Pengaruh Rasio Maltodekstrin dan Gum Arab Terhadap Aktivitas Antioksidan dan Warna Serbuk Terung Belanda (Solanum betaceum Cav) Yang Terkopigmentasi
on
Itepa: Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan,
Lewi Rensia R. Hutasoir dkk / Itepa 12 (2) 2023 278-292
ISSN: 2527-8010
Pengaruh Rasio Maltodekstrin dan Gum Arab Terhadap Aktivitas Antioksidan dan Warna Serbuk Terung Belanda (Solanum betaceum Cav Yang
Terkopigmentasi
The Effect Of Maltodextrin And Arabic Gum Ratio On The Antioxidant Activity And Color Of Copigmentation Tamarillo Powder Solanum betaceum Cav)
Lewi Rensia Roulina Hutasoit1, G.A.K. Diah Puspawati1* Dewa Mayun Permana1
Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran, Badung-Bali
* Penulis korepondensi: Gusti Ayu Kadek Diah Puspawati, Email: [email protected]
Abstract
The study aimed to know the effect of the ratio maltodextrin and gum arabic on the antioxidant activity and color of the copigmentation tamarillo powder and to proper ratio of maltodextrin and gum arabic to get the copigmentation tamarillo powder with the best antioxidant activity and color by foam mat drying method. The study used a completely randomized design (CRD) with ratio of maltodextrin and gum arabic treatment consisting of five levels, there were 5:0, 4:1, 3:2, 2:3, 1:4. All treatments were repeated three times in order to obtain 15 experimental units. The data were analyzed statistically using the variance test and if the treatment had a significant effect to observed variables, it was continued with Duncan s Multiple Range Test (DMRT). The result showed that the ratio of maltodextrin and gum arabic had a significant effect (P<0,05) on water content, ash content, solubility, total anthocyanin, total phenol, antioxidant activity, and color intensity. The ratio of maltodexstrin and arabic gum (1:4) was the best treatment to produce copigmentation tamarillo powder with the total anthocyanin 41.97 mg/100g, total phenol 125.57 mg GAE/100g, antioxidant activity 78.05%, value L* 47.10, a* 44.03, b* 23.97, chroma 50.14, °Hue 28.56 (red color), water content 3.92% and solubility 83.90%
Keywords: tamarillo powder, encapsulation, maltodextrin, gum arabic
PENDAHULUAN
Warna merupakan faktor penting yang mempengaruhi pemilihan suatu produk pangan. Pewarna yang digunakan dalam bahan pangan dapat bersumber dari bahan alami dan dari bahan sintetis. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan, mengakibatkan lebih disukainya pewarna alami dibanding pewarna sintetis. Pewarna sintetis apabila dikonsumsi terus-menerus pada jumlah berlebihan dapat berpotensi menyebabkan kanker. Oleh karena itu perlu dicari alternatif sumber pewarna alami yang
aman dan stabil selama proses pengolahan dan penyimpanan. Salah satu bahan alam yang berpotensi sebagai sumber pewarna adalah buah terung belanda.
Terung belanda (Solanum betaceum Cav) adalah salah satu jenis buah-buahan yang baik untuk dikonsumsi karena mengandung komposisi gizi baik dan komponen senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai antioksidan. Antioksidan adalah senyawa yang mampu menghambat atau mencegah reaksi oksidasi dengan cara mengikat radikal bebas. Keberadaan radikal
bebas dalam tubuh dapat menyebabkan penyakit degeneratif. Salah satu jenis antioksidan yang banyak terkandung dalam terung belanda adalah antosianin. Antosianin merupakan zat warna merah yang termasuk ke dalam golongan senyawa flavonoid. Antosianin dapat dijadikan pewarna alami pada suatu pangan. Warna merah pada antosianin berpotensi menggantikan pewarna sintetis pada makanan.
Penggunaan antosianin menjadi pewarna dalam produk pangan dibatasi dengan sifatnya yang kurang stabil terhadap pH, suhu, oksigen, dan cahaya (Cavalcanti et al., 2011). Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu upaya untuk meningkatkan stabilitas antosianin. Kopigmentasi adalah cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan stabilitas antosianin dengan mereaksikan senyawa kopigmen dengan senyawa antosianin. Jenis senyawa kopigmen yang umumnya digunakan adalah golongan flavonoid, asam fenolik, alkaloid, asam amino dan asam organik (Markakis, 1982). Puspawati et al (2021) menyatakan asam galat merupakan kopigmen yang paling efektif dalam mempertahankan stabilitas antosianin ekstrak terung belanda dibandingkan asam kafeat, asam tanat, dan ekstrak antosianin kulit buah naga merah.
Ekstrak terung belanda dalam bentuk cair memiliki kekurangan dari segi kepraktisannya sehingga diperlukan pengolahan lebih lanjut dengan mengubah
ekstrak cair terung belanda menjadi serbuk dengan menerapkan teknologi enkapsulasi. Enkapsulasi merupakan teknik penjeratan bahan inti dengan bahan penyalut tertentu. Enkapsulasi bertujuan untuk melindungi komponen bahan yang sensitif dan mengurangi degradasi senyawa aktif dalam bahan (Purnomo et al., 2014). Enkapsulasi juga dapat meningkatkan stabilitas antosianin (Chung et al., 2016). Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas produk hasil enkapsulasi adalah jenis enkapsulan, selain faktor suhu dan waktu pengeringan, serta perbandingan bahan inti dan enkapsulan. Penggunaan jenis enkapsulan yang tidak tepat dapat menghasilkan efisiensi enkapsulasi, kelarutan, dan stabilitas mikrokapsul yang rendah.
