ISSN 1907-9850

PROFIL TERAPI OBAT PADA PASIEN RAWAT INAP DENGAN DIARE AKUT PADA ANAK DI RUMAH SAKIT UMUM NEGARA

Arifani Siswidiasari*, Ketut Widyani Astuti, dan Sagung Chandra Yowani

Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran *email : [email protected]

ABSTRAK

Diare pada anak merupakan penyebab tertinggi morbiditas (kesakitan) dan mortalitas (kematian) di dunia terutama di Negara yang sedang berkembang. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai profil pasien, profil obat yang digunakan, dan lama perawatan di RSU Negara. Metode yang digunakan pada penelitian adalah deskriptif retrospektif yaitu mengambil data rekam medis pada bulan Juli sampai Desember 2012. Jenis diare yang diteliti adalah diare pada anak dengan rentang usia 0 – 14 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa obat yang digunakan untuk terapi diare akut di RSU Negara mengikuti profil berikut: jenis kelamin laki-laki (69,57%), perempuan (30,43%), dengan umur 0 - <1 tahun (60,87%), 1 - <5 tahun (34,78%), 5 - <14 tahun (4,35%), dan klasifikasi diare yang tertinggi yaitu diare akut dehidrasi ringan (63,04%), diare akut tanpa dehidrasi (36,96%). Penggunaan obat antibiotik (89,13%), tidak diberikan antibiotik (10,87%), ringer laktat (93,48%), dekstrosa (13,04%), zink (65,22%), antiemetik (58,69%), antipiretik (54,35%), antasida (2,17%), H2 blocker (23,91%), probiotik (21,74%), sinbiotik (34,78%), CRO (10,87%), deksametason (4,35%), enzim pencernaan (2,17%), nistatin (2,17%). Kondisi pasien diare saat keluar dari rumah sakit adalah sembuh (67,39%), mulai sembuh (32,61%) dengan lama perawatan 3 hari (69,57%), 4 hari (23,91%), 5 hari (6,52%).

Kata kunci : diare, anak, profil, obat

ABSTRACT

The Diarrhea in children is the highest cause of morbidity and mortality in the world, especially in the developing countries. The purposes of this research are to describe about patient profile, the use of medicines profile and the treatment period in the RSU Negara. The research method used was a descriptive retrospective by taking medical records of childhood diarrhea patients in The Public Hospital RSU Negara from July to December 2012. The diarrhea type studied was acute diarrhea in children in age range of 0-14 years. The results showed that the drugs which were used for the acute diarrhea treatment in the Public Hospital of RSU Negara were: male (69.57%), female (30.43%), with age range: 0 - <1 year old (60.87%), 1 - <5 years old (34.78%), and 5 - <14 years old (4.35%). The highest classification of acute diarrhea were acute diarrhea with mild dehydration (63.04%) and without dehydration (36.96%). The use of antibiotics (89.13%), without antibiotics (10.87%), the use of ringer's lactate (93.48%), dextrose (13.04%), zinc (65.22%), antiemetic (58.69%), antipyretic (54.35 %), antacids (2.17%), H2 blocker (23.91%), probiotics (21.74%), synbiotics (34.78%), ORS (10.87%), dexamethasone (4.35%), dygestive enzymes (2.17%), nystatin (2.17%). The condition of diarrhea patient when they were released from the hospital were cured (67.39%), begins to be cured (32.61%), with various of treatment duration from 3 days (69.57%) , 4 days (23.91%), and 5 days (6.52%).

