Karakteristik Petani dan Kontribusi Konsep Agrowisata terhadap Pendapatan Petani Jeruk di Kabupaten Karo
on
Jurnal Agribisnis dan Agrowisata ISSN: 2685-3809 Vol.9 No.3 Desember 2020
Karakteristik Petani dan Kontribusi Konsep Agrowisata terhadap Pendapatan Petani Jeruk di Kabupaten Karo
LITNA NURJANNAH GINTING, WILDANI LUBIS, DIAN RETNO INTAN
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara
Jl. Kapten Muchtar Basri Medan 20238
Email: litnanurjannah@umsu.ac.id wildanilubis@umsu.ac.id
Abstract
Characteristics of Citrus Farmers and Agro-Tourism Contribution in Enhancing Farmers’ Income in Karo District
Agro-tourism is one of the tourism activities that utilize the potential of agriculture as tourist attractions such as natural scenery or agricultural production activities. U-pick is an agro-tourism concept that adopts by the citrus farmers in Karo district. The visitors will get the experience to pick the fruit by themselves. On the other hand, Farmers can sell their fruits at a higher price than sold to local agents. The purpose of this research is to ascertain the characteristics of farmers who implement agro-tourism concepts and analyze the contribution of agro-tourism to the citrus farmers’ income. This research used descriptive and economic analysis methods. The results show that the farmers were in productive age with a good education. This business is a family scale, the farmer experienced in farming but relatively new in implementing the agro-tourism concept. The location of the farm is on the roadside so it is accessible by the tourist. The U-pick concept gives a positive effect on the revenue and income of the farmers. The contribution of this concept to the total income of citrus farmers is 29,92%.
Keywords: agro-tourism, characteristics, income, u-pick
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat potensial untuk dikembangkan. Alamnya yang indah dan sektor pertanian sebagai basis negara
menjadikan sektor pariwisata dan sektor pertanian memberikan kontribusi pada perekonomian negara. Pertanian dan pariwisata merupakan dua sektor yang menyediakan lapangan pekerjaan dan sumber penghidupan masyarakat. Jika dibandingkan dengan sektor pertanian, sektor pariwisata masih tergolong baru dan industri yang berkembang cukup pesat. Kedua sektor tersebut dapat dimanfaatkan secara potensial melalui konsep yang cukup menarik yaitu agrowisata.
Agrowisata memiliki arti berbeda tergantung dengan layanan, aktivitas dan fasilitas yang tersedia di objek wisata (Mwaijande 2007; Torres et al. 2011). Agrowisata merupakan salah satu kegiatan wisata yang memanfaatkan potensi pertanian sebagai objek wisata, baik berupa pemandangan alam kawasan pertanian maupun aktivitas produksi pertanian seperti memetik hasil pertanian sendiri. Tingkat kontribusi pariwisata terhadap ekonomi pertanian berbeda pada lokasi yang berbeda tergantung mata pencaharian utama dari penduduk lokal. Pemandangan desa tradisional yang didominasi oleh petani skala kecil membutuhkan agrowisata untuk mendukung ekonomi mereka karena pertanian saja tidak selalu menyediakan penghidupan yang cukup dan berkelanjutan (Edgell 2006; Swarbrooke 199).
Sistem pertanian tradisional dapat menarik jumlah wisatawan dengan jumlah yang signifikan dan membantu terbentuknya agrowisata (Vafadari, 2013). Mengembangkan alternatif usahatani seperti agrowisata adalah cara memanfaatkan produk pertanian. Dua alasan penting kenapa lahan pertanian digunakan sebagai bisnis agrowisata adalah untuk menambah pendapatan dan untuk menjamin pendapatan petani karena pasar produk pertanian yang sering kali berfluktuasi (Nickerson et al 2001; McGehee dan Kim 2004). Berkembangnya agrowisata di satu daerah tidak hanya memberikan dampak positif bagi peningkatan pendapatan masyarakat tapi juga pendapatan pemerintah daerah.