Maltodekstrin merupakan bahan enkapsulan yang paling banyak digunakan. Maltodekstrin merupakan produk hidrolisis pati yang mengandung unit α-D-glukosa. Kelebihan maltodekstrin sebagai bahan enkapsulan ialah mempunyai harga yang murah, mudah ditemukan, cepat terdispersi, dan dapat diaplikasikan dengan mudah (Laohasongkram et al., 2011). Raharjo et al (2019) menyatakan penggunaan maltodekstrin sebagai penyalut dalam perlakuan kombinasi kopigmentasi dan enkapsulasi dapat meningkatkan stabilitas antosianin beras hitam. Puspawati et al (2021) menyatakan perlakuan kopigmentasi dan enkapsulasi dengan menggunakan maltodekstrin 5 menghasilkan serbuk
ekstrak terung belanda dengan aktivitas antioksidan dan total antosianin tertinggi. Penggunaan maltodekstrin sebagai enkapsulan memiliki kelemahan yaitu menghasilkan serbuk yang mudah menggumpal (Puspawati et al., 2021). Maltodekstrin dapat menghasilkan dinding mikrokapsul yang kurang kuat dan mempunyai kemampuan emulsifikasi yang rendah (Madene et al., 2005). Oleh sebab itu perlu dilakukan kombinasi maltodekstrin dengan enkapsulan lain yang dapat membentuk emulsi dengan baik.
Gum arab mempunyai sifat membentuk emulsi yang baik. Gum arab memiliki dua sisi yaitu sisi hidrofilik dan sisi hidrofobik sehingga baik digunakan sebagai pengemulsi. Mahdavi et al (2016) menyatakan penggunaan kombinasi maltodekstrin dan gum arab sebagai enkapsulan antosianin ekstrak barberry (Berberis vulgaris) memberikan stabilitas enkapsulasi terbaik dibandingkan enkapsulan maltodesktrin, dan kombinasi enkapsulan maltodekstrin dan gelatin. Marpaung et al (2021) menyatakan perlakuan perbandingan maltodekstrin dan gum arab 2:3 menghasilkan kelarutan, total fenol, total flavonoid, dan aktivitas antioksidan tertinggi pada enkapsulasi ekstrak daun duku kumpeh. Sakulnarmrat dan Konczak (2022) menyatakan penggunaan enkapsulan maltodekstrin dan gum arab dengan rasio 3:2 pada enkapsulasi ekstrak antosianin bunga lamduan
(Melodorum fruticosum) menghasilkan karakteristik serbuk terbaik yang ditandai dengan kadar antosianian tertinggi, efisiensi enkapsulasi yang tinggi, kelarutan yang tinggi, serta aktivitas air dan kadar air yang rendah.
Penelitian tentang penggunaan rasio maltodekstrin dan gum arab yang tepat terhadap aktivitas antioksidan dan warna serbuk terung belanda yang terkopigmentasi belum diketahui. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan rasio maltodekstrin dan gum arab terhadap aktivitas antioksidan dan warna serbuk terung belanda yang terkopigmentasi dan mendapatkan rasio maltodekstrin dan gum arab yang tepat untuk menghasilkan serbuk terung belanda yang terkopigmentasi dengan aktivitas antioksidan dan warna terbaik.
METODE
Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah buah terung belanda yang matang optimal dengan ciri warna kulit merah merata yang diperoleh dari Pasar Tradisional Bedugul-Tabanan-Bali, maltodekstrin DE 12 (Maltrin), Gum arab (Merck), tween 80 (Matpers), asam sitrat (Gajah), CMC (Arbecel), asam galat (Sigma Aldrich), 1,1-Diphenyl-2-Picrylhyrazil (DPPH) (Sigma Aldrich), aquades, HCL (Merck), buffer pH 1 dan 4,5 (Merck), sodium karbonat (Merck), reagen
folin ciocalteau’s (Merck), etanol (Merck), dan metanol (Merck).
Alat Penelitian
Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah pisau, aluminium foil, kain saring, timbangan digital (KERN PCB), blender (Philips HR2115), ultrasonic bath JIETAI PS-08A), mixer (Kirin), timbangan analitik (Shimadzu ATY224), magnetic stirrer (DLAB MS-S), oven (Cole Parmer), kertas saring whatman No. 42, loyang, baking paper, ayakan 40 mesh (Retsch), cawan aluminium, cawan porselen, desikator, corong, vortex (Maxi Mix II Type 367000), Muffle (Wiseltherm)
spektrofotometer (BIOCHROME SN
133467), desikator, tabung sentrifuge, pipet tetes, pipet mikro, tip mikropipet, peralatan gelas meliputi: gelas beaker (Pyrex), tabung reaksi (Iwaki), Erlenmeyer (Pyrex), labu ukur (Pyrex, pipet volume (Pyrex) dan kuvet.
