Itepa: Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan,

Dwi Atikasari dkk./ Itepa 11 (3) 2022 523-532

ISSN : 2527-8010 (Online)

Karakteristik Bakso Ikan Bilis (Stolephorus hamiltonii dengan Komposisi Bahan Pengikat yang Berbeda

Characteristics of Bilis (Stolephorus hamiltonii) Fish Ball with Different Composition of Binding Materials

Dwi Atikasari1, Tri Rahayuini1, Maherawati1*

PS. Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura Jl. Prof.Dr. Hadari Nawawi Pontianak 78124

* Penulis korepondensi: Maherawati, Email: [email protected]

Abstract

Making anchovies meatballs is an effort to diversify and utilize fish as a source of protein to be processed into food that the community likes. Making meatballs requires a binder which is generally tapioca flour. The utilization of flour from local ingredients needs to be done to determine its effect on the anchovy meatballs characteristics. The purpose of this study was to determine the physicochemical characteristics (moisture content, ash content, protein content, water holding capacity), microbiological (microbial count), and sensory (color, taste, aroma, texture, and overall preference) of anchovy meatballs with various ratios binder of sago starch and yellow sweet potato flour. The research design used a one-factor Randomized Block Design (RBD) comparing sago starch and sweet potato flour with seven treatment levels (0:0, 30:30, 25:35, 20:40, 15:45, 10:50, 5:55) and three replication. The data obtained were analyzed statistically using ANOVA (α=5%), and if there were an effect, it would be continued with the BNJ test (α=5%). The results showed that the binder ratio did not affect the water content, ash content, protein content, and water holding capacity of anchovies meatballs. The total number of microbes in anchovies meatballs is still within the safe limits for consumption, according to SNI 7266:2014. Sensory attributes affected by the ratio of binders are taste, aroma, texture, and overall appearance, while color attributes are not affected by the ratio of binders. The best treatment was the ratio of sago starch and sweet potato flour 25:35 with the characteristics of water content 57.71%, ash content 4.79%, protein content 4.35%, water holding capacity 48%, TPC 9.90x104 CFU/g, color 3.17 (slightly like), taste 2.97 (dislike), aroma 3.23 (slightly like), texture 3.20 (slightly like), and overall preference 3.27 (slightly like).

Keyword: meatballs, anchovies fish, sago starch, sweet potato flour

PENDAHULUAN

Ikan merupakan salah satu komoditi bahan pangan yang mempunyai kandungan protein dan lemak yang sangat baik untuk pemenuhan gizi masyarakat. Salah satu ikan yang dapat dimanfaatkan yaitu ikan bilis, yang masih termasuk jenis ancovy dari ikan teri (Stolephorus sp.) Ikan bilis merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang mudah didapat dan harganya murah (Hendradi, 2004). Kandungan gizi yang sangat berarti dari ikan bilis adalah mineral, kalsium, fosfor dan zat besi. Selain itu, ikan bilis juga memiliki kandungan protein yang tinggi, yaitu 16% (Depkes RI, 1990) dan kaya asam amino esensial seperti asam

glutaman dan asam aspartat. Dengan demikian ikan bilis dapat dimanfaatkan sebagai bahan sumber protein dalam pengolahan produk pangan, salah satunya pembuatan bakso.

Bakso adalah produk makanan berbentuk bulat yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak kurang 50%) dan pati dengan atau tanpa penambahan makanan yang diijinkan (SNI, 2000). Bahan pengikat merupakan salah satu komponen yang penting untuk memperbaiki tekstur dan mengikat air dalam pembuatan bakso. Bahan pengikat yang biasanya digunakan untuk pembuatan bakso adalah pati tapioka dan patu sagu. Tapioka adalah pati yang terbuat dari ubi