Kabupaten karo merupakan salah satu sentra pertanian dan wisata. Perpaduan keindahan alam dan potensi pertanian memberikan prospek yang cerah untuk dijadikan daya tarik wisata. Kabupaten ini merupakan daerah yang memiliki tanah subur dan panorama indah, maka pengembangan agrowisata akan memiliki manfaat ganda karena disamping menjual jasa dari obyek dan daya tarik keindahan alam sekaligus memperoleh hasil dari penjualan budidaya tanaman.
Jeruk dari karo ini sering disebut jeruk medan dan merupakan produk unggulan Kabupaten Karo. Luas areal jeruk di Kabupaten Karo pada tahun 2017 adalah sebesar 5.099 Ha dengan total produksi 245.213 ton (BPS, 2019). Usahatani komoditas jeruk selain memberikan pendapatan bagi petani juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan di sektor usahatani, agroindustri, transportasi, pemasaran serta sektor jasa lainnya (Situmorang, 2010).
Petani hortikultura terutama tanaman buah jeruk di kabupaten Karo banyak yang menerapkan konsep agrowisata. Konsep agrowisata yang diterapkan adalah pengunjung dapat membeli buah jeruk dengan langsung memetik buah tersebut dari pohonnya. Hal ini menarik pengunjung atau wisatawan yang ingin merasakan langsung bagaimana memetik buah langsung dari pohonnya. Pengunjung cukup membayar buah yang dia petik seharga yang telah ditentukan.
Keuntungan dari petani yang menerapkan konsep agrowisata petik buah sendiri adalah petani dapat menjual langsung buah yang dihasilkan tanpa perantara (direct selling). Sehingga harga yang diterima petani lebih besar daripada menjual ke agen atau dijual ke pasar lokal. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian seberapa besar kontribusi konsep agrowisata petik sendiri ini pada pendapatan petani jeruk. Selain itu, perlu juga diketahui karakteristik petani yang menerapkan konsep agrowisata tersebut sehingga dapat memberikan keterangan kondisi petani dan potensi sumberdaya yang dapat dikembangkan.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah peneltian ini adalah sebagai berikut:
-
1. Bagaimana karakteristik petani yang menerapkan konsep agrowisata pada usahatani jeruk
-
2. Seberapa besar kontribusi pendapatan dari agrowisata terhadap total pendapatan petani jeruk
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut
-
1. Mengetahui karakteristik petani yang menerapkan konsep agrowisata buah jeruk di Kabupaten Karo.
-
2. Mengetahui kontribusi pendapatan petani dari agrowisata buah jeruk terhadap pendapatan petani jeruk.
Lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) yaitu di Kabupaten karo karena merupakan salah satu kota yang memiliki daya tarik wisata karena kondisi alamnya dan juga merupakan sentra produksi hortikultura. Jeruk merupakan salah satu komoditas unggulan di kabupaten ini. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Juni 2020.
Penelitian ini menggunakan data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif berupa informasi karakteristik petani dan usahataninya dan data kuantitatif berupa biaya, penerimaan dan pendapatan usahatani. Sumber data penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui kuisioner dan wawancara langsung ke petani. Data primer yang dibutuhkan adalah luas lahan, jumlah pohon, biaya produksi, hasil produksi, harga jual produk dan data menyangkut pendapatan petani jeruk. Sumber data sekunder dari Badan Pusat Statistika dan penelitian terdahulu.
Data yang digunakan merupakan data primer yang dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner (angket) yang diberikan kepada petani yang menerapkan konsep agrowisata. Data sekunder didapatkan dari berbagai instansi terkait.
Responden penelitian ini diambil dari petani yang menerapkan konsep agrowisata petik sendiri di kebunnnya. Petani yang dipilih merupakan petani yang menerapkan konsep ini dan menjual hasil produksinya ke agen atau pedagang pengumpul saat panen raya. Hal ini bertujuan untuk melihat seberapa besar kontribusi pendapatan dari petik sendiri terhadap pendapatan total.
Teknik pengambilan sampel menggunakan snowball sampling. Snowball sampling adalah suatu pendekatan untuk menemukan informan-informan kunci yang memiliki banyak informasi. Dengan menggunakan pendekatan ini, beberapa responden yang potensial dihubungi dan ditanya apakah mereka mengetahui orang yang lain dengan karakteristik seperti yang dimaksud untuk keperluan penelitian (Nurdiani, 2014). Teknik ini digunakan karena tidak ada jumlah populasi petani jeruk yang menerapkan agrowisata jeruk petik sendiri sehingga sampel diambil dari rekomendasi sampel sebelumnya. Total sampel dalam penelitian ini adalah 20 petani.
