis dengan posisi berjejer sebanyak lima tanaman. Agar tanaman dapat tumbuh dengan baik dan berdiri tegak, tanaman diposisikan berdiri dengan memakai penyangga kayu yang dikaitkan dengan tali pada sisi kanan dan kiri kotak styrofoam. Kemudian sampel air limbah di dalam kotak tersebut diaerasi menggunakan aerator. Gambar sistem biofilter tanaman, disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Sistem biofilter tanaman Kangkungan

Cara Kerja

Penyediaan Bahan Penelitian

Sampel air limbah deterjen dibuat dengan melarutkan 25 gram deterjen bubuk ke dalam 12 liter air, kemudian diaduk hingga deterjen larut dalam air. Sampel air limbah deterjen dibuat dalam jumlah yang mencukupi untuk pengerjaan

penelitian. Jerigen-jerigen plastik berkapasitas 30 liter disiapkan dengan dicuci terlebih dahulu dengan sampel air limbah deterjen yang telah dibuat kemudian sampel air limbah deterjen tersebut dimasukkan ke dalam jerigen-jerigen plastik yang telah disiapkan. Sampel air limbah deterjen kemudian dibawa ke laboratorium untuk dilakukan analisis terhadap nilai COD, kadar surfaktan (LAS) dan fosfat pada air limbah tersebut.

Tanaman yang akan digunakan dalam proses pengolahan limbah adalah tanaman kangkungan (Ipomoea crassicaulis) yang diambil dari tepian sungai Badung, Kuta. Tanaman ini diperbanyak dengan cara stek batang yaitu dengan dipotong bagian batang tanaman sepanjang ± 40 cm, lalu ditanam di pot tanaman dan polybag selama 2 bulan untuk menumbuhkan akar tanaman tersebut.

Pengolahan Limbah Sistem Biofilter Tanaman Teraerasi

Disiapkan tiga kotak styrofoam yang masing-masing kotak diisi dengan sampel air limbah deterjen sebanyak 24 liter. Kotak pertama diaerasi dan digunakan sebagai kontrol. Untuk kotak yang kedua dan ketiga diberi batu koral pada dasar kotak dan diisi dengan sampel air limbah, kemudian ditambahkan tanaman Ipomoea crassicaulis sebanyak lima buah dengan ditopang penyangga dari kayu yang diikat dengan tali pada bagian tepi kotak lalu diaerasi. Untuk menjaga agar tanaman tetap hidup, maka tanaman diadaptasikan terlebih dahulu selama tiga hari. Setelah sepuluh hari, sampel air limbah diambil dari masing-masing kotak untuk dianalisis nilai COD, kadar surfaktan (LAS) dan fosfat. Hal yang sama juga dilakukan setiap rentang waktu 10 hari yaitu pada hari ke-20 dan hari ke-30. Interval waktu 10 hari ini dianggap penurunan nilai COD, kadar surfaktan (LAS) dan fosfat lebih maksimal. Penentuan Kadar Deterjen (LAS)

Sampel/standar sebanyak 50 mL dimasukkan ke dalam corong pisah yang telah disiapkan. Standar/sampel ditetesi dengan larutan NaOH 1 N agar standar/sampel berada dalam suasana basa yang diuji dengan indikator fenolftalein. Warna merah muda yang terbentuk dihilangkan dengan diteteskan larutan H2SO4 1 N secara hati-hati hingga warna merah muda tepat hilang.

Selanjutnya sebanyak 10 mL CHCl3 dan 25,0 mL reagen metilen biru ditambahkan ke dalam corong pisah kemudian campuran dikocok selama 30 detik. Ditambahkan beberapa mL (<10 mL) isopropil alkohol untuk mengurangi terjadinya emulsi. Campuran didiamkan sampai terbentuk 2 lapisan. Lapisan CHCl3 dipisahkan dan dimasukkan ke dalam corong pisah lainnya. Ekstraksi CHCl3 diulangi sebanyak dua kali dengan menambahkan 10 mL CHCl3 pada tiap ekstraksi.