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 1 faktor yaitu rasio maltodekstrin dan gum arab yang terdiri dari 5 level: P1 (5:0) = Maltodekstrin 5 (kontrol); P2 (4:1) =
(4 Maltodekstrin : 1 Gum Arab) 5 P3 (3:2)= (3 Maltodekstrin : 2 Gum Arab) 5 ; P5 (2:3)= (2 Maltodekstrin : 3 Gum Arab) 5 ; P5 (1:4) = (1 Maltodekstrin : 4 Gum
Arab) 5 . Masing-masing perlakuan
diulang sebanyak 3 kali sehingga diperoleh
15 unit percobaan. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam, apabila terdapat pengaruh perlakuan yang signifikan (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Ekstrak Buah Terung Belanda
Persiapan ekstrak buah terung belanda mengacu pada penelitian Puspawati et al (2018) yang diawali dengan sortasi dan pemilihan buah terung belanda yang matang optimal dengan ciri kulit buah berwarna merah merata. Selanjutnya dilakukan pencucian dengan air mengalir lalu dilakukan pengupasan dan pembelahan menjadi dua bagian. Kemudian buah tersebut dihaluskan dengan menggunakan blender. Buah yang sudah diblender ditambahkan pelarut aquades yang mengandung asam sitrat 3 dengan perbandingan bahan dengan pelarut 1:4. Kemudian dilakukan ekstraksi ultrasonik pada suhu 27-30°C selama 20 menit dengan panjang gelombang 37 kHz, selanjutnya dilakukan penyaringan dengan menggunakan kain saring untuk mendapatkan filrat buah terung belanda, lalu dilakukan sentrifuse dalam 1500 rpm selama 15 menit kemudian diambil ekstrak terung belanda.
Proses Kopigmentasi Ekstrak Terung Belanda
Metode kopigmentasi mengacu pada Puspawati et al (2021) yang dilakukan dengan cara bahan kopigmen asam galat
dengan konsentrasi 960 mg/L dicampur dengan ekstrak terung belanda dengan perbandingan 1:2 kemudian dihomogenisasi dengan magnetic stirrer selama 15 menit.
Proses Enkapsulasi Ekstrak Terung Belanda
Metode Enkapsulasi mengacu pada Puspawati et al (2021) dengan metode foam mat drying yang telah dimodifikasi. Proses enkapsulasi dilakukan dengan membuat campuran ekstrak terung belanda yang telah terkopigmentasi sebanyak 100 ml. Campuran ekstrak terung belanda terkopigmentasi tersebut terdiri dari maltodekstrin dan gum arab sesuai perlakuan (5:0, 4:1, 3:2, 2:3, 1:4) sebanyak 5 dari volume campuran (b/v), tween 80 sebanyak 1 dari volume campuran (v/v), CMC sebanyak 0,3 dari volume campuran (b/v), dan ekstrak terung yang terkopigmentasi sebanyak 93,7 dari volume campuran (v/v). Campuran tersebut kemudian dihomogenisasi menggunakan mixer dengan kecepatan 1 (minimum) selama ±10 menit sampai terbentuk busa yang kompak. Selanjutnya campuran
tersebut dituang ke dalam loyang yang sudah dialasi dengan baking paper dengan ketebalan 5 mm, kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 50°C selama 10 jam hingga terbentuk lapisan busa kering. Hasil dari pengeringan dihaluskan dengan blender dengan kecepatan 1 (minimum) selama ±1 menit selanjutnya diayak dengan ayakan 40 mesh untuk mendapatkan serbuk terung belanda.
Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi pengujian aktivitas kadar air (AOAC, 2005), kadar abu (AOAC, 2005), kelarutan (AOAC, 2005), total antosianin (Giusti dan Worlstad, 2001), total fenol (Garcia et al., 2007), aktivitas antioksidan (Khan et al., 2012), dan nilai L*a*b*, °Hue, dan Chroma (Khrisna dan kantha, 2005)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Analisis Kadar Air, Kadar Abu, dan Kelarutan
Nilai rata-rata kadar air, kadar abu dan kelarutan serbuk terung belanda yang terkopigmentasi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Rata-rata Kadar Air, Kadar Abu, dan Kelarutan Serbuk Terung Belanda
Rasio Maltodekstrin dan Gum Arab |
Kadar Air Kadar Abu Kelarutan ( ) ( ) ( ) |
P1 (5:0) P2 (4:1) P3 (3:2) P4 (2:3) P5 (1:4) |
4,70 ± 0,03d 1,21 ± 0,05d 79,19 ± 0,65d 4,45± 0,02c 1,72 ± 0,05c 81,34 ± 0,25c 4,14 ± 0,04c 1,88 ± 0,17c 82,45 ± 0,51b 4,11± 0,06b 2,09 ± 0,06b 82,54 ± 0,46b 3,92 ± 0,18a 2,35 ± 0,02a 83,90 ± 0,72a |
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda dibelakang nilai rata-rata pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan tingkat kepercayaan 95% (P < 0,05 , Nilai rata–rata diikuti dengan ± standar deviasi.
Kadar Air
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio maltodekstrin dan gum arab berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar air serbuk terung belanda. Kadar air pada perlakuan P1 berbeda nyata dengan perlakuan P2, P3, P4, dan P5, namun pada perlakuan P2 dan P3 didapatkan hasil yang tidak berbeda nyata. Tabel 1 menunjukkan kadar air ( b/b) serbuk terung belanda berkisar antara 3.92 - 4,70 . Kadar air tertinggi diperoleh pada P1 (kontrol) dan kadar air terendah diperoleh pada P5. Gum arab memiliki kemampuan menyerap air yang lebih baik dibandingkan maltodekstrin. Mustofa dan Wuri (2008) menyatakan bahwa kemampuan menyerap air gum arab lebih tinggi dibandingkan maltodekstrin. Gum arab tersusun atas protein yang terikat kovalen dalam komponen penyusun makromolekul (Glicksman, 1969). Protein memiliki gugus amino dan gugus hidroksil yang bersifat hidrofilik, gugus ini dapat membentuk ikatan hidrogen (O-H dan H-N) dengan molekul air, hal ini menyebabkan gum arab mampu menyerap air yang lebih besar dibandingkan dengan maltodekstrin. Oleh karena itu, semakin tinggi konsentrasi gum arab yang ditambahkan menyebabkan kadar air semakin menurun. Hasil tersebut juga didukung oleh penelitian Zen et al (2021) yang menyatakan semakin tinggi konsentrasi penyalut gum arab yang ditambahkan pada pembuatan serbuk ekstrak kulit buah kakao menyebabkan
kadar air semakin menurun. Kadar air untuk serbuk minuman tradisional menurut SNI 01- 4320-1996 sebesar 3 - 5 . Adapun
kadar air serbuk terung belanda yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar antara 3.92 - 4,70 sehingga telah
memenuhi SNI tersebut.