Analisis deskriptif kualitatif digunakan untuk melihat karakteristik petani untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti. Karakteristik petani dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu karakter demografi, karakter sosial ekonomi dan karakter sosial budaya (Agunggunanto, 2011). Penelitian mengenai karakteristik usahatani yang menerapkan agrowisata yang dilakukan Schilling & Sullivan (2014) membagi karakteristik menjadi karakteristik usahatani, karakteristik lokasi dan karakteristik sosial demografi petani. Menurut Kotler dan Armstrong (2001), karakteristik sosial demografi merupakan ciri yang menggambarkan perbedaan berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, agama, suku, bangsa, pendapatan, jenis keluarga, status pernikahan, lokasi demografi dan kelas sosial. Karakteristik petani dalam penelitian ini terdiri dari usia petani, tingkat pendidikan, luas lahan, lama berusaha tani dan menerapkan konsep agrowisata. Karakteristik petani menunjukkan tingkat kompetensi dalam berusahatani sehingga dapat memberikan keterangan kondisi petani dan potensi sumberdaya yang dapat dikembangkan.
Pendaptan usahatani adalah keuntungan yang diterima oleh petani. Berhasil atau tidaknya suatu usahatani diukur dari tingkat pendaptan yang didapatkan selama periode usahatani. Pendapatan total usahatani merupakan selisih antara penerimaan usahatani
dikurangi dengan biaya usahatani termasuk biaya tunai maupun tidak tunai. Adapun rumus dari pendaptan adalah sebagai berikut:
I = TR –TC.............................................................(1)
I = Income/Pendapatan (Rp)
TR = Total Revenue / Total Penerimaan (Rp)
TC = Total Cost / Total Biaya (Rp)
Dalam penelitian ini analisis pendapatan petani dihitung dengan menjumlahkan pendapatan dari menjual hasil jeruk langsung melalui agrowisata petik sendiri dan non agrowisata dengan menjual ke agen.
I = Ia+ Ina… …………………………………(2)
Keterangan :
I = Income/ Pendapatan Total
Ia = Income/ Pendapatan Jeruk Agrowisata
Ina = Income/ Pendapatan Jeruk Non Agrowisata
Kontribusi pendapatan dari kegiatan Pertanian Agrowisata :
Kpa= (Ppa/ P) x 100%............................................(3)
Ka = Kontribusi pertanian agrowisata bagi pendapatan petani
Pa = Pendapatan petani dari kegiatan agrowisata
P = Pendapatan total petani jeruk
Penjelasan mengenai pendapatan dan kontribusi pertanian konsep agrowisata dapat memberikan informasi mengenai seberapa besar konsep ini berpengaruh terhadap pendapatan petani. Hasil analisis dapat digunakan untuk menganalisis apa yang perlu dilakukan untuk pengembangan konsep Agrowisata buah di kabupaten Karo.
Karakteristik petani akan menggambarkan motivasi, ciri khas, konsep diri, nilai-nilai, pengetahuan atau keahlian petani dalam berusahatani. Variabel umur dan pendidikan formal, lama usahatani dan lama menerapkan agrowisata merupakan karakteristik sosial demografi petani. Variabel luas lahan dan lokasi lahan merupakan karakteristik usahatani.
Karakteristik pertama adalah umur petani yang merupakan salah satu indikator yang mempengaruhi cara berfikir dan kemampuan fisik dalam menjalankan usahatani. Petani di Indonesia cenderung tua dan konservatif menyikapi perubahan terhadap inovasi dan teknologi. Petani yang muda akan cenderung cepat melakukan adopsi terhadap inovasi walaupun masih belum berpengalaman (Kartasapoetra, 1994).
Tabel 1.
