SUATU LAPORAN KASUS SKIZOFRENIA AKUT PADA ANAK USIA 12 TAHUN DENGAN RIWAYAT GANGGUAN PEMUSATAN PERHATIAN DAN

HIPERAKTIVITAS

Luh Gde Evayanti

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali

Abstrak

Skizofrenia masa anak merupakan suatu gangguan psikiatrik berat yang mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan anak. Adanya komorbiditas gangguan kejiwaan yang lain juga dapat meningkatkan gejala-gejala skizofrenia pada anak. Seorang anak laki-laki umur 12 tahun dikeluhkan berbicara sendiri dan cenderung mengatakan hal-hal yang berhubungan dengan Dewa. Selain itu, pasien juga menunjukkan sikap atau perilaku yang aneh. Pasien sempat melihat barong di kamarnya, yang membuat dirinya takut. Pasien juga dikatakan memiliki riwayat gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas atau ADHD saat berumur 7 tahun. Pada pemeriksaan fisik didapatkan dalam batas normal dan tidak ada tanda defisit neurologis. Status psikiatri didapatkan proses pikir pasien tampak kesan bentuk pikir nonlogis nonrealis, arus pikir inkoheren, isi pikir dengan waham bizarre. Disamping itu, pasien memiliki halusinasi auditorik dan visual disertai dengan raptus. Diagnosis klinis pasien mengarah pada skizofrenia. Penatalaksanaan diharapkan dapat mencegah gangguan ini menjadi kronis.

Kata kunci: gangguan psikosis, skizofrenia, ADHD

A CASE REPORT OF ACUTE SCHIZOPHRENIA IN CHILDREN 12 YEARS OF AGE WITH A HISTORY OF ATTENTION-DEFICIT/ HYPERACTIVITY DISORDER

Abstract

Childhood-onset schizophrenia is a severe form of schizophrenia that affects almost all aspects of children's lives. The presence of younger individuals with other psychiatric disorders can also improve symptoms of schizophrenia in children. A 12 years old boy had symptoms like speaks for himself and tend to complain about saying things that relate to the Gods. In addition, patients also showed a strange behavior or attitude. The patient got to see ‘barong’ in his room, making his scared. Patients are also said to have a history of attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) in the age of 7 years. On physical examination is obtained in the normal range and no signs of neurological deficit. Status of psychiatric of this patient had disorders of thought: the form of thought is nonlogic nonrealistic, thought process is incoherence; thought content is dilution of bizarre. In addition, the patient has hallucinations of visual and auditory along with

impulsive behavior. The patient's clinical diagnosis leads to schizophrenia. Management is expected to prevent these disorders become chronic.

Keywords: psychosis disorders, schizophrenia, ADHD

PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan gangguan perkembangan neurologis yang ditandai adanyadefisit kognitif, afek dan relasi sosial. Gangguan ini ditandai dengan adanya gejala psikosis, seperti halusinasi dan waham. Sedangkan, gangguan kognisi atau gangguan pengelolaan informasi merupakan salah satu gejala yang dapat muncul namun kurang jelas. Prevalensi skizofrenia dapat terjadi pada semua kalangan umur dan puncaknya pada usia 20 hinga 30 tahun, dimana pada laki-laki lebih awal daripada perempuan. Semakin muda seseorang mengalami gangguan psikosis maka, prognosisnya semakin buruk.1,2

Skizofrenia masa anak merupakan suatu gangguan psikiatrik berat yang mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan anak. Skizofrenia masa anak merupakan kasus yang jarang ditemukan, terutama pada anak di bawah usia 10 tahun,namun jumlah kasus bertambah seiring dengan bertambahnya usia sampai menjelang usia dewasa muda. Skizofrenia pada anak-anak ditandai dengan onset gejala psikotik pada usia 12 tahun. 3,4

Prevalensi skizofrenia pada anak-anak dilaporkan kurang dari 1 kasus pada 10.000 anak, sedangkan pada usia 13-18 tahun, prevalensi skizofrenia meningkat. Gejala-gejala skizofrenia yang muncul pada onset anak-anak sama dengan remaja dan dewasa. Namun dengan adanya komorbiditas gangguan kejiwaan,

termasuk gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder, ADHD), gangguan depresi, dan gangguan cemas dapat meningkatkan fitur fenomena skizofrenia tersebut.3,4

