Itepa: Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan

Karimatul Izzah dkk / Itepa 12 (1) 2023 120-132

ISSN : 2527-8010 (Online)

Pengaruh Konsentrasi Ragi Rhizopus oligosporus DP02 Bali terhadap Karakteristik Tempe Kacang Hijau (Vigna radiata, L.

The Effect of Yeast Concentration of Rhizopus Oligosporus DP02 Bali on The Characteristics of Green Bean Tempeh (Vigna radiate, l.)

Karimatul Izzah1, Agus Selamet Duniaji1, I Gusti Ayu Ekawati1

1Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran, Badung-Bali

*Penulis korespondensi: Agus Selamet Duniaji, Email: [email protected]

Abstract

The research was conducted with the aims to determine the effect of yeast concentration with Rhizopus oligosporus DP02 Bali on the characteristics of green bean tempeh and to determine the righ yeast concentration to produce green bean tempeh with the best characteristic. The research used completely randomized design with yeast concentration consisting of 5 different levels as the treatment, namely 1%, 1,5%, 2%, 2,5%, and 3%. Each levels was repeated 3 times to obtain 15 experimental units. The data were analyzed using ANOVA, and if there was a significant effect, the Duncan Multiple Range Test were perfomed. The results showed that the treatment had a significant effect on the green bean tempeh water content, ash content, protein content, fat content, carbohydrate content, curd fiber content, aroma, taste, texture, color, and overall acceptance. Yeast concentration of 3% produced the green bean tempeh with the best characteristics with water content of 54.17%, ash content of 0.60% , protein content of 8.22%, fat content of 2.53%, carbohydrate content of 33.79%, curd fiber content of 9.48%, and characteristics of color was liked, taste was liked, texture was liked, and overall acceptance was liked.

Keywords: tempeh, green bean, yeast, Rhizopus oligosporus DP02 Bali

PENDAHULUAN

Tempe merupakan salah satu makanan hasil fermentasi dari kacang kedelai atau jenis kacang lainnya dengan menggunakan jamur Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae. Tempe juga merupakan makanan tradisional khas Indonesia yang sudah lama dikenal dan banyak digemari oleh masyarakat, karena rasanya yang enak dan tergolong murah dan mudah didapatkan. Tempe dapat dibuat dari berbagai bahan dasar kacang-kacangan, namun tempe yang dikenal masyarakat umumnya adalah tempe yang berbahan

dasar kacang kedelai (Sopandi dan Wardah, 2014).

Di Indonesia produk seperti tahu, kecap, dan tauco menggunakan kacang kedelai sebagai bahan baku utamanya. Oleh karena itu sebagian besar kebutuhan kacang kedelai dalam negeri atau 86,95% harus dipenuhi dari impor (Komalasari et al, 2017) sehingga pada bahan pembuatan tempe dapat digantikan dengan kacang lainnya. Bahan dasar pembuatan tempe selain menggunakan kacang kedelai dapat juga menggunakan berbagai jenis kacang-kacangan, seperti kacang tolo, lamtoro,

kacang tanah, kacang hijau dan lainnya. Menurut Febriani (2019) kacang hijau dapat dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan tempe dengan menggunakan ragi bubuk (raprima) dan menghasilkan tempe kacang hijau dengan fermentasi 72 jam dengan konsentrasi ragi 0,07 mendapatkan nilai protein sebesar 11,73%. Pada penelitian Sofiyatin et al, (2013) pada tempe kacang gude yang difermentasi selama 36 jam dengan konsentrasi ragi 2% didapatkan hasil yaitu, kadar air 60,33%, kadar abu 2,00%, dan kadar protein 13,33%.

Penggunaan kacang hijau sebagai pengganti bahan dasar tempe dapat dilakukan dengan tujuan diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan adalah upaya peningkatan konsumsi anekaragam pangan dengan prinsip gizi yang seimbang (Dewi dan Ginting, 2012). Menurut Santosa (2020), kacang hijau merupakan produk agribisnis yang melimpah, hal ini ditandai dengan adanya ekspor kacang hijau pada tahun 2018 sebesar 1.625 ton dan mengalami kenaikan 53% pada tahun 2019 yaitu sebesar 3.489 ton. Kandungan gizi kacang hijau per 100 gram untuk kandungan protein berkisar 21,04 gram, lemak 1,64 gram, karbohidrat 63,55 gram, air 11,42 gram, abu 2,36 gram dan serat 2,46% (Aminah dan Wikanastri, 2012). Kacang hijau mengandung lemak yang cukup rendah dibanding kacang lainnya. Kandungan lemak pada kacang hijau merupakan asam lemak tak jenuh sehingga

baik untuk jantung dan aman dikonsumsi oleh mereka yang memiliki masalah dengan berat badan (Yartati, 2005) selain itu kacang hijau baik dikonsumsi untuk ibu menyusui karena terdapat polifenol yang berfungsi untuk meningkatkan produksi ASI (Suskesty dan Ikhlasiah, 2017).