Karakteristik Petani Jeruk Petik Sendiri
No |
Uraian |
Jumlah (Orang) |
Persentase (%) |
1. |
Umur (Tahun) | ||
a. 26-35 |
9 |
45 | |
b. 36-45 |
5 |
25 | |
c. 46-55 |
5 |
25 | |
d. > 55 |
1 |
5 | |
2. |
Pendidikan Formal | ||
a. SD |
2 |
10 | |
b. SMP |
3 |
15 | |
c. SMA |
14 |
70 | |
d. Sarjana |
1 |
5 | |
3. |
Luas Lahan (Ha) | ||
a. 0 – 0,9 |
10 |
50 | |
b. 1 – 1,9 |
6 |
30 | |
c. ≥ 2 |
4 |
20 | |
4. |
Pengalaman Bertani (Tahun) | ||
a. 1-10 |
4 |
20 | |
b. 11-20 |
5 |
25 | |
c. 21-30 |
8 |
40 | |
d. 31-40 |
2 |
10 | |
e. > 40 |
1 |
5 | |
5. |
Lama Menerapkan Konsep | ||
Agrowisata (Tahun) | |||
a. 1-5 |
5 |
25 | |
b. 6-10 |
9 |
45 | |
c. 11-15 |
4 |
20 | |
d. 16-20 |
1 |
5 | |
e. > 20 |
1 |
5 | |
6. |
Lokasi/Kecamatan | ||
a. Barus Jahe |
8 |
40 | |
b. Merek |
9 |
45 | |
c. Tiga panah |
3 |
15 |
Sumber: Data primer yang diolah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 45% petani berumur berkisar antara 26-35 tahun. Kebanyakan petani merupakan generasi kedua dan melanjutkan usahatani orang tuanya. Usia ini masih tergolong produktif dan memiliki potensi untuk mengembangkan usaha agrowisata jeruk mereka. Umur Petani yang masih diusia produktif akan memungkinkan mereka untuk lebih mudah menerima inovasi dan meningkatkan usahatani mereka.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi cara berpikir seseorang. Tingkat pendidikan yang tinggi akan membantu dalam menerima informasi, mengambil keputusan dan mengadopsi teknologi dan inovasi khususnya yang berkaitan dengan pengembangan agrowisata jeruk petik sendiri. Sebagian besar tingkat pendidikan petani jeruk adalah SMA yaitu sebesar 70%. Dapat dikatakan bahwa petani
mempunyai tingkat pendidikan yang cukup baik. Petani yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi akan lebih rasional dalam berfikir dibandingkan petani yang berpendidikan rendah. Rotinsolu et al. (2014) mengatakan bahwa kurangnya tenaga kerja terdidik yang terserap berdampak pada lambatnya pertumbuhan dan pembangunan ekonomi karena pendidikan sangat penting dan berpengaruh terhadap produktifitas. Pendidikan menjadikan manusia lebih cepat dan lebih siap menghadapi perubahan.
Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang sangat berpengaruh terhadap usahatani. Besar kecilnya produksi usahatani salah satunya dipengaruhi oleh luas lahan yang digunakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa petani yang menerapkan konsep ini memiliki luas lahan sedang. Petani jeruk yang menerapkan konsep agrowisata petik sendiri sebanyak 50% memiliki lahan memiliki luas lahan 0 – 0,9 ha, sedangkan 1-1,9 ha sebanyak 30% dan ≥ 2 ha sebesar 20%. Menurut Schilling dan Sullivan (2014), usahatani keluarga yang memiliki skala kecil lebih banyak menerapkan menerapkan konsep agrowisata. Usahatani keluarga merupakan usaha kecil yang dikelola individu yang mata pencaharaian utamanya sebagai petani. Hal ini disebabkan karena usahatani skala kecil memiliki keterbatasan akses terhadap pasar sehingga konsep ini justru sangat bermanfaat bagi usahatani skala kecil.
Pengalaman petani merupakan suatu pengetahuan yang diperoleh petani melalui kegiatan usahatani yang dilakukannya dan dari peristiwa yang pernah dialaminya. Pengalaman dalam melakukan usahatani akan mempengaruhi teknik budidaya dan cara menjalankan usahanya karena sudah memiliki pengetahuan dan pengalaman. Petani yang memiliki pengalaman berusahatani lebih lama akan mampu merencanakan usahatani lebih baik karena sudah memahami segala aspek dalam usahatani. Dari Tabel 1 dapat dilihat 40% petani sudah mulai bertani selama 21-30 tahun. Petani mulai bertani sejak masih sangat muda sehingga memiliki pengamalan yang cukup lama.