Kadar Abu
Kadar abu menunjukkan jumlah mineral yang terkandung pada suatu bahan. Mineral merupakan zat anorganik dalam bahan yang tidak terbakar selama proses pengabuan (Bachtiar, 2011). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio maltodekstrin dan gum arab berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar abu serbuk terung belanda. Kadar abu pada perlakuan P1 berbeda nyata dengan perlakuan P2, P3, P4, dan P5, namun pada perlakuan P2 dan perlakuan P3 kadar abu tidak berbeda nyata.Tabel 1 menunjukkan kadar abu ( b/b) serbuk terung belanda berkisar antara 1,21 - 2,35 . Kadar abu tertinggi
diperoleh pada perlakuan P5 dan kadar air terendah diperoleh pada perlakuan P1 (kontrol) . Hasil analisis menunjukan bahwa semakin tinggi rasio gum arab yang ditambahkan menyebabkan kadar abu serbuk terung belanda cenderung semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena gum arab mengandung garam-garam mineral seperti kalsium, magnesium dan potassium yang berasal dari asam polisakarida (Glickman,1979). Menurut Torio (2006) kandungan abu dalam gum arab dapat
mencapai 2 -4 . Maltodekstrin tidak mengandung komponen mineral. Oleh sebab itu penambahan maltodekstrin diduga tidak mempengaruhi kadar abu pada serbuk terung belanda. Kadar abu pada perlakuan P1 dimungkinkan berasal dari buah terung belanda dan CMC yang digunakan dalam proses pembuatan serbuk terung belanda. Kadar abu untuk serbuk minuman tradisional menurut SNI 01- 4320-1996 adalah maksimal 1,5 . Sehingga hanya perlakuan P1 yang memenuhi persyaratan SNI yaitu sebesar 1.21 .
Kelarutan
Kelarutan merupakan suatu kemampuan dari bahan untuk didistribusikan dalam air atau menyebar dalam air (Janathan, 2007). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio maltodekstrin dan gum arab berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kelarutan serbuk terung belanda. Nilai kelarutan perlakuan P1 berbeda nyata dengan perlakuan P2, P3, P4, dan P5, namun pada perlakuan P3 dan perlakuan P4 kelarutan tidak berbeda nyata.Tabel 1 menunjukkan kelarutan serbuk terung belanda berkisar antara 79,19 - 83,90 . Kelarutan tertinggi diperoleh pada perlakuan P5 sedangkan kelarutan terendah diperoleh pada perlakuan P1 (kontrol). Hasil analisis menunjukan bahwa semakin tinggi rasio gum arab yang ditambahkan menyebabkan kelarutan serbuk terung belanda cenderung semakin meningkat. Kelarutan dipengaruhi oleh
kadar air bahan yang bersangkutan (Gardjito et al, 2006). Berdasarkan Tabel 1, perlakuan P1 memiliki kadar air tertinggi. Kadar air yang cukup tinggi di dalam bahan menyebabkan bahan tersebut menjadi sulit menyebar apabila dilarutkan di dalam air, hal tersebut karena bahan cenderung lekat sehingga tidak terbentuk pori-pori dan akibatnya bahan menjadi tidak mampu untuk menyerap air dalam jumlah besar (Gardjito et al., 2006). Berdasarkan pernyataan tersebut, hasil penelitian untuk parameter kelarutan telah sesuai dengan pernyataan bahwa kelarutan berbanding terbalik dengan kadar air produk yang dihasilkan (Kania et al, 2015)
Hasil Analisis Total Antosianin, Fenol, dan Aktivitas Antioksidan
Nilai rata-rata total antosianin, total fenol dan aktivitas antioksidan serbuk terung belanda yang terkopigmentasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Total Antosianin
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio maltodekstrin dan gum arab berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap total antosianin serbuk terung belanda. Total antosianin pada perlakuan P1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2, namun berbeda nyata dengan perlakuan P3, P4, dan P5. Perlakuan P2 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P1 dan P3, namun berbeda nyata dengan dengan perlakuan P4 dan P5. Perlakuan P3 tidak berbeda nyata dengan P2, namun berbeda nyata dengan perlakuan P1,
P4, dan P5. Perlakuan P4 tidak berbeda nyata dengan P5 namun berbeda nyata dengan P1, P2, dan P3. Tabel 2 menunjukkan total antosianin serbuk terung belanda berkisar antara 37,52-41,97 mg/100g. Total antosianin tertinggi diperoleh pada pelakuan P5 dan total antosianin terendah diperoleh pada perlakuan P1 (kontrol). Hasil analisis menunjukan bahwa semakin tinggi rasio gum arab yang ditambahkan menyebabkan total antosianin serbuk terung belanda cenderung semakin meningkat. Hal ini dapat terjadi karena sifat gum arab yang dapat membentuk emulsi dengan baik sehingga gum arab dapat membentuk lapisan kuat yang dapat melindungi material inti dari proses perubahan destruktif (Kania et al., 2015). Kemampuan lapisan dinding untuk melindungi material inti berkaitan dengan
viskositas emulsi sebelum pengeringan. Semakin tinggi viskositasnya maka lapisan dinding yang terbentuk akan lebih baik melindungi material inti karena lapisan kulit (shell) semakin kuat, sehingga mampu melindungi material inti yang mudah terdegradasi selama proses pengeringan. Bahan pengikat maltodekstrin mempunyai kemampuan emulsifikasi dan retensi komponen volatil yang rendah. Hal tersebut membuat maltodekstrin kurang dapat membentuk lapisan yang kuat yang dapat melindungi produk dari proses perubahan destruktif. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Purwanti et al (2021) dimana total antosianin serbuk kelopak bunga rosella semakin meningkat dengan semakin tingginya rasio gum arab yang ditambahkan.
