POTENSI EKSTRAK DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon aristatus) DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Malassezia furfur SECARA IN VITRO
on

ISSN: 2597-8012 JURNAL MEDIKA UDAYANA, VOL. 12 NO.10,OKTOBER, 2023

Diterima: 2023-01-01 Revisi: 2023-05-30 Accepted: 25-08-2023
POTENSI EKSTRAK DAUN KUMIS KUCING (Orthosiphon aristatus) DALAM MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Malassezia furfur SECARA IN VITRO
Rafi Thoriq Akbar1*, Yuni Setyaningsih2, Tri Faranita3, Maria Selvester Thadeus4
-
1. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasiolan “Veteran” Jakarta
-
2. Departemen Parasitologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasiolan “Veteran” Jakarta
-
3. Departemen Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasiolan “Veteran” Jakarta
-
4. Departemen Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasiolan “Veteran” Jakarta
*e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Dermatomikosis dengan frekuensi tertinggi kedua di Indonesia adalah pitiriasis versikolor yang disebabkan oleh jamur Malassezia furfur. Obat berbahan kimia dapat memiliki efek resisten dan berbahaya bagi kesehatan bila digunakan dalam waktu lama. Daun kumis kucing mengandung zat bioaktif yang diketahui memiliki kemampuan menekan perkembangan jamur, antara lain tanin, alkaloid, saponin, flavonoid, fenolik, glikosida, triterpenoid, dan steroid. Tujuan dari penelitian ini untuk memastikan apakah ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus) dapat secara efektif menghentikan pertumbuhan jamur M. furfur. Penelitian ini menggunakan rancangan kelompok post test dan termasuk dalam kategori penelitian eksperimen murni yang dilakukan secara in vitro di laboratorium. Metode difusi sumuran digunakan untuk uji aktivitas antijamur. Pertumbuhan M. furfur sebagai variabel terikat dalam uji aktivitas antijamur yang menggunakan metode difusi sumuran dan variabel bebas berupa konsentrasi ekstrak 1,25%, 2,5%, 5%, 10%, dan 25%. Variabel kontrol terdiri dari kontrol positif ketokonazol 2% dan kontrol negatif larutan DMSO. Uji Post-Hoc Mann-Whitney digunakan setelah uji statistik Kruskal-Wallis. Pada 24 dan 48 jam dilakukan pengamatan zona hambat. Hasilnya menunjukkan bahwa daun kumis kucing berhasil mencegah pertumbuhan M. furfur, dengan zona hambat rata-rata terbesar adalah 5,99 mm pada konsentrasi 10%, sehingga menghasilkan perbedaan signifikan pada hasil uji statistik.
Kata Kunci : Ekstrak daun kumis kucing., Malassezia furfur., pitiriasis versikolor.
ABSTRACT
Pityriasis versicolor, caused by the fungus Malassezia furfur, is the second most common dermatomycosis in Indonesia. Chemical-based drugs can have detrimental effects if used for a long time. Java tea leaves contain bioactive substances that are known to have the ability to suppress fungal growth, including tannins, alkaloids, saponins, flavonoids, phenolics, glycosides, triterpenoids, and steroids. The purpose of this study was to determine whether the extract of the leaves of the java tea (Orthosiphon aristatus) can effectively stop the growth of the fungus M. furfur. This study used a post-test group design and was included in the category of pure experimental research conducted in vitro in the laboratory. The well-diffusion method was used to test the antifungal activity. The growth of M. furfur was the dependent variable in the antifungal activity test using the well diffusion method, and the independent variables were extract concentrations of 1.25%, 2.5%, 5%, 10%, and 25%. The control variables consisted of a positive control of 2% ketoconazole and a negative control of DMSO solution. The Mann-Whitney post-hoc test was used after the Kruskal-Wallis statistical test. At 24 and 48 hours, the inhibition zone was observed The findings indicated that the java tea leaves succeeded in preventing the growth of M. furfur, with the largest average inhibition zone being 5.99 mm at a concentration of 10%, resulting in a significant difference in the statistical test results.