Penyebab dari skizofrenia belum dapat dipastikan, namun beberapa teori mengatakan skizofrenia pada anak disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Selain itu juga diketahui bahwa adanya kelainan pada anatomi otak, neurotransmiter, infeksi, dan trauma merupakan beberapa penyebab dari skizofrenia.3,4

Kebanyakan anak-anak dengan skizofrenia memiliki gangguan perilaku dan kognisi sebelum onset gejala khas psikosis. Sekitar sepertiga anak-anak menunjukkan gejala kurangnya perhatian, hiperaktif, agresi, atau kemarahan. Sebagian anak-anak sebelumnya telah didiagnosis dengan autisme, ADHD, dan gangguan kejiwaan yang lainnya. Pada salah satu studi, gejala psikosis muncul rata-rata 2,5 tahun setelah gejala awal, dan diagnosis skizofrenia ditegakkan rata-rata 2 tahun setelah onset psikosis.4

Gangguan ini menghambat proses neurodevelopmental, akibatnya dapat memberi dampak yang merusak fungsi kognitif, afektif dan sosial. Deteksi dini diperlukan agar dapat dilakukan pengenalan gejala-gejala, sehingga diagnosis dini dapat ditegakkan dan dilakukan intervensi sedini mungkin. Hal ini diharapkan dapat mencegah gangguan

ini menjadi kronis. Pada deteksi dini yang harus diperhatikan adalah: manifestasi gangguan akut, faktor dankondisi yang melatarbelakangi, dan faktor yang dapat menentukan relaps.4,5

Meskipun skizofrenia ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, diagnosis skizofrenia pada masa anak tidaklah mudah. Hal ini didasarioleh minimnya kemampuan anak mengekspresikan secara verbal apa yang merekarasakan atau apa yang mereka alami, oleh karena itu gejala psikotik pada anak tidaklah jelas seperti pada remaja atau orang dewasa. Berdasarkan uraian tersebut maka diagnosis penyakit psikotik pada anak harus hati-hati sehingga intervensi yang tepat dapat diberikan sejak dini.3,4,5

LAPORAN KASUS

Pasien laki-laki umur 12 tahun diantar oleh kedua orangtuanya, menggunakan baju kaos putih berlengan pendek dan celana jeans pendek, serta memakai sandal jepit. Rambut pasien pendek bergelombang. Pasien dikeluhkan berbicara sendiri dan cenderung mengatakan hal-hal yang berhubungan dengan Dewa. Selain itu, pasien juga menunjukkan sikap atau perilaku yang aneh seperti kedua tangan menyihir atau seperti orang memegang genta pada saat menjawab pertanyaan dokter yang memeriksa. Pasien juga cenderung menantang dokter ketika ditanya dan menjawab dengan perkataan kasar. Selama wawancara pasien cenderung tidak menjawab sesuai pertanyaan, senyum-senyum sendiri, serta menunjukkan perilaku yang aneh dengan

menggerakkan kedua kaki dan tangannya.

Menurut ayah pasien, anaknya mulai bicara sendiri sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Keluhan diawali dengan sakit kepala. Kemudian sesaat sebelum tidur pasien sempat melihat barong di kamarnya, yang membuat dirinya takut, namun ibu pasien menenangkan pasien sehingga pasien dapat tidur.

Menurut ibu pasien, pasien melihat hantu selama di rumah, dan sering mengamuk, serta berbicara dengan nada teriak-teriak terutama ketika tidak dituruti permintaannya. Pasien bahkan akan menghancurkan barang dan bicara dengan mengancam jika sedang mengamuk. Perilaku pasien dirasa berubah oleh keluarga semenjak sakit, karena sebelum sakit pasien lebih penurut, hormat, dan terbuka pada keluarga. Aktifitas sehari-hari pasien sebelumnya dikatakan normal (makan, mandi, sekolah tidur seperti biasa). Namun saat belajar di sekolah, pasien dikeluhkan oleh gurunya sering bersikap aneh (seperti saat ditanya, jawaban pasien tidak sesuai).

Dikatakan pula sekitar 3 tahun yang lalu saat pasien di kelas 4 SD, pasien tampak menunjukkan gejala seperti bicara sendiri, yang awalnya kepalanya terbentur dan telah dibawa ke Rumah Sakit Prima Medika untuk pemeriksaan EEG dan CT Scan, didapatkan tidak ada kelainan. Dikarenakan hasil pengobatan di rumah sakit tidak menunjukkan perbaikan maka pasien dibawa ke paranormal dan setelah 4 bulan pasien sembuh. Setelah itu keluhan pasien tidak muncul lagi.