Tabel 2. Nilai Rata-rata Total Antosianin, Total Fenol, dan Aktivitas Antioksidan Serbuk
Terung Belanda
Rasio Maltodekstrin dan Gum Arab |
Total Antosianin (mg/ 100g |
Total fenol (mg GAE/100g |
Aktivitas Antioksidan (% |
P1 (5:0) |
37,52 ± 0,54c |
119,66 ± 0,29d |
73,07± 0,46d |
P2 (4:1) |
37,91 ± 0,60bc |
121,43 ± 0,59c |
74,06± 0,37c |
P3 (3:2) |
38,85 ± 0,35b |
122,29 ± 0,47c |
74,36± 0,27c |
P4 (2:3) |
41,36 ± 0,19a |
124,59 ± 0,43b |
75,88± 0,35b |
P5 (1:4) |
41,97 ± 0,54a |
125,57 ± 0,41a |
78,05 ± 0,62a |
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda dibelakang nilai rata-rata pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan tingkat kepercayaan 95% (P < 0,05 , Nilai rata–rata diikuti dengan ± standar deviasi
Total Fenol
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio maltodekstrin dan gum arab berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap total fenol serbuk terung belanda. Total fenol
pada perlakuan P1 berbeda nyata dengan perlakuan P2, P3, P4, dan P5, namun pada perlakuan P2 dan perlakuan P3 total fenol tidak berbeda nyata.Tabel 2 menunjukkan total fenol serbuk terung belanda berkisar
antara 119,66-125,57 mg GAE/100g. Total fenol tertinggi diperoleh pada perlakuan P5 dan total fenol terendah diperoleh pada perlakuan P1 (kontrol). Hasil analisis menunjukan bahwa semakin tinggi rasio gum arab yang ditambahkan menyebabkan total fenol serbuk terung belanda cenderung semakin meningkat. Hal ini karena gum arab dapat membentuk emulsi dengan baik sehingga gum arab dapat membentuk lapisan yang dapat melindungi material inti dari proses perubahan destruktif (Kania et al., 2015). Gardjito et al (2006) menyatakan maltodekstrin kurang memiliki sifat emulsifier, sehingga emulsi yang terbentuk kurang stabil. Viskositas emulsi yang rendah sebelum pengeringan membuat material inti kurang terlindungi, karena lapisan kulit yang terbentuk tidak kuat. Oleh karena itu, banyak komponen yang mengalami penguapan selama proses pengeringan. Kandungan fenol serbuk terung belanda berhubungan dengan kandungan antosianinnya. Senyawa antosianin merupakan bagian dari golongan flavonoid yang termasuk ke dalam komponen senyawa fenolik. Oleh sebab itu semakin tinggi total antosianin menyebabkan total fenolik juga semakin meningkat.
Aktivitas Antioksidan
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio maltodekstrin dan gum arab berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap aktivitas antioksidan serbuk terung belanda.
Aktivitas antioksidan pada perlakuan P1 berbeda nyata dengan perlakuan P2, P3, P4, dan P5, namun pada perlakuan P2 dan P3 aktivitas antioksidan tidak berbeda nyata. Tabel 2 menunjukkan aktivitas antioksidan serbuk terung belanda berkisar antara 73,07 -78,05 Aktivitas antioksidan tertinggi diperoleh pada perlakuan P5 dan aktivitas antioksidan terendah diperoleh pada perlakuan P1. Hasil analisis menunjukan bahwa semakin tinggi rasio gum arab yang ditambahkan mengakibatkan meningkatnya nilai aktivitas antioksidan serbuk terung belanda. Aktivitas antioksidan serbuk terung belanda berkaitan dengan total antosianin dan total fenolnya. Semakin tinggi aktivitas antosianin dan kadar total fenol maka aktivitas antioksidan juga semakin tinggi. Hal ini karena antosianin dan fenol merupakan senyawa bioaktif yang memiliki fungsi sebagai antioksidan (Madhavi et al, 1996). Hasil penelitian ini didukung juga oleh penelitian Kania et al (2015) dimana variasi ratio 75 gum arab dan 25 maltodekstrin memberikan nilai aktivitas antioksidan yang lebih baik yaitu 27,838 dibandingkan dengan perlakuan 50 :50 dan 25 :75 yaitu hanya 26,848 dan 25,247 .
