Jurnal ITEPA Vol. 7 No. 2, Tahun 2018

Hal 22 - 32

Pengaruh Jenis Pelarut dan Rasio Bahan dengan Pelarut Terhadap Kandungan Senyawa Fenolik dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Biji Alpukat (Persea americana Mill.)

Ginanjar Rifai1), I Wayan Rai Widarta2), Komang Ayu Nocianitri2) 1)Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana 2)Dosen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana

Email : [email protected]

ABSTRACT

This research was conducted in order to determine the type of solvent and ratio between sample and solvent to produce extract avocado seed with the highest antioxidant activity. The experimental design used in this research was a factorial completely randomized design which consisted of two factors. The first factor was the type of solvent consisting of ethanol, methanol, and acetone. The second factor was ratio between sample and solvent of 1:5, 1;10, and 1:15. The treatment was repeated three time to obtain 27 units of the experiment. Data were analyzed with analysis of variance, followed by Duncan test. The results show that the solvent of acetone and ratio between sample and solvent of 1:15 was highest antioxidant activity with total phenolic 803.60 mg/100g, IC50 was 540.95 ppm, and yield 41.36%.

Keywords : avocado seeds, antioxidant activity, phenolic, ultrasonic.

PENDAHULUAN                   endogen. Bila antioksidan endogen tidak

mencukupi,   tubuh   memerlukan asupan

Radikal bebas adalah senyawa yang

antioksidan dari luar. Salah satu pencegahan yang mempunyai elektron tidak berpasangan, sehingga

perlu dilakukan untuk menghindari timbulnya itu bersifat tidak stabil. Elektron yang tidak

penyakit-penyakit   tersebut adalah dengan

berpasangan selalu berusaha untuk mencari

mengkonsumsi makanan atau obat-obatan yang pasangan baru, sehingga mudah bereaksi dengan

mengandung antioksidan (Lim et al., 2002).

zat lain (Winarti, 2010). Lemak dan bahan pangan

Antioksidan adalah senyawa yang yang mengandung lemak dapat mengalami

mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa kerusakan selama pengolahan dan penyimpanan

radikal bebas sehingga senyawa radikal bebas karena terbentuk radikal bebas (Santoso, 2016).

menjadi stabil (Winarti, 2010). Meenakshi et al. Radikal bebas juga dapat merusak sel dalam tubuh

(2009) mengelompokan antioksidan menjadi dua sehingga dapat menyebabkan penyakit

jenis berdasarkan sumbernya, yaitu antioksidan degeneratif. Radikal bebas menjadi awal

buatan dan antioksidan alami. Penggunaan kerusakan sel, sehingga timbulnya penyakit

antioksidan buatan dalam bahan pangan harus seperti penuaan dini, kanker, infeksi, penyakit

lebih hati-hati. Penggunaan dalam jangka waktu jantung koroner, rematik, katarak, dan liver

lama dan dosis yang berlebihan dapat (Wijaya, 1996). Tubuh manusia dapat menetralisir

mengganggu kesehatan karena bersifat karsinogen radikal bebas bila jumlahnya tidak berlebihan,

(Ketaren, 1986). Hal ini mendorong berbagai dengan mekanisme pertahanan antioksidan

penelitian untuk mendapatkan antioksidan yang lebih aman dari sumber alami yang banyak ditemukan dalam sayur-sayuran, buah-buahan dan biji-bijian.

Salah satu bahan pangan yang kaya akan antioksidan adalah buah alpukat (Persea americana Mill). Alpukat merupakan tanaman yang dapat tumbuh subur di daerah tropis seperti Indonesia (Afriansyah, 1996). Biji alpukat adalah limbah dari buah alpukat yang sangat jarang dimanfaatkan. Biji alpukat diketahui memiliki manfaat sebagai obat tradisional untuk mengobati sakit gigi, maag kronis dan hipertensi (Widyanti, 2007). Vinha et al. (2013) melaporkan bahwa pada biji alpukat mengandung komponen-komponen fitokimia seperti fenolik 704,0 mg/100 g , flavonoid 47,9 mg/100 g, karoten 0,988 mg/100 g, vitamin C 2,6 mg/100 g dan vitamin E 4,82 mg/100 g. Senyawa fenolik dikenal sebagai salah satu bagian terpenting tanaman dan memiliki kemampuan untuk menangkal radikal bebas. Senyawa fenolik mampu bertindak sebagai antioksidan dengan menyumbang elektron kepada radikal bebas (Kawamura et al., 2011). Senyawa ini dapat mencegah penyakit jantung, mengurangi peradangan, dan diabetes (Khoddami et al., 2013).