Keywords : Pityriasis versicolor., Malassezia furfur., Java tea leaf extract
PENDAHULUAN
Dermatomikosis superfisialis merupakan salah satu infeksi yang diakibatkan oleh jamur. Infeksi ini terjadi pada kulit, rambut, serta kuku manusia yang terinfeksi oleh jamur patogen. Sesuai dengan penyebutannya yaitu superfisialis, infeksi ini hanya menyerang bagian superfisial, bila didasarkan pada patogenesis dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu dermatofitosis, pitiriasis versikolor (PV), dan kandidiasis.1 Prevalensi PV diperkirakan antara 40% dan 50% di negara tropis seperti Indonesia, namun tidak diketahui secara pasti seberapa umum dermatomikosis superfisial dari kelompok pitiriasis versikolor.2,3 Selain itu, dermatomikosis tersering kedua di Indonesia adalah pitiriasis versikolor. Orang dengan kehidupan sosial ekonomi yang buruk sering dilaporkan terkena infeksi ini, yang terkait erat dengan seberapa baik mereka menjaga kebersihan pribadinya.4Infeksi pitiriasis versikolor
disebabkan oleh jamur Mallasezia furfur. Genus Mallasezia merupakan golongan jamur dimorfik lipofilik dan tergolong sebagai flora normal manusia. Mikroorganisme ini akan berubah menjadi patogen dengan mengandalkan sebum manusia serta lingkungan yang sesuai.5 Jamur ini dapat diisolasi dengan menggores dan ditemukan hampir di semua bagian tubuh, tetapi sangat umum di lokasi dengan banyak kelenjar minyak, seperti kulit kepala, punggung, dan dada.6Secara umum pengobatan dari infeksi PV akibat Malassezia furfur dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu pengobatan secara oral atau bisa dianggap sebagai terapi sistemik, serta pengobatan topikal.7 Pengobatan oral sering dikaitkan dengan adanya efek samping yang serius bagi pasien. Salah satu jenis obat yang sering digunakan yaitu ketokonazol oral. Dahulu obat ini merupakan Gold standard bagi infeksi PV, akan tetapi kini tidak lagi disarankan di Kanada, Amerika Serikat, serta Eropa dikarenakan memiliki efek samping hepatotoksik.8Dengan penggunaan terapi topikal maupun sistemik, jamur Malassezia furfur mudah untuk dibasmi, akan tetapi karena organisme ini merupakan flora normal, tidak menutup kemungkinan untuk terjadi kekambuhan secara cepat. Resistensi dan efek samping juga muncul akibat penggunaan obat kimia dalam jangka panjang. Oleh karena itu, penggunaan ekstrak tumbuhan dalam mengatasi PV menjadi salah satu pilihan.9Tanaman kumis kucing yang juga dikenal dengan Orthosiphon aristatus ini sering digunakan dalam pengobatan tradisional. Tanaman ini adalah anggota dari keluarga Lamiaceae serta memiliki beberapa nama yang berbeda. Pada negara Malaysia disebut Misai Kucing dan pada negara Eropa dikenal dengan Java
Tea. Pada negara tropis daun kumis kucing tumbuh secara liar sehingga banyak dimanfaatkan sebagai tanaman obat.10 Etanol, tanin, saponin, garam kalium, asam organik, flavonoid, glikosida, dan flavonol, merupakan zat bioaktif yang terkandung dalam daun kumis kucing dan diduga memiliki sifat antihelmintik.11,12 Senyawa bioaktif saponin serta tannin diketahui memiliki efek sebagai antijamur.13 Sementara itu, flavonoid juga diketahui memiliki sifat antioksidan, antivirus, antibakteri, antiinflamasi, dan antikanker.10 Pertumbuhan jamur Candida albicans menurut penelitian sebelumnya dapat dicegah dengan minyak atsiri yang terdapat pada daun kumis kucing.14 Khasiat daun kumis kucing sampai saat ini belum pernah dilakukan uji coba terhadap pertumbuhan jamur Malassezia furfur. Maka dari itu, peneliti memiliki keinginan untuk melihat apakah ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus) efektif dalam menghentikan perkembangbiakan jamur Malassezia furfur secara in vitro.
BAHAN DAN METODE
Laboratorium Mikrobiologi dan Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta merupakan tempat penelitian setelah produksi ekstrak selesai di Balai Penelitian Tumbuhan Rempah dan Obat (BALITTRO). Rancangan penelitian yang digunakan ialah rancangan kelompok kontrol post-test tanpa kelompok kontrol lain sehingga termasuk dalam penelitian eksperimental. Pertumbuhan Malassezia furfur diteliti dengan menggunakan ekstrak Orthosiphon aristatus dengan kadar 1,25%, 2,25%, 5%, 10%, dan 25% serta
kelompok kontrol berupa ketoconazole 2% sebagai kontrol positf dan larutan DMSO sebagai kontrol negaitif. Daun kumis kucing diuji khasiat antijamurnya dengan melihat zona hambat berwarna bening yang berkembang di sekitar lubang sumur.Terdapat tujuh kelompok perlakuan, dimana kelompok tersebut akan diuji, dievaluasi, dan diamati efektivitas daya hambat dari lima kelompok ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus) yang memiliki kadar sebesar 1,25%, 2,5%, 5%, 10%, dan 25%, serta dua
kelompok kontrol, satu menggunakan DMSO sebagai kontrol negatif dan kelompok kontrol positif dengan ketokonazole 2%. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan metode Federer, jumlah pengulangan tiap kelompok adalah empat kali.15
Rumus Federer :(t-1)(n-1) ≥ 15
Keterangan :
t = Merupaka jumlah perlakuan
n= Merupakan jumlah pengulangan pada tiap perlakuan
Alat dan Bahan yang digunakan:
Hand scoon, tabung reaksi, gelas beaker, gelas ukur, bunsen, korek api, batang pengaduk, pelat sumur, jarum suntik, pinset, rak tabung, cawan petri, ose steril, autoklaf, aluminium foil, tisu, penggaris, jangka sorong digital, dan timbangan digital adalah peralatan yang dipakaI dalam penelitian. Sedangkan ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon aristastus), kultur jamur Malassezia furfur, sabouraud dextrose agar (SDA), larutan aquades, larutan etanol 70%, ketokonazole 200 mg, kloramfenikol 500 mg, NaCl 0,9%, sediaan suspensi standar 0,5 mcfarland, dan larutan DMSO merupakan bahan yang dipakai dalam penelitian.
