Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Pemberi Pinjaman Akibat Terjadinya Gagal Bayar pada Peer to Peer Lending
on

Vol. 5 No. 3 Desember 2020
e-ISSN: 2502-7573 ∣ p-ISSN: 2502-8960
Open Acces at: https://ojs.unud.ac.id/index.php/ActaComitas
Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Pemberi Pinjaman Akibat Terjadinya Gagal Bayar Peer to Peer Lending
Ni Made Intan Pranita Dewanthara1 Made Gde Subha Karma Resen2
-
1 Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: intanpranita19@gmail.com
-
2 Fakultas Hukum Universitas Udayana, E-mail: karma_resen@unud.ac.id
Info Artikel
Masuk : 30 Juli 2020
Diterima : 30 Juli 2020
Terbit : 15 Desember 2020
Keywords :
Legal protection; Failed Payment, Peer to Peer Lending
Kata kunci:
Perlindungan hukum; Gagal Bayar; Peer to Peer Lending
Corresponding Author:
Abstract
The digital world has developed very rapidly and has had a lot of influence in various sectors, one of which is the presence of information technology-based lending and borrowing services, namely Peer to Peer Lending. However, it is possible that the implementation of Peer to Peer Lending carries a risk of a legal problem, namely the default from the Loan Recipient which will harm the Lender who funds the loan application on the Operator's platform. In this regard, the next study aims to identify and analyze legal protection for lenders related to the risk of default in peer to peer lending based lending services. In addition, this study also aims to explain dispute resolution due to default in peer to peer lending. The research method used in this research is normative legal research method. Legal protection for lenders with the formation of special regulations that provide protection for Peer to Peer Lending service users, namely the Financial Services Authority Regulation Number 77 / POJK.01 / 2016 in particular Article 37 and sanctions such as fines, imprisonment, and other additional penalties given after it occurs dispute. Settlement of disputes due to default in P2PL can be carried out outside or inside the court in accordance with Article 39 paragraph (1) POJK Number 1/POJK.07 / 2013.
Abstrak
Dunia digital mengalami perkembangan yang sangat pesat dan memberikan banyak pengaruh di berbagai sektor, salah satunya kehadiran layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi yaitu Peer to Peer Lending. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa pelaksanaan Peer to Peer Lending beresiko
pada suatu permasalahan hukum yakni gagal bayar dari Penerima Pinjaman yang akan merugikan Pemberi Pinjaman yang mendanai pengajuan pinjaman pada platform Penyelenggara. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penelitian ini selanjutnya bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tentang perlindungan hukum bagi pihak pemberi pinjaman terkait dengan resiko gagal bayar dalam layanan pinjaman berbasis peer to peer lending. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menjelaskan penyelesaian sengketa akibat gagal bayar dalam peer to peer lending. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni metode penelitian hukum normatif. Perlindungan hukum terhadap pemberi pinjaman dengan dibentuknya peraturan khusus yang memberikan perlindungan bagi pengguna jasa Peer to Peer Lending yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 khususnya Pasal 37 dan sanksi seperti denda, penjara, maupun hukuman tambahan lain yang diberikan setelah terjadi sengketa. Penyelesaian sengketa akibat gagal bayar dalam P2PL dapat dilakukan diluar maupun didalam pengadilan sesuai ketentuan Pasal 39 ayat (1) POJK Nomor 1/POJK.07/2013.
Dunia digital mengalami perkembangan yang sangat pesat dan memberikan banyak pengaruh di berbagai sektor khususnya terhadap sektor keuangan. Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi pada era serba digital seperti sekarang ini, tidak satupun aktivitas masyarakat yang dapat terlepas dari bantuan teknologi diantaranya dalam kegiatan bisnis sehingga munculnya berbagai jenis bisnis dan transaksi secara elektronik (e-commerce). Hal tersebut memberikan banyak keuntungan bagi berbagai kalangan sebagai pengguna internet, khususnya bagi kalangan milenial yang melakukan berbagai kegiatan melalui internet salahsatunya dalam transaksi jualbeli maupun melakukan pembayaran secara online. Perkembangan tersebut membawa perubahan rutinitas masyarakat semakin moderns yang menyebabkan lahirnya model bisnis gaya baru berbasis teknologi finansial.