kayu atau singkong. Pati tapioka mempunyai kadar amilopektin sebesar 83% dan amilosa 17% (Rosiana, 2011). Pati sagu mengandung sekitar 27% amilosa dan 73% amilopektin, dan pada kosentrasi yang sama pati sagu mempunyai viskositas tinggi dibandingkan dengan larutan pati dari serealia lain (Habib, 2008). Pati sagu mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan pengikat dalam pembuatan bakso atau sebagai bahan substitusi dengan tapioka. Ubi jalar juga merupakan salah satu pangan lokal yang dapat digunakan sebagai bahan substitusi pada pengolahan pangan. Tepung ubi jalar mengandung 60-70% amilopektin dan 17,8% amilosa (Montolalu dkk., 2013). Kandungan amilosa akan memberikan kekuatan tekstur yang padat dan kompak, sedangkan amilopektin akan memberikan tekstur produk yang kental dan lebih lengket (Kusnandar, 2011).

Pemanfaatan bahan pangan lokal seperti sagu, dan ubi jalar dalam pembuatan bakso ikan bilis merupakan usaha diversifikasi pangan dengan memnfaatkan sumber daya pangan lokal. Oleh karena itu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan pati sagu dan tepung ubi jalar terhadap karakteristik fisikokimia, mikrobiologi, dan sensori bakso ikan bilis.

METODE

Bahan dan Alat

Ikan bilis dan ubi jalar kuning diperoleh dari Pasar Flamboyan, Kota Pontianak. Ikan bilis dipilih dalam kondisi segar dan utuh, ubi jalar kuning dipilih yang segar tidak layu dan tidak cacat. Pati tapioka dan pati sagu dibeli di toko bahan kue. Bahan pendukung lainnya adalah bawang putih, garam, air, es dan merica diperoleh

dari took kelontong. Sedangkan bahan kimia untuk analisis adalah aquades, Ca(OH)2, NaOH 40%, H2SO4 pekat, HCl 0,1 N, pepton water, media PCA, NaCl.

Alat yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan kompor, chooper Miyako, wadah, pisau, sendok, loyang. Alat yang digunakan untuk analisis kimia adalah timbangan analitik, oven, cawan porselin, aluminium foil, desikator, erlenmeyer, kertas saring Whatman 42, pipet tetes, tanur, penjepit cawan, beaker glass, ayakan 80 mesh, lampu Bunsen, cawan petri, jarum oase, sentrifuse, sealer.

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan satu faktor yaitu (P) formulasi pati sagu dan tepung ubi jalar yang terdiri dari 7 taraf perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga jumlah seluruhnya sebanyak 21 perlakuan. Perlakuannya adalah sebagai berikut:

p0 = pati tapioka 100% : pati sagu 0 % : tepung ubi jalar 0%

p1 = pati tapioka 40% : pati sagu 30% : tepung ubi jalar 30%

p2 = pati tapioka 40% : pati sagu 25% : tepung ubi jalar 35%

p3 = pati tapioka 40% : pati sagu 20% : tepung ubi jalar 40%

p4 = pati tapioka 40% : pati sagu 15% : tepung ubi jalar 45%

p5 = pati tapioka 40% : pati sagu 10% : tepung ubi jalar 50%

p6 = pati tapioka 40% : pati sagu 5% : tepung ubi jalar 55%

p0 merupakan perlakuan kontrol menggunakan pati tapioka 100%, p1-p6 merupakan pati tapioka 40%

dan pati sagu/tepung ubi jalar bervariasi komposisinya dengan jumlah total 60%.

Pembuatan tepung ubi jalar kuning (Istikha, 2014)

Ubi jalar kuning sebelum diolah menjadi tepung ubi jalar disortasi dan dibersihkan untuk memisahkan yang rusak dan yang baik, kemudian dikupas kulitnya. Ubi jalar direndam dalam larutan kapur sirih    (Ca(OH)2) selama 10 menit.

Perendaman dengan larutan kapur sirih pada pembuatan tepung ubi jalar kuning berfungsi untuk menghilangkan getah dan mencegah terjadinya pencoklatan. Setelah itu ubi jalar dicuci, lalu diiris tipis dengan ketebalan ± 2 mm, setelah itu dilakukan pengeringan menggunakan cabinet dryer pada suhu 60°C selama 8 jam. Setelah kering ubi jalar kuning digiling dan diayak menggunakan ayakan 80 mesh.