Pembuatan kelompok perlakuan:
Daun kumis kucing (O. aristatus) yang telah menjadi ekstrak murni, kemudian akan dilakukan pengenceran sesuai dengan persentase yang diinginkan yaitu 1,25%, 2,5% ,5% ,10%, dan 25%. Proses pengenceran dilakukan dengan melarutkan ekstrak sesuai konsentrasi dengan larutan DMSO hingga mencapai volume 10ml.
Perlakuan kontrol positif dibuat dengan menggunakan larutan ketokonazol 2%, dimana untuk mendapatkan larutan ketokonazol 2%, didapatkan dengan melarutkan ketokonazol 200 mg, kemudian dicampurkan dengan larutan aquades 10 ml.13 Sedangkan kontrol negative menggunakan larutan DMSO sesuai dengan persentase yang sudah ditentukan. Penggunaan DMSO didasari oleh sering tidak melarutnya ekstrak dengan larutan aquades sehingga diperlukan pelarut alternatif yaitu DMSO (Dimetil sulfoksida). DMSO memiliki toksisitas rendah sehingga kemampuannya tidak mengganggu pengujian antimikroba. 16
Pembuatan media dan sumuran
Pembuatan media dilakukan dengan membuat dua lapisan agar pada cawan petri. Metode ini juga dapat disebut dengan metode double layer.
Media agar SDA yang digunakan akan dibuat dengan melarut media SDA yang normal dengan larutan kloramfenikol, kemudian campuran dipanaskan hingga matang. Media SDA yang telah matang akan dituangkan di atas cawan petri untuk membuat lapisan pertama yang selanjutnya akan ditancapkan plat silinder diatas media SDA lapis pertama hingga memadat. Selanjutnya menuang lapisan kedua yang berisi media SDA larut yang telah dicampurkan suspensi jamur. Setelah kedua lapisan telah memadat dan terbentuk menjadi 2 layer, cabut plat silinder sehingga terbentuk sumuran.
Uji Efektivitas Daun Kumis Kucing:
Dalam pengujian efektivitas ekstrak daun kumis kucing, digunakan metode difusi sumuran. Pengujian akan dilakukan dengan menempatkan konsentrasi yang diuji ke dalam sumur yang terbentuk setelah persediaan dan peralatan yang diperlukan telah disiapkan, dan kemudian dibiarkan selama dua kali dua puluh empat jam pada suhu kamar. Setiap konsentrasi menerima pengulangan empat kali. Tiga belas cawan petri diperlukan untuk penyelidikan ini, lima di antaranya digunakan untuk kelompok perlakuan dan dua sisanya untuk kelompok kontrol.
Analisis Data
Data yang didapatkan selanjutnya diolah serta dianalisis untuk melihat adakah perbedaan efektvitas yang memiliki makna dari masing-masing zona di sekitar sumuran yang dibuat. Uji Post-Hoc Mann-Whitney digunakan setelah uji statistik Kruskal-Wallis. Penggunaan uji ini diambil karena salah satu persyaratan One Way ANOVA tidak terpenuhi. .17
HASIL
Setelah diekstrak dari daun kumis kucing dengan proses maserasi dan pelarut etanol 70%, selanjutnya dilakukan uji fitokimia (uji kualitatif) di BALITTRO. Daun kumis kucing diketahui mengandung zat aktif berupa alkaloid, saponin, tanin, fenolat, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida berdasarkan temuan uji fitokimia.
Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia
No. |
Jenis Contoh |
Hasil |
Metode Pengujian | |
1 |
Ekstrak |
Alkaloid |
+ |
MMI Jilid |
Daun |
Saponin |
+ |
VI, Tahun | |
Kumis |
Tanin |
+ |
1995 | |
Kucing |
Fenolik |
+ |
Lampiran 16 | |
Flavonoid |
+ | |||
Triterpenoid |
+ | |||
Steroid |
+ | |||
Glikosida |
+ |
Zona hambat yang tampak pada penelitian, dilakukan pengukuran pada dua puluh empat jam pertama dan empat puluh delapan jam setelah dilakukannya injeksi ekstrak daun kumis kucing ke dalam sumuran yang sebelumnya telah dibentuk. Tabel 2 dan Tabel 3 menunjukkan hasil pengukuran lebar zona hambat setelah dua puluh empat dan empat puluh delapan jam pengamatan.
Pengamatan selama 24 jam menunjukkan bahwa kultur M. furfur yang diberi perlakuan ekstrak daun kumis kucing pada konsentrasi 1,25, 2,25, 5, 10, dan 25% memiliki zona hambat dengan lebar diameter rata-rata 2,31 mm, 2,59
mm, 3,487 mm, 5,99 mm, dan 4,22 mm (Tabel 2). Konsentrasi optimal untuk mencegah perkembangan jamur, sesuai dengan rata-rata diameter masing-masing konsentrasi adalah 10%. (Tabel 2). Pada kelompok perlakuan kontrol positif yaitu ketokonazole 2%, didapatkan efektivitas antifungi dengan rata – rata diameter daya hambat sebesar 37, 94 mm (Tabel 2), sedangkan pada kontrol negatif yaitu larutan DMSO, hasil pengukuran diameter rata – rata ialah 0 mm (Tabel 2), hal ini menunjukkan bahwa kontrol negatif tidak mampu mencegah pertumbuhan M. furfur.
