J. Agric. Sci. and Biotechnol.

ISSN: 23020-113

Vol. 1, No. 1, Juli 2012

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI JAMUR PENGHASIL MIKOTOKSIN PADA BIJI KAKAO KERING YANG DIHASILKAN DI FLORES

Emilia Simpllisiu Ake Wangge, Dewa Ngurah Suprapta, dan Gusti Ngurah Alit Susanta Wirya*)

Program Studi Bioteknologi Pertanian Program Pascasarjana Universitas Udayana *) corresponding author at: Jl. PB. Sudirman Denpasar 80362 Bali

E-mail address: alitsusanta@yahoo.com

Abstract

A study entitled “Isolation and Identification of Mycotoxin-producing Fungi on Cocoa Beans Produced in Flores” was done in order to know the population and species of fungi and to know the concentration of mycotoxin in the dried cocoa beans. The dry cocoa beans used in this study were collected from several locations in Flores. Isolation of the fungi was done using Sabouraud Dextrosa Agar (SDA), while the determination of mycotoxin concentration was done based on Enzym Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Results of this study showed that, there were several fungi were found in the dried cocoa beans produced in Flores, namely Aspergillus niger, A. flavus, A. parasiticus, A. fumigatusandMucor sp. All tested dried cocoa beans contained aflatoxin B1, where the highest aflatoxin B1 concentration was found in the fermented beans from West Manggarai with the concentration at 3.65 ppb, while the lowest concentration was 2.21ppb, which was found in the cocoa beans from Nagekeo. The highest concentration of ochratoxin A was 0.38 ppb, which was found in the cocoa beans from West Manggarai, while no ochratoxin A was detected in the cocoa beans from Ende.

Key world : jamur, mikotoksin, kakao kering

  • 1.    Pendahuluan

    • 1.1    Latar Belakang

Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas ekspor yang dapat memberikan kontribusi untuk peningkatan devisa. Indonesiamerupakan negara pengekspor kakao terbesar ketiga di dunia dengan kontribusi sebesar 13 % setelah Pantai Gading (38%) dan Ghana (19%)(Wahyudi et al.,2008).Kondisi ini merupakan suatu peluang yang baik karena Indonesia berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia.

Kualitas biji kakao yang diekspor oleh Indonesia dikenal rendah. Di Amerika Serikat, biji kakao Indonesia selalu mendapatkan penahanan (automatic detention)

karena sering ditemukan jamur, kotoran, serangga dan benda asing lainnya (Rahmadi, 2008). Banyak faktor yang mempengaruhi mutu biji kakao kering, diantaranya 75 % oleh teknik pengolahan dan 25 % oleh jenis kakao, situasi dan kondisi daerah produksi (Badrun, 1991).

Biji kakao dapat ditumbuhi jamur dan jamur yang sering ditemui pada biji kakao yang proses penanganan dan pengolahan yang tidak tepat adalah jamur dari genera Aspergillus, Mucorsp, Penicilium, dan Rhyzopus (Aroyeun dan Adegoke, 2006).Aspergillus.flavusdan A. parasiticus dan A. nigermerupakan jamur yang dapat menghasilkan mikotoksin pada biji kakao kering (Rahmadi dan Fleet, 2007). Konsumsi produk pangan yang terkontaminasi mikotoksin dapat menyebabkan mikotoksikosis(Rahayu, 2006).

Flores merupakan salah satu dari puluhan pulau di Propinsi NTT yang memiliki produksi biji kakao kering yang cukup baik.Berdasarkan produksi kakao di Flores dan bahaya kontaminasi jamur penghasil mikotoksin pada biji kakao kering maka penulis melakukan suatu penelitian untuk mengisolasi dan mengidentifikasi jamur yang terdapat pada biji kakao kering yang berasal dari berbagai daerah di Flores, serta meneliti tentang jamur apa yang dapat menghasilkan mikotoksin pada biji kakao kering.

  • 1.2    Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis jamur, populasi jamur, dankadaraflatoksin B1 dan Okratoksin A yang terdapat pada biji kakao kering yang dihasilkan di Flores.