Pembuatan bakso ikan bilis

Pembuatan bakso ikan bilis dilakukan berdasarkan metode Herpandi (2018) dengan modifikasi. Ikan dibersihkan isi perut dan kepalanya, kemudian ikan dicuci sebanyak 3 kali. Setelah itu daging ikan dihaluskan dengan chopper. Hancuran daging ikan bilis ditimbang sebanyak 100 g. Selanjutnya ditambah garam (5 g), bawang putih (4 g), merica (1 g) yang sudah dihaluskan. Pati tapioka, pati sagu, dan tepung ubi jalar dipersiapkan sesuai perlakuan, dengan total berat 100 g. Adonan dicampur sampai homogen dan dibentuk bola-bola, kemudian direbus dalam air mendidih dengan suhu 1000C. Setelah terapung, bola-bola bakso tersebut diangkat, ditiriskan, dan didinginkan. Bakso ikan bilis siap untuk dianalisis karakteristik kimia dan sensorinya.

Parameter penelitian

Parameter yang diamati pada penelitian ini

adalah karakteristik kimia yaitu kadar air, kadar abu, dan kadar protein (Sudarmadji dkk., 1997). Karakteristik fisik bakso ikan bilis yang diamati adalah daya ikat air (Hamm, 1998 dalam Soeparno, 2005). Karakteristik mikrobiologi yang diamati adalah jumlah mikrobia total (Total Plate Count). Pengujian sensori dilakukan menggunakan uji hedonik (Setyaningsih    dkk, 2010) untuk

mengetahui tingkat kesukaan panelis dengan atribut sensori meliputi warna, aroma, rasa, dan tekstur dengan panelis sebanyak 30 orang tidak terlatih. Skala tingkat kesukaan yang digunakan adalah (1) sangat tidak suka ;(2) tidak suka; (3) agak suka; (4) suka; dan (5) sangat suka.

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji ANOVA (Analysis of Variance) dengan taraf 5%, jika perlakuannya berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji beda menggunakan uji BNJ (Beda Nyata Jujur) pada taraf 5%. Hasil uji sensori dianalisis dengan menggunakan uji Friedman. Penentuan perlakuan terbaik dengan uji indek efektivita (De Garmo dkk., 1984).

HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi kimia bahan dasar

Bahan pembuatan bakso ikan bilis terdiri dari ikan bilis, pati tapioka, pati sagu, tepung ubi jalar, dan bahan tambahan berupa air, es, dan bumbu. Variasi bahan pengikat dilakukan dengan mengatur komposisi pati sagu dan tepung ubi jalar, sehingga perlu diketahui komposisi kimia pada bahan dasar untuk mengetahui pengaruhnya pada bakso yang dihasilkan (Tabel 1).

Hasil pengujian kadar air dan kadar abu ikan bilis dalam penelitian ini tidak jauh berbeda

dengan hasil penelitian Muhammad (2017) menyatakan bahwa ikan teri mempunyai kadar air sebesar 78,68% dan kadar abu 13,14%. Hal yang menarik dari komposisi ikan bilis adalah kadar proteinnya. Kadar protein ikan bilis pada penelitian ini adalah 14,70%. Kadar protein tersebut lebih tinggi dari kadar protein tahu yaitu 9% (Suprapti,

2005), namun lebih rendah jika dibandingkan kadar protein daging ayam yaitu 22% (Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2014). Dengan demikian ikan bilis dapat dikatakan memiliki kandungan protein yang cukup tinggi yang berpotensi sebagai bahan baku bakso ikan.