Konsep agrowisata petik sendiri jeruk merupakan konsep yang memungkinkan petani untuk menjual langsung jeruk ke konsumen akhir. Konsumen juga memperoleh pengalaman dengan memetik buah jeruk langsung dari pohonnya. Konsep petik sendiri ini cukup diminati oleh konsumen yang merupakan wisatawan yang hanya lewat atau memang bertujuan untuk membeli jeruk. Petani jeruk ini menerapkan konsep petik sendiri selama 6-10 tahun sebanyak 45%. Lama menerapkan konsep ini tentunya masih tergolong lebih singkat dibandingakan pengalaman bertani para petani jeruk.
Berdasarkan hasil observasi di lapangan, survey dan wawancara, petani jeruk yang menerapkan konsep agrowisata ini semuanya memiliki lokasi kebun jeruk tepat di pinggir jalan. Hal ini memungkinkan para konsumen yang ingin memetik sendiri mudah untuk menemukan kebun mereka. Salah satu keuntungan dari lokasi kebun di pinggir jalan adalah dapat dibuat konsep petik sendiri, jika dibandingkan dengan petani yang memiliki ladang jeruk yang jauh dari pinggir jalan. Petani jeruk yang menerapkan konsep petik sendiri biasanya lokasi kebunnya berada di jalan lintas menuju suatu objek wisata. Hal ini memungkinkan wisatawan yang ingin ke objek wisata tersebut untuk singgah di kebun petik buah sendiri milik petani.
Jika dilihat karakteristik petani dan usahatani yang menerapkan konsep agrowisata ini maka peluang pengembangan konsep ini cukup besar. Usia petani yang masih produktif dan memiliki pengalaman dalam berusahatani sehingga memiliki kemampuan untuk mengadopsi dan menerapkan inovasi dalam pengembangan usahatani berbasis agrowisata.
Pendapatan usahatani jeruk pada penelitian ini merupakan pendapatan petani jeruk yang menerapkan agrowisata sekaligus menjual langsung hasil produksinya ke agen pada saat panen raya. Klasifikasi ini dilakukan agar mengetahui besarnya kontribusi pendapatan melalui agrowisata terhadap total pendapatan petani jeruk. Rata-rata petani jeruk ini akan panen raya dua kali dalam setahun yaitu sekitar bulan juli-september dan desember-februari. Namun setelah panen raya, biasanya jeruk masih akan menghasilkan produksi atau sisa dari hasil panen raya yang tidak dipetik saat karena masih sangat kecil. Hasil analisis pendapatan petani jeruk di kabupaten karo dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2.
Analisis Pendapatan Usahatain Jeruk di Kabupaten Karo Tahun 2019
Uraian |
Jumlah |
(%) |
A. Penerimaan | ||
(1) Agrowisata (Rp) |
25.677.500 | |
(2) Non Agrowisata (Rp) |
99.936.000 | |
B. Biaya | ||
(1) Pupuk (Rp) |
24.751.500 |
39,63 |
(2) Pestisida dan obat-obatan (Rp) |
12.649.000 |
20,25 |
(3) Tenaga Kerja (Rp) |
18.970.000 |
30,37 |
(4) Penyusutan Alat (Rp) |
2.889.250 |
4,64 |
(5) Biaya Lainnya (Rp) |
3.193.750 |
5,11 |
Total Biaya (Rp) |
62.463.500 | |
C. Pendapatan (Rp) | ||
(1)Agrowisata (Rp) |
18.894.721 | |
(2)Non Agrowisata (Rp) |
44.255.279 |
Sumber: Data primer yang diolah
Tabel di atas menunjukkan penerimaan, biaya dan pendapatan. Komponen biaya yang paling besar adalah pupuk sebesar 39,63% dari total biaya sedangkan biaya pestisida dan obat-obatan sebesar 20,25%. Petani jeruk cenderung sangat sering dalam menyemprot tanamannya yaitu 1-2 minggu sekali. Hal ini dilakukan karena petani jeruk menghadapi serangan hama lalat buah yang sampai saat ini masih sulit dikendalikan. Hama lalat buah selain disemprot, petani juga menggunakan perangkap lalat baik berupa bola atau plastik yang diisi air dan dibaluri lem tikus. Warna bola yang kuning cerah cukup menarik lalat untuk terjebak di lem. Hama lalat ini menyerang buah yang
sudah hampir matang dan kuning, menghisap sari buah dan menyuntikkan terlurnya ke dalam jeruk tersebut. Sehingga banyak buah jeruk yang akan busuk dan rontok, hal ini berdampak terhadap hasil produksi petani jeruk.