Pergeseran lembaga keuangan dewasa ini yang berbasis teknologi, terbkuti dengan adanya adaptasi fintech. Financial Technology atau dalam Bahasa Indonesia disebut teknologi finansial sering dikenal dengan istilah fintech. Pada sektor finansial, pemanfaataan teknologi informasi bermanfaat dalam memberikan layanan yang maksimal di industri keuangan ataupun inovasi dengan mendapat dorongan teknologi masa kini. Masyarakat pada saat ini dimudahkan dengan kehadiran Fintech dalam bentuk layanan pinjammeminjam uang menggunakan teknologi informasi. Layanan pinjam meminjam secara online juga dikenal kredit online ini sangat diminati masyarakat karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan fasilitas kredit yang diberikan oleh lembaga perbankan diantaranya debitor yang membutuhkan dana tidak harus datang untuk bertatap muka dengan pihak bank serta terhindar dari prosedur yang menghabiskan waktu yang lama hingga proses penandatanganan perjanjian kredit sebagaimana proses pengajuan kredit konvensional. Selain itu, tidak memerlukan agunan sebagai syarat pengajuan kredit layaknya kredit yang dilakukan pada bank.
Bank Indonesia (selanjutnya disebut BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK) adalah pihak yang berwenang membentuk peraturan dan melakukan pengawasan berjalannya kegiatan fintech. Kedua lembaga tersebut merupakan lembaga negara yang independen. Membuat aturan-aturan serta melakakukan pengawasan usaha jasa berbasis teknologi finansial terkait sistem pembayaran yang dikeluarkan melalui “dompet elektronik” merupakan tugas BI. Alat pembayaran virtual yang digunakan dalam melakukan penyimpanan uang tunai, kartu debit, kartu kredit dan uang elektronik diartikan sebagai dompet elektronik. Sedangkan tugas OJK terkait teknologi finansial yaitu melakukan pengaturan dan pengawasan diluar moneter dan sistem pembayaran meliputi Pinjam Meminjam berbasis Teknologi Finansial (selanjutnya disebut PM Tekfin).
Total jumlah penyelenggara fintech yang sudah melakukan pendaftaran dan memiliki izin hingga 19 Februari 2020 adalah sebanyak 161 perusahaan. 1 Pada umumnya banyak orang yang beranggapan bahwa fintech hanya terkait kredit online, melainkan saat ini di Indonesia perkembangan berbagai jenis fintech yang ada, yaitu Online Payment, Peer to peer lending (selanjutnya disebut dengan P2PL), Crowdfumding, Market Aggregrator, Insuretch dan Manajemen Resiko dan Investasi. Masyarakat Indonesia paling berminat pada jenis P2PL.2 P2PL merupakan fasilitas kredit tanpa agunan untuk memperoleh pinjaman.3 Beberapa pihak yang terlibat amtara lain meliputi penerima pinjaman, pemberi pinjaman dan penyelenggara P2PL sebagai media yang mempertemukan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman melalui aplikasi yang telah disediakan.4
P2PL berbeda dengan bank, yang mana fungsi bank untuk menghimpun dana masyarakat sedanngkan P2PL menjalankan fungsinya yaitu menjadi perantara antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman.5 Dalam pelaksanaan usaha jasa Pinjam Meminjam berbasis Teknologi Finansial tidak melibatkan pihak perbankan maupun perusahaan pembiayaan. Fintech P2PL juga dikatakan sebagai terobosan yang mampu menggabungkan suatu sistem atau pasar dengan memperkenalkan kepraktisan,
kemudahan akses, kenyamanan, dan biaya yang ekonomis.6 Guna meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bisnis PM Tekfin, BI dan OJK mendorong perkembangan bisnis ini.
Terbitnya regulasi bisnis jasa tekfin oleh BI dan OJK memberikan kepastian serta perlindungan bagi pengguna dan pelaku usaha bisnis tekfin. Regulasi tersebut diantaranya diterbitkan oleh BI melalui Peraturan BI No. 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran sedangkan diterbitkan oleh OJK melalui Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam-Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (yang selanjutnya disebut POJK No. 77). Tujuan diterbitkannya aturan tersebut adalah untuk mengembangkan bisnis tekfin di Indonesia dan meningkatkan peran masyarakat. Beberapa peraturan lainnya terkait dengan bisnis tekfin antara lain Undang – Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang – Undang No. 7 tentang Perdagangan, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP-PSTE) dan berbagai aturan terkait lainnya.
Dasar hukum tertulis mengenai P2PL di Indonesia yaitu POJK No. 77. Penyelenggara P2PL adalah perusahaan yang merupakan lembaga jasa keuangan lainnya yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas maupun Koperasi. Batasan pinjaman yang diberikan yakni maksimal senilai Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Platform P2PL sejatinya telah ada dan dikenal masyarakat di Indonesia sejak 2015 sebelum POJK No. 77 diterbitkan. Saat ini terdapat banyak platform P2P Lending sebagai salah satu contoh platform yaitu investree. Jika dilihat dalam peraturan ini, layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi dikatakan sebagai media atau perantara jasa keuangan mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dengan mata uang rupiah secara langsung menggunakan sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet. Pengertian tersebut tidak sama dengan pinjam meminjam sebagaimana aturan Pasal 1754 KUH Perdata.