Tabel 2. Hasil Rata – rata diameter zona hambat pada pengamatan 24 jam Diameter Pengulangan
Zona Hambat
1 |
2 |
3 |
4 |
Rata-Rata | |
1,25% |
3,07 |
2,48 |
2,2 |
1,49 |
2,31 |
2,5% |
3,25 |
2,63 |
1,75 |
2,73 |
2,59 |
5% |
4,68 |
2,96 |
2,96 |
3,35 |
3,487 |
10% |
5,81 |
7,08 |
5,06 |
6,01 |
5,99 |
25% |
4,16 |
3,08 |
3,88 |
5,77 |
4,22 |
K (+) |
48,07 |
37,08 |
34,03 |
32,58 |
37,94 |
K (-) |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
Rata-rata diameter zona hambat yang dihasilkan pada masing-masing konsentrasi selama periode pengamatan 48 jam adalah 2,53 mm, 3,345 mm, 3,245 mm, 3,52 mm, dan 3,32 mm (Tabel 3). Diketahui bahwa konsentrasi optimal untuk mencegah perkembangan jamur tetap pada konsentrasi 10% dengan diameter rata-rata 3,52
mm. Akan tetapi pada pengukuran kedua, diperoleh diameter yang meningkat pada konsentrasi 1,25 dan 2,5 persen, dimana hal ini dapat mengindikasikan bahwa konsentrasi kecil ekstrak daun kumis kucing (M. furfur) memiliki kemampuan antijamur yang lebih tahan lama daripada konsentrasi besar.
Tabel 3. Hasil Rata – rata diameter zona hambat pada pengamatan 48 jam
Diameter Zona Hambat |
Pengulangan | ||||
1 |
2 |
3 |
4 |
Rata- | |
Rata | |||||
1,25% |
2,74 |
2,46 |
2,56 |
2,37 |
2,53 |
2,5% |
3,56 |
3,44 |
3,32 |
3,06 |
3,345 |
5% |
3,42 |
2,69 |
3,01 |
3,86 |
3,245 |
10% |
3,38 |
3,77 |
3,51 |
3,42 |
3,52 |
25% |
2,67 |
3,16 |
3,25 |
4,23 |
3,32 |
K (+) |
47,96 |
36,98 |
34,03 |
32,48 |
37,86 |
K (-) |
0 |
0 |
0 |
0 |
0 |
Hasil |
uji |
Kruskal-Wallis digunakan untuk | |||
Uji analisis data digunakan untuk mengetahui |
mendapatkan nilai Asymp. Tabel 4 menunjukkan bahwa Sig | ||||
apakah teradapat perbedaan secara signifikan pada tiap |
(P-Value) adalah 0,000 setelah 24 jam serta 0,001 setelah 48 | ||||
kelompok perlakuan. Teknik uji alternatif Kruskal-Wallis |
jam pada tabel 5. Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa | ||||
digunakan dalam analisis data penelitian |
ini, kemudian |
setidaknya sepasang |
kelompok dalam penelitian ini | ||
digunakan uji Post-Hoc Mann Whitney. |
memiliki perbedaan rata-rata yang signifikan. |
Tabel 4. Hasil uji Kruskal-Wallis pada pengamatan 24 jam
Diameter zona hambat 24 Jam
Kruskal-Wallis |
24,688 |
Df |
5 |
Asymp. Sig. |
0,000 |
Tabel 5. Hasil uji Kruskal-Wallis pada pengamatan 48 jam Diameter zona hambat 48 Jam | |
Kruskal-Wallis |
21,873 |
Df |
6 |
Asymp. Sig. |
0,001 |
Uji Post-Hoc Mann-Whitney dipakai untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki rata-rata berbeda secara signifikan dengan kelompok lain. Diketahui bahwa data memiliki P Value sebesar < 0,05 pada 24 jam pengamatan antaralain kelompok kontrol dengan semua
kelompok percobaan dan kelompok konsentrasi 10% dengan semua kelompok percobaan. Sehingga setiap pasangan memiliki rata-rata luas zona hambat yang signifikan (Tabel 6).
Tabel 6. Hasil uji Post-Hoc Mann-Whitney pada pengamatan 24 jam
Kelompok |
Asymp. Sig. (2-tailed) |
Konsentrasi 1,25% |
Konsentrasi 2,5% 0,386 Konsentrasi 5% 0,081 Konsentrasi 10% 0,021 Konsentrasi 25% 0,021 Kontrol positif 0,021 Kontrol negative 0,014 |
Konsentrasi 2,5% |
Konsentrasi 5% 0,081 Konsentrasi 10% 0,021 Konsentrasi 25% 0,043 Kontrol positif 0,021 Kontrol negative 0,014 |
Konsentrasi 5% |
Konsentrasi 10% 0,020 Konsentrasi 25% 0,245 Kontrol positif 0,020 Kontrol negative 0,013 |
Konsentrasi 10% |
Konsentrasi 25% 0,043 Kontrol positif 0,021 Kontrol negative 0,014 |
Konsentrasi 25% |
Kontrol positif 0,021 Kontrol negative 0,014 |
Pada pengamatan 48 jam didapatkan hasil uji Hal ini menunjukkan bahwa luas zona hambat rata-rata
berupa data yang memiliki P Value < 0,05 pada Asymp. bervariasi secara signifikan di setiap pasangan. Namun,
Sig. 2-Tailed adalah kelompok pasangan konsentrasi kelompok lain memiliki Nilai P > 0,05, dapat diartikan
terhadap kontrol positif, terhadap kontrol negatif, dan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan (Tabel 7).
kelompok 1,25% dengan berbagai pasangan konsentrasi.