Tenaga kerja terdiri dari Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK). Dalam kegiatan usahatani jeruk cukup membutuhkan banyak tenaga kerja untuk melakukan pemupukan, penjarangan, penyemprotan, dan pemangkasan. Biaya tenaga kerja yang dikeluarkan petani jeruk sebesar 30,37% dari total biaya. Biaya lainnya terdiri dari biaya air, listrik dan pajak lahan yang dibayarkan petani per tahun.
Petani yang menerapkan konsep agrowisata tidak mengeluarkan biaya pemanenan dan tidak mengeluarkan biaya tambahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lestariningsih et al. (2018) bahwa dalam kegiatan operasional agrowisata tidak mengeluarkan biaya tambahan. Jika menjual hasil produksi ke agen, agen akan membawa tenaga kerja pemanen sendiri dan mengangkutnya. Penjualan langsung memiliki keuntungan lain yaitu mengurangi biaya transportasi dan distribusi (Galinato et al, 2010). Penerapan konsep agrowisata membuat petani dapat menjual langsung produk mereka tanpa perantara dan mengurangi kesenjangan dalam pemasaran. Pemasaran produk langsung seperti ini dapat meningkatkan kesegaran, kualitas dan pendapatan petani.
Petani jeruk petik sendiri akan mendapatkan peningkatan penjualan di akhir pekan dan hari libur nasional dimana penjualan bisa mencapai 50-300 kg. Jika dilihat dari persentasi produksi yang dijual, petani hanya menjual ke wisatawan sebesar 11% dari total keseluruhan produksi. Sebagian besar hasil produksi dijual ke agen atau pedagang pengumpul yang langsung datang ke kebun petani. Hal yang sama juga terjadi pada petani bunga di Thailand yang menerapkan agrowisata juga menjual sebagian besar produksinya ke pedagang pengumpul atau grosir yang datang (Choenkwan et al. 2019).
Keuntungan dari konsep agrowisata adalah petani mendapatkan harga jual yang jauh lebih tinggi. Rata-rata petani dapat menjual jeruk petik sendiri dengan harga Rp 20.000-25.000/kg sedangkan jika di jual ke agen, petani hanya akan memperoleh harga sekitar Rp 7.000 - 11.000/kg. Selisih harga ini tentu saja menjadikan petani lebih suka untuk menjual jeruk mereka dengan konsep agrowisata. Dengan menjual jeruk melalui konsep agrowisata petik sendiri, petani mendapat pendapatan tambahan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Jeczmyk et al (2015) yang mengatakan bahwa penerimaan yang diperoleh dari aktivitas agrowisata adalah tambahan pendapatan untuk keluarga petani.
Dari hasil analisis pendapatan, petani memperoleh pendapatan sebesar Rp 18.894.721 melalui konsep agrowisata sedangkan dari mejual langsung ke agen memperoleh pendapatan Rp 44.255.279. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi agrowisata terhadap total pendapatan petani jeruk sebesar 29,92%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Jeczmyk et al (2015) mengenai manfaat ekonomi agrowisata yang menunjukkan bahwa pendapatan petani dari agrowisata sekitar sepertiga dari keseluruhan pendapatan rumah tangga petani. Dalam penelitiannya
ditunjukkan bahwa kontribusi agrowisata sekitar 28,4% dari total pendapatan. Penemuan yang dilakukannya mengkonfirmasi asumsi bahwa agrowisata merupakan alternatif sumber pendapatan bagi petani dan keluarganya. Namun hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Choenkwan et al, 2019) yang menunjukkan bahwa rata-rata agrowisata bunga di Thailand hanya memperoleh pendapatan 10% dari agrowisata. Hal ini disebabkan karena harga yang jual ke wisatawan dan agen hampir sama. Berbeda dengan penelitian ini, dimana harga jual ke wisatawan dan agen sangat jauh berbeda.