Pembuatan tempe dengan melibatkan Rhizopus sp. dapat membantu proses fermentasi kacang hijau menjadi tempe. Rhizopus sp. akan membentuk padatan kompak berwarna putih yang disebut sebagai benang halus yang disebabkan adanya miselia kapang yang tumbuh pada permukaan kacang hijau sehingga kacang hijau dapat terhubung satu sama lain. Menurut Duniaji et al, (2019) Rhizopus oligosporus DP02 Bali merupakan inokulum yang berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari daun waru. Rhizopus oligosporus DP02 Bali mempunyai fungsi yang sama seperti Rhizopus oligosporus yang berperan dalam proses fermentasi tempe pada umumnya dan Rhizopus oligosporus DP02 Bali mempunyai kelebihan yaitu menghambat pertumbuhan Aspergilus parasiticus dan mereduksi pertumbuhan aflatoksin B1. Menurut Broto (2018) mengatakan aflatoksin B1 merupakan toksin dan karsinogen yang sangat kuat sehingga dapat menginduksi banyak efek samping dan sistemik yang menganggu fungsi organ dan jaringan normal yang berakibat pada penghambatan, pertumbuhan,

Itepa: Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan Karimatul Izzah dkk / Itepa 12 (1) 2023 120-132 pembengkakan, dan penekanan kekebalan yang berkontribusi terhadap peningkatan resiko kanker hati pada manusia.

Mutu tempe juga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantara lain mutu bahan baku, proses pembuatan, waktu fermentasi dan jumlah konsentrasi ragi yang digunakan. Konsentrasi ragi dapat mempengaruhi tempe yang dihasilkan. Penelitian terkait pemanfaatan kacang hijau dalam pembuatan tempe dengan menggunakan Rhizopus oligosporus DP02 Bali beserta konsentrasinya yang tepat belum pernah dilakukan. Berdasarkan hal tersebut di atas maka akan dilakukan penelitian mengenai pengaruh konsentrasi ragi dengan isolat Rhizopus oligosporus DP02 Bali terhadap karakteristik tempe kacang hijau (Vigna radiata L.)

METODE

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kacang hijau dan tepung beras yang diperoleh di Pasar Badung Denpasar Barat. Untuk pembuatan ragi tempe menggunakan inokulum Rhizopus oligosporus DP02 Bali (koleksi Laboratorium Mikrobiologi Pangan) yang telah diinkubasi selama lima hari, Potato Dextrose Agar (PDA), Potato Dextrose Broth (PDB), nasi, alkohol 96%, dan aquades. Bahan kimia yang digunakan adalah tablet kjeldahl (Merck , HCL (Merck , aquades, H2SO4 (Merck , NaOH

(Merck , asam borat 3% (Merck , n-heksan(Merck dan indikator PP (Merck . Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan untuk membuat tempe kacang hijau adalah panci, baskom, saringan, sendok, kompor, tabung gas, timbangan, nampan, pisau, tabung reaksi, cawan petri, jarum ose, laminar air flow, batang bengkok, dan inkubator.

Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah lumpang, pompa karet (boult), gelas ukur(pyrex), timbangan analitik (shimadzu AUX220, Jepang), oven, cawan porselin, cawan petri (Anumbra), alumunium foil (Klin Pack) , desikator, destilator (Behr), erlenmeyer (pyrex), pipet volume, gelas beaker (pyrex), pipet mikro (Socorex), pipet tetes, waterbath (J.P. Selecta s,a), labu Kjeldahl, labu ukur (Pyrex), labu reaksi, kertas saring Whattman no. 42, , buret, labu lemak (Behr), soxhlet (Behr), benang wol, tabung reaksi (pyrex), autoklaf (hiramaya), inkubator (memmert).

Rancangan Percobaan

Rancangan    percobaan yang

digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan konsentrasi ragi yang terdiri dari lima taraf yaitu: P1 = konsentrasi ragi 1%; P2 = konsentrasi ragi 1,5%; P3 = konsentrasi ragi 2%; P4 = konsentrasi ragi 2,5%; P5 = konsentrasi ragi 3%. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali ulangan, sehingga diperoleh sebanyak 15 unit

percobaan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam dan apabila terdapat pengaruh antar perlakuan dilanjutkan dengan uji jarak berganda duncan (Gomez dan Gomez, 1995).

