DIRECTORY OF OPEN ACCESS JOURNALS

P-ISSN: 2548-5962

E-ISSN: 2548-981X


CASE REPORT


https://ojs.unud.ac.id/index.php/jbn



Laporan Kasus: Teratoma Menyerupai Lipomielokel

I Wayan Niryana1*, Kadek Deddy Ariyanta2

  • 1    Divisi Bedah Saraf, Departemen Bedah, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, RSUP Sanglah, Bali, Indonesia.

  • 2    Divisi Bedah Anak, Departemen Bedah, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, RSUP Sanglah, Bali, Indonesia.

*Penulis korespondensi: [email protected].

ABSTRAK

Latar Belakang: Teratoma sakrokoksigeal (SCTs) adalah neoplasma kongenital yang muncul dari tulang ekor dan terdiri dari jaringan yang berasal dari ketiga lapisan germinal. Diagnosis tidak sulit dalam banyak kasus; namun, harus ada informasi tambahan berupa studi pencitraan untuk mengelola pasien dengan benar. Kasus: Perempuan usia 12 tahun datang dengan keluhan benjolan di bagian atas pantat. Pasien kemudian secara klinis didiagnosis dengan teratoma sakrokoksigeal dengan diagnosis banding lipomielokel. Pasien dilakukan reseksi tumor dan pengangkatan tulang ekor dengan operasi gabungan antara ahli bedah anak dan ahli bedah saraf. Hasil histopatologi menunjukkan gambaran morfologi yang sesuai dengan teratoma sakrokoksigeal. Diagnosis akhir pada pasien ini adalah teratoma sakrokoksigeal Altman 1. Simpulan: Teratoma sakrokoksigeal harus ditangani sedini mungkin untuk menghindari risiko keganasan.

Kata kunci: teratoma sakrokoksigeal, anak, lipomielokel.

DOI: https://doi.org/10.24843/JBN.2022.v06.i02.p05

ABSTRACT

Background: Sacrococcygeal teratomas (SCTs) are congenital neoplasms that arise from the coccyx and comprise tissues derived from all three germ layers. The diagnosis is not difficult in many cases; however, there should be additional information on imaging studies in order to manage patients properly. Case: A 12-year-old girl presented with complaint of lump in the upper part of the buttocks. Patient then was clinically diagnosed with Sacrococcygeal teratoma with differential diagnosis of Lipomyelocele. Tumor resection and coccyx removal were conducted, with join surgery between Pediatric Surgeon and Neurosurgeon. The histopathological result showed morphology appearance matched to sacroccygeal teratoma. The final diagnosis for this patient was sacrococcygeal teratoma Altman 1. Conclusions: Sacrococcygeal teratoma should be managed as early as possible to avoid the risk of malignancy.

Keywords: sacrococcygeal teratoma, child, lipomyelocele.

PENDAHULUAN

Teratoma sakrokoksigeal (SCT) merupakan neoplasma kongenital yang muncul dari koksik dan terdiri dari jaringan yang berasal dari ketiga germ layers. Neoplasma ini dipercaya muncul dari sel-sel multipoten pada Hensen node, bagian dari primitive streak yang menetap pada daerah koksigeus. Pada sebagian besar kasus,

penegakan diagnosisnya bukan merupakan hal yang sulit dilakukan, namun memerlukan informasi temuan radiologis tambahan untuk dapat menangani pasien dengan lebih baik.1

KASUS

Seorang anak perempuan berusia 12 tahun datang dengan keluhan benjolan pada bagian atas pantat. Benjolan tersebut dikatakan

64 | JBN (Jurnal Bedah Nasional)

sudah ada sejak lahir, dengan ukuran yang bertambah secara progresif, tidak nyeri maupun gatal. Namun terkadang muncul bisul yang berisi nanah pada benjolan tersebut. Riwayat paraparesis dan gangguan buang air besar maupun buang air kecil disangkal. Pasien belum pernah melakukan pengobatan sebelumnya. Tidak ada riwayat kelainan yang sama sebelumnya pada keluarga.

Tanda vital pada pemeriksaan normal, dengan tekanan darah 110/70 mmHg, denyut jantung 86 kali per menit, laju napas 20 kali per menit, dan suhu 36,5 0C. Pada pemeriksaan status lokalis regio sakrokoksigeal, didapatkan massa solid dengan ukuran 12 cm x 9 cm x 7 cm, terfiksir, tidak nyeri, dengan warna serupa dengan kulit sekitar. Tampak pustula multipel dengan diameter 0,5 - 1 cm pada benjolan tersebut (Gambar 1).