Dilihat dari harga jual jeruk yang lebih tinggi dan konsep petik sendiri yang cukup memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani, namun tidak semua petani menerapkan agrowisata. Hal ini disebabkan lahan petani jeruk tidak semuanya berada di pinggir jalan lintas yang mudah digapai oleh konsumen. Selain itu menurut Galinato et al. (2010) agrowisata masih relatif baru bagi produsen pertanian sedangkan menjual langsung ke agen sudah menjadi tradisi dan kebiasaan sejak bertahun-tahun lamanya. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian ini dimana petani jeruk ini baru menjalankan konsep agrowisata ini kurang dari 10 tahun sedangkan lama mereka usahatani rata-rata 20 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa mereka lebih lama menerapkan konsep menjual langsung ke agen daripada menerapkan konsep agrowisata ini. Selain itu petani jeruk yang menerapkan konsep petik sendiri / agrowisata ini menghabiskan waktu mereka di kebun setiap hari untuk menunggu pengunjung atau wisatawan. Penelitian Choenkwan et al. (2019) menunjukkan bahwa waktu juga menjadi pertimbangan petani agrowisata bunga untuk menerapkan konsep ini di kebunnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa agrowisata memberikan dampak positif terhadap peningkatan pendapatan petani. Hal ini sesuai dengan penelitian Schilling et al. (2014) yang menyatakan bahwa agrowisata berpengaruh positif dan signifikan pada keuntungan usahatani. Dampak ini terutama bagi petani skala kecil yang dijalankan oleh individu. Penelitian Aida et al. (2017) juga menunjukkan bahwa peningkatan ekonomi masyarakat karena adanya agrowisata belimbing menunjukkan dampak positif yang ditandai dengan peningkatan penerimaan petani dalam satu kali panen. Swastika (2017) menunjukkan bahwa pengembangan agrowisata berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Lestariningsih, et al. (2018) juga menunjukkan bahwa agrowisata berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan petani bunga krisan di kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang dimana pendapatan setelah menerapkan konsep agrowisata lebih tinggi.
Jeczmyk et al. (2015) menekankan bahwa agrowisata tidak hanya membantu meningkatkan pendapatan usahatani tapi juga menjadi salah satu alternatif saluran pemasaran yang penting bagi petani untuk menjual produk mereka. Namun, menurut Schilling et al. (2012;2014) agrowisata tidak memberikan peningkatan yang sama pada semua pendapatan keluarga usahatani. Peningkatan yang utama diperoleh oleh usahatani skala kecil.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik petani yang menerapkan agrowisata ini berada pada usia produktif, tingkat pendidikan yang cukup baik, skala usaha keluarga dan kecil, sudah cukup lama bertani namun masih tergolong baru dalam menerapkan konsep agrowisata petik sendiri. Selain itu, petani memiliki kebun di pinggir jalan yang sering dilewati wisatawan yang akan mengunjungi objek wisata. Konsep agrowisata petik sendiri memberikan dampak positif terhadap peningkatan penerimaan dan keuntungan yang diterima oleh petani jeruk. Tingginya harga jual jeruk langsung kepada wistawan dengan konsep petik sendiri memberikan tambahan pendapatan bagi petani jeruk.
Konsep agrowisata ini cukup menjanjikan dan dapat meningkatkan pendapatan petani, namun agar usaha agrowisata ini dapat berkelanjutan dan berkembang maka perlu adanya inovasi baik dari segi usahatani maupun produk olahan.
Ucapan terimakasih diberikan kepada Lembaga Penelitian Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara yang telah mendanai penelitian ini serta semua pihak yang memberikan bantuan dalam penelitian dan penyelesaian jurnal ini.