Tabel 7. Hasil uji Post-Hoc Mann-Whitney pada pengamatan 48 jam
Kelompok |
Asymp. Sig. (2-tailed) |
Konsentrasi 1,25% |
Konsentrasi 2,5% 0,000 Konsentrasi 5% 0,043 Konsentrasi 10% 0,021 Konsentrasi 25% 0,043 Kontrol positif 0,021 Kontrol negative 0,014 |
Konsentrasi 2,5% |
Konsentrasi 5% 0,564 Konsentrasi 10% 0,386 Konsentrasi 25% 0,564 Kontrol positif 0,021 Kontrol negative 0,014 |
Konsentrasi 5% |
Konsentrasi 10% 0,468 Konsentrasi 25% 1,000 Kontrol positif 0,021 Kontrol negative 0,014 |
Konsentrasi 10% |
Konsentrasi 25% 0,248 Kontrol positif 0,021 Kontrol negative 0,014 |
Konsentrasi 25% |
Kontrol positif 0,021 Kontrol negative 0,014 |
Kontrol positif |
Kontrol negative 0,014 |
PEMBAHASAN
Efisiensi daun kumis kucing dalam mencegah perkembangan Malassezia furfur diamati dan dinilai berdasarkan diameter zona hambat yang dihasilkan. Munculnya daerah bening di sekitar sumur dimana konsentrasi yang akan diuji diteteskan merupakan tanda terbentuknya zona hambat.Menurut penelitian yang telah dilakukan, daun kumis kucing memiliki kemampuan menekan perkembangan Malassezia furfur. Hasil penelitian, yang menunjukkan zona hambat yang mengelilingi sumur pada setiap konsentrasi, membuktikan kemampuan ini. Hasil penelitian memberikan hasil bahwa daun kumis kucing dengan ekstrak 10% pada pengamatan 24 jam memiliki rata-rata sebesar 5,99 mm dan pengamatan 48 jam sebesar 3,52 mm memiliki pengaruh terbaik dalam menghambat M. furfur. Sedangkan pada konsentrasi 25%
didapatkan perhitungan diameter zona hambat yang lebih kecil dibandingkan 10%. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Hayati dari tahun 2017. Pada penelitian sebelumnnya menunjukkan kemampuan antijamur menurun dengan meningkatnya dosis ekstrak. Penyebab kemungkinan ini dikarenakan semakin tinggi konsentrasi dapat menyebabkan resistensi sel jamur, serta adanya interaksi senyawa aktif dan nonaktif pada ekstrak daun kumis kucing (O. aristatu) yang dapat melemahkan potensi antimikroba yang ada pada ekstrak tersebut. Peningkatan konsentrasi senyawa non aktif yang terlarut dalam medium dapat mengakibatkan penurunan aktivitas senyawa aktif (minyak atsiri).12Pengamatan yang diperoleh kemudian dapat diklasifikasikan ke dalam zona hambatan mulai dari yang terkecil hingga terbesar. Klasifikasi yang digunakan ialah Davis & Stout, dimana ada empat kelas klasifikasi (Tabel 8).18
Tabel 8. Klasifikasi zona hambat Davis & Stout
Diameter Zona Hambat |
Jenis Hambatan |
≤ 5 mm |
Hambatan Lemah |
5 – 10 mm |
Hambatan Sedang |
10 – 20 mm |
Hambatan Kuat |
≥ 20 mm |
Hambatan Sangat Kuat |
Menurut rata- rata diameter zona hambat dan klasifikasi dari Davis & Stout, seperti hasil yang telah diamati, penghambatan lembah terjadi pada dosis 1,25 persen, 2,5%, 5%, dan 25%, dengan zona penghambatan rata-rata kurang dari 5 mm. Akan tetapi, pada konsentrasi 10% memiliki jenis hambatan sedang dengan diameter 5,99 mm pada pengamatan 24 jam. Sedangkan pada kontrol positif ketoconazole 2% didapatkan rata-rata zona hambat dengan daya hambat yang sangat kuat.
Setelah mendapatkan hasil penelitian, selanjutnya data yang diperoleh dilanjutkan dengan pengolahan data melalui uji alternatif Kruskal-Wallis. Hasil yang diperoleh dari uji Kruskal-Wallis sesuai tabel 4 dan 5, dimana hasil yang didapatkan adalah penelitian efektivitas ekstrak daun kumis kucing memiliki hasil nilai Asymp. Sig. 0,000 (P Value < 0,05). Uji dilanjutkan untuk melihat tujuan apakah ada perbedaan yang signifikan antara pasangan kelompok dengan menggunakan uji Post-HocMann-Whitney.