Gambar 1 Foto klinis preoperasi


Hasil laboratorium dalam batas normal dengan β-HCG < 0,10 dan α-fetoprotein (AFP) 0,65. Hasil Magnetic Resonance Imaging (MRI) lumbosakral menunujukkan lesi berisi cairan (menyerupasi cairan serebrospinal pada sekuens) berukuran 2,60 cm x 6,97 cm x 12,92 cm pada anterior sakrokoksigeal dari S4 hingga S6 cm dari tulang koksik terakhir, dengan defek kecil (0,605 cm) pada level sacro-coccyc junction yang tertutup lemak dari subcutaneous fat plane (Gambar 2). Temuan ini sesuai dengan gambaran lipomielokel dengan diagnosis

banding (DD) teratoma. Pasien kemudian didiagnosis dengan teratoma sakrokoksigeal DD lipomielokel.

Pasien kemudian menjalani reseksi tumor dan tulang koksik oleh dokter spesialis bedah anak dan bedah saraf (Gambar 3 dan Gambar 4). Hasil laboratorium paska operasi dalam batas normal, dengan β-HCG < 0,10 dan AFP 0,78. Hasil histopatologis menunjukkan morfologi sesuai dengan teratoma sakrokoksigeal. Diagnosis akhir pada pasien ini adalah teratoma sakrokoksigeal Altman tipe I.

Gambar 2. Hasil MRI Lumbosakral.




Gambar 3. Prosedur selama operasi.

Gambar 4. Gambaran massa setelah eksisi luas (12 cm x 11 cm x 4 cm).


DISKUSI

Teratoma berasal dari totipotent primordial germ cells yang berisi dua atau tiga germ cell layers. Koen et al. menjelaskan teorinya mengenai munculnya teratoma dari bagian primitive streak dan Hensen node yang menetap. Bagian sisa ini teragregasi pada kaudal dari tulang belakang dan membentuk massa. Teori ini menjelaskan asosisasi mielomeningokel dan teratoma, bahwa kedua kelainan ini dapat timbul dari asal yang sama, yaitu fusi inkomplit pada struktur tulang belakang. Tumor ini memiliki potensi untuk bertransformasi menjadi massa ganas, biasanya sebagai squamous cell carcinoma. Tumor ini juga dikenal dengan sebutan “Great masquerade”. Secara keseluruhan, regio sakrokoksigeal merupakan tempat tersering terjadinya teratoma, dengan

35-60% dari seluruh kejadian teratoma. Banyaknya pluripotent stem cells pada daerah kaudal ini yang diduga merupakan alasan lokasi sakrokoksigeal sebagai lokasi tersering timbulnya tumor ini.2

Meskipun tumor ini merupakan tumor tersering pada neonatus, SCT masih relatif langka dengan insidensi sekitar 1:35.00040.000 kelahiran hidup. SCT lebih sering terjadi pada perempuan, dengan rasio perempuan:laki-laki sekitar 4:1. Sekitar 18% dari bayi dengan SCT memiliki kelainan kongenital tambahan. SCT dapat berupa massa jinak (matur) maupun ganas (imatur, terdiri dari jaringan embrionik). Teratoma matur lebih sering ditemukan baik pada neonatus (68%) dan anak usia lebih tua (73%). Teratoma lebih sering ditemukan pada midline atau kelenjar reproduksi. Lokasi

tersering antara lain sakrokoksigeal (40%), ovarium (25%), testis (12%), otak (5%), dan lain-lain (18%).1

Meskipun sebagian dari teratoma pediatrik ditemukan pada kelahiran, neoplasma ini jarang diasosiasikan dengan kelainan kromosom atau kelainan kongenital lainnya. Sebagian besar merupakan massa jinak pada usia neonatus, namun risiko keganasan meningkat seiring dengan penambahan usia. Diagnosis prenatal pada akhir-akhir ini semakin sering didapatkan.3

Gambar 5. Klasifikasi klinis teratoma sakrokoksigeal.


Altman mengklasifikasikan SCT dalam 4 kelompok (Gambar 5). Tumor tipe I hampir seluruhnya eksternal dengan bagian pelvis minimal; Tumor tipe II terdiri dari bagian pelvis yang signifikan (hour-glass pattern); Tumor tipe III terdiri dari bagian intraabdomen dan intrapelvis yang lebih besar dibandingkan komponen eksternal; Tumor tipe IV seluruhnya presacral tanpa komponen eksternal.2