Pengambilan senyawa fenolik dari biji alpukat dapat dilakukan dengan cara ekstraksi. Metode ekstraksi yang banyak digunakan adalah metode ultrasonik. Keuntungan utama dari ekstraksi dengan metode ultrasonik dibandingkan dengan ekstraksi dengan metode konvensional lainnya adalah efisiensi lebih besar dan waktu operasinya lebih singkat. Menurut hasil penelitian Lita (2010) total fenolik yang diperoleh dari

ekstraksi daun sendok (Plantago major L.) menggunakan metode ultrasonik jauh lebih besar dibandingkan ekstraksi menggunakan metode maserasi. Sementara itu, menurut Sari et al. (2012), yang melakukan ekstraksi rumput laut (Kappahycus alvarezzi) dengan bantuan ultrasonik menghasilkan total fenolik yang tinggi, waktu yang singkat dan suhu yang lebih rendah dari pada ekstraksi dengan metode maserasi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi laju ekstraksi adalah jenis pelarut, rasio bahan pelarut, waktu, suhu ukuran partikel dan jumlah pelarut yang digunakan (Prasetyowati dan Tera, 2010). Selama proses ekstraksi, bahan aktif akan terlarut oleh zat pelarut yang sesuai sifat kepolarannya. Senyawa fenolik adalah senyawa yang bersifat polar (Robinson, 1995), sehingga diperlukan pelarut yang bersifat polar. Delazar et al. (2012) menjelaskan bahwa etanol, metanol dan aseton adalah jenis pelarut yang sering digunakan untuk mengekstraksi senyawa fenolik pada tumbuhan dan tanaman herbal. Selama proses ekstraksi rendemen akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pelarut. Peningkatan rendemen ini diakibatkan karena semakin tinggi jumlah pelarut yang digunakan, maka pengeluaran senyawa target ke dalam pelarut dapat berjalan lebih optimal dan pelarut mengalami kejenuhan juga dapat dihindari. Akan tetapi, setelah jumlah pelarut dinaikkan dalam jumlah tertentu maka peningkatan rendemen relatif kecil dan cenderung menjadi konstan (Ahmad et al., 2008). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan jenis pelarut dan rasio bahan dengan pelarut tertentu dengan metode ultrasonik agar

dapat menghasilkan ekstrak biji alpukat dengan kandungan senyawa fenolik dan aktivitas antioksidan tertinggi.

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanankan di laboratorium Analisis Pangan, Mikrobiologi Pangan dan Pengolahan Pangan, Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari sampai dengan Maret 2017.

Alat dan Bahan

Peralatan-peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sonikator (Elma), rotary vakum evaporator (Ika Labortechnik), spektrofotometer UV –Vis (Genesys 10s Uv-Vis), oven (Labo DO 225), blender (Phillip), timbangan analitik (shimadzu), mikropipet (Socorex), kertas saring Whatman no 1, cawan aluminium, oven, pipet ukur (pyrex), pipet tetes, labu lemak (pyrex), corong, pinset, sheating mantle, alumunium foil, pisau, loyang, label, tabung ukur, tabung reaksi (pyrex), dan botol kaca.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah biji buah alpukat hijau bundar (Persea americana Mill.) yang didapatkan dari penjual es buah di sekitar Kampus Bukit Jimbaran Universitas Udayana yang memiliki umur penyimpanan 24 jam. Bahan-bahan kimia yang digunakan antara lain : aquades, etanol, metanol, aseton, asam galat, folin-ciocalteau, Na2CO3 7,5% dan DPPH.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial dengan perlakuan jenis pelarut dan rasio bahan dengan jenis pelarut. Faktor pertama adalah jenis pelarut yang terdiri dari 3 jenis pelarut yaitu: P1= ekstraksi menggunakan etanol, P2= ekstraksi menggunakan metanol, P3= ekstraksi menggunakan aseton. Faktor kedua adalah rasio bahan dengan pelarut yang terdiri terdiri dari 3 taraf yaitu R1 = 1:5, R2 = 1:10 dan R3 = 1:15. Perlakuan ini diulang sebanyak tiga kali sehingga diperoleh 27 unit percobaan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA). Jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap parameter yang diamati selanjutnya dianalisis dengan uji Duncan (Steel dan Torrie, 1993).

Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah rendemen (Jayanudin et al., 2014), total fenolik dengan metode folin-ciocalteau (Garcia et al.,), dan aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (Sompong et al.,).

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan bahan-bahan dimulai dari biji alpukat dikupas kulit arinya, kemudian dibelah menjadi empat bagian, selanjutnya biji alpukat direbus selama 5 menit dengan suhu 70oC, setelah perebusan biji alpukat dipotong tipis-tipis dengan tebal 3 mm. Setelah itu, dikeringkan di dalam oven pada suhu 40oC selama 24 jam. Biji alpukat yang kering, dihancurkan hingga halus menggunakan blender, kemudian diayak dengan ayakan 60 mesh sehingga diperoleh serbuk biji

alpukat (Prasetyowati dan Tera, 2010). Serbuk biji alpukat, ditimbang sebanyak 15 g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Ditambahkan pelarut sesuai dengan perlakuan (etanol 60%, metanol 60%, dan aseton 60%) dengan masing-masing perbandingan pelarut (1:5, 1:10 dan 1:15). Diekstraksi menggunakan metode ultrasonic bath pada frekuensi 37 kHz bersuhu 30oC selama 30 menit. Kemudian disaring dengan kertas Whatman No. 1 sehingga diperoleh filtrat yang bebas ampas. Filtrat diuapkan dengan rotary vacum evaporator pada tekanan ± 200 mBar, suhu 40 °C. Ekstrak yang didapat dikemas dengan botol gelap. Setelah itu dianalisis rendemen serbuk biji alpukat, kandungan senyawa fenolik dan aktivitas

antioksidan (Widarta dan Wiadnyani, 2016) yang dimodifikasi).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi jenis pelarut dan rasio bahan dengan jenis pelarut tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen ekstrak biji alpukat, akan tetapi perlakuan jenis pelarut dan rasio bahan dengan jenis pelarut berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen ekstrak biji alpukat. Nilai rerata rendemen ekstrak biji alpukat pada perlakuan jenis pelarut dapat dilihat pada Gambar 1. Nilai rerata rendemen ekstrak biji alpukat pada perlakuan rasio bahan dengan pelarut dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1. Rerata rendemen (%) ekstrak biji alpukat pada perlakuan jenis pelarut.

**Keterangan : Huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata.


Gambar 1 menunjukkan bahwa rendemen tertinggi dihasilkan pada perlakuan pelarut aseton yaitu 37,98% yang berbeda sangat nyata dengan perlakuan pelarut etanol yaitu 30,71% dan pelarut metanol 28,66%. Jumlah rendemen pada ekstrak biji alpukat bergantung pada sifat kepolaran jenis pelarut. Penelitian ini menunjukkan bahwa kepolaran senyawa yang terkandung pada ekstrak biji alpukat mempunyai kepolaran yang mendekati kepolaran aseton, sehingga dapat terekstrak lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan penelitian Sari et al. (2012) yang meneliti tentang pengaruh jenis pelarut terhadap rendemen dan karakteristik ekstrak pewarna dari buah pandan (Pandanus tectorius) menunjukkan bahwa aseton menghasilkan rendemen tertinggi dibandingkan dengan pelarut etanolnya. Selain itu, hasil

penelitian Nurvita et al. (2013) yang meneliti tentang pengaruh jenis pelarut pada ekstraksi kurkuminoid dari rimpang temulawak menunjukkan bahwa aseton menghasilkan rendemen tertinggi dibandingkan pelarut etil asetat dan etanol. Menurut Voight (1994) proses penarikan bahan (ekstraksi) terjadi dengan mengalirnya bahan pelarut ke dalam sel yang menyebabkan protoplasma membengkak, dan bahan yang terkandung dalam sel akan terlarut sesuai dengan kelarutannya. Daya melarutkan yang tinggi ini berhubungan dengan kepolaran pelarut dan kepolaran senyawa yang diekstraksi. Harborne (1987) menyatakan bahwa tumbuhan mengandung banyak senyawa fenolik, senyawa fenolik ini memiliki sifat yang cenderung larut dalam pelarut polar.