Keywords : diarrhea, children, profile, medichine

PENDAHULUAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa diare merupakan penyebab tertinggi morbiditas (kesakitan) dan mortalitas (kematian) di dunia terutama di negara yang sedang berkembang. Besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya angka kesakitan dan kematian akibat diare. World Health Organization (WHO) memperkirakan empat milyar kasus terjadi di dunia pada tahun 2000 dan 2,2 juta diantaranya meninggal, sebagian besar anak-anak di bawah umur 5 tahun (Adisasmito, 2007). Indonesia mencatat angka kejadian diare diperkirakan sekitar 120-130 kejadian per 1000 penduduk, dan sekitar 60% kejadian tersebut terjadi pada balita. Kejadian diare luar biasa setiap tahun terjadi sekitar 150 kejadian dengan jumlah kasus sekitar 20.000 orang dan angka kematian sekitar 2% (Irianto, 1994). Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi diare di Indonesia sebesar 9%, dengan prevalensi tertinggi pada usia balita yaitu 16,7%.

Kelompok umur yang paling rawan terkena diare adalah kelompok anak usia balita. Pada usia ini, anak mulai mendapat makanan tambahan seperti makanan pendamping dan susu formula, sehingga kemungkinan termakan makanan yang sudah terkontaminasi oleh agen penyebab penyakit diare menjadi lebih besar (Hiswani, 2003). Selain itu beberapa faktor yang dapat memicu kerentanan terhadap diare pada bayi dan anak-anak, antara lain: pemberian ASI kurang dari 2 tahun, kekurangan gizi, imunodefisiensi, imunosupresi, faktor lingkungan dan faktor prilaku (Adisasmito, 2007).

Resiko akibat diare dapat dikurangi dengan terapi yang tepat. Terapi pertama bagi penderita diare akut tanpa dehidrasi, dan dehidrasi ringan-sedang adalah dengan pemberian CRO (cairan rehidrasi oral). Pemberian CRO yang tepat dengan jumlah yang memadai merupakan modal yang utama mencegah dehidrasi. Terapi lain yang dapat diberikan adalah adsorben (attapulgit dan pektin), dan antiemetik (metoklopramid, domperidon, dan ondansentron). Pemberian antibiotik hanya diindikasikan pada keadaan tertentu seperti diare yang terindikasi infeksi patogen serta diare pada bayi dan anak dengan keadaan immunocompromised (Gunawan, 2007).

Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui profil terapi obat pada pasien rawat inap dengan diare akut pada anak di RSU Negara.

MATERI DAN METODE

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif retrospektif yaitu mengambil data dari rekam medis pada pasien rawat inap dengan diare akut di RSU Negara. Waktu penelitian dilakukan selama enam bulan mulai bulan Juli 2012 sampai Desember 2012. Populasi adalah rekam medis semua pasien diare akut dengan rentang usia antara 0 – 14 tahun di RSU Negara. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu semua rekam medis pasien rawat inap dengan diare akut pada anak bulan Juli-Desember 2012 yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling yaitu pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah responden dapat terpenuhi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pendataan dan pencatatan data rekam medis pasien rawat inap dengan diare akut pada anak yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi pada lembar pengumpulan data.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan Obat Antibiotik Pasien Rawat Inap

Pada terapi diare akut golongan antibiotik yang paling banyak digunakan adalah golongan sefalosporin sedangkan golongan antibiotik yang paling sedikit diberikan adalah golongan penisilin. Data pasien diare yang diberikan antibiotik dari 42 pasien yaitu pasien yang mendapatkan antibiotik golongan sefalosporin sebanyak 41 pasien (97,62%), sedangkan pasien yang mendapatkan antibiotik golongan penisilin sebanyak 1 pasien (2,38). Sefalosporin adalah antibiotik yang paling banyak diberikan pada penelitian ini. Sefalosporin merupakan antibiotik betalaktam yang memiliki mekanisme menghambat sintesis dinding sel mikroba (Istiantoro dan Gan, 2004). Sefalosporin

memiliki spektrum aktivitas yang luas dimana antibiotika ini dapat digunakan untuk infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus, Streptococcus, infeksi Pneumococcus yang sensitif terhadap penisilin, dan yang paling sering adalah sebagai alternatif pada pasien yang alergi terhadap penisilin (Fairbanks, 2007).