Pada tabel 6 dan 7 yang menunjukan hasil uji Post-Hoc Mann-Whitney didapatkan adanya perbedaan signifikan pada beberapa pasangan kelompok perlakuan. Pada pengamatan 24 dan 48 jam, memilki perbedaan yang mencolok antara kedua kelompok, pada kontrol positif dan kontrol negatif dengan seluruh kelompok percobaan.
Sementara itu didapatkan adanya perbedaan signifikan yang terjadi pada kelompok 10% dengan berbagai pasangan konsentrasi untuk pengamatan 24 jam, namun untuk pengamatan 48 jam tidak terdapat perbedaan signifikan. Pada tabel 7 didapatkan adanya perbedaan signifikan yang terjadi pada kelompok 1,25% dengan berbagai pasangan konsentrasi. Adanya perbedaan signifikan memiliki arti bahwa kelompok tersebut memiliki perbedaan efektivitas yang signifikan.
Kemampuan daun kumis kucing sebagai antijamur dikuatkan dengan penelitian sebelumnya. Sifat antijamur daun kumis kucing telah dibuktikan oleh penelitian Jaluri dan Ngazizah pada tahun 2017. Penelitian tersebut menggunakan ekstrak daun kumis kucing memiliki konsentrasi 1,25%, 2,5%, 5%, dan 10% terhadap jamur Candida albicans, dan hasil penelitian menunjukkan terbentuknya zona hambat, untuk konsentrasi 10% memiliki diameter zona hambat terbesar adalah 20,25 mm. 14 Selain itu, penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Hayati, 2017 diketahui bahwa ekstrak daun kumis kucing pada konsentrasi 25% efektif dalam menghambat pertumbuhan Candida albicans pada media SDA dengan metode perhitungan sel hidup dan mati secara langsung menggunakan alat hitung hemositometer.12
Berdasarkan adanya bahan kimia bioaktif pada ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus), ekstrak daun kumis kucing efisien dalam mencegah pertumbuhan jamur Malassezia furfur. Diketahui bahwa daun kumis kucing mengandung zat aktif seperti flavonoid, triterpenoid, steroid, alkaloid, saponin, tanin, fenolik dan glikosida berdasarkan temuan uji fitokimia yang dilakukan di BALITTRO. Dalam penelitian sebelumnya diketahui bahwa daun kumis kucing mempunyai suatu senyawa yang menjadi ciri khas yang disebut sebagai senyawa marker.19 Senyawa marker merupakan suatu senyawa yang dimiliki hanya pada tanaman tertentu saja. Dalam daun kumis kucing terdapat senyawa marker berupa flavonoid sinensetin dengan jumlah < 1,10%.19
Alkaloid merupakan suatu senyawa yang termasuk kedalam metabolit sekunder yang biasanya ditemukan pada tanaman. Satu atau lebih atom nitrogen dapat ditemukan dalam zat ini. Kemampuan alkaloid sebagai antimikroba telah diketahui berdasarkan penelitian sebelumnya dimana alkaloid dari tanaman bunga poppy (Papaver rhoeas L) yang telah diekstrak aktif menghambat pertumbuhan E. coli, P. mirabilis,K. pneumoniae, P. aeruginosa, S. aureus, S. epidermidis, Candida parapsilosis, Candida albicans, dan Candida tropicalis.20 Alkaloid akan menghambat respirasi sel, serta mengubah rantai DNA dari jamur dengan bereaksi dengan asam amino dan enzim DNA, RNA polymerase. Alkaloid juga bersifat fungisida, yang memiliki kemampuan untuk mendenaturasi protein yang ditemukan di dinding sel jamur.21, 22
Saponin merupakan senyawa glikosida yang memiliki efek antijamur dengan cara menurunkan tekanan permukaan membran sel. Dengan menurunnya tekanan permukaan membrane sel, permeabilitas sel jamur akan terganggu dan dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein. Selain itu saponin dapat mengikat ergosterol sehingga struktur pada jamur berubah.23
Tanin merupakan senyawa polifenol dengan berat molekul fenol yang tinggi. Tanin memiliki efek sebagai antijamur dengan cara menghambat sintesis dari zat kitin. Zat kitin berkontribusi pada perkembangan dinding sel jamur. Dengan adanya tannin akan membuat membran sel jamur rusak sehingga menghentikan proliferasi sel jamur.24
Fenolik merupakan senyawa alami yang paling banyak didistribusikan oleh tumbuhan. Senyawa fenolik dapat digolongkan menjadi dua jenis, yaitu flavonoid dan nonflavonoid. Senyawa ini dapat merusak serta menembus dinding sel jamur, kemudian Ion H+ yang terkandung dalam fenol akan menyerang gugus polar dan mengakibatkan terurainya molekul fosfolipid yang dapat berubah menjadi http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum doi:10.24843.MU.2023.V12.i10.P01
asam fosfat, asam karboksilat, dan gliserol. Dalam keadaan ini dapat memicu terjadinya kebocoran pada membrane sel jamur dan mengakibatkan kerusakan hingga kematian sel jamur.25
Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder dan digolongkan ke dalam senyawa polifenol. Sebagai senyawa antijamur, flavonoid bekerja dengan memengaruhi ketahanan dari membran plasma sehingga menstimulasi terjadinya disfungsi pada mitokondria. Adanya kerusakan pada membran diakibatkan oleh berikatannya senyawa flavonoid pada protein dan enzim ekstraseluler jamur. Selain itu, flavonoid juga dapat menghambat bermacam mekanisme, yaitu proses pembentukan dinding sel, pembelahan sel, serta sintesis protein.26
Steroid / Triterpenoid merupakan senyawa yang berkerja dengan cara berkolaborasi dengan membrane fosfolipid sel pada jamur. Membran ini memiliki sifat impermeable terhadap senyawa yang memiliki sifat lipofilik, yang menyebabkan kekuatan dari membran melemah. Apabila kekuatan membrane melemah secara terus menerus, akan menyebabkan sel menjadi rapuh dan berakhir dengan terjadinya lisis atau kematian.27
Dalam daun kumis kucing (O.aristatus), senyawa yang paling banyak terkandung ialah flavonoid. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya mengenai hasil uji kuantitatif senyawa bioaktif daun kumis kucing, didapatkan senyawa flavonoid dengan rata-rata total senyawa sebesar 1,4977 % melalui sampel eksrtak air, dan 1,1858 % melalui sampel ekstrak etanol.28 Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa flavonoid merupakan komponen yang paling berpengaruh dalam mencegah pertumbuhan M. furfur diantara beberapa zat aktif yang berada pada daun kumis kucing (O.aristatus).
SIMPULAN DAN SARAN
Ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus) memiliki efektivitas dalam menghambat pertumbuhan Malassezia furfur secara in vitro dengan metode difusi sumuran. Pada konsentrasi 1,25%, 2,5%, 5% dan 25% ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus) memiliki daya hambat rendah, sedangkan pada konsentrasi 10% memiliki daya hambat sedang, hal ini sesuai dengan hasil uji statistik dimana pada pengamatan 24 jam terdapat perbedaan signifikan antara konsentrasi 10% dengan pasangan konsentrasi lain. Konsentrasi ekstrak daun kumis kucing (Orthosiphon aristatus) yang paling efektif dalam menghambat Malassezia furfur adalah pada konsentrasi 10%.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan disarankan dapat dilakukan penelitian mengenai uji daya hambat senyawa metabolit yang terkandung dalam daun kumis kucing terhadap jamur M. furfur, uji daya hambat pada ekstrak daun kumis kucing terhadap jamur jenis lain, uji determinasi tumbuhan untuk memastikan ekstrak daun kumis kucing dari tumbuhan kumis kucing, uji kuantitatif untuk mengukur kadar dari alkaloid, saponin, tannin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid, serta glikosida yang terkandung dalam ekstrak daun kumis kucing, dan uji toksisitas pada ekstrak daun kumis kucing.
DAFTAR PUSTAKA
-
1. Noviandini A, Suyoso S, Astari L. Parker ink-KOH stain, Chicago Sky Blue (CSB) stain, and Fungi Culture, for The Diagnosis of Superficial Dermatomycoses.2017;29(1):21–29.
-
2. Mustofa A. Prevalensi dan Faktor Resiko Terjadinya Pityriasis Versicolor Pada Polisi Lalu Lintas Kota Semarang. Jurnal Kedokteran Diponegoro. 2014 (diunduh 5 November 2022). Tersedia dari : https://www.neliti.com/id/publications/137715/prevalen si-dan-faktor-resiko-terjadinya-pityriasis-versicolor-pada-polisi-lalu-l
-
3. Nathalia S, Niode NJ, Pandaleke HEJ. Profil Pitiriasis versikolor Di Poliklinik Kulit Dan Kelamin Rsup Prof. Dr. R.D Kandou Manado Periode Januari – Desember 2012. Jurnal e-Clinic (eCl). 2015;3(1); 186-192.
-
4. Radiono S, Suyoso S, Bramono K. Dermatomikosis Superfisialis. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2013
-
5. Kang S, Amagai M, Bruckner, AL, Margolis DJ, Michael MAJ, Orringer JS. Fitzpatrick’s Dermatology.
Edisi ke-9. New York: The McGraw-Hill Education ; 2019
-
6. Soleha TU. Pitiriasis versikolor Ditinjau Dari Aspek Klinis dan Mikrobiologis Pityriasis Versikolor. Jurnal Kedokteran Unila. 2016;1(2); 428–431.
-
7. Pramono AS, Soleha TU. Pitiriasis versikolor:
Diagnosis dan Terapi. Jurnal Agromedicine. 2018;5(1); 449–453.
-
8. Gupta AK, Foley KA. Antifungal Treatment for
Pityriasis Versikolor. Journal of fungi. 2015; 1 ;13–29.
-
9. Mahmoud YAG, Metwally MA, Mubarak HH, Zewawy
NEL. Treatment of tinea versikolor caused by
Malassezia furfur with dill seed extract: An
experimental study. International Journal of Pharmacy
and Pharmaceutical Sciences.2015;7(2);1-7.
