PENGARUH KETUAAN DAUN DAN METODE PENGOLAHAN TERHADAP AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KARAKTERISTIK SENSORIS TEH HERBAL BUBUK DAUN ALPUKAT (Persea americana Mill.)
on
PENGARUH KETUAAN DAUN DAN METODE PENGOLAHAN TERHADAP AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KARAKTERISTIK SENSORIS TEH HERBAL BUBUK DAUN ALPUKAT (Persea americana Mill.)
Naomi Felicia1, I Wayan Rai Widarta2, Ni Luh Ari Yusasrini2
1Mahasiswa Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana 2Dosen Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Univeritas Udayana
Email: [email protected]
ABSTRACT
The objective of this study is to observe the influence of leaves maturity and processing methods to produce herb tea powder from avocado leaves with the best antioxidant activity and sensory characteristics. The treatments consisted of leaves maturity including young and old leaves, and processing methods including A method (steaming and drying) and B method (withering and pan firing). This study was designed using randomized block factorial and all data were analyzed statistically using ANOVA. The result of this study showed that old avocado leaves with A method had the best antioxidant activity and characteristics with moisture content 8,08%, total phenolic 21,48 mg GAE/g dry weight, total flavonoid 61,83 mg QE/g dry weight, antioxidant activity 84,89%, and sensory characteristics color was liked, flavor was slightly typical powdered tea and slightly liked, taste was slightly bitter and slightly liked, and overall acceptance was liked.
Keyword: antioxidant, avocado leaf, herb tea, tea powder.
PENDAHULUAN
Teh merupakan minuman yang sangat digemari oleh masyarakat hampir di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Beberapa kalangan masyarakat seperti di Jepang dan Cina bahkan menjadikan minum teh sebagai bagian dari tradisi dan budaya. Masyarakat sangat menggemari teh tidak hanya karena rasa dan aromanya yang khas, tetapi teh juga dipercaya memiliki kandungan antioksidan yang tinggi dan sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Secara umum, teh diklasifikasikan menjadi 3 jenis berdasarkan cara pengolahannya yaitu teh hijau (tanpa fermentasi), teh hitam (fermentasi), dan teh oolong (semi-fermentasi) (Tuminah, 2004).
Dewasa ini, teh telah mengalami banyak perkembangan yaitu tidak hanya terbuat dari daun teh. Teh yang dibuat selain dari daun teh (Camellia sinensis) disebut dengan teh herbal
(Winarsi, 2007). Teh herbal dapat dibuat dari berbagai macam daun lain, salah satunya adalah daun alpukat. Tanaman alpukat merupakan tanaman yang tumbuh di daerah tropis termasuk di Indonesia (Anon., 2000). Jumlah tanaman ini pada tahun 2014 mencapai 2.398.874 pohon dengan luas panen sebesar 24.200 Ha (Anon., 2015). Tanaman alpukat merupakan salah satu tanaman yang memiliki manfaat sebagai obat tradisional (Dalimartha, 2008). Salah satu bentuk yang paling mudah dan paling umum untuk mengkonsumsi daun alpukat adalah dengan menjadikannya sebagai teh. Daun alpukat diketahui memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi dan dapat membantu mencegah atau memperlambat stress oksidatif yang berhubungan dengan berbagai penyakit (Owolabi et al., 2010). Daun alpukat (Persea americana Mill.) mengandung senyawa flavonoid, tanin, kuinon, saponin, dan
steroid/triterpenoid (Maryati et al., 2007). Ekstrak daun alpukat mengandung senyawa flavonoid dan alkaloid yang dapat menghambat penyebaran virus herpeks simpleks (HSV) (Miranda et al., 1997). Selain itu, Mardiyaningsih dan Ismiyati (2014) menyatakan bahwa ekstrak daun alpukat dapat menghambat pertumbuhan sel kanker leher rahim HeLa.
Menurut Preedy (2013), terdapat beberapa macam bentuk teh antara lain simpul (twist), bulat (round), pipih (flat), jarum (needle), serpihan (flaky), dan bubuk (ground powder). Teh dalam bentuk bubuk sangat efisien dari segi pembuatan dan pengaplikasiannya. Meminum teh dalam bentuk bubuk (daun teh utuh yang dihaluskan) atau mencampurkannya sebagai bahan baku pembuatan makanan dapat membantu kita mencerna senyawa-senyawa dalam teh yang tidak larut dalam air seperti berbagai vitamin larut lemak, serat makanan yang tidak larut air, klorofil, protein, dan lain-lain. Teh hijau biasanya diminum hanya dalam bentuk ekstrak sehingga seluruh senyawa yang tidak larut air terbuang (Preddy, 2013).