Tabel 1. Penggunaan Obat Yang Diberikan Pada Pasien Diare Akut di RSU Negara

No.

Obat Yang digunakan

Persentase Obat

1.

Sefalosporin

97,62%

2.

Penisilin

2,38%

4.

Ringer Laktat

93,48%

5.

Dekstrosa

13,04%

6.

CRO

10,87%

7.

Zink

65,22%

8.

Antiemetik

58,69%

9.

Antipiretik

54,35%

10.

Antasida

2,17%

11.

H2 Blocker

23,91%

12.

Probiotik

21,74%

13.

Sinbiotik

34,78%

Jenis antibiotik yang paling sedikit diberikan adalah antibiotik golongan penisilin (2,17%). Penisilin adalah senyawa bakterisida dengan indeks terapi lebar yang bekerja menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintetis dinding sel mikroba (Siswandono dan Soekardjo, 2008). Penggunaan dari golongan penisilin ditemukan dalam persentase yang kecil kemungkinan karena banyak bakteri yang sudah resisten terhadap golongan penisilin. Suatu hasil studi ditemukan bahwa 25% bakteri pneumonia resisten terhadap penisilin (Todar, 2008).

Penggunaan Obat Non Antibiotik Pasien Rawat Inap

Penanganan Dehidrasi pada Pasien Diare Ringer Laktat

Berdasarkan data yang didapatkan, diketahui penggunaan ringer laktat dalam penelitian ini adalah sebanyak 43 pasien (93,48%). Ringer laktat merupakan cairan garam fiologis steril yang kandungan asam basanya menyerupai cairan plasma darah. Ringer laktat mengandung garam NaCl (6g), KCl (0,3g), CaCl2 (0,2g), dan Na Laktat (3,1g) dalam setiap 1 liter larutan. Cairan ini berfungsi untuk mengembalikan

osmolaritas dan elektrolit tubuh secara cepat melalui rehidrasi intravena. Larutan ringer laktat akan di metabolisme oleh hati menjadi bikarbonat yang berguna untuk memperbaiki keadaan seperti asidosis metabolik. Ringer laktat biasa diberikan pada penderita diare yang mengalami dehidrasi yang berat atau yang berpotensi menjadi berat sehingga memerlukan rehidrasi intravena secara cepat.

Terapi intravena ringer laktat pada penderita diare, pada bayi diberikan sebanyak 30 mg/kg berat badan selama 1 jam pertama, kemudian dapat dilanjutkan dengan konsentrasi 70 mg/kg berat badan untuk 5 jam berikutnya. Untuk anak-anak dan dewasa diberikan ringer laktat secara intravena dengan dosis 100 mg/kg berat badan. Obat-obat lain sering juga dikombinasikan dengan ringer laktat pada diare akut antara lain tetrasiklin, trimetoprim, metronidazol (Harianto, 2004). Selain itu, ringer laktat tidak mengandung glukosa, sehingga seringkali dapat ditambahkan glukosa yang berguna untuk mencegah terjadinya ketosis (Rudi, 2006).

Dekstrosa

Berdasarkan data yang didapatkan, diketahui penggunaan dekstrosa dalam penelitian ini sebanyak 6 pasien (13,04%). Dekstrosa merupakan monosakarida yang berfungsi sebagai sumber energi bagi tubuh. Dekstrosa disimpan di dalam tubuh sebagai lemak, serta di otot dan hati sebagai glikogen. Dekstrosa dimetabolisme menjadi karbondioksida dan air yang bermanfaat untuk hidrasi tubuh. Salah satu penyebab diare atau yang memperparah kondisi diare adalah kekurangan dekstrosa. Tingginya frekuensi defekasi pada penderita diare akut, menyebabkan terjadinya pengeluaran cairan tubuh beserta pengosongan makanan secara cepat di usus. Kondisi ini mengakibatkan penderita diare menjadi kehilangan cairan elektrolit dan dekstrosa tubuh (WGO, 2008).