Gambar 2. Rerata rendemen ekstrak (%) biji alpukat pada perlakuan rasio pelarut.

**Keterangan : Huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata.


Gambar 2 menunjukkan bahwa rasio bahan dengan pelarut mempengaruhi rendemen ekstrak biji alpukat. Rendemen tertinggi dihasilkan pada perlakuan rasio bahan dengan pelarut yaitu 1:15 sebesar 36,55% yang berbeda nyata dengan rasio bahan dengan pelarut 1:10 sebesar 33,17% dan perlakuan rasio bahan dengan pelarut 1:5 yaitu 27,63%.

Semakin tinggi jumlah pelarut yang digunakan maka rendemen yang dihasilkan akan semakin tinggi. Hasil penelitian Inggrid dan Santoso (2014) yang meneliti tentang ekstraksi antioksidan dan senyawa aktif dari buah kiwi (Actinidia deliciosa) menunjukkan bahwa perbandingan rasio bahan dengan pelarut 1:15 menghasilkan rendemen tertinggi dibandingkan

dengan rasio bahan dengan pelarut 1:10. Selain itu Delazar et al. (2012) menyebutkan bahwa rendemen akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah pelarut. Peningkatan rendemen ini diakibatkan karena semakin tinggi jumlah pelarut yang digunakan, maka pengeluaran senyawa target ke dalam pelarut dapat berjalan lebih optimal dan pelarut mengalami kejenuhan juga dapat dihindari.

Total Fenolik

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara jenis pelarut dan rasio bahan dengan jenis pelarut berpengaruh sangat nyata terhadap total fenolik ekstrak biji alpukat. Rerata total fenolik ekstrak biji alpukat dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Rerata total fenolik (mg/100g) ekstrak biji alpukat.

**Keterangan : Huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata.


Gambar 3 menunjukkan bahwa kandungan fenolik dalam ekstrak biji alpukat berbeda-beda pada setiap perlakuan. Total fenolik

ekstrak biji alpukat tertinggi terdapat pada perlakuan pelarut aseton dengan rasio bahan dengan pelarut 1:15 yaitu 803,46 mg/100g,

sedangkan total fenolik terendah terdapat pada perlakuan pelarut metanol dengan rasio bahan dengan pelarut 1:5 yaitu 31,2 mg/100g. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa senyawa fenolik dalam biji alpukat terekstrak dengan baik pada pelarut aseton. Tumbuhan mengandung banyak senyawa fenolik, senyawa fenolik ini memiliki sifat yang cenderung larut dalam pelarut polar (Harborne, 1987). Hasil penelitian Chirinos et al. (2007) yang meneliti tentang pengaruh jenis pelarut terhadap senyawa fenolik dari Scirpus holoschoneus L. menunjukkan bahwa jenis pelarut aseton menghasilkan ekstrak tertinggi dari pada jenis pelarut etil asetat dan petroleum eter. Semakin tinggi rasio bahan dengan pelarut, kadar total fenolik ekstrak biji alpukat akan semakin meningkat. Menurut Delazar et al. (2012), rendemen akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah pelarut. Peningkatan rendemen ini diakibatkan karena semakin tinggi jumlah pelarut yang digunakan, maka pengeluaran senyawa target ke dalam pelarut dapat berjalan lebih optimal dan kejenuhan dalam pelarut dapat

dihindari. Selain itu pada penelitian Inggrid dan Santoso (2014) yang meneliti tentang Ekstraksi antioksidan dan senyawa aktif dari buah kiwi (Actinidia deliciosa) menunjukkan bahwa perbandingan rasio bahan dengan pelarut 1:15 menghasilkan rendemen tertinggi dibandingkan dengan rasio bahan dengan pelarut 1:10.