Tabel 1. Komposisi Bahan Dasar Bakso Ikan Bilis

Komponen

Ikan bilis

Pati sagu

Tepung ubi jalar

Kadar Air (%)

72,60

18,73

7,90

Kadar Abu (%)

11,16

0,31

5,45

Kadar Protein (%)

14,70

0,97

5,03

Karakteristik Kimia Bakso Ikan Bilis

Karakteristik kimia bakso ikan bilis merupakan hal yang penting karena akan menentukan kualitas produk pangan. Syarat mutu bakso ikan dalam SNI 7266:2014 menyebutkan bahwa komponen kimia yang penting diketahui adalah kadar air, kadar abu, dan protein. Kadar air merupakan karakteristik yang penting dalam bakso

ikan karena menentukan tekstur bakso dan berpengaruh terhadap umur simpan bahan. Kadar abu menunjukkan kandungan mineral secara kasar, sedangkan kadar protein menunjukkan kandungan gizi utama yang harus dipenuhi bakso ikan. Karakteristik kimia bakso ikan bilis dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Kimia Bakso Ikan Bilis

Pati Tapioka:Pati Sagu : Tepung Ubi Jalar

Kadar air (%)

Kadar abu (%)

Kadar protein (%)

100 : 0 : 0 (kontrol)

60,05±0,63

4,48±1,49

4,10±0,03

40 : 30 : 30

58,16±1,69

4,63±0,75

4,32±0,66

40 : 25 : 35

57,71±1,61

4,79±0,29

4,35±0,74

40 : 20 : 40

57,49±1,64

5,12±0,57

4,27±0,32

40 : 15 : 45

57,19±2,11

5,57±0,27

4,88±0,22

40 : 10 : 50

56,82±1,49

5,91±0,85

4,55±0,23

40 : 5 : 55

56,78±2,04

6,09±0,80

4,73±0,80

SNI 7266:2014 (bakso ikan)

Maks. 65%

Maks. 2%

Min. 7%

Kadar air bakso ikan bilis yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 56,78-58,16%. Kadar air ini sudah memenuhi standar kadar air bakso ikan menurut syarat mutu SNI 7266:2014. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kadar

air bakso ikan bilis tidak dipengaruhi oleh perbandingan bahan pengikat yang digunakan, namun dapat dilihat bahwa semakin banyak tepung ubi jalar yang digunakan maka kadar air semakin rendah. Hal ini terjadi karena tepung ubi jalar

mempunyai kadar air yang lebih rendah (7,90%) dibandingkan pati sagu (18,73%), sehingga semakin banyak tepung ubi jalar yang ditambahkan akan menghasilkan bakso ikan bilis yang mempunyai kadar air lebih rendah.

Kadar abu pada penelitian ini melebihi syarat mutu SNI 7266:2014 karena kadar abu ikan bilis berkisar antara 4,48 – 6,09%. Hal ini diduga karena ikan bilis mempunyai kandungan mineral yang tinggi, seperti kandungan kalsium 500 mg/100 g bahan, fosfor 500 mg/100 g bahan, dan besi 1 mg/100 g bahan (Depkes RI, 1990), sehingga berpengaruh terhadap kadar abu pada bakso yang dihasilkan. Kadar kalsium ikan bilis tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar kalsium daging ayam (13 mg/100 g bahan) dan kadar kalsium tahu (180 mg/100 g bahan). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kadar abu bakso ikan bilis tidak dipengaruhi oleh perbandingan bahan pengikat yang digunakan, namun semakin banyak tepung ubi jalar kadar abu bakso semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena tepung ubi jalar mempunyai kadar abu lebih tinggi (5,45%) dibandingkan pati sagu (0,31%), sehingga penambahan tepung ubi jalar yang lebih banyak akan meningkatkan kadar abu bakso.

Kadar protein bakso ikan bilis pada penelitian ini belum memenuhi syarat mutu SNI 7266:2014 yaitu minimal 7,0%, karena kadar protein bakso ikan bilis masih rendah hanya berkisar antara 4,10-4,88%. Hal ini diduga terjadi penurunan kadar protein pada bakso ikan bilis dibandingkan dengan kadar protein pada ikan bilis segar karena proses pemasakan. Proses perebusan dalam pembuatan bakso menyebabkan terjadinya denaturasi protein yakni pemutusan ikatan

sekunder, tersier dan quartener. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa kadar protein bakso ikan bilis tidak dipengaruhi oleh perbandingan bahan pengikat yang digunakan, namun jumlah protein meningkat dengan semakin banyaknya tepung ubi jalar yang ditambahkan. Hal ini disebabkan karena tepung ubi jalar mempunyai kadar protein yang lebih tinggi (5,03%) dibandingkan pati sagu (0,97%).