  • 2.    Bahan dan Metode

    • 2.1    Bahan penelitian

Penelitian ini dilakukan bulan Juni sampai bulan Agustus 2011.Isolasi dan identifikasi jamur dan pengujiankadaraflatoksin B1 dan Okratoksin A dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar. Biji kakao kering yang digunakan dalam penelitian adalah biji kakao kering terfermentasi dan tidak terfermentasi yang dihasilkan di Flores yaitu Kabupaten Manggarai Timur,

Kabupaten Manggarai Barat, Kabupaten Ngada, Kabupaten Nagekeo, Kabupaten Ende, Kabupaten Sikka, Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Lembata.

  • 2.2    Isolasi dan identifikasi jamur

Isolasi jamur dilakukan dengan menggunakan media SDA (Sabouraud Dextrosa Agar). Proses identifikasi jamur berdasarkan ciri-ciri dan karakter morfologis secara makroskopis (visual) dan mikroskopis dilakukan di bawah mikroskop dengan pembesaran 400 x. Identifikasi jamur dilakukan berdasarkan panduan Pitt dan Hocking (1997), Samson et al. (1995), dan Olds (1975).

  • 2.3    Analisa mikotoksin

  • a. Penentuan konsentrasi aflatoksin B1 dan Okratoksin A

Pengujian kadar toksin dilakukan berdasarkan uji ELISA (Enzym Link d Immunosorbant Assay) plate (Ridascreeen Fast Aflatoksin) dengan menggunakan DOA Aflatoksin B1 ELISA Test Kit buatan Thailand tahun 2009 (Chinaphuti et al., 2009). Sedangkan pengujian kadar okratoksin A dilakukan berdasarkan uji ELISA (Enzym Linked Immunosorbant Assay) plate (Ridascreeen Fast Okratoksin A) dengan menggunakan Okratoksin A ELISA Test Kit buatan Amerika tahun 2011.

  • 3.    Hasil dan Pembahasan

    • 3.1    Jenis jamur pada biji kakao kering di flores

Berdasarkan hasil isolasijamur pada media Sabouraud Dextrosa Agar (SDA), terdapat beberapa jenis jamur pada biji kakao kering yang dihasilkan di Floresyaitu Aspergillus niger, Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, Aspergillus fumigatus dan Mucor sp.

Berdasarkan hasil pengamatan, secara makroskopis spesies A. niger menampakkan koloni kompak berwarna putih, dan kuning pada permukaan bawah koloni yang akan berubah menjadi coklat gelap sampai hitam setelah terbentuk konidiospora.Secara mikroskopis bentuk badan buah A. niger dicirikan dengan vesikula berbentuk bulat hingga semi bulat. Konidia bulat hingga semi bulat, dan berwarna coklat. Spesies A. flavus, secara makroskopis memiliki ciri koloninya

pada saat mudaberwarna putih, dan akan berubah menjadi berwarna hijau kekuningan setelah membentuk konidia. Secara mikroskopis ciri dari badan buah A. flavus adalah vesikula berbentuk bulat hingga semi bulat dan konidia berbentuk bulat hingga semi bulat.Species A. parasiticus, memiliki ciri-ciri sebagai berikut : koloni hijau gelap, konidiofor dengan satu set sterigmata, bentuk visikelnya bulat.Spesies A. fumigatus, memiliki ciri-ciri koloni saat muda berwarna putih dan dengan cepat berubah menjadi hijau dengan terbentuknya konidia. Konidiofor pendek, dan berwarna hijau (khusus pada bagian atas). Vesikula berbentuk gada.Konidia bulat hingga semi bulat, berdinding kasar.

Mucor sp., memiliki koloni berwarna putih dan akhirnya berwarna kelabu, berwarna kuning dan halus, hifa tidak berseptat kadang-kadang membentuk cabang, sporangiospora tumbuh pada seluruh bagian miselium, kolumela berbentuk bulat,dan tidak membentuk stolon (Fardiaz, 1989).

  • 3.2    Populasi jamur pada biji kakao kering terfermentasi yang dihasilkan di Flores.