Hasil Analisis Warna (L, a*,b*, Chroma, dan Hue)
Nilai rata-rata nilai L, a*, b*, Hue dan Chroma serbuk terung belanda yang terkopigmentasi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Rata-rata L, a*, b*, Hue dan Chroma Serbuk Terung Belanda
Rasio Maltodekstrin dan Gum Arab |
L (Kecerahan |
a* (Kemerahan |
b* (Kekuningan |
°Hue |
Chroma |
P1 (5:0 |
53,50±1,01a |
42,33±0,90c |
22,00±0,10b |
27,47± 0,50abc |
47,71±0,80b |
P2 (4:1 |
52,87±0,90a |
42,03±0,55c |
21,50±0,95b |
27,09±1,07bc |
47,22±0,65b |
P3 (3:2 |
48,83±0,91b |
42,50±0,36bc |
20,90±0,66b |
26,18± 0,52c |
47,36±0,61b |
P4 (2:3 |
46,93±0,67b |
43,33±0,29ab |
23,93±0,65a |
28,91±0,81a |
49.51±0,14a |
P5 (1:4 |
47,10±1,47b |
44,03± 0,35a |
23,97±0,57a |
28,56±0,66ab |
50,14±0,34a |
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda dibelakang nilai rata-rata pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata dengan tingkat kepercayaan 95% (P < 0,05 , Nilai rata–rata diikuti dengan ± standar deviasi.
Nilai L (Kecerahan)
Nilai L (kecerahan) melambangkan tingkat kecerahan yang memiliki nilai 0-100. Nilai 0 (nol) untuk warna hitam dan 100 (seratus) untuk warna putih. Nilai L yang semakin tinggi menunjukkan warna yang semakin cerah, sedangkan nilai L yang rendah menunjukkan warna yang semakin gelap. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio maltodekstrin dan gum arab berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai L serbuk terung belanda. Nilai L pada perlakuan P1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2, namun berbeda nyata dengan perlakuan P3, P4, dan P5. Perlakuan P3 tidak berbeda nyata dengan perlakuan P4 dan P5, namun berbeda nyata dengan P1 dan P2. Tabel 3 menunjukkan nilai L serbuk terung belanda berkisar antara 46,93-53,50. Semakin tinggi rasio gum arab yang ditambahkan maka nilai L serbuk terung belanda cenderung mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan warna dasar dari gum arab dan maltodekstrin yang berbeda. Maltodekstrin memiliki warna putih cerah
sedangkan gum arab memiliki warna putih kecoklatan, sehingga semakin tinggi rasio maltodekstrin yang dicampurkan dengan ekstrak terung belanda yang berwarna merah pekat akan memberikan tingkat kecerahan serbuk terung belanda yang semakin meningkat. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Kaljannah et al (2018) yang menyatakan bahwa maltodekstrin memiliki warna putih dengan nilai kecerahan L* 90 sehingga semakin banyaknya proporsi maltodekstrin yang ditambahkan pada pembuatan serbuk buah mengkudu maka tingkat kecerahannya juga semakin meningkat.
Nilai a* (Kemerahan)
Nilai a* (kemerahan) positif melambangkan warna merah, nilai 0 melambangkan warna abu-abu dan nilai negatif melambangkan warna hijau. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio maltodekstrin dan gum arab berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai a* serbuk terung belanda. Nilai a* pada perlakuan P1 tidak berbeda nyata dengan P2 dan P3,
namun berbeda nyata dengan P4 dan P5. Perlakuan P2 tidak berbeda nyata dengan P1 dan P3, namun berbeda nyata dengan P4 dan P5. Perlakuan P3 tidak berbeda nyata dengan P1, P2, dan P4, namun berbeda nyata dengan P5. Perlakuan P4 dak berbeda nyata dengan P3 dan P5, namun berbeda nyata dengan P1 dan P2. Perlakuan P5 tidak berbeda nyata dengan P4, namun berbeda nyata dengan P1, P2, dan P3. Tabel 3 menunjukkan nilai a* serbuk terung belanda berkisar antara 42,0344,03. Semakin tinggi rasio gum arab yang ditambahkan maka nilai a* serbuk terung belanda cenderung mengalami peningkatan. Nilai a* yang semakin meningkat menunjukkan warna serbuk semakin merah. Hal ini berkaitan dengan kandungan antosianin serbuk terung belanda. Antosianin merupakan pigmen yang dapat menghasilkan warna merah. Sehingga semakin tinggi kandungan antosianin serbuk terung belanda menyebabkan warna a* (kemerahan) akan semakin meningkat.
Nilai b* (Kekuningan)
Nilai b* (kekuningan) positif melambangkan warna kuning, nilai 0 melambangkan warna abu-abu dan nilai negatif melambangkan warna biru. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio maltodekstrin dan gum arab berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai b* serbuk terung belanda. Nilai b* pada perlakuan P1 tidak berbeda nyata dengan P2 dan P3, namun berbeda nyata dengan P4 dan P5, sedangkan perlakuan P4 tidak berbeda nyata
dengan P5, namun berbeda nyata dengan P1, P2, dan P3. Tabel 3 menunjukkan nilai b* serbuk terung belanda berkisar antara 20,9023,97. Warna kekuningan pada serbuk disebabkan oleh adanya kandungan karotenoid pada terung belanda. Karotenoid merupakan pigmen yang menghasilkan warna kuning, merah, dan oranye pada tumbuhan. Puspawati et al (2018) melaporkan bahwa ekstrak terung belanda mengandung karotenoid total 50,80 mg/100 g ekstrak, dimana jenis karotenoid utamanya adalah β-carotene, β-cryptoxanthin, zeaxanthin dan lutein. Hasil penelitian menunjukan bahwa semakin tinggi rasio gum arab yang ditambahkan maka nilai b* serbuk terung belanda cenderung semakin meningkat. Hal ini karena gum arab dapat membentuk lapisan yang lebih kuat dibandingkan maltodekstrin sehingga dapat melindungi komponen bioaktif yang ada pada serbuk terung belanda. Hal ini karena penambahan gum arab dapat meningkatkan viskositas emulsi sebelum pengeringan sehingga lapisan dinding yang terbentuk akan lebih baik melindungi material inti karena lapisan kulit (shell) semakin kuat, sehingga mampu melindungi material inti yang mudah terdegradasi selama proses pengeringan.