Kualitas teh dipengaruhi oleh ketuaan daun dan metode pengolahannya. Ketuaan daun berpengaruh pada kandungan dan jenis polifenolnya. Pada daun teh (Camellia sinensis), kadar polifenol daun muda lebih tinggi daripada kadar polifenol daun tua (Izzreen dan Fadzelly, 2013), sedangkan menurut Mu’nisa et al (2011), daun sukun tua memiliki kadar polifenol lebih tinggi dibandingkan daun muda. Signifikansi tingkat perbedaannya sampai sekarang belum
diketahui (Pambayun et al., 2007), begitu juga dengan daun alpukat. Proses pengolahan juga menentukan kualitas teh. Metode pengolahan yang berbeda dapat mempengaruhi karakteristik fisik dari teh dan air seduhannya, serta kandungan antioksidan dari teh tersebut. Selama proses pengolahan juga diharapkan terjadi inaktivasi enzim polifenol oksidase dalam daun secara sempurna karena enzim tersebut akan mempercepat proses oksidasi senyawa antioksidan pada daun (Yulianto et al., 2006). Ada dua jenis metode pengolahan teh hijau yang umum digunakan yaitu metode pengukusan (steaming) dan penyangraian (pan firing), tetapi pengaruh dari kedua metode ini terhadap aktivitas antioksidan dan karakteristik sensoris teh yang dihasilkan belum diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh ketuaan daun dan metode pengolahan terhadap aktivitas antioksidan dan karakteristik sensoris teh herbal bubuk daun alpukat.
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas beaker, labu takar, cawan oven, gelas ukur, tabung reaksi, rak tabung, pipet mikro, pipet ukur, desikator, pinset, vortex, spektrofotometer (Genesys 10S UV-Vis), sonikator (Elma S450 H), rotary evaporator (IKA® RV 10 basic), waterbath (J.P. Selecta, s.a.), oven (Labo DO 225), timbangan analitik (Shimadzu ATY224), color reader (AccuProbe HH06), kompor, wajan, spatula/sutil, ayakan 120 mesh, dandang,
stopwatch, termometer, dan blender (Phillip). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun alpukat jenis merah bundar baik daun muda dengan kriteria berwarna hijau muda, bertekstur liat, diambil 3 lembar di bawah pucuk, dan daun tua dengan kriteria berwarna hijau tua, permukaan daun halus dan kasap, di ambil dibawah daun muda ± 1 meter dari pucuk) yang diperoleh dari daerah Blahbatuh, Gianyar, akuades, etanol (MERCK), DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhidrazyl) (Sigma-Aldrich), NaNO2 (MERCK), AlCl3 (MERCK), NaOH (MERCK), standar kuersetin (Sigma-Aldrich), Folin-Ciocalteu (MERCK), Na2CO3 (MERCK), standar asam galat (Sigma-Aldrich), kertas Whatman No. 1, dan aluminium foil.
Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola Faktorial dengan dua faktor yang terdiri dari dua taraf, yaitu ketuaan daun (A1 = Daun Muda, A2 = Daun Tua), dan metode pengolahan teh (M1 = Metode A, M2 = Metode B). Percobaan diulang sebanyak empat kali ulangan, sehingga diperoleh 16 unit percobaan. Faktor tersebut dikombinasikan menjadi: (A1M1), (A1M2), (A2M1), dan (A2M2). Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam ANOVA dan apabila terdapat pengaruh perlakuan terhadap parameter objektif dan subjektif yang diamati, maka akan diuji lanjut dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) dengan tingkat signifikansi p <0,05.
Variabel yang Diamati
Variabel yang diamati yaitu kadar air dengan metode oven (AOAC, 2005), total fenol dengan metode Folin-Ciocalteu (Agbor et al., 2014), total flavonoid dengan metode aluminium klorida (Patel et al., 2010), aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (2,2-diphenyl-1-picrylhidrazyl) (Khan et al., 2012), warna dengan kolorimeter (Topuz et al., 2014), serta karakteristik sensoris dengan metode skoring (aroma dan rasa) dan hedonik (warna, aroma, rasa, dan penerimaan keseluruhan) (Kaneko et al., 2006).
Pelaksanaan Penelitian
Sampel daun alpukat dipisahkan antara daun yang muda dan yang tua, disortasi, dicuci, dan disiapkan untuk diolah menjadi teh. Proses pembuatan teh dengan metode A dilakukan sesuai dengan yang dikerjakan oleh Topuz et al. (2014). Sebanyak 100 gram daun alpukat dipisahkan batang dan tulang daunnya, lalu dikukus dengan suhu 100°C selama 90 detik. Daun didinginkan selama 5 menit, lalu dikeringkan dalam oven dengan suhu 95°C selama 30 menit, kemudian daun diblender hingga menjadi bubuk. Teh bubuk diayak dengan ayakan 120 mesh.