Adapun beberapa pihak yang dilibatkan dalam pinjam meminjam sesuai ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata yakni pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dimana berdasarkan kesepakatan akan berakibat adanya perjanjian pinjam meminjam dan setealahnya akan timbul hubungan hukum. Sedangkan, berbeda dengan P2PL, pemberi pinjaman tidak bertatap muka dengan penerima pinjaman dan pemberi serta penerima yang terkait tidak mengetahui satu sama lain melainkan platform P2PL yang menghubungan kedua belah pihak.
Berdasarkan laporan OJK pada Februari 2020 jumlah penggabungan pinjaman online yang sudah disalurkan yaitu Rp95,39 triliun. Terjadi peningkatan tiap tahunnya
sebesar 225,58 persen.7 Dalam pelaksanaan layanan pinjaman online terdapat berpotensi memunculkan adanya permasalahan hukum. Permasalahan yang dimaksud yaitu Penerima Pinjaman tidak melakukan pembayaran. Pemberi pinjaman merupakan pihak yang akan mengalami kerugian akibat resiko gagal bayar.
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk membuat peneltian berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Pemberi Pinjaman Akibat Terjadinya Gagal Bayar Peer to Peer Lending” dengan rumusan masalah sebagai berikut: (1) bagaimana perlindungan hukum bagi pihak pemberi pinjaman akibat resiko gagal bayar dalam layanan pinjaman berbasis fintech melalui P2PL? Serta (2) bagaimana penyelesaian sengketa akibat gagal bayar dalam P2PL?
Tujuan dilakukan penulisan penelitian ini diantaranya terbagi menjadi dua tujuan yang ingin dipenuhi yaitu untuk mengetahui perlindungan hukum bagi pihak pemberi pinjaman terkait dengan resiko gagal bayar dalam layanan pinjaman berbasis fintech melalui peer to peer lending dan juga menjelaskan penyelesaian sengketa akibat gagal bayar dalam peer to peer lending.
Terkait dengan penelitian ini, ditemukan 2 (dua) penelitian terdahulu yang mengkaji permasalahan hukum mengenai Peer to Peer Lending, antara lain:
-
1. Jurnal yang berjudul “Perlindungan Terhadap Pemberi Pinjaman Selaku Konsumen Dan Tanggung Jawab Penyelenggara Peer To Peer Lending Dalam Kegiatan Peer To Peer Lending Di Indonesia”, oleh Adi Setiadi Saputra, dengan rumusan masalah: (1) Bagaimana perlindungan hukum lewat perlindungan konsumen terhadap pemberi pinjaman dalam peer to peer lending di Indonesia? (2) Bagaimana tanggung jawab penyelenggara peer to peer lending di Indonesia?.
-
2. Jurnal yang berjudul “Upaya Hukum Otoritas Jasa Keuangan Dalam Mengatasi Layanan Pinjaman Online Ilegal, oleh Ni Putu Maha Dewi Pramitha Asti, dengan rumusan masalah: (1) Bagaimana upaya hukum yang dilakukan OJK dalam mengatasi layanan pinjaman online ilegal? (2) Apakah kendala yang dihadapi OJK dalam mengatasi layanan pinjaman online ilegal?.
Kedua penelitian diatas memiliki fokus penelitian yang berbeda dengan penelitian ini, yang mana penelitian ini menfokuskan pada resiko gagal bayar yang terjadi dalam Peer to Peer Lending yang mengkaji mengenai perlindungan dari sisi pemberi pinjaman sebagai pihak yang dirugikan serta menekankan pada penyelesaian sengketa antara para pihak atas resiko gagal bayar yang terjadi dalam Peer to Peer Lending sebagai bentuk orisinalitas dari penelitian ini.