Pasien juga dikatakan memiliki riwayat pengobatan saat berumur 7 tahun dikarenakan memiliki gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas. Pasien dikatakan saat itu sangat sulit diatur baik di rumah maupun di sekolah sehingga banyak mengalami kesulitan dalam proses belajar. Setelah mendapat pengobatan sebanyak 1 kali di RSUP Sanglah, pengobatan dihentikan karena masalah keuangan

Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital dan pemeriksaan umum dalam batas normal, kesadaran kompos mentis, dan tidak ditemukan adanya defisit neurologis. Pada status psikiatri didapatkan kesan umum pasien tampak penampilan tidak wajar, roman muka sesuai umur dengan kontak visual maupun verbal kurang. Pasien juga memiliki kesadaran yang jernih dan mood/afek irritable. Proses pikir pasien tampak kesan bentuk pikir nonlogis nonrealis, arus pikir inkoheren, isi pikir dengan waham bizarre. Disamping itu, pasien memilikihalusinasi audiotorik dan visual disertai raptus. Psikomotor pasien meningkat pada saat pemeriksaan (hiperaktivitas). Tingkat itelengensi pasien sesuai dengan tingkat pendidikan.

Selanjutnya pasien dirawat di RSUP Sanglah. Selama perawatan pasien dikeluhkan suka berteriak-teriak, mengamuk, bicara tidak nyambung, dan mengulang perkataan dokter yang merawat pasien. Pasien juga mengatakan sempat melihat hantu beberapa kali selama perawatan di rumah sakit. Keluhan dapat berkurang setelah menerima terapi berupa Berdasarkan gejala klinis yang ada pasien, diagnosis kerja ditegakkan yaitu skizofrenia akut.

Pasien mendapat terapi berupa Haloperidol 2x5 mg, Trihexyphenidil 2x200 mg, Diazepam 2x1 mg. Keluarga pasien diberikan edukasi mengenai penyakit dan pengobatan yang diberikan pada pasien.

DISKUSI KASUS

Skizofrenia pada anak dan dewasa memberikan gambaran klinis yang bervariasi sehingga diperlukan acuan atau pedoman. Pedoman diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan berdasarkan kriteria pada Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III. Gejala yang khas pada pasien skizofrenik berupa waham, halusinasi,perubahan dalam berpikir, perubahan dalam persepsi disertai dengan gejala gangguan suasana perasaan baik itu manik maupun depresif.3,4,6

Pada pasien didapatkan gejala psikosis berupa gejala postif yaitu kesan umum pasien tampak penampilan tidak wajar, roman muka sesuai umur dengan kontak visual maupun verbal kurang. Pasien juga memiliki kesadaran yang jernih dan mood/afek irritable. Proses pikir pasien tampak kesan bentuk pikir nonlogis nonrealis, arus pikir inkoheren, isi pikir dengan waham bizarre. Disamping itu, pasien memiliki halusinasi audiotorik dan visual disertai raptus. Psikomotor pasien meningkat pada saat pemeriksaan (hiperaktivitas). Pasien talah mengalami gejala tersebut selama 1 bulan. Gejala klinis yang ada pada pasien mengakibatkan adanya hambatan pada kegiatan sehari-hari, dan pendidikannya. Berdasarkan hal tersebut diagnosis skizofrenia pada anak dapat ditegakkan.

Penyebab dari skizofrenia belum diketahui secara pasti, namun terdapat beberapa penyebab yang mendasari. Faktor genetik dan lingkungan merupakan salah satu contohnya. Resiko skizofrenia meningkat pada 1% pada keluarga yang tidak memiliki riwayat, 10% pada keturunan pertama dari keluarga yang memiliki riwayat, dan 50% pada saudara kembar identik. Stresor yang terjadi pada pasien dapat mencetuskan terjadinya skizofrenia. Stresor tersebut dapat diperoleh dari permasalahan dalam keluarga, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Adanya komorbiditas gangguan kejiwaan yang lain juga dapat meningkatkan gejala-gejala skizofrenia pada anak. 3,4