Metode B dilakukan sesuai dengan yang dikerjakan oleh Setyamidjaja (2000), sebanyak 100 gram daun alpukat dilayukan selama 24 jam dengan cara diangin-anginkan pada ruang terbuka. Setelah layu, dilakukan pemisahan batang dan tulang daun. Daun kemudian diletakkan di atas wajan dan disangrai selama 30 menit dengan suhu 110oC sambil terus dibolik-balik daunnya agar terkena panas secara merata, kemudian daun digiling hingga
menjadi bubuk. Teh bubuk diayak dengan ayakan 120 mesh.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Air
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara ketuaan daun dan metode pengolahan berpengaruh tidak nyata
(p>0,05) terhadap kadar air teh herbal bubuk daun alpukat. Nilai kadar air dipengaruhi oleh perlakuan metode pengolahan (p<0,05), sedangkan ketuaan daun berpengaruh tidak nyata (p>0,05). Nilai rata-rata kadar air (%) teh herbal bubuk daun alpukat pada perlakuan ketuaan daun dan metode pengolahan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai rata-rata kadar air (%) teh herbal bubuk daun alpukat pada perlakuan ketuaan daun dan metode pengolahan.
Ketuaan Daun |
Metode Pengolahan |
Rata-rata | |
A |
B | ||
Daun Muda |
9,22 |
6,75 |
7,99 a |
Daun Tua |
8,08 |
7,20 |
7,64 a |
Rata-rata |
8,65 a |
6,98 b |
Keterangan : huruf berbeda di belakang nilai rata-rata menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Kadar air lebih rendah diperoleh dari perlakuan metode B yaitu sebesar 6,98% dibandingkan dengan metode A sebesar 8,65%. Hal tersebut disebabkan karena proses penyangraian dilakukan dengan menggunakan suhu yang lebih tinggi yaitu 110oC selama 30 menit, sedangkan pada metode A, daun alpukat dikeringkan dengan suhu yang lebih rendah yaitu 95oC dalam waktu yang sama yaitu 30 menit. Menurut Nugroho et al. (2009), selama proses penyangraian terjadi perpindahan panas secara langsung dari wajan (media penyangraian) ke bahan dan juga perpindahan massa air dari bahan ke udara. Rendahnya kadar air pada perlakuan metode B juga disebabkan oleh adanya perlakuan pendahuluan yaitu proses pelayuan. Pelayuan berfungsi untuk menurunkan kadar air 55% -70%. Menurunnya kadar air dalam bahan akibat dari proses penguapan. Makin tinggi
suhu udara pengering, makin besar energi panas yang dibawa udara sehingga makin banyak jumlah massa cairan yang diuapkan dari permukaan bahan yang dikeringkan. Kemampuan bahan untuk melepaskan air dari permukaannya juga akan semakin besar dengan meningkatnya suhu udara pengering yang digunakan (Bradley, 2010).
Total Fenol
Analisis sidik ragam menunjukkan interaksi antara ketuaan daun dan metode pengolahan berpengaruh tidak nyata (p>0,05), namun masing-masing perlakuan menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan terhadap kadar total fenol. Nilai rata-rata total fenol (mg GAE/g bk bahan) teh herbal bubuk daun alpukat pada perlakuan ketuaan daun dan metode pengolahan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai rata-rata total fenol (mg GAE/g bk bahan) teh herbal bubuk daun alpukat pada
perlakuan ketuaan daun dan metode pengolahan.
Ketuaan Daun |
Metode Pengolahan |
Rata-rata | |
A |
B | ||
Daun Muda |
13,25 |
9,58 |
11,42 b |
Daun Tua |
21,48 |
16,43 |
18,96 a |
Rata-rata |
17,37 a |
13,01 b |
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang nilai rata-rata pada baris atau kolom yang sama
menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).
Kadar fenol lebih tinggi terdapat pada perlakuan daun alpukat tua yaitu 18,96 mg GAE/g bk bahan. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Aziz dan Jack (2015) terhadap daun Nypa fruticans yaitu daun tua memiliki kadar total fenol lebih tinggi dari pada daun muda. Selama periode pertumbuhan, tanaman mensintesis metabolit sekunder dan senyawa bioaktif dengan jumlah yang berbeda yang dipengaruhi oleh morfologi dan bertambahnya usia daun (Farhoosh et al., 2007).