Dekstrosa dan cairan elektrolit biasanya diberikan secara bersamaan dan berfungsi sebagai Electrolyte replenisher. Larutan dekstrosa dan garam elektrolit digunakan untuk menggantikan cairan yang hilang. Dekstrosa bisa diberikan secara oral dan intravena. Pemberian dekstrosa bisa diberikan pada semua umur pasien dari bayi sampai dewasa. Pada bayi yang kurang dari dua tahun diberikan sebanyak 75 ml/kg berat badan

selama 8 jam pertama, dan dapat dipertahankan selama 16 jam berikutnya. Pada anak berusia 2-10 tahun diberikan 50 ml/kg berat badan untuk 4-6 jam pertama, dan dapat dilanjutkan menjadi 100 ml/kg berat badan untuk 18-24 jam berikutnya. Untuk anak anak berusia 10 tahun lebih dan usia dewasa diberikan sebanyak 100 ml/kg berat badan selama 6 jam, kemudian dapat dilanjutkan dengan 15 ml/kg berat badan sampai diare berhenti (Health Digest, 2010). Pemberian dekstrosa melalui inravena, seringkali dikombinasikan dengan ringer laktat dan antibiotik. Treatment intravena ini diberikan pada pasien diare akut pederita dehidrasi berat atau berpotensi menjadi berat (WGO, 2008).

Penggunaan CRO (Cairan Rehidrasi Oral) pada Pasien Diare

Berdasarkan data yang didapatkan, diketahui penggunaan CRO yang diperoleh dalam penelitian ini sebanyak 5 pasien (10,87%). Pada tahun 1975, WHO dan United Nations Children's Fund (UNICEF) sepakat untuk mempromosikan cairan rehidrasi oral yang mengandung natrium 90 mmol/L dan glukosa 111 mmol/L dengan total osmolaritas sebesar 311 mOsm/L. Komposisi ini dipilih sebagai suatu larutan tunggal yang digunakan untuk tatalaksana diare yang disebabkan oleh berbagai agen infeksius dan dihubungkan dengan berbagai derajat kehilangan elektrolit. Sebagai contoh, diare karena rotavirus dihubungkan dengan kehilangan natrium dalam tinja sekitar 30 - 40 mEq/L, pada infeksi enterotoksigenik E. coli sekitar 50 - 60 mEq/L, dan pada infeksi kolera sekitar ≥ 90 - 120 mEq/L (Waspada, 2012).

Sejak tahun 2004, WHO/UNICEF merekomendasikan oralit dengan osmolaritas rendah. Berdasarkan penelitian dengan oralit osmolaritas rendah diberikan kepada penderita diare dapat mengurangi volume tinja hingga 25%, mengurangi mual muntah hingga 30%, mengurangi secara bermakna pemberian cairan melalui intravena sampai 33% (Kemenkes RI, 2011). Keadaan gizi yang buruk akan mempengaruhi lamanya diare dan komplikasinya. Pemberian air susu ibu terbukti meningkatkan daya tahan terhadap diare (Harianto, 2004).

Oralit atau cairan rehidrasi oral adalah larutan untuk mengatasi diare. Larutan ini sering

disebut rehidrasi oral. Bahaya utama diare adalah kematian yang disebabkan karena tubuh banyak kehilangan air dan garam yang terlarut yang disebut dehidrasi. Kematian lebih mudah terjadi pada anak yang bergizi buruk, karena gizi yang buruk menyebabkan penderita tidak merasa lapar dan orang tuanya tidak segera memberi makanan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang (Harianto, 2004). Cairan rehidrasi oral yang dipakai oleh masyarakat adalah air kelapa, air tajin, air susu ibu, air teh encer, sup wortel, air perasan buah dan larutan gula garam (LGG). Pemakaian cairan ini lebih dititik beratkan pada pencegahan timbulnya dehidrasi. Sedangkan bila terjadi dehidrasi sedang atau berat sebaiknya diberi minuman Oralit. Oralit yang menurut WHO mempunyai komposisi campuran Natrium Klorida, Kalium Klorida, Glukosa dan Natrium Bikarbonat atau Natrium Sitrat (Harianto, 2004).