Bakso ikan bilis yang dibuat dengan bahan pengikat hanya pati tapioka, tanpa pati sagu dan tepung ubi jalar mempunyai kadar air yang lebih tinggi, serta kadar abu dan kadar protein lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kombinasi bahan pengikat pati tapioka, pati sagu, dan tepung ubi jalar dapat meningkatkan kualitas bakso ikan bilis.

Karakteristik fisik bakso ikan bilis

Karakteristik fisik yang diamati dalam penelitian ini adalah daya ikan air atau water holding capacity (WHC) bakso ikan bilis. Daya ikat air adalah kemampuan untuk mengikat air yang terhadap di dalam bahan selama proses pengolahan (Soeparno, 2005). Daya ikat air merupakan hal yang penting untuk kualitas daging dan produk daging termasuk bakso (Natasasmita dkk., 1987). Daya ikat air bakso ikan bilis dapat dilihat pada Tabel 3.

Analisis statistik menunjukkan bahwa daya ikat air bakso ikan bilis tidak dipengaruhi oleh perbandingan bahan pengikat yang digunakan, namun semakin banyak tepung ubi jalar yang digunakan semakin rendah daya ikat air pada bakso ikan bilis. Daya ikat air dipengaruhi oleh protein pada bahan. Kadar protein pada bakso ikab bilis semakin besar dengan semakin banyaknya tepung ubi jalar yang ditambahkan, namun ternyata tidak

seiring dengan daya ikat airnya. Hal ini diduga karena protein yang terdapat dalam bakso ikan bilis sudah tidak pada kondisi utuh sehingga tidak dapat mengikat air dengan baik. Hal ini sejalan dengan pernyatan Lawrie (2003), bahwa kehilangan air pada waktu pemasakan suhu tinggi akan

menyebabkan pengerutan yang disebabkan terjadinya denaturasi protein sehingga menurunkan kapasitas pengikatan air. Keutuhan protein daging akan meningkatkan kemampuan menahan air, demikian pula sebaliknya.

Tabel 3. Daya Ikat Air Bakso Ikan Bilis

Pati Tapioka:Pati Sagu : Tepung Ubi Jalar

Daya ikat air (%)

100 : 0 : 0 (Kontrol)

56,67±2,31

40 : 30 : 30

51,33±4,62

40 : 25 : 35

48,00±6,00

40 : 20 : 40

47,33±9,24

40 : 15 : 45

46,67±4,16

40 : 10 : 50

46,00±4,00

40 : 5 : 55

42,67±3,06

Karakteristik Mikrobiologis Bakso Ikan Bilis

Jumlah mikrobia yang terdapat dalam produk pangan merupakan parameter yang penting untuk diperhatikan karena berhubungan dengan keamanan pangan dan tingkat kerusakan produk pangan. Total Plate Count (TPC) merupakan salah

satu metode yang dapat digunakan untuk menghitung jumlah mikroba dalam bahan pangan. TPC merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam Analisa, karena koloni dapat dilihat langsung dengan mata tanpa menggunakan mikroskop (Nurhayati dan Samallo, 2013).

