RELATIONSHIP BETWEEN NLR, CRP AND D-DIMER LEVEL TO DISEASE SEVERITY IN COVID-19 PATIENTS HOSPITALIZED IN WANGAYA PUBLIC HOSPITAL

Avatar of jurnal

ABSTRAK

Penyakit Coronavirus 19 (COVID-19) adalah penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Virus ini berasal dari keluarga Coronaviridae dan bertanggung jawab atas terjadinya wabah penyakit respirasi atipikal akut yang awalnya bermula di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina.1

Sejak dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO pada 11 Maret 2020, infeksi COVID-19 menjadi ancaman yang besar bagi kesehatan manusia karena penyakit ini memakan banyak sumber daya sistem kesehatan.2 Peningkatan kasus dan kematian di Indonesia meningkat secara drastis pada pertengahan Juni 2021.

Jumlah kasus yang meningkat secara dramatis meningkatkan beban sumber daya kesehatan, sehingga penilaian tingkat keparahan penyakit menjadi hal yang penting untuk dilakukan pada kondisi keterbatasan sumber daya di masa pandemi ini. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan antara NLR, kadar CRP dan D-dimer terhadap derajat keparahan penyakit pasien COVID-19 yang dirawat di RSUD Wangaya.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan yang digunakan adalah retrospective pada pasien COVID-19 terkonfirmasi (metode rRT-PCR) yang melakukan pemeriksaan laboratorium darah lengkap.

Penelitian ini menggunakan sampel berjumlah 80 orang pasien COVID-19 yang dirawat selama rentang periode Juni sampai Agustus 2021 di RSUD Wangaya Denpasar. Sampel pasien dengan derajat berat kemudian dibandingkan dengan derajat tidak berat. Dari hasil analisa didapatkan nilai P dari NLR yakni <0,001,CRP <0,001, dan D-dimer 0,004, sehingga terdapat perbedaan bermakna NLR, kadar CRP dan D-dimer pada pasien derajat keparahan penyakit berat dan tidak berat.

Kata Kunci : COVID-19., NLR, CRP, D-dimer.

PENDAHULUAN

Penyakit Coronavirus 19 (COVID-19) adalah penyakit yang sangat menular yang disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Virus ini berasal dari keluarga Coronaviridae dan bertanggung jawab atas terjadinya wabah penyakit respirasi atipikal akut yang awalnya bermula di Wuhan, Provinsi Hubei, Cina.1 Sejak dinyatakan sebagai pandemi oleh WHO pada 11 Maret 2020, infeksi COVID-19 menjadi ancaman yang besar bagi kesehatan manusia karena penyakit ini memakan banyak sumber daya sistem kesehatan.2

Menurut data WHO per Juli 2021 jumlah kasus di seluruh dunia adalah 190 juta kasus dengan jumlah kematian 4 juta orang di seluruh dunia. Untuk di Indonesia sendiri menurut data dari Komite Penanggulangan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, terjadi peningkatan kasus sejak bulan Juni 2021 yaitu jumlah kasus hampir 3 juta dengan lebih dari 70 ribu kematian. Di Bali, jumlah kasus juga mengalami peningkatan menjadi 60 ribu kasus dengan 1700 kematian.3
Peningkatan kasus dan kematian di Indonesia meningkat secara drastis pada pertengahan Juli 2021, dimana terjadi peningkatan kasus sebesar hampir 8 kali lipat. Begitu pula dengan angka kematian, terjadi lonjakan hampir 7 kali lipat.3

Jumlah kasus yang meningkat secara dramatis meningkatkan beban sumber daya kesehatan, sehingga penilaian tingkat keparahan penyakit menjadi hal yang penting untuk dilakukan pada kondisi keterbatasan sumber daya di masa pandemi ini. Stratifikasi risiko awal untuk pasien COVID pada saat admisi di rumah sakit adalah kunci untuk memberikan intervensi yang optimal dan mampu menempatkan sumber daya yang terbatas dengan teliti. Sehingga hal ini dapat memastikan sumber daya yang terbatas tersebut diberikan kepada pasien yang tepat.2

Selain beberapa parameter seperti presentasi klinis, komorbiditas, luasnya infiltrasi secara radiologis, dan kadar oksigenasi pasien dapat menjadi penentu derajat keparahan penyakit, beberapa parameter laboratorium juga menjadi prediktor dan memberikan penilaian tingkat keparahan penyakit pasien. Berbagai penelitian dan meta analisis menunjukkan bahwa terdapat berbagai parameter laboratorium yang dapat digunakan untuk menilai derajat keparahan serta prognosis pasien yakni parameter hematologi, inflamasi, koagulasi, cardiac marker, fungsi liver, otot, renal, serta elektrolit.2

Pemeriksaan hematologi merupakan pemeriksaan penting yang dilakukan secara luas untuk diagnosis dan penilaian derajat keparahan pasien COVID-19. Selain itu, pemeriksaan hematologi juga mampu memberikan gambaran prognosis pasien, di samping itu juga mudah dilakukan dan bisa memberikan hasil yang cepat serta mudah ditemui di fasilitas kesehatan.2