Tatalaksana penderita diare yang tepat dan efektif merupakan bagian penting dalam pemberantasan penyakit diare khsususnya dalam upaya menurunkan angka kematian diare dan mengurangi komplikasi akibat diare. Selain daripada itu tatalaksana penderita yang berhasil akan pula menjadi pintu masuk promosi kesehatan lain dan kegiatan kesehatan lingkungan lain dalam rangka menurunkan angka kesakitan diare. Bahaya diare terletak pada dehidrasi maka penanggulangannya dengan cara mencegah timbulnya dehidrasi dan rehidrasi intensif bila telah terjadi dehidrasi. Rehidrasi adalah upaya menggantikan cairan tubuh yang keluar bersama tinja dengan cairan yang memadai melalui oral atau parenteral (Harianto, 2004).

Penggunaan Zink pada Pasien Diare

Dalam penelitian ini, sebanyak 65,22% menggunakan zink. Penggunaan zink pada pasien diare diperoleh sebanyak 30 pasien. Menurut WHO (world Health Organization) dan UNICEF pada tahun 2004 merekomendasikan penggunaan zink sebagai bagian dari penatalaksanaan pengobatan diare. Hingga akhirnya setelah dilakukannya penelitian di berbagai negara, zink dimasukkan dalam daftar obat esensial oleh WHO. Dalam penatalaksaan pengobatan diare akut, zink mampu mengurangi durasi episode diare hingga sebesar 25 %. Beberapa penelitian menunjukkan pemberian zink mampu menurunkan volume dan

frekuensi tinja rata-rata sebesar 30 %. Zink juga menurunkan durasi dan keparahan pada diare persisten. Bila diberikan secara rutin pada anak-anak baik jangka panjang maupun jangka pendek, zink mampu menunjukkan efektivitas dalam mencegah diare akut maupun persisten dan mampu memberikan manfaat menurunkan prevalensi diare yang disebabkan disentri dan shigellosis.

Setelah dilakukannya penelitian tentang pengobatan zink pada diare berpuluh-puluh tahun lamanya, akhirnya zink direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF. Rekomendasi yang diberikan adalah sebagai berikut: zink diberikan selama 1014 hari pada pasien anak diare di bawah usia 5 tahun, bayi usia di bawah 6 bulan dapat diberikan zink 10 mg setiap hari, dan anak usia 6 bulan hingga 5 tahun diberikan dengan dosis 20 mg setiap hari.

Hasil penelitian pada pasien rawat inap dengan diare akut pada anak di RSU Negara yang menggunakan zink adalah 30 pasien (65,22%). Pengetahuan mengenai penggunaan zink dalam pengobatan diare masih kurang sehingga penggunaannya pada penderita diare akut belum digunakan secara menyeluruh. Penggunaan zink di RSU Negara ini sudah tepat yaitu zink diberikan selama 10 – 14 hari. Ini sudah sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh WHO dan UNICEF.

Penggunaan Antiemetik pada Pasien Diare

Berdasarkan data yang didapatkan, diketahui penggunaan antiemetik dalam penelitian ini sebanyak 27 pasien (58,69%). Penggunaan ondansentron sebagai antiemetik pada pasien diare akut anak merupakan suatu pilihan yang sudah tepat. Pada mulanya odansentron merupakan obat antiemetik untuk mengurangi efek mual dan muntah yang ditimbulkan akibat radiasi dengan efek samping yang paling ringan. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa ondansentron juga dapat menurunkan frekuensi diare dan mengurangi efek mual dan muntah pada pasien diare. Kiesewetter & Raderer (2013) melaporkan bahwa pemberian 8 mg ondansentron pada penderita diare akibat efek samping pengobatan tumor neuroendokrin, mampu menurunkan intensitas defekasi pasien dari 10 kali perhari menjadi 4 kali perhari setelah terapi ondansentron selama hari.