Metode pengolahan juga sangat berpengaruh terhadap kadar total fenol teh herbal bubuk daun alpukat. Kadar fenol lebih tinggi dihasilkan dari metode A yaitu sebesar 17,37 mg GAE/g bk bahan. Menurut Réblová (2012), asam-asam fenolik akan menunjukkan penurunan seiring dengan meningkatnya suhu. Adanya panas dan oksigen, senyawa fenol dapat teroksidasi karena aktivitas enzim polifenol oksidase membentuk radikal ortosemiquinon yang bersifat reaktif dan dapat bereaksi lebih lanjut dengan senyawa amino membentuk produk berwarna coklat dengan berat molekul tinggi (Pratt, 1992). Oleh sebab itu, daun alpukat yang diolah dengan metode B memiliki kadar total fenol yang lebih rendah dibandingkan dengan metode A.
Total Flavonoid
Analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata (p>0,05) terhadap kadar total flavonoid teh herbal daun alpukat, namun ketuaan daun dan metode pengolahan berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap total flavonoid teh herbal bubuk daun alpukat. Nilai rata-rata total flavonoid (mg QE/g bk bahan) teh herbal bubuk daun alpukat pada perlakuan ketuaan daun dan metode pengolahan dapat dilihat pada Tabel 3.
Teh yang terbuat dari daun tua memiliki nilai rata-rata total flavonoid lebih tinggi dibandingkan dengan daun muda yaitu 54,08 mg QE/g bk bahan dan 33,54 mg QE/g bk bahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun alpukat tua mengandung kadar flavonoid yang lebih tinggi. Hal ini didukung oleh penelitian Mu’nisa et al. (2011) yang menunjukkan bahwa ekstrak daun sukun tua memiliki kadar flavonoid lebih tinggi dibanding daun sukun muda. Sama halnya dengan total fenol, faktor yang mempengaruhi kadar total flavonoid dalam daun adalah morfologi dan bertambahnya usia daun, yang akan mempengaruhi metabolit sekunder dan
senyawa bioaktif yang dihasilkan (Farhoosh et al., 2007).
Teh yang dibuat dengan metode A memiliki jumlah total flavonoid yang lebih tinggi daripada metode B yaitu 51,83 mg QE/g bk bahan dan 37,79 mg QE/g bk bahan. Menurut Lenny (2006), senyawa flavonoid bersifat tidak tahan panas dan mudah teroksidasi pada suhu yang tinggi. Flavonoid menunjukkan sensitivitas yang berbeda dalam perlakuan panas tergantung pada strukturnya
(Irina dan Mohamed, 2012). Bagaimanapun strukturnya, flavonoid akan terdegradasi pada suhu di atas 100°C. Flavonoid peka terhadap panas karena kelompok hidroksil dan ketonnya, serta ikatan ganda tak jenuh (Qiao et al., 2014). Kadar flavonoid dalam teh herbal daun alpukat ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan teh hijau bagian pucuk daun Camellia sinensis yaitu sebesar 35,17 mg QE/g bk bahan (Izzreen dan Fadzelly, 2013).
Tabel 3. Nilai rata-rata total flavonoid (mg QE/g bk bahan) teh herbal bubuk daun alpukat pada perlakuan ketuaan daun dan metode pengolahan.
Ketuaan Daun |
Metode Pengolahan |
Rata-rata | |
A |
B | ||
Daun Muda |
41,83 |
29,25 |
35,54 b |
Daun Tua |
61,83 |
46,32 |
54,08 a |
Rata-rata |
51,83 a |
37,79 b |
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang nilai rata-rata pada baris atau kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).
Aktivitas Antioksidan
Hasil analisis ragam untuk aktivitas antioksidan teh herbal bubuk daun alpukat menunjukkan bahwa interaksi kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata (p>0,05), sedangkan
perlakuan metode pengolahan berpengaruh sangat nyata (p<0,01). Nilai rata-rata aktivitas antioksidan (%) teh herbal bubuk daun alpukat pada perlakuan ketuaan daun dan metode pengolahan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai rata-rata aktivitas antioksidan (%) teh herbal bubuk daun alpukat pada perlakuan ketuaan daun dan metode pengolahan.
Ketuaan Daun |
Metode Pengolahan |
Rata-rata | |
A |
B | ||
Daun Muda |
83,98 |
81,98 |
82,98 a |
Daun Tua |
84,89 |
81,52 |
83,21 a |
Rata-rata |
84,44 a |
81,75 b |
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang nilai rata-rata pada baris atau kolom yang sama
menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).