Hasil penelitian menunjukan populasi jamur pada sampel MB1 lebih tinggi dari sampel lain yang diteliti, hal ini disebabkan proses fermentasi yang dilakukan oleh petani asal Manggarai Barat kurang tepat yaitu menggunakan alat yang kurang higienes seperti wadah yang digunakan untuk proses fermentasi oleh para petani adalah karung-karung bekas mengisi pupuk atau hasil pertanian lainnya yang memungkinkan adanya kontaminasi mikroba yang tidak diinginkan. Rahmadi (2008) menyatakan titik kritis fermentasi adalah pada flora awal dimana terjadi cemaran bakteri pathogen dan jamur penghasil toksin. Selain itu, selama proses fermentasi, tidak dilakukan pembalikan/pengadukan. Hal ini menyebabkan bakteri penghasil spora dan jamur berfilamen muncul dan beberapa diantaranya dapat memproduksi toksin. Minifie (1999) menyatakan selama fermentasi terjadi proses yang kompleks sehingga memungkinkan biji kakao tersebut terserang jamur penghasil mikotoksin.

Tabel 1. Populasi Jamur yang Diisolasi dari berbagai Sampel Biji Kakao Kering Terfermentasi yang dihasilkan di Flores

Jamur (x 102 cfu/g)

Kode

No              A.

Sampel             A. flavus   A. fumigatus   A. parasiticus   Mucor sp.

Total

Jamur

1    MB1     240      40         0            20          20

2    MB2     100      40         0            40          40

3     MT1       0       60         70            60           40

4    MT2      0       50         80           40          20

5     ND1      90       0          80            40           30

6    ND2     110      0         70           40          20

7    NK1      60       0         60            0           20

8     NK2      40       0         100            0           20

9     ED1      200      40         70            0            0

10    ED2      110      50          0             0            0

11     SK1       60       60          80             30            0

12    SK2      80       20         30            30           0

13     FT1       80       40          50             0            0

14     FT2      100       50          60             0            0

15     LB1      100       30          0             80            0

16    LB2      70       40          0             70           0

320

220

230

190

240

240

140

160

310

160

230

160

170

210

210

180

  • 3.3    Populasi jamur pada biji kakao kering yang tidak terfermentasi

Hasil penelitian menunjukkan total populasi jamur yang tinggi pada biji kakao pada sampel MT3 disebabkan karena proses pengeringan yang dilakukan petani kurang tepat. Dari hasil pengamatan, wadah yang digunakan oleh para petani untuk menjemur biji kakao adalah terpal, karung atau tikar bekas dan pngeringan tidak optimal. Karena pengeringan yang kurang baik, maka kadar air pada biji kakao menjadi tinggi yaitu lebih dari 7,5 %. Hal ini menyebabkan biji kakao mudah terserang jamur. Pitt dan Hocking (1997) menyatakan kadar air bahan mempengaruhi daya tahan bahan terhadap serangan mikroba. Pengeringan harus berlangsung dibawah suhu 600C cukup cepat untuk mencegah pertumbuhan jamur dan bakteri penghasil spora (Rahmadi, 2008).

Tabel 2. Populasi Jamur yang Diisolasi dari berbagai Sampel Biji Kakao Kering yang tidak Terfermentasi yang dihasilkan di Flores

Kode

Sampel     A.