Daftar Pustaka
Agunggunanto, E. Y. 2011. Analisis kemiskinan dan pendapatan keluarga nelayan kasus di Kecamatan Wedung Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Indonesia. Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan. 1(1):50-58
Aida, N. E., Boedirochminarni, A., Nuraini, I. 2017. Analisis Peningkatan Ekonomi Masyarakat di Agrowisata Belimbing Karangsari Kota Blitar. Jurnal Ilmu Ekonomi. 1 (3) : 282 -296
Badan Pusat Statistika. 2019. Kabupaten Karo dalam Angka 2019. Badan Pusat Statistik Kabupaten Karo
Choenkwan, S., Promkhambut, A., Hayao, F., Rambo, A.T. 2019. Does Agritourism Benefit Mountain Farmers? A Case Study in Phu Ruea District, Northeast Thailand. Mountain Research and Development (MRD) Journal. 36 (2) : 162 – 172
Edgell, D. L. 2006. Managing sustainable tourism: a legacy for the future. Routledge.
London.
Galinato, G.I., Galinato, S.P., Chouinard, H., Taylor, M., Wandschneider, P. 2010. Agrotourism and Direct Agricultural Marketing in Washington State: An Industry Profile. Working Paper. Washington State University.
Kartasapoetra, A.G. 1994. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Bumi Aksara.
Kotler, P. & Gary Armstrong. 2001. Prinsip-Prinsip Pemasaran. Jilid 1. Jakarta: Erlangga
McGehee, N. &Kyungmi, K. 2004. Motivation for Agri-tourism Entrepreneurship. Journal of Travel Research. 43(2):161-170.
Jeczmyk. A., Uglis, J., Graja-Zwolinska, S., Mackowiak, M., Spychala, A., Sikora, J. 2015. Research note: Economic Benefit of Agritourism Development in Poland – An Empirical Study. Tourism Economics. 21 (5) : 1120 -1126
Lestariningsih, U., Setiadi, A., Setiyawan, H. 2018. Analisis Pengaruh Agrowisata terhadap Peningkatan Pendapatan Petani Bunga Krisan di Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang. Agrisaitifika. 2 (1) : 51-59
Mwaijande, Francis A. 2007. Understanding barriers for agriculture-tourism linkages. University of Arkansas.
Nickerson, N., Rita J.B., Stephen, F.M. 2001. Agritourism: Motivations Behind Farm/Ranch Business Diversification. Journal of Travel Research. 40(1): 19-26.
Nurdiani, Nina. 2014. Teknik Sampling Snowball dalam Penelitian Lapangan. ComTech: Computer, Mathematics and Engineering Applications. 5 (2) : 11101118
Rotinsolu, D., Sunusi, D.K., dan Kumenaung, K. 2014. Analisis Pengaruh Jumlah Tenaga Kerja, Tingkat Pendidikan, Pengeluaran Pemerintah pada Pertumbuhan Ekonomi dan Dampaknya terhadap Kemiskinan di Sulawesi Utara Tahun 20012010. Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi. 14 (2).
Schilling, B.J. & Sullivan, K.P. 2014.Characteristics of New Jersey Agritourism Farms.Journal of Food Distribution Research. 45 (2) : 161 – 173
Schilling, B.J., Sullivan, K.P., Komat, S.J. 2012. Examining the economic benefits of agritourism: The case of New Jersey. Journal of Agriculture, Food Systems, and Community Development. 3(1):199–214.
Situmorang, Rospita O.P. 2010. Perkembangan Agroindustri Pengolahan Jeruk di Kabupaten Karo Sumatera Utara Analisis Faktor-Faktor yang Memepengaruhi. [Tesis]. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Swarbrooke, J. 1999. Sustainable tourism management. NewYork CaBI Publishing
Torres, R., & Janet, M.2011. Tourism and agriculture: new geographies of consumption, production and rural restructuring. Routledge. London and New York.
Vafadari, Kazem. 2013. Planning Sustainable Tourism for Agricultural Heritage Landscapes. Journal of Asia Pacific Studies. (32): 75 - 89
https://ojs.unud.ac.id/index.php/JAA
325
Discussion and feedback