Teh yang diolah dengan metode A memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi yaitu sebesar 84,44%, dibandingkan dengan metode B yaitu sebesar 81,75%. Suhu
merupakan salah satu faktor yang paling penting yang mempengaruhi aktivitas antioksidan. Umumnya, pemanasan menyebabkan percepatan reaksi inisiasi dan
penurunan aktivitas antioksidan (Pokorny, 1986). Menurut Winarno (2002), proses pengeringan dengan suhu yang lebih tinggi seperti penyangraian mengakibatkan rusaknya zat aktif yang terkandung dalam suatu bahan pangan. Selain itu rendahnya aktivitas antioksidan pada perlakuan penyangraian juga disebabkan oleh adanya proses pendahuluan yaitu pelayuan. Semakin lama waktu pelayuan menunjukkan aktivitas antioksidan yang semakin menurun, diduga hal tersebut terjadi akibat adanya sumber senyawa antioksidan yang hilang selama proses pelayuan, dan adanya perubahan kimia yang dialami oleh sumber antioksidan (Kusumaningrum, 2013). Selama proses pelayuan juga terjadi oksidasi polifenol oleh oksigen dari udara dengan bantuan enzim oksidase (Nasution dan Wachyuddin, 1975).
Tingginya aktivitas antioksidan teh herbal bubuk daun alpukat juga dipengaruhi kadar total fenol dan flavonoid. Aktivitas antioksidan meningkat seiring dengan meningkatnya kadar total fenol dan flavonoid yang merupakan senyawa bioaktif yang berperan sebagai antioksidan (Yondra et al., 2014). Menurut Owolabi et al. (2010), senyawa flavonoid yang terdapat pada daun alpukat adalah isorhamnetin, luteolin, rutin, kuersetin, dan apigenin. Kuersetin yang merupakan senyawa flavonol dalam daun alpukat memiliki kemampuan menangkap radikal bebas dan aktivitas antioksidan yang sangat tinggi (Es-Safi et al., 2007). Kapasitas menangkap radikal bebas DPPH sebagian besar terkait dengan gugus hidroksil dari senyawa fenolik (Nakiboglu et al., 2007).
Ketuaan daun berpengaruh sangat nyata terhadap kadar total fenol dan flavonoid, namun tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan dari teh herbal bubuk daun alpukat. Hal ini mungkin disebabkan adanya senyawa lain pada daun alpukat muda selain senyawa fenol dan flavonoid seperti alkaloid dan saponin yang juga dapat berperan sebagai antioksidan, tetapi kadarnya menurun seiring peningkatan usia daun. Alkaloid dan saponin merupakan senyawa antioksidan, bahkan alkaloid memiliki aktivitas antioksidan yang lebih kuat dibandingkan dengan senyawa bioaktif lain (Benhammou et al., 2013). Menurut penelitian Achakzai et al. (2009) terhadap daun dari beberapa jenis tanaman, daun muda memiliki kandungan alkaloid dan saponin yang tinggi serta cenderung berkurang seiring bertambahnya usia daun, sedangkan kandungan senyawa fenolik dan flavonoid pada daun tua lebih tinggi dibandingkan dengan daun muda.
Warna dan Karakteristik Sensoris
Nilai rata-rata warna dan karakteristik sensoris air seduhan teh herbal bubuk daun alpukat dapat dilihat pada Tabel 5.
Warna
Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ketuaan daun dan metode pengolahan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap warna air seduhan teh herbal bubuk daun alpukat. Nilai rata-rata uji warna objektif dan hedonik dapat dilihat pada Tabel 5. Perlakuan terbaik terhadap warna yang disukai oleh panelis adalah daun muda dengan metode A dengan nilai 6,28 (suka) (L, a, b = 4,76; -
47,38; 34,81), yang tidak berbeda nyata dengan daun tua dengan metode A dengan nilai 6,32 (suka) (L, a, b = 4,31; -44,00; 33,72). Daun muda dengan metode A memiliki kecerahan yang paling tinggi. Metode A menghasilkan air seduhan yang berwarna lebih hijau yang ditunjukkan oleh nilai a yang semakin negatif. Daun muda dengan metode A memiliki nilai a dan b yang lebih tinggi sehingga memiliki warna yang lebih kuning (hijau kekuningan), sedangkan daun tua dengan metode A memiliki nilai a dan b yang
lebih rendah sehingga warna sampel semakin hijau. Tingkat kesukaan lebih rendah terdapat pada perlakuan daun muda atau tua dengan metode B dengan nilai masing-masing 3,48 (agak tidak suka) dan 2,88 (agak tidak suka). Menurut Yulianto et al. (2006), keuntungan dari proses pengukusan ialah dihasilkannya warna teh yang lebih kehijauan dan warna air seduhan yang lebih terang (hijau kekuningan). Proses penyangraian dapat mengakibatkan degradasi klorofil menjadi feofitin sehingga menghasilkan teh yang berwarna lebih gelap.