Pelaksanaan Penelitian

Penyegaran Isolat dan Konfirmasi Isolat

Penyegaran isolat dilakukan dengan cara menginokulasikan 1 ose isolat Rhizopus oligosporus DP02 Bali dari stok isolat yang disimpan pada refrigerator pada suhu 4°C ke dalam tabung reaksi yang berisi media Potato Dextrose Broth (PDB). Metode inokulasi ini dilakukan dengan menggunakan jarum ose secara aseptis, kemudian tabung tersebut ditutup dengan kapas dan diinkubasi di dalam incubator dengan suhu 32°C selama 3 hari. Pembuatan Starter

Pembuatan starter dilakukan dengan pengambilan 1 ml Rhizopus oligosporus DP02 Bali dari media Potato Dextrose Broth (PDB) dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah diberi aquades 9 ml, setelah itu ditutup menggunakan kapas yang digumpalkan. Selanjutnya dilakukan pengenceran dihomogenkan menggunakan vortex selama 1-2 menit hingga diperoleh pengenceran IO-1 yang homogen. Diambil 1 ml pengenceran IO-1 menggunakan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml aquades dan divortex sehingga diperoleh pengenceran

10 . Diambil 1 ml pengenceran 10 i menggunakan pipet mikro dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml aquades dan divortex sehingga diperoleh pengenceran 10 . Tabung reaksi yang berisi pengenceran 10 diambil sebanyak 0,5 ml dengan menggunakan pipet mikro dan disebar menggunakan batang bengkok ke media PDA (Potato Dextrose Agar) yang kemudian diinkubasi pada suhu 30°C selama 3 x 24 jam.

Pembuatan Ragi

Pembuatan ragi dilakukan setelah starter pada media PDA (Potato Dextrose Agar) telah ditumbuhi spora tampak berwarna ke abu-abuan. Starter tersebut kemudian dibuat sayatan berbentuk persegi kecil dan dipindahkan ke media nasi dan diinkubasi pada suhu 30°C hingga 4 hari. Media nasi merupakan media yang dibuat atau dimasak secara umum dengan menggunakan penanak nasi (rice cooker), nasi yang sudah matang dimaskkan ke dalam cawan petri. Media nasi yang sudah ditumbuhi spora lalu dikeringkan pada suhu 40°C selama 18 jam (Setyani et al, 2011). Setelah keringnya merata starter dihaluskan dengan cara ditumbuk atau digiling hingga berukuran kecil dan dicampur dengan tepung beras dengan perbandingan 1:9 hingga diperoleh ragi tempe ragi.

Pembuatan Tempe Kacang Gude

Pembuatan tempe kacang hijau mengacu pada Kustyawati (2009) yang telah dimodifikasi. Tahapan pembuatan

tempe diawali dengan kacang hijau direndam selama 12 jam dengan air bersih, kemudian dihilangkan kulit arinya secara manual. Selanjutnya kacang hijau direbus selama 20 menit, lalu ditiriskan dan dikeringkan sampai suhu ruang. Kacang hijau yang sudah kering lalu ditimbang sebanyak 100 gram dan diberikan ragi sesuai dengan perlakuan konsentrasi ragi yaitu 1%, 1,5%, 2%, 2,5%, dan 3%. Kacang hijau yang sudah diberi ragi lalu dikemas dalam kemasan plastik yang telah dilubangi dan dilakukan pemeraman pada suhu ruang selama 36 jam.

Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah analisis kadar air dengan metode pengeringan oven (Sudarmaji et al, 1997), kadar abu metode pengabuan (AOAC, 2005), kadar protein

metode makro Kjedahl (Sudarmaji et al, 1997), kadar lemak metode soxhlet (Sudarmaji et al, 1997), kadar karbohidrat (AOAC, 2005), kadar serat kasar metode hidrolisis asam basa (AOAC, 2005), serta evaluasi sensoris dilakukan terhadap warna, aroma, tekstur, rasa, dan penerimaan keseluruhan menggunakan uji hedonik serta uji skoring pada warna dan tekstur (Soekarto, 1985).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis kacang hijau yaitu, kadar air 6,14%, kadar abu 3,32%, kadar protein 21,80%, kadar lemak 3,11%, kadar karbohidrat 65,65%, dan kadar serat kasar 6,91%. Nilai rata-rata kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat, dan kadar serat kasar tempe kacang hijau dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai rata-rata kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar

karbohidrat, dan kadar serat kasar tempe kacang hijau

Perlakuan

Kadar Air (%

Kadar Abu (%

Kadar Protein (%

Kadar Lemak (%

Kadar Karbohidrat (%

Kadar Serat Kasar (%

P1 (1%

36,01±0,85d

0,71±0,0 lb

11,54±0,57“

3,78±0,10“

47,95±1,23“

6,88±0,47b

P2 (1,5%

41,94±0,71“

0,70±0,02β

10,89±0,55“

3,36±0,21b

43,09±0,13b

7,04±0,6 8 b

P3 (2%

46,66±0,5 2 b

0,66±0,04“

8,97±0,2 4 b

3,15±0,17b

40,54±0,42“

7,49±0,2 8 b

P4 (2,5%

47,08±0,8 lb

0,61±0,05“

8,42±0,19bc

2,81±0,11“

41,03±0,81“

8,77±0,27“

P5 (3%

54,17±l,88β

0,60±0,02“

8,22±0,13“

2,53±0,24“

33,79±1,0 ld

9,48±0,50“

Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05


Kadar Air

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi ragi Rhizopus oligosporus DP02 Bali berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar air tempe kacang hijau. Tabel 1 menunjukkan kadar air tempe berkisar antara 36,01% sampai dengan 54,17%. Kadar air tertinggi pada tempe diperoleh dari perlakuan P5 yaitu sebesar 54,17%, sedangkan kadar air terendah pada tempe diperoleh dari perlakuan P1 yaitu sebesar 36,01%. Berdasarkan hasil uji duncan didapatkan bahwa perlakuan P3 dan P4 tidak berbeda nyata, sedangkan P1 berbeda nyata dengan P3 dan P4.