niger

Jamur (x 102 cfu/g)                           Total

A. flavus   A. fumigatus   A. parasiticus   Mucor sp.   Jamur

1    MB3     40

2    MB4     40

3    MT3      10

4    MT4      0

5    ND3     30

6    ND4     20

7    NK3      0

8    NK4      0

9    ED3      20

10    ED4      10

11     SK3      30

12    SK4      20

13     FT3       10

14    FT4      20

15    LB3      60

16    LB4      40

10          0             20           20        90

10           0              10            10        70

20          80             0            20       130

20          60             0            10        90

20          50             0            20       120

30          40             0            20       110

0          40             20           20        80

0          40             10           20        70

10          0             20            0        50

10          0             40            0        60

20          60             0            0        110

20          60             0            0        100

10          30             0            20        70

20          40             0            10        90

0           10              0             0         70

0          20             0            0        60

  • 3.4    Konsentrasi aflatoksin B1 pada biji kakao kering di flores

Konsentrasi aflatoksin B1 tertinggi terdapat pada sampel yang berasal dari Manggarai Barat (MB1), hal ini disebabkan karena fermentasi yang dilakukan kurang tepat seperti menggunakan wadah yang tidak tepat.Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin adalah (1) pengaruh aerasi, dimana proses fermentasi yang dilakukan pada wadah yang tidak memiliki aerasi yang bagus (2) pengaruh atmosfir (gas udara) seperti CO2, dan O2; (3) suhu, dimana suhu optimum untuk memproduksi toksin yaitu 250C ; (4) pengaruh kelembaban, dimana RH pada proses fermentasi lebih dari 80 % (Syarief et al.,2003).

Sampel ED3 merupakan sampel dengan konsentrasi aflatoksin terendah,hal ini disebabkan karena proses pengeringan dan penyimpanan cukup baik. Adapun proses pengeringan yang dilakukan adalah biji kakao yang telah dikupas dari kulit buahnya langsung dijemur di atas lantai semen dan terpal yang bersih dan

mendapat sinar matahari yang cukup. Wahyudi et al, (2008) menyatakan biji kakao yang setelah dikupas dari kulit buahnya, langsung dijemur akan mempercepat proses pengeringan sehingga biji kakao tersebut terhindar dari serangan jamur penghasil aflatoksin.

Tabel 3. Konsentrasi Aflatoksin B1 pada berbagai Sampel Biji Kakao Kering yang Terfermentasi yang dihasilkan di Flores

No

Kode Sampel

Konsentrasi

Aflatoksin B1 (ppb)

No

Kode Sampel

Konsentrasi Aflatoksin B1 (ppb)

1

MB1

3.65

17

ED3

2.21

2

MB2

3.45

18

ED4

2.38

3

MB3

3.4

19

ED1

3.61

4

MB4

3.4

20

ED2

3.41

5

MT1

3.62

21

SK1

3.61

6

MT2

3.38

22

SK2

2.61

7

MT3

3.58

23

SK3

3.2

8

MT4

3.4

24

SK4

3.4

9

ND1

3.61

25

FT1

3.35

10

ND2

3.62

26

FT2

3.45

11

ND3

3.4

27

FT3

2.59

12

ND4

3.2

28

FT4

2.85

13

NK1

3

29

LB1

3.46

14

NK2

3.12

30

LB2

3.36

15

NK3

3.2

31

LB3

2.54

16

NK4

3

32

LB4

2.41

  • 3.5    Konsentrasi okratoksin A pada biji kakao kering

Kontaminasi jamur penghasil mikotoksin pada berbagai produk pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor dan sangat kompleks. Faktor biologi, fisik dan kimia saling berinteraksi dalam proses terjadinya proses metabolisme sekunder jamur, yaitu dimana mikotoksin tersebut diproduksi. Produksi okratoksin dipengaruhi oleh adanya interaksi dari beberapa faktor seperti suhu, substrat dan kadar air bahan. Pengeringan biji kakao yang tidak maksimal akan mengakibatkan tumbuhnya jamur penghasil okratoksin seperti spesies A. niger. Rahmadi dan Fleet (2008) menyatakan A. niger diketahui berpotensi memproduksi Okratoksin

  • A, hal ini juga dikatakan oleh Bisbal et al., (2009) bahwa spesies A. niger merupakan sumber kontaminasi okratoksin A pada produk kakao.

Faktor yang mempengaruhi tingginya kandungan okratoksinA pada biji kakao kering adalah tempat pengeringan, pengemasan dan tempat penyimpanan dan lama penyimpanan yang kurang baik. Okratoksin A terbentuk pada awal penjemuran biji kakao kering (Aroyeun dan Adegoke, 2006). Pengeringan biji kakao yang tidak mencapai 7,5 % memberi peluang untuk pertumbuhan jamur penghasil okratoksin (Bucheli et al., 1998).

