Analisis Integrasi Pasar Beras di Provinsi Bali
on
E-Jurnal Agribisnis dan Agrowisata
ISSN: 2301-6523
Vol. 6, No. 1, Januari 2017
Analisis Integrasi Pasar Beras di Provinsi Bali
I DEWA GEDE AGUNG, JOKO DARYANTO
Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Udayana Jalan PB Sudirman Denpasar 80232 Email: [email protected]
Abstract
Analysis of Rice Market Integration in The Province of Bali
The creation of market integration in Indonesia will guarantee production stability and the national rice consumption. One of the criteria for integration of the market can be seen from the integration level among the rice markets. This study aimed to look at the degree of integration of rice markets in Bali Province. The data used was the real price of rice in the local market as well as data from BPS from 2011 to 2015. To the market integration, it was measured based on IMC (Index of Market Connection). The results showed that Bali rice market integration integrated in the short terms with other provinces except with Central Java, South Sumatra, and Lampung. In the long terms Bali integrated with other provinces, and best integrated with West Java, Central Java, Yogyakarta, East Java, and NTB, with their respective elasticity transmissions of 0.75; 0.88; 0.82; and 0.79. The role of government is expected to build good information network, so farmers as producers can have better baraining position in determining the prices at the producer level.
Keywords: market integration, rice, index of connection
Konsep kebijakan pangan yang dilakukan oleh pemerintah, terutama bertujuan untuk memenuhi aspek ketersediaan dan aksesibilitas pangan. Ketersediaan berarti bahwa bahan pangan tersebut tersedia dalam jumlah yang cukup disetiap daerah dan setiap waktu. Aksesibilitas terdiri dari dua aspek, yaitu aksesibilitas fisik dan aksesibilitas ekonomi. Aksesibilitas fisik berarti kemudahan bagi masarakat untuk mencapai bahan pangan, sedangkan aksesibilitas ekonomi berarti bahwa bahan pangan tersebut dapat dijangkau dengan daya beli masyarakat.
Ketidakstabilan harga berasdapat dilihat dari dua sisi. Pertama ketidakstabilan tekniskarena pengaruh musim tanam dan iklim, seperti kekeringan atau banjir. Kedua, ketidakstabilan ekonomis karena pengaruh pasar, misalnya gejolak permintaan atau fluktuasi harga internasional yang tidak dapat diramalkan. Bila harga padi (beras) diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar maka harga akan jatuh pada musim panen rayadan meningkat tajam pada musim paceklik.
Pelaksanaan kebijakan stabilisasi harga ini sukar untuk dilaksanakan secara efektif karena beberapa alasan. Pertama, negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas. Hal ini berarti pemerintah harus menstabilkan harga-harga pasar yang tersebar di seluruh Indonesia. Kedua, persediaan beras di Indonesia berfluktuasi yang nyata karena adanya perbedaan musim tanam dan musim panen.Kondisi ini menyebabkan pergerakan harga beras memiliki kesenjangan yang besar antara periode panen dan periode tanam. Ketiga, pasar konsumen terpisah dari daerah produksi, sehingga perlu adanya tindakan pemasaran untuk mengirimkan produk pertanian sampai kekonsumen akhir. Hal ini mengakibatkan kebijkan yang mempengaruhi hargajuga akan menmpengaruhi pelaku pasar (Kohl dan Downey, 1972). Keempat adalah integrasi pasar, implementasi dari kebijakan stabilisasi harga akan lebih efektif pada pasar-pasar yang terintegrasi dibandingkan dengan pasar yang tidak terintegrasi. Pada pasar yang terintegrasi, dampak intervensi pemerintah disalurkan kepada pasar-pasar lainnya sehingga pelaksanaan kebijakan harga ini dapat dilakukan dengan biaya murah.
Berdasarkan permasalahan diatas maka perlu diketahui keterpaduan pasar beras antar daerah untuk mengetahui pengaruh pasar suatu daerah terhadap pasar daerah lain. Derajat keterpaduan pasar ini dapat memberikan informasi kepada pemerintah, sehingga apabila terjadi gejolak harga disatu daerah, dapat dilakukan aksi efektif agar gejolak didaerah tersebut tidak meluas menjadi gejolak nasional.