Tabel 5. Nilai rata-rata warna dan karakteristik sensoris air seduhan teh herbal bubuk daun alpukat.
Nilai Rata-Rata Warna dan Penilaian Sensoris |
Perlakuan | |||
Daun Muda, Metode A |
Daun Muda, Metode B |
Daun Tua, Metode A |
Daun Tua, Metode B | |
L |
4,76 a |
4,51 b |
4,31 c |
4,17 c |
a |
-47,38 a |
-37,43 c |
-44,00 b |
-37,00 c |
Warna b |
34,81 a |
34,29 b |
33,72 c |
33,32 d |
Hedonik***) |
6,28 a |
3,48 b |
6,32 a |
2,88 b |
*) Aroma Skor ) |
2,68 b |
3,72 a |
3,44 a |
3,60 a |
Hedonik***) |
4,64 a |
5,64 a |
5,08 a |
5,44 a |
**) Rasa Skor ) |
3,80 a |
3,76 a |
3,84 a |
3,64 a |
Hedonik***) |
4,44 a |
4,52 a |
4,76 a |
4,12 a |
***) Penerimaan Keseluruhan ) |
5,56 a |
4,24 b |
5,72 a |
4,00 b |
Keterangan: Huruf yang berbeda di belakang nilai rata-rata pada baris atau kolom yang sama
menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).
-
*) 1 = sangat tidak khas teh bubuk, 2 = tidak khas teh bubuk, 3 = agak khas teh bubuk, 4 = khas teh bubuk, 5 = sangat khas teh bubuk.
-
** ) 1 = sangat tidak pahit, 2 = tidak pahit, 3 = agak pahit, 4 = pahit, 5 = sangat pahit.
-
** *) 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat suka.
Aroma
Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ketuaan daun dan metode pengolahan berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap uji skoring aroma, namun berpengaruh tidak nyata (p>0,05) terhadap uji hedonik aroma air seduhan teh herbal bubuk daun alpukat. Nilai rata-rata uji skor dan
hedonik aroma dapat dilihat pada Tabel 5. Kisaran nilai uji skor adalah 2,68 (agak khas teh bubuk) hingga 3,72 (khas teh bubuk). Seluruh perlakuan dapat menghasilkan aroma yang khas teh bubuk, kecuali daun muda dengan metode A. Kisaran nilai uji hedonik aroma air seduhan teh herbal bubuk daun
alpukat adalah 4,64 (agak suka) hingga 5,64 (suka).
Rasa
Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ketuaan daun dan metode pengolahan berpengaruh tidak nyata (p>0,05) terhadap rasa air seduhan teh herbal bubuk daun alpukat. Nilai rata-rata uji skor dan hedonik rasa dapat dilihat pada Tabel 5. Kisaran nilai uji skor adalah 3,64 hingga 3,84 (pahit), sedangkan kisaran nilai uji hedonik adalah 4,12 (netral) hingga 4,76 (agak suka). Kadar flavonoid yang tinggi dalam teh herbal bubuk daun alpukat berkontribusi dalam memberikan rasa pahit pada teh (Mahmood et al., 2010).
Penerimaan Keseluruhan
Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ketuaan daun dan metode pengolahan berpengaruh sangat nyata (p<0,01) terhadap penerimaan keseluruhan air seduhan teh herbal bubuk daun alpukat. Nilai rata-rata uji skor dan hedonik rasa dapat dilihat pada Tabel 5. Penilaian terhadap penerimaan keseluruhan menunjukkan bahwa nilai rata-rata yang diberikan oleh panelis berkisar antara 4,00 (netral) hingga 5,72 (suka). Air seduhan teh herbal bubuk daun alpukat yang diolah dengan metode A, baik daun muda maupun daun tua paling disukai oleh panelis dengan masing-masing nilai 5,56 (suka) dan 5,72 (suka). Tingkat kesukaan terendah terdapat pada perlakuan daun muda atau tua dengan metode B dengan nilai masing-masing 4,24 (netral) dan 4,00 (netral).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Interaksi antara ketuaan daun dan metode pengolahan berpengaruh sangat nyata terhadap warna secara objektif dan karakteristik sensoris (uji hedonik warna, uji skoring aroma, dan penerimaan keseluruhan). Perlakuan ketuaan daun berpengaruh terhadap kadar air dan berpengaruh sangat nyata terhadap total fenol dan total flavonoid, sedangkan perlakuan metode pengolahan berpengaruh sangat nyata terhadap total fenol dan, total flavonoid, dan aktivitas antioksidan. Teh herbal bubuk dengan aktivitas antioksidan dan karakteristik sensoris yang terbaik dihasilkan dari daun alpukat tua dan metode A dengan kadar air 8,08%, total fenol 21,48 mg GAE/g bk bahan, total flavonoid 61,83 mg QE/g bk bahan, aktivitas antioksidan 84,89%, dan karakteristik sensoris warna disukai, aroma agak khas teh bubuk dan agak disukai, rasa agak pahit dan agak disukai, serta penerimaan keseluruhan yang disukai.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai suhu dan lama pengeringan yang optimum terutama untuk pembuatan teh dengan metode A agar kadar air yang dihasilkan sesuai dengan standar SNI 01-44531998 (≤7%). Persentase dari efektivitas kedua metode dalam menginaktivasi enzim polifenol oksidase juga harus diteliti lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Agbor, G.A., J.A. Vinson, dan P.E. Donnelly. 2014. Folin-Ciocalteau Reagent for Polyphenolic Assay. IJFS 3(8):147-156.