Hal ini disebabkan karena selama proses fermentasi berlangsung, ragi merupakan biakan kapang yang akan menghasilkan air sebagai hasil dari proses metabolisme yang berlangsung. Menurut Rochmah (2008) air merupakan salah satu produk hasil fermentasi aerob. Selama fermentasi tempe, mikroba mencerna substrat dan menghasilkan air, karbondioksida dan sejumlah besar energi (ATP). Nilai kadar air maksimal pada tempe sesuai SNI Nomor 3144-2015 adalah 65,0%, hal ini menunjukkan bahwa semua perlakuan memenuhi syarat.

Kadar Abu

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi ragi Rhizopus oligosporus DP02 Bali berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar abu tempe. Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai kadar abu tempe

berkisar antara 0,60% sampai 0,71%. Kadar abu tertinggi pada tempe diperoleh dari perlakuan P1 yang berbeda dengan perlakuan P2, P3, P4, dan P5 yaitu 0,71%, sedangkan kadar abu terendah pada tempe diperoleh dari P5 yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan P2, P3, dan P4 yaitu sebesar 0,60%.

Hal tersebut dikarenakan meningkatnya kadar air dapat menyebabkan kenaikan berat basah pada tempe sehingga persentase kadar abu menjadi semakin rendah Hutalagung et al, (2016). Menurut Mudambi dan Rajagopal (1980) menyatakan bahwa selama proses penyimpanan tempe, kadar abu atau kandungan mineral secara umum tidak mengalami perubahan namun dengan naiknya kadar air akan menyebabkan terjadinya kenaikan berat basah pada tempe sehingga kadar abu menurun.

Kadar Protein

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi ragi Rhizopus oligosporus DP02 Bali berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar protein tempe. Tabel 1 menunjukkan kadar protein tempe antara 8,22% sampai 11,54%. Kadar protein tertinggi pada tempe diperoleh dari perlakuan P1 yang tidak berbeda nyata dengan P2 yaitu 11,54% sedangkan kadar protein terendah pada tempe diperoleh dari perlakuan P5 yang tidak berbeda nyata dengan P4 yaitu 8,22%.

Menurut Hutalugung et al (2016), mengatakan bahwa penambahan konsentrasi ragi akan menyebabkan lebih banyak kapang yang tumbuh dengan konsentrasi yang semakin tinggi akan menurunkan kadar protein tempe karena kandungan nitrogen yang terdapat di dalam protein tempe akan digunakan oleh kapang Rhizopus, sp untuk tumbuh dan beraktivitas. Nilai kadar protein minimal pada tempe sesuai SNI Nomor 3144-2015 adalah 15,0% bb. Hal ini menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak memenuhi SNI tempe yang ditentukan.

Kadar Lemak

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi ragi Rhizopus oligosporus DP02 Bali berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar lemak tempe. Tabel 1 menunjukkan kadar lemak tempe antara 2,53% sampai dengan 3,78%. Kadar lemak tertinggi pada tempe diperoleh dari perlakuan P1 yang berbeda nyata dengan P2, P3, P4 dan P5 yaitu 3,78% sedangkan kadar lemak terendah pada tempe diperoleh dari perlakuan P5 yang tidak berbeda nyata dengan P4 yaitu sebesar 2,54%.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Hidayat et al, (2006) yang menyatakan bahwa kadar lemak tempe mengalami penurunan setelah fermentasi karena komponen asam lemak terhidrolisis oleh enzim lipase. Semakin tinggi konsentrasi ragi yang diberikan maka proses hidrolisis akan berlangsung semakin cepat sehingga

kadar lemak pada tempe akan semakin menurun dan selama proses fermentasi, lemak berperan sebagai pemenuhan kebutuhan energi oleh kapang (Hutalugung et al, 2016). Nilai kadar lemak pada tempe sesuai SNI Nomor 3144-2015 adalah minimal 7,0% bb. Hal ini menunjukkan bahwa semua perlakuan tidak memenuhi SNI tempe yang ditentukan.

Kadar Karbohidrat

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi ragi Rhizopus oligosporus DP02 Bali berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar karbohidrat tempe. Tabel 1 menunjukkan kadar karbohidrat tempe berkisar antara 33,79% sampai dengan 47,95%. Kadar karbohidrat tertinggi pada tempe diperoleh dari perlakuan P1 yaitu 47,95% sedangkan kadar karbohidrat terendah pada tempe diperoleh dari perlakuan P5 yaitu 33,79%. Berdasarkan hasil uji duncan didapatkan bahwa pada perlakuan P3 dan P4 tidak berbeda nyata, sedangkan pada perlakuan P2 dengan P3, P4 berbeda nyata.