Aktifitas Antioksidan

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara jenis pelarut dan rasio bahan dengan pelarut tidak berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan ekstrak biji alpukat. Perlakuan rasio bahan dengan pelarut tidak berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan ekstrak biji alpukat, akan tetapi perlakuan jenis pelarut menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap aktivitas antioksidan ekstrak biji alpukat. Nilai rerata IC50 (ppm) ekstrak biji alpukat pada perlakuan jenis pelarut dapat dilihat pada Gambar 4. Nilai rerata IC50 (ppm) ekstrak biji alpukat pada perlakuan rasio bahan dengan pelarut dapat dilihat pada Gambar 5.

Jenis Pelaiiit


Gambar 4. Rerata IC50 (ppm) ekstrak biji alpukat pada perlakuan jenis pelarut.

**Keterangan : Huruf berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata.


Gambar 4 menunjukan bahwa aktivitas antioksidan pada ekstrak biji alpukat tertinggi terdapat pada perlakuan pelarut aseton yang memiliki nilai IC50 terendah, yaitu 653,573 ppm, yang tidak berbeda nyata dengan pelarut etanol yang memiliki nilai IC50 yaitu 696,384 ppm. Aktivitas antioksidan terendah terdapat pada perlakuan pelarut metanol dengan nilai IC50 tertinggi, yaitu 907,618 ppm. Menurut Molyneux (2004), semakin kecil nilai IC50 maka aktivitas antioksidan semakin tinggi. Ekstrak biji alpukat pada pelarut aseton memiliki aktivitas antioksidan tertinggi dibandingkan dengan ekstrak biji alpukat dengan pelarut metanol dan etanol. Hal ini dikarenakan senyawa senyawa yang terdapat pada ekstrak biji alpukat dengan pelarut aseton lebih berperan aktif sebagai antioksidan dalam meredam radikal bebas DPPH, Berarti senyawa bioaktif yang berperan sebagai penghambat

radikal bebas dari ekstrak biji alpukat dapat terekstrak baik jika menggunakan pelarut aseton.

Tingginya aktivitas antioksidan dalam ekstrak biji alpukat pada perlakuan pelarut aseton berkorelasi positif dengan senyawa fenolik yang dikandungnya. Nilai total fenolik pada ekstrak biji alpukat pada perlakuan pelarut aseton memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Perbedaan perlakuan yang digunakan dalam proses ekstraksi biji alpukat ternyata tidak berperngaruh terhadap nilai IC50 yang dihasilkan. Gambar 5. menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan pada ekstrak biji alpukat tertinggi terdapat pada perlakuan rasio bahan dengan pelarut 1 : 15 yang memiliki nilai IC50 terendah, yaitu 614,85 ppm, yang tidak berbeda dengan perlakuan rasio bahan dengan pelarut 1 : 10 yang memiliki nilai IC50 yaitu 733,71 ppm dan perlakuan rasio bahan dengan pelarut 1 : 15 dengan nilai IC50 yaitu 909,01 ppm.

Rasio bahan : pelarut


Gambar 5. Rerata IC50 (ppm) ekstrak biji alpukat pada perlakuan rasio bahan dengan pelarut.

**Keterangan : Huruf sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata.


Meenakshi et al. (2009) yang menunjukkan adanya hubungan antara total fenolik dan aktivitas antioksidan dimana jika di dalam suatu bahan memiliki konsentrasi senyawa fenolik yang tinggi maka aktivitas antioksidan dalam bahan tersebut juga tinggi. Hasil penelitian menunjukan bahwa ekstraksi dengan pelarut etanol memiliki nilai IC50 yang tidak berbeda nyata dengan pelarut aseton, namun total fenolik hasil ekstraksi pelarut etanol berbeda sangat nyata dengan total fenolik dari pelarut aseton. Hal ini diduga disebabkan oleh etanol yang bersifat polar berpotensi melarutkan senyawa polar lainnya yang memiliki sifat antioksidan. Vinha et al. (2013) melaporkan bahwa selain senyawa fenolik, biji alpukat juga mengandung senyawa flavonoid, vitamin C dan vitamin E yang berperan sebagai antioksidan. Hal ini sesuai dengan penelitian Munte et al. (2015) bahwa pelarut etanol bersifat polar dan dapat melarutkan senyawa flavonoid dan vitamin C. Musalmah et al. (2005) melaporkan bahwa etanol juga dapat melarutkan vitamin C sehingga tingginya aktivitas antioksidan pada ekstrak etanol dapat juga disebabkan oleh kandungan vitamin C.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