Ruang lingkup penelitian integrasi vertical dibatasi hanya pada pasar konsumen langsung dan pasar produsen yang berhubungan dagang dengan Provinsi Bali. Data yang digunakan adalah data riel dari tahun 2011-2015.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis integrasi pasar yang terjadi pada komoditas beras yang diperdagangkan di Bali.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.
-
1. Manfaat secara teoritis
Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi tambahan dalam bidang pemasaran, khususnya dalam aspek pengembangan pemasaran beras dalam hubungannya dengan pengembangan kebijakan di bidang perberasan.
-
2. Manfaat secara praktis
Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dan informasi mengenai keterkaitan harga antar pasar yang terjadi di Bali, khususnya pada komoditas beras yang diperdagangkan sehingga bermanfaat bagi pihak terkait dalam membuat kebijakan perberasan di Bali.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder deret waktu harga. Data sekunder ini diperoleh dari literature-literature serta dari dinas dan instansi terkait seperti Dinas Perdagangan dan Industri, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Urusan Logistik (Bulog).
Salah satu analisis yang digunakan untuk mengukur tingkat keterpaduan pasar adalah indeks keterpaduan pasar atau IMC (Index of Market Connection). Model ini diperkenalkan oleh Ravallion (1986) dan Heytens (1986), dengan menggunakan pendekatan pengukuran integrasi harga. Model keterpaduan pasar ini digunakan untuk mengukur bagaimana harga di pasar lokal dipengaruhi oleh harga di pasar acuan dengan mempertimbangkan harga pada waktu yang laludengan harga pada saat ini.
Di Indonesia pada adalah tanaman pangan utama, di samping jagung, sagu, dan ubi-ubian. Terpilihnya padi sebagai sumber karbohidrat utama adalah karena kelebihan-kelebihan sifat tanaman padi dibandingkan tanaman sumber karbohidrat lainnya, antara lain (1) memiliki sifat produktivitas tinggi, (2) padi dapat disimpan lama, dan (3) lahan sawah relative tidak mengalami erosi (Taslim dan Fagi, 1988). Alasan lainnya adalah karena memakan nasi terkait dengan budaya makan dan citra status social. Pada saat ini masyarakat luas berpendapat bahwa memakan makanan pokok berbahan jagung, ubi-ubian atau sagu dianggap sebagai orang miskin atau orang yang tidak mampu. Jika harga beras meningkat dan masyarakat tidak mampu membeli beras, maka kenaikan tersebut dianggap memiskinkan rakyat, dan bahkan dianggap menurunkan martabat bangsa. Alasan tersebut kemudian menjadikan padi memiliki kedudukan yang tinggi dalam kehidupan social ekonomi masyarakat Indonesia, bahkan kedudukan politik regional atau internasional.
Kondisi perberasan di Indonesia tergatung kepada beberapa variabel yaitu, produksi padi, konsumsi, perkembangan harga beras, kondisi ekonomi beras dunia, impor beras, dan kebijakan perberasan nasional. Beberbagai upaya telah dilakukan pemerintah sejak jaman kolonial hingga saat ini. Gejolak perberasan akan memberikan dampak yang sangat luas pada kehidupan masyarakat.
Untuk melakukan analisis jangka pendek integrasi pasar digunakan nilai Indeks Keterpaduan Pasar (IMC, Index of Market Connection). Nilai IMC tidak menunjukkan besaran pengaruh harga di pasar acuan pada waktu sebelumnya terhadap pembentukan harga di pasar lokal, melainkan hanya sekedar menunjukkan
derajat integrasi antar dua pasar. Pasar lokal dikatakan terintegrasi dalam jangka pendek jika nilai IMC < 1. Jika nilai IMC > 1 maka pasar dapat dikategorikan secara lemah dalam jangka pendek. Sedangkan jika nilai IMC < 0 maka pasar terisolasi dari pasar acuan, artinya harga di pasar acuan tidak memiliki pengaruh dalam pembentukan harga di pasar lokal.