Tabel 4. Jumlah Mikrobia pada Bakso Ikan Bilis

Pati Tapioka:Pati Sagu : Tepung Ubi Jalar

TPC (104 cfu/g)

100 : 0 : 0 (Kontrol)

9,83±1,14

40 : 30 : 30

9,52±0,41

40 : 25 : 35

9,90±1,13

40 : 20 : 40

9,29±1,15

40 : 15 : 45

8,97±1,09

40 : 10 : 50

7,88±1,54

40 : 5 : 55

8,57±1,80

SNI 7266:2014 (bakso ikan)

Maks. 1x105

Semakin banyak jumlah koloni dalam perhitungan menandakan semakin banyak mikroba dalam suatu bahan, banyaknya mikroba merupakan

salah satu tanda semakin menurunnya kualitas suatu bahan tersebut. Hasil pengujian TPC bakso ikan bilis menunjukkan jumlah mikrobia berkisar

antara 7,88- 9,90 x104 CFU/g (Tabel 4). Jumlah mikrobia pada bakso ikan bilis tersebut telah memenuhi syarat mutu SNI 7266:2014. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses pembuatan bakso ikan bilis yang dilakukan pada penelitian ini semua perlakuan sudah mampu untuk menghasilkan produk pangan yang aman dikonsumsi.

Karakteristik Sensori Bakso Ikan Bilis

Uji organoleptik merupakan suatu cara penilaian dengan indera yang memanfaatkan panca indera manusia untuk menilai tekstur, penampakan, aroma, dan flavour produk pangan.

Uji organoleptik yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan uji hedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis mennggunakan lima skala kesukaan. Hasil uji sensori bakso ikan bilis dapat dilihat pada Tabel 5. Warna merupakan indikator yang penting dalam penilaian suatu produk pangan, karena warna sangat mudah terlihat dan langsung dapat menarik perhatian. Hasil analisis statistik terhadap atribut warna bakso ikan bilis menunjukkan bahwa perbandingan bahan pengikat berpengaruh tidak nyata (sig<0,05) terhadap warna bakso ikan bilis dengan nilai kesukaan 3,10-3,67 (agak suka).

Tabel 5. Hasil Uji Sensori Bakso Ikan Bilis

Pati Tapioka:Pati Sagu : Tepung Ubi Jalar

Parameter

Warna

Rasa

Aroma

Tekstur

Kesukaan

40 : 30 : 30

3,10

3,03

3,30

3,17

3,23

40 : 25 : 35

3,17

2,97

3,23

3,20

3,27

40 : 20 : 40

3,20

2,87

3,17

2,97

3,13

40 : 15 : 45

3,30

2,90

3,10

2,90

3,07

40 : 10 : 50

3,43

2,77

2,97

2,83

3,00

40 : 5 : 55

3,67

2,70

2,90

2,80

2,90

Friedman

Sig=0,040

Sig=0,825

Sig=0,587

Sig=0,209

Sig=0,686

Keterangan: sig>0,05 menunjukkan berpengaruh nyata

Semakin banyak tepung ubi jalar yang ditambahkan meningkatkan nilai kesukaan panelis. Hal ini berarti panelis menyukai warna bakso ikan bilis yang cenderung lebih gelap (tidak pucat) karena penambahan tepung ubi jalar.

Rasa suatu produk pangan akan dapat dinilai setelah panelis mencicip produk pangan tersebut. Rasa yang timbul dari suatu makanan dihasilkan dari gabungan bahan-bahan yang digunakan. Berdasarkan hasil analisis statistik, perbandingan bahan pengikat berpengaruh nyata (sig>0,05) terhadap rasa bakso ikan bilis, dengan

nilai kesukaan 2,70-3,03 (tidak suka – agak suka). Semakin banyak tepung ubi jalar yang digunakan justru menurunkan tingkat kesukaan panelis terhadap bakso ikan bilis. Hal ini karena penambahan tepung ubi jalar membuat bakso ikan bilis terasa manis, padahal secara umum rasa bakso yang diharapkan adalah gurih. Walaupun dalam pembuatan bakso ikan bilis juga ditambahkan garam dan bumbu, namun belum dapat menutup rasa manis dari tepung ubi jalar sehingga rasa dominan masih berasa manis.