Hal tersebut terjadi karena kapang yang terdapat pada ragi mensintetis enzim pemecah pati yaitu a-amilase yang berfungsi untuk memecah karbohidrat menjadi substrat yang lebih sederhana. Proses pemecahan karbohidrat berlangsung dalam suasana aerobik dan menghasilkan energi berupa ATP yang kemudian digunakan untuk keperluan metabolisme

Itepa: Jurnal Ilmu dan Teknologi Pangan Karimatul Izzah dkk / Itepa 12 (1) 2023 120-132 dan pertumbuhan kapang pada tempe (Maryam, 2015).

Kadar Serat Kasar

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi ragi Rhizopus oligosporus DP02 Bali berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar serat tempe. Tabel 1 menunjukkan kadar serat kasar tempe berkisar antara 6,89% sampai dengan 9,48%. Kadar serat kasar tertinggi pada tempe diperoleh dari perlakuan P5 yang tidak berbeda nyata dengan P4 dan berbeda nyata dengan P1, P2, dan P3 dengan yaitu 9,48% sedangkan kadar serat kasar terendah pada tempe diperoleh dari perlakuan P1 yang tidak berbeda nyata dengan P2 dan P3 yaitu 6,89%.

Hal ini sesuai dengan Dewi et al, (2013) menyatakan bahwa dinding sel hifa kapang Rhizopus sp. sebagian besar terdiri

atas polisakarida. Penambahan konsentrasi ragi akan menghasilkan semakin banyak kapang Rhizopus sp. yang tumbuh serta miselium yang terbentuk sehingga kandungan polisakarida dalam tempe akan semakin besar.

Evaluasi Sensoris

Evaluasi sensoris dilakukan dengan uji hedonik terhadap warna, aroma, rasa, tekstir, dan penerimaan keseluruhan. Uji skoring dilakukan terhadap tekstur dan warna. Nilai rata-rata uji hedonik warna, aroma, warna, rasa, tekstur dan penerimaan keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai rata-rata uji skoring rasa dan tekstur dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 2. Nilai rata-rata uji hedonik warna, aroma, rasa, tekstur, dan penerimaan keseluruhan tempe kacang hijau

Perlakuan

Nilai Rata-rata Uji Hedonik

Warna

Aroma

Rasa

Tekstur

Penerimaan Keseluruhan

P1 (1%)

3,73±0,88c

3,67±0,82β

3,73±0,806

3,40±0,63b

3,53±0,52c

P2 (1,5%)

4,13±0,83c

3,80±l,08a

4,20±0j56ab

4,07±0j46g

3,87±Oj74bc

P3 (2%)

3,73±0,70c

3,73±0j60q

4,53±0,S2β

3,60±0j74ab

4,13±0,S2b

P4 (2,5%)

3,87±0,74c

3,53±0,83β

4,27±0,46b

4,00±0,53c

4,20±0,57b

P5 (3%)

4,00±0,84α

3,47±0,83β

4,20±0,68cb

3,93±0,70c

4,67±0,49β


Keterangan:

Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda tidak nyata (P>0,05

Kriteria hedonik: 1= tidak suka, 2= agak tidak suka, 3= biasa, 4= suka, 5= sangat suka


Tabel 3. Nilai rata-rata uji skoring warna dan tekstur tempe kacang hijau

Nilai Rata-rata Uji Skoring

Warna                     Tekstur

P1 (1%)

P2 (1,5%)

P3 (2%)

P4 (2,5%)

P5 (3%)

1,20±Q,41c                    2,73±0f7Q*

1,67±0,49b                   3,00±0,536

1,67±0,62b                   3,13±0j74b

2,13±0j74α                   3,67±0j49q

2,20±0,S6α                   3,93±0j26a

Keterangan:    Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama

menunjukkan perlakuan berbeda tidak nyata (P>0,05 Kriteria warna: 1 = agak putih, 2 = putih, 3 = sangat putih

Kriteria tekstur: 1 = tidak kompak, 2 = agak kompak, 3 = kompak, 4 = sangat kompak


Warna

Hasil sidik ragam uji hedonik menunjukkan bahwa konsentrasi ragi Rhizopus oligosporus DP02 Bali berpengaruh tidak nyata (P<0,05) terhadap warna tempe dengan uji hedonik. Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan terendah warna tempe yaitu berkisar antara 3,73 (kriteria biasa) sampai dengan 4,13 (kriteria suka). Hal ini disebabkan tidak ada perubahan spesifik pada warna tempe, sehingga panelis memberikan tingkat penilaian yang hampir sama pada warna tempe.