ADHD merupakan riwayat penyakit yang dimiliki pasien pada saat pasien masih berumur 7 tahun. Adanya gangguan ini akan mengakibatkan gejala skizofrenia memberat. Pada Pittsburgh High-Risk Study dilaporkan bahwa diantara anak-anak dengan skizofrenia ternyata memiliki proporsi yang cukup tinggi pada anak yang memiliki riwayat ADHD dan gangguan perilaku lainnya. Pada penelitian kohort oleh Oie, et all dilaporkan bahwa terjadi kemunduran kognitif pada skizofrenia pada anak-anak dengan ADHD dibandingkan dengan yang tidak. Hal ini menunjukkan adanya komorbiditas gangguan jiwa memperburuk gejala psikosis dan prognosis pada anak.8,9

Intervensi yang tepat dapat mencegah gejala psikosis akut menjadi kronis. Pasien dirawat di rumah sakit dengan indikasi tujuan diagnositk, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan ingin bunuh diri atau

membunuh, serta perilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. 4,5

Terapi medikamentosa yang dapat diberikan pada anak dengan skizofrenia adalah obat antipsikosis atipikal sebagai lini pertama. Akan tetapi pada kasus, didapatkan pasien mendapatkan terapi berupa obat anti psikosis tipikal berupa haloperidol. Haloperidol adalah anti psikosisdari kelompok butirofenon dengan potensi tinggi. Suatu penelitian (1992) yang membandingkan efektivitas haloperidol dibandingkan dengan plasebo pada 16 anak yang didiagnosis skizofrenia onset sangat dini pada rentang umur 5-11 tahun. Haloperidol dilaporkan menurunkan gejala negatif dan positif secara signifikan dibandingkan plasebo.4,7

Haloperidol sering memberikan efek samping ekstra- piramidal. Oleh sebab itu, trihexyphenidil diberikan sebagai pencegahan. Diazepam dapat dikombinasikan dengan obat anti psikosis pada fase akut. Hal ini bertujuan untuk memperoleh efek sedasi pada pasien anak skizofrenia dengan gaduh gelisah. 4,7

Prognosis dari skizofrenia akut, ad vitam dubius ad bonam, ad functionam dubius ad bonam, karena telah terdeteksi dan mendapat terapi sejak dini. Pasien juga telah menunjukkan perbaikan gejala, tidak ada defisit neurologis, dan hambatan dalam pendidikan.

KESIMPULAN

Skizofrenia masa anak merupakan suatu gangguan psikiatrik berat yang mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan anak. Gangguan ini

menghambat proses neurodevelopmental, akibatnya dapat memberi dampak yang merusak fungsi kognitif, afektif dan sosial.

Deteksi dini diperlukan agar dapat dilakukan pengenalan gejala-gejala, sehingga diagnosis dini dapat ditegakkan dan dilakukan intervensi sedinimungkin.

DAFTAR PUSTAKA

  • 1. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Schizophrenia. In Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry:               Behavioral

Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. 2007.

  • 2.    Frankenburg, Frances. Schizophrenia. 2013.Available:

http://emedicine.medscape.com/article /288259-overview. [Access: 30 Desember 2013].

  • 3.    Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Early-Onset Schizophrenia. In Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. 2007.

  • 4.    Loth, Annemarie K. Childhood-Onset Schizophrenia. Available: http:// emedicine.medscape.com/article/9148 40-overview. [Access: 30 Desember 2013].

  • 5.    Wijaya, Chandra. Skizofrenia pada Anak: Dilema dalam Menegakkan Diagnosis dan Penatalaksanaan. 2012. Available: http://id.scribd.com/doc /91693160/Skizofrenia-Masa-Kanak-Dilema-Dalam-Menegakkan-Diagnosis-Dan-Penatalaksanaan

  • 6.    Maslim, Rusdi. Skizofrenia, Gangguan Skizotipal, dan Gangguan Waham. In: Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.2001:46-7.

  • 7.    Maslim, Rusdi. Skizofrenia, Obat Anti Psikosis. In: Penggunaan Klinis Obat Psikotropika Edisi 3. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.2001:14-22

  • 8.    Keshavan MS, Diwadkar VA, Montrose DM, Stanley JA, Pettegrew JW. Premorbid characterization in schizophrenia: the Pittsburgh High Risk Study. World Psychiatry. 2004;3(3):163-8.

  • 9.    Oei, Merete;Sundet, Kjetil; Rund, Bjørn Rishovd. Neurocognitive Decline in Early-Onset Schizophrenia Compared With ADHD and Normal Controls: Evidence From a 13-Year Follow-up Study. Schizophrenia Bulletin vol. 36 no. 3 2010:557–565.

6