  • 1.    Interaksi antara jenis pelarut dan rasio bahan dengan jenis pelarut tidak berpengaruh nyata terhadap rendemen dan aktivitas antioksidan

akan tetapi berpengaruh sangat nyata terhadap total fenolik. Perlakuan antara jenis pelarut dan rasio bahan dengan pelarut berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen ekstrak biji alpukat. Perlakuan jenis pelarut berpengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan dan perlakuan rasio bahan dengan pelarut tidak berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan.

  • 2.    Perlakuan yang menghasilkan rendemen, total fenolik dan aktivitas antioksidan tertinggi adalah perlakuan jenis pelarut aseton dengan rasio bahan dengan pelarut 1:15 dengan rendemen ekstrak 41,36%, total fenolik 803,60 mg/100g, dan nilai IC50 sebesar 540,95 ppm.

Saran

Perlunya penelitian lebih lanjut terkait pemanfaatan biji alpukat sebagai sumber antioksidan alami yaitu isolasi senyawa-senyawa aktif biji alpukat beserta uji aktivitas masing-masing senyawa aktif sehingga dapat dipelajari senyawa manakah yang lebih dominan sebagai antioksidan.

DAFTAR PUSTAKA

Afriansyah, N. 1996. Radikal bebas : dikenal untuk dikendalikan. Sadar Pangan dan Gizi. Universitas Sumatera Utara, Medan. 5(1): 67.

Ahmad, A.L., C.Y. Chan, S.R.A. Shukor and M.D. Mashitah. 2008. Recovery of oil and carotenes from palm oil Mill. effluent. Chemical Engineering Journal 141: 383-386.

Chirinos, R., H. Rogez, D. Campos, R. Pedreschi And Y. Lanrondelle. 2007. Optimization of extraction conditions of antioxidant phenolic compounds from mashua  (Tropaeolum

tuberosum ruiz & pavon) tubers. Separation and        Purification        Technology.

http://www.ifrj.upm.edu.my/18%20(03)% 2

0 20 11/( 11)IFRJ-2011-210.pdf Diakses pada tanggal 1 Agustus 2017

Delazar, A., L. Nahar., S. Hamedeyaz dan, S.D. Satyajit. 2012. Microwave-assisted extraction in natural products isolation natural products isolation, methods in molecular biology. Springer Science, New York. 864:215-218.

Garcia, C.A., G. Gavino, M.B. Mosqueda, P. Hevia, V.C. Gavino. 2007. Correlation of tochoperol, tokotrienol, y-oryzanol and total polyphenol content in rice bran with difference antioxidant capacity assy. J Food Chem 102:1228-1232.

Harborne, J.B. 1987. Metode Fitokimia. Penerjemah Padmawinata I.K. Soediro Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Inggrid, M.H. dan H. Santoso. 2014. Ekstraksi Antioksidan Dan Senyawa Aktif Dari Buah Kiwi. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan          http://journal.unpar.ac.

id/index.php/r                      ekayasa

/article/view/1253/1232 Diakses pad 23 September 2017

Jayanudin, A.Z., F. Lestari dan Nurbayanti. 2014. Pengaruh suhu dan rasio pelarut estraksi terhadap rendemen dan viskositas natrium alginat dari rumput laut cokelat (Sargassum sp). Jurnal Integrasi Proses. 5(1): 51-56.

Kawamura, F., S.F.M. Ramale, O .Sulaiman., R. Hashim, dan S. Ohara. 2011. Antioxidant and antifungal activities of extracs from 15 selected hardwood species of Malaysian Timer, Eur. Journal Wood Prod. 69:207-212.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak Dan Lemak Pangan. UI Press, Jakarta.

Khoddami, A., Wilkes, M.A., dan Roberts, T.H. 2013. Techniques for analysis of plant phenolic compounds, Molecules, 18L2328-2375.

Lim, S.N., P.C.K. Cheung., V.E.C. Ooi., dan P.O. Ang. 2002. Evaluation of antioxidative activity of extracts from a brown seaweed, Sargassum siliquastrum. Journal of Agricultural Food Chemistry. 50: 3862-3866.