Terapi ondansentron juga terbukti mampu mengurangi gejala mual dan muntah pada pasien diare akut anak yang disertai mual dan muntah. Cheng (2011) melaporkan bahwa pemberian ondansentron pada pasien diare akut anak berusia 6 bulan sampai 12 bulan mampu mengurangi mual dan muntah yang menyertai diare. Dosis yang dianjurkan pada pasien diare akut anak ini, yaitu anak dengan berat badan 8 kg - 15 kg diberikan 2 mg, berat badan 15 kg -30 kg diberikan 4 kg, dan berat badan lebih dari 30 kg diberikan 6 mg – 8 mg.

Penggunaan Antipiretik pada Pasien Diare

Berdasarkan data yang didapatkan, diketahui penggunaan antipiretik dalam penelitian ini sebanyak 25 pasien (54,35%). Jenis antipiretik yang digunakan dalam penelitian ini adalah parasetamol. Selain berfungsi sebagai antipiretik, parasetamol juga berfungsi sebagai analgesik. Antipiretik merupakan obat yang digunakan untuk menurunkan demam yang ditandai oleh peningkatan suhu tubuh pasien. Gejala demam pada penderita diare akut anak umum terjadi dan biasa disebabkan oleh aktivitas invasif patogen. Oleh karena itu pemberian antipiretik merupakan hal tepat dilakukan untuk menurunkan gejala demam pada penderita diare akut anak.

Penggunaan Antasida dan H2 Blocker pada Pasien Diare

Antasida

Berdasarkan data yang didapatkan, diketahui penggunaan antasida dalam penelitian ini sebanyak 1 pasien yaitu sebesar 2,17%. Antasida merupakan obat yang berfungsi untuk menetralkan asam lambung sehingga berguna untuk menghilangkan nyeri, misalnya pada penderita maag dan tukak peptik. Antasida tidak mengurangi volume HCL yang dikeluarkan lambung, tetapi mampu menetralisasi atau meningkatkan pH lambung. Antasida umumnya merupakan basa lemah.

Pemberian antisida pada penderita diare akut tidak berkorelasi secara langsung. Akan tetapi pada penderita diare akut yang disertai oleh gejala magg dan peningkatan volume asam lambung, pemberian antasida merupakan pilihan yang tepat diberikan pada pasien.

H2 Blocker

Berdasarkan data yang didapatkan, diketahui penggunaan H2 Blocker dalam penelitian ini sebanyak 11 pasien (23,91%). Ranitidin berfungsi untuk menghambat sekresi asam lambung. Pemberian obat ini merupakan pilihan yang tepat untuk mengobati pasien diare akut anak yang disertai oleh gejala magg, peningkatan asam lambung, mual dan muntah. Ranitidin adalah suatu histamin antagonis reseptor H2 yang menghambat kerja histamin secara kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam lambung. Pada pemberian i.m./i.v. kadar dalam serum yang diperlukan untuk menghambat 50% perangsangan sekresi asam lambung adalah 36 – 94 mg/mL. Kadar tersebut bertahan selama 6 – 8 jam. Ranitidin di absorpsi 50% setelah pemberian oral. Konsentrasi puncak plasma dicapai 2 – 3 jam setelah pemberian dosis 150 mg. Absorpsi tidak dipengaruhi secara nyata oleh makanan dan antasida.