Ektrak CHCl3 yang terkumpul pada corong pisah kedua kemudian ditambahkan dengan 50 mL larutan isopropil alkohol/(CH3)2CHOH dan dikocok selama 30 detik. Proses ekstraksi dilakukan pengulangan sebanyak dua kali dengan masing-masing ditambah 10 mL CHCl3. Lapisan CHCl3 dipisahkan dan dimasukkan ke dalam labu ukur 50 mL, kemudian dilakukan pengenceran hingga tanda batas. Selanjutnya dilakukan pembacaan serapan dari lapisan CHCl3 yang telah diencerkan dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 652 nm dan hal yang sama juga dilakukan pada blanko (Lenore, 1998).

Penentuan Kadar Fosfat

Sampel air deterjen diambil sebanyak 10 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan dengan reagen molybdat-vanadat sebanyak 1 mL serta ditambahkan dengan sedikit asam askorbat lalu diaduk hingga homogen dan dipanaskan kira-kira selama 15 menit. Selanjutnya campuran tersebut dimasukkan ke dalam kuvet sebanyak ¾ bagian dari volume kuvet dan diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 650 nm.

Persentase Laju Penurunan Parameter Pengamatan

Untuk mengetahui persentase penurunan parameter pengamatan dilakukan perhitungan mengenai % penurunan dari masing-masing parameter pengamatan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan biofilter tanaman kangkungan (Ipomoea crassicaulis) dalam menurunkan kadar surfaktan (LAS) dan fosfat dengan menggunakan rumus :

(A-B)

% Penurunan = -——- x 100% A

Keterangan :

A = kadar LAS awal (pada hari ke- 0), kadar fosfat awal (pada hari ke-0)

B = kadar LAS akhir, kadar fosfat akhi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Awal Sampel Air Deterjen

Keadaan sampel air limbah secara fisik dapat diidentifikasikan yaitu keruh dan timbul banyak buih. Hasil analisis awal yang dilakukan terhadap sampel air limbah berdasarkan parameter penelitian yaitu kadar surfaktan dan fosfat ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Analisis awal air deterjen

No Parameter Hasil Analisis

  • 1   Surfaktan LAS      286,28 mg/L

  • 2    Fosfat              277,74 mg/L

Perubahan Kadar Surfaktan LAS Selama Proses Pengolahan

Surfaktan merupakan salah satu bahan utama penyusun deterjen, dimana surfaktan ini dapat menimbulkan buih pada air dan membentuk lapisan yang menghambat proses transfer oksigen dari udara ke dalam air (Hyness, 1974). Hasil pengolahan sampel air deterjen terhadap kadar surfaktan yang terkandung dalam sampel air deterjen ditampilkan pada Tabel 2 sebagai berikut :

Tabel 2. Kadar surfaktan selama proses

pengolahan

Waktu (Jam)

Konsentrasi Surfaktan LAS (mg/L)

Perlakuan

Kontrol

Awal

286,28

286,28

10

58,23

267,98

20

34,3

70,43

30

6,4

60,67

Tabel 2 menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar surfaktan dalam sampel larutan deterjen selama proses pengolahan, dimana kadar surfaktan setelah proses pengolahan selama 30 hari turun menjadi 6,4 mg/L, konsentrasi ini sangat kecil bila dibandingkan dengan besar konsentrasi surfaktan pada kontrol yaitu sebesar 60,67 mg/L. Perbedaan konsentrasi yang besar tersebut menunjukkan bahwa biofilter tanaman kangkungan

efektif dalam menurunkan kadar deterjen dalam sampel air deterjen. Penurunan kadar surfaktan LAS pada sampel air limbah dapat dilihat pada Gambar 2.