-
10. Faramayuda F, Julian S, Windyaswari AS, Mariani TS, Elfahmi, Sukrasno. Review: Flavonoid pada Tanaman Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth.). Proceeding of Mulawarman Pharmaceuticals Conferences. 2021;282–287.
-
11. Ulya N, Endharti AT, Setyohadi R. Uji Daya Anthelmintik Ekstrak Etanol Daun Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus) sebagai Anthelmintik Terhadap Ascaris suum secara in vitro. Majalah Kesehatan FKUB. 2014;1(3);130–136.
-
12. Hayati RS. Potential Leaf Extract Orthosiphon aristatus as Growth Inhibitor of Candida albicans. International Conference ADRI- 5.2017;53(9);1689–1699.
-
13. Melati GC. Uji Efektivitas Ekstrak Daun Kenikir (Cosmos caudatus;Kunth) Dalam Menghambat Pertumbuhan Trichophyton rubrum Secara In Vitro. UPN Veteran Jakarta.2014
-
14. Jaluri PDC, Ngazizah FN. Aktivitas Antifungi Infusa Umbi Bawang Putih (Allium sativum Linn), Daun Kumis Kucing (Orthosiphon aristatus) Dan Kombinasi Keduanyaterhadap Candida Albicans Menggunakan Metode Cakram Kertas. Jurnal Borneo Cendikia. 2017;1(1);109–113.
-
15. Khansa RM. Uji Aktivitas Minyak Atsiri Bunga Cengkeh (Syzygium aromaticum L.) Dalam Menghambat Pertumbuhan Jamur Candida albicans Secara In Vitro. Politeknik Kesehatan Yogyakarta.2019
-
16. Sofwan N, Faelasofa O, Triatmoko AH, Iftitah SN. Optimalisasi Zpt (Zat Pengatur Tumbuh) Alami Ekstrak Bawang Merah (Allium Cepa Fa. Ascalonicum)
Sebagai Pemacu Pertumbuhan Akar Stek Tanaman Buah Tin (Ficus carica). Jurnal Ilmu Pertanian Tropika dan Subtropika.2018; 3(2) ; 46–48.
-
17. Dahlan MS. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi ke-6. Jakarta: Salemba Medika; 2016
-
18. Rahmi H. Utilization of Bromelain Enzyme from Pineapple Peel Waste on Mouthwash Formula Against Streptococcus mutans Utilization of Bromelain Enzyme from Pineapple Peel Waste on Mouthwash Formula Against Streptococcus mutans. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science. 2019
-
19. Anwar H. Pengaruh Kadar CMC-Na Terhadap Mutu Fisik Tablet Ekstrak Daun Kumis Kucing (Orthosipon Stamineus Benth.). Muhammadiyah Malang University. 2020.
-
20. Çoban, İ, Toplan GG, Özbek B, Gürer ÇU., & Sarıyar, G. Variation of alkaloid contents and antimicrobial activities of Papaver rhoeas L. growing in Turkey and
northern Cyprus. Pharmaceutical biology.2017; 55(1); 1894-1898
-
21. Othman L, Sleiman A, Abdel-massih RM.
Antimicrobial Activity of Polyphenols and Alkaloids in Middle Eastern Plants. Frontiers in Microbiology
-
22. Wulandari TA, Widyawati PS, Budianta T. Pengaruh Penambahan Air Perasan Lemon Terhadap Aktivitas Antidiabetik Minuman Beluntas (Pluchea Indica Less) Lemon. Jurnal Teknologi Pangan dan Gizi. 2017; 16(1); 1–9.
-
23. Dinastutie, R. Uji Efektivitas Antifungal Ekstrak Kulit Pisang Kepok ( Musa acuminata x balbisiana ) Mentah Terhadap Pertumbuhan Candida albicans Secara In Vitro. Majalah Kesehatan FKUB. 2015; 2(3); 173-180.
-
24. Alfiah RR., Khotimah S, Turnip M. Efektivitas Ekstrak Metanol Daun Sembung Rambat (Mikania micrantha Kunth) Terhadap Pertumbuhan Jamur Candida
albicans. Jurnal Protobiont. 2015; 4(1); 52–57.
-
25. Simonetti G, Brasili E, Pasqua G. Antifungal Activity of Phenolic and Polyphenolic Compounds from Different Matrices of Vitis vinifera. Jurnal Molecules; 25(3748)
-
26. Lestari T, Nofianti T, Tuslinah L, Ruswanto R. Total phenol, flavonoid, and anthocyanin content and antioxidant activity of Etlingera elatior extract and nanoparticle. Jurnal Pharmaciana; 8(1); 145.
-
27. Sulastrianah S, Imran I, Fitria ES. Uji Daya Hambat Ekstrak Daun Sirsak (Annona muricata L.) dan Daun Sirih (Piper betle L.) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Escherichia coli. Jurnal Medula.2014; 1(2); 76-84
-
28. Rivai H, Amalinah A, Asra R. Analisis Kualitatif dan Kuantitatif Kandungan Senyawa dari Ekstrak Heksan, Aseton, Etanol dan Air. Research Gate. 2019 (di unduh 5 Januari 2023). Tersedia dari DOI:
10.13140/RG.2.2.21578.82887
http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum
doi:10.24843.MU.2023.V12.i10.P01
10
Discussion and feedback