Penggunaan Probiotik dan Sinbiotik pada Pasien Diare

Probiotik

Berdasarkan data yang didapatkan, diketahui penggunaan probiotik yang diperoleh dalam penelitian ini sebanyak 10 pasien (21,74%) dan penggunaan sinbiotik sebanyak 16 pasien (34,78%). Probiotik didefinisikan sebagai bakteri hidup yang diberikan sebagai suplemen makanan yang mempunyai pengaruh yang menguntungkan terhadap kesehatan, dengan memperbaiki keseimbangan mikroflora intestinal. Efek yang menguntungkan dari bakteri tersebut dapat mencegah dan mengobati kondisi patologik usus bila probotik tersebut diberikan secara oral (Waspada, 2012).

Pemberian probiotik ini pada pasien diare akut merupakan terapi yang tepat sebab telah dibuktikan melalui penelitian bahwa probiotik efektif untuk pencegahan dan pengobatan terhadap berbagai kelainan gastrointestinal, misalnya diare yang disebabkan oleh pemakaian antibiotik yang berlebihan, infeksi bakteri maupun virus, intoleransi laktosa dan traveller diarrhea. Probiotik mempunyai keuntungan dalam terapi penyakit diare pada anak melalui stimulasi sistem imunitas terutama infeksi Rotavirus pada bayi, dimana suplementasi probiotik mengurangi durasi

penyebaran virus, meningkatkan sel yang mensekresi IgA antirotavirus, menurunkan peningkatan permeabilitas usus (yang secara normal berhubungan dengan infeksi Rotavirus) dan mengurangi durasi diare dan lama rawat rumah sakit (Pratama, 2009).

Sinbiotik

Berdasarkan data yang didapatkan, diketahui penggunaan sinbiotik yang diperoleh dalam penelitian ini sebanyak 16 pasien (34,78%). Kombinasi dari pemberian probiotik dan prebiotik akan menghasilkan pengaruh sinergis dari keduanya yang akan meningkatkan efek menguntungkan bagi tubuh. Kombinasi ini dikenal dengan nama sinbiotik. Sinbiotik akan meningkatkan kemampuan hidup dari probiotik saat tidak disimpan dalam lemari es dan juga saat melewati lambung yang asam.

Gambar 1. Grafik Presentase Penggunaan Obat

Yang Diberikan pada Pasien Rawat Inap Dengan Diare Akut di RSU Negara

Prebiotik adalah komponen makanan tertentu yang tidak bisa dicerna oleh sistem pencernaan tubuh, yang diberikan untuk memacu pertumbuhan atau aktivitas dari mikroorganisme menguntungkan di usus. Prebiotik tidak berguna langsung untuk manusia yang mengkonsumsinya, melainkan untuk bakteri menguntungkan yang menghuni usus. Pada akhirnya, bakteri-bakteri inilah yang akan memberikan manfaatnya untuk tubuh manusia. Penelitian menunjukkan bahwa prebiotik (campuran beberapa oligosakarida) dapat menginduksi sistem imun pada bayi sehingga bayi tersebut lebih tahan terhadap resiko alergi. Contoh

prebiotik laktulosa, beberapa jenis oligosakarida dan inulin. Penggabungan penggunaan probiotik dan prebiotik atau yang dikenal dengan istilah sinbiotik akan meningkatkan peluang keberhasilan bakteri probiotik untuk sampai di usus dalam keadan viable dan mampu berkembangbiak dan bekolonisasi serta memperbaiki kondisi mikroflora usus. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa penggunaan sinbiotik akan lebih efektif dalam pengobatan terapi diare akut.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Profil terapi obat pada pasien rawat inap dengan diare akut pada anak di RSU Negara meliputi antara lain penggunaan antibiotik sefalosporin 97,62%, penisilin 2,38%, ringer laktat 93,48%, dextrosa 13,04%, CRO 10,87%, zink 65,22%, antiemetik 58,69%, antipiretik 54,35%, antasida 2,17%, ranitidin 23,91%, probiotik 21,74%, sinbiotik 34,78%.