Hasil sidik ragam uji skoring menunjukkan bahwa konsentrasi ragi Rhizopus oligosporus DP02 Bali berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap warna tempe. Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata skor terendah warna tempe diperoleh pada perlakuan P1 yang berbeda nyata dengan P2, P3 yaitu 1,20 (kriteria agak putih), sedangkan nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan P5 yang tidak berbeda nyata dengan P4 yaitu 2,20

(kriteria putih). Hal ini terjadi karena warna putih pada tempe dihasilkan dari miselia kapang yang dimana semakin tinggi konsentrasi ragi yang digunakan maka semakin banyak miselia kapang yang tumbu

Aroma

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi ragi Rhizopus oligosporus DP02 Bali berpengaruh tidak nyata (P<0,05) terhadap aroma tempe dengan uji hedonik. Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan aroma tempe yaitu berkisar antara 3,47 sampai dengan 3,80 dengan kriteria biasa. Hal ini disebabkan tidak ada perubahan spesifik pada aroma tempe, sehingga panelis memberikan tingkat penilaian yang hamper sama pada aroma tempe yaitu biasa atau netral.

Rasa

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi ragi Rhizopus oligosporus DP02 Bali berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap rasa tempe dengan uji

hedonik. Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan terendah rasa tempe diperoleh pada perlakuan P1 yang tidak berbeda nyata dengan P2, P4 dan P5 yaitu 3,73 (kriteria biasa), sedangkan nilai skor tertinggi diperoleh pada perlakuan P3 yang tidak berbeda nyata dengan P2 dan P5 yaitu 4,53 (kriteria suka). Hal ini disebabkan karena hasil fermentasi karbohidrat, protein dan lemak pada bahan baku akan menyebabkan rasa tempe yang khas.

Tekstur

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi ragi Rhizopus oligosporus DP02 Bali berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tekstur tempe dengan uji hedonik. Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata tingkat kesukaan terendah tesktur tempe diperoleh pada perlakuan P1 tidak berbeda dengan P3 yaitu 3,4 (kriteria biasa), sedangkan nilai skor tertinggi diperoleh perlakuan P2 yang tidak berbeda dengan P3, P4, P5 yaitu 4,07 (kriteria suka).

Hasil sidik ragam uji skoring menunjukkan bahwa konsentrasi ragi Rhizopus oligosporus DP02 Bali berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap tekstur tempe. Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata skor terendah terhadap tekstur tempe diperoleh pada perlakuan P1 yang tidak berbeda nyata dengan P2 dan P3 yaitu 2,73 (kriteria kompak), sedangkan nilai rata-rata skor tertinggi diperoleh pada

perlakuan P5 yang tidak berbeda nyata dengan P5 yaitu 3,93 (kriteria sangat kompak). Hal tersebut dikarenakan konsentrasi ragi yang tinggi dapat menyebabkan hifa kapang yang tumbuh lebih banyak. Hifa akan tumbuh semakin padat dan mengikat biji sehingga membentuk tekstur tempe yang padat dan menyatu (Nurrahman et al, 2012).

Penerimaan Keseluruhan

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi ragi Rhizopus oligosporus DP02 Bali berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap penerimaan keseluruhan tempe dengan uji hedonik. Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata terendah terhadap penerimaan keseluruhan tempe diperoleh pada perlakuan P2 yang tidak berbeda nyata dengan P1 dan P3, P4 yaitu 3,53 (kriteria suka) sedangkan nilai rata-rata tertinggi diperoleh pada perlakuan P5 yang berbeda nyata dengan P4 yaitu 4,67 (kriteria sangat suka). Penerimaan keseluruhan tempe ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti warna, aroma, tekstur dan rasa.

KESIMPULAN

Perlakuan konsentrasi ragi berpengaruh terhadap kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar, dan kadar karbohidrat tempe kacang hijau, serta pada uji sensoris berpengaruh pada rasa (hedonik), tekstur (hedonik dan skoring), penerimaan keseluruhan

(hedonik), warna (skoring). Perlakuan konsentrasi ragi sebanyak 3% menghasilkan tempe dengan karakteristik terbaik, yaitu dengan kriteria kadar air 63,99%, kadar abu 0,60%, kadar protein 8,22%, kadar lemak 2,53%, kadar serat kasar 9,48% dan kadar karbohidrat 24,66%, dengan kriteria warna, aroma, rasa, tekstur, dan penerimaan keseluruhan disukai oleh panelis.

DAFTAR PUSTAKA

Aminah dan Wikanastri. 2012. Karakteristik Kimia Tepung Kecambah Serealia dan Kacang-kacangan dengan Variasi Blancing. Skripsi S1. Tidak dipublikasikan.              Universitas

Muhammadiyah Semarang, Semarang.

Astawan. 2009. Sehat dengan Hidangan Kacang dan Biji-Bijian. Penebar Swadaya, Jakarta.

Astuti M., A. Meliala, F.S. Dalais, dan M.L. Wahlqvist. 2000. Tempe a nutritions and healthy food from Indonesia. Asia Pasific Journal of Clinical Nutrition. 9:322-325.