Anonimus. 2000. Alpukat / Avokad. Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Jakarta.
Anonimus. 2015. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Hortikultura di Indonesia. http://www.pertanian.go.id/Indikator/tab el-2-prod-lspn-prodvitas-horti.pdf.
Diakses pada tanggal 1 Juni 2015.
AOAC, 2005. Official Methods of Analysis. Assosiation of Official Chemist. Inc, Virginia.
Arpah, M. 1993. Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito, Bandung.
Aziz, A., dan R. Jack. 2015. Total Phenolic Content and Antioxidant Activity In Nypa fruticans Extracts. Journal of Sustainability Science and Management 10 (1) : 87-91.
Benhammou, N., N. Ghambaza, S. Benabdelkader, F.A. Bekkara, and T.K. Panovska. 2013. Phytochemicals and Antioxidant Properties of Extracts from The Root and Stems of Anabasis Articulate. International Food Research Journal 20(5): 2057-2063.
Bradley, R.L. 2010. Moisture and Total Solids Analysis. Didalam Food Analysis, Fourth Edition. S.S. Nielsen (Ed.). Springer, Indiana. p. 85-104.
Crane, J.H., C.F. Balerdi., dan I. Maguire. 2013. Avocado Growing in the Florida Home Landscape.
http://edis.ifas.ufl.edu/pdffiles/MG/MG2 1300.pdf. Diakses tanggal 20 Maret 2015.
Dalimartha, S. 2008. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 3. Perpustakaan Nasional RI, Jakarta.
Djojopranoto, R.R. 2013. Daya Peredam Radikal bebas Ekstrak Etanol Daun Jambu Mente (Anacardium occidentale L.) Terhadap DPPH (1,1-Diphenyl-2-Picrylhydrazyl). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya 2(2):1-10.
Es-Safi, N.E., S. Ghidouche, dan P.H. Ducrot. 2007. Flavonoids: Hemisynthesis, Reactivity, Characterization and Free Radical Scavenging Activity. Molecules 12 : 2228-2258.
Farhoosh, R., G. A. Golmovahhed, and M. H. H. Khodaparast. 2007. Antioxidant activity of various extracts of old tea leaves and black tea wastes (Camellia
sinensis L.). Food Chemistry 100: 231 – 236.
Irina, I., dan G. Mohamed. 2012. Biological Activities and Effects of Food Processing on Flavonoids as Phenolic Antioxidants.
http://cdn.intechopen.com/pdfs-wm/26397.pdf. Diakses tanggal 23 Januari 2016.
Izzreen, N.Q., dan M. Fadzelly. 2013. Phytochemicals and Antioxidant Properties of Different Parts of Camellia sinensis leaves from Sabah Tea Plantation in Sabah, Malaysia. IFJR 20(1):307-312.
Kaneko, S., K. Kumazawa, H. Masuda, A. Henze, T. Hofmann. 2006. Molecular and Sensory Studies on the Umami Taste of Japanese Green Tea. J Agric Food Chem. 54(7):2688-2694.
Kusumaningrum, R., A. Supriadi, dan S. Hanggita. 2013. Karakteristik dan Mutu Teh Bunga Lotus (Nelumbo nucifera). Jurnal Teknologi Hasil Perikanan Vol. 2, No. 1.
Lenny, S. 2006. Senyawa Flavonoida, Fenilpropanoida dan Alkaloida. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123 456789/1842/3/06003489.pdf.txt.
Diakses tanggal 23 Januari 2016.
Mahmood, T., N. Akhtar, dan B.A. Khan. 2010. The Morphology, Characteristics, and Medicinal Properties of Camellia sinensis’ Tea. Journal of Medicinal Plants Research 4(19): 2028-2033.