Pedoman untuk melihat besaran pengaruh harga pasar acuan pada waktu sebelumnya (Rt-1) terhadap pasar lokal (Pt), dilihat melalui nilai koefisien β3. Nilai Koefisien β3 menunjukkan besarnya persentase perubahan harga di pasar lokal akibat perubahan harga di pasar acuan pada waktu sebelumnya. Artinya jika harga bulan lalu di pasar acuan berubah sebesar 1% maka harga di pasar lokal pada saat sekarang akan berubah sebesar β3 persen.
Tabel 1.
Hasil Pendugaan Regresi Model Keterpaduan Pasar Bali dengan Pasar Provinsi Lainnya
Provinsi |
β1 |
β2 |
β3 |
IMC |
R2 |
Fhitung |
Dh |
DKI |
0.743 |
0.754 |
0.293 |
2.536 |
99.0 |
2546 |
1.049 |
Jabar |
0.799 |
0.843 |
0.222 |
3.599 |
99.4 |
4715 |
1.273 |
Jateng |
0.874 |
0.853 |
0.094** |
16.25** |
99.6 |
7310 |
0.458 |
Jogya |
0.756 |
0.466 |
0.272 |
2.779 |
99.1 |
2881 |
0.046 |
Jatim |
0.638 |
0.804 |
0.412 |
1.549 |
99.6 |
6626 |
0.825 |
Aceh |
0.635 |
0.582 |
0.356 |
1.783 |
99.0 |
2635 |
0.549 |
Sumut |
0.766 |
0.950 |
0.301 |
2.545 |
98.9 |
2349 |
1.331 |
Sumbar |
0.842 |
0.537 |
0.224 |
3.759 |
98.6 |
1966 |
1.106 |
Sumsel |
0.903 |
0.395 |
0.036** |
19.60** |
98.4 |
1655 |
0.684 |
Lampung |
0.894 |
0.482 |
0.016 |
32.00** |
98.8 |
2227 |
1.272 |
NTB |
0.789 |
0.756 |
0.202 |
3.906 |
99.3 |
3617 |
1.601 |
Kalsel |
0.881 |
0.515 |
0.128* |
6.833 |
98.7 |
2049 |
0.871 |
Sulut |
0.584 |
0.771 |
0.412 |
1.417 |
99.0 |
2685 |
0.411 |
Sulsel |
0.561 |
0.947 |
0.493 |
1.138 |
99.2 |
3547 |
0.594 |
*berpengaruh nyata pada taraf 5 persen
**tidak berpengaruh nyata pada taraf 5 persen
Integrasi pasar jangka panjang dapat dilihat dari besarnya nilai koefisien β2 dari persamaan regresi model integrasi pasar. Nilai koefisien β2 menunjukkan elastisitas transmisi, yaitu besarnya persentase perubahan harga di pasar lokal akibat perubahan harga di pasar acuan. Jika harga di pasar acuan berubah 1 persen maka harga di pasar lokal akan berubah sebesar β2 persen. Suatu pasar dikatakan terintegrasi dalam jangka panjang dengan pasar acuan jika nilai koefisien β2-nya mendekati nilai 1. Sedangkan jika nilai koefisien β2< 0, maka pasar dikatakan terisolasi atau harga di pasar lokal bergerak secara mandisi (independent).
Hasil uji parsial terhadap koefisien β1 dan β2 menunjukkan berpengaruh nyata pada α = 0,01. Hal ini berarti bahwa pengaruh lokal dan perubahan harga di provinsi lainnya berpengaruh terhadap pembentukan harga di Bali. Nilai t hitung terhadap uji koefisien β3berpengaruh nyata pada α = 0,01, kecuali pada pengujian dengan provinsi Jawa Tengah, Sumatera Selatan, dan Lampung tidak berpengaruh nyata pada α = 0,05. Nilai Fhitung lebih besar dari Ftabel menunjukkan bahwa secara simultan variabel dependen berpengaruh terhadap variabel independen pada α = 0,01. Hasil uji autokorelasi terhadap nilai D-h yang lebih kecil dari ttabel, dan nilai ρεt ≠ 0 menunjukkan bahwa tidak terdapat autokorelasi dalam model, sehingga model dapat digunakan untuk analisis selanjutnya.
Tabel 2.