Nilai °Hue dan Chroma
Nilai °Hue melambangkan jenis warna pada suatu objek pengukuran seperti kuning, merah, hijau atau biru. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio
maltodekstrin dan gum arab berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai °Hue serbuk terung belanda. Nilai °Hue pada perlakuan P1 tidak berbeda nyata dengan P1,P2, P3 dan P5. Perlakuan P2 tidak berbeda nyata dengan P1, P3, dan P5, namun berbeda nyata dengan P4. Perlakuan P3 tidak berbeda nyata dengan P1 dan P2, namun berbeda nyata dengan P4 dan P5. Perlakuan P4 tidak berbeda nyata dengan P1 dan P5, namun berbeda nyata dengan P2 dan P3. Perlakuan P5 tidak berbeda nyata dengan P1, P2, dan P4, namun berbeda nyata dengan P3. Nilai oHue dipengaruhi oleh nilai a*dan b* serbuk terung belanda. Nilai a* (kemerahan) dan b* (kekuningan) serbuk terung belanda yang semakin meningkat seiring dengan semakin meningkatnya rasio gum arab menyebabkan nilai °Hue juga semakin meningkat. Tabel 3 menunjukkan nilai °Hue serbuk terung belanda berkisar antara 26,18o-28,91o. Hutchings (1999) menyatakan °Hue dengan kisaran nilai 18-54 mendeskripsikan warna merah. Terkait hal tersebut maka warna
serbuk terung belanda berada pada daerah kisaran warna red (merah).
Nilai Chroma menunjukkan intensitas kepekatan warna pada serbuk terung belanda. Semakin tinggi nilai chroma semakin pekat warna produk. Nilai Chroma sangat dipengaruhi oleh nilai a* dan b*. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rasio maltodekstrin dan gum arab berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai chroma serbuk terung belanda. Tabel 3 menunjukkan nilai chroma serbuk terung belanda berkisar antara 47,22-50,14. Nilai Chroma pada perlakuan P1 tidak berbeda nyata dengan P2 dan P3, namun berbeda nyata dengan P4 dan P5. Perlakuan P4 tidak berbeda nyata dengan P5, namun berbeda nyata dengan P1, P2, dan P3. Perlakuan P4 dan P5 memiliki nilai chroma yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya sehingga perlakuan tersebut menghasilkan warna merah yang lebih pekat. Perbedaan warna pada serbuk terung belanda dapat dilihat pada Gambar 1 berikut:
KESIMPULAN
Rasio maltodekstrin dan gum arab pada pembuatan serbuk terung belanda terkopigmentasi berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar abu, kelarutan, total antosianin, total fenol, aktifitas antioksidan, nilai L, a*,b*, Hue dan Chroma. Serbuk terung belanda terkopigmentasi dengan penggunaan rasio maltodekstrin dan gum arab 1:4 menghasilkan aktivitas antioksidan dan warna terbaik dengan hasil total antosianin 41,97 mg/100g, total fenol 125,57 mg GAE/100 g, aktivitas antioksidan 78,05 , nilai L*= 47.10, a*= 44.03, b*= 23.97, chroma=50.14, °Hue =28.56 (warna merah), kadar air 3,92 , dan kelarutan 83,90 . Maltodekstrin dan gum arab pada pembuatan serbuk terung belanda terkopigmentasi efektif dalam
mempertahankan stabilitas antosianin.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC (Association of Official Analytical Chemists). 2005. Official Methods of Analsys of AOAC International. Gaithersburg.
Bachtiar, R. 2011. Pembuatan Minuman Instan Sari Kurma (Phoenix
dactylifera). Skripsi. Tidak dipublikasi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor
Cavalcanti, R.N., D.T. Santos, and M.A.A. Meireles. 2011. Non-thermal
stabilization mechanisms of anthocyanins in model and food systems-An overview. Food Research International, 44(2): 499–509.
Chung, C., T. Rojanasasithara., W.
Mutilangi., and D.J.M. Clements. 2016. Enhancement of colour stability of anthocyanins in model beverages by
gum arabic addition. Food Chemistry, 201:14–22.
Deshmukh K., M.B. Ahamed., R.R. Deshmukh., S.K.K. Pasha., P.R. Bhagat., and K. Chidambaram. 2017. Biopolymer composites with high dielectric performance: Interface Engineering. Journal of Biopolymer Composites in Electronics, 3:39-40.
Dror, Y., Y. Cohen., R.Y. Rozen. 2006. Structure of gum arabic in aqueous solution. Journal of Polymer Science Part B Polymer Physics: 44(22): 3265 – 3271.
Garcia, C.A., G. Gavino., M.B. Mosqueda., P. Hevia., and V.C. Gavino. 2007. Correlation of tocopherol, tokotrienol, γ-oryzanol and total polyphenol content in rice bran with different antioxidant capacity assays. Food Chemistry 102: 1228–1232
Gardjito, M., A. Murdiati., dan N. Aini. 2006. Mikroenkapsulasi β-Karoten Buah Labu Kuning dengan Enkapsulan Whey dan Karbohidrat. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Giusti, M.M., and R.E. Wrolstad. 2001. Characterization and measurement of anthocyanins by UV‐ visible spectroscopy. Current Protocols in Food Analytical Chemistry, 1: 1-13.
Glicksman, M. 1969. Gum Technology in The Food Industry. Academic Press. New York.