Menurut Soekarto (1985) aroma disebut juga pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium aromanya. Aroma bakso dipengaruhi oleh aroma daging, aroma tepung, aroma bumbu-bumbu dan bahan lain yang ditambahkan. Berdasarkan hasil analisis statistik, perbandingan bahan pengikat berpengaruh nyata (sig>0,05) terhadap aroma bakso ikan bilis, dengan nilai kesukaan 2,90-3,30 (tidak suka – agak suka). Semakin banyak penggunaan tepung ubi jalar semakin rendah tingkat kesukaan panelis. Hal ini disebabkan karena penambahan tepung ubi jalar menimbulkan aroma khas umbi yang kurang disukai karena perpepsi umum terhadap aroma bakso adalah aroma khas daging. Penggunaan bumbu belum dapat menutup aroma tepung ubi jalar pada bakso ikan bilis.

Tekstur merupakan atribut khas dalam bakso. Secara umum tekstur bakso yang dikehendaki adalah lembut kenyal. Selain itu tekstur bakso ditentukan oleh kandungan air, kandungan lemak dan jenis karbohidrat. Kandungan air yang tinggi akan menghasilkan tekstur bakso yang lembek, sedangkan jenis

karbohidrat akan menghasilkan bakso yang halus maupun kasar (Oktavianie, 2002). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbandingan bahan pengikat berpengaruh nyata (sig>0,05) terhadap tekstur bakso ikan bilis, dengan nilai kesukaan 2,80-3,17 (tidak suka – agak suka). Tekstur bakso ikan bilis yang dihasilkan pada penelitian ini belum lembut dan cenderung keras (tidak kenyal), sehingga tidak disukai panelis. Hal ini diduga karena penambahan tepung ubi jalar yang menghasilkan tekstur keras pada bakso ikan bilis.

Penerimaan keseluruhan merupakan parameter gabungan untuk mengetahui penerimaan panelis terhadap produk yang diuji. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbandingan bahan pengikat berpengaruh nyata (sig>0,05) terhadap penerimaan keseluruhan bakso ikan bilis, dengan nilai kesukaan 2,90-3,27 (tidak suka – agak suka). Hasil ini menunjukkan bahwa panelis belum dapat menerima bakso ikan bilis dengan baik karena belum terbiasa mengkonsumsi bakso dengan penambahan tepung ubi jalar, yang mempunyai perbedaan dengan bakso daging dari atribut rasa, aroma, dan tekstur.

Tabel 6. Nilai Perlakuan (NP) Bakso Ikan Bilis

Pati Tapioka:Pati Sagu : Tepung Ubi Jalar

Nilai Perlakuan (NP)

40 : 30 : 30

0,50

40 : 25 : 35

0,65

40 : 20 : 40

0,45

40 : 15 : 45

0,53

40 : 10 : 50

0,33

40 : 5 : 55

0,29


Penentuan Perlakuan Terbaik                      dari De Garmo, dkk. (1984). Masing-masing

Penentuan perlakuan terbaik pada parameter diberi pembobotan dengan

penelitian ini menggunakan uji indeks efektifitas mempertimbangkan tujuan penelitian ini.,


kemudian dilakukan perhitungan hingga memperoleh nilai perlakuan pada masing-masing perlakuan (Tabel 6). Berdasarkan uji indeks efektivitas, perlakuan yang mempunyai NP tertinggi adalah bakso ikan yang dibuat dengan perbandingan pati tapioca:pati sagu;tepung ubi jalar 40:25;35. Bakso ikan bilis dengan perlakuan terbaik memiliki karakteristik kimia dan fisika meliputi: kadar air 57,71%, kadar abu 4,79%, kadar protein 4,35%, TPC 9,90x104 CFU/g, kalsium 0,13%, dan daya ikat air 48,00%.