Waktu (Hari)


Kont


rol


Gambar 2. Grafik kadar surfaktan LAS selama proses pengolahan

Penurunan kadar surfaktan terjadi disebabkan adanya simbiosis mikroba rhizosfer pada akar tanaman kangkungan (Ipomoea crassicaulis) yang merombak surfaktan yang terkandung dalam sampel air deterjen sehingga dapat diserap oleh akar tanaman kangkungan (Waluyo, 2005). Proses perombakan surfaktan oleh mikroba terjadi dalam tiga tahap yaitu pertama adanya proses oksidasi gugus alkil yang terletak di ujung rantai alkil membentuk intermediete berupa alkohol dan proses oksidasi ini terjadi hingga rantai alkil hanya memiliki 4-5 atom karbon (Simoni, 1996). Tahapan selanjutnya yaitu proses desulfonasi yaitu proses penghilangan gugus sulfonat yang dikatalisis oleh sistem enzim kompleks, koenzim NAD(P)H dan oksigen sehingga terbentuk hidroksi fenolik pada cincin aromatik. Tahapan yang terkahir yaitu pemecahan/ pembukaan cincin benzena melalui jalur orto atau meta (Bhatnagar, 1991). Hasil perombakan dari surfaktan inilah yang selanjutnya akan diserap oleh akar tanaman kangkungan.

Persentase Penurunan Kadar Surfaktan LAS

Persentase penurunan kadar surfaktan LAS dalam sampel larutan deterjen selama proses pengolahan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Persentase penurunan kadar surfaktan LAS

Waktu

Persentase Penurunan Kadar

(Jam)

Surfaktan LAS (%)

Pengamatan

Pengamatan

10

79,66

10

20

88,02

20

30

97,76

30


Tabel 3 menunjukkan bahwa setelah dilakukan pengolahan selama 30 hari terjadi penurunan kadar surfaktan pada larutan deterjen sebesar 97,76 %, sedangkan untuk kontrol sebesar 50,79 %.

Perubahan Kadar Fosfat Selama Proses Pengolahan

Larutan deterjen selain terkandung bahan aktif surfaktan juga mengandung bahan utama lainnya yaitu fosfat. Fosfat dalam deterjen ini berfungsi sebagai builder dalam deterjen. Kandungan fosfat dalam setiap produk deterjen berbeda-beda bahkan terdapat produk deterjen yang tidak mengandung fosfat. Hasil pengolahan limbah air deterjen terhadap kadar fosfat disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 3. Persentase penurunan kadar surfaktan LAS

Waktu (Jam)

Konsentrasi Fosfat (Mg/L)

Pengamatan

Pengamatan

Awal

277,74

277,74

10

81,19

210,68

20

65,38

144,02

30

25,64

134,62

Gambar 4. Grafik penurunan kadar fosfat selama proses pengolahan

Tabel 4 menunjukkan setelah dilakukan pengolahan dengan biofilter tanaman kangkungan, kadar fosfat dalam sampel larutan deterjen mengalami penurunan dari konsentrasi awal sebesar 277,74 mg/L menjadi 25,64 mg/L sedangkan untuk kontrol menjadi 134,62 mg/L. Penurunan kadar fosfat dalam sampel larutan deterjen dapat lihat pada Gambar 3.

Penurunan kadar fosfat selama proses pengolahan disebabkan oleh adanya aktivitas mikroba rhizosfer pada akar tanaman kangkungan yang merombak senyawa ortofosfat yang merupakan builder pada deterjen menghasilkan senyawa fosfat sederhana yang selanjutnya akan diserap oleh akar tanaman kangkungan sebagai nutrisi bagi tanaman kangkungan melakukan fotosintesis. Penurunan kadar fosfat pada sampel larutan deterjen sejalan dengan terjadinya penurunan nilai COD pada sampel larutan deterjen yang dikarenakan senyawa fosfat merupakan salah satu bahan pencemar organik yang terkandung dalam sampel larutan deterjen. Artiyani (2011) juga menyebutkan bahwa fosfat merupakan salah satu nutrien penting bagi pertumbuhan tanaman dan selain itu pada fase awal nutrien sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme pada akar tumbuhan sehingga penurunan kadar fosfat dalam sampel air deterjen pada 10 hari awal sangat nyata.