Kania, W., M.A.M. Andriani., dan Siswanti. 2015. Pengaruh Variasi Rasio Bahan Pengikat terhadap Karakteristik Fisik dan Kimia Granul Minuman Fungsional Instan Kecambah Kacang Komak (Lablab purpureus (L.) sweet). Jurnal Teknosains Pangan 4 (3): 16-29.
Khan, R.A., M.R. Khan., S. Sahreen., and M. Ahmed. 2012. Evaluation of phenolic contents and antioxidant activity of various solvent extracts of Sonchus asper (L.) Hill. Chemistry Central Journal 6:1-7.
Khrisna, M., and H.I. Kantha. 2005. Food colour measurement: instrumentation and techniques. Journal Instrum Soc Indian, 35(2): 227-238.
Laohasongkram, K., T. Mahamaktudsanee., and S. Chaiwanichsiri. 2011.
Microencapsulation of macadamia oil by spray drying. Procedia Food Sci 1: 1660-1665.
Madene, A., M. Jacquot., J. Scher., and S. Desobry. 2005. Flavor encapsulation and controlled release- a review. International Journal of Food Science and Technology, 41 (1): 1-21.
Mahdavi, S.A., S.M Jafari., E. Assadpour., M. Ghorbani. 2016. Storage stability of encapsulated barberry's anthocyanin and its application in jelly formulation. Journal of Food Engineering. http://dx.doi.org/10.1016/j.jfoodeng.20 16.03.003
Marpaung, A.L.R.P., F. Tafzi., dan I. Rahmayani. 2021. Pengaruh perbandingan maltodekstrin dan gum arab pada mikroenkapsulasi ekstrak daun duku kumpeh (Lansium domesticum corr.) Universitas Jambi, Jambi.
Mustofa, A., dan Y.W. Wulandari. 2008. Uji performa dekstrin-gum arabic sebagai filler virgin coconut oil (VCO). Eksplorasi, 20(1): 108-115.
Purnomo, W., U.K Lia., dan R. Baskara. 2014. Pengaruh ratio kombinasi maltodekstrin, karagenan dan whey terhadap karakteristik mikroenkapsulan pewarna alami daun jati ( Tectona grandis L. F.). Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan 3(3): 121- 129.
Purwanti, Y., H. Dwiyanti., A.T. Septiana, dan I.S.M. Purbowati. 2021. Pengaruh rasio bahan penyalut maltodekstrin dan gum arab terhadap mikrokapsul kelopak bunga rosela (Hibiscuss
sabdariffa L). J. Sains dan Teknologi Pangan, 6(5): 4422-4435.
Puspawati, G.A.K.D., Y. Marsono.,
Supriyadi, dan R. Armunanto. 2018. Comparison of sonication with
maceration on antioxidant potency of anthocyanin and carotenoid of tamarillo (Solanum betaceaum Cav.). J. Agritech, 38(3): 304–312.
Puspawati, G.A.K.D. 2020. Potensi Antosianin Terung Belanda (Solanum betaceum Cav.) Sebagai Penurun Hiperglikemik. Dalam Ardiansyah, A
Rahmadi, N Sulastri, I.G.A.L. Triani, G.A.K.D Puspawati, dan I. P. Surya Wirawan. Inovasi Teknologi Pertanian untuk Menunjang Agroindustri di Masa Pandemi, hal 71-91. Swasta Nulus bekerja sama dengan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana.
Puspawati, G.A.K.D., P.T. Ina., dan G.A Ekawati. 2021. Inovasi stabilitas antosianin dari ekstrak tamarillo (Solanum betaceum Cav.): teknik kopigmentasi dan enkapsulasi. Laporan Penelitian, Universitas Udayana.
Puspawati, G.A.K.D., P.T. Ina., dan G.A Ekawati. 2019. Proses pembuatan ekstrak pewarna alami bubuk dari selaput lendir tamarillo (Solanum betaceum Cav.). Paten. Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta
Puspawati G.A.K.D., Y Marsono., dan Supriyadi. 2018. Inhibitor potency of indonesian tamarillo (Solanum betaceum Cav.) crude extract agaist α-glucosidase enzyim activity. Curr Res Nutr Food Sci Jour, 6 (2):392-403
Raharjo, S., F.A. Purwandari., P. Hastuti., and K. Olsen. 2019. Stabilization of black rice (Oryza sativa, L. indica) anthocyanins using plant extracts for copigmentation and maltodextrin for encapsulation. Journal of Food Science, 84: 1712-1720
Sakulnarmrat, K., and I. Konczak. 2022. Encapsulation of Melodorum fruticosum Lour. anthocyanin-rich extract and its incorporation into model food. Food Science and Technology, 153:1-9
Torio. M.A.O., J.Saez., and F.E. Merca. 2006. Physicochemical
characterization of galaktomannan from sugar palm Arenga saccharifera Labill.) endosperm at different stages of nut naturity. Philippine Journal of Science 135(1) 19-30.
Yanuwar, W., S.B. Widjanarko., dan T. Wahono. 2007. Karakteristik dan stabilitas antioksidan mikrokapsul minyak buah merah (Pandanus
conoideus Lam) dengan bahan penyalut
berbasis protein. Jurnal Teknologi Pertanian, 8 (2): 127-135
Zen, M.B., G.P.G Putra., dan L. Suhendra. 2021. Karakteristik enkapsulat ekstrak kulit buah kakao (Theobroma cacao L.) pada perlakuan variasi jenis dan konsentrasi bahan penyalut. Jurnal Rekayasa dan Manajemen Agroindustri, 9(3): 356-370
292
Discussion and feedback