Badan Standardiasi Nasional. 2015. SNI 013144-2015 Tentang Syarat Mutu Tempe. Badan Standardiasi Nasional. Jakarta.

Bavia, A.C.F., C.E. Silvia, M.P. Ferreira, R.S. Leite, J.M.G. Mandarino dan M.C.C. Panizzi. 2012. Chemical composition of tempeh from soybean cultivars specially developed for human consumption. International Journal of Ciencia e Tecnologia de Alimentos. 32(3 :613-620.

Broto, Wisnu. 2003. Teknologi Penanganan Pascapanen Buah untuk Pasar. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Fauzan, F. 2005. Formulasi Flakes Komposit dari Tepung Talas, Tepung Tempe dan Tapioka. Skripsi S1. Tidak dipublikasikan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institus Pertanian Bogor, Bogor.

Febriani, E.M. 2019. Pengaruh Kadar Ragi Terhadap Uji Organoleptik dan Kadar

Protein Total Tempe Kacang Hijau (Phaseolus radiates L. dan Tempe Kedelai (Glycine max L. Lokal. Skripsi S1. Tidak dipublikasikan. Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Cahyadi, W. 2009. Kedelai, Khasiat dan Teknologi. Bumi Aksara, Jakarta.

Cahyadi, W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Makanan. Bumi Aksara, Jakarta.

Camus, A. 2008. Penyiapan SSOP dan SOP Proses Produksi Minuman Ready to Drink (RTD Bersama Tinggi Skala Industri. Tesis S2. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Dahiya, P.K., M.J.R. Nout, Martinus A., N. Khetarpaul, R.B. Grewal dan A. Linnemann. 2014. Nutrional characteristics of mung bean foods. British Food Journal. 116(6 :1031-1046.

Dewi, L., S.P. Hastuti, dan R. Kumalasari. 2013. Pengaruh Konsentrasi Inokulum terhadap Kualitas Tempe Kedelai (Glycine Max (L . Merr Var. Grobogan. Prosiding Seminar Nasional ke-22 Perhimpunan Biologi Indonesia. Jawa Tengah.

Dewi, P.G. dan A.M. Ginting. 2012. Antisipasi krisis pangan melalui kebijakan diversifikasi pangan. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik. 3(1 : 65-78.

Duniaji, A.S., W. Wisaniyasa., N.N. Puspawati., dan N.M. Indri H. 2019. Isolation and identification of rhizopus oligosporus local isolate derived from several inoculum sources. International Journal of Current Microbiology and Applied Sciences. 8(9 :1085-1098.

Dwinaningsih, E.A. 2010. Karakteristik Kimia dan Sensori Tempe dengan Variasi Bahan Baku Kedelai/Beras dan Penambahan Angkak Serta Variasi Lama Fermentasi. Skripsi Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Gomez, K.A. dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Diterjemahkan oleh E. Sjamsuddin dan J.S. Baharsjah. UI-Press, Jakarta.

Hasruddin dan Pratiwi N. 2015. Mikrobiologi Industri. Alfabeta, Bandung.

Hidayat, N., M.C. Padaga dan S. Suhartini. 2006. Mikrobiologi Industri. Andi Offset, Yogyakarta.

Hutalugung, T. Y., R. J. Nainggolan, dan M. Nurminah. 2016.      Pengaruh

Perbandingan Kacang Hijau dan Biji Nangka     Bergerminasi dengan

Konsentrasi Laru terhadap Mutu Tempe. Jurnal Rekayasa Pangan dan Pertanina. Fakultas Pertanian USU. Medan.

Lestari, E. 2005. Pengaruh Penambahan Bekatul Sebagai Bahan Penguisi Tempe Terhadap Kadar Protein Tempe Kedelai. Skripsi S1. Tidak dipublikasikan. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Karsono, Y., A. Tunggal, A. Wiratama dan P. Adimulyo. 2009. Pengaruh Jenis Kultur Strater Terhadap Mutu Organoleptik Tempe Kedelai. Laporan Penelitian (tidak dipubikasikan . Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Kasmidjo, R.B. 1990. TEMPE : Mikrobiologi dan Kimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU Pangan dan Gizi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Komalasari, B. W., Sabarella, Wahyuningsih, S., Manurung, M., Herwulan, M., Sehusman, Supriyati, Y., dan Rinawati. 2017. Statistik Konsumsi Pangan 2017. Jakarta : Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian.

Koswara, S. 2009. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadikan Makanan Bermutu. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Kustyawati, M.E. 2009. Kajian peran yeast dalam pembuatan tempe. Jurnal Agritech. 29(2 .

Kumalasari, R. 2012. Pengaruh Konsentrasi Inokulum terhadap Kualitas Tempe Kedelai (Glycine max (L. Merr Var. Grogoban. Skripsi Fakultas Sains dan Matematika Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.

Madigan, M.T. dan M. J. Martinko. 2006. Brock Biology of Microorganisms. Elevent Edition. Pearson Prentice Hall, Inc. New Jersey.