Penelitian ini tergolong penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif digunakan dalam penelitian ini karena terdapat ketidakjelasan aturan mengenai Peer to Peer Lending di Indonesia. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan undang- undang (statue approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Pendekatan undang-undang (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.8 Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik bola salju. Selanjutnya semua bahan yang sudah dikumpulkan akan dianalisis melalui teknik deskriptif yang menjelaskan peristiwa atau kondisi hukum.9
-
3. Hasil Dan Pembahasan
Fintech jenis peer to peer lending termasuk ke dalam aktivitas pembaruan dalam proses bisnis, model bisnis, dan instrumen keuangan yang memberikan nilai baru dalam sektor jasa keuangan.10 Bisnis atau jasa di bidang keuangan sudah menjadi suatu bisnis yang sangat rentan terhadap berbagai tindakan-tindakan yang merugikan pihak yang tak bertanggung jawab dengan menggunakan keberadaan teknologi untuk melakukan suatu tindakan baik itu penyelewengan atau penyalahgunaan yang mengakibatkan kerugian bagi para pengguna layanan tersebut.11 Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum sebagaimana pendapat Satjipto Raharjo.12 Perlindungan kepada konsumen pada dunia bisnis yang dipandang baik secara materiil maupun formil semakin penting, mengingat semakin cepatnya pergerakan teknologi sebagai motor penggerak dari produktifitas produsen atas barang atau jasa yang akan dihasilkan dalam memenuhi tujuan dari suatu usaha.13
Perlindungan hukum bagi pengguna pinjaman online adalah isu utama dalam perkembangan pinjaman online.14 Pengguna P2P Lending terdiri dari Pemberi Pinjaman dan Penerima Pinjaman. Penerima pinjaman meliputi orang perorangan atau badan hukum yang berasal dan berdomisili di wilayah hukum Indonesia sebagaimana ketentuan Pasal 15 Nomor 77/POJK.01/2016. Sedangkan yang dimaksud pemberi pinjaman meliputi orangperorangan WNI/WNA, badan hukum Indonesia/asing,
badan usaha Indonesia/asing, dan/ atau lembaga internasional atau dapat dikatakan pemberi pinjaman dapat berasal dari dalam dan/atau luar negeri sebagaimana ketentuan Pasal 16 POJK tersebut. Pemberi pinjaman harus mendapatkan perlindungan agar dananya dapat kembali dan tepat waktu sesuai dengan perjanjian yang disepakati, sedangkan penerima pinjaman harus dilindungi agar data pribadi tidak disebarluaskan, tidak dilakukan penagihan dengan kekerasan dan syarat pinjaman yang rasional.
Layanan pinjam meminjam secara online didasari dengan adanya kesepakatan bersama antara pihak pemberi pinjaman dengan peminjam yang kemudian dibuat dalam bentuk perjanjian yang dituangkan dalam dokumen elektronik. Dalam penyelenggaraan pinjaman online hal tersebut dilakukan oleh konsumen selaku penerima pinjaman dana melakukan transaksi sesuai dengan kesepakatan bersama pelaku usaha pinjaman online P2P Lending yang akan menimbulkan kewajiban timbal balik diantara mereka yang akan memunculkan perjanjian dan konsekuensi yang harus sama-sama dipenuhi dari setiap pihak tersebut.15 Aspek perlindungan konsumen yang menjadi perhatian sesuai ketentuan Pasal 2 POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan dengan menerapkan prinsip-prinsip yaitu prinsip transparansi, perlakukan yang adil, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data/informasi Konsumen, dan penanganan pengaduan serta penyelesaian sengketa Konsumen secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau.
Prestasi dan wanprestasi merupakan istilah yang terdapat dalam perjanjian. Prestasi dari suatu perjanjian yakni melaksanakan hal yang menjadi kesepakatan dalam perjanjian atau para pihak yang bersepakat melaksanakan hal yang tertuang dalam perjanjian tersebut.16 Berdasarkan Pasal 1234 BW, prestasi dari suatu perjanjian adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Dapat dikatakan wanprestasi apabila para pihak tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian. Berdasarkan jenisnya wanprestasi meliputi terlambat memenuhi prestasi, pelaksanaan prestasi tidak sempurna atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan, atau tidak melakukan prestasi sama sekali.
Penyelenggaran layanan Fintech berbasis P2PL akan beresiko menimbulkan suatu permasalahan hukum yakni resiko gagal bayar dari Penerima Pinjaman. Pihak mengalami kerugian akibat resiko gagal bayar tersebut adalah Pemberi Pinjaman. Pihak perusahaan selaku penyelenggara hanya dapat mengusahakan dan membantu penagihan. Fakta ini tentu menjadi alasan mendasar timbulnya risiko kerugian bagi pemberi pinjaman (lender). Jika ditinjau dari sisi penyelenggara P2PL, beberapa hal yang menyebabkan terjadinya gagal bayar yakni ketidaksesuaian analisa, seleksi serta persetujuan yang dilakukan penyelenggara terhadap aplikasi pinjaman yang diajukan oleh penerima pinjaman untuk ditawarkan kepada Pemberi Pinjaman. Secara umum, 2 jenis bentuk perlindungan hukum yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif. Dalam pelaksanaan aktivitas P2PL perlindungan hukum yang diterapkan antaralain perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.