Pada pasien COVID-19 terjadi serangkaian proses inflamasi dalam tubuh. Beberapa bukti menunjukkan bahwa perburukan penyakit pada pasien COVID-19 berkaitan erat dengan disregulasi dan pelepasan sitokin yang berlebihan. Rasio neutrofil-limfosit (neutrophil-lymphocyte ratio/NLR) merupakan parameter stres dan respon imun serta merupakan faktor risiko independen derajat keparahan pasien COVID-19. Selain NLR, parameter inflamasi seperti C Reactive Protein dan parameter koagulasi seperti D-Dimer merupakan faktor risiko independen terhadap perburukan klinis pasien COVID-19.2

Dengan mengetahui pentingnya peran dari pemeriksaan parameter hematologi, inflamasi dan koagulasi dalam menentukan derajat keparahan dan prognosis pasien COVID-19 serta sifatnya yang simpel, cepat dan tersedia luas, dan dapat dilakukan sejak awal penyakit, sehingga perlu dilakukan penelitian terhadap parameter tersebut terutama neutrophil-lymphocyte ratio (NLR), C Reactive Protein (CRP), dan D-dimer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara neutrophil-lymphocyte ratio (NLR), C Reactive Protein (CRP), D-dimer terhadap derajat keparahan penyakit pasien COVID-19 yang dirawat di RSUD Wangaya.

CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19)

Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Coronavirus. Penyakit ini berawal dari munculnya kasus atipikal pneumonia di Provinsi Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Setelah dilakukan penyelidikan epidemiologi, pada tanggal 7 Januari 2020, pemerintah China kemudian mengumumkan bahwa penyebab kasus tersebut adalah Coronavirus jenis baru yang dinamakan SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Meskipun berasal dari famili yang sama dengan SARS dan MERS, namun SARS-CoV-2 lebih menular.4

Kasus COVID-19 di Indonesia pertama kali dilaporkan pada tanggal 2 Maret 2020 dan jumlahnya terus meningkat. Usia lanjut dan adanya penyakit komorbid merupakan faktor risiko penyakit yang lebih berat bahkan kematian. Faktor lain yang mempengaruhi risiko kematian yakni penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit pernapasan kronis, hipertensi, dan kanker.4

Coronavirus adalah virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak bersegmen dengan panjang mulai dari 26 Kb hingga 32 Kb, yang merupakan genom terpanjang yang diketahui di antara virus RNA. Coronavirus terdiri dari 4 struktur protein utama yakni protein N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran), glikoprotein spike S (spike), protein E (selubung).4 Penularan COVID-19 terjadi melalui droplet dala jarak 1 meter pada seseorang yang bergejala yang dapat mengenai bagian mukosa mulut dan hidung serta konjungtiva mata. Penularan secara tidak langsung juga dapat terjadi pada permukaan benda yang terkontaminasi droplet.4

Siklus hidup virus SARS-CoV-2 terdiri dari beberapa langkah yakni perlekatan (attachment), penetrasi (penetration), bio sintesis materi genetik, maturasi, dan pelepasan virion. Ketika virus berikatan dengan reseptor host (attachment), virus kemudian masuk ke dalam sel host melalui endositosis atau fusi membran (penetration). Ketika konten virus dilepas ke dalam sel host, RNA virus memasuki nukleus untuk replikasi.

MRNA virus kemudian digunakan untuk membuat protein virus (biosintesis). Dan terakhir, partikel virus baru dibuat (maturasi) untuk kemudian dilepas.5 Berdasarkan berbagai literatur yang dipublikasikan, patogenesis COVID-19 terjadi melalui 3 fase yakni fase pulmoner, fase proinflamasi dan fase protrombotik.6

Berdasarkan studi epidemiologi, pada awal pandemi, 40% pasien COVID-19 menderita gejala ringan, 40% menderita gejala sedang seperti pneumonia, 15% pasien akan mengalami penyakit parah, serta 5% kasus akan mengalami kondisi kritis.6

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium, pencitraan, tes diagnostik cepat berbasis antigen dan antibodi, serta pemeriksaan molekuler. WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler terhadap sampel saluran respirasi untuk identifikasi dan konfirmasi laboratorium kasus COVID-19. Diagnosis pasti adalah dengan metode deteksi molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti pemeriksaan RT-PCR (Reverse Transcription-Polymerase Chain Reaction).7

Sebuah meta analisis yang dilakukan oleh Zhang dkk, menemukan bahwa dari 4.663 pasien di China, hasil temuan laboratorium yang paling banyak dijumpai yakni peningkatan C Reactive protein (CRP;) diikuti dengan penurunan kadar albumin, peningkatan erythrocyte sedimentation rate (ESR), penurunan eosinofil, peningkatan interleukin-6, limfopenia, dan peningkatan laktat dehidrogenase.8

Download

Full Article

Last Updated on 28 Februari 2023

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Previous Post

Angka kejadian nyeri kepala pasca anestesia spinal pada pasien paskaoperasi seksio sesarea

Next Post

KORELASI HIPERTROFI KONKA INFERIOR TERHADAP DERAJAT DEVIASI SEPTUM NASI MENGGUNAKAN MODALITAS CT SCAN PADA PASIEN DEVIASI SEPTUM NASI

Related Posts