Hasil Pendugaan Regresi Model Keterpaduan Pasar Bali terhadap Pasar Provinsi Lainnya
Provinsi |
β1 |
β2 |
β3 |
IMC |
R2 |
Fhitung |
Dh |
ρ*εt |
DKI |
0.732 |
-0.007 |
0.225 |
3.253 |
97.5 |
1074.68 |
- |
0.197 |
Jabar |
0.834 |
0.751 |
0.148 |
5.635 |
99.4 |
4717.46 |
0.272 | |
Jateng |
0.888 |
0.876 |
0.090 |
9.866 |
99.3 |
4017.48 |
1.272 | |
Jogya |
0.641 |
0.918 |
0.316 |
2.028 |
97.7 |
1141 |
2.135 | |
Jatim |
0.629 |
0.819 |
0.327 |
1.924 |
99.4 |
4509 |
1.680 | |
Aceh |
0.862 |
0.420 |
0.131 |
6.580 |
99.2 |
3505 |
0.227 | |
Sumut |
0.954 |
0.226 |
0.031** |
30.77** |
99.3 |
6274 |
1.453 | |
Sumbar |
0.789 |
0.415 |
0.144 |
5.479 |
97.8 |
1420 |
0.091 | |
Sumsel |
0.758 |
0.372 |
0.157 |
4.828 |
98.2 |
1471 |
0.954 | |
Lampung |
0.729 |
0.580 |
0.241 |
3.025 |
98.2 |
1496 |
0.863 | |
NTB |
0.741 |
0.790 |
0.255 |
2.906 |
99.2 |
3278 |
1.555 | |
Kalsel |
0.838 |
0.544 |
0.141 |
5.943 |
98.5 |
1750 |
0.686 | |
Sulut |
0.675 |
0.517 |
0.325 |
2.077 |
99.4 |
4427 |
0.595 | |
Sulsel |
0.561 |
0.551 |
0.389 |
1.442 |
99.5 |
5402 |
0.091 |
** tidak berpengaruh nyata pada taraf 5 persen
Hasil pengujian integrasi pasar Bali dengan provinsi lainnya pada, menunjukkan bahwa pasar Bali terintegrasi lemah dalam jangka pendek dengan provinsi lainnya dan tidak terintegrasi dengah Jawa Tengah, Sumatera Selatan, dan Lampung. Artinya harga di pasar-pasar tersebut pada bulan sebelumnya tidak berpengaruh terhadap harga di Bali.
Pasar Bali tidak terintegrasi dengan Jawa Tengah, Sumatera Selatan, dan Lampung dalam jangka pendek. Hal ini disebabkan provinsi tersebut terpisah dengan jarak cukup jauh. Kondisi ini menyebabkan perdagangan yang menguntungkan sulit untuk terjadi karena biaya transportasi yang tinggi.
Integrasi pasar Bali dengan pasar lainnya yang tidak terhubung perdagangan dapat terjadi karena factor informasi. Keterpaduan ini menunjukkan bahwa informasi mengenai kondisi pasar lainnya dapat diakses oleh pelaku perdagangan
beras di Bali. Akses informasi ini menyebabkan pelaku pasar dapat mengetahui kondisi pasar lainnya dan menyesuaikan karganya dengan pasar lainnya.
Sebagai pasar acuan, semua pasar terintegrasi lemah dengan Bali kecuali Sumatera Utara, karena provinsi tersebut memang tidak memiliki hubungan perdagangan dengan Bali. Pasar yang memiliki derajat integrasi paling baik dengan Bali adalah Jawa Timur dan Sulawesi Selatan.
Nilai koefisien β2 memperlihatkan terdapat 8 pengujian yang terintegrasi kuat dalam jangka panjang yaitu DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, NTB, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan, sedangkan sisanya terintegrasi lemah. Perubahan harga pada pasar-pasar tersebut akan menyebabkan harga di Bali berubah dengan proporsi yang hampir sama. Hal ini ditunjukkan dari nilai β2 pada hubungan dengan provinsi-provinsi tersebut yang mendekati 1.
Bali terintegrasi kuat dengan Jawa Timur dalam jangka panjang karena perubahan harga di Jawa Timur akan menyebabkan perubahan transfer barang dari Jawa Timur ke Bali Perubahan ini akan menyebabkan kondisi supply dan demand di Bali akan turut berubah sehingga harga di Bali juga akan ikut berubah.