Tujuan adanya perlindungan hukum preventif yakni melakukan pencegahan agar tidak terjadi suatu sengketa, serta memberikan kesempatan kepada subjek hukum dalam hal pengajuan keberatan serta memberikan pendapatnya sebelum keputusan pemerintah yang mendapat bentuk definitif dikeluarkan. Penerapan perlindungan hukum preventif dengancara mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang membatasi suatu kewajiban dan melakukan pencegahan terhadap suatu pelanggaran. Dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah diharapkan untuk lebih berhati-hati sebagai bentuk adanya perlindungan hukum preventif.
Ketentuan yang diterbitkan oleh OJK sebagai perlindungan hukum preventif yaitu dengan POJK No. 77. Perlindungan dan kepastian hukum diberikan kepada subjek hukum yang melakukan perbuatan hukum, tak terkecuali kepada pengguna dan penyelenggara layanan P2PL. Sesuai ketentuan Pasal 29 POJK No. 77, prinsip dasar perlindungan pengguna wajib diterapkan oleh penyelanggara meliputu transparansi, keandalan, kerahasiaan dan keamanan data, perlakuan yang adil, dan penyelesaian sengketa pengguna secara sederhana, cepat, dan biaya terjangkau. Informasi yang harus disampaikan penyelanggaran layan P2PL harus informasi akurat yang terkini, jujur, jelas dan tidak menyesatkan. Kewajiban perantara atau media yakni memberikan informasi terkait penerimaan, penundaan, atau penolakan permohonan peminjaman kepada pengguna.
Penyelenggara yang sudah mendaftarkan pada OJK wajib menyertakan secara terlampir ketentuan umum tepat dihalaman platform dimana penyelanggara memiliki potensi untuk terhindar dari tanggungjawab atas berbagai macam kerugian apabila terjadinya kesalahan yang diakibatkan teknologi informasi mengalami kegagalan maupun gagal bayar oleh penerima pinjaman. Hal tersebut merupakan bentuk perlindungan preventif kepada pemberi pinjaman. Ketentuan Pasal 37 POJK No.77 mengatur penyelenggara berkewajiban untuk bertanggung jawab atas kerugian pengguna yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian, direksi, dan/atau pegawai penyelenggara. Kesalahan dan atau kelalaian yang dimaksud tersebut yakni kesalahan atau kelalaian pada saaat kegiatan usaha P2PL, baik yang dilakukan oleh pengurus, pegawai penyelenggara dan atau pihak ketiga yang bekerja untuk kepentingan P2PL. Hal tersebut juga tercantum pada Pasal 29 POJK No. 1/POJK.07/2013. Penjelasan tersebut menjelaskan bahwasanya pertanggung jawaban pihak penyelnggara hanya sebatas kesalahan yang ditimbulkan oleh pihaknya, maka dari itu pemberi pinjaman bertanggung jawab penuh dan tidak mendapat ganti rugi dalam hal kegagalan bayar oleh penerima pinjaman. Penyelanggara akan bertanggung jawab apabila penyelenggara melakukan kesalahan dalam pelaksanaan evaluasi permohonan kredit dan data penerima pinjaman. Pengaturan pada Pasal 37 POJK tidak memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Pemberi Pinjaman, karena pada dasarnya kesalahan tidak hanya dilakukan oleh pihak penyelenggara melainkan bisa dilakukan juga oleh pihak penerima dana. Terkait dengan kesalahan yang dilakukan oleh penerima dana, tidak ada perlindungan terhadap pemberi dana yang mana akan sangat dirugikan.