Tabel 4. Konsentrasi okratoksin A pada berbagai sampel biji kakao kering terfermentasi yang dihasilkan di flores

No

Kode Sampel

Konsentrasi

Okratoksin A (ppb)

No

Kode Sampel

Konsentrasi Okratoksin A (ppb)

1

MB1

0.38

17

ED1

0.31

2

MB2

0.32

18

ED2

0.25

3

MB3

0.26

19

ED3

Tidak terdeteksi

4

MB4

0.23

20

ED4

0.18

5

MT1

0.34

21

SK1

0.34

6

MT2

0.37

22

SK2

0.36

7

MT3

0.32

23

SK3

0.28

8

MT4

0.26

24

SK4

0.27

9

ND1

0.36

25

FT1

0.29

10

ND2

0.35

26

FT2

0.32

11

ND3

0.3

27

FT3

0.16

12

ND4

0.28

28

FT4

0.26

13

NK1

0.24

29

LB1

0.31

14

NK2

0.26

30

LB2

0.26

15

NK3

0.18

31

LB3

0.21

16

NK4

0,19

32

LB4

0.16

4.    Kesimpulan

  • 1.    Biji kakao kering di Flores baik yang terfermentasi maupun yang tidak terfermentasi terkontaminasi oleh lima jenis jamur yakni : Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, Aspergillus niger, Aspergillus fumigatus dan Mucor sp.

  • 2.    Total Populasi jamur pada biji kakao kering di Flores yang tidak terfermentasi berkisar antara 50 x 102 cfu/g sampai 130 x 102 cfu/g, sedangkan total populasi jamur pada biji kakao kering terfermentasi di Flores berkisar antara 140 x 102 cfu/g sampai 320 x 102 cfu/g.

  • 3.    Konsentrasi aflatoksin B1 pada biji kakao tertinggi terdapat pada sampel MB1 (Manggarai Barat) yaitu 3,65 ppb sedangkan konsentrasi aflatoksin B1 terendah terdapat pada sampel ED3 (Ende) yaitu 2,21 ppb.

  • 4.    Konsentrasi okratoksin A pada biji kakao tertinggi terdapat pada sampel MB1 (Manggarai Barat) yaitu 0,38 ppb sedangkan konsentrasi okratoksin A pada sampel ED3 (Ende) tidak terdeteksi.

  • 5.    Kandungan aflatoksin B1 dan okratoksin A pada berbagai sampel yang diteliti, masih berada dibawah kadar maksimal yang ditentukan oleh Komisi Perdagangan Eropa yakni 4 ppb, sehingga aman untuk dikonsumsi.

Daftar Pustaka

Anonim. 2007. Discussion paper on ochratoxin A in cocoa. Codex Alimentarius Commission, Codex Committee on Food Additives and Contaminants, First session. Beijing, China (16-20 April 2007, CX/CF07/1/19).

Aroyeun, S.O. danG.O. Adegoke. 2006. Reduction of ochratoxin A (OTA) in spiked cocoa powder and beverage using aqueous extracts and essential oils of Aframomum danielli. Afr. J. Biotechnol. 6:612-616.

Badrun, M. 1991. Program Pengembangan Kakao di Indonesia.Prosiding Komperensi Nasional Kakao III, Medan. Buku 2 : 1-9.

Chinaphuti, A., Trikarunasawad C., S. Aukkasarakul. 2009. DOA-Aflatoxin EISA Test Kit. Post-harvest Technology Research and Development Group, Post-harvest and Processing Research and Development Office.Department of Agriculture.

Pitt, J. I. dan A.D. Hocking. 1997. Fungi and Spoilage. Blackie Academic and Professional. London.

Rahmadi, A. dan G.H. Fleet. 2008. The Occurrence of Mycotoxigenic Fungi in Cocoa Beans From Indonesia and Queensland, Australia. Proceeding of International Seminar on Food Science, University of Soegiyapranata, Semarang Indonesia (FMB-10).

Saad, N. 2001.Aflatoxin Occurrence and Health Risk.An Undergraduate Student Cornell University for the AS625 Class.Animal Sience at Cornell University.p 1-10.

Samson, R.A., E.S. Hoekstra, dan Van Oorschot C.A. 1981. Introducion To Food-Borde Fungi. Centraalbureau Voor Schimmelcultures.

http://ojs.unud.ac.id/index.php/JASB

47