Bali juga terintegrasi dengan pasar-pasar lainnya meskipun tidak terhubung perdagangan. Integrasi pasar ini menunjukkan bahwa pelaku pasar beras di Bali dapat mengakses informasi mengenai pasar lainnya dengan baik. Kemudahan akses informasi ini menyebabkan pelaku pasar dapat mengetahui kondisi yang terjadi di pasar lainnya dan bereaksi terhadap perubahan-perubahan di pasar-pasar tersebut. Kondisi ini menyebabkan perubahan kekuatan pasar yang menyebabkan perubahan harga di pasar lainnya juga akan menyebabkan perubahan harga di Bali.
Sebagai pasar acuan, semua provinsi yang terintegrasi dengan Bali dalam jangka panjang kecuali DKI Jakarta. Provinsi yang terintegrasi kuat dengan Bali adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jogyakarta, Jawa Timur, dan NTB. Artinya apabila terjadi gejolak harga di Bali maka perubahan tersebut akan direspon dan menyebabkan harga di pasar-pasar tersebut berubah dengan proporsional yang hampir sama. Arah dan besaran transmisi harga dari Bali ke provinsi-provinsi lainnya.
Berdasarkan hasil kajian integrasi pasar makapasar beras Bali terintegrasi jangka pendek dengan provinsi lainnya kecuali dengan Jawa Tengah, Sumatera Selatan, dan Lampung. Dalam jangka panjang Bali terintegrasi dengan provinsi lainnya, dan terintegrasi paling baik dengan Jawa Barat, Jawa Tengah, Jogyakarta, Jawa Timur, dan NTB, dengan elastisitas transmisi masing-masing sebesar 0.75, 0.88, 0.92, 0.82, dan 0.79.
Dengan mengetahui integrasi pasar, arah, dan besaran transmisi harga, maka pemerintah dapat meredakan gejolak harga dengan melakukan aksi secara intensif pada pasar yang menjadi acuan pasar-pasar lainnya, tanpa harus melakukan aksi di setiap pasar yang bergejolak. Jika aksi tersebut efektif meredakan harga di pasar acuan, maka perubahan harga tersebut juga akan ditransformasikan ke pasar-pasar lainnya, sehingga implementasi kebijakan stabilitas harga dapat dilakukan dengan biaya yang lebih murah. Peranan pemerintah juga sangat diharapkan dalam membangun jaringan informasi yang baik, sehingga petani sebagai produsen dapat menentukan posisi tawar yang lebih baik dalam penentuan harga di tingkat produsen.
Daftar Pustaka
Barret, Christoper B. dan Jau Rong Li. 2002: Distinguishing Between Equilibrium and Integration in Spatial Analysis. Di dalam Berck, Peter dkk., editor. American Journal of Agricultural Economics Vol. 84 No. 2.
Heytens. Paul J. 1986. Testing Market Integration. Food Research Institute Studies, Vol XX No. 1
Hutabarat, Budiman. Oktober 1998. Analisis Keterpaduan Pasar Gula Pasir di Jawa.
Di dalam Suryana, Achmad, editor. Jurnal Agro Ekonomi Vol 7 No. 2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, Bogor.
Ikhsan, Muhammad. 2001. Kemiskinan dan Harga Beras. Di dalam Suryana, dkk, editor. Bunga Rampai Ekonomi Beras. LPEM-REUI. Jakarta.
Ismet, Muhammad dan Richard V. Llewelyn. 2001. Market Integration in Regional Indonesian Rice Market. Ekonomi dan Keuangan Indonesia Vol. 49 No. 1
Kohl, Richard L. and W. David Downey. 1972. Marketing of Agricultural Product, Fourth edition. The Macmillan Company. New York.
Ravallion. Martin. 1986. Testing Market Integration. American Journal of Agricultural Vol. 2. No. XX
Manurung S.O. dan M. Ismunadji. 1988. Morfologi dan Fisiologi Padi. Di dalam Ismunadji M, dkk., editor. Padi. Buku 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Natawijaya, Ronnie S. 2001. Dinamika Pasar Beras Domestik. Di dalam Suryana, dkk., editor. Bunga Rampai Ekonomi Beras. LPEM-FEUI. Jakarta.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAA
121
Discussion and feedback