Teratoma regio sakrokoksigeal sering timbul dengan klinis kelemahan anggota gerak bawah, obstruksi buang air kecil atau buang air besar, dan benjolan pada punggung bawah atau massa intrauterus pada ultrasonografi atau persalinan sulit. Keluhan menetap yang cukup sering juga dapat berupa inkontinensia urin dan alvi jangka panjang. Keluhan klinis tersering adalah benjolan atau pembengkakan pada regio punggung bawah. Teratoma dengan klinis sebagai massa pada regio sakrokoksigeal memerlukan pembeda antara teratoma dan meningomielokel

dikarenakan keduanya dapat tampak sebagai kelainan yang serupa (Tabel 1).2

Ketika dicurigai didapatkan keganasan dari germ cell, penanda tumor harus diperiksa sebelum tindakan operasi. Bila diagnosis ditegakkan paska reseksi tumor, penanda tumor harus segera diperiksakan setelahnya.4 Penggunaan α-fetoprotein (AFP) sebagai penanda tumor sudah sering dilakukan, dan peningkatan penanda tumor ini dapat menunjukkan tumor residif, rekuren, ataupun degenerasi ganas.1 β-HCG juga merupakan salah satu penanda tumor yang digunakan selama follow-up.5

Tabel 1. Pembeda dari teratoma dan mielomeningokel

Teratoma

Mielomeningokel

Terletak pada bagian bawah ala sacrum

Tidak disertai defisit motorik

Fontanela anterior normal

Terletak pada bagian atas ala sacrum

Dapat disertai defisit motorik

Fontanela anterior dapat abnormal dan tegang

Sacrum dapat tergeser ke depan

Pada MRI, lesi tampak lebih padat

Terdapat agenesis sacral

Pada MRI, densitas sesuai air

Kelainan    penyerta    pada    sistem Kelainan penyerta berupa hidrosefalus,

kardiovaskular atau urogenital               Arnold-Chiari,     atau     split     cord

malformation

SCT dapat didiagnosis melalui ultrasonografi antenatal. Polihidramnion ditemukan dalam 20% kasus. SCT dapat memiliki tampilan klinis yang sangat bervariasi tergantung dari ukuran, vaskularisasi, dan derajat efek massa pada struktur disekitarnya.1 SCT terdiri dari berbagai jaringan dari ketiga germ cell layers. Oleh sebab itu, temuan radiologis pada SCT dapat heterogeny dan beragam. Tumor ini dapat terdiri dari bagian kistik dan solid yang bervariasi. Tidak jarang pula terdapat kombinasi dari bagian kistik dan solid. Meskipun temuan radiologis dari SCT tidak dapat memprediksi subtipe histologis dari tumor, SCT jinak biasanya terdiri dari komponen kistik, kalsifikasi, dan jaringan lemak yang lebih banyak dibandingkan SCT ganas. Adanya gambaran perdarahan dan/atau nekrosis di dalam massa dapat dicurigai merupakan suatu SCT ganas.

Komponen kistik pada SCT biasanya dapat ditemukan pada tumor jinak. Pada penggunaan kontras gadolinium, dapat ditemukan penyengatan kontras pada batas perifer disekitar dinding kista. Isi dari jaringan kistik ini dapat bervariasi akibat kandungan lemak, perdarahan, dan bahan lainnya. Maka, karakteristik radiologis dari komponen kistik dapat diubah tergantung kandungan jaringannya.

Kalsifikasi juga sering ditemui pada SCT jinak, namun dapat ditemukan pula pada SCT ganas. Computed Tomography (CT) scan merupakan modalitas radiografi yang paling sensitif dalam menggambarkan kalsifikasi. Namun, mengingat bahaya paparan radiasi dari CT scan pada neonatus, modalitas ini tidak rutin digunakan untuk mencari kalsifikasi pada SCT.

SCT dengan jumlah komponen lemak yang cukup banyak biasanya merupakan suatu SCT jinak. Untuk membedakan komponen lemak pada SCT dengan jaringan lemak subkutan normal menggunakan modalitas ultrasonografi tidaklah mudah. CT scan dan MRI merupakan pilihan modalitas untuk menggambarkan komponen lemak, namun MRI lebih digunakan mengingat bahaya radiasi ionisasi dari CT scan.

Differential diagnosis antara teratoma matur dan imatur berdasarkan studi radiologis saja cukup terbatas.6 Pada pemeriksaan histopatologis, teratoma dapat diklasifikasikan sebagai teratoma matur atau imatur. Teratoma matur dapat diklasifikasikan sebagai solid atau kistik (kista dermoid). Kista dermoid dibatasi dengan lapisan epitel yang terdiri dari jaringan dan sel yang biasanya ditemukan pada kulit, termasuk folikel rambut, kelenjar sebasea, dan kelenjar keringat. Grading teratoma ditentukan berdasarkan persentase jaringan imatur pada potongan histopatologis.

Tabel 2. Grading teratoma berdasarkan temuan histopatologis oleh Gonzalez-Crussi.