Persentase Penurunan Kadar Fosfat

Persentase dari penurunan kadar fosfat dalam sampel larutan deterjen selama proses pengolahan disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Persentase penurunan kadar fosfat Waktu          Persentase Penurunan

(Jam)             Kadar Fosfat (%)

Pengamatan

Pengamatan

10

70,77

10

20

76,46

20

30

90,77

30

Tabel 5 menunjukkan bahwa persentase penurunan kadar fosfat pada sampel larutan deterjen selama 30 hari pengolahan mencapai 90,77 % sedangkan untuk kontrol sebesar 51,53 %.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

  • 1.    Tanaman kangkungan (Ipomoea crassicaulis) mampu menurunkan konsentrasi surfaktan pada sampel larutan deterjen sebesar 97,76 % selama 30 hari proses pengolahan.

  • 2.    Tanaman kangkungan (Ipomoea crassicaulis) mampu menurunkan konsentrasi fosfat pada sampel larutan deterjen sebesar 90,77 % selama 30 hari proses pengolahan.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai variasi jumlah tanaman kangkungan dalam pengolahan sehingga dapat diketahui dengan pasti kemampuan tanaman dalam menurunkan kadar bahan-bahan pencemar dalam air limbah deterjen serta perlakuan penambahan jumlah deterjen yang berbeda untuk mengetahui konsentrasi maksimum yang dapat dilakukan pengolahan oleh tanaman kangkungan (Ipomoea crassicaulis).

DAFTAR PUSTAKA

Artiyani, A., 2011, Penurunan Kadar N-Total dan P-Total pada Limbah Cair Tahu dengan Metode Fitoremediasi Aliran Batch dan Kontinyu Menggunakan Tanaman Hydrilla Verticillata, Jurnal Spectra, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Nasional, Malang

Bhatnagar, L. and B.Z. Fathepure, 1991, Mixed Culture in Detoxyfication of Hazardous Waste, Edited by G. Zeikus and E.A Johnson, Mixed Culture in Biotechnology, Mc Graw Hill. Inc., USA

Dr. C.G.G. J. Van Stenis, 1992, Flora, Cetakan keenam, Padnya Paramitha, Jakarta

Hermawati, E., Wiryanto, dan Solichatun, 2005, Fitoremediasi Limbah Detergen Menggunakan Kayu Apu (Pistia stratiotes L.) dan Genjer (Limnocharis flava L.), Jurnal BioSmart, 7 (2) : 115-124

Hyness, H.B.N., 1974, The Biology of Polluted Waters, Liverpool University Press, Canada

Momon, M.H. dan L. Meilani, 1997, Tingkat Pencemaran Air Limbah Rumah Tangga, Jurnal Penelitian Pemukiman, 13 (1) : 3442

Nailufary, L., 2008, Pengolahan Air Limbah Pencelupan Tekstil Menggunakan Biofilter Tanaman Kangkungan dalam Sistem Batch (Curah) Teraerasi,    Skripsi,

Universitas Udayana, Bali

N.R. Sa’adah dan P. Winarti., 2009, Pengolahan Limbah Cair Domestik Menggunakan Lumpur Aktif Proses Anaerob. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Diponegoro     Semarang,     [Online]

Available: http://eprints.undip.ac.id/11591/ 2/laporan_penlit_Puji_Rahmi.pdf.

Simoni, S., S. Klinke, C. Zipper, W. Angst, and H.P.E. Kohler, 1996, Enantioselective Metabolism of chiral 3-phenylbutyric Acid an Intermediete of Linear Alkylbenzene Degradation by Rhodococcus rhodochorous PBI, Appl. And Environ Microbiol, 62 (3) : 749-755

Sopiah, Nida, 2008, Pengelolaan Limbah Deterjen Sebagai Upaya Minimalisasi Polutan di Badan Air dalam Rangka Pembangunan Berkelanjutan, Jurnal LIPI.

Sumarno, I. Sumantri, dan A. Nugroho., 1996, Penurunan kadar detergen dalam limbah cair dengan pengendapan secara kimiawi, Majalah Penelitian Lembaga Penelitian, 8 (30) : 25-35

Waluyo L., 2005, Mikrobiologi Lingkungan, UMM, Malang

104