Maryam, S. 2015. Potensi tempe kacang hijau (Vigna radiata L hasil fermentasi menggunakan inokulum tradisional sebagai pangan fungsional. Jurnal Sains dan teknologi. 4(2 :632-641.

Marzuki, R. dan Soeprapto. 2004. Bertanam Kacang   Hijau. Penebar Swadaya,

Depok.

Maya, R. K. 2017. Pengaruh Penambahan Buah Pepaya Muda Terhadap Kadar Protein, Tekstur dan Rasa Pada Tempe Kedelai Kuning Lokal. Skripsi S1. Tidak dipublikasikan. Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Mudambi, S. R dan M. V. Rajagopal. 1980. Fundamentals of Food and Nutrition. Wiley Easterm Ltd., New Delhi.

Nasution, F.M., Y. Hasanah dan Mariati. 2020. Production response of mung bean (Vigna radiata L. on the application of phosphorus fertilizer and oil palm bunch ash. Jurnal Agricultural. 3(1 :48-55.

Nurrahman, M. Astuti, Suparmo dan M. H. N. E. Soesatyo. 2012. Pertumbuhan jamur, sifat organoleptik    dan aktivitas

antioksidan tempe kedelai hitam yang diproduksi dengan   berbagai jenis

inokulum. Agritech. 32(1 : 60-65.

Pagarra, H. 2009. Laju pertumbuhan jamur rhizopus sp. pada tempe kacang hijau (Phaseolus    radiates L. Jurnal

Pendidikan Biologi. 10(2 .

Saidin, M. 2008. Isolasi Jamur Penghasil Enzim Amilase dari Substrat Ubi Jalar (Ipomea batatas . Skripsi. Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.

Santosa, Ribut. 2020. Analisi daya saing kacang hijau di kecamatan saronggi kabupaten sumenep. Fakultas Pertanian Universitas Wiraraja Madura. Madura. 17(2 .

Sarwono, B. 2004. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya, Jakarta.

Setyawati, R. 2011. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Komposisi Proksimat Tempe Kedelai yang Ditambahkan Tepung Bekatul. Skripsi S1. Tidak dipublikasikan. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Setyani, S., N. Yuliana, dan R. Adawiyah. 2012. Penggunaan Jagung Terfermentasi dan Tempe Kedelai untuk Meningkatkan Mutu dan Nilai Gizi MPASI dalam Upaya Perbaikan Gizi dan Kesehatan Baduta. Laporan Penelirian Stratgis Nasional Tahun Pertama. Universitas Lampung. 95.

Silvia, I. 2009. Pengaruh Penambahan Variasi Berat Inokulum Terhadap Kualitas Tempe Biji Durian (Durio zibhetinus . Skripsi S1. Tidak dipublikasikan. Departemen Kimia Fakultas Matematika

dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sumatera Utara, Medan.

Soekarto, S. T. 1985. Penilaian Organoleptik : untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.

Sofyatin R., K.S. Jaya dan R.H. Lidya. 2013. Studi pembuatan tempe gude dengan berbagai konsentrasi ragi dan lama fermentasi terhadap sifat organoleptik dan sifat kimia. Jurnal Kesehatan Prima. 7(1 : 1058-1066.

Sopandi, T. dan Wardah, 2014. Mikrobiologi Pangan. Andi, Yogyakarta.

Sudarmadji, S., B. Haryono, dan Suhadi. 1997. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.

Suksesty, C. Erty, dan M. Ikhlasiah. 2017. Pengaruh jus campur kacang hijau terhadap peningkatan hormon prolakti dan berat badan bayi. Universitas Muhammadiyah Tenggerang. Jurnal Ilmiah Bidan. 11(3 .

Suprapati, L. 2003. Pembuatan Tempe. Kanisius, Yogyakarta.

Supriyono. 2003. Mengukur Faktor-Faktor dalam Proses Pengeringan. Depdiknas, Jakarta.

Sutrisno, Koswara. 2009. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadikan Makanan Bermutu. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Rahman, A. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. Mikrobiologi Pangan dam Gizi PAU. Bogor.

Rochmah, L. N. 2008. Kajian Kadar Asam Fitat dan Kadar Protein Selama Pembuatan Tempe Kara Benguk (Mucuna Prutriens dengan Variasi Pengecilan Ukuran dan Lama Fermentasi. Skripsi. Fakultas Pertanian UNS. Surakarta.

Rukmana, R. 1997. Kacang Hijau Budidaya dan Pasca Panen. Kanisius, Yogyakarta.

Winanti, R., S.H. Bintari dan D. Mustikaningtyas. 2014. Studi Obervasi Higienitas Produk Tempe Berdasarkan Perbedaan Metode Inokulasi. Skripsi S1. Universitas Negeri     Semarang,

Semarang.

Yartati. 2005. Manfaat kacang hijau untuk kesehatan. UNM-Press, Makassar

132