Grade

Persentase jaringan imatur

Grade 0

Tidak ada jaringan imatur

Grade 1

<10% jaringan imatur

Grade II

10-50% jaringan imatur

Grade III

>50% jaringan imatur

Penanganan utama dari SCT adalah operasi reseksi dengan eksisi komplit dari tulang koksik sedini mungkin. Pada literatur dikatakan bahwa tingkat rekurensi bila tidak dilakukan eksisi tulang koksik sekitar 37%. Kemoterapi adjuvan digunakan pada kasus-kasus ganas, dengan menggunakan kombinasi

vincristine, actinomycin D, dan cyclophosphamide, dengan atau tanpa adriamycin.1,3

Teratoma secara histologis diklasifikasikan sebagai imatur atau matur tergantung dari derajat diferensiasi sel-selnya. Literatur menyarankan dilakukan complete surgical removal, termasuk tulang koksik dan tumor base. Teratoma matur dapat dianggap sebagai kelainan jinak, sehingga eksisi subtotal masih sesuai, namun perlu tindak lanjut yang agresif. Perbedaan angka rekurensi pada reseksi total dan subtotal dikatakan kurang bermakna. Rekurensi ini disebabkan adanya sel-sel totipoten pada jaringan teratoma.2

Teratoma imatur harus ditindak lanjut secara radiologis dan melalui penanda tumor. Penanganan teratoma imatur hingga saat ini masih kontroversial. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti usia pasien, kelayakan anestesi untuk operasi kedua, kemungkinan lost to follow-up pasien, batas tumor pada operasi pertama, dan perkiraan bertahan hidup. Tidak ada bukti keuntungan penggunaan radioterapi atau kemoterapi, namun dengan ambang yang rendah.

Pada salah satu literatur dikatakan bahwa komplikasi tersering paska operasi adalah kosmetik yang buruk. Komplikasi lain dapat berupa infeksi luka operasi, inkontinensia urin dan alvi, atau diare sementara.3 Meskipun defisit motorik berat jarang ditemukan setelah reseksi, sekuele neurologis lain cukup sering ditemukan seperti kelainan halus pada cara berjalan dan gangguan berkemih maupun buang air besar pada 50% pasien.7 SCT diasosiasikan dengan malformasi kongenital lainnya pada 5-26% kasus. Kelainan yang paling sering menyertai adalah kelainan anorektal dan genital, yang dapat tampak pada 18-20% kasus.3

Rekurensi tumor ditemukan pada 2-35% pasien. Rekurensi ini disebabkan oleh reseksi

Teratoma Menyerupai Lipomielokel inkomplit dari tumor, gagalnya en-block removal dari tulang koksik bersamaan dengan jaringan tumor, tumor spillage atau keberadaan tumor imatur. Teratoma matur seharusnya tidak rekuren bila eksisi komplit dan coccygectomy dapat dilakukan dengan baik. Diagnosis rekurensi dapat dilakukan dengan studi radiologis dan peningkatan AFP.8

SIMPULAN

Teratoma sakrokoksigeal bentuknya dapat menyerupai       lipomielokel,       yang

penanganannya secara komprehensif untuk menghindari risiko keganasan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada keluarga dan kolega atas kritik dan masukan dalam penyusunan laporan kasus ini.

PERNYATAAN

Tidak ada konflik kepentingan dalam penyusunan laporan kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1.    Hassan     HS,     Elbatarny     AM.

Sacrococcygeal teratoma: management and outcomes. Annals of Pediatric Surgery. 2014;10:72-7.

  • 2.    Singh S, Sardhara J, Sharma P, dkk. Is it the Monster "Teratoma" or Simply Meningomyelocele: Our Experience of "Histological Surprise". J Pediatr Neurosci. 2017;12:192-5.

  • 3.    Rattan KN, Yadav H, Srivastava D, dkk. Childhood sacrococcygeal teratoma: a clinicopathological study. Journal of Pediatric and Neonatal Individualized Medicine. 2019;8:e080116.

  • 4.    Adkins EA. Pediatric Teratomas and Other Germ Cell Tumors. Medscape [serial online] 2021 Agustus [diakses Mei

2022].           Diunduh           dari:

https://emedicine.medscape.com/article/93 9938-workup#c3.

  • 5.    Raveenthiran     V.     Sacrococcygeal

Teratoma. J Neonatal Surg. 2013; 2:18.

  • 6.    Yoon HM, Byeon SJ, Hwang JY, dkk. Sacrococcygeal teratomas in newborns: a comprehensive review for the radiologists. Acta Radiol. 2018;59:236-46.

  • 7.    Draper H, Chitayat D, Ein SH, dkk. Longterm functional results following resection of neonatal sacrococcygeal teratoma. Pediatr Surg Int. 2009;25:243-6.

  • 8.    Hashish A, Fayad H, Ashraf El-attar A, dkk.      Sacrococcygeal     Teratoma:

Management and Outcomes. Annals of Pediatric Surgery.    2009;5:119-25.

70