Berbicara perlindungan hukum preventif, sudah pasti akan berbicara tentang perlindungan hukum represif yang diberikan setelah terjadinya sengketa yang bertujuan untuk mencari jalan keluar atas sengketa antara para pihak. Bentuk dari perlindungan hukum represif berupa adanya sanksi seperti denda, penjara, maupun
hukuman tambahan lain yang diberikan setelah terjadi sengketa atau terjadinya pelanggaran. Sengketa dapat disebabkan dari adanya wanprestasi yang dilakukan oleh penerima pinjaman artinya sengketa yang diakibatkan karena tidak dipenuhinya suatu hal yang telah disepakati sebagaimana perjanjian yang telah dibuat. Apabila terjadi sengketa dalam layanan P2PL maka dapat diselesaikan baik dengan jalur litigasi maupun jalur non-litigasi. Dalam hal penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang disepakati oleh pemberi dan penerima pinjaman, maka dari itu penyelesaian sengketa tidak menjadi kewenangan pengadilan negeri sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Penyelenggaraan Fintech berbasis P2PL yang tidak berjalan sesuai dengan perjanjian maka akan menimbulkan sengketa bagi para penggguna layanan tersebut. Penyelesaian masalah tersebut dapat diselesaikan melalui mekanisme tertentu. Sengketa dapat segera diselesaikan dengan cara pihak yang merasa dirugikan dapat melakukan pengaduan. Adanya ketidakpatuhan terhadap isi didalam perjanjian yang telah disepakati pihak-pihak adalah salah satu alasan terjadinya suatu sengketa. Jalur dalam penyelesaian sengketa yang dapat dilalui dengan melalui jalur litigas (pengadilan) dan non-litigasi (di luar pengadilan).
Pihak yang mengalami kerugian dapat menyelesaikan sengketa dengan cara awal yaitu mengajukan pengaduan. Penyelenggara platform Fintech dapat menindaklanjuti pengaduan yang diajukan pengguna layanan. Penyelesaian dari sengketa merupakan tujuan dari penyelenggara, selain itu juga memberikan perlindungan terhadap konsumen. Ruang lingkup layanan pengaduan meliputi penerimaan pengaduan, penanganan pengaduan, dan penyelesaian pengaduan. 17 Cara – cara yang dapat ditempuh untuk mengajukan pengaduan tersebut antaralain (1) secara lisan dengan media telepon atau pesan singkat dan/atau (2) tertulis melalui surat (email), faksimili, halaman (website). Beberapa hal yang wajib dilakukan pelaku jasa keuangan yakni penyelenggara setelah tahap pengaduan dari pihak yang mengalami kerugian, sesuai ketentuan Pasal 38 POJK No.1/POJK.07/2013:
-
a. Pemeriksaan internal atas pengaduan secara kompeten, benar, dan obyektif;
-
b. Melakukan analisis untuk memastikan kebenaran pengaduan;
-
c. Menyampaiakan pernyataan maaf dan menawarkan ganti rugi (redress/remedy) atau perbaikan produk dan atau layanan, jika pengaduan konsumen benar.
Hal serupa juga diatur dalam POJK Nomor 18/POJK.07/2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan diatur mengenai mekanisme terkait penanganan konsumen sebagai berikut:
-
a. Pengaduan konsumen dan atau perwakilannya wajib ditindaklanjuti dengan pemeriksaan internal secara kompeten,benar,danobjektif serta analisis agar kebenaran pengaduan dapat dipastikan (Pasal 14);
-
b. Apabila pengaduan dilakukan secara lisan, maka pelaku usaha jasa keuangan wajib menindaklanjuti serta menyelesaikan maksimal 5 hari kerja semenjak diterimanya pengaduan (Pasal 15)
-
c. Sedangkan apabila pengaduan dilakukan secara tertulis, maka pelaku usaha jasa keuangan wajib menindaklanjuti dan menyelesaikan maksimal 20 hari kerja sejak dokumen terkait diterima dengan lengkap (Pasal 20).
Tahapan – tahapan yang dapat ditempuh dalam mekanisme penyelesaian pengaduan yang diajukan pengguna antara lain yang pertama dapat ditempuh melalui Lembaga Jasa Keuangan (internal dispute resolution) kemudian yang kedua dapat ditempuh melalui Lembaga peradilan atau di luar Lembaga peradilan (external dispute resolution). Terkait dengan tanggapan pengaduan yang ditolak oleh konsumen dari pelaku usaha, pelaku usaha diwajibkan memberikan informasi terkait dengan upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen yaitu melalui pengadilan maupun diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 25 ayat (1) POJK Nomor 18/POJK.07/2018.
Alternatif penyeleseaian sengketa merupakan upaya di luar pengadilan yang sering ditempuh dalam hal menyelesaikan suatu sengketa. Bagi pengembangan bisnis, jalur litigasi menjadi kurang diminati para pelaku bisnis dengan alasan reputasi pengadilan Indonesia yang kurang memadai. Meski di sisi lain proses peradilan telah didorong oleh Mahkamah Agung agar dapat berlangsung singkat, praktis dan terjangkau tetapi pada realitanya tidak seperti itu. Proses yang ditempuh melalui jalur peradilan memakan waktu yang cukup lama, berbelit-belit, mahalnya biaya yang dikeluarkan, serta pengeksekusian atas putusan pengadilan cukup sulit.
Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) sangat menarik minat masyarakat yang ingin menyelesaikan sengketa diluar pengadilan. Hal tersebut disebabkan proses yang ditempuh dinilai lebih efisien serta tidak hanya itu namun juga dirasa lebih efektif. Model-model APS yang dapat digunakan oleh pelaku bisnis antaralain: Negosiasi, Pendapat Mengikat, Mediasi, Konsiliasi, Adjudikasi dan Arbitrase. Penyelesaian sengketa model APS telah diatur UU 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (yang selanjutnya disebut UUAP) yang mulai berlaku 12 Agustus 1999. Tahap awal dalam penyelesaian sengketa ini dianjurkan menempuh proses negosiasi dengan tidak melibatkan pihak ketiga. Apabila terjadi kegagalan dalam melakukan negosiasi, maka pihak ketiga dapat dilibatkan untuk membantu menyelesaikan sengketa. Ahli hukum, mediator, konsiliator, adjudikator dan arbiter yang dapat menjadi pihak ketiga dalam proses penyelesaian sengketa ini.
Pada sektor industri jasa keuangan, selain APS, penerapan proses adjudikasi mulai dilakukan dikarenakan dianggap dapat meringankan rakyat menegah kebawah yang tidak memiliki kesetaraan pada saat berhubungan dengan lembaga jasa keuangan. UUAP tidak mengatur perihal adjudikasi, ketentuan terkait adjudikasi diatur dalam Peraturan OJK nomor 1/ POJK.07/ 2014 tentang Lembaga APS di Sektor Jasa Keuangan. Adjudikasi memiliki banyak kesamaan dengan Arbitrase, tetapi lebih praktis serta memakan waktu yang singkat. Hasil putusan adjudikasi memberikan pemohon pilihan dalam hal menyetujui atau tidak menyetujui. Apabila telah disetujui oleh pemohon, maka putusan Adjudikasi akan berlaku dan juga bersifat final dan
mengikat. Terkait dengan memberikan pilihan, pihak termohon wajib menerima hasil adjudikasi dari hasil putusannya. Dalam proses arbitrase tidak mengenal hak opsi.18
Secara khusus, peran-peran BI yang digantikan OJK selain bertindak sebagai regulator salah satunya juga mennyelesaiakan sengketa bisnis di sektor Industri Jasa Keuangan (IJK). Pengawasan terhadap pasar modal, asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya sudah tidak menjadi kewenangan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan melainkan menjadi kewenangan OJK. OJK dibentukan berdasarkan UU 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Peraturan OJK nomor 1/ POJK.07/ 2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan diterbitkan oleh OJK. Kemudian dikeluarkan pula Keputusan OJK nomor Kep-01/ D.07/ 2016 tanggal 21 Januari 2016 yang mengesahkan pembentukan 6 (enam) Lembaga APS yaitu: (1) Lembaga Alternative Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), (2) Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), (3) Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI), (4) Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI), (5) Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BMPPI), (6) Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP).
Syarat – syarat sengketa yang dapat diselesaikan oleh Lembaga APS adalah sengketa perdata yang dapa muncul dalam kegiatan sektor keuangan, mencapai kesepakatan terkait penyelesaian sengketan melalui lembaga APS terkait, permohon tertulis pihak yang bersengketa ditujukan kepada lembaga APS, tidak ada unsur pidana, bukan merupakan pelanggaran administratif.
Penyelenggara diwajibkan memberikan ganti rugi atas perbuatannya, jika tindakan gagal bayar dapat dibuktikan dilakukan oleh penerima pinjaman disebabkan kesalahan atau kelalaian dari Penyelenggara. Ganti rugi yang diberikan kepada pemberi pinjaman oleh penyelenggara merupakan hak dari pemberi pinjaman. Dalam hal tidak mencapai kesepakatan, maka pemberi pinjaman dapat menempuh penyelesaian sengketa baik diluar ataupun didalam pengadilan. Sebagaimana Pasal 39 ayat (1) POJK No.1 bahwa penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa atau dapat menyampaikan permohonannya kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memfasilitasi penyelesian pengaduan konsumen (pengguna P2PL) yang dirugikan oleh pelaku jasa keuangan yaitu Penyelenggara layanan Fintech.