Maryati, S.,I. Fidrianny, dan K. Ruslan. 2007. Telaah Kandungan Kimia Daun Alpukat (Persea americana Mill.). Skripsi S1. Sekolah Farmasi, Institut Teknologi Bandung.
Miranda, M.M.F.S., S.S. Costa., M.G.M. Santos., M.H.C. Lagrota., A.P. Almeida., M.D. Wigg. 1997. In Vitro Activity Of Extracts Of Persea Americana Leaves On Acyclovir Resistant And Phosphonoacetic Resistant Herpes Simplex Virus. Journal Phytomedicine, Vol. 4, Issue 4: 347–352.
Mu’nisa, A., H. Pagarra, dan A. Muflihunna. 2011. Uji Kapasitas Antioksidan Ekstrak Daun Sukun dan Flavanoid. Skripsi S1. Tidak dipublikasikan. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Makassar.
Nakiboglu, M., R.O. Urek, H.A. Kayali, L. Tarhan. 2007. Antioxidant Capacities of Endemic Sideritis Sipylea and Origanum Sipyleum From Turkey. Food Chemistry 104(2):630–635.
Nasution, M.Z dan Wachyuddin. 1975. Pengolahan Teh. Fatemeta-IPB, Bogor.
Nugroho, J., J. Lumbanbatu, dan S. Rahayoe. 2009. Pengaruh Suhu dan Lama Penyangraian Terhadap Sifat Fisik-Mekanis Biji Kopi Robusta. Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian, Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 8 – 9 Agustus 2009.
Owolabi, M.A., Coker dan S.I. Jaja. 2010. Bioactivity of the phytoconstituents of the leaves of Persea americana. Journal of Medicinal Plants Research 4(12):1130-1135.
Pambayun, R., M. Gardjito, S. Sudarmadji, K. Rahayu. 2007. Kandungan Fenolik Ekstrak Daun Gambir (Uncaria gambir Roxb) dan Aktivitas Antibakterinya. AGRITECH Vol. 27, No. 2.
Patel, A., A. Patel, A.Patel, N.M. Patel. 2010. Estimation of Flavonoid, Polyphenolic Content and In-vitro Antioxidant Capacity of Leaves of Tephrosia purpurea Linn. (Leguminosae). IJPSR 1(1):66-77.
Preedy, V. R. 2013. Tea In Health and Desease Prevention. Academic Press, Massachusetts.
Qiao, L, Y. Sun, R. Chen, Y. Fu, W. Zhang, X. Li, J. Chen, Y. Shen, X. Ye. 2014. Sonochemical Effects on 14 Flavonoids Common in Citrus: Relation to Stability. PLoS ONE 9(2): e87766.
Setyamidjaja, D. 2000. Teh: Budi Daya dan Pengolahan Pascapanen. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Sulistyowati, T. 2004. Teh [Camellia sinensis O.K. var. Assamica (Mast)] Sebagai Salah Satu Sumber Antioksidan. Cermin Dunia Kedokteran 144:52-4.
Suyatma, N.E. 2009. Analisis Warna. http://xa.yimg.com/kq/groups/22955707 /220567088/name/Anpang%20Lanjut% 20-%20Analisis%20Warna%202009%20N ES.ppt. Diakses tanggal 1 Juni 2015.
Topuz, A., C. Dincer, M. Torun, I. Tontul, H.S. Nadeem, A. Haznedar, F. Özdemir. 2014. Physicochemical Properties of Turkish Green Tea Powder: Effects of Shooting period, Shading, and Clone. Turkish Journal of Agriculture and Forestry 38:233-241.
Tuminah, S. 2004. Teh (Camellia sinensis) Sebagai Salah Satu Sumber Antioksidan. Cermin Dunia Kedokteran No. 144:5254.
Winarno, F. G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.
Winarsi, H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta, Penerbit Kanisius.
Yasir, M., S. Das, dan M.D. Kharya. 2010. The Phytochemical and Pharmacological Profile of Persea americana Mill. Pharmacogn Rev. 4(7): 77–84.
Yondra, A.D., C. Jose, dan H.Y. Teruna. Total Fenolik,Flavonoid Serta Aktivitas Antioksidan Ekstrak N-Heksana,
Diklorometan Dan Metanol Amaranthus spinosus L Em5-Bawang Putih. JOM FMIPA 1(2): 359-369.
Yulianto, M.E., D. Ariwibowo, F. Arifan, H. Kusumayanti, F.S. Nugraheni, Senin. 2006. Model Perpindahan Massa Proses Steaming Inaktivasi Enzim Polifenol Oksidase dalam Pengolahan Teh Hijau. http://ejournal.undip.ac.id/index.php/ge ma_teknologi/article/download/1442/12 10. Diakses tanggal 13 Februari 2016.
Discussion and feedback