Saran

Perlu dilakukan studi prospektif untuk mengetahui ada tidaknya potensi Drug Related Problem’s (DRPS) pada penggunaan obat antidiare pada pasien anak di instalasi rawat inap di RSU Negara.

UCAPAN TERIMA KASIH

Seluruh dosen pengajar beserta staf pegawai di Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Udayana, orang tua, saudara, serta teman-teman seangkatan penulis atas segala ide, saran, serta dukungannya.

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmito, W., 2007, Faktor Risiko Diare pada Bayi dan Balita di Indonesia: Systematic Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat, Makara Kesehatan, 11 (1) : 1-10

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik

Indonesia, 2008, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007

Cheng, A., 2011, Emergency department use of oral ondansetron for acute gastroenteritis-related vomiting in infants and children, Pediatri Child Health, 16 (3) : 177-179

Fairbanks, and David, N. F., 2007, Antimicrobial Therapy in Ortolaryngology-Head and Neck Surgery  13th Editon, George

Washington University, USA

Gunawan, S., 2007, Peran Probiotik pada Diare Akut Anak, Ebers Papyrus, 13 (3) : 113123

Harianto, 2004, Penyuluhan Penggunaan Oralit Untuk Menanggulangi Diare di Masyarakat, I (1) : 27-33

Health Digest, 2010, Drug Information Online: Dextrose and electrolytes. Available at: www.healthdigest.org/topics/show/26094

Hiswani, 2003 Diare Merupakan Salah Satu Masalah Kesehatan Masyarakat yang Kejadiannya Sangat Erat dengan Keadaan Sanitasi Lingkungan, http://library.usu.ac. id/download/fkm/fkm-hiswani7.pdf., diakses 15-11-2012

Irianto, J., S.S. Soesanto, Supraptini, Inswiasri, S. Irianti, dan A. Anwar, 1994, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare pada Anak Balita, 24 : 77-96

Istiantoro, Y. H. dan V. H. S. Gan, 2004, Penisilin, Sefalosporin, dan Antibiotika Betalaktam Lainnya, Farmakologi dan Terapi Edisi Keempat, editor: Sulistina G. Ganiswara, Universitas Indonesia, Jakarta

Kemenkes R I, 2011, Panduan Sosialisasi Tatalaksana Diare Balita, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta

Kiesewetter, B. and M. Raderer, 2013, Ondansetron for Diarrhea Associated with Neuroendocrine Tumors, N Engl J Med, 368 (20) : 1947-1948

Pratama, H. A., 2009, Prevalensi Diare Akut Pada Balita di Wilayah Kecamatan Ciputat, Skripsi, Syarif Hidayatullah, Jakarta

Putri, K.N.D., 2010,. Perbandingan Efektivitas Ondansentron dan Metoklopramid Dalam Menekan Mual dan Muntah Paska Laparatomi, Skripsi, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Rudi, M.M., 2006, Pengaruh Pemberian Cairan Ringer Laktat di Bandingkan NaCl 0,9% Terhadap Keseimbangan Asam-Basa pada Pasien Sectio Caesaria dengan Anestesi Regional, Tesis, Magister Biomedis, Program Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi Universitas Diponegoro, Semarang

Siswandono dan B. Soekardjo, 2008, Kimia Medisinal, Airlangga University Press, Surabaya

Todar, Kenneth, 2008, University of Wisconsin-Madison Department of Bacteriology

Waspada, I.M.I., 2012, Suplementasi Probiotik pada Terapi Standar Zinc dan Cairan Rehidrasi Oral pada Anak Usia 6-36 Bulan dengan Diare Akut, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta

World Health Organization, 2000, Pocket Book of Hospital Care for Children, P. 109–132

World Gastroenterology Organitation (WGO), 2008, Practice Guideline: Acute Diarrhea. Munich, Germany, http://www.ahrq.gov.

190