Lita, Y. 2010. Perbandingan metode ekstraksi ultrasonik dengan maserasi kinetik terhadap aktivitas antioksidan, kadar fenolik dan flavonoid total ekstrak air daun sendok (Plantago            major            L.).

http://digilib.ubaya.ac.id /pustaka.php/132458. Diakses pada 23 Juli 2017.

Meenakshi, S., D.M. Gnanambigai,, dan S.T. Mozhi. 2009. Total flavonoid and in vitro antioksidant activity of two seaweeds of Rameshwaram Coast. Journal of Pharmacology. 3(2): 59-62.

Molyneux, P. 2004. The use of the stable free radical dyphenylpicrylhydrazil (DPPH) for estimating antioxidant activity. Journals of Science and Technology. 26:211-219.

Munte. L.,Runtuwene M.R., dan Citraningtyas G. 2015. Aktivitas antioksidan dari ekstrak daun prasman (Eupatorium triplinerve Vahl.). Jurnal Ilmiah Unsrat. 23(2):2302 – 2493.

Musalmah, M, Nizrana .M.Y., Fairuz A.H., NoorAini A.H., Azian A.L., Gapor M.T., dam Wangah W.Z. 2005. Comparative effects of paim vitamin E and alphatocopherol on healing and wound tissue antioxidant enzyme levels in diabetic rats. Jurnal Lipids. 40: 575-80.

Nurvita, S.D.L., C. Bambang dan C.K. Andri. 2013. Pengaruh Jenis Pelarut Pada Ekstraksi Kurkuminoid Dari Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Jurnal Teknik Kimia Undip, Semarang. 1(1):101-107.

Prasetyowati, R.P. dan F. Tera. 2010. Pengambilan minyak biji alpukat (Persea americana Mill.) dengan metode ekstraksi. Jurnal Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya, Palembang. 17(2):16-24.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah K. Padmawinata. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Sari, D.K., D.H. Wardhani,   dan   A.

Prasetyaningru. 2012. Pengujian Kandungan Total Fenolik Kappahycus Alvarezzi Dengan Metode Ekstraksi Ultrasonik Dengan Variasi Suhu Dan Waktu. Jurnal Jurusan Teknik, Universitas Hasyim Asyari, Semarang 1(1):40-44.

Santoso, U. 2016. Antioksidan Pangan. Gadjah Mada University Press.

Sompong, R.S., G.  Siebenhandl-Ehn., M.

Linsberger dan E. Berghofer. 2011. Physicochemical and antioxidative properties of red and black rice varieties from Thailand, China and Sri Lanka. Food Chemistry, 124(1):132-140.

Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip Dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan

Biometrik. Penerjemah B. Sumantri. PT. Gramedia Pustaka, Jakarta.

Vinha, A.F., J. Moreira1 dan S.V.P. Barreira1. 2013. Physicochemical parameters, phytochemical composition and antioxidant activity of the algarvian avocado (Persea americana Mill.). Jurnal of Faculdade de Ciências da Saúde, Universidade Fernando Pessoa Rua Carlos da Maia, Portugal. 5(12):1916-9752.

Voight, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi 5. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Widarta, I.W.R dan A.A.S. Wiadnyani. 2016. Ekstraksi dan karakterisasi komponen bioaktif serta aktivitas antioksidan daun alpukat dalam upaya pemanfaatannya sebagai minuman fungsional. Laporan Penelitian

Ilmu Dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, Denpasar.

Widyanti. 2007. Aktivitas antioksidan tempe lamtoro gung hasil fermentasi Rhizopus oligosporus. Jurnal Fakultas    Ilmu

Pengetahuan Aman Universitas Negeri Sebelas          Maret,          Surakarta.

http://download.portalgaruda.org/arti cle. ro%2 0gung %20(leucaena%20le ucocephala)%20angkak Diakses pada 23 Juli 2017.

Wijaya, A. 1996. Radikal Bebas dan Parameter Status Antiosidan. Forum Diagnosticum. Lab Klinik Prodia 1:1-12.

Winarti, S. 2010. Makanan Fungsional. Yogyakarta.