KESIMPULAN

Perbandingan bahan pengikat (pati tapioka:pati sagu:tepung ubi jalar) tidak mempengaruhi karakteristik fisikokimia (kadar air, kadar abu, kadar protein, daya ikat air) pada bakso ikan bilis. Hal ini berarti pembuatan bakso ikan bilis bisa memnggunakan bahan pengikat dari bahan lokal yang bervariasi. Jumlah total mikrobia pada bakso ikan bilis telah memenuhi syarat mutu SNI 7266:2014, menunjukkan bahwa proses pembuatan bakso ikan bilis menghasilkan produk yang aman untuk dikonsumsi. Atribut sensori yang dipengaruhi perbandingan bahan pengikat adalah rasa, aroma, tekstur, dan kesukaan keseluruhan, sedangkan atribut warna tidak dipengaruhi oleh perbandingan bahan pengikat. Perlakuan terbaik adalah perbandingan pati sagu dan tepung ubi jalar 25:35 dengan karakteristik kadar air 57,71%, kadar abu 4,79%, kadar protein 4,35%, daya ikat air 48%, TPC 9,90x104 CFU/g, warna 3,17 (agak suka), rasa 2,97 (tidak suka), aroma 3,23 (agak suka), tekstur 3,20 ( agak suka), dan kesukaan keseluruhan 3, 27 (agak suka)

DAFTAR PUSTAKA

De Garmo, E.P.W.G., Sullivan., Canada, J.R., (1984). Engineering Economy The 7th Edition. New York : Macmilan Publishing Comp.

Departemen Kesehatan R.I. (1996). Daftar Komposisi Kimia Bahan Makanan. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.

Direktorat Jenderal Perternakan dan Kesehatan Hewan. (2014). Produksi Daging Unggas Menurut Provinsi dan Jenis Unggas. Jakarta

Habib, B.P. (2008). Budidaya Olah Tepung Sagu. Yogyakarta: Kanisius.

Hendradi. (2009). Ikan Teri Cegah Osteoporosis.

Dikutip :        27 Mei 2019.

http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1076388924, 5402.

Herpadi, Pertiwi, M., dan Nopianti, R. (2018). Karakteristik Fisiko-Kimia dan Sensori Bakso Ikan Parang-parang (Chirocentrus dorab) dengan Substitusi Tepung Buah Pedada (Sonneratia caseolaris). Jurnal Teknologi Hasil Pertanian, 7(1), 1-13.

Istikha, T.H. (2014). Kajian Sifat Fungsional Dan Sensori Cake Ubi Jalar Kuning (Ipomoea Batatas L) Dengan Berbagai Variasi Perlakuan. Jurnal Teknosains Pangan, 3(1).

Kusnandar, F. (2011). Mengenal Sifat Fungsional Protein. Departemen Ilmu Teknologi Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Lawrie, R. A. (2003). Ilmu Daging. Edisi 5.

Penerjemah Aminuddin Parakkasi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Montolalu, S.N., Lontaan, S.S., Mirah, A.D. (2013).   Sifat Fisiko-Kimia dan Mutu

Organoleptik Bakso Broiler dengan Menggunakan Tepung Ubi Jalar (Ipomoea Batatas L). Jurrnal. Zootek, 32(5), 7-8.

Natasasmita, S. R. Priyanto dan D. M. Tauchid. ( 1987).   Evaluasi   Daging.   Fakultas

Peternakan Insitut Pertanian Bogor.

Nurhayati & Samallo, I. M. (2013). Analisis Degradasi Polutan Limbah Cair Pengolahan Rajungan (Portunus Pelagicus) Dengan Penggunaan Mikroba Komersial. Jurnal Ilmiah Fakultas Teknik, 1(9): 1-13.

Rosiana. (2011). Ilmu Nutrisi dan Gizi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Setyaningsih, D., Apriyantono, A., Sari, D.M.P. (2010). Analisis sensori untuk industri pangan dan agro. Bogor: IPB Press.

SNI. (2000). Direktori Standar Nasional Indonesia (SNI)  Peternakan.  Badan Agribisnis

Departemen Pertanian. Jakarta.

Soekarto, S. T. (1985). Penilaian Organoleptik (untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian). Jakarta: Bharata Karya Aksara.

Soeparno. (2005). Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan keempat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sudarmadji, S., B. Haryono dan Suhardi. (1997). Prosedur Analisis Bahan Makanan dan Hasil Pertanian. Yogyakarta: Liberty.

Suprapti, L. (2005). Teknologi Pengolahan Pangan Tepung Tapioka dan Pemanfaatannya.   Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

532