Perlindungan hukum bagi pihak pemberi pemberi pinjaman akibat adanya gagal bayar dalam Peer to Peer Lending dengan preventif dan represif. Adapun perlindungan
hukum preventif, telah dibentuknya peraturan khusus yang memberikan perlindungan bagi pengguna jasa P2PL yaitu POJK No.77 sebagaimana ketentuan Pasal 37 POJK, penyelenggara memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab atas kerugian pengguna yang timbul akibat kesalahan dan/atau kelalaian, direksi, dan/atau pegawai penyelenggara. Pemberian denda, penjara, maupun hukuman tambahan merupakan bagian dari perlindungan represif.
Penyelesaian sengketa akibat gagal bayar dalam P2PL dapat dilakukan diluar maupun didalam pengadilan sesuai ketentuan Pasal 39 ayat (1) POJK No.1. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat dilakukan melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa atau dapat menyampaikan permohonannya kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Daftar Pustaka / Daftar Referensi
Buku
Fuady, Munir. (2014). Konsep Hukum Perdata. Jakarta: Rajawali Pers.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. (2011). Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar Grafika.
Marzuki, Peter Mahmud. (2016). Penelitian Hukum. Cetakan ke-12, Jakarta: Kencana.
Rahardjo, Satjipto. (2002). Ilmu hukum. Cetakan ke-V, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Santoso, Edy. (2018). Pengaruh Era GlobalisasiTerhadap Hukum Bisnis di Indonesia, Jakarta: Prenada Media.
Jurnal
Amalina, H. N., Ramdani, M. G., Ashiddiq, M. R., Sulistiyani, I., & Lokania, L. (2019). Penyelesaian Sengketa Dalam Peer To Peer Lending (Pinjam-Meminjam Online). Lontar Merah, 2(1), 148-153.
Hartanto, G., Budiharto, B., & Lestari, S. N. (2019). Perlindungan Hukum Pemberi Pinjaman Dalam Perjanjian Kredit Dengan Sistem P2p (Peer To Peer Lending). Diponegoro Law Journal, 8(2), 1213-1225.
Iswi Hariyani dan Cita Yustisia Serfiyani. (2016). “Perlindungan Hukum bagi Nasabah Kecil dalam Proses Adjudikasi di Industri Jasa Keuangan”, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.13, No.4, Desember 2016, Ditjen Peraturan Perundang-undangan,
Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta.
Iswi Hariyani dan Cita Yustisia Serfiyani. (2018). Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Jasa PM-Tekfin. Jurnal Legislasi Indonesia, 14(3).
Novita, W. S., & Imanullah, M. N. ASPEK HUKUM PEER TO PEER LENDING (Identifikasi Permasalahan Hukum dan Mekanisme Penyelesaian). Jurnal Privat Law, 8(1), 151-157.
Putri, C. R. (2018). Tanggung Gugat Penyelenggara Peer to Peer Lending Jika Penerima Pinjaman Melakukan Wanprestasi. Jurist-Diction, 1(2), 460-475.
Rahadiyan, I., & Sari, A. R. (2019). Peluang Dan Tantangan Implementasi Fintech Peer To Peer Lending Sebagai Salah Satu Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia. Defendonesia, 4(1).
Salma, C. R. (2019). Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Pinjaman Dalam Perjanjian Penggunaan Layanan Peer To Peert Lending. Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum.
Syaifudin, A. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Di Dalam Layanan Financial Technology Berbasis Peer To Peer (P2p) Lending (Studi Kasus di PT. Pasar Dana Pinjaman Jakarta). Dinamika: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, 26(4).
Veronica Novinna (2020). Perlindungan Konsumen dari Penyebarluasan Data Pribadi oleh Pihak Ketiga: Kasus Fintech Peer To Peer Lending. Jurnal Magister Hukum Udayana. DOI:10.24843/JMHU.2020.v09.i01.p07.
Wiguna, I. W. J. B. (2020). Tinjauan Yuridis Terkait Pendaftaran Hak Tanggungan Secara Elektronik. Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 5(1), 83.
Internet
Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2020). Penyelenggara Fintech Terdaftar dan Berizin di OJK per 19 Februari 2020. Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Available from: URL: https://www.ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/Penyelenggara-Fintech-Terdaftar-dan-Berizin-di-OJK-per-19-Februari-
2020.aspx#:~:text=%E2%80%8BSampai%20dengan%2019%20Februari,berizin%20 adalah%20sebanyak%20161%20perusahaan.&text=OJK%20mengimbau%20masy arakat%20untuk%20menggunakan,sudah%20terdaftar%2Fberizin%20dari%20OJ K.
Anonim. (2020). Bisnis Pinjol Mulai Kering Karena Corona. CNN Indonesia. Available from: URL: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200415165523-78-
493871/bisnis-pinjol-mulai-kering-karena-